RAGAM JENIS EKTOPARASIT PADA HEWAN COBA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY PRADIPTA NURI ADIYATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRACT Pradipta Nuri Adiyati Rattus norvegicus drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D drh. Supriyono. Rattus norvegicus Baker and Canin€s systematic key R. norvegicus echidninus Polyplax spinulosa Keywords: Rattus norvegicus Laelaps ABSTRAK Pradipta Nuri Adiyati Rattus norvegicus drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D drh. Supriyono. Rattus norvegicus Rattus norvegicus echidninus Polyplax spinulosa Keywords: Rattus norvegicus Laelaps PERNYATAAN MENGENAI SUMBER SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Pradipta Nuri Adiyati NIM B04070184 ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. RAGAM JENIS EKTOPARASIT PADA HEWAN COBA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY PRADIPTA NURI ADIYATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 HALAMAN PENGESAHAN Judul : Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley Nama mahasiswa : Pradipta Nuri Adiyati NRP : B04070184 Disetujui Komisi Pembimbing Dr.drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Ketua drh. Supriyono anggota Diketahui, Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi yang berjudul Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley telah diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis ucapkan kepada : 1 Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Ajun dan Fahmi atas segala nasehat, kesabaran, dukungan, dan doanya kepada penulis. 2 drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D dan drh. Supriyono selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan ilmu-ilmunya dan bersabar dalam membimbing penulis. 3 Bima yang selalu menemani dan memberikan semangat untuk tidak pernah menyerah setiap saat. 4 Teman-teman seperjuangan penelitian di Laboratoriun Entomologi yang bersama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir. 5 Arni, Rio, dan Ridwan yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi dan dukungannya dalam penyelesaian tugas akhir. 6 Seluruh teman-teman Gianuzzi yang telah bersama-sama selama 3 tahun menuntut ilmu di FKH IPB. 7 Dosen-dosen dan Staf Laboratorium Entomologi yang tak pernah bosan selalu membantu dan memberikan senyuman serta semangat setiap harinya. 8 Teman-teman di Tri Regina yang tak pernah lelah mendukung penulis untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Agustus 2011 Pradipta Nuri Adiyati RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 1 Maret 1990 dari ayah Drs. Boko Susilo, M.Kom dan ibu Rusmiyati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis dibesarkan di kota Yogyakarta dan menempuh pendidikan sekolah taman kanak-kanak di TK Aisyiah 3, Depok, kemudian melanjutkan di SD Negeri Nglarang, Yogyakarta. Namun, pada tahun 1999 penulis kembali ke Bengkulu dan melanjutkan sekolah di SD Negeri 2 Bengkulu hingga lulus di tahun 2000. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke bangku SMP Negeri 2 Kota Bengkulu dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan sebagai program studi mayor di perguruan tinggi IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan pada tahun 2009-2010. Penulis juga aktif di berbagai organisasi seperti Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HIMPRO HKSA) Komunitas Seni STERIL, dan Ikatan Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (IKAMADITA). Penulis juga merupakan aktivis di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (Sekjen PB IMAKAHI) periode 2010/2011. iii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR GAMBAR.............................................................................. PENDAHULUAN Latar belakang............................................................................... Tujuan........................................................................................... Manfaat ........................................................................................ TINJAUAN PUSTAKA Tikus putih (Rattus norvegicus)..................................................... Jenis ektoparasit pengganggu pada tikus putih (R. norvegicus) ...... Gambaran diferensiasi sel darah putih pada tikus putih (R. norvegicus).................................................................................... METODOLOGI Waktu dan tempat penelitian ........................................................ Alat dan bahan penelitian ............................................................. Pengambilan sampel ektoparasit ................................................... Pembuatan preparat ektoparasit .................................................... Identifikasi ektoparasit ................................................................. Pengamatan tikus yang terinfeksi ektoparasit ................................ Analisis data ................................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis ektoparasit ........................................................................... Sebaran jenis-jenis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus)..... Sebaran ektoparasit berdasarkan regio .......................................... Gambaran umum tikus putih yang terinfestasi ektoparasit ............ Gambaran sel darah putih (leucocyte) tikus putih (R. norvegicus) .. Pengendalian ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) ............ SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... DAFTAR PUTAKA .............................................................................. LAMPIRAN .......................................................................................... iii iv v 1 2 2 3 6 9 14 14 14 14 15 15 16 17 23 24 25 26 27 29 30 34 iv DAFTAR TABEL No 1 2 3 Teks Jenis-enis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) ..... Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) berdasarkan regio .............................................................. Gambaran sel darah putih tikus putih (R. norvegicus) ........ Halaman 24 25 26 v DAFTAR GAMBAR No 1 2 3 4 5 6 7 Teks Morfologi Laelaps echidninus .......................................... Morfologi Notoedres cati .................................................. Xenopsylla cheopis ............................................................ Sel darah putih (a) Neutrofil; (b) Eosinofil; (c) Basofil; (d) Limosit; (e) Monosit ....................................................................... Laelaps echidninus ............................................................ Polyplax spinulosa ............................................................ Larva caplak Ixodidae ....................................................... Halaman 7 8 9 13 18 20 23 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran pemanfaatan hewan sebagai objek percobaan juga terus berkembang. Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba di laboratorium. Beberapa contoh hewan yang biasa digunakan sebagai hewan coba adalah tikus putih (R. norvegicus) dan mencit putih (Mus musculus strain albino). Tikus putih (R. norvegicus) merupakan hewan coba yang sering digunakan pada penelitian biomedis, pengujian, dan pendidikan. Sebagai hewan rondentia (pengerat), tikus juga tidak bebas dari infestasi ektoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang berada di luar tubuh inang. Jenis ektoparasit pada tikus yang pernah dilaporkan pada studi di SarpoleZahab, Provinsi Kermanshah, Iran, terdapat sebanyak sembilan spesies ektoparasit yang ditemukan pada 139 ekor tikus di enam spesies yang diidentifikasi. Ektoparasit tersebut yaitu tiga jenis pinjal (Pulex irritans, Xenopsylla buxtoni, Nosopsyllus medus), satu jenis kutu penghisap (Polyplax spinulosa), dua jenis caplak (Rhipicephalus sp., Hyalomma sp.), dan tiga jenis tungau (Laelaps nutalli, Dermanysus sanguineus, Ornithonyssus bacoti) (Telmadarraiy et al. 2007). Motevalli et al. (2002) menemukan ektoparasit Echinolaelaps echidninus, Hoplopleura sp., Rhipicephalus sp., dan Nosopsyllus fasciatus pada R. norvegicus, R. rattus, Mus musculus, Glis glis, Apodemous sylvaticus, Nesokia indica, dan Arvicola terretris di wilayah Selatan Laut Kaspia. Ektoparasit dapat menimbulkan kerugian pada inangnya, yaitu terjadinya iritasi, kegatalan serta gejala lain yang mengindikasikan kondisi ketidaknyamanan. Selain itu, ektoparasit juga dapat sebagai vektor berbagai macam agen penyakit. Tubuh inang digunakan sebagai tempat untuk berkembang biak serta bertahan hidup. Keberadaan ektoparasit ini mempengaruhi kesehatan tikus sebagai hewan coba. Ektoparasit yang terdapat pada tikus juga dapat berperan sebagai vektor 2 berbagai macam agen penyakit. Tikus juga berperan dalam penyebaran penyakit zoonosis, seperti leptospirosis, salmonellosis, rat-bite fever, leishmaniasis, dan plague (Kia et al. 2009). Tikus rentan terhadap penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteria, virus, parasit, dan jamur. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan penyakit yang terdapat pada tikus seperti plague, tripanosomiasis, dan merupakan reservoir alami penyebab epidemic haemorrhagic fever (EHF) virus (Su et al. 1989; Coutinho dan Linardi 2007; Wei et al. 2010). Selain itu, tikus di alam juga dapat dijadikan sebagai indikator kehadiran dan dispersal dari enam agen mikroba zoonotik, seperti Rickettsia typhi, R. Conorii, Toxoplasma sp., Coxiella burnetti, Bartonella henselae, dan Leishmania infantum (Anna et al. 2010). Selain mempengaruhi kesehatan tikus putih, keberadaan ektoparasit juga dapat mempengaruhi hasil dari penelitian yang menggunakan tikus sebagai hewan coba. Oleh karena itu, sangat penting diketahui jenis-jenis ektoparasit yang terdapat pada tikus sebagai hewan coba. Info mengenai jenis-jenis ektoparasit pada tikus ini belum pernah ditemukan sehingga penelitian ini diperlukan. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan morfologi ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley sebagai hewan coba. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan dan jenis ektoparasit yang terdapat pada tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan penggunaan tikus terinfestasi ektoparasit sebagai hewan coba dan pengendalian yang tepat. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Tikus putih (R. norvegicus) Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal). Tikus putih (R. norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat (Sirois 2005). Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura (Medway 1983). Faktor yang mempengaruhi penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih (R. norvegicus) yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika populasi tikus adalah air minum dan sarang. Air merupakan kebutuhan penting bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk melahirkan, membesarkan anak-anaknya, menyimpan pakan, berlindung dari lingkungan yang kurang menguntungkan, dan tempat untuk beristirahat. Cuaca tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah (1) tumbuhan atau hewan kecil sebagai sumber pakan, (2) patogen (penyebab penyakit) dari golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda, protozoa, dan sebagainya, (3) predator dari golongan reptilia, aves, dan mamalia, (4) tikus sebagai kompetitor, khususnya pada populasi tinggi, dan (5) manusia yang merupakan musuh utama bagi tikus (Priyambodo 1995). 2.1.1 Klasifikasi Tikus Putih (R. norvegicus) Tikus digolongkan ke dalam Ordo Rodentia (hewan pengerat), Famili Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Menurut Priyambodo (1995) 4 Ordo Rodentia merupakan ordo terbesar dari kelas mamalia karena memiliki jumlah spesies (40%) dari 5.000 spesies di seluruh mamalia. Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres & Armitage (2004). Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Sub-Famili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Galur/Strain : Sprague Dawley Tikus putih merupakan strain albino dari R. norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley (Inglis 1980). Galur ini berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin. 2.1.2 Ciri Morfologi Tikus Putih (R. norvegicus) Tikus putih (R. norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat, termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram (Sirois 2005). Tikus dapat mendengar hingga suara ultrasonik dengan rentang pendengaran 70 dB yaitu 250 Hz-70 kHz dan rentang yang paling sensitif berkisar 5 antara 8-32 kHz. Suara ultrasonik ini sangat penting sebagai alat berkomunikasi antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson 1979). Tikus putih (R. norvegicus) tersebar luas di beberapa tipe habitat, namun tikus putih lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan tempattempat yang lembab (Pagad 2011). 2.1.3 Biologi dan Perilaku Tikus Putih (R. norvegicus) Tikus termasuk binatang pemakan segala makanan (omnivora). Walaupun demikian, tikus cenderung untuk memilih biji-bijian (serealia) seperti jagung, padi, dan gandum. Air sebagai sumber minuman dapat diambil dari air bebas atau dapat diperoleh dari pakan yang banyak mengandung air. Kebutuhan air bagi tikus tergantung dari suhu, lingkungan, aktivitas, umur, dan jenis makanan. Kebutuhan air berkurang, jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air. Pada umumnya tikus makan secara teratur pada tempat tertentu. Tikus putih (R. norvegicus) biasanya membuat sarang pada tempat-tempat yang berdekatan dengan sumber makanan dan air. Tikus bermigrasi jika terjadi kekurangan makanan pada habitat awal yang ditempati (Priyambodo 1995). Menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988) tikus memiliki masa kawin pada saat berumur delapan sampai sembilan minggu. Tikus merupakan hewan poliestrus dan berkembang biak sepanjang tahun. Periode estrus terjadi selama dua belas jam dan lebih sering terjadi pada malam hari dibandingkan dengan siang hari. Kelahiran anak pada tikus putih dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi iklim dan cuaca yang optimal (khususnya suhu), pakan yang melimpah, sarang yang baik, umur, dan kondisi induk yang optimal. 