2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Tikus putih (R. norvegicus) Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal). Tikus putih (R. norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat (Sirois 2005). Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura (Medway 1983). Faktor yang mempengaruhi penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih (R. norvegicus) yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika populasi tikus adalah air minum dan sarang. Air merupakan kebutuhan penting bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk melahirkan, membesarkan anak-anaknya, menyimpan pakan, berlindung dari lingkungan yang kurang menguntungkan, dan tempat untuk beristirahat. Cuaca tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah (1) tumbuhan atau hewan kecil sebagai sumber pakan, (2) patogen (penyebab penyakit) dari golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda, protozoa, dan sebagainya, (3) predator dari golongan reptilia, aves, dan mamalia, (4) tikus sebagai kompetitor, khususnya pada populasi tinggi, dan (5) manusia yang merupakan musuh utama bagi tikus (Priyambodo 1995). 2.1.1 Klasifikasi Tikus Putih (R. norvegicus) Tikus digolongkan ke dalam Ordo Rodentia (hewan pengerat), Famili Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Menurut Priyambodo (1995) 4 Ordo Rodentia merupakan ordo terbesar dari kelas mamalia karena memiliki jumlah spesies (40%) dari 5.000 spesies di seluruh mamalia. Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres & Armitage (2004). Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Sub-Famili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Galur/Strain : Sprague Dawley Tikus putih merupakan strain albino dari R. norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley (Inglis 1980). Galur ini berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin. 2.1.2 Ciri Morfologi Tikus Putih (R. norvegicus) Tikus putih (R. norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat, termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram (Sirois 2005). Tikus dapat mendengar hingga suara ultrasonik dengan rentang pendengaran 70 dB yaitu 250 Hz-70 kHz dan rentang yang paling sensitif berkisar 5 antara 8-32 kHz. Suara ultrasonik ini sangat penting sebagai alat berkomunikasi antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson 1979). Tikus putih (R. norvegicus) tersebar luas di beberapa tipe habitat, namun tikus putih lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan tempattempat yang lembab (Pagad 2011). 2.1.3 Biologi dan Perilaku Tikus Putih (R. norvegicus) Tikus termasuk binatang pemakan segala makanan (omnivora). Walaupun demikian, tikus cenderung untuk memilih biji-bijian (serealia) seperti jagung, padi, dan gandum. Air sebagai sumber minuman dapat diambil dari air bebas atau dapat diperoleh dari pakan yang banyak mengandung air. Kebutuhan air bagi tikus tergantung dari suhu, lingkungan, aktivitas, umur, dan jenis makanan. Kebutuhan air berkurang, jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air. Pada umumnya tikus makan secara teratur pada tempat tertentu. Tikus putih (R. norvegicus) biasanya membuat sarang pada tempat-tempat yang berdekatan dengan sumber makanan dan air. Tikus bermigrasi jika terjadi kekurangan makanan pada habitat awal yang ditempati (Priyambodo 1995). Menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988) tikus memiliki masa kawin pada saat berumur delapan sampai sembilan minggu. Tikus merupakan hewan poliestrus dan berkembang biak sepanjang tahun. Periode estrus terjadi selama dua belas jam dan lebih sering terjadi pada malam hari dibandingkan dengan siang hari. Kelahiran anak pada tikus putih dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi iklim dan cuaca yang optimal (khususnya suhu), pakan yang melimpah, sarang yang baik, umur, dan kondisi induk yang optimal. 6 2.2 Jenis Ektoparasit Pengganggu pada Tikus Putih (R. norvegicus) Penyakit yang dapat diderita oleh tikus salah satunya diakibatkan oleh parasit luar. Ektoparasit yang dapat menginfestasi pada tikus ini meliputi Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Bdellonyssus bacoti, Notoedres cati, Otodectes cyanotis, Echidnophaga gallinacea, dan Xenopsylla cheopis (Sirois 2005). Polyplax spinulosa merupakan kutu yang termasuk dalam ordo Phthiraptera dan famili polyplacidae. Kutu ini memiliki ukuran kecil, yaitu berukuran mulai 1-10 mm, bermetamorfosis tak sempurna (hemimetabola), tipe mulut untuk menusuk dan menghisap, serta tidak memiliki sayap. Kutu dapat menyebabkan hewan tidak bisa tidur (gatal-gatal), kehilangan berat badan, produksi berkurang, dan anemia (Levine 1990). Selain itu, kutu juga dapat sebagai vektor penyebaran penyakit pada tikus. Penyebaran penyakit ini dapat ditularkan melalui gigitan dari kutu yang membawa virus, bakteri, rikketsia, dan penyakit parasitik lainnya (Omudu & Ati 2010). Laelaps