i PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3 (3-66 TAHUN) DI PAUD MENUR RW. 09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) OLEH : SUMARYANI 109104000030 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M i ii ii iii L iii iv iv v RIWAYAT HIDUP Nama : Sumaryani Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta 27 Juni 1991 Status Pernikahan : Belum menikah Alamat : Jl. Cipinang Lontar II Rt.007/Rw.009 No.15 Kelurahan Cipinang Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur 13240 Telepon : 085695348117 Email : [email protected] Riwayat Pendidikan 1. TK Bhayangkari 16 [1996-1997] 2. SD Negeri Cipinang 05 Jakarta Timur [1997-2003] 3. SMP Negeri 92 Jakarta Timur [2003-2006] 4. SMA Negeri 31 Jakarta Timur [2006-2009] Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop: 1. Peserta Nursing Camp Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan (ILMIKI) Wilayah III (DKI Jakarta Jawa Barat dan Banten) “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan Dalam Menghadapi Tantangan Global” tahun 2011 2. Seminar Kesehatan Masyarakat “Thinking Before Eating berlebihankah konsumsi MSG anda” tahun 2011 3. Seminar “Role of Bioinformatics in Biological Sequence Analysis and Genomic Epidemiology” tahun 2012 4. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012 5. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Perawat: Meningkatkan Peran dan Mutu Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan Global” tahun 2012 v vi 6. Seminar Nasional Keperawatan “NANDA, NIC, NOC: Concept, Implementation and Innovation for Better Quality of Nursing Service in Indonesia” tahun 2013 vi vii LEMBAR PERSEMBAHAN Skripsi bagaikan kumpulan ilmu, keringat, jerih payah, dan suka duka selama 4 tahun menjalani bangku perkuliahan. Lembar ini saya dedikasikan untuk mereka yang selalu sedia membantu dan menyemangati. Terima kasih sedalam-dalamnya saya ucapkan kepada: Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan rahmat serta karuniaNya. Kedua orang tua tercinta yang telah senantiasa memberikan cinta, kasih sayang, bantuan secara langsung maupun tidak langsung dan selalu mendoakan untuk keberhasilan saya. Kakak-kakak saya tersayang (Sumarni Tuti Mardiah Kiah Marliah dan Ahmad Abdul Rojak) yang selalu memberi tawa dan celotehan-celotehan yang memotivasi saya untuk segara menyelesaikan tugas akhir saya ini. Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan keceriaan selama 4 tahun belajar bersama (Anggi Arum Ayu Inggar Sheshe Sumi Tiwi Winda dan Yanti) yang tak pernah luput canda, tawa, bantuan, semangat, dan doa yang selalu diberikan kepada saya. Sahabat group ONE (Adelia Nining Qoys Rusmanto dan Ummi) yang telah bersama-sama untuk saling membantu medukung memotivasi dan bertukar pikiran dalam menyelasaikan tugas akhir ini. Teman-teman seperjuang lainnya (Desi Sri Siska Ami Dewi Cicy) yang telah bersama melalui perjalanan hingga akhir penyelesaian tugas akhir ini. vii viii PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi Januari 2013 Sumaryani NIM: 109104000030 Pengalaman Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Prasekolah (3 Hingga 6 Tahun) di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta timur x + 87 halaman + 4 lampiran ABSTRAK Perilaku seksual yang ditunjukan anak khususnya usia prasekolah dalam memuaskan rasa keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi orang tua khususnya ibu dalam menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks. Masalahnya seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada anak usia 3 hingga 6 tahun apalagi untuk mengajarkannya kepada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun). Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif pengambilan data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dipilih dengan teknik purposive sampling. Informan pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia 3 hingga 6 tahun yang bersekolah di PAUD Menur. Data dianalisis menggunakan metode Colaizzi. Penelitian ini mengidentifikasikan 5 tema yaitu: (1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak (2)Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3)Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks (4)Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah dan (5)Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu merupakan pemberi pendidikan seks utama pada anak. Peran ayah tidak terlihat. Ibu percaya pentingnya pendidikan untuk anak namun tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup baik mengenai pendidikan seks khususnya pada anak usia prasekolah. Orang tua perlu meningkatkan pemahaman serta pengetahuannya mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah. Penambahan program pendidikan seks di PAUD akan membantu orang tua dan anak terkait perkembangan seksual anak. Kata kunci: ibu pendidikan seks anak prasekolah Daftar Bacaan: 48 (1998 - 2013) viii ix NURSING SCIENCE PROGRAM FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA Undergraduate Thesis January 2014 Sumaryani NIM : 109104000030 Mothers Experience In Providing Sex Education In Preschooler ( 3 to 6 years ) in PAUD Menur RW.09 Cipinang Village East Jakarta xii + 87 pages + 4 appendixes ABSTRACT Sexual behavior is shown in the preschool age children especially satisfying curiosity related to sexual exploitation is an indication of parents, especially mothers in interpreting child's curiosity as a marker indicated that the child is ready to be given sex education. The problem of sex still considered taboo, especially in children aged 3 to 6 years let alone teach it to children. This study aims to determine the mother's experience in providing sex education to preschool children (3 to 6 years). The method used is a qualitative research study design descriptive phenomenological research data collection is done by in-depth interviews. Informants were selected by purposive sampling technique. Informants in this study were mothers of children aged 3 to 6 years old who attend PAUD Menur. Data were analyzed using Colaizzi method. This study identifies five themes namely:(1)Mother as the main providers of sex education on children (2)Mother perceptions regarding sex education in preschool children (3)Mother knowledge about sex education( 4 ) The attitude of the mother in delivering sex education in preschool children and ( 5 ) the factors affecting the mother in providing sex education to children . The results showed that mothers are the main providers of sex education in children. The role of the father is not visible. Mother believes the importance of education for children but do not have sufficient knowledge and understanding of both the sex education especially in preschool children. Parents need to increase the understanding and knowledge about sex education to children, especially preschoolers. The addition of sex education programs in PAUD will help parents and children related to sexual development of children. Keywords: mother sex education preschoolers. Reading List: 48 (1998 - 2013) ix x KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI PAUD MENUR RW. 09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR”. Skipsi ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan guna memenuhi persyaratan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep). Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Maftuhah, M.Kep, PHD selaku pembimbing I yang telah membimbing serta mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Jamaludin, S.Kp.,M.Kep selaku pembimbing II yang telah mengoreksi serta menyetujui penulis untuk mengajukan skripsi ini. 6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama duduk pada bangku kuliah serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi, S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah banyak membantu. 7. Ketua Pengurus dan pengajar di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur 8. Orang tua serta keluarga besar yang telah mendukung, mengingatkan dan memberi motivasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini. x xi 9. Temen-teman angkatan 2009 yang telah memberikan semangat serta masukan kepada penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam kesempatan ini. Peneliti sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini agar lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk penulis maupun pembaca. Jakarta, Januari 2014 Sumaryani xi xii DAFTAR ISI SURAT PERNYATAAN …………………………………………… i …………………… ii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………. iii RIWAYAT HIDUP …………………………………………………… …………………………………… vii …………………………………………………………… viii LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK v ABSTRACT …………………………………………………………… ix …………………………………………… x KATA PENGANTAR DAFTAR ISI …………………………………………………… xii DAFTAR TABEL …………………………………………………… xiv DAFTAR BAGAN ………………………………………………… xv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….. BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1 A. Latar Belakang …………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………… 7 C. Tujuan Penelitian …………………………………………… 7 D. Manfaat Penelitian …………………………………………… 8 E. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………. 8 …………………………………… 10 …………………………………………………… 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman B. Anak Usia Prasekolah …………………………………… 11 …………………………………………… 20 …………………………………………………………… 24 C. Pendidikan Seks D. Ibu xvii E. Kerangka Teori …………………………………………… xii 39 xiii …………………………………… 40 A. Kerangka Konsep …………………………………………… 40 B. Definisi Istilah …………………………………………… 41 BAB IV METODELOGI PENELITIAN …………………………… 42 BAB III KERANGKA KONSEP A. Desain Penelitian …………………………………………… 42 B. Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………… 43 C. Informan Penelitian …………………………………………… 44 D. Instrumen Penelitian …………………………………………… 45 E. Teknik Pengambilan Data …………………………………… 45 F. Teknik Analisis Data …………………………………………… 45 G. Validasi Data …………………………………………………… 47 H. Etika Penelitian …………………………………………… 48 …………………………………… 50 BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian …………………… 50 …………………………… 51 …………………………………………… 67 A. Pembahasan Hasil Penelitian …………………………………… 67 B. Keterbatasan Penelitian …………………………………… 84 …………………………… 85 B. Analisa Tematik Hasil Penelitian BAB VI PEMBAHASAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …………………………………………………. B. Saran …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii 85 87 xiv DAFTAR TABEL halaman No. tabel Tabel 2.1 Penelitian Terkait………………………………………. 35 Tabel 5.1 Karakteristik Informan………………………………. 51 Tabel 5.2 Tabel Tematik ………………………………………. 64 xiv xv DAFTAR BAGAN No. Bagan halaman Bagan 2.1 Kerangka Teori…………………………………………….. 39 Bagan 4.1 Teknik Analisa Data……………………………………….. 47 xv xvii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Matriks Analisa Data Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 4 Biodata Informan xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) apalagi untuk mengajarkannya kepada anak. Masyarakat terkadang merasa tabu dalam membicarakan persoalan mengenai seks kepada anak, menurut Skripsiadi (2005) terdapat dua hal yang membuat masyarakat merasa tabu dalam membicarakan hal tersebut, diantaranya: faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seks di depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain, dan pengertian seks yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seks seolah-olah hanya diartikan ke arah hubungan seksual. Kenyataanya pembicaraan soal seks pada anak usia prasekolah sangatlah penting, karena pada usia tersebut anak sudah mulai untuk melakukan eksploitasi seks. Eksploitasi seks yang dilakukan pada anak usia prasekolah, misalnya mengelus diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan, atau orang di sekitar mereka, percobaan seksual lainnya terhadap lawan jenisnya dan mengajukan pertanyaan terkait seks (Potter dan Perry, 2005). Percobaan seksual lainnya terhadap orang lain contohnya, memegang payudara wanita dewasa, mengintip orang mandi, dan lainnya. Contoh pertanyaan yang diajukan anak terkait seks, seperti: “kenapa bisa ada bayi di dalam perut ibu”, “bagaimana bayi keluar”, dan sebagainya. Sikap dan 1 2 perilaku yang terkadang membuat orang tua khususnya ibu kewalahan tersebut merupakan rasa keingintahuan yang normal untuk mengenal organ genitalnya, serta perbedaan struktur tubuh antara laki-laki dan perempuan (Kliegman, 2011 dan Wong, 2008). Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan perlu dilakukan sejak usia prasekolah (Skripsiadi, 2005). Tidak ada batasan yang jelas kapan pendidikan seks dapat diberikan pada anak, namun dengan munculnya perilaku-perilaku tersebut dapat menjadi suatu indikasi untuk orang tua dalam menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks (Potter dan Perry, 2005). Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopause, serta penyakit kelamin (Skripsiadi, 2005). Pada usia prasekolah pendidikan seks yang dapat diberikan oleh orang tuaadalah mengajarkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan dan laki-laki (Potter dan Perry, 2005). Pernyataan tersebut dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Johnson, Tassinary, dan Lurye (2010) yang membuktikan bahwa perkembangan konsep penting dari pria dan wanita terjadi pada usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini juga sesuai dengan tugas perkembangan anak pada usia tersebut yakni, menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial (Potter dan Perry, 2005). 3 Pada penelitian yang dilakukan oleh Kenny dan Wurtele (2008) pada anak taman kanak-kanak (TK) atau daycare di Miami, Florida menyatakan bahwa anak lebih mengenal nama bagian tubuh yang non genital seperti: tangan, kaki, mata, dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil anak yang mengetahui istilah vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk alat kelamin laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa masih kurang peran orang tua dalam memperkenalkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan maupun laki-laki. Pendidikan seks yang dapat diberikan orang tua pada anak usia prasekolah selain memperkenalkan jenis kelamin yaitu, mengajarkan kepada anak mengenai area “privasi” sebelum anak masuk sekolah (Kliegman, 2011). Pendidikan seks tersebut akan membantu orang tua dalam mengembangkan anak menjadi sehat secara seksual. Anakpun akan memiliki self-esteem yang lebih baik di masa dewasanya sehingga anak akan terhindar dari pelecahan seksual yang sedang marak terjadi (Skripsiadi, 2005). Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia menjadi hal yang paling memprihatikan saat ini. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan bahwa telah tercatat selama tahun 2012, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus tindakan kekerasan seksual terjadi pada anak. Kasus ini mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 10 persen sepanjang tahun 2012 dibandingkan tahun 2011. Pada tahun 2013, selama bulan Januari hingga awal Februari 2013 di wilayah Jabodetabek saja, pihaknya sudah mendapat laporan kejahatan seksual terhadap anak sebanyak 42 kasus yang terjadi. (BKKBN, 2013) 4 Masih tingginya kasus pelecehan seksual pada anak yang bahkan dilakukan oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukan pentingnya pendidikan seks sejak usia prasekolah. Masalahnya, pendidikan seks kurang diperhatikan orang tua sehingga mereka menyerahkan semua pendidikan seks pada saat anak bersekolah. Penelitian yang dilakukan LAI (2005) dalam mengetahui persepsi orang tua terhadap pelaksanaan program pendidikan seks pada anak Taman Kanak-Kanak (TK) di Hong Kong, mendapati bahwa orang tua memiliki pemahaman yang tidak adekuat terhadap pendidikan seks yang dilakukan oleh pihak Taman Kanak-Kanak. Hal ini disebabkan masih tabunya anggapan orang tua mengenai pendidikan seks untuk anak prasekolah. Pendidikan seks untuk anak usia prasekolah masih dianggap tabu oleh orang tua karena beranggapan bahwa pendidikan seks belum pantas diberikan pada anak kecil. Anggapan yang demikian tak jarang orang tua mengalihkan pembicaraan, kadang mereka membentak dan melarang anak dalam berperilaku dan bertanya terkait masalah seks. Jika orang tua berusaha menjawab pertanyaan anak terkait masalah seks, tak jarang jawaban yang diberikan malah terkesan ngawur atau salah. Padahal jawaban yang demikian dapat memicu anak untuk mengeksplor sendiri, karena mereka merasa penasaran dan mencari jawaban sendiri, apabila tidak mendapatkannya dari orang tua. Semakin berkembang teknologi semakin mudah anak mendapatkan informasi yang kebenarannya belum tentu dapat dipercaya. Hal yang demikian menuntut kepekaan dan keterampilan orang tua agar mampu memberi 5 informasi dalam porsi tertentu, sehingga tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. (Skripsiadi, 2005) Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Kurniawati, Rahmat, & Lusmilasari (2005) membuktikan bahwa secara umum persepsi dan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun kurang baik. Hal ini dilihat dari pandangan atau pendapat ibu terhadap perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak yang berkaitan dengan perkembangan seksual anak dan peran ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak. Adapun kesimpulan dari penelitian ini didapati bahwa terdapat hubungan antara persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun dengan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks. Hal ini membutikan bahwa orang tua belum mempunyai pemahaman yang kuat dan belum menjalankan tugasnya dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak sesuai dengan perkembangan anak. Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Kusumawati (2009) pada salah satu TK di daerah Mojokerto membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks dini dengan perkembangan perilaku seks pada anak usia 3 hingga 6 tahun. Oleh karena itu, peran orang tua sebagai pemberi informasi awal mengenai seks pada anak menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi perkembangan dan kehidupan anak kelak. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi orang tua khususnya ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak prasekolah menurut Lubis (2012) antara lain: faktor sosial ekonomi, sosial budaya dan riwayat 6 pendidikan seks. Semakin rendah penghasilan keluarga maka orang tua akan semakin lama di luar rumah sehingga dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak semakin buruk. Faktor budaya yang masih beranggapan bahwa pendidikan seks merupakan hal tabu akan mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak, dan riwayat pendidikan orang tua dalam mendapatkan informasi mengenai seks sebelumnya juga akan mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang-Jakarta Timur didapati bahwa dari orang tua murid yang dijadikan responden dalam studi pendahuluan memiliki karakter, tingkat pendidikan, pekerjaan dan suku bangsa yang berbeda-beda. Adapun pekerjaan yang dilakukan oleh para orang tua (ibu) murid PAUD Menur Rw 09 hampir sebagian besar merupakan seorang ibu rumah tangga, sedangkan pendidikan yang mereka dapatkan sebagian besar telah menempuh hingga tahap Perguruan Tinggi, dengan begitu data yang diperoleh dalam penelitian ini menjadi lebih bervariatif. Pengalaman adalah suatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung, dan sebagainya) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2013). Pengalaman juga merupakan salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi persepsi, pengetahuan, dan perilaku seseorang (Notoatmojo 2005; Swansburg, 2001 & Sunaryo, 2004). Oleh karena itu, dari suatu pengalaman kita dapat melihat bagaimana persepsi, pengetahuan, perilaku dan lainnya dari seseorang terkait fenomena yang terjadi. 7 Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada topik sebelumnya, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengalaman orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah (usia 3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktor-faktor lain yang terkait di PAUD Menur Rw. 09 kelurahan Cipinang Jakarta Timur. B. Rumusan Masalah Perilaku-perilaku yang ditunjukan anak dalam memuaskan rasa keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi untuk orang tua menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks. Tidak jarang orang tua mengalihkan pembicaraan, bahkan hingga membentak dan melarang anak apabila anak mereka berperilaku dan bertanya terkait masalah seks. Penelitian terkait oleh Walker (2001) di Inggris menyimpulkan bahwa orang tua memiliki keterampilan sebagai pendidik, namun masih mengalami ketidakpastian dan malu terhadap peran mereka dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada topik sebelumnya sehingga peneliti tertarik ingin menggali secara mendalam tentang bagaimana pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah (usia 3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktor-faktor lain yang terkait, khususnya di PAUD Menur Rw. 09 Cipinang Jakarta Timur. 8 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. D. Manfaat Penelitian 1. Orang tua Memberikan informasi tentang pentingnya pendidikan seks pada usia prasekolah kepada orang tua sebagai pendidik awal bagi anak dan memperoleh gambaran pengalaman orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah. 2. Institusi pendidikan atau PAUD Sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk menambahkan pendidikan seks pada anak sebagai materi yang akan diberikan untuk orang tua dan anak. 3. Perawat Melalui penelitian ini, perawat dapat menilai tentang perlunya konstibutor perawat dalam menjalankan perannya edukator dan konseler,yakni perawat dapat memberikan informasi mengenai seksualitas dan berkolaborasi dengan guru menjadi pembimbing baik kepada anak maupun orang tua dalam menghadapi masalah mengenai perkembangan seks pada anak. 9 4. Penelitian selanjutnya Sebagai sumber referensi dan bacaan untuk peneliti selanjutnya dalam kaitanya dengan pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada orang tua khususnya ibu yang memiliki anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) dan bersekolah di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sedangkan untuk memperoleh informasi tentang pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak yang diperoleh dari data wawancara mendalam (indepth interview) dibantu dengan alat pencatat dan alat perekam (tape recorder). Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran dari pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks khususnya pada anak prasekolah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman 1. Pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2013) mengartikan pengalaman sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalanin, dirasakan, ditanggung, dan sebagainya). Oakeshott (1933) mengartikan pengalaman sebagai hal yang subjektif dan merupakan bentuk pemikiran yang dibangun dan dipengaruhi oleh riwayat hidup seseorang, serta kondisi sosial budaya dimana pengalaman tersebut terjadi (Jarvis, 2004). Pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi seseorang (Notoatmodjo, 2005). Pengalaman juga mempengaruhi pengetahuan seseorang, walaupun seseorang dapat mempelajari suatu hal dengan menghafal, pengalaman sebelumnya dapat dijadikan pembelajaran yang bermanfaat (Swansburg, 2001). Perilaku individu yang berbeda-beda pun salah satunya dipengaruhi oleh pengalaman (Sunaryo, 2004). Di sisi lain, pengalaman dapat pula dipengaruhi oleh memori atau ingatan seseorang dalam variasi cara yang berbeda (Jarvis, 2004). Dengan demikian, pengalaman dapat diartikan sebagai hal subjektif yang pernah dialami seseorang yang dipengaruhi oleh memori atau ingatan dan kondisi sosial budaya, sehingga akan mempengaruhi persepsi, pengetahuan serta perilaku seseorang itu sendiri. 10 11 B. Anak Usia Prasekolah 1. Pengertian Anak usia pra-sekolah adalah anak yang berusia tiga sampai enam tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Pada anak pra-sekolah, pertumbuhan berlangsung secara stabil, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan proses berpikir (Narendra, 2002). Kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode pra-sekolah, yakni mempersiapkan anak pra-sekolah untuk perubahan gaya hidup yang paling bermakna sebelum anak masuk sekolah (Wong, 2008). Anak pra-sekolah memiliki karakteristik sebagai individu yang ingin tahu, dapat berpikir secara intuitif, dan mengajukan pertanyaan hampir segala hal. Mereka ingin tahu alasan, sebab, dan maksud segala sesuatu (mengapa) dapat terjadi tetapi tidak merisaukan proses (bagaimana) kejadiannya. Fantasi dan realitas tidak dapat dibedakan dengan baik (Bastable, 2002). Pada usia pra-sekolah rasa ingin tahu yang pertama kali muncul adalah mengenai perbedaan struktur tubuh antara anak laki-laki dan perempuan serta anak-anak dan dewasa (Wong, 2008). Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan anak usia pra-sekolah adalah menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial (Potter, 2005). Belajar mengenal peran-peran seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok jenis kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari dirinya sesuai jenis kelaminnya (Skripsiadi, 2005). 12 Montessori beranggapan bahwa tahap perkembangan pada rentang usia tiga hingga enam tahun, terjadi kepekaan untuk peneguhan sensori dan semakin memiliki kepekaan indrawi, yang masuk ke dalam masa keemasan atau golden age. Pada masa keemasan (golden age), terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya, namun juga termasuk ke dalam masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa yang akan datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan. Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya (Asmani, 2009). 2. Tumbuh kembang anak prasekolah a. Perkembangan biologis Kecepatan pertumbuhan fisik melambat dan semakin stabil selama masa pra-sekolah. Postur tubuh anak pra-sekolah lebih langsing tetapi kuat, anggun, tangkas, dan tanggap. Namun hanya ada sedikit perbedaan dalam karakteristik fisik sesuai dengan jenis kelamin, kecuali yang ditentukan oleh faktor lain seperti pakaian dan potongan rambut. Pada anak usia pra-sekolah sebagian besar sistem tubuh telah matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stress dan perubahan yang moderat. Selama periode ini sebagian besar anak sudah menjalani toilet training. Perkembangan motorik terjadi pada sebagian besar peningkatan kekuatan dan penghalusan keterampilan yang telah diajari sebelumnya, seperti berjalan, berlari, dan melompat. 13 Namun, perkembangan otot dan pertumbuhan tulang masih jauh dari matur. Penghalusan koordinasi mata-tangan dan otot jelas terbukti dalam beberapa area. Perkembangan motorik halus jelas terbukti pada keterampilan anak, seperti dalam menggambar dan berpakaian (Wong, 2008). b. Perkembangan psikososial Tugas psiko-sosial utama pada periode pra-sekolah adalah menguasai rasa inisiatif. Pada tahap perkembangan ini anak sedang dalam stadium belajar energik. Meraka bermain, bekerja, dan hidup sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konfik timbul ketika anak telah melampaui batas kemampuan mereka dan memasuki serta mengalami rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak dengan benar. Perasaan bersalah, cemas, dan takut juga bisa berakibat oleh pikiran yang berbeda dengan perilaku yang diharapkan. Perkembangan superego atau kesadaran telah dimulai pada akhir masa toddler dan merupakan tugas utama untuk anak pra-sekolah. Mempelajari kebenaran dari kesalahan dan mempelajari kebaikan dari keburukan adalah permulaan moralitas (Wong, 2008). c. Perkembangan kognitif Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya memasukan anak pra-sekolah yang berusia 3 hingga 6 tahun berada pada tahap praoperasional. Ciri menonjol pada tahap ini dalam perkembangan intelektual adalah egosentrisme, hal ini bukan berarti egois atau 14 berpusat pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan diri sendiri di tempat orang lain. Anak menginterpretasikan objek atau peristiwa, tidak dari segi umum, melainkan dari segi hubungan mereka atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut. Mereka tidak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang dimilikinya, mereka tidak dapat melihat sudut pandang orang lain, dan mereka juga tidak dapat mengetahui alasan untuk melakukannya. Berpikir pra-operasional bersifat konkret atau nyata. Anak-anak tidak dapat berpikir melebihi yang terlihat, dan mereka kurang mampu membuat deduksi atau generalisasi. Pemikiran didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau alami. Akan tetapi, mereka semakin dapat menggunakan bahasa dan simbol untuk mewakili objek yang ada di lingkungan mereka. Melalui bermain imajinatif, bertanya, dan interaksi lainnya, mereka mulai membuat konsep dan membuat hubungan sederhana antar-ide. Pada tahap akhir periode ini pemikiran mereka bersifat intuitif (misalnya bintang harus pergi tidur karena mereka juga tidur) dan mereka baru mulai menghadapi masalah berat badan, tinggi badan, ukuran, dan waktu. Cara berpikir juga bersifat transduktif karena dua kejadian terjadi bersamaan, mereka saling menyebabkan satu sama lain, atau pengetahuan tentang satu ciri dipindahkan ke ciri lain (misalnya semua wanita yang berperut besar pasti hamil). Bahasa terus berkembang selama periode pra-sekolah. Berbicara terutama masih menjadi pembawa komunikasi egosentris. 15 Anak pra-sekolah berasumsi bahwa setiap orang berpikir seperti yang mereka pikirkan dan penjelasan singkat mengenai pemikiran mereka membuat keseluruhan pemikiran mereka dipahami oleh orang lain. Adanya komunikasi verbal yang merujuk pada diri sendiri dan bersifat egosentris ini maka mengeksplorasi dan memahami pikiran anak kecil sering kali dibutuhkan melalui pendekatan nonverbal lainnya. Anak pada kelompok usia ini, metode yang paling menyenangkan dan efektif adalah bermain, yang menjadi cara anak untuk memahami, menyesuaikan dan mengembangkan pengalaman hidup. Anak pra-sekolah semakin banyak menggunakan bahasa tanpa memahami makna dari kata-kata tersebut, terutama konsep kanan dan kiri, sebab-akibat, dan waktu. Anak bisa menggunakan konsep secara benar tetapi hanya dalam keadaan yang telah mereka pelajari. Pemikiran anak pra-sekolah sering kali dijelaskan sebagai pikiran magis. Karena egoisentrisme dan alasan transduktif mereka, mereka percaya bahwa pikiran adalah yang paling berkuasa. Pikiran tersebut menempatkan mereka pada posisi yang rentan untuk merasa bersalah dan bertangguang jawab terhadap pikiran buruk, yang secara kebetulan terjadi sesuai dengan kejadian yang diharapkan. Ketidakmampuan untuk merasionalisasi sebab-akibat suatu penyakit atau cidera secara logis menyulitkan meraka memahami kejadian tersebut (Wong, 2008). d. Perkembangan moral Teori Kohlberg menempatkan anak pra-sekolah pada tingkat prakonvensional atau pra-moral. Perkembangan penilaian moral anak 16 kecil sedang berada pada tingkat paling dasar. Mereka berperilaku sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu tindakan. Anak menghindari hukuman dan mematuhi tanpa mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan dan memperkuat aturan dan label (benar atau salah). Anak akan menentukan bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri dan terkadang kebutuhan orang lain. Walaupun unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta pembagian yang adil juga terlihat pada tahap ini. Hhal tersebut diinterpretasikan dengan cara yang sangat praktis dan konkret tanpa kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan (Wong, 2008). e. Perkembangan spiritual Pengetahuan anak tentang kenyakinan dan agama dipelajari dari orang lain yang bermakna dalam lingkungan mereka, biasanya dari orang tua dan praktik keagamaan mereka. Namun, pemahaman anak kecil mengenai spiritual dipengaruhi oleh tingkat kognitifnya. Anak pra-sekolah memiliki konsep konkret mengenai Tuhan dengan karakteristik fisik, yang sering kali menyerupai teman imaginer mereka. Mereka mengerti kisah sederhana dari kitab suci dan menghapal doa-doa yang singkat, tetapi pemahaman mereka mengenai ritual ini masih terbatas. Perkembangan kesadaran sangat terkait dengan perkembangan spiritual. Pada usia ini anak mempelajari kebenaran dari kesalahan dan berperilaku dengan benar untuk menghindari hukuman. Perbuatan 17 salah mengartikan penyakit sebagai hukuman akibat pelanggaran mereka yang nyata atau khayalan. Penting bagi anak untuk memandang Tuhan sebagai pemberi cinta tanpa syarat, bukan sebagai hakim dari perilaku baik atau buruk (Wong, 2008). f. Perkembangan citra tubuh Masa pra-sekolah memainkan peranan penting dalam perkembangan citra tubuh. Meningkatnya pemahaman bahasa, anak pra-sekolah mengenali bahwa individu memiliki penampilan yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Mereka mengenali perbedaan warna kulit dan identitas rasial serta rentan mempelajari prasangka dan bias. Mereka menyadari makna kata seperti “cantik” atau “buruk”, dan penampilan mereka mencerminkan pendapat orang lain. Pada usia 5 tahun anak mulai membandingkan ukuran tubuhnya degan teman sebaya dan bisa menjadi sadar bahwa mereka tinggi atau pendek, terutama jika orang lain mengatakan mereka “sangat besar” atau “sangat kecil” untuk usia mereka. Meskipun perkembangan citra tubuh telah maju, anak pra-sekolah tidak dapat mendefinisikan ruang lingkup tubuhnya dengan baik dan mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai anatomi internalnya (Wong, 2008). g. Perkembangan seksualitas Freud menempatkan anak pra-sekolah dalam teori psikoseksualnya berada pada tahap