6 2.2 Jenis Ektoparasit Pengganggu pada Tikus Putih (R. norvegicus) Penyakit yang dapat diderita oleh tikus salah satunya diakibatkan oleh parasit luar. Ektoparasit yang dapat menginfestasi pada tikus ini meliputi Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Bdellonyssus bacoti, Notoedres cati, Otodectes cyanotis, Echidnophaga gallinacea, dan Xenopsylla cheopis (Sirois 2005). Polyplax spinulosa merupakan kutu yang termasuk dalam ordo Phthiraptera dan famili polyplacidae. Kutu ini memiliki ukuran kecil, yaitu berukuran mulai 1-10 mm, bermetamorfosis tak sempurna (hemimetabola), tipe mulut untuk menusuk dan menghisap, serta tidak memiliki sayap. Kutu dapat menyebabkan hewan tidak bisa tidur (gatal-gatal), kehilangan berat badan, produksi berkurang, dan anemia (Levine 1990). Selain itu, kutu juga dapat sebagai vektor penyebaran penyakit pada tikus. Penyebaran penyakit ini dapat ditularkan melalui gigitan dari kutu yang membawa virus, bakteri, rikketsia, dan penyakit parasitik lainnya (Omudu & Ati 2010). Laelaps echidninus merupakan jenis tungau yang biasa terdapat pada tikus (Gambar 1). Tungau ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan aktif menghisap darah. L. echidninus sendiri merupakan vektor alami dari Hepatozoon muris dan dapat juga mentransmisikan agen tularemia (Francisella tularensis) di antara rodentia lain. Infestasi tungau pada tubuh tikus dapat menyebabkan iritasi dan kegatalan. L. echidninus 1973). menyebabkan lesio pada telapak kaki tikus (Flynn 7 a b c d e f Gambar 1 Morfologi Laelaps echidninus (ventral). (a) Kelisera, (b) Pedipalpus, (c) Peritreme, (d) Anus, (e) Keping anal, (f) Seta. Bdellonyssus bacoti atau biasa dikenal dengan Ornithonyssus bacoti, termasuk ke dalam famili Macronyssidae dan merupakan tungau yang biasa hidup pada tikus. Bdellonyssus bacoti dapat menyebabkan dermatitis dan menularkan penyakit tifus pada manusia. Tungau ini memiliki kelisera yang lebih kuat dari pada Dermanyssus sp. dan lebih mudah terlihat di bawah mikroskop. Morfologi lain dari tungau yaitu memiliki satu keping dorsal dan anus terletak di tengah anterior keping anal. B. bacoti merupakan inang antara dari Litmosoides carinii (Bowman et al. 2003). Selain itu, B. bacoti sebagai vektor mekanik Trypanosoma cruzi (Jimenez et al. 1994). Notoedres cati merupakan parasit pada kucing, tikus, kelinci, dan manusia (bersifat sementara). Tungau ini memiliki ukuran dewasa mencapai 230-275 m dan memiliki empat kaki yang pendek (Gambar 2). Bagian dorsal tubuh tungau terdapat sisik, namun tidak terdapat duri. Anus N. cati terletak pada bagian dorsal antara kaki ketiga dan keempat (Flynn 1973). Tungau ini menginfestasi kucing, dan dapat berpindah ke hewan lain atau manusia, tetapi hanya dapat bertahan hidup tidak lebih dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena tungau memiliki induk semang (inang) yang spesifik (Nahm & Corwin 1997). Peradangan dan 8 keratinisasi pada kulit menyebabkan kulit menjadi tebal dan berkerut (Soulsby 1982). a b c d Gambar 2 Morfologi Notoedres cati. (a) Alat penghisap, (b) sisik, (c) anus, (d) Flagela (Urquhart et al. 1987). Otodectes cynotis merupakan tungau yang termasuk ke dalam famili Psoroptidae. Tubuh O. cynotis memiliki tarsi yang pendek, pedikulus pertama dan kedua tidak memiliki segmen pada betina, serta di seluruh pedikulus pada jantan. Tungau ini menginfestasi telinga bagian luar dan kulit anjing, kucing, musang, dan rubah yang dapat menyebabkan iritasi. Karakteristik dari penyakit yang ditimbulkan oleh O. cynotis adalah produk serumen yang berwarna gelap (Bowman et al. 2003). Echidnophaga gallinacea (sticktight flea), umumnya terdapat pada ayam namun dapat menyerang hewan domestik. Pinjal ini biasanya menyerang pada bagian kepala, terutama pial pada ayam. Beberapa hewan yang dapat dijadikan inang oleh E. gallinacea antara lain burung-burung lokal (kalkun, burung puyuh), tikus, anjing, kucing, dan terkadang manusia. Bentuk dewasa dari pinjal ini dapat dikenali dari bentuk kepala dan tidak adanya pronatal serta genal ktenidia (Mullen et al. 2009). 9 Xenopsylla cheopis merupakan genus pinjal yang terdapat pada tikus serta dapat menyerang ke manusia. Ukuran tubuh pinjal kurang lebih 2,5 mm. Tubuh pinjal terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen. Bagian kepala dan toraks memiliki dua segmen dan abdomen memiliki delapan segmen. X. Cheopis memiliki tiga pasang kaki (Gambar 3). Kaki belakang pinjal memiliki tungkai yang panjang sehingga pinjal dapat melompat jauh. Ciri morfologi yang membedakan X. cheopis dengan genus lainnya adalah tidak memiliki rambut dan bentuk kepala yang lebih bulat. Pinjal ini berperan penting dalam penyebaran penyakit pes di Indonesia maupun di dunia (Gage & Kosoy 2005). (a) (b) Gambar 3 Xenopsylla cheopis; (a) jantan; (b) betina 2.3.1 Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih pada Tikus Putih (R. norvegicus) Darah merupakan jaringan sirkulasi yang menyalurkan oksigen dan nutrisi serta membuang karbondioksida dan beberapa materi yang tidak diperlukan oleh tubuh melalui pertukaran gas, aktivitas seluler, dan pertahanan tubuh. Darah tersusun dari komponen-komponen darah, yaitu sel darah dan plasma darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (red blood cell), sel darah putih (white blood cell), dan keping darah (platelete) (Samuelson 2007). 10 2.3.1 Sel Darah Putih (Leucocyte) Sel darah putih dikenal sebagai leukosit merupakan unit pertahanan tubuh yang dibentuk di sumsum tulang belakang dan sebagian dibentuk di jaringan limfoid. Granulosit dan monosit merupakan sel darah putih yang dibentuk di sumsum tulang belakang, sedangkan limfosit dan sel-sel plasma dibentuk di jaringan limfoid. Granulosit merupakan sel-sel polimorfonuklear yang memiliki granular, seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit memiliki masa hidup empat sampai delapan jam dalam sirkulasi darah dan empat sampai lima hari berikutnya pada jaringan yang membutuhkan. Namun, pada infeksi yang berat, masa hidup keseluruhan dapat berkurang lebih cepat karena granulosit bekerja lebih cepat pada daerah yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk ke dalam proses ketika sel-sel tersebut dimusnahkan. Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam dalam darah, sedangkan limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung dari kebutuhan tubuh terhadap limfosit (Guyton & Hall 2008) Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral. Neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit berfungsi sebagai pelindung tubuh terhadap zat asing dengan cara fagositosis (seluler). Fungsi limfosit dan sel plasma berkaitan dengan sistem imun (humoral). Diferensiasi sel darah putih dapat menjadi acuan untuk mengetahui sistem kekebalan tubuh pada tikus jika terserang suatu penyakit (Guyton & Hall 2008) 2.3.2 Neutrofil Neutrofil merupakan sel darah putih yang tergolong ke dalam sel polimorfonuklear (PMN). Neutrofil dibentuk dalam sumsum tulang dan dikeluarkan dalam sistem sirkulasi. Jumlah neutrofil normal berkisar antara 1237% dari leukosit yang beredar, garis tengah sekitar 12 m , dan terdapat dua sampai lima segmen (Gambar 4a). Sitoplasma banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0,3-0,8 m ) dan berwarna merah muda (Thrall et al. 2004). 