echidninus merupakan jenis tungau yang biasa terdapat pada tikus (Gambar 1). Tungau ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan aktif menghisap darah. L. echidninus sendiri merupakan vektor alami dari Hepatozoon muris dan dapat juga mentransmisikan agen tularemia (Francisella tularensis) di antara rodentia lain. Infestasi tungau pada tubuh tikus dapat menyebabkan iritasi dan kegatalan. L. echidninus 1973). menyebabkan lesio pada telapak kaki tikus (Flynn 7 a b c d e f Gambar 1 Morfologi Laelaps echidninus (ventral). (a) Kelisera, (b) Pedipalpus, (c) Peritreme, (d) Anus, (e) Keping anal, (f) Seta. Bdellonyssus bacoti atau biasa dikenal dengan Ornithonyssus bacoti, termasuk ke dalam famili Macronyssidae dan merupakan tungau yang biasa hidup pada tikus. Bdellonyssus bacoti dapat menyebabkan dermatitis dan menularkan penyakit tifus pada manusia. Tungau ini memiliki kelisera yang lebih kuat dari pada Dermanyssus sp. dan lebih mudah terlihat di bawah mikroskop. Morfologi lain dari tungau yaitu memiliki satu keping dorsal dan anus terletak di tengah anterior keping anal. B. bacoti merupakan inang antara dari Litmosoides carinii (Bowman et al. 2003). Selain itu, B. bacoti sebagai vektor mekanik Trypanosoma cruzi (Jimenez et al. 1994). Notoedres cati merupakan parasit pada kucing, tikus, kelinci, dan manusia (bersifat sementara). Tungau ini memiliki ukuran dewasa mencapai 230-275 m dan memiliki empat kaki yang pendek (Gambar 2). Bagian dorsal tubuh tungau terdapat sisik, namun tidak terdapat duri. Anus N. cati terletak pada bagian dorsal antara kaki ketiga dan keempat (Flynn 1973). Tungau ini menginfestasi kucing, dan dapat berpindah ke hewan lain atau manusia, tetapi hanya dapat bertahan hidup tidak lebih dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena tungau memiliki induk semang (inang) yang spesifik (Nahm & Corwin 1997). Peradangan dan 8 keratinisasi pada kulit menyebabkan kulit menjadi tebal dan berkerut (Soulsby 1982). a b c d Gambar 2 Morfologi Notoedres cati. (a) Alat penghisap, (b) sisik, (c) anus, (d) Flagela (Urquhart et al. 1987). Otodectes cynotis merupakan tungau yang termasuk ke dalam famili Psoroptidae. Tubuh O. cynotis memiliki tarsi yang pendek, pedikulus pertama dan kedua tidak memiliki segmen pada betina, serta di seluruh pedikulus pada jantan. Tungau ini menginfestasi telinga bagian luar dan kulit anjing, kucing, musang, dan rubah yang dapat menyebabkan iritasi. Karakteristik dari penyakit yang ditimbulkan oleh O. cynotis adalah produk serumen yang berwarna gelap (Bowman et al. 2003). Echidnophaga gallinacea (sticktight flea), umumnya terdapat pada ayam namun dapat menyerang hewan domestik. Pinjal ini biasanya menyerang pada bagian kepala, terutama pial pada ayam. Beberapa hewan yang dapat dijadikan inang oleh E. gallinacea antara lain burung-burung lokal (kalkun, burung puyuh), tikus, anjing, kucing, dan terkadang manusia. Bentuk dewasa dari pinjal ini dapat dikenali dari bentuk kepala dan tidak adanya pronatal serta genal ktenidia (Mullen et al. 2009). 9 Xenopsylla cheopis merupakan genus pinjal yang terdapat pada tikus serta dapat menyerang ke manusia. Ukuran tubuh pinjal kurang lebih 2,5 mm. Tubuh pinjal terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen. Bagian kepala dan toraks memiliki dua segmen dan abdomen memiliki delapan segmen. X. Cheopis memiliki tiga pasang kaki (Gambar 3). Kaki belakang pinjal memiliki tungkai yang panjang sehingga pinjal dapat melompat jauh. Ciri morfologi yang membedakan X. cheopis dengan genus lainnya adalah tidak memiliki rambut dan bentuk kepala yang lebih bulat. Pinjal ini berperan penting dalam penyebaran penyakit pes di Indonesia maupun di dunia (Gage & Kosoy 2005). (a) (b) Gambar 3 Xenopsylla cheopis; (a) jantan; (b) betina 2.3.1 Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih pada Tikus Putih (R. norvegicus) Darah merupakan jaringan sirkulasi yang menyalurkan oksigen dan nutrisi serta membuang karbondioksida dan beberapa materi yang tidak diperlukan oleh tubuh melalui pertukaran gas, aktivitas seluler, dan pertahanan tubuh. Darah tersusun dari komponen-komponen darah, yaitu sel darah dan plasma darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (red blood cell), sel darah putih (white blood cell), dan keping darah (platelete) (Samuelson 2007). 10 2.3.1 Sel Darah Putih (Leucocyte) Sel darah putih dikenal sebagai leukosit merupakan unit pertahanan tubuh yang dibentuk di sumsum tulang belakang dan sebagian dibentuk di jaringan limfoid. Granulosit dan monosit merupakan sel darah putih yang dibentuk di sumsum tulang belakang, sedangkan limfosit dan sel-sel plasma dibentuk di jaringan limfoid. Granulosit merupakan sel-sel polimorfonuklear yang memiliki granular, seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit memiliki masa hidup empat sampai delapan jam dalam sirkulasi darah dan empat sampai lima hari berikutnya pada jaringan yang membutuhkan. Namun, pada infeksi yang berat, masa hidup keseluruhan dapat berkurang lebih cepat karena granulosit bekerja lebih cepat pada daerah yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk ke dalam proses ketika sel-sel tersebut dimusnahkan. Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam dalam darah, sedangkan limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung dari kebutuhan tubuh terhadap limfosit (Guyton & Hall 2008) Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral. Neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit berfungsi sebagai pelindung tubuh terhadap zat asing dengan cara fagositosis (seluler). Fungsi limfosit dan sel plasma berkaitan dengan sistem imun (humoral). Diferensiasi sel darah putih dapat menjadi acuan untuk mengetahui sistem kekebalan tubuh pada tikus jika terserang suatu penyakit (Guyton & Hall 2008) 2.3.2 Neutrofil Neutrofil merupakan sel darah putih yang tergolong ke dalam sel polimorfonuklear (PMN). Neutrofil dibentuk dalam sumsum tulang dan dikeluarkan dalam sistem sirkulasi. Jumlah neutrofil normal berkisar antara 1237% dari leukosit yang beredar, garis tengah sekitar 12 m , dan terdapat dua sampai lima segmen (Gambar 4a). Sitoplasma banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0,3-0,8 m ) dan berwarna merah muda (Thrall et al. 2004). 11 Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria, aparatus golgi rudimenter, dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit partikel kecil dengan aktif. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Effendi 2003). 2.3.3 Eosinofil Eosinofil merupakan sel darah putih yang termasuk ke dalam granulosit. Jumlah eosinofil hanya 0-6% dari leukosit dan mempunyai garis tengah 9 m , sedikit lebih kecil dari neutrofil (Mitruka & Rawnsley 1981). Inti memiliki dua segmen, retikulum endoplasma, mitokondria, dan apparatus Golgi kurang berkembang (Gambar 4b). Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid dan mampu melakukan fagositosis terhadap komplek antigen dan antibodi (Effendi 2003). Pada infeksi parasit, eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi. Selain itu, eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi alergi dan diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2008). 2.3.4 Basofil Basofil merupakan sel darah putih yang memiliki jumlah kecil di dalam darah tikus. Jumlah basofil di dalam darah berkisar antara 0-3% (Thrall et al. 2004). Basofil umumnya berbentuk seperti huruf S (Gambar 4c). Sitoplasma basofil berisi granul yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granul basofil memiliki bentuk ireguler berwarna metakromatik. Basofil merupakan sel utama yang paling banyak ditemukan pada tempat peradangan atau alergi (Caroline et al. 2009). Basofil mengandung heparin dan memiliki protein reseptor pada bagian 12 permukaan yang dapat mengikat IgE (Imunoglobulin yang berperan dalam pertahanan terhadap alergi) (Guyton & Hall 2008). 2.3.5 Limfosit Limfosit merupakan sel yang sferis, memiliki garis tengah 6-8 m , dengan jumlah 63-84% dari leukosit darah (Mitruka & Rawnsley 1981). Secara normal, sel limfosit mempunyai inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, inti kromatin padat, anak inti baru terlihat dengan menggunakan mikroskop elektron (Gambar 4d). Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat sedikit, sedikit basofilik, dan mengandung granula-granula azurofilik. Limfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12 m . Ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Sel limfosit berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan patologis. Secara fungsional, limfosit dikelompokkan menjadi dua, yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T dan B dibentuk dalam sumsum tulang. Limfosit T memiliki jangka waktu hidup lama dan berperan dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh sel. Limfosit B memiliki jangka waktu hidup yang bervariasi dan berperan dalam produksi antibodi (Guyton & Hall 2008). 2.3.6 Monosit Monosit merupakan sel leukosit yang berukuran besar dan terdapat sebanyak 0 sampai 5% dari jumlah leukosit normal (Mitruka & Rawnsley 1981). Monosit memiliki diameter 9-10 m , tetapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20 m atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda dan kromatin kurang padat (Gambar 4e). Retikulum endoplasma yang ditemui pada monosit sedikit. Monosit banyak ditemukan dalam darah dan terdapat di dalam darah selama beberapa jam (Guyton & Hall 2008). Monosit tergolong fagositik mononuklear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk ke dalam jaringan 13 penghubung, dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Di dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel dengan antigen (Samuelson 2007). a b c d e Gambar 4 Sel darah putih (leucocyte) dan sel darah merah (erytrocyte) ; (a) Neutrofil, (b) Eosinofil, (c) Basofil, (d) Limfosit, (e) Monosit