pengalaman pendidikan sek prasekolah (3 09 kelurahan cipi

advertisement
i
PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA
PRASEKOLAH (3
(3-66 TAHUN) DI PAUD MENUR RW.
09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH :
SUMARYANI
109104000030
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
i
ii
ii
iii
L
iii
iv
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Sumaryani
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta 27 Juni 1991
Status Pernikahan
: Belum menikah
Alamat
: Jl. Cipinang Lontar II Rt.007/Rw.009 No.15
Kelurahan Cipinang Kecamatan Pulogadung Jakarta
Timur 13240
Telepon
: 085695348117
Email
: [email protected]
Riwayat Pendidikan
1. TK Bhayangkari 16
[1996-1997]
2. SD Negeri Cipinang 05 Jakarta Timur
[1997-2003]
3. SMP Negeri 92 Jakarta Timur
[2003-2006]
4. SMA Negeri 31 Jakarta Timur
[2006-2009]
Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:
1. Peserta Nursing Camp Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan
(ILMIKI) Wilayah
III (DKI Jakarta Jawa Barat dan Banten)
“Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan Dalam Menghadapi
Tantangan Global” tahun 2011
2. Seminar Kesehatan Masyarakat “Thinking Before Eating berlebihankah
konsumsi MSG anda” tahun 2011
3. Seminar “Role of Bioinformatics in Biological Sequence Analysis and
Genomic Epidemiology” tahun 2012
4. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012
5. Seminar Nasional
“Uji Kompetensi Nasional Perawat: Meningkatkan
Peran dan Mutu Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan
Global” tahun 2012
v
vi
6. Seminar Nasional Keperawatan “NANDA, NIC, NOC: Concept,
Implementation and Innovation for Better Quality of Nursing Service in
Indonesia” tahun 2013
vi
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi bagaikan kumpulan ilmu, keringat, jerih payah, dan suka duka selama 4
tahun menjalani bangku perkuliahan. Lembar ini saya dedikasikan untuk mereka
yang selalu sedia membantu dan menyemangati. Terima kasih sedalam-dalamnya
saya ucapkan kepada:
Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan rahmat serta karuniaNya.
Kedua orang tua tercinta yang telah senantiasa memberikan cinta, kasih sayang,
bantuan secara langsung maupun tidak langsung dan selalu mendoakan untuk
keberhasilan saya.
Kakak-kakak saya tersayang (Sumarni Tuti Mardiah Kiah Marliah dan Ahmad
Abdul Rojak) yang selalu memberi tawa dan celotehan-celotehan yang
memotivasi saya untuk segara menyelesaikan tugas akhir saya ini.
Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan keceriaan selama 4 tahun belajar
bersama (Anggi Arum Ayu Inggar Sheshe Sumi Tiwi Winda dan Yanti) yang
tak pernah luput canda, tawa, bantuan, semangat, dan doa yang selalu diberikan
kepada saya.
Sahabat group ONE (Adelia Nining Qoys Rusmanto dan Ummi) yang telah
bersama-sama untuk saling membantu medukung memotivasi dan bertukar
pikiran dalam menyelasaikan tugas akhir ini.
Teman-teman seperjuang lainnya (Desi Sri Siska Ami Dewi Cicy) yang telah
bersama melalui perjalanan hingga akhir penyelesaian tugas akhir ini.
vii
viii
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi Januari 2013
Sumaryani NIM: 109104000030
Pengalaman Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia
Prasekolah (3 Hingga 6 Tahun) di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang
Jakarta timur
x + 87 halaman + 4 lampiran
ABSTRAK
Perilaku seksual yang ditunjukan anak khususnya usia prasekolah dalam
memuaskan rasa keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi
orang tua khususnya ibu dalam menginterpretasikan rasa keingintahuan yang
ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan
seks. Masalahnya seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada
anak usia 3 hingga 6 tahun apalagi untuk mengajarkannya kepada anak. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan
seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun). Metode yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif pengambilan
data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dipilih dengan
teknik purposive sampling. Informan pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki
anak usia 3 hingga 6 tahun yang bersekolah di PAUD Menur. Data dianalisis
menggunakan metode Colaizzi. Penelitian ini mengidentifikasikan 5 tema yaitu:
(1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak (2)Persepsi ibu
mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3)Pengetahuan ibu mengenai
pendidikan seks (4)Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak
prasekolah dan (5)Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan
pendidikan seks pada anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu merupakan
pemberi pendidikan seks utama pada anak. Peran ayah tidak terlihat. Ibu percaya
pentingnya pendidikan untuk anak namun tidak memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup baik mengenai pendidikan seks khususnya pada anak
usia prasekolah. Orang tua perlu meningkatkan pemahaman serta pengetahuannya
mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah. Penambahan
program pendidikan seks di PAUD akan membantu orang tua dan anak terkait
perkembangan seksual anak.