11 Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria, aparatus golgi rudimenter, dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit partikel kecil dengan aktif. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Effendi 2003). 2.3.3 Eosinofil Eosinofil merupakan sel darah putih yang termasuk ke dalam granulosit. Jumlah eosinofil hanya 0-6% dari leukosit dan mempunyai garis tengah 9 m , sedikit lebih kecil dari neutrofil (Mitruka & Rawnsley 1981). Inti memiliki dua segmen, retikulum endoplasma, mitokondria, dan apparatus Golgi kurang berkembang (Gambar 4b). Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid dan mampu melakukan fagositosis terhadap komplek antigen dan antibodi (Effendi 2003). Pada infeksi parasit, eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi. Selain itu, eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi alergi dan diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2008). 2.3.4 Basofil Basofil merupakan sel darah putih yang memiliki jumlah kecil di dalam darah tikus. Jumlah basofil di dalam darah berkisar antara 0-3% (Thrall et al. 2004). Basofil umumnya berbentuk seperti huruf S (Gambar 4c). Sitoplasma basofil berisi granul yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granul basofil memiliki bentuk ireguler berwarna metakromatik. Basofil merupakan sel utama yang paling banyak ditemukan pada tempat peradangan atau alergi (Caroline et al. 2009). Basofil mengandung heparin dan memiliki protein reseptor pada bagian 12 permukaan yang dapat mengikat IgE (Imunoglobulin yang berperan dalam pertahanan terhadap alergi) (Guyton & Hall 2008). 2.3.5 Limfosit Limfosit merupakan sel yang sferis, memiliki garis tengah 6-8 m , dengan jumlah 63-84% dari leukosit darah (Mitruka & Rawnsley 1981). Secara normal, sel limfosit mempunyai inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, inti kromatin padat, anak inti baru terlihat dengan menggunakan mikroskop elektron (Gambar 4d). Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat sedikit, sedikit basofilik, dan mengandung granula-granula azurofilik. Limfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12 m . Ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Sel limfosit berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan patologis. Secara fungsional, limfosit dikelompokkan menjadi dua, yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T dan B dibentuk dalam sumsum tulang. Limfosit T memiliki jangka waktu hidup lama dan berperan dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh sel. Limfosit B memiliki jangka waktu hidup yang bervariasi dan berperan dalam produksi antibodi (Guyton & Hall 2008). 2.3.6 Monosit Monosit merupakan sel leukosit yang berukuran besar dan terdapat sebanyak 0 sampai 5% dari jumlah leukosit normal (Mitruka & Rawnsley 1981). Monosit memiliki diameter 9-10 m , tetapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20 m atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda dan kromatin kurang padat (Gambar 4e). Retikulum endoplasma yang ditemui pada monosit sedikit. Monosit banyak ditemukan dalam darah dan terdapat di dalam darah selama beberapa jam (Guyton & Hall 2008). Monosit tergolong fagositik mononuklear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk ke dalam jaringan 13 penghubung, dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Di dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel dengan antigen (Samuelson 2007). a b c d e Gambar 4 Sel darah putih (leucocyte) dan sel darah merah (erytrocyte) ; (a) Neutrofil, (b) Eosinofil, (c) Basofil, (d) Limfosit, (e) Monosit 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2010 dan dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu pengambilan sampel, pembuatan preparat, dan identifikasi. 3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit Sampel ektoparasit diambil dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley. Pengambilan ektoparasit pada tikus ini dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan alkohol 70% dan pinset. Kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ini kemudian ditempelkan ke bagian tubuh tikus yang terdapat ektoparasit. Hal ini dimaksudkan supaya ektoparasit pada tubuh tikus mudah untuk didapatkan dan dikoleksi sedangkan pinset digunakan sebagai alat bantu untuk mengambil ektoparasit yang menempel pada badan tikus. Teknik pengambilan sampel dilakukan selama sepuluh menit dan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Sampel yang telah didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi alkohol 70%. Tiap-tiap sampel ektoparasit yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dengan kotoran yang terikut di dalam cawan petri dan dipindahkan ke dalam tabung koleksi yang juga berisi alkohol 70% dan diberi label. 3.3 Pembuatan Preparat Ektoparasit Pembuatan preparat dilakukan setelah sampel semua terkumpul. Spesimen yang berasal dari alkohol dikeluarkan dari botol, kemudian dicuci dengan menggunakan air dan spesimen direndam dengan menggunakan laktofenol dalam temperatur kamar selama kurang lebih tujuh hari. Setelah tujuh hari direndam 15 dengan larutan laktofenol, spesimen kemudian dicuci sebanyak tiga sampai empat kali sampai air tidak berkabut. Larutan Hoyer diteteskan kurang lebih satu sampai dua tetes di atas gelas objek yang akan dipakai. Lalu satu sampai dua spesimen diletakkan ke dalam larutan Hoyer dengan cara menenggelamkan ke dalam larutan. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan jangan sampai ada gelembung udara yang masuk. Namun, jika ada gelembung udara yang masuk maka gelas objek dipanaskan di atas api secara perlahan-lahan sehingga gelembung udara ini akan menghilang. Setelah itu, slide disimpan ke dalam slide warmer selama empat sampai lima hari atau di dalam temperatur kamar selama tujuh sampai sepuluh hari. Jika preparat tersebut sudah kering, pada sekeliling gelas penutup diberikan lapisan kuteks secara merata. 3.4 Identifikasi Ektoparasit Proses identifikasi sampel ektoparasit yang dikumpulkan dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop yang kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi ektoparasit Baker & Canin (1958). 3.5 Pengamatan Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit 3.5.1 Kondisi Umum Pengamatan kondisi umum tikus dilakukan selama sebelum diberikan perlakuan dengan melihat kondisi normal serta perilaku (behaviour) tikus tersebut. 3.5.2 Gambaran Darah Gambaran darah tikus yang terinfeksi ektoparasit dilihat diferensiasinya berdasarkan jumlah sel-sel darah putih, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Pengambilan darah dilakukan pada empat belas ekor tikus. Sebanyak satu sampai dua tetes darah diambil dari ekor tikus, kemudian diletakkan di gelas objek. Kemudian dilakukan pengulasan darah dengan mengunakan gelas objek lainnya sehingga terbentuk ulasan darah yang tipis. Lalu ulasan tersebut didiamkan selama beberapa menit agar kering dan siap untuk dilakukan pewarnaan. 