falik, dimana selama tahap ini genital menjadi area tubuh yang menarik dan sensitif. Anak mengetahui perbedaan jenis 18 kelamin dan menjadi ingin tahu tentang perbedaan tersebut. Fase yang sangat penting pada perkembangan seksual pada masa ini yaitu, mengenal identitas dan kepercayaan seksual individu secara menyeluruh. Anak usia pra-sekolah menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial. Proses pembelajaran ini terjadi dalam perjalan interaksi normal orang dewasa-anak dari boneka yang diberikan kepada anak, pakaian yang dikenakan, permainan yang dimainkan, dan respon yang dihargai. Anak juga mengamati perilaku orang dewasa, mulai untuk menirukan tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, dan mempertahankan atau memodifikasi perilaku yang didasarkan pada umpan balik orang tua. Pada tahap ini eksplorasi tubuh merupakan perkembangan yang sedang dialami anak. Eksporasi dapat mencakup mengelus diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan, atau orang di sekitar mereka; dan percobaan sensual lainnya. Sementara mempelajari bahwa tubuh itu baik dan bahwa stimulasi tertentu itu menyenangkan, anak dapat juga diajarkan tentang perbedaan perilaku yang bersifat pribadi versus publik. Permainan dengan pasangan jenis kelamin dapat ditangani dengan cara seperti apa adanya. Orang tua dapat menginterpretasi rasa keingintahuan yang ditunjukan sebagai suatu indikasi yang menandakan bahwa anak telah siap untuk belajar tentang perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan dan laki-laki. 19 Pertanyaan mengenai reproduksi seksual bisa sampai ke bagian depan pencarian anak prasekolah, bahkan pertanyaan tentang dari mana bayi berasal atau perilaku seksual yang diamati oleh anak harus dijelaskan secara terbuka, jujur, dan sederhana. Bahkan jika pertanyaan tidak dijawab, kesempatan pembelajaran harus tetap diberikan melalui menunjuk pada wanita yang sedang hamil atau perilaku hewan di kebun binatang atau melalui diskusi tentang seksualitas sebagai tindak lanjut dari cerita atau program televise yang melibatkan topik ini (Potter dan Perry, 2005; Wong, 2008). h. Perkembangan sosial Selama periode pra-sekolah proses individualisasi-perpisahan sudah komplet. Anak pra-sekolah telah mengatasi banyak kecemasan yang berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka dapat berhubungan dengan orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi perpisahan singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protes. Namun, mereka masih membutuhkan keamanan dari orang tua, penerangan, bimbingan, dan persetujuan, terutama ketika memasuki masa prasekolah atau sekolah dasar (Wong, 2008). C. Pendidikan Seks 1. Pengertian Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan 20 konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopause, serta penyakit kelamin (Skripsiadi, 2005). Pengertian pendidikan seks dalam islam adalah pendidikan tentang tingkah laku yang baik (berakhlak) berhubungan dengan seks. Jadi, pendidikan seks ini walaupun tidak dapat dihindarkan dari membahas tentang seks dalam arti keilmuan (seksologi), yang terpenting dalam pandangan islam adalah bagaimana penanaman nilai-nilai moral agama, serta akidah yang kuat dalam pendidikan seks tersebut. Harapannya, anak mampu tumbuh dengan kematangan seksual yang berlandaskan pada kekuatan iman, kebersihan jiwa, dan ketinggian akhlak (El-Qudsy, 2012). Pendapat lain pendidikan seks menurut Profesor Gawshi adalah untuk memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang menyiapkanya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan kehidupannya dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah seksual dan reproduksi (Madani, 2003). Usia pra-sekolah adalah masa pembentukan rasa percaya diri, kebanggaan, dan dasar-dasar kemandirian, tetapi belum dapat menerima pendapat orang lain. Pada usia ini anak sangat butuh bimbingan dengan penuh kehangatan, kelembutan, kasih sayang, dan hindari dari pengalaman yang dapat menimbulkan rasa ragu dan malu. Pendidikan seks yang dapat diberikan pada anak usia pra-sekolah, yakni: 21 a. Memperlakukan anak sesuai dengan kodratnya. b. Pengenalan dasar anatomi badan c. Mengajarkan norma seks kepada anak 1) Kenalkan tentang konsep aurat dalam islam. Tunjukan bagian tubuh mana yang boeh terlihat atau tidak bagi anak laki-laki atau anak perempuan 2) Ajarkan berbagai doa yang berhubungan dengan alat vital. Contohnya doa ketika anak membersihkan alat vitalnya selepas buang air besar atau buang air kecil. 3) Mengajarkan cara berpakaian dan ia harus melepaskan pakaianya, harus dilakukan di tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau kamar tidur dan jelaskan kepada anak bahwa ini adalah perilaku yang pribadi. 4) Memberikan contoh yang benar adalah penting bagi anak. 5) Hindari kecerobohan 6) Pada usia prasekolah, orang tua tidak perlu menjelaskan secara detail tentang hubungan intim suami istri. Ada beberapa pertanyaan yang tidak harus dijawab ketika itu. Namun, kita dapat membuat janji pada waktu yang lain (El-Qudsy, 2012). Pendapat lain pendidikan seks berdasarkan usia yaitu pada usia balita: a. Membantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya. b. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang dari orang tuanya secara tulus. 22 c. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau kamarnya. Orang tua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari tubuhnya yang tidak semua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya. d. Mengajarkan anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria dan wanita. Menjelaskan proses tubuh, seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat sederhana. Menjelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam kandungan ibu. Hal ini tentu saja harus dilihat perkembangan kognitif anak, yang penting orang tua tidak membohongi anak, misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa burung. Orang tua sebisa mungkin memosisikan diri sebagai anak pada usia tersebut, yakni dengan memberitahu hal-hal yang ingin diketahuinya atau dapat menjelaskan dengan contoh yang terjadi pada binatang. e. Menghindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya. f. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau yang lainnya. g. Membantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau pembicaraan soal seks adalah pribadi. 23 h. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada orang tua untuk bertanya soal seks (Novita,2007). 2. Tujuan pendidikan seks Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan pendidikan seks kepada anak menurut islam adalah sebagai berikut: a. Penanaman dan pengukuhan akhlak sejak dini kepada anak dalam menghadapi masalah seksual agar tidak mudah terjerumus pada pergaulan bebas. Diharapkan mereka mampu membentengi diri dalam menghadapai perubahan-perubahan dorongan seksual secara islami. b. Membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap masa depan seksual anaknya. c. Sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama untuk menghindarkan anak dari pergaulan bebas dan penyimpangan seksual. d. Membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual. e. Membekali anak dengan informasi yang benar dan bertanggung jawab tentang seks agar mereka terhindar informasi dari sumbersumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. f. Memahami sejak dini tentang perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita serta peran masing-masing gender dalam reproduksi manusia (El-Qudsy, 2012). 24 D. Ibu 1. Pengertian Orang tua terdiri dari ayah dan ibu kandung (KBBI, 2013). Orang tua khususnya ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak-anaknya sehingga mereka diberi amat dan tanggung jawab untuk mengembangkan anak-anaknya. Setiap orang tua memiliki tugas kependidikan dan hal itu hendaknya bisa dijalankan dengan baik karena setiap orang tua pasti memiliki kepentingan terhadap anak-anaknya (Roqib, 2009). Islam mengutamakan peran ibu dalam kaitannya dengan pendidikan anak. Al-Mawardi rahimahullah menggambarkan hubungan ibu dengan anaknya. Dia berkata: “kaum ibu unggul kasih sayangnya lebih melimpah cinta kasihnya karena merekalah yang langsung melahirkannya dan memperhatikan pendidikannya. Mereka manusia yang paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya.” Oleh karena itu keberadaan ibu dalam keluarga pelaksanaan kewajibannya dalam mendidik dan merawat dipandang sebagai tiang keluarga yang paling penting dan sebagai sebab utama ketentraman psikologis dan sosiologis keluarga (Baharits 2005). 2. Peran ibu Peranan ibu sebagai orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar, seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk memenuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaankebiasaan (Hasan, 2009). Salah satu tugas perkembangan anak yang harus 25 dicapai pada masa anak usia 3 hingga 6 tahun adalah belajar mengenai jenis kelamin dan peran menyertainya. Belajar mengenal peran-peran seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok jenis kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari dirinya sesuai jenis kelaminnya. Ibu sebagai orang tua berkewajiban menanamkan identitas dan peran seksual yang sesuai dengan jenis kelamin. Perbedaan-perbedaan sikap ibu sebagai orang tua dan tekanan terhadap peran seksual yang tidak disesuaikan dengan taraf kematangan anak dan penjelasan yang cukup, seringkali menimbulkan kebingungan pada anak. Tidak jarang hal ini membuat anak merasa tidak aman, stres dan tidak bahagia, baik ayah dan ibu khususnya mempunyai kewajiban dan peran yang sama dalam menghantarkan anak agar ia bisa berperan sesuai dengan standar norma yang berlaku. Bila orang tua mempunyai pandangan dan harapan yang wajar terhadap perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin, tanda menekankan salah satu jenis kelamin lebih penting dari yang lain, maka anak akan dapat berkembang dengan wajar. Bila orang tua memberikan informasi yang cukup dan kesempatan yang ada di sekelilingnya, maka dapat diharapkan ia akan bisa berlatih dan belajar menemukan identitas seksualnya yang diharapkan daripadanya. Bila anak berhasil menemukan dirinya, ia puas dengan perannya, dan ia merasa orang tua pun puas dengannya, maka ia akan berkembang menjadi anak yang ceria. Sebaliknya bila ia berkembang secara salah, baik disebabkan oleh pembawaan pribadinya maupun karena sikap dan harapan orang tua, 26 maka sukar diharapkan ia bisa memperoleh kebahagiaan dari lingkungan dan kepuasan dari dirinya sendiri (Skripsiadi, 2005). Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memang perlu dilakukan sejak dini (pra-sekolah). Apalagi karena hal itu berkaitan dengan tugas perkembangan yang dimiliki anak pada masa usia ini, yaitu mempelajari perbedaan jenis kelamin. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa dengan memberikan pendidikan seks sejak dini pada anak, orang tua dapat membantu mengembangkan anak yang sehat secara seksual. Selain itu, anak akan mamiliki self-esteem yang lebih baik di masa dewasanya (Skripsiadi, 2005). Tahapan yang harus dilakukan ibu sebagai orang tua adalah membentuk kepribadian yang utuh dan kuat, termasuk perkembangan seksual sebagai upaya menumbuhkan sikap dan tingkah laku seksual yang sehat. Saringendyanti, 1998 menerangkan bahwa pembentukan kepribadian ini memerlukan pengarahan yang sengaja dipersiapkan untuk mereka, dan diberikan secara bijaksana tanpa paksaan. a. Menciptakan perasaan aman dan terlindung. Perasaan aman dan terlindung merupakan dasar perkembangan untuk memperoleh dasar perkembangan untuk memperoleh kepribadian yang kuat dan selaras. Terarahnya perkembangan kepribadian anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Oleh, karena itu, keluarga sebaiknya memberikan rasa aman dan terlindung bagi putra-putrinya, tentunya dengan cara yang wajar, tidak dibuat-buat, dan tidak berlebihan sehingga anak merasa 27 dalam pengawasan ketat yang justru akan merangsang pemberontakan. b. Membangkitkan gairah anak melalui teladan sebagai proses belajar meniru. Dalam perkembangan anak, meniru merupakan salah satu cara belajar. Oleh karena itu, memberikan teladan yang patut ditiru melalui sifat, sikap, dan cara-cara tingkah laku akan merangsang pola-pola tingkah laku dan kepribadian anak, termasuk ke dalamnya kecerdasan dan keterampilan sehari-hari. c. Melepas anak secara perlahan agar anak mengenali kemampuan dirinya. Dalam kondisi ini, keakraban dan kehangatan antara orang tua dan anak secara berangsur-angsur dilepas agar anak tidak terus menerus tergantung pada orang tua. Anak perlu diberi pengertian bahwa ada jarak antara pemikiran dan keinginan serta pemuasan keinginan. Hal itu dilakukan agar anak menyadari adanya pembatasan antara dirinya dan lingkungan di luar dirinya, serta menyadari adanya dunia khayal dan dunia nyata yang akan dijalaninya. d. Memberikan wawasan yang luas di luar diri si anak, yaitu tentang dunia di sekitarnya. Jika semasa kecil anak hanya mempunyai perhatian pada apa yang berhubungan dengan dirinya, selanjutnya dia harus belajar memperhatikan hal-hal di luar kebutuhannya. Anak harus dilatih 28 dan diberi peranan yang berbeda-beda, sehingga ia dapat menahan diri terhadap hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungannya. Pengendalian diri seperti ini perlu dipupuk agar struktur kepribadiannya kuat dan peka lingkungan. e. Anak harus belajar menemukan pendapat dan pandangan hidup yang berbeda-beda di luar dirinya. Pendapat dan pandangan hidup itu mungkin saja berlainan dengan yang terdapat pada keluarganya. Dengan demikian, terbentuknya pandangan hidup anak bukan sekedar hubungan kekeluargaan dan hubungan sosial sebagaimana orang menilainya, melainkan sesuai dengan penilaian anak sendiri. Hal yang demikian itu akan melatih anak berpikir menuju dewasa, memiliki inspirasi dan keteguhan dalam bersikap mempertahankan pandangan hidupnya. Beberapa strategi umum yang dapat diterapkan oleh ibu sebagai orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak: a. Memperkuat pendidikan agama Pendidikan agama sangat diperlukan oleh anak dalam perkembangan seksualnya sebagai benteng dalam menghadapi masa depannya. b. Memulailah sejak dini Pentingnya memberikan pendidikan kepada anak sejak dini karena ketika itu anak masih seperti lembaran putih yang siap untuk dihiasi apa saja. c. Menyesuai dengan umur dan kebutuhan 29 Sejak usia kanak-kanak setiap orang harus diberikan pendidikan seks agar ia tidak merasa binggung dan tersesat ketika menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Pendidikan yang sesuai dengan tingkatan umur dan intelegensi setiap anak dan terus ditingkatkan seiring berjalannya waktu menuju kedewasaannya. Jadi, materi atau jawaban yang diberikan harus sesuai dengan daya nalar dan pemahaman anak. Jika tidak, sisamping tidak efisien, anak akan terobsesi untuk mendapatkan yang lebih. d. Bertahap dan terus-menerus Ketika memberikan informasi seks kepada anak, haruslah secara bertahap, terus-menerus, dan sesuai dengan perkembangan usia. Informasi yang diberikan secara bertahap, terus-menerus, dan diulang-ulang, akan mempermudah anak dalam penyerapan informasi. e. Dari hati ke hati dan terbuka Pendidikan seks yang tepat hanya dapat diberikan jika pesan yang tepat dapat diberikan orang tua, baik secar eksplisit maupun implisit. Jadi, harus ada keterbukaan serta atmosfer rumah yang tidak kaku dan dogmatis. Dari cara ini anak-anak akan dapat merasakan bahwa orang tuanya saling mencintai dan anak akan menghargainya. f. Jangan menunggu anak bertanya 30 Dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, jangan tunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan secara terencana sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak. g. Jangan lari dari pertanyaan anak Ketika anak bertanya, orang tua tidak boleh lari dari pertanyaan masalah seputar seks karena pertanyaan sekitar seks adalah sesuatu yang lumrah dan fitrah. h. Kontinyu dan berkesinambungan Pendidikan seharusnya diberikan secara kontinyu dengan berbagai sarana dan dalam kesempatan yang berbeda. i. Jadilah teladan yang baik untuk anak. Orang tua mampu menjadi contoh dan teladan yang benar bagi anaknya, termasuk dalam pendidikan seks. j. Silaturahmi ke keluarga salehah Untuk memperkukuh nilai-nilai pendidikan seks islami dan menghindarkan perasaan kecil hati atau merasa sendirian dalam melaksanakan nilai-nilai agamanya, seorang anak tidak cukup hanya mendapatkan contoh dalam keluarganya. Ia perlu juga melihat orang lain atau keluarga muslimah lain. k. Mintalah bantuan orang yang ahli Jika kita merasa tidak mampu atau tidak nyaman membicarakan seks dengan anak, carilah bantuan dari orang yang kita anggap 31 mampu dalam masalah pendidikan seks secara islami (El-Qudsy, 2012). Anak pra-sekolah telah memiliki sejumlah besar informasi selama kehidupan mereka yang masih singkat. Meskipun pikiran mereka belum matur, anak selalu mencari penjelasan dan alasan yang logis dan masuk akal bagi mereka, sehingga tak jarang anak suka melontarkan pertanyaanpertanyaan terkait masalah seksualitas kepada orang tua. Ada dua aturan yang mengatur jawaban dari pertanyaan yang sensitif mengenai topik seperti seks. a. Aturan yang pertama adalah mengetahui apa yang diketahui dan dipikirkan anak. dengan menginvestigasi teori, anak telah menghasilkan penjelasan yang masuk akal, orang tua tidak hanya memberikan jawaban yang benar, tetapi juga membantu anak memahami mengapa penjelasan mereka tidak masuk akal. Alasan lain untuk menemukan apa yang dipikirkan anak sebelum member informasi apa pun adalah bahwa jawaban yang “tidak ditanyakan” bisa saja diberikan. b. Aturan kedua untuk memberikan informasi adalah harus jujur. Memang benar bahwa sebagian besar informasi yang benar akan dilupakan atau disalahartikan oleh anak prasekolah, tetapi yang lebih penting adalah informasi yang benar dapat diulang kembali sampai anak menyerap dan memahami kenyataan tersebut. Meskipun kata-kata anatomis yang benar mungkin sulit diucapkan atau lebih sulit diingat, kata-kata tersebut merupakan 32 isi dasar untuk menjelaskan konsep lain di kemudian hari (Wong, 2008). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak Walker (2001) dalam penelitiannya yang dilakukan pada orang tua di Inggris, untuk melihat komunikasi antara orang tua dan anak dalam membicarakan mengenai seks. Walker menemukan faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan anak yang saling terkait dalam pendidikan seks. a. Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks termasuk: 1) Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk pendidikan seks. 2) Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran orang tua mereka. 3) Perasaan malu yang mengelilingi seluruh pengalaman dalam membicarakan hal-hal seksual. 4) Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu, lakukan dan katakan sebagai orang tua. 5) Kesalahpahaman umum dan sosial harapan bahwa orang tua harus memberi anak mereka bicara seks yang formal. b. Faktor yang meningkatkan pendidikan seks yang ditemukan menjadi: 33 1) Rangsangan yang memicu kesempatan selama kehidupan keluarga yang sibuk. 2) Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual dalam keluarga adalah tabu. 3) Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan sekolah. 4) Akses terhadap informasi dan sumber. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah, menurut Lubis (2012) antara lain: a. Faktor sosial ekonomi Faktor sosial ekonomi mempengaruhi ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak, maka semakin rendah penghasilan keluarga dan semakin lama ibu bekerja di luar rumah sehingga mengajarkan pendidikan seks semakin buruk. b. Faktor sosial budaya Faktor sosial budaya juga berpengaruh terhadap ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak karena rasa tabu dan malu untuk membicarakan seks pada anak, juga anak usia prasekolah masih dianggap belum pantas dan terlalu kecil untuk mengajarkan pendidikan seks. c. Riwayat pendidikan seks ibu Riwayat pendidikan seks mempengaruhi ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak prasekolah. Ibu yang belum pernah 34 diajarkan pendidikan seks, maka tidak akan mengajarkan pendidikan seks pada anaknya. Masih tabunya masyarakat dalam membicarakan masalah seksualitas dipertegas oleh Skripsiadi (2005), yang menjelaskan faktor membuat masyarakat tabu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut seksualitas, anatara lain: a. Faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seksualitas di depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain. b. Pengertian seksualitas yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seksualitas seolah-olah hanya diartikan ke arah hubungan seksual. Padahal secara harafiah seks berarti jenis kelamin, sama sekali tidak porno karena setiap orang memilikinya. 35 Tabel 2.1 Penelitian Terkait No. Judul Tahun Peneliti 1. A Qualitative Study of Parents’ Experiences of Providing Sex Education for Their Children: The Implications for Health Education. 2001 Joy L Walker Variabel Metode pene litia n Qualitative Komunikasi analytical antara orang tua dan anak mengenai seks Hasil menemukan faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan anak yang saling terkait dalam pendidikan seks. Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks termasuk: Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk pendidikan seks Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran orang tua mereka perasaan malu mengelilingi seluruh pengalaman dalam membicarakan hal-hal seksual Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu, lakukan dan katakan sebagai orang tua Kesalahpahaman umum dan 36 2. Hubungan Antara Persepsi Ibu tentang Pendidikan Seks pada Anak Usia 0-5 Tahun dengan Sikap Ibu dalam Menerapkan Pendidikan Seks di Suronatan dan Serangan Notoprajan Yogyakarta 2005 Tenti Kurniawati, Ibrahim Rahmat, Lely Lusmilasari Bebas: Persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 05 tahun. Terikat: Sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks sosial harapan bahwa orang tua harus memberi anak mereka bicara seks yang formal Sedangkan faktor meningkatkan pendidikan seks yang ditemukan menjadi: Rangsangan yang memicu peluang selama kehidupan keluarga yang sibuk Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual dalam keluarga adalah tabu Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan sekolah Akses terhadap informasi dan sumber. Penelitian non Secara umum persepsi ibu eksperimen, terhadap pendidikan seks pada Analitik dengan anak usia 0-5 tahun kurang baik. pendekatan cross Hal ini dilihat dari pandangan sectional dan interpretasi mengenai perkembangan seksualitas anak, peran orang tu dalam memberikan pendidikan seks, dan penerapan pendidikan seks. Sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks kurang baik. Hal ini dilihat dari pandangan atau 37 3. An Exploratory Study of Parents’ Perceptions of Teaching Sex Education in Hong Kong Preschool. 2005 4. Parents Experience With Sexual Education Of Their Children: Nursing Care. 2008 5. Toward Prevention of 2008 pendapat ibu terhadap perasaan mendukung atau memihak. hubungan antara Adanya persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun dengan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks. Yuk Ching persepsi orang tua Qualitative study Orang tua memiliki pemahaman LAI Hong Kong yang tidak adekuat terhadap dari pendidikan seks pelaksanaan di Taman kanakprogram kanak. pendidikan seks di Taman KanakKanak (TK). Qualitative, Pengalaman Ana Carla beberapa orang tua berpendapat descriptive and orang tua dalam Campos bahwa penting berbicara pendidikan seks exploratory Hidalgo de mengenai seksual pada anak study pada remaja Almeida, dengan percakapan terbuka, Maria de walupun orang tua mengalami Lourdes kesulitan dalam berkomunikasi. Centa Yakni dengan mengajarkan nilainilai untuk membangun personalitas dan meningkatkan pengetahuan anak mereka. Orang tua menyadari bahwa sekolah berperan penting dalam pendidikan seks pada anak mereka. Maureen C. Pengetahuan anak Kuantitative Anak lebih mengenal nama bagian 38 6. 7. 8. Childhood Sexual Abuse: Preschoolers’ Knowledge of Genital Body Part. Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Pendidikan Seks Dini Dengan Perkembangan Perilaku Seks Pada Anak 3-6 Tahun Di TK Cipto Rahayu Kec. Gedeg, Kab. Mojokerto Gender Differences in the ABC’s of the Birds And the Bees: What Mother Teach Young Children about Sexuality and Reproduction. Sex Categorization among Preschool Children: Increasing Utilization of Sexually Dimorpchic Cues. 2009 Kenny, Sandy dengan K. Wurtele menyebutkan nama dari bagian tubuh Arum Tri Pengetahuan Kusumawati orang tua tentang pendidikan seks dini dan perkembangan perilaku seks pada anak usia 3-6 tahun study Experiment tubuh genital. yang non Ada bermakna antara hubungan Kuantitatif tingkat pengetahuan analitik dengan orang tua tentang menggunakan pendidikan seks dini non probability dengan perkembangan sampling tipe perilaku seks pada purposive anak 3-6 tahun. 2010 Karin A. Martin, Katherine Luke Pembicaraan ibu dengan anak lakilaki dan perempuan Kualitative study 2010 Kerri L. Johnson, Louis G. Tassinary, Leah E. Lurye Anak usia 4-6 tahun yang menggunakan bentuk tubuh untuk mengkategorikan jenis kelaminnya. Kuantitative study Ibu lebih cenderung untuk membicarakan masalah seksual dengan anak perempuannya dibandingkan anak laki-laki. Penelitian ini menemukan terjadi peningkatan ketergantungan pada dimorfisme seksual untuk kategorisasi seks pada usia 5 tahun. Selain meneliti dalam menghadapi persepsi dan ketetapan gender, 39 9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Mengajarkan Pendidikan Seksual Pada Anak Usia 4-6 Tahun Di TK Dharma Bakti IV Tamantirto Bantul Yogyakarta 2012 Dina Putri Utami Lubis Penghasilan ibu, suku, riwayat pendidikan seks ibu Faktor Kuantitatif deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional temuan ini memberikan bukti konvergen untuk pengembangan konsep penting dari pria dan wanita pada anak usia 3 hingga 6 tahun. social ekonomi, social budaya dan riwayat pendidikan seks mempengaruhi ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak usia 4-6 tahun di TK Dharma Bakti IV Tamantirto Bantul Yogyakarta 40 E. Kerangka Teori Anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) Tugas perkembangan: Menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial Pendidikan seks Peran orang tua (ibu) Faktor sosial ekonomi Faktor-faktor yang dapat membatasi Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Faktor sosial budaya Faktor riwayat pendidikan seks Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks Bagan 2.1 Dimodifikasi dari Supartini (2004) & Hasan (2009); Potter (2005); El-Qudsy, 2012; Walker (2001); Lubis (2012); Novita (2007) BAB III KERANGKA KONSEP A. Kerangka konsep Konsep merupakan abstraksi yang dibentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus. Definisi dari kerangka konsep itu sendiri merupakan sintesis dari telaah literatur (tinjauan pustaka) yang memuat masalah yang dipersoalkan (Wasis, 2008). Berdasarkan tinjauan pustaka sebelumnya, Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Pendidikan ini baik untuk diberikan pada anak sejak dini khususnya pada anak usia prasekolah. Pada anak usia prasekolah hal ini merupakan salah satu tugas perkembangannya, yaitu belajar mengenai jenis kelamin dan peran yang menyertainya. Orang tua khususnya ibu sebagai pendidik utama dalam keluarga berkewajiban menanamkan identitas dan peran seksual yang sesuai dengan jenis kelamin (Skripsiadi, 2005). Penelitian ini akan meneliti mengenai pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) yang dilihat baik dari segi persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktorfaktor lain yang terkait. 41 42 B. Definisi istilah 1. Pengalaman adalah hal yang subjektif yang dialami seseorang yang dipengaruhi oleh memori/ingatan dan kondisi sosial budaya, sehingga akan mempengaruhi persepsi, pengetahuan serta perilaku seseorang itu sendiri. 2. Ibu adalah salah satu orang tua yang lebih berperan penting dalam mendidik dan merawat anak. 3. Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 hingga 6 tahun, yang mempunyai salah satu tugas perkembangan, yaitu menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial dan rasa ingin tahu besar terhadap segalanya termasuk masalah seksualitas. 4. Pendidikan seks adalah memberi informasi atau pengetahuan dasar kepada anak mengenai jenis kelamin dan perannya, serta apapun terkait masalah seksualitas. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologi deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan sejenis penelitian formatif yang secara khusus memberikan teknik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang (Sumantri, 2011). Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasiinterpretasi dunia (Moleong, 2010). Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata (Saryono dan Anggraeni, 2010). Tujuan studi fenomenologi adalah memahami makna dari pengalaman kehidupan yang dialami informan dan menjelaskan perspektif filosofi yang mendasari fenomena tersebut (Dharma, 2011). Fenomenologi merupakan pendekatan yang sesuai untuk menginvestigasi fenomena penting seseorang yang berguna bagi bidang keperawatan (Streubert dan Carpenter, 2003). Pendekatan fenomenologi ini akan menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu (Sumantri, 2011). Spiegelberg (1975) menjelaskan bahwa fenomenologi deskriptif menstimulasi persepsi tentang pengalaman hidup dengan menekankan pada 43 44 kekayaan, keluasan, dan kedalaman pengalaman itu sendiri (Streubert dan Carpenter, 2003). Spiegelberg (1975 dalam Steubert dan Carpenter 2003) mengidentifikasi tiga langkah prosesi untuk fenomenologi deskriptif. Langkah pertama yaitu intuisi, peneliti menggumpulkan data dengan cara mengeksplorasi pengalaman informan tentang fenomena yang diteliti melalui wawancara mendalam. Langkah kedua yaitu analisis, dimana peneliti mengidentifikasi pengalaman yang diteliti. Peneliti menyatukan diri dengan hasil pendataan dengan cara mendengarkan deskripsi individu tentang pengalamannya kemudian mempelajari data yang telah ditranskipkan dan ditelaah berulangulang. Peneliti mengidentifikasi esensi dari fenomena yang diteliti berdasarkan data yang didapat. Peneliti kemudian mengeksplorasi hubungan dan keterkaitan antara elemen-elemen tertentu dengan fenomena tersebut. Peneliti mengidentifikasi tema-tema arti dan makna tentang pengalaman ibu berdasarkan data yang diperoleh dari transkip wawancara dengan informan guna menjamin keakuratan dan kemurnian hasil penelitian. Langkah ketiga adalah deskripsi, dimana peneliti menuliskan laporan data yang digunakan. Peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklarifikasian dan pengelompokan fenomena. B. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu tahap persiapan penelitian dan penyusunan laporan lengkap. Untuk tahap persiapan dimulai pada bulan Maret sampai Oktober 2013. Pada tahap persiapan ini peneliti 45 melakukan penyusunan proposal penelitian serta studi pendahuluan dan studi kepustakaan. Tahap pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember tahun 2013. Selanjutnya setelah proses pengumpulan data dan penelitian selesai maka dilanjutkan dengan tahap analisi data serta penyusunan laporan yang dilakukan bulan Desember hingga Januari 2014. Lokasi penelitian yang dilakukan peneliti adalah PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Tempat tersebut dipilih dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah ini. PAUD Menur sendiri adalah tempat pendidikan khusus untuk anak usia 3 hingga 6 tahun dengan siswa yang cukup banyak yaitu 33 anak yang terdaftar. C. Informan Penelitian Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yang ditetapkan secara langsung (purposive) dengan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequancy). Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Informan pada penelitian ini yaitu, orang tua dari anak yang bersekolah di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur, dengan kriteria inklusi informan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Orang tua khususnya ibu yang mempunyai anak usia 3 hingga 6 tahun. 2. Bersedia menjadi informan. 46 D. Instrumen Penelitian Instrumen kunci dalam penelitian kualitatif ini yaitu peneliti sendiri dengan melakukan wawancara mendalam dengan bantuan pedoman wawancara mendalam, alat pencatat, dan alat perekam serta membuat catatan lapangan saat wawancara. E. Teknik Pengambilan Data Dalam memperoleh data peneliti melakukan wawancara mendalam kepada informan. Wawancara tersebut dilakukan dengan cara menanyakan sesuatu kepada informan dan bercakap-cakap secara langsung. Berikut adalah tahapan pengambilan data yang dilakukan peneliti: a. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan minimal 30 menit untuk mengetahui pengalaman yang dialami informan secara spesifik dan informan akan menceritakan semua pengalamannya dengan jelas dan lengkap. b. Wawancara yang dilakukan direkam dengan alat perekam agar semua pembicaraan akan terekam dan tidak ada yang terlewat. c. Peneliti melakukan wawancara dengan membuat catatan lapangan yang berisi inti dari setiap ungkapan informan serta catatan mengenai ekspresi mimik maupun respon informan ketika wawancara berlangsung. 47 F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Colaizzi (1978). Langkah-langkah analisis data berdasarkan Colaizzi (1978) (dalam Streubert dan Carpenter, 2003), meliputi: 1. Peneliti dapat memberikan gambaran fenomena yang diteliti, yaitu tentang pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun). 2. Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara kepada partisipan dan membuat transkrip dari hasil wawancara partisipan sesuai fenomena yang diteliti. 3. Peneliti membaca semua hasil transkrip partisipan secara berulang-ulang sesuai fenomena yang diteliti. 4. Peneliti membaca transkrip kembali dan mencari pernyatan-pernyataan penting dari setiap pernyataan partisipan. 5. Peneliti menentukan makna dari setiap pernyataan penting dari semua partisipan. 6. Peneliti mengorganisasikan data yang terkumpul dan mengelompokkannya kedalam suatu kelompok tema. 7. Peneliti menulis hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk desktiptif secara lengkap, dengan melakukan analisis detail tentang perasaan partisipan dan perspektif yang terkandung dalam tema. 8. Peneliti kembali ke lapangan dan menanyakan partisipan kembali untuk validasi dari hasil deskripsi yang telah dibuat. 48 Memiliki gambaran fenomena yang diteliti secara jelas mengumpulkan data melalui wawancara dan membuat transkrip hasil wawancara dengan partisipan membaca semua hasil transkrip partisipan secara berulang-ulang mencari pernyatan-pernyataan penting dari setiap pernyataan partisipan menentukan makna dari setiap pernyataan penting dari semua partisipan mengelompokkannya ke dalam suatu kelompok tema menulis hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk desktiptif secara lengkap Kembali ke partisipan untuk validasi data desripsi yang dibuat Bagan 4.1. Teknik Analisa data Sumber: Colaizzi (1978) dalam Streubert dan Carpenter (2003) G. Validasi Data Temuan atau data dalam penelitian kualitatif dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2010). Menurut Sumantri (2011) dan Saryono (2010) dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data. Uji keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini 49 dilakukan dengan cara peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat atau yang ahli dalam bidang kualitatif (Sumantri2011;Saryono2010). Dalam hal ini peneliti berdiskusi kepada orang yang berpengalaman terhadap isi dan metodologi penelitian, yaitu kepada pembimbing. Peneliti juga melakukan member check, yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang data (Sumantri2011;Saryono2010). Dimana peneliti kembali ke lapangan dan melakukan konfirmasi atau klarifikasi terhadap data yang sudah diperoleh dengan menanyakan kembali kepada informan. H. Etika Penelitian Penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia namun tidak berdampak langsung terhadap fisik, tetapi mungkin akan berdampak terhadap emosional informan. Masalah etika yang harus diperhatikan menurut Polit dan Hungler (2001) sebagai berikut : 1. Kemanfaatan (Benefecience) Penelitian ini memberikan beberapa pelaksanaan yang baik bagi ibu maupun anak mengenai pendidikan seks. Penelitian ini juga memberikan perlindungan dari bahaya (nonmalefecience) bagi informan. fisik, psikologis dan eksploitasi 50 2. Aspek kebebasan (Self determination) Selama penelitian berlangsung peneliti memberikan aspek kebebasan untuk menentukan apakah informan bersedia atau tidak untuk mengikuti atau memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. 3. Kerahasiaan (Privacy) Selama penelitian informan juga dijaga kerahasiaan identitas selama dan sesudah penelitian. Nama informan akan dirahasiakan sebagai ganti digunakan nomor informan. Selama kegiatan penelitian nama informan akan dirahasiakan sebagai gantinya digunakan inisial (anonimity). Peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan dan hanya menggunakan informasi tersebut untuk kegiatan penelitian (confidentiality). 4. Perlindungan dari ketidaknyamanan (Protection from discomfort) Selama pengambilan data peneliti berusaha melakukan wawancara di tempat yang diinginkan informan dan waktu yang ditentukan oleh informan. BAB V HASIL PENELITIAN C. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kelurahan Cipinang merupakan satu dari tujuh kelurahan yang berada di kecamatan Pulogadung Jakarta Timur yang memiliki luas wilayah 15509 Ha. Batas wilayah kelurahan Cipinang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Rawamangun sebelah timur berbatasan dengan kali Cipinang Kelurahan Jatinegara Kaum sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pisangan Timur dan sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Raya I Gusti Ngurahrai Kelurahan Cipinang Muara. Jumlah penduduk di kelurahan Cipinang sendiri sebanyak 15.555 KK dengan jumlah laki-laki sebanyak 12.495 orang dan perempuan 3.060 orang. Kelurahan Cipinang terdiri atas 18 Rukun Warga (RW) di setiap RW terdapat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai salah satu upaya Pemerintahan daerah setempat sebagai pengganti Taman Kanak-Kanak untuk mencerdaskan anakanak balita (Data Laporan Kelurahan Cipinang Bulan Novermber 2013). PAUD Menur sendiri merupakan salah satu PAUD yang berada di RW. 09 Kelurahan Cipinang terdapat 33 anak berusia 3 hingga 6 tahun yang terdaftar di PAUD ini (Data Siswa PAUD Menur Tahun 2013). D. Analisa Tematik Hasil Penelitian 51 52 1. Karakteristik Informan Gambaran karakteristik informan meliputi umur jenis kelamin pekerjaan pendidikan terakhir yang menjadi pemberi pendidikan seks pada anak khususnya pada usia prasekolah. Informan dalam penelitian ini adalah pendidikan utama pada anak dalam memberikan pendidikan seks pada anak di rumah yang seluruhnya dilakukan oleh ibu. Rentang usia informan penelitian yaitu 25-37 tahun dengan ratarata pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan pendidikan mengeyam pendidikan mulai dari SMP hingga S1. Tabel 5.1 karakteristik informan Nama inisial PekerjaanPendidikan terakhir Nama anakUsia anak Kode Ibu rumah tangga Ibu rumah tangga Ibu rumah tangga Ibu rumah tangga tangga Ibu rumah tangga 53 2. Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun). Gambaran hasil penelitian pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur secara rinci menjelaskan uraian lima tema yang teridenfikasi dari hasil wawancara tema-tema tersebut meliputi: (1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak, (2) Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak, (3) Pengetahuan ibu mengenai seksualitas (4) Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak (5) Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Berdasarkan lima tema yang ditemukan pada saat wawancara, berikut adalah uraian dari masing-masing tema yang ditemukan, meliputi: a. Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak. Temuan yang didapat peneliti dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan didapati semua informan menyatakan bahwa yang bertindak sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak adalah ibu. Mereka mengungkapkan bahwa informan sendirilah (ibu) yang lebih dominan memberikan pendidikan seks pada anaknya. Hal ini didukung dengan pekerjaan dari informan sendiri sebagai ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu bersama anak di rumah sehingga ibu memiliki kesempatan yang 54 lebih banyak dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya. Peran serta ayah sebagai orang tua laki-laki bagi anak dalam memberikan pendidikan seks juga penting namun seperti yang diungkapkan informan bahwa peran ayah dalam hal ini tidak terlihat. Hal ini dikarenakan kesibukan ayah dalam berkerja dari pagi hingga malam sehingga tidak memiliki waktu yang cukup bersama dengan anaknya apalagi untuk memberikan pendidikan seks pada anak. Berikut pernyataan informan: “anak saya lebih dekat ya sama saya. kalau tanya apa-apa juga ke saya. Kalau bapaknya kan kerja. Saya sama dia terus yang ada di rumah.” (P1)“bapaknya sibuk ama kerja. Jadi ga pernah cerita tentang ini itu.” (P2) “jarang juga ketemu bapaknya. Bapaknya kan kerja pagi pulang malem. Jarang ketemu. Iya lebih ke saya” (P3) “dia kan kerja dari pagi sampe malam. Malam-malam aja belum tentu ketemu kan. Jadi menjelaskannya itu hanya terkadang aja.” (P4) “keseringan pulang jam 8 malem. Jadi dianya uda tidur. Selama libur juga belom sih.” (P5) “suami saya kan kerja. Saya sama anak saya yang sering ada di rumah. Dia aja kalau mau ngapa-ngapain juga sama saya.” (P6) b. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3 hingga 6 tahun). Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah meliputi persepsi mengenai makna dari pendidikan seks itu sendiri tingkat kepentingan dari pendidikan seks pada anak dan waktu yang tepat bagi anak dalam memperoleh pendidikan seks. Beberapa uraian sub tema meliputi: 1) Makna pendidikan seks pada anak 55 Makna pendidikan seks pada anak untuk anak usia prasekolah menurut orang tua khususnya ibu sangat beragama. Informan mengungkapkan sebenarnya kurang memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya bagi anak usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini terlihat dari pernyataan dua informan yang mengungkapkan bahwa pendidikan seks itu sendiri adalah pengajaran mengenai seks bebas dan bahayanya sehingga diharapkan anak dapat terhindar dari masalah tersebut. Berikut pernyataan informan: “diberi tahu bagaimana bahayanya berhubungan seks bebas. Apa apa saja ya yang harus dia ketahui untuk dihindari.” (P4) “biar ga melenceng dari norma agama, dari masalah yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.” (P2) Satu informan lagi menyatakan bahwa pendidikan seks itu sendiri merupakan pengajarakan mengenai masa pubertas anak. Berikut pernyataannya: “ya tentang masa remaja dia masa pubernya atau masa baliqnya gitu.” (P6) Persepsi yang sesuai bagi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya untuk anak usia prasekolah seperti yang diungkapkan tiga dari enam informan menyatakan bahwa pendidikan seks bagi anak usia 3 hingga 6 tahun adalah mengenai jenis kelaminnya dan fungsinya. Berikut pernyataan informan: “seks itu suatu ilmu tapi yang anak kecil boleh mempelajarinya tapi dengan point-pointnya tersendiri gtu. Maksudnya anak-anak ini masih belom sampe 56 kesenggama, jadi ke alat kelaminnya itu apa dan fungsinya.” (P1) “Mengenai fungsi-fungsi organ intim. terus fungsifungsi organ yang ada di tubuhnya juga.” (P3) “kalau umur segini paling….kasih taunya bedanya laki-laki sama perempuan.” (P5) 2) Tingkat kepentingan pendidikan seks untuk anak usia prasekolah. Temuan yang didapat peneliti mengenai persepsi ibu mengenai seberapa penting pendidikan seks bagi anak khususnya pada anak usia 3 hingga 6 tahun ini. Seluruh informan menyatakan bahwa pendidikan seks penting untuk anaknya namun di sini terlihat bahwa alasan ibu yang beragam mengenai pendidikan seks pada anak masih belum memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya untuk anak usia prasekolah. Berikut pernyataan informan: “penting juga sih. kalau dia bertanya kan kita harus jawab.” (P1) “Penting.. biar ga melenceng dari norma agama, dari masalah yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.” (P2) “Penting.. biar otaknya juga berkembang gitu” (P3) “mungkin penting penting banget. Soalnya kan namanya sekarang ini pergaulan makin bebas.” (P4) “Penting..agar anak dapat bersikap baik terhadap orang lain. ya terutama dengan teman sebayanya.” (P5) “ya penting..supaya anak saya bisa tahu tentang seks itu apa.” (P6) 3) Waktu yang tepat untuk memberikan anak pendidikan seks. Temuan yang didapati peneliti terhadap persepsi ibu mengenai waktu yang tepat dalam memberikan pendidikan 57 seks bagi anak hanya satu informan yang menyatakan bahwa pendidikan seks dapat diberikan ketika anak mulai bertanya. Berikut pernyataan informan: “Sekitar lima tahun gitu karena anak segitu kan dia mulai bisa bertanya.” (P1) Lima dari enam informan lain berpendapat bahwa pendidikan seks sebaiknya dimulai ketika anak usia sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa mereka merasa bahwa anak usia 3 hingga 6 tahun masih belum pantas dan belum bisa mengerti jika diajarkan pendidikan seks. Berikut pernyataan informan: “mungkin 7 tahun ya. Soalnya kalau 4 tahun 5 tahun kan dia kurang paham. Apa lagi SD sekarang kan pergaulannya kan makin lama makin bebas juga ya. Mungkin dari dia sekolah dasar.” (P4) “kalau saya sih baiknya usia sekolah. Karna saat udah usia sekolah itu kan sudah mulai diajarkan segala macam kan? TK PAUD kan masih main-main.” (P5) c. Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks. Pengetahuan yang dimiliki ibu akan mempengaruhi pemberian pendidikan seks pada anak. Pengetahuan yang dikaji oleh penelitian terkait dengan pengetahuan mengenai pendidikan seks yang meliputi pengetahuan mengenai organ-organ seksual fungsinya dan tumbuh kembang seksualitas yang terjadi pada anak. Pengetahuan ibu pun dapat diliat dari sumber informasi dan riwayat pendidikan seks ibu. 1) Pengetahuan ibu mengenai seksualitas. 58 Pengetahuan ibu mengenai seksualitas meliputi pengatahuan mengenai organ-organ reproduksi fungsi dari organ reproduksi dan tumbuh kembang seksual yang terjadi pada anak baik laki-laki maupun perempuan. Temuan pada penelitian ini didapati bahwa pengetahuan ibu mengenai seksualitas cukup baik. Ibu dapat menyebutkan organ seksual yang terdiri dari organ reproduksi eksterna dan payudara. Organ reproduksi pada perempuan yang ibu ketahui adalah vagina dan payudara walaupun di sini masih ada informan yang mengunakan istilah lain dalam menyebutkan nama organ reproduksi wanita. Fungsi dari organ reproduksi yang informan ketahui antara lain: untuk eliminasi urin hubungan seksual jalan lahir dan saluran untuk mengalirkan darah menstruasi. Sedangkan fungsi payudara pada perempuan menurut informan adalah untuk menyusui. Organ reproduksi pada laki-laki menurut informan adalah penis walaupun di sini beberapa informan mengunakan istilah lain atau bahkan tidak mengetahui nama dari organ reproduksi laki-laki. Fungsi dari organ reproduksi yang diketahui informan yaitu untuk eliminasi urin dan hubungan seksual. Berikut uraian dari penyataan informan terkait pengetahuan mengenai organ reproduksi serta fungsinya yang diketahui: “paling ke alat kelamin terus payudara. fungsinya kalau payudara pada wanita untuk menyusuimisalkan untuk pria bisa meningkatkan gairah. Terusnya kalau alat kelamin wanita, vagina itu fungsinya satu untuk 59 melahirkan kedua untuk hubungan seksual dengan pria dewasa, sama alat kelamin pria dewasa. kelamin wanita buang air kecil, menstruasi, alat kelamin wanita itu ya..menstruasi, buang air kecil, melahirkan, bersenggama, maksudnya itu berhubungan badan dengan pria dewasa. kalau alat kelamin pria, buat air kecil juga bisa, buat bersenggama sama wanita.” (P1) Satu dari enam informan pengetahuannya terkait kebingunggan. Informan organ saat ditanya seksualitas memnyebutkan mengenai mengalami bahwa organ seksualitas pada manusia adalah wajah yang fungsinya untuk menyukai, untuk menambah semangat. Berikut pernyataan informan: “Muka gitu atau wajah? Atau apa? Itu aja palingan. Ya fungsinya untuk menyukai, untuk menambah semangat.” (P2) Pengetahuan ibu terkait seksualitas selain pengetahuannya mengenai organ seksualitas dan fungsinya juga dikaji pengetahuannya mengenai tumbuh kembang seksual pada anak. Pengetahuan ibu terkait tumbuh kembang seksual anak bersifat umum tidak berfokus pada anak usia prasekolah. Tumbuh kembang seksual anak yang diungkapkan informan baik pada anak perempuan maupun laki-laki. Pada anak perempuan tumbuh kembang seksual yang terjadi meliputi menstruasi perkembangan payudara perubahan bentuk tubuh tumbuh rambut di daerah tertentu dapat berhubungan seksual mengeluarkan ASI saat melahirkan dan perasaan malu. Berikut pernyataan informan: 60 “Untuk payudaranya lebih membesar, menstruasi pertama. misalkan menstruasi satu, keduanya kalau dia punya suami bisa berhubungan dengan suaminya. Terusnya…payudaranya bisa mengeluarkan air susu kalau dia melahirkan.” (P1) “ya mungkin karna anak saya cewe ya…buah dadanya ya kan? Terus menstruasi badan juga makin lama makin besar.” (P3) “kalau wanita ya. Paling akan tumbuh payudara haid. terus untuk organ tubuh juga mungkin akan ada perubahan.” (P4) “kalau perempuan kan haid. terus payudaranya juga mulai tumbuh. Bulu-bulu yang tersembunyi juga.” (P5) “kalau pas remaja kan masa pubernya keliatan haid. badannya melar ada malu.” (P6) Tumbuh kembang seksual pada anak laki-laki menurut informan yaitu meliputi perubahan postur tubuh sikap dan suara tumbuh rambut didaerah tertentu serta mimpi basah. Berikut pernyataan informan: “postur tubuhnya, mimik mukanya, tubuhnya, tingkah lakunya, suaranya..ada tambah-tambah kaya kumis sikapnya lebih dewasa.” (P2) Laki-laki juga sama. Kalau laki-laki ada jenggotada yang cambangnya panjang. Terus kalau laki-laki kan..baliqnya kan mimpi gitu kan. biasanya kan lebih dahuluan perempuan yang baliqnya dari pada laki-laki.” (P5) 2) Sumber informasi Sumber informasi yang didapat oleh ibu akan mempengaruhi pengetahuan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Temuan yang didapati dalam penelitian ini adalah informasi-informasi yang didapat ibu biasanya bersumber dari pengalaman sendiri maupun orang lain TV majalah atau 61 Koran. Berikut pernyataan informan terkait sumber informasi dalam memberikan pendidikan seks pada anak: “paling dari aku sendiri aja. dari pengetahuan aku sendiri aja. Ga sampe liat majalah atau apa itu belom.” (P1) “dari orang ngomong. Kan ibu-ibu suka ngumpul kan? Dari informasi mereka juga bisa. Dari TV juga ada.” (P2) “kan punya tetangga punya temen. Kadang suka dikasih tau juga sama tetangga.” (P3) “baru liat di itu…tentang akibat dari perbuatan aja di TV. saya suka nonton TV. Suka ngeliat berita-berita pemerkoasaan.” (P4) “yang biasa kita tahu sehati-hari aja.” (P5) “dari berita sama pengalaman.” (P6) 3) Riwayat pendidikan seks ibu Pengalaman orang tua dalam mendapatkan pendidikan seks pada anak dapat mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Temuan pada penelitian ini didapati bahwa riwayat pendidikan seks ibu diperoleh ketika duduk di bangku sekolah oleh guru dalam pelajaran biologi maupun agama. Berikut uraian pernyataan informan: “Engga deh kayanya. Ya tahunya ya dari belajar dari sekolah dari biologi, gitu aja. Tahunya dari situ.” (P1) “engga sih…ibu saya agak kolot jadi ga terlalu ngomongin gitu-gitu. kalau di sekolah iyaa.” (P2) “di sekolah. yah …uda lupa saya. Kelas berapa ya??? Kayanya ngerti-ngertinya kayanya SMP deh. Kan ada pelajaran biologi kan” (P3) “Saya inget banget kelas5 baru dijelasin. saya inget banget itu. Guru agama soalnya yang ngejelaskan. Karana disitu dijelasin uda di hitung dosanya solatnya harus rajin. Baru ke alat kelamin seksual baru dijelasin.” (P5) “kalau pendidikan seks ada sih ada di sekolah. Pas SMP.” (P6) d. Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia 3 hingga 6 tahun 62 Pendidikan seks pada anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks. Sikap yang dilakukan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak ditunjukan ketika anak bertanya mengenai masalah seksualitas dan menunjukan perilaku seksual anak. 1) Sikap ibu terhadap pertanyaan anak. Temuan dalam penelitian ini informan mengungkapkan dalam memberi pendidikan seks pada anak dilakukan jika anak bertanya saja. Pertanyaan yang diajukan anak terkait dengan seks yakni mengenai jenis kelaminnya serta perbedaan dengan lawan jenisnya atau pertanyaan mengenai seks lainnya. Sikap ibu dalam menjawab pertanyaan anakpun lebih menggunakan kata-kata sederhana atau istilah lain yang diharapkan anak dapat mengerti dan tidak mengalami kebinggungan dalam memahami perkataan yang diungkapan oleh ibu atau bahkan mengiyakan pernyataan anak tanpa menjelaskan kepada anak lebih lanjut. Berikut pernyataan ibu terkait sikapnya terhadap pertanyaan yang diajukan anak: “paling kalau dia nanya ini apa mama? Ini “___”(istilah selain vagina) misalkan. Kalau dia vagina kan belom mengerti ya. jadi aku langsung bilang ini punya kaka buat pipis gitu..tapi kalau cowo itu OO gitu. belom ngejelasin secara detailbaru bahasa kasarlah ibaratnya.” (P1) “kalau aku cewe ya bu gitu..terus dia sering tanya aa sama ya bu kaya ayah. Kalau ade sm kaya ibu ya? Iyaaa…(ibu mengiyakan pernyataan anak)” (P4) 2) Sikap ibu terhadap perilaku seksual anak 63 Anak usia prasekolah tak jarang suka menunjukan perilaku seksual misalnya manipulasi genetial (mengelus alat kelaminnya). Perilaku tersebut tak jarang pula membuat orang tua merasa aneh sehingga sikap yang ditunjukan oleh ibu dalam penelitian ini adalah melarang anak melakukan hal tersebut dengan alasan kotor atau menasehati bahwa perilaku itu tidak baik dan ada pula yang beranggapan bahwa anak mengalami sensasi gatal pada alat kelaminnya atau beranggapan bahwa anak ingin buang air kecil sehingga meminta anak untuk ke kamar mandi. Berikut pernyataan sikap ibu terkait perilaku seks: “kalau kemaluannya sendiri dia suka pegang. jangan kaka…kotor. Kan kotor kan kemaluan kan. Kalau dia ga cuci tangan kan kalau masuk ke mulut ka nada bakteri di kemaluannya. Paling itu doang.” (P1) “palingan anak gatel aja, paling digaruk-garuk gitu aja. disuruh cebok, ke kamar mandi suruh cebok sana.” (P2) “iya anak saya juga suka ngelus-ngelus juga. Palingan saya suka “ ih ade jorok”. Suka saya gituin aja. Ga boleh. Saya larang.” (P3) “diberi tahu secara pelan-pelan. Secara baik-baik. Namanya anak usia segini. Paling sering kita kasih tahu. Kalau perbuatan kaya gitu engga baik. Kalau..takutnya kalau dia dibiarkan takut keterusan.” (P4) “paling kalau pagi…kalau bangun tidur kan suka diledekin. Bangun kan bangun…pipis..pipis..itu apa namanya burungnya bangun tuh. Ayo pipis-pipis…ama dia suka dipegang-pegang gitu. kalau dimanin jangannanti sakit. Jangan dipegang-pegang nanti kencingnya sakit. Entar ga bisa pipis. Gitu doang paling.” (P5) a. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. 64 Temuan dalam penelitian ini terkait memberikan pendidikan seks pada anak terdapat faktor-faktor yang menurut ibu berpengaruh. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok (subtema) antara lain: faktor pendukung dan faktor pembatas. 1) Faktor pendukung Ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak terdapat beberapa faktor atau hal-hal yang membuat ibu mau mengajarkan pendidikan seks pada anak. faktor-faktor pendukungnya antara lain: agar anak dapat mengenal dan mengerti kekhawatiran ibu bahwa anak mendapatkan informasi yang salah keinginan ibu untuk mengajarkannya dan harapan ibu agar anak memiliki self-estem yang baik. Berikut pernyataan orang yang kait: “biar dia lebih mengenal dan mengerti. Jadi lebih biar dia mengerti daripada dari luar mending dari orang yang terdekatnya keduanya supaya dia tidak mencari tahu di luar..dengan caranya dia sendiri, takutnya dia salah mencari tahunya kan.” (P1) “ya supaya dia tau. Semakin dewasa kan pergaulan semakin bebas. Jangan sampe dia dewasa nanti dia terjerumus.” (P4) “yaa…palingg buat jaga diri kali ya? Dijelasin supaya dia bisa jaga diri. Tahu sendiri jaman sekarang” (P6) 2) Faktor pembatas Ibu dalam memberikan pendidikan seks pada selain faktor pendukung yang membuat ibu mau mengajarkan pada anak terdapat pula faktor pembatas atau hambatan yang dirasakan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. faktorfaktor tersebut antara lain: mengalami kesulitan dalam 65 menjawab pertanyaan anak anggapan bahwa anak belum pantas mendapatkan pendidikan seks merasa masalah mengenai seks adalah suatu yang kotor atau tabu perasaan malu untuk menjelaskannya perasaan bosan karena anak sering mengulang pertanyaan terkait masalah seks perasaan takut bahwa anak akan menceritakannya kepada temantemannya. Berikut pernyataan ibu yang terkait: “Kesulitannya.ya kalau dia nanya yang macem-macem lagi. Saya binggung jawabnya.” (P3) “Takut dibilang kotor. Kan kadang dia kalau bergaul sama anak-anak kan. Ada anak-anak yang suka ngomong kotor suka diikutin sama dia gitu. bagaimana ya perasaannya malu juga ketika menjelaskannya. namanya anak-anak susah untuk diberi tahu. Anak umur sekian kan sulit untuk pahan. Jadi dia yang dipertanyakan itu lagi…itu lagii..jadi saya tuh kalau dibilang bosen ya bosen.” (P4) “Takut kalau dijelasin hingga detail. Nanti aja kalau uda dewasa. takut dia ngomong sama temen-temennya. Takut dia ngejelasin sama temen-temennya gitu. Mama aku kasih tahu begini-begini gitu kan takut.” (P6) “palingan saya bilang uda jangan banyak tanya, pusing nih…palingan gitu” (P2) BAB VI PEMBAHASAN A. Pembahasan Hasil Penelitian Peneliti telah mengidentifikasi lima tema yang merupakan hasil dari penelitian ini. Tema-tema tersebut teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian. Ibu yang berperan aktif dalam memberikan pendidikan seks pada anak dapat digambarkan sebagai tema pertama ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak dapat digambarkan sebagai tema kedua. Pengetahuan yang dimiliki ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak dapat digambarkan sebagai tema ketiga pengetahuan orang tua mengenai pendidikan seks. Sikap yang ditunjukan ibu saat memberikan pendidikan seks pada anak digambarkan sebagai tema keempat sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hal-hal yang dapat mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak baik yang mendukung ataupun yang membatasi digambarkan sebagai tema kelima faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. 1. Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak. Hasil wawancara pada informan diketahui bahwa yang bertindak sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak adalah ibu. Peran ayah dalam memberikan pendidikan seks pada anak tidak terlihat dikarenakan sibuk bekerja sehingga intensitas ayah untuk berkomunikasi dengan anakpun kurang. Ibu yang rata-rata adalah seorang ibu rumah tangga 66 67 memiliki banyak waktu bersama anaknya sehingga kesempatan ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak pun sangat banyak. Hal ini sesuai dengan temuan yang dilakukan oleh Nambambi dan Mufune (2011) bahwa baik anak perempuan maupun laki-laki lebih suka mendiskusikan seks dengan ibunya yang dianggap lebih peduli dan pengertian. Namun disini ibu lebih memahami seksualitas pada perempuan dibandingkan laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa ibu memiliki kepekaan yang paling konsisten dalam membicarakan seks pada anak (Miller et.al. 2009). Uraian di atas dapat kita ketahui bahwa kedekatan antara ibu dan anak membuat ibu lebih memiliki peluang yang lebih banyak serta lebih bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hal tersebut dapat dilihat bahwa peran ibu sebagai orang tua lebih dominan dalam berdiskusi terkait seks pada anak sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu adalah pemberi pendidikan seks utama pada anak. Orang tua selain ibu yaitu ayah memiliki tanggung jawab yang sama dalam memberikan pendidikan seks pada anak namun kenyataan yang didapat di sini bahwa ayah kurang berperan dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Oleh karena itu konstribusi ayah sebagai orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak sangatlah penting khususnya bagi anak laki-lakinya sebagai role model yang baik bagi anak dalam mengenal identitas gendernya. 2. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3 hingga 6 tahun). 68 Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah meliputi persepsi mengenai makna dari pendidikan seks itu sendiri tingkat kepentingan dari pendidikan seks pada anak dan waktu yang tepat bagi anak dalam memperoleh pendidikan seks. Beberapa uraian sub tema meliputi: a. Makna pendidikan seks pada anak. Makna pendidikan seks pada anak menurut orang tua khususnya ibu sangat beragama. Informan mengungkapkan kurang memahami pendidikan seks khususnya pada anak usia prasekolah. Pemahaman ibu mengenai pendidikan seks merupakan pengetahuan mengenai jenis kelamin seks bebas dan masa pubertas. Berbicara tentang seks tidak hanya berbicara seputar hubungan seksual anatara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu bicara tentang seks sama halnya bicara soal tubuh manusia mulai dari perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bisa dilihat dari bentuk dan fungsi tubuhnya (Andika 2010). Pendidikan seks sederhana pertama yang diberikan kepada anak usia prasekolah adalah mengidentifikasi bagianbagian tubuh (Rimm 2003). Persepsi ibu mengenai pendidikan seks yang masih terbatas membuat ibu kurang memahami makna dari pendidikan seks khususnya bagi anak usia prasekolah. Walaupun ada sebagian besar dari informan yang memiliki persepsi yang cukup baik mengenai pendidikan seks pada anak usia prasekolah. 69 Terbatas persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah sehingga perlu adanya penambahan pemahaman bagi orang tua khususnya ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama bagi mengenai pendidikan seks itu sendiri khususnya pada anak usia prasekolah. Peningkatan persepsi ibu terkait pendidikan seks pada anak prasekolah bisa dilakukan oleh ibu itu sendiri dengan mencari sumber referensi yang menunjang ataupun dapat diberikan oleh pengajar PAUD ataupun perawat komunitas dalam meningkatkan persepsi masyarakat khususnya ibu terkait pendidikan seks pada anak usia prasekolah. b. Tingkat kepentingan pendidikan seks untuk anak usia prasekolah. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa seluruh informan beranggapan bahwa pendidikan seks penting untuk anaknya namun di sini terlihat bahwa alasan ibu yang beragam mengenai pendidikan seks pada anak masih belum memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya untuk anak usia prasekolah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wilson et.al. (2010) bahwa orang tua khususnya ibu percaya mengenai pentingnya membicarakan seks pada anak namun banyak yang tidak melakukan hal tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran ibu mengenai pentinganya pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah tidak didukung dengan pemahaman yang cukup baik bagi ibu terkait hal tersebut sehingga perlu bagi orang tua khususnya ibu dalam meningkatkan pemahaman 70 mengenai pendidikan seks bagi anak prasekolah guna mendukung persepsi mereka terkait pentingnya pendidikan seks untuk anak. c. Waktu yang tepat untuk memberikan anak pendidikan seks. Hasil penelitian didapati bahwa sebagian besar ibu berpendapat bahwa pendidikan seks sebaiknya dimulai ketika anak usia sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa mereka merasa bahwa anak usia 3 hingga 6 tahun masih belum pantas dan belum bisa mengerti jika diajarkan pendidikan seks. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wilson et.al (2010) yang menemukan bahwa orang tua menganggap anak mereka terlalu muda sehingga tidak mengetahui bagaimana membicarakan tentang seks dengan anak. Persepsi orang tua terhadap masih terlalu mudanya anak matur dan naif juga diutarakan Elliot (2010) dalam penelitiannya. Anak usia prasekolah memiliki keingintahuan yang sangat besar. Kemampuan kognitifnya pun mengalami perkembangan yang pesat. Menurut teori kognitif Piaget anak usia prasekolah berada pada tahap praoperasional dimana pada tahap ini anak mulai menggambarkan dunia dengan kata-kata bayangan atau gambaran. Pemikiran simbolik sudah lebih jauh daripada hubungan sederhana antara informasi dan tindakan (Santrock 2003). Pada anak di usia 3-6 tahun ini anak sudah bisa diajak memahami sesuatu lewat stimulus imajinasi serta mampu menggelompokan warna benda maupun ukuran (Andika 2010). Hal ini membuktikan bahwa anak usia prasekolah sudah bisa diberikan pendidikan seks yang sesuai tugas perkembangannya. Tugas 71 perkembangan pada tahap prasekolah yaitu mengembangkan identitas dan keingintahuan seksual dimana anak dapat memahami tubuh mereka berkaitan dengan struktur fungsi dan dapat membedakannya dengan konsep yang sederhana (Bastable 2002). Pendidikan seks sederhana pertama yang diberikan kepada anak prasekolah adalah mengidentifikasi bagian-bagian tubuh (Rimm 2003). Uraian diatas mengenai persepsi tentang waktu yang tepat untuk memberikan pendidikan seks pada anak dalam penelitian mayoritas ibu menyatakan bahwa usia prasekolah belum pantas untuk diberikan pendidikan seks. Padahal dalam teori menyatakan bahwa pada usia prasekolah ada sudah dapat diberikan pendidikan seks dasar mengenai identitas seksnya atau jenis kelaminnya. Hal ini membuktikan bahwa ibu tidak memiliki pemahaman yang cukup baik terkait pendidikan seks pada anak prasekolah maupun perkembangan anak usia prasekolah baik secara kognitif ataupun seksualitas sehingga perlu peningkatan pemahaman bagi ibu selain mengenai pendidikan seks maupun perkembangan anak usia prasekolah. 3. Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya (Dewi dan Wawan, 2010). Tingkat pendidikan dari informan dalam penelitian ini pun beragamam mulai dari SLTP hingga Stara 1. 