Kata kunci: ibu pendidikan seks anak prasekolah
Daftar Bacaan: 48 (1998 - 2013)
viii
ix
NURSING SCIENCE PROGRAM
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
Undergraduate Thesis January 2014
Sumaryani NIM : 109104000030
Mothers Experience In Providing Sex Education In Preschooler ( 3 to 6 years
) in PAUD Menur RW.09 Cipinang Village East Jakarta
xii + 87 pages + 4 appendixes
ABSTRACT
Sexual behavior is shown in the preschool age children especially satisfying
curiosity related to sexual exploitation is an indication of parents, especially
mothers in interpreting child's curiosity as a marker indicated that the child is
ready to be given sex education. The problem of sex still considered taboo,
especially in children aged 3 to 6 years let alone teach it to children. This study
aims to determine the mother's experience in providing sex education to preschool
children (3 to 6 years). The method used is a qualitative research study design
descriptive phenomenological research data collection is done by in-depth
interviews. Informants were selected by purposive sampling technique.
Informants in this study were mothers of children aged 3 to 6 years old who attend
PAUD Menur. Data were analyzed using Colaizzi method. This study identifies
five themes namely:(1)Mother as the main providers of sex education on
children (2)Mother perceptions regarding sex education in preschool children
(3)Mother knowledge about sex education( 4 ) The attitude of the mother in
delivering sex education in preschool children and ( 5 ) the factors affecting the
mother in providing sex education to children . The results showed that mothers
are the main providers of sex education in children. The role of the father is not
visible. Mother believes the importance of education for children but do not have
sufficient knowledge and understanding of both the sex education especially in
preschool children. Parents need to increase the understanding and knowledge
about sex education to children, especially preschoolers. The addition of sex
education programs in PAUD will help parents and children related to sexual
development of children.
Keywords: mother sex education preschoolers.
Reading List: 48 (1998 - 2013)
ix
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI
PAUD MENUR RW. 09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR”.
Skipsi ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan guna memenuhi
persyaratan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep).
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Maftuhah, M.Kep, PHD selaku pembimbing I yang telah membimbing
serta mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Jamaludin, S.Kp.,M.Kep selaku pembimbing II yang telah mengoreksi
serta menyetujui penulis untuk mengajukan skripsi ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti
selama duduk pada bangku kuliah serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi,
S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah banyak membantu.
7. Ketua Pengurus dan pengajar di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang
Jakarta Timur
8. Orang tua serta keluarga besar yang telah mendukung, mengingatkan dan
memberi motivasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
x
xi
9. Temen-teman angkatan 2009 yang telah memberikan semangat serta masukan
kepada penulis.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam kesempatan ini.
Peneliti sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan skripsi ini agar lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
baik untuk penulis maupun pembaca.
Jakarta, Januari 2014
Sumaryani
xi
xii
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN
……………………………………………
i
……………………
ii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………. iii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………
……………………………………
vii
……………………………………………………………
viii
LEMBAR PERSEMBAHAN
ABSTRAK
v
ABSTRACT ……………………………………………………………
ix
……………………………………………
x
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
……………………………………………………
xii
DAFTAR TABEL
……………………………………………………
xiv
DAFTAR BAGAN …………………………………………………
xv
DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
……………………………………………
1
A. Latar Belakang
……………………………………………
1
B. Rumusan Masalah
……………………………………………
7
C. Tujuan Penelitian
……………………………………………
7
D. Manfaat Penelitian
……………………………………………
8
E. Ruang Lingkup Penelitian
………………………………….
8
……………………………………
10
……………………………………………………
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengalaman
B. Anak Usia Prasekolah
……………………………………
11
……………………………………………
20
……………………………………………………………
24
C. Pendidikan Seks
D. Ibu
xvii
E. Kerangka Teori
……………………………………………
xii
39
xiii
……………………………………
40
A. Kerangka Konsep
……………………………………………
40
B. Definisi Istilah
……………………………………………
41
BAB IV METODELOGI PENELITIAN ……………………………
42
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Desain Penelitian
……………………………………………
42
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………………
43
C. Informan Penelitian
……………………………………………
44
D. Instrumen Penelitian ……………………………………………
45
E. Teknik Pengambilan Data
……………………………………
45
F. Teknik Analisis Data ……………………………………………
45
G. Validasi Data ……………………………………………………
47
H. Etika Penelitian
……………………………………………
48
……………………………………
50
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
……………………
50
……………………………
51
……………………………………………
67
A. Pembahasan Hasil Penelitian ……………………………………
67
B. Keterbatasan Penelitian
……………………………………
84
……………………………
85
B. Analisa Tematik Hasil Penelitian
BAB VI PEMBAHASAN
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
………………………………………………….