16 Pewarnaan dilakukan dengan cara mencelupkan preparat ulasan darah ke dalam metil alkohol selama kurang lebih tiga sampai lima menit lalu dikeringkan. Setelah kering, preparat dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama kurang lebih tigah puluh menit kemudian dibilas dengan air yang mengalir dan dikeringkan. Hal ini bertujuan agar seluruh preparat dapat terwarnai dengan baik. Pengamatan terhadap preparat ulas darah dilakukan dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x. Metode yang digunakan adalah metode jalur sejajar, yaitu dengan menelusuri daerah yang terpilih pada lapang pandang yang digeser satu arah sehingga tidak terjadi perhitungan ulang. Setiap leukosit yang ditemukan dideferensiasi ke dalam kelompok basofil, eosinofil, neutrofil, monosit, dan limfosit sampai berjumlah 100 leukosit. 3.6 Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Jenis Ektoparasit Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps echidninus, kutu Polyplax spinulosa, dan larva caplak. 4.1.1 Laelaps echidninus L. echidninus merupakan tungau yang paling banyak ditemukan pada tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley. Hasil pengamatan dan pengukuran, menunjukkan bahwa jenis L. echidninus memiliki mata tunggal, berukuran satu mm, berwarna cokelat, berbentuk oval, dan terbagi menjadi dua bagian yaitu gnatosoma dan idiosoma (Gambar 5). Gnatosoma merupakan bagian anterior sedangkan idiosoma merupakan bagian posterior dari tubuh L. echidninus. Di bagian gnatosoma terdapat sepasang pedipalpus dan kelisera. Pedipalpus terletak di lateral dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan kelisera. Kelisera pada L. echidninus berukuran kecil namun sangat kuat. Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Abdomennya hampir ditutupi sepenuhnya seta yang terlihat menyebar rata, berukuran kecil, meruncing dan terdapat keping genital yang berbentuk konkaf. L. echidninus dewasa memiliki empat pasang kaki yang panjang, dan bentuk yang bulat sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang kaki. Stigmata terletak di bagian lateral di antara kaki ketiga dan keempat. Gambaran morfologi tersebut sesuai dengan Strandtmann & Mitchell (1963) yang menyatakan bahwa L. echindinus betina memiliki panjang rata-rata kurang lebih satu mm dengan bentuk yang oval hingga bulat dan berwarna merah kecokelatan. Pilus dentilis lurus dan apendikulat berada di puncak. Tritosternum lebih lebar dibandingkan dengan piringan pada bagian basis. Seta adanal memiliki panjang yang hampir sama dengan seta post natal yaitu 1/2-2/3. seta inner basal pada trokhanter I bervariasi, mulai dari yang paling panjang hingga yang paling pendek, dan terdapat seta yang kasar tetapi tidak terlihat begitu jelas. L. 18 echidninus jantan memiliki rata–rata panjang sekitar 880 . Seta koksa berbentuk filiform dan semua seta tarsal lonjong runcing. Peritreme terletak lebih ke depan mendekati koksa II. Seluruh seta anal terlihat tipis dengan bentuk meruncing. L. echidninus tergolong parasit yang biasa terdapat pada hewan laboratorium terutama tikus putih (R. norvegicus). L. echidninus termasuk ke dalam ordo Acariformes dan famili Laelaptidae. Foreyt (2001) menyatakan bahwa L. echidninus merupakan satu di antara jenis ektoparasit yang tersebar di wilayah tropis. Tungau tersebar diseluruh dunia (worldwide distribution) karena L. echidninus memiliki ukuran tubuh kecil, yaitu satu mm dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. i h g a b c d e f Gambar 5 Laelaps echidninus. (a) pedipalpus, (b) kelisera, (c) (d) (e) coxae 1-4, (f) keping anal, (g) seta, (h) anus, (i) kuku Berdasarkan klasifikasinya, L. echidninus tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acariformes, famili Laelaptidae, genus Laelaps, dan spesies Laelaps echidninus (Noble & Noble 1989). L. echidninus termasuk tungau yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di tubuh inangnya. Pada tikus putih (R. norvegicus) tungau ini biasanya ditemukan dalam bentuk dewasa dan nimfa serta beberapa di antaranya dapat ditemukan dalam bentuk larva. Siklus hidup tungau terdiri dari telur, prelarva, larva, protonimfa, deutronimfa, trinimfa dan dewasa (Mullen et al. 2009). Dalam 19 daur hidupnya, seekor tungau betina dapat menghasilkan ratusan hingga ribuan telur. Telur-telur berubah menjadi larva dan sebagian besar bertindak sebagai ektoparasit pada inangnya. L. echidninus betina merupakan tungau yang berkembang biak secara ovivar. Tungau betina akan memproduksi hexapod larva, terkadang larva tersebut parthenogenesis. Larva tungau tidak makan, namun berganti kulit (molting) sampai fase pertama dari nimfa pada 10-13 jam. Perubahan menjadi nimfa fase kedua berlangsung dalam kurun waktu hingga sebelas hari. Lalu dalam kurun waktu tiga sampai sembilan hari akan berubah menjadi fase dewasa. Jadi, seluruh siklus hidup memerlukan waktu kurang lebih dua puluh hari. Tungau betina dapat hidup selama dua sampai tiga bulan jika makan, namun hanya mampu bertahan kurang lebih satu minggu tanpa adanya makanan. L. echidninus umum ditemukan pada tikus liar. Inang alaminya adalah cotton rats dan tikus-tikus liar lainnya. Tikus laboratorium dan mencit juga peka terhadap tungau ini dan infestasi pada tikus laboratorium sering terjadi. Hal ini dikarenakan kondisi kandang tikus yang tidak bersih maupun infestasi melalui alas kandang yang terinfestasi oleh L. echidninus. Alas kandang tikus yang biasa digunakan dalam pemeliharaan tikus laboratorium adalah jerami maupun serbuk kayu yang dapat menjadi tempat berkembang biak L. echidninus. Tungau akan makan pada malam hari dengan cara merobek kulit inang kemudian menghisap darah dari inang tersebut melalui kulit yang telah dilukai. Selain menghisap darah, L. echidninus juga memakan sekresi lakrimal dan eksudat serous dari inangnya. Terkadang, tungau juga memakan larva mereka sendiri. Pada kondisi laboratorium, mereka tidak pernah terlihat melukai kulit dari inang mereka. Menurut Flynn & Baker (2007) L. echidninus merupakan inang alami dari Hepatozoon muris dan vektor Francisella tularensis, penyebab penyakit tularemia. L. echidninus dapat menyebabkan urtikaria pada tikus putih (Zhao 2002). 20 4.1.2 Polyplax spinulosa Polyplax spinulosa merupakan kutu penghisap yang termasuk ke dalam ordo Phthiraptera dan subordo Anoplura (sucking lice), famili Polyplacidae. Kutu ini biasa ditemukan pada tikus laboratorium (R. norvegicus) dan tikus liar. Menurut Burmeister (1839) P. spinulosa tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, famili Polyplacidae, genus Polyplax, dan spesies Polyplax spinulosa. A B a b c C d e f Gambar 6 Polyplax spinulosa. (A) Kepala, (B), Toraks, (C), Abdomen, (a) mulut, (b) antena, (c) kaki, (d) kuku, (e) segmen, (f) keping pleura Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. spinulosa memiliki ukuran tubuh mencapai 1,5 mm dengan pembagian struktur tubuh kepala, toraks, dan abdomen. P. spinulosa tidak memiliki mata. Kepala kutu berukuran kecil dan terdapat sepasang antena yang tersegmentasi menjadi tiga sampai lima bagian dan meruncing pada bagian ujung dari antena tersebut. Di bagian toraks terdapat tiga pasang kaki dengan kuku yang berbentuk seperti capit pada bagian ujung kaki. Abdomen P. spinulosa berukuran panjang dan menyerupai kerucut. Bagian abdomen memiliki tujuh keping lateral pada setiap sisi dan memiliki tujuh sampai tiga belas keping dorsal. Tubuh kutu berwarna kuning kecokelatan (Gambar 6). Suckow et al. (2006) menyatakan bahwa P. spinulosa merupakan jenis kutu yang biasa dijumpai pada tikus laboratorium (R. norvegicus). Kutu ini 21 memiliki tubuh yang ramping dan berwarna kuning kecoklatan dan memiliki panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Pada bagian kepala umumnya memiliki bentuk yang ramping dan lebih sempit dibandingkan toraks. Di bagian toraks terdapat keping ventral yang berbentuk pentagonal. Abdomen kutu dewasa berwarna kecokelatan dan memiliki sebelas segmen yang ditutupi oleh seta. P. spinulosa betina umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan yang memiliki bentuk tubuh lebih pendek dan lebar. Pada kutu betina, organ genitalnya memiliki dua pasang gonopod yang berfungsi untuk memandu, memanipulasi, dan memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut maupun kulit inang. Organ genital P. spinulosa jantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah dari abdomen. Kutu memiliki enam kaki dengan kuku yang digunakan untuk mencengkeram rambut inang (Mullen et al. 2009). Kutu termasuk serangga yang bermetamorfosis tidak sempurna, yaitu perkembangbiakkan yang memiliki fase hidup telur, nimfa, dan dewasa dimana fase nimfa menyerupai fase dewasa. P. spinulosa betina termasuk hewan ovivar. Sebagian besar telurnya diletakkan pada rambut inang. Telur-telur pada kutu memiliki operculum yang merupakan tempat untuk keluarnya larva, berbentuk kerucut dengan pori-pori di sepanjang operculum. Pada bagian atas dari operculum terdapat lubang kecil yang diselimuti oleh kutikula tipis berfungsi untuk tempat respirasi embrio yang sedang berkembang. Pada tahap nimfa, terdapat tiga nimfa instar dan nimfa ketiga akan berubah menjadi dewasa. Umumnya tahap ini berlangsung selama empat sampai lima belas hari, masingmasing nimfa instar selama tiga sampai delapan hari dan menjadi dewasa mencapai 35 hari. Pada kondisi yang optimal, kutu ini dapat menghasilkan sepuluh sampai dua belas generasi pertahunnya, namun jarang terjadi pada keadaan alaminya (Mullen et al. 2009). P. spinulosa termasuk ke dalam kutu dengan inang yang spesifik (host specific) dan biasanya tidak dapat hidup jauh dari inangnya lebih dari empat jam atau empat hari pada sebagian kasus. P. spinulosa menghabiskan seluruh hidupnya pada tubuh inangnya. Kutu ini dapat berkembang dengan baik pada koloni tikus laboratorium dan jika infestasi terjadi dalam jumlah yang banyak 22 maka dapat menyebabkan pendarahan yang serius pada tikus yang menjadi inangnya sehingga terjadi anemia serta dermatitis akibat gigitan dari P. spinulosa. Selain itu, P. spinulosa merupakan vektor dari Myoplasma haemomuris (Haemobartonella muris), Rickettsia typhii, Trypanosoma lewisi, Borellia duttoni, dan Brucella brucei (Suckow et al. 2006). 4.1.3 Larva Caplak Larva caplak merupakan jenis ektoparasit ketiga yang ditemukan pada tikus putih (R. norvegicus). Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva caplak yang ditemukan tergolong ke dalam ordo Parasitiformes dan famili Ixodidae. Hal ini ditunjukkan oleh adanya skutum pada larva tersebut yang merupakan ciri khas dari famili Ixodidae. Ixodidae memiliki tubuh yang berbentuk bulat telur dan mempunyai integumen. Panjang bagian dari mulut sama dengan bagian basis kapituli. Segmen kedua dari palpi dan basis kapituli tidak tumbuh ke arah lateral. Caplak jantan dan betina memiliki skutum, namun pada caplak jantan skutum menutupi seluruh tubuh bagian dorsal sedangkan pada betina hanya menutupi sepertiga bagian anterior dari tubuh. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki yang terdapat pada abdomen (Gambar 7). Caplak tergolong ke dalam famili Ixodidae (caplak keras) dan Argasidae (caplak lunak). Berdasarkan hasil penangkapan tikus di Korea, Kim et al. (2010) menemukan banyak larva caplak yang berasal dari famili Ixodidae pada tikus putih (R. norvegicus). Caplak dewasa memiliki daur hidup yang diawali dari bentuk telur yang diletakkan di tanah oleh induknya. Larva yang telah menetas akan segera mencari inang untuk ditempatinya agar dapat bertahan hidup. Larva akan berubah menjadi nimfa. Larva dan nimfa caplak menghisap darah inangnya untuk dapat melakukan perubahan siklus hingga pencapaian dewasanya. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki dan tidak berwarna. Larva caplak akan berbentuk bulat dan akan menjadi lebih besar ketika kenyang menghisap darah. Stadium larva pada caplak merupakan stadium parasitik. Infestasi larva caplak dapat menyebabkan anemia dan dermatitis. Selain itu, larva caplak memiliki peranan dalam penyebaran penyakit. Nijhof et al. (2007) menyatakan 23 bahwa Ixodidae merupakan vektor Anaplasma phagocytophilum dan Rickettsia helvetic pada tikus. Keberadaan larva caplak pada tikus laboratorium dapat terjadi karena faktor alas kandang yang digunakan terinfestasi oleh telur caplak. Pemeliharaan tikus laboratorium dikondisikan untuk dikandangkan sehingga larva yang ditemukan hanya sedikit. a b c e d Gambar 7 Larva Caplak Ixodidae. (a) palpi (b) kapitulum, (c) basis kapituli, (d) kaki, (e) skutum. 4.2 Sebaran Jenis-Jenis Ektoparasit pada Tikus Putih (R. norvegicus) Berdasarkan hasil penelitian, jenis ektoparasit yang paling dominan terdapat pada tubuh tikus spesies R. norvegicus adalah L. echidninus. Jenis-jenis ektoparasit lain yang berhasil diidentifikasi adalah P. spinulosa, dan larva caplak (Tabel 1). L. echidninus yang berhasil diidentifikasi pada empat belas ekor tikus (R. norvegicus) sebesar sebesar 92% (46 ekor). P. spinulosa teridentifikasi sebanyak 6% (3 ekor), dan larva caplak sebanyak 2% (1 ekor). 24 Tabel 1 Jenis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) No Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total % Jenis Ektoparasit (ekor) Laelaps Polyplax echidninus spinulosa 4 0 7 0 5 0 4 2 4 1 3 0 5 0 4 0 2 0 1 0 1 0 3 0 2 0 1 0 46 3 92% 6% Larva Caplak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2% Total 4 7 5 6 5 3 5 4 2 1 2 3 2 1 50 100% L. echidninus merupakan tungau yang dominan ditemukan pada tikus putih. Hal ini terkait dengan daur hidup L. echidninus yang memiliki daur hidup metamorfosis sempurna. Larva dewasa yang bertelur akan meletakkan telurtelurnya pada permukaan tanah maupun alas kandang. Telur-telur akan berubah menjadi larva, nimfa, dan dewasa pada tubuh inang. Siklus hidup L. echidninus dewasa tergolong lama karena dapat bertahan hidup selama kurang lebih dua sampai tiga bulan. 4.3 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Regio Hasil penelitian menunjukkan bahwa total ektoparasit yang berhasil dikoleksi dari beberapa regio tubuh empat belas ekor tikus (R. norvegicus) galur Sprague Dawley, seperti kepala, punggung, dan ekor adalah sebanyak 50 ekor (Tabel 2). Sebesar 44% (22 ekor) ektoparasit ditemukan di regio tubuh punggung tikus putih (R. norvegicus), bagian pangkal ekor sebanyak 32% (16 ekor), dan bagian kepala sebanyak 24% (12 ekor). Hasil ini menunjukkan bahwa regio yang paling dominan ditemukan ektoparasit tersebut adalah pada bagian punggung tikus putih (R. norvegicus). Hal ini terjadi karena pada bagian punggung merupakan bagian dari tubuh yang paling jarang terjadi pergerakan, pergesekan dengan kandang dan tikus lainnya sehingga pada daerah tersebut banyak 25 ditemukan ektoparasit. Selain itu, pada daerah punggung merupakan daerah yang nyaman bagi kehidupan ektoparasit karena pada lokasi ini memiliki kelenturan kulit yang cukup baik sehingga memudahkan ektoparasit tersebut mengambil makanan. Tabel 2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) berdasarkan regio No Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total % 4.4 Jumlah Ektoparasit pada beberapa Regio (ekor) Kepala punggung Pangkal Ekor 0 4 0 4 3 0 0 2 3 0 4 1 0 2 1 2 1 0 3 0 2 1 0 2 0 1 1 0 0 3 1 1 0 1 2 0 0 0 2 0 2 1 12 22 16 24 44 32 Total 4 7 5 5 3 3 5 3 2 3 2 3 2 3 50 100 Gambaran Umum Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, gigitan ektoparasit dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dari tikus putih (R. norvegicus) yaitu tikus mengalami kegelisahan, seringnya menggigit bagian dari tubuhnya, kerontokan rambut, dan lebih sering bergerak. Banyaknya jumlah ektoparasit yang menginfestasi tikus mengakibatkan terganggunya kondisi fisiologis tikus dan dermatitis. Zhao (2002) menyatakan bahwa infestasi ektoparasit dapat menyebabkan urtikaria, kerusakan pada kulit, dan anaphylaxis. Perubahan fisologis tersebut dapat mengakibatkan tikus mengalami penurunan nafsu makan, stamina, dan tingkat kesehatan tikus sehingga penggunaan tikus yang terinfestasi ektoparasit akan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu, ektoparasit dapat sebagai reservoir beberapa parasit lain, seperti Coxiella tsutsugamushi, dan leptospira interrogans (Wei et al. 2010). burnetii, O. 26 4.5 Gambaran Sel Darah Putih (Leucocyte) Tikus Putih (R. norvegicus) Gambaran sel darah putih memberikan informasi mengenai reaksi sel darah putih terhadap infestasi ektoparasit pada tubuh tikus. Tabel 3 menunjukkan perbandingan persentase diferensiasi sel darah putih pada jumlah normal dengan jumlah yang didapatkan pada penelitian. Tabel 3 Persentase gambaran sel darah putih tikus putih (R. norvegicus) Sel leukosit Normal (%) Hasil penelitian (%) Limfosit 68-84 74-95 Monosit 0-4 0-13 Neutrofil 12-37 0-8 Eosinofil 0-7 0-7 Basofil 0-3 0-5 Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah limfosit yang didapatkan adalah 74-95%. Jumlah limfosit yang terdapat pada tikus ini lebih besar dibandingkan dengan nilai normal, yaitu berkisar antara 68-84%. Hal ini kemungkinan akibat infestasi ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) terjadi dalam waktu yang cukup lama sehingga tubuh tikus membentuk suatu sistem pertahanan yang spesifik. Zat asing yang berada pada tubuh tikus putih (R. norvegicus) dikenal oleh tubuh sebagai suatu antigen. Antigen yang terdapat pada tubuh tikus putih ini akan menginduksi sel T helper yang kemudian mensekresikan limfokin untuk mengaktifkan limfosit B spesifik. Limfosit B akan berdiferensiasi membentuk plasmablas yang merupakan prekusor dari sel plasma. Sel plasma tersebut nantinya akan berproliferasi dan menghasilkan antibodi. Pada penelitian ini, jumlah monosit yang terkandung di dalam darah tikus putih (R. norvegicus) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah normal, yaitu berada dalam kisaran 0-13%. Hal ini berkaitan dengan monosit yang memiliki peranan dalam pertahanan lokal spesifik. Monosit merupakan sel darah yang secara bebas dapat bermigrasi ke dalam jaringan yang meradang, terutama jika 27 terjadi inflamasi kronik. Samuelson (2007) menyatakan bahwa di dalam jaringan, monosit (makrofag) bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel dengan antigen. Kisaran eosinofil yang didapatkan dari hasil pengamatan preparat darah tikus putih (R. norvegicus) menunjukkan kisaran yang sama dengan angka normal eosinofil dalam darah tikus, yaitu sebesar 0-7%. Eosinofil merupakan sel yang sering diproduksi dalam jumlah besar pada tubuh yang terinfeksi parasit, dan akan melakukan migrasi besar-besaran ke lokasi yang terinfeksi parasit. Namun, dalam hal ini eosinofil bekerja hanya beberapa saat setelah paparan atau gigitan ektoparasit sehingga jumlah eosinofil dalam darah tidak begitu besar sedangkan basofil merupakan sel darah putih granuler yang hanya berjumlah sedikit pada tubuh mamalia, termasuk tikus putih (R. norvegicus). Neutrofil yang didapatkan di dalam darah tikus berkisar di antara 0-8%. Jumlah ini cukup rendah dibandingkan dengan kisaran normal neutrofil dalam darah, yaitu 9-34%. Hal ini terjadi akibat infestasi ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) sudah berlangsung cukup lama sedangkan neutrofil merupakan sel pertahanan pertama pada respon primer dan pembentukan antibodi pada beberapa jam setelah terjadi paparan pertama oleh suatu antigen. 4.6 Pengendalian Ektoparasit pada Tikus Putih (R. norvegicus) Pemeliharaan tikus dengan baik merupakan suatu tindakan pengendalian dan pencegahan yang dapat dilakukan agar tikus putih (R. norvegicus) sebagai hewan coba tidak terinfestasi ektoparasit. Pemeliharaan tikus putih sebaiknya diletakkan pada kandang yang cukup. Sebanyak empat sampai lima ekor tikus putih merupakan jumlah yang maksimal untuk diletakkan pada sebuah kandang. Selain itu, tikus putih dapat juga dilakukan dengan menempatkan sebanyak satu tikus pada satu kandang. Ukuran kandang yang dianjurkan 900 cm 2 . Kandang tersebut harus dibuat dari bahan yang baik, cukup kuat, mudah dibongkar, mudah dibersihkan, mudah untuk dipasang lagi. Kandang juga harus rutin untuk dibersihkan, yaitu seminggu dua kali. Pembersihan kandang dapat dilakukan 28 dengan cara pencucian dan pensterilan dengan bahan kimia pada suhu maksimal 120C. Alas kandang yang digunakan juga diganti sesering mungkin. Alas kandang dapat menggunakan serbuk kayu maupun jerami yang terlebih dahulu dijemur dibawah sinar matahari. Tikus putih sebaiknya dirawat dan dikandangkan pada suhu yang optimal, yaitu pada suhu 20-25C (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Pengendalian tikus putih (R. norvegicus) yang telah terinfestasi oleh ektoparasit dalam jumlah banyak dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida golongan piretroid yang saat ini banyak digunakan seperti metoflutrin, dialetrin, dan lain-lain. Penggunaan insektisida pada hewan coba harus memperhatikan aturan pakai sehingga mampu mengendalikan ektoparasit pada tikus dengan baik dan mencegah terjadinya resistensi pada ektoparasit. Selain itu, pemilihan insektisida harus tepat. Pemeliharaan tikus putih (R. norvegicus) sebagai hewan coba perlu diawasi oleh dokter hewan sehingga kesehatan hewan coba tetap terjaga. 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley sebagai hewan percobaan, ektoparasit yang berhasil ditemukan adalah L. echidninus, P. spinulosa, dan larva caplak. Sebagian besar ektoparasit ditemukan di regio punggung tikus (44%), pangkal ekor (32%), dan bagian kepala (24%). Gambaran umum mengenai perilaku tikus yang terinfestasi ektoparasit adalah gelisah, sering menggigit dan menggesek-gesek tubuhnya sendiri. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gambaran diferensiasi sel darah putih pada tikus tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit. Namun demikian, gambaran pada neutrofil, eosinofil, dan basofil tidak mengalami perubahan yang signifikan. 5.2 Saran Informasi mengenai ektoparasit yang terdapat pada hewan coba perlu disebarluaskan ke masyarakat dan instansi pengguna agar dapat diberikan penanganan dan pencegahan yang tepat. DAFTAR PUSTAKA Anna P, Maria A, Paulos T, Apostolos M, Ioannis I, Dimosthenis C, Nikos C, Pheidias L, Andreas P, Ioanna M, & Yannis T. 2010. Rats as indicators of the presence and dispersal of six zoonotic microbial agents in Cyprus, an island ecosystem: a seroepidemiological study. Transc. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. 104: 733–739. Baker EW & Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The Institute of Arcalogy, Departemen Zoology. Bowman DD, Lynn RC, Eberhard ML, & Alcaraz A. 2003. Parasitology for Veterinarians 8th ed. Philadelphia: Wb Saunders Company. Caroline LS, Chu NQ, Yu S, Nish SA, Laufer TM & Medzhitoy R. 2009. Basophils function as antigen-presenting cells for an allergen-induced T helper type 2 response. Nat. Immunol. 10 : 713–720. Coutinho Z & Linardi M. 2007. Can Fleas from Dogs Infected with Canine Visceral Leishmaniasis Transfer The Infection to Other Mamals?. Vet. Parasitol. 147:320-325. Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Sumatera Utara: Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology 5th ed. America: Iowa State University Press. Flynn RJ. 1973. Parasites of Laboratory Animals. America: The Iowa State University Press. Flynn RJ & Baker DG. 2007. Flynn's parasites of laboratory animals. America: American College of Laboratory Animal Medicine. Gage K & Kosoy M. 2005. Natural History of Plague: Perspectives from more than a century of research. Annu. Rev. Entomol. 50: 505-528. Golub N & Nokkala S. 2004. Brief report Chromosome numbers of two sucking louse species (Insecta, Phthiraptera, Anoplura). Hereditas 141: 94-96. Guyton AC & Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11st ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Inglis JK. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology. USA : Pergamen Press. 31 Jimenez MC, Torres BM, & Aguilar RA. 1994. Experimental transmission of Trypanosoma cruzi by Ornithonyssus bacoti. Vet. Mexico, 25 : 61-63. Kia EB, Moghddas-Sani H, Hassanpoor H, Vatandoost H, Zahabiun H, Akhavan AA, Hanafi-Bojd AA, & Telmadarraiy Z. 2009. Ectoparasites of Rodents Captured in Bandar Abbas, Southern Iran. Iranian J. Arthropod. Brn. Dis. 3(2) : 44-49. Kim H.C, Chong ST, Sames WJ, Nunn PT, Wolf SP, Robbins RG & Klein TA. 2010. Tick surveillance of small mammals captured in Gyeonggi and Gangwon Provinces, Republic of Korea, 2004–2008. Syst. App. Acarol. J. 15 :100–108. Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. Prof.Dr. Gatot Ashadi. Penerjemah: UGM Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: The Book of Parasitology for Veterinary. Mitruka BM & Rawnsley HM. 1981. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans 2nd Ed. New York : Masson Publishing USA Inc. Motevalli HF, Gholami SH, Sharifi M, Mobedi I, Sobhani I, Sedaghat MM, & Najafpour AA. 2002. Study of Rodents ectoparasites in urban areas of Mazandaran Province in 1997-1999. Iranian J. Mazandaran. Uni. Med. Sci. 27(13):72-77. Mullen G, Mullen GR, & Durden L. 2009. Medical and Veterinary Entomology. London: Academic Press. Myres P & Armitage D. 2004. Rattus novergicus Animal Diversiy. http://animaldiversity.umuz.umich.edu/site/accounts/information/Rattusn overgicus.html. [19 Agustus 2010]. Nahm J & Corwin RM. 1997. Arthropoda. http://www.missouri.edu.html [19 April 2011]. Nijhof AM, Bodaan C, Postigo M, Nieuwenhuijs H, Opsteegh M, Franssen L, Jebbink F, & Jongejan F. 2007. Ticks and associated pathogens collected from domestic animals in the Netherlands. Vector-Borne Zoonotic Dis. 7: 585-595 Noble ER & Noble GA. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Widiarto, penerj UGM Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites. Omudu EA, & Ati TT. 2010. A Survey of Rats Trapped in Residential Apartments and Their Ectoparasites in Makurdi, Nigeria. Res. J. Agric. & Biol. Sci, 6(2): 144-149. 32 Pagad S. 2011. Rattus norvegicus (mammal). http://www.issg.org/database. [8 Juni 2011]. Priyambodo S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Jakarata : PT Swadaya. Robinson R. 1979. Taxonomy and Genetics. In Baker HJ, Lindsey JR, dan Weisbroth. The Laboratory Rat. London : Academic Press. Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders Elsevier. Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures. United States of America: Mosby, Inc. Smith JB & Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press. Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domestical Animal. London: Balliere Tindall. Strandtmann RW & Mitchell CJ. 1963. The Laelaptine Mites of The Echinolaelaps Complex from The Southwest Pacific Area (Acarina : Mesostigmata). Pac. Insect. 5 (3) : 541-576. Su FC, Li FG, Qu SZ, Yang JL, Zhao SD, & Zhang XK. 1989. Medical Animals in Yunnan Province. China: Yunnan Science & Technology Press. Suckow MA, Steven HW, & Craig LF. 2006. The laboratory rat. London: Academic Press. Telmadarrairy Z, Vatandoost H, Mohammadi S, Akkhavan AA, Abai MR, Rafinejad J, Kia EB, Faghih NF, Jedari M, & Aboulhasani M. 2007. Determination of Rodent Ectoparasite Fauna in Sarpole Zahab District, Kermanshah Province, Iran 2004-2005. Iranian J. Arthropod. Brn. Dis.1(1): 58-62. Thrall MA, Baker DC, Terry WC, DeNicola D, Fettman MJ, Lassen ED, Rebar A, & Weiser G. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemisry. USA: Lippincott Wiliams & Wilkins. Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, & Jennings FW. 1987. Veterinary Parasitology. New York: Churchill Livingstone Inc. Wei L, Xinwei W, Chengmin W, & Hongxuan H. 2010. A survey of ectoparasites from wild rodents and Anourosorex squamipes in Sichuan Province, Southwest China. J. Ecol. Nat. Env. 2(8) : 160-166. 33 Zhao H. 2002. Two cases of papular urticaria caused by Laelaps echidninus. J. Clin. Exp. Med. 1: 255. LAMPIRAN 34 Lampiran 1 Perbandingan jumlah sel darah putih Jenis - jenis Leukosit (%) No Tikus Limfosit Monosit basofil Eosinofil Neutrofil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 95 81 89 89 85 95 74 90 91 81 94 91 87 94 2 9 4 6 1 0 13 0 0 5 1 0 2 0 1 0 4 5 5 4 3 2 2 0 4 3 2 0 2 2 3 0 5 1 3 5 5 7 1 4 7 6 0 8 0 0 4 0 7 3 2 7 0 2 2 0 Jenis Ektoparasit (ekor) L. P. Larva echidninus spinulosa Caplak 4 0 0 7 0 0 5 0 0 4 2 0 4 1 0 3 0 0 5 0 0 4 0 0 2 0 0 1 0 0 1 0 1 3 0 0 2 0 0 1 0 0