72 Pengetahuan yang dimiliki ibu akan mempengaruhi pemberian pendidikan seks pada anak. Pengetahuan yang dikaji oleh penelitian terkait dengan pengetahuan mengenai pendidikan seks yang meliputi: pengetahuan mengenai organ-organ seksual fungsinya dan tumbuh kembang seksualitas yang terjadi pada anak. Pengetahuan ibu pun dapat diliat dari sumber informasi dan riwayat pendidikan seks ibu. a. Pengetahuan ibu mengenai seksualitas. Hasil pada penelitian ini didapati bahwa pengetahuan ibu mengenai seksualitas cukup baik hanya satu informan saja yang mengalami kebingungan dalam menjelaskan mengenai seksualitas khususnya mengenai organ seksualitas dan fungsinya. Ibu yang memiliki pengrtahuan cukup baik dapat menyebutkan organ seksual yang terdiri dari organ reproduksi eksterna dan payudara. Organ reproduksi pada perempuan yang ibu ketahui adalah vagina dan payudara walaupun di sini masih ada informan yang mengunakan istilah lain dalam menyebutkan nama organ reproduksi wanita. Fungsi dari organ reproduksi yang informan ketahui antara lain: untuk eliminasi urin hubungan seksual jalan lahir dan saluran untuk mengalirkan darah menstruasi. Sedangkan fungsi payudara pada perempuan menurut informan adalah untuk menyusui. Organ reproduksi pada laki-laki menurut informan adalah penis walaupun di sini beberapa informan mengunakan istilah lain atau bahkan tidak mengetahui nama dari organ reproduksi laki-laki. Fungsi 73 dari organ reproduksi yang diketahui informan yaitu untuk eliminasi urin dan hubungan seksual. Pengetahuan ibu terkait seksualitas selain pengetahuannya mengenai organ seksualitas dan fungsinya juga dikaji pengetahuannya mengenai tumbuh kembang seksual pada anak. Pengetahuan ibu terkait tumbuh kembang seksual anak bersifat umum tidak berfokus pada anak usia prasekolah. Tumbuh kembang seksual anak yang diungkapkan informan baik pada anak perempuan maupun laki-laki. Pada anak perempuan tumbuh kembang seksual yang terjadi meliputi menstruasi perkembangan payudara perubahan bentuk tubuh tumbuh rambut di daerah tertentu dapat berhubungan seksual mengeluarkan ASI saat melahirkan dan perasaan malu. Teori secara umum mengenai organ-organ seksualitas pada manusia baik wanita dan laki-laki terbagi menjadi 2 bagian yaitu: bagian dalam (interna) dan luar (eksterna). Organ reproduksi bagian luar pada wanita terdiri dari: Mons veberis Labia mayora (bibir-bibir besar) Labia minora (bibir-bibir kecil) Klitoris yang mempunyai fungsi utama adalah merangsang dan meningkatkan ketegangan seksual Vulva Bulbus vestibule kiri dan kanan Introitus vagina dan Perineum. Sedangkan organ reproduksi bagian dalam pada wanita terdiri atas: Vagina (liang kemaluan) yang berfungsi sebagai organ untuk koitus dan jalan lahir Uterus yang mempunyai fungsi utama sebagai tempat perkembangan janin dan dalam reproduksi adalah siklus haid dengan peremajaan endometrium kehamilan dan 74 persalinan Tuba fallopi Ovarium (indung telur) yang mempunyai fungsi utama adalah menyelenggarakan ovulasi dan menghasilkan hormone seks steroid (estrogen progesterone dan androgen) dalam jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan perkembangan dan fungsi wanita normal. Payudara merupakan pelengkap alat reproduksi perempuan yang berfungsi memproduksi susu (ASI). Pada organ reproduksi laki-laki bagian luar terdiri atas: Mons pubis Penis (zakar) yang memiliki uretra di dalamnya yang mempunyai fungsi sebagai saluran pembuangan kemih dan pengeluaran sperma dan Skrotum (kantong buah pelir). Sedangkan organ reproduksi laki-laki bagian dalam terdiri atas: Testis yang berfungsi sebagai tempat spermatozoa dibentuk dan menghasilkan hormone laki-laki testosterone Saluran (duktus) testis Kelenjar system reproduksi aksesori dan Semen yang merupakan cairan yang diejakulasi pada saat orgasme mengandung sperma dan sekresi vesikula seminalis kelenjar prostat dan kelenjar bulboutretralis. Semen mengandung unsure pokok untuk menyediakan makanan bagi sperma meningkatkan motilitas sperma dan sebagai penyangga lingkungan asam cairan serviks dan vagina. Tumbuh kembang seksual secara fisik yang terjadi pada anak antara lain: Munculnya tanda-tanda seks primer: terjadi haid yang pertama (menarche) pada remaja perempuan dan mimpi basah pada anak laki-laki. Munculnya tanda-tanda seks sekunder yaitu: Pada anak laki-laki tumbuhnya jakun penis dan buah zakar bertambah besar 75 dada lebih lebar badan berotot tambah kumis di atas bibir cambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Pada anak perempuan; pinggul melebar pertumbuhan rahim dan vagina tumbuh rambut disekitar kemaluan dan ketiak payudara membesar (Pinem 2009). Hasil pengkajian mengenai pengetahuan ibu mengenai seksualitas manusia dengan mengunakan pedoman Knowledge: sexual functioning dari NIC (2013) dengan tiga indikator yang dikaji yaitu: Sexual anatomy Function of sexual anatomy dan Physical changes with puberty didapati bahwa pengetahuan ibu mengenai Sexual anatomy berada pada skala pengetahuan terbatas. Hal ini dikarenakan ibu hanya mengetahui organ reproduksi eksternal dan payudara. Penyebutan nama organ reproduksinya pun ibu lebih mengenal dengan istilah lain. Satu dari informan bahkan tidak memiliki pengetahuan yang benar mengenai organ seksual. Sedangkan pengetahuan ibu mengenai Function of sexual anatomy dan Physical changes with puberty berada pada skala pengetahuan sedang. Dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa ibu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dasar seksualitas manusia secara umum. Namun untuk pengetahuan ibu mengenai seksualitas pada anak khususnya pada anak usia prasekolah masih kurang sehingga perlu ada peningkatan pengetahuan pada ibu mengenai seksualitas anak usia prasekolah agar mempermudah ibu dalam memaplikasikan pengetahuannya terkait pendidikan seks pada anak prasekolah. 76 a. Sumber informasi Sumber informasi yang didapat oleh ibu akan mempengaruhi pengetahuan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. informasi-informasi yang didapat ibu biasanya bersumber dari pengalaman atau pengetahuan sendiri maupun orang lain TV majalah atau Koran. Dalam penelitian Tripathi dan Sekher (2013) yang menjadi sumber dalam mendapatkan informasi terkait pendidikan seks antara lain orang tua (81%) guru atau sekolah (55%) saudara (50%) teman (30%) dan media informasi lainnya. Hal ini membuktikan bahwa sumber informasi yang menjadi pedoman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak bersumber dari pengetahuan sendiri maupun orang lain dan media informasi lainnya seperti TV majalah atau Koran. b. Riwayat pendidikan seks ibu Pengalaman ibu dalam mendapatkan pendidikan seks pada anak dapat mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. riwayat pendidikan seks ibu didapati ketika duduk di bangku sekolah oleh guru dalam pelajaran biologi maupun agama. Hal ini sesuai dengan penelitian Tripathi dan Sekher (2012) yang mendapatkan bahwa pendidikan seks benar-benar diterima ketika sekolah. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan seks didapatkan di sekolah saja. Orang tua dari informan kurang ikut serta dalam memberikan pendidikan seks pada anak. 77 4. Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia 3 hingga 6 tahun. Sikap yang dilakukan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak pada penelitian ini ditunjukan ketika anak bertanya mengenai masalah seksualitas dan menunjukan perilaku seksual anak. a. Sikap ibu terhadap pertanyaan anak. Hasil dalam penelitian ini informan mengungkapkan dalam memberi pendidikan seks pada anak dilakukan jika anak bertanya saja. Sikap ibu dalam menjawab pertanyaan anakpun lebih menggunakan kata-kata sederhana atau istilah lain yang diharapkan anak dapat mengerti dan tidak mengalami kebinggungan dalam memahami perkataan yang diungkapan oleh ibu atau bahkan mengiyakan pernyataan anak tanpa menjelaskan kepada anak lebih lanjut. Pada usia prasekolah memiliki rasa ingin tahu yang besar sehingga tak heran anak akan mengajukan pertanyaan kepada orang tua khususnya ibu terkait seks. Penjelasan lebih lanjut dapat dilakukan ibu dengan menekankan bahwa tubuh laki-laki dan perempuan berbeda sehingga anak akan lebih mengerti jika disertai dengan penjelasan sederhana (Andika 2010). Menurut Rimm (2003) tidak masalah jika orang tua menggunakan istilah tertentu untuk anak-anak dalam memberikan pendidikan seks namun anak juga perlu diajarkan nama yang sebenarnya agar kelak anak tidak merasa canggung untuk menyebutkannya. 78 Sikap yang dilakukan oleh ibu dalam memberikan pendidikan seks khususnya anak usia prasekolah terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan anak sudah cukup baik. Terlihat di sini bahwa ibu memiliki kemampuan yang cukup baik dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah namun dalam mengajarkan nama-nama organ seksual anak orang tua lebih cenderung menggunakan istilah asing dibandingkan nama yang sebenarnya. Penggunaan istilah asing dalam menyebutkan organ seksual anak memang diperbolehkan namun alangkah baiknya jika anak juga mengetahui nama sebenarnya dari organ seksualnya sehingga diharapkan baik ibu maupun anak tidak canggung atau lebih terbuka dalam membicarakan terkait seks dengan anak. b. Sikap ibu terhadap perilaku seksual anak Anak usia prasekolah tak jarang suka menunjukan perilaku seksual misalnya manipulasi genetial (mengelus alat kelaminnya). Perilaku tersebut tak jarang pula membuat orang tua merasa aneh sehingga sikap yang ditunjukan oleh ibu dalam penelitian ini adalah melarang anak melakukan hal tersebut dengan alasan kotor atau menasehati bahwa perilaku itu tidak baik dan ada pula yang beranggapan bahwa anak mengalami sensasi gatal pada alat kelaminnya atau beranggapan bahwa anak ingin buang air kecil sehingga meminta anak untuk ke kamar mandi. Anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) menurut Freud dalam teori psikoseksual berada pada fase falik dimana genitalia menjadi 79 area yang menarik dan area tubuh yang sensitif (Supartini 2004). Pada fase falik ini daerah yang paling sensitif yang terpenting pada anak prasekolah adalah alat kelamin sehingga anak mulai melakukan rangsangan otoerotik yaitu meraba-raba dan merasakan kenikmatan (Sunaryo 2004). Anak akan cenderung memusatkan perhatian untuk memperoleh kepuasan pada alat kelaminnya dan akan cenderung menyentuh alat kelamin mereka untuk memperoleh kepuasan tersendiri (Satiadarma 2002). Sikap yang bisa ditunjukan oleh orang tua yaitu dengan menjelaskan kepada anak bahwa tangan bisa saja kotor dan mengandung kuman alat kelamin kelamin merupakan bagian yang sangat sensitif terhadap kuman dan jika disentuh dengan tangan yang kotor anak mengakibatkan penyakit kemudian alihkan perhatian anak (Andika 2010). Sikap yang ditunjukan ibu terkait perilaku seksual anak menurut teori yang dijelaskan di atas sudah cukup baik yaitu dengan melarang ataupun menasehati perilaku anak tersebut namun sikap ibu tersebut tidak didasari dengan pemahaman yang baik terhadap perilaku seksual yg ditunjukan oleh anak. Ibu di sini tidak beranggapan bahwa perilaku seksual yang ditunjukan oleh anak merupakan hal normal namun lebih cenderung beranggapan bahwa hal tersebut kotor atau anak merasa gatal atau bahkan anak ingin buang air kecil. Ibu perlu memahami perilaku yang ditunjukan anak seperti suka memegang alat kelaminnya merupakan hal yang normal pada anak dalam memuaskan hasrat 80 seksualnya di sini juga ibu dapat mengajarkan pada anak bahwa hal tersebut bersifat privasi sehingga anak akan bisa mengontrol perilakunya tersebut. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Pemberikan pendidikan seks pada anak yang dilakukan oleh ibu dalam penelitian ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok (subtema) antara lain: faktor pendukung dan faktor pembatas. a. Faktor pendukung Ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak terdapat beberapa faktor atau hal-hal yang membuat ibu mau mengajarkan pendidikan seks pada anak. faktor-faktor pendukungnya antara lain: agar anak dapat mengenal dan mengerti kekhawatiran ibu bahwa anak mendapatkan informasi yang salah keinginan ibu untuk mengajarkannya dan harapan ibu agar anak bisa menjadi jaga dirinya sendiri. Wilson et.all (2010) mengemukakan hal-hal yang memotivasi orang tua berbicara tentang seks pada anak antara lain: untuk melindungi anak dari bahaya potensi seks untuk mengatasi informasi yang salah dari sumber lain untuk mengkomunikasikan nilai-nilai orang tua tentang seks. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti tidak jauh berbeda dengan penelitian yang terkait yang menemukan bahwa faktor pendukung ibu 81 memberikan pendidikan seks pada anak antara lain: kesadaran ibu mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak agar anak memiliki pengetahuan mengenai pendidikan seks anak memiliki self-esteem yang baik sehingga terhindar dari bahaya potensi seks dan menghindari sumber informasi yang salah untuk anak terkait pendidikan seks. b. Faktor pembatas Dalam memberikan pendidikan seks pada selain faktor pendukung yang membuat ibu mau mengajarkan pada anak terdapat pula faktor pembatas atau hambatan yang dirasakan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. faktor-faktor tersebut antara lain: mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan anak anggapan bahwa anak belum pantas mendapatkan pendidikan seks merasa masalah mengenai seks adalah suatu yang kotor atau tabu perasaan malu untuk menjelaskannya perasaan bosan karena anak sering mengulang pertanyaan terkait masalah seks perasaan takut bahwa anak akan menceritakannya kepada teman-temannya. Wilson et.al (2010) dalam penelitian juga menemukan hambatan yang dirasakan oleh orang tua untuk berbicara tentang seks pada anak. Hal-hal yang menjadi hambatan antara lain: persepsi bahwa anak tidak siap untuk mendengarkan mengenai seks ketidaktauan orang tua bagaimana berbicara mengenai seks pada anak kurangnya waktu dan motivasi orang tua dalam membicarkan terkait seks pada anak tidak memiliki pemikiran tentang berbicara seks merupakan suatu kebutuhan disfungsi dalam beberapa keluarga serta bahasa dan 82 budaya yang menjadi hambatan bagi orang tua dan anak untuk berbicara mengenai seks. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nambambi dan Mufune (2011) mengungkapkan faktor-faktor yang menghambat orang tua berdiskusi mengenai seks pada anak antara lain: perasaan malu kurangnya kesadaran untuk membicarakan seks pada anak kurang percaya diri keterampilan komunikasi yang buruk dan kurangnya tradisi orang tua untuk membicarakan mengenai seks pada anak. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hasil yang ditemukan dalam penelitian tidak jauh berbeda dengan hasil temuan penelitian lainnya bahwa dalam penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang membatasi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak anatara lain: pertama mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan anak. Kesulitan ibu dalam berbicara mengenai seks pada anak terlihat bahwa ibu tidak tahu bagaimana membicarakan soal seks pada anak dan menunjukan pula bahwa keterampilan dalam berkomunikasi terkait seks masih kurang. Kedua anggapan bahwa anak belum pantas mendapatkan pendidikan seks. Hal ini menujukan persepsi ibu bahwa anak tidak siap untuk mendengarkan mengenai seks. Ketiga merasa masalah mengenai seks adalah suatu yang kotor atau tabu. Hal ini menujukan bahwa tradisi atau budaya ibu untuk membicarakan mengenai seks pada anak yang masih kurang karna 83 dianggap tabu sehingga tidak melihat pendidikan seks merupakan kebutuhan untuk anak. Selanjutnya yang menjelaskannya. Kelima keempat perasaan malu untuk perasaan bosan karena anak sering mengulang pertanyaan terkait masalah seks dan terakhir adalah perasaan takut bahwa anak akan menceritakannya kepada temantemannya. Hal ini menujukan bahwa tradisi atau budaya ibu untuk membicarakan mengenai seks pada anak yang masih kurang karena dianggap tabu sehingga membuat ibu merasa malu dan takut. Ibu pun tidak melihat pendidikan seks merupakan kebutuhan untuk anak. B. Keterbatasan Penelitian Peneliti dalam melaksanakan penelitian ini peneliti masih memiliki keterbatasan antara lain: 1. Penelitian ini merupakan pengalaman pertama bagi peneliti sehingga peneliti mengalami memperhatikan pengalaman banyak semua dalam kesulitan yang melakukan dalam diungkapkan analisis mendengarkan informan. data kualitatif dan Kurangnya sehingga menyebabkan peneliti mengalami kesulitan terutama dalam menentukan tema dan sub tema dari hasil wawancara yang telah dilakukan. 2. Hambatan kultural dimana pembicaraan mengenai seks merupakan hal tabu. Informan di sini masih kurang terbuka dalam menggungkapkan pernyataan terkait penelitian ini. Waktu penelitian yang terbatas membuat hubungan saling percaya antara peneliti dan informan yang masih kurang 84 juga dirasakan oleh peneliti sehingga hasil dari penelitian pun dirasa masih belum mendalam. 3. Keterbatasan dalam memperoleh referensi yang terkait dengan penelitian ini sehingga mempengaruhi pembahasan dalam penelitian ini. BAB VII KESIMPULAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman secara mendalam mengenai pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Berdasarkan tema-tema yang teridentifikasi pada hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ibu adalah pemberi pendidikan seks utama pada anak. Peran ayah sebagai orang tua selain ibu di sini kurang berperan dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hal tersebut dikarenakan kesibukan ayah berkeja mencari nafkah untuk keluarga sehingga tidak memiliki kesempatan yang cukup banyak bagi anak apalagi untuk memberikan pendidikan seks pada anaknya. 2. Orang tau khususnya ibu percaya bahwa pendidikan seks merupakan hal yang penting bagi anak namun hal tersebut tidak didukung dengan pemahaman atau persepsi yang cukup baik mengenai pendidikan seks khususnya pada anak usia prasekolah yang masih beranggapan bahwa anak usia 3 hingga 6 tahun masih belum pantas diberikan pendidikan seks. 3. Ibu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dasar seksualitas manusia secara umum. Namun untuk pengetahuan ibu mengenai seksualitas pada anak khususnya anak usia prasekolah masih kurang. 4. Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks ditunjukan ketika anak bertanya dan melakukan perilaku seksual. Secara umum sikap yang ditunjukan oleh ibu sudah cukup baik. Ibu memiliki kemampuan kemampuan dalam memberikan pendidikan seks pada anak namun masih kurang memahami bagaimana semestinya bersikap dalam memberikan pendidikan bseks khususnya pada anak usia prasekolah baik terkait pertanyaan yang dilontarkan anak maupun perilaku yang ditunjukan oleh anak. 5. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung antara lain: kesadaran orang tua mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak agar anak memiliki pengetahuan mengenai pendidikan seks anak memiliki self-esteem yang baik sehingga terhindar dari bahaya potensi seks dan menghindari sumber informasi yang salah untuk anak terkait pendidikan seks. Sedangkan faktor pembatasnya antara lain: kesulitan dalam menjawab pertanyaan anak anggapan bahwa anak belum pantas mendapatkan pendidikan seks merasa masalah mengenai seks adalah suatu yang kotor atau tabu perasaan malu untuk menjelaskannya perasaan bosan karena anak sering mengulang pertanyaan terkait masalah seks dan terakhir adalah perasaan takut bahwa anak akan menceritakannya kepada teman-temannya. B. Saran Saran yang dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Orang tua Untuk meningkatkan kemampuan dalam memberikan pendidikan seks pada anak serta meningkatkan pemahaman mengenai perkembangan seksual pada anak dan pendidikan seks berdasarkan usia anak khususnya pada anak usia prasekolah. 2. Instalasi pendidikan anak usia dini Dapat memasukan pendidikan seks sebagai salah satu program pendidikan baik untuk anak usia prasekolah maupun pada orang tua. 3. Perawat komunitas Dapat menjalankan perannya sebagai edukator dan konselor baik bagi orang tua maupun anak terkait dengan perkembangan seksual pada anak dan pendidikan seks anak usia prasekolah dalam meningkatkan pentingnya pemberikan pendidikan seks sejak dini. 4. Bagi peneliti selanjutnya Perlu diadakannya penelitian yang lebih mendalam lagi tentang pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) dalam waktu yang lebih lama dan karakteristik informan yang lebih beragam. Peran ayah dalam memberikan pendidikan seks pada anak pun dapat diteliti oleh peneliti selanjutnya untuk melihat peran serta orang tua selain ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. DAFTAR PUSTAKA Almeida, Ana Carla Campos Hidalgo De & Centa, Maria De Lourdes. Parents Experience With The Sexual Education Of Their Children: Implications For Nursing Care. ACTA. 2008 Andika Alya. Ibu Dari Mana Aku Lahir? Cara Cerdas Mendidik Anak Tentang Seks. Yogyakarta: Pustaka Grhatama. 2010 Asmani, Jamal Ma’mur. Managemen Strategis Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: Diva Press. 2009 Baharits Adnan Hasan Shalih. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki. Jakarta: Gema Insani Press. 2005 Bastable, Susan B. Perawat Sebagai Pembelajaran. Jakarta: EGC. 2002 Bkkbn. 2010. Mengapa Pendidik: Perlu http://kepri.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/AllItems.aspx. Prinsip-Prinsip dan Pendidikan Seks. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 10.30 WIB BKKBN. 2013. Selama Januari Terjadi 42 Kasus Pelecehan Seksual Pada Anak. http://dkijakarta.bkkbn.go.id/Lists/Berita/DispForm.aspx?ID=698&Conten Diakses tTypeId=0x0100A28EFCBF520B364387716414DEECEB1E. pada tanggal 25 april 2013 pukul 19.53 WIB. Bulecheck Gloria M. Butcher Howard K. Dochterman Joanne M & Wegner Cheryl. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier. 2013 Dharma, Kusuma. Metodelogi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Trans Info Media. 2011 El- Qudsy, Hasan. Ketika Anaka Bertanya Tentang Seks, Panduan Islami Bagi Orang Tua Mendampingi Anak Tumbuh Menjadi Dewasa. Solo: Tinta Medina. 2012 Elliott Sinikka. Parents’ Constructions of Teen Sexuality: Sex Panics, Contradictory Discourses, and Social Inequality. North Carolina State University Symbolic Interaction Volume 33Number 2, 2010 Hasan, Maimunah. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Yogyakarta: Diva Press. 2009 Iskandar. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press. 2009 Johnson, Kerri L., Tassinary, Louis G., & Lurye, Leah E. Sex Categorization Among Preschool Children: Increasing Utilization Of Sexually Dimorphic Cues. Child Development, Volume 81, Number 5, Pages 1346-1355. 2010 KBBI, 2013. www.KamusBahasaIndonesia.org. Diakses pada tanggal 27 April 2013 pukul 20.38 WIB _________.http://kbbi.web.id/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 11.07 WIB. Kenny, M.C & Wurtele, S. K. Toward Prevention of Childhood Sexual Abuse: Preschoolers’ Knowledge of Genital Body parts. In M. S. Plakhotnik & S. M. Nielsen (Eds.), Proceeding of the Seventh Annual College of Education Research Conference: Urban and Internasional Education Section (pp. 74-79). Miami: Florida Internasional University Kliegman, Robert M. Nelson Textbook Of Pediatrics 19th Edition. United States of America: Saunders. 2011 Kurniawati, Tenti; Rahmat, Ibrahim & Lusmilasari, Lely. Hubungan antara persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun dengan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks di Suronatan dan Serangan Notoprajan Yogyakarta. Jurnal kebidanan dan keperawatan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah, Yogyakarta. 2005 Kusumawati, Arum Tri. Hubungan tingkat pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks dini dengan perkembangan perilaku seks pada anak 3-6 tahun di TK Cipto Rahayu Kec. Gedeg, Kab. Mojokerto. Jurnal keperawatan Bina Sehat. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. 2009 LAI, Ching Yuk. An Exploratory Study Of Parents’ Perceptions Of Teaching Sex Education In Hong Kong Preschool. The Hong Kong Institute Of Education. 2005 Lubis, Dina Putri Utami. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengajarkan pendidikan seksual pada anak usia 4-6 tahun di TK Dharma Bakti IV Tamantirto, Bantul, Yogyakarta. Samodra ilmu: jurnal kesehatan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yogyakarta. 2012 Madani, Yusuf. Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam: Panduan Bagi Orang Tua, Guru, Ulama, Dan Kalangan Lainnya/ Yusuf Madani; Penerjemah, Irwan Kurniawan; Penyunting, Yudi. –Cet. 1. Jakarta: Pustaka Zahra. 2003 Martin, Karin A & Luke, Katherine. Gender Differences In The ABC’s Of The Birds And The Bees: What Mothers Teach Young Children About Sexuality And Reproduction. Department of Sociology, University of Michigan USA. 2010 Miller Kim S. Fasula E Amy M. Dittus E Patricia. Wiegand E Ryan E. Wyckoff E Sarah & McNair Lily. Barriers and Facilitators to Maternal Communication with Preadolescents about Age-Relevant Sexual Topics. AIDS Behav (2009) 13:365–374 DOI 10.1007/s10461-007-9324-6 Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010 Nambambi Ndishishi M & Mufune Pempelani. What Is Talked About When Parents Discuss Sex With Children: Familiy Based Sex Education In Windhoek Namibia. Africa Journal Of Reproductive Health Desember 2011; 15(4):\2Q Narendra, M. B. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: PT. Sagung Seto. 2002 Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. 2005 Novita, Windya. Serba-Serbi Anak, yang Perlu Diketahui Seputar Anak dari dalam Kandungan Hingga Masa Sekolah. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2007 Pinem Saroha. Kesehatan Reproduksi Dan Kontrasepsi. Jakarta: Tim. 2009 Potter, Patricia A. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik, Edisi 4. Jakarta: EGC. 2005 Rimm Sylvia. Mendidik dan menerapkan disiplin pada anak prasekolah. Jakarta: gramedia pustaka utama. 2003 Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKis. 2009 Saringendyanti W, E. Pendidikan Seks untuk Anak. Jakarta: Puspa Swara. 1998 Saryono & Anggraeni, Mekar Dwi. Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. 2010 Setiadarma Monty P. Pura-Pura Sakit Untuk Mencari Simpati (Sindroma Munchausen) Sebuah Kajian Psikologis. Jakarta: Pustaka Populer Obor. 2002 Skripsiadi, Erwin J. Pendidikan Dasar Seks Untuk Anak Sebagai Panduan Diskusi Dalam Keluarga. Yogyakarta: Curiosita. 2005 Steubert, Helen J & Carpenter, Dona R. Qualitative Research in Nursing: Advancing the Humanistik Imperative. USA: Lippincott. 2003 Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. 2010 Sumantri, Arif. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada. 2011 Sunaryo. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 2004 Supartini, Yupi. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. 2004 Tripathi Niharika & Sekher T V. Youth in India Ready for Sex Education? Emerging Evidence from National Surveys. International Institute for Population Sciences, Deonar, Mumbai, Maharashtra, India. 2013 Walker, Joy L. A Qualitative Study Of Parents’ Experience Of Providing Sex Education For Their Children: The Implications For Health Education. SAGE Publication Health Education Journal 2001; 60; 132. 2001 Wasis. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC. 2008 Wawan, A dan Dewi, M. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan. Perilaku Manusia.. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010 Wilson Ellen K. Dalberth Barbara T. Koo Helen P & Gard Jennifer C. Parents’ Perspectives on Talking to Preteenage Children About Sex. Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 2010, 42(1):56–63, doi: 10.1363/4205610 U.S. Wong, Donna L. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Edisi 6. Jakarta: EGC. 2008 Pedoman Wawancara 1. Apa saja yang ibu/bapak ketahui mengenai organ-organ seksual pada manusia? 2. Apa fungsi dari organ-organ seksual yang ibu/bapak sebutkan tadi? 3. Perubahan fisik apa saja yang akan terjadi pada anak ketika anak tumbuh remaja hingga dewasa? Sebutkan! 4. Apakah ibu/bapak sudah menjelaskan secara sederhana mengenai organorgan seksual manusia serta fungsinya dan perubahan fisik yang akan terjadi pada anak usia 3 hingga 6 tahun ini? Jika ya, bagaimana cara ibu/bapak menjelaskan hal tersebut kepada anak? 5. Bagaimana respon anak ketika ibu/bapak menjelaskan hal tersebut? 6. Bagaimana perasaan ibu/bapak ketika menjelaskan hal tersebut pada anak? 7. Hal-hal apa saja yang mendukung ibu/bapak dalam mengajarkan hal tersebut kepada anak? 8. Apa saja kesulitan yang ibu/bapak rasakan ketika mengajarkan hal tersebut kepada anak? 9. Apa yang Ibu/Bapak ketahui mengenai pendidikan seks usia dini? 10. Sejak kapan sebaiknya pendidikan seks itu diberikan pada anak menurut ibu/bapak? Pada usia berapa? 11. Seberapa pentingkah pendidikan seks untuk anak Ibu/Bapak khususnya pada anak usia 3 hingga 6 tahaun? 12. Pendidikan seks apa saja menurut Ibu/Bapak yang dapat diberikan pada anak usia 3 hingga 6 tahun? 13. Sikap atau perilaku dan pertanyaan apa saja yang ditunjukan anak Ibu/Bapak terkait masalah seks? 14. Bagaimana sikap Ibu/Bapak dalam mengahapi perilaku atau sikap serta pertanyaan anak terkait masalah seks yang dilakukan oleh anak 3 hingga 6 tahun? 15. Apakah Ibu/Bapak menggunakan sumber informasi dalam memberikan pendidikan seks pada anak? Dari mana? 16. Apa ibu/bapak mendapatkan pengajaran mengenai pendidikan seks sebelumnya? Kapan dan oleh siapa? 17. Dari bapak maupun ibu siapa yang paling berperan aktif untuk menjelaskan mengenai pendidikan seks pada anak? Matrikulasi Analisa Data Pernyataan signifikan Kategori Subtema “anak saya lebih dekat ya sama Ibu selaku saya. kalau tanya pem apa-apa juga ke saya. beri Kalau bapaknya kan pend kerja.” idika n seks utam a pada anak “seks itu suatu ilmu tapi yang anak Mengajarkan Makna pendidikan seks kecil boleh men mempelajarinya tapi gena dengan pointi alat pointnya tersendiri kela gtu. Maksudnya min anak-anak ini masih dan belom sampe fung kesenggama, jadi ke siny alat kelaminnya itu a. apa dan fungsinya.” “biar ga melenceng dari norma Sebagai bekal agama, dari masalah anak Tema P1 P2 P3 P4 P5 P6 Orang tua yang berpera n aktif dalam member ikan pendidi kan seks pada anak Persepsi orang tua mengen ai pendidi kan seks pada anak yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.” untu k kehi dupa nnya kela k. seks beba s. “diberi tahu bagaimana bahayanya Bahaya berhubungan seks bebas. Apa apa saja ya yang harus dia ketahui untuk dihindari. “ya tentang masa remaja dia masa Masa pubertas pubernya atau masa baliqnya gitu.” “Pendidikan seks ya penting” Penting Tingkat “Sekitar lima tahun gitu karena Usia 5 tahun saat Usia anak segitu kan dia anak mulai bisa bertanya.” mula i berta nya. “baiknya usia sekolah dasar.” Usia sekolah “anaknya masih kecil entar saat Anak dianggap kepentingan pendidikan seks itu untuk anak anak untuk mendapatk anpendidik an seks itu diberikan pada anak. dewasa diajarin.” pasti “Paling kalau anak bertanya baru Orang dijelaskan.” belu m pant as diber ikan pend idika n seks. tua menj elask an jika anak berta nya saja. “Kalau usia segini kasih tahu yang Dijelaskan bisa dia mengerti sese aja.” derh ana mun gkin. “Alat kelamin dan payudara.” Organ reproduksi Organ seksualitas ekste rnal Pengetahuan orang tua mengen ai seksuali tas. “Muka atau wajah” “Fungsi alat kelamin untuk buang air kecil dan berhubungan seksual.” “pada perempuan bisa juga untuk melahirkan” “wanita bisa untuk menstruasi” Wajah Eliminasi urin Hubungan seks ual Jalan lahir “kalau menyusui Peranan seksual payudara pada wanita untuk menyusui.” “Payudara misalkan untuk pria bisa meningkatkan gairah.” “untuk menyukai, untuk menambah semangat.” “Pada perempuan akan mengalami Saluran Fungsi organ seksualitas untuk men galir kan dara h men strua si Hasrat seksual Menstruasi Tumbuh kembang menstruasi dan Pertumbuhan seksual payudara membesar.” payu pada anak dara “Perubahan badan.” Perubahan bentuk tubu h “Perubahan suara pada laki-laki.” Perubahan suara “Tumbuhnya rambut di bagian Tumbuh rambut di tertentu kaya kumis daer atau jenggot.” ah terte ntu. “sikapnya lebih dewasa.” Perubahan sikap “kalau dia punya suami bisa Dapat berhubungan dengan berh suaminya.” ubun gan seks ual “Terus kalau laki-laki baliqnya Mimpi basah kan mimpi gitu kan” “payudaranya bisa mengeluarkan Mengeluarkan air susu kalau dia ASI melahirkan.” Melahirkan “ada malu.” Timbul perasaan malu “pengalaman sendiri” pengalaman Sumber informasi “Kan ibu-ibu suka ngumpul kan? Dari informasi mereka juga bisa.” “Dari TV” “Paling aku pernah baca di majalah waktu itu pernah ada, baca di majalah atau di Koran” “Ya tahunya ya dari belajar dari sekolah dari biologi” “iya suka bertanya. kalau lagi dia liat gitu suka bertanya. ya dijelaskan sebisanya kita aja ngejelasinnya gitu.” Dari orang lain TV Majalah orang tua dalam member ikan pendidi kan seks pada anak. Dari atau kora n guru di Riwayat pendidikan seko seks orang lah tua Menjelaskan Sikap orang tua terkait Sikap sede pertanyaan rhan anak a jika anak berta nya. “kok laki-laki punya panjang, Mengiyakan kalau perempuan ga pern ada katanya gitu. Ya yata belom terlalu di ini an sih..paling dia bilang anak dipotong abis ya? Ya dipotong abis, makanya jangan nakal, kalau nakal nanti dipotong abis kaya ibu.” “kalau kemaluannya sendiri dia Melarang nya suka pegang. jangan kaka kotor.” Sikap orang tua terkait perilaku seksual anak. “palingan anak gatel aja, paling Menganggap digaruk-garuk gitu bah aja. disuruh cebok ke wa kamar mandi.” anak gatel . “Paling sering kita kasih tahu Dinasehati bahwa kalau perbuatan kaya tinda kan gitu engga baik itu takutnya kalau dia tidak dibiarkan takut baik keterusan.” “biar dia lebih mengenal dan Biar anak tahu Faktor pendukung mengerti.” Faktor-faktor yang mempe ngaruhi orang tua dalam member ikan pendidi kan seks pada anak “Kalau lagi ga bete ya pengen Kalau lagi ada ngejelasin, saya kein jelasin.” gina n saja. “paling buat jaga diri” Jaga diri “Karna anak saya ga pernah bertanya jadi saya belom pernah ngajarin.” tidak “Biar dia ga cari tau diluar jadi Agar men dia ga salah dalam dapa mengambil tkan informasi.” infor masi yang salah dari luar. “belom ada sih sampai sekarang.” Belum ada Faktor pembatas kesu litan “Kesulitannya ya kalau dia nanya Mengalami yang macem-macem kebi lagi. Saya binggung nggu jawabnya.” ngan untu k menj awa b. “Takut dibilang kotor.” Tabu “perasaannya malu juga ketika Merasa malu menjelaskannya.” “Jadi dia yang dipertanyakan itu Merasa bosen lagi…itu lagii..jadi saya tuh kalau dibilang bosen ya bosen.” “takut dia ngomong sama temen- Takut anak temennya.” men gata kan kepa da tema nnya .