B. Saran ……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
85
87
xiv
DAFTAR TABEL
halaman
No. tabel
Tabel 2.1
Penelitian Terkait……………………………………….
35
Tabel 5.1
Karakteristik Informan……………………………….
51
Tabel 5.2
Tabel Tematik ……………………………………….
64
xiv
xv
DAFTAR BAGAN
No. Bagan
halaman
Bagan 2.1
Kerangka Teori…………………………………………….. 39
Bagan 4.1
Teknik Analisa Data……………………………………….. 47
xv
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Pedoman Wawancara
Lampiran 2
Matriks Analisa Data
Lampiran 3
Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 4
Biodata Informan
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada
anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) apalagi untuk mengajarkannya kepada
anak. Masyarakat terkadang merasa tabu dalam membicarakan persoalan
mengenai seks kepada anak, menurut Skripsiadi (2005) terdapat dua hal yang
membuat masyarakat merasa tabu dalam membicarakan hal tersebut,
diantaranya: faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seks di
depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat
pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain, dan pengertian
seks yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seks
seolah-olah hanya diartikan ke arah hubungan seksual. Kenyataanya
pembicaraan soal seks pada anak usia prasekolah sangatlah penting, karena
pada usia tersebut anak sudah mulai untuk melakukan eksploitasi seks.
Eksploitasi seks yang dilakukan pada anak usia prasekolah, misalnya
mengelus diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan,
atau orang di sekitar mereka, percobaan seksual lainnya terhadap lawan
jenisnya dan mengajukan pertanyaan terkait seks (Potter dan Perry, 2005).
Percobaan seksual lainnya terhadap orang lain contohnya, memegang
payudara wanita dewasa, mengintip orang mandi, dan lainnya. Contoh
pertanyaan yang diajukan anak terkait seks, seperti: “kenapa bisa ada bayi di
dalam perut ibu”, “bagaimana bayi keluar”, dan sebagainya. Sikap dan
1
2
perilaku yang terkadang membuat orang tua khususnya ibu kewalahan tersebut
merupakan rasa keingintahuan yang normal untuk mengenal organ genitalnya,
serta perbedaan struktur tubuh antara laki-laki dan perempuan (Kliegman,
2011 dan Wong, 2008). Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan perlu dilakukan sejak usia prasekolah
(Skripsiadi, 2005). Tidak ada batasan yang jelas kapan pendidikan seks dapat
diberikan pada anak, namun dengan munculnya perilaku-perilaku tersebut
dapat menjadi suatu indikasi untuk orang tua dalam menginterpretasikan rasa
keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk
diberikan pendidikan seks (Potter dan Perry, 2005).
Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada anak
tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi
psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan
seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku
seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopause, serta penyakit kelamin
(Skripsiadi, 2005). Pada usia prasekolah pendidikan seks yang dapat diberikan
oleh orang tuaadalah mengajarkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai
untuk genitalia perempuan dan laki-laki (Potter dan Perry, 2005). Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Johnson,
Tassinary, dan Lurye (2010) yang membuktikan bahwa perkembangan konsep
penting dari pria dan wanita terjadi pada usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini juga
sesuai dengan tugas perkembangan anak pada usia tersebut yakni, menguatkan
rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang
didefinisikan secara sosial (Potter dan Perry, 2005).
3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kenny dan Wurtele (2008) pada
anak taman kanak-kanak (TK) atau daycare di Miami, Florida menyatakan
bahwa anak lebih mengenal nama bagian tubuh yang non genital seperti:
tangan, kaki, mata, dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil anak yang
mengetahui istilah vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk alat
kelamin laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa masih kurang peran orang tua
dalam memperkenalkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk
genitalia perempuan maupun laki-laki.
Pendidikan seks yang dapat diberikan orang tua pada anak usia
prasekolah selain memperkenalkan jenis kelamin yaitu, mengajarkan kepada
anak mengenai area “privasi” sebelum anak masuk sekolah (Kliegman, 2011).
Pendidikan seks tersebut akan membantu orang tua dalam mengembangkan
anak menjadi sehat secara seksual. Anakpun akan memiliki self-esteem yang
lebih baik di masa dewasanya sehingga anak akan terhindar dari pelecahan
seksual yang sedang marak terjadi (Skripsiadi, 2005).
Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia
menjadi hal yang paling memprihatikan saat ini. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan bahwa telah tercatat selama
tahun 2012, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus tindakan kekerasan seksual
terjadi pada anak. Kasus ini mengalami peningkatan signifikan hingga
mencapai 10 persen sepanjang tahun 2012 dibandingkan tahun 2011. Pada
tahun 2013, selama bulan Januari hingga awal Februari 2013 di wilayah
Jabodetabek saja, pihaknya sudah mendapat laporan kejahatan seksual
terhadap anak sebanyak 42 kasus yang terjadi. (BKKBN, 2013)
4
Masih tingginya kasus pelecehan seksual pada anak yang bahkan
dilakukan oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukan
pentingnya pendidikan seks sejak usia prasekolah. Masalahnya, pendidikan
seks kurang diperhatikan orang tua sehingga mereka menyerahkan semua
pendidikan seks pada saat anak bersekolah. Penelitian yang dilakukan LAI
(2005) dalam mengetahui persepsi orang tua terhadap pelaksanaan program
pendidikan seks pada anak Taman Kanak-Kanak (TK) di Hong Kong,
mendapati bahwa orang tua memiliki pemahaman yang tidak adekuat terhadap
pendidikan seks yang dilakukan oleh pihak Taman Kanak-Kanak. Hal ini
disebabkan masih tabunya anggapan orang tua mengenai pendidikan seks
untuk anak prasekolah.
Pendidikan seks untuk anak usia prasekolah masih dianggap tabu oleh
orang tua karena beranggapan bahwa pendidikan seks belum pantas diberikan
pada anak kecil. Anggapan yang demikian tak jarang orang tua mengalihkan
pembicaraan, kadang mereka membentak dan melarang anak dalam
berperilaku dan bertanya terkait masalah seks. Jika orang tua berusaha
menjawab pertanyaan anak terkait masalah seks, tak jarang jawaban yang
diberikan malah terkesan ngawur atau salah. Padahal jawaban yang demikian
dapat memicu anak untuk mengeksplor sendiri, karena mereka merasa
penasaran dan mencari jawaban sendiri, apabila tidak mendapatkannya dari
orang tua. Semakin berkembang teknologi semakin mudah anak mendapatkan
informasi yang kebenarannya belum tentu dapat dipercaya. Hal yang demikian
menuntut kepekaan dan keterampilan orang tua agar mampu memberi
5
informasi dalam porsi tertentu, sehingga tidak membuat anak semakin
bingung atau penasaran. (Skripsiadi, 2005)
Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Kurniawati, Rahmat, &
Lusmilasari (2005) membuktikan bahwa secara umum persepsi dan sikap ibu
dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun kurang baik. Hal
ini dilihat dari pandangan atau pendapat ibu terhadap perasaan mendukung
atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak yang
berkaitan dengan perkembangan seksual anak dan peran ibu dalam
menerapkan pendidikan seks pada anak. Adapun kesimpulan dari penelitian
ini didapati bahwa terdapat hubungan antara persepsi ibu tentang pendidikan
seks pada anak usia 0-5 tahun dengan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan
seks. Hal ini membutikan bahwa orang tua belum mempunyai pemahaman
yang kuat dan belum menjalankan tugasnya dalam mengajarkan pendidikan
seks pada anak sesuai dengan perkembangan anak. Namun penelitian lain
yang dilakukan oleh Kusumawati (2009) pada salah satu TK di daerah
Mojokerto membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks dini dengan perkembangan
perilaku seks pada anak usia 3 hingga 6 tahun. Oleh karena itu, peran orang
tua sebagai pemberi informasi awal mengenai seks pada anak menjadi salah
satu faktor yang akan mempengaruhi perkembangan dan kehidupan anak
kelak.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi orang tua khususnya ibu
dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak prasekolah menurut Lubis
(2012) antara lain: faktor sosial ekonomi, sosial budaya dan riwayat
6
pendidikan seks. Semakin rendah penghasilan keluarga maka orang tua akan
semakin lama di luar rumah sehingga dalam mengajarkan pendidikan seks
pada anak semakin buruk. Faktor budaya yang masih beranggapan bahwa
pendidikan seks merupakan hal tabu akan mempengaruhi orang tua dalam
memberikan pendidikan seks pada anak, dan riwayat pendidikan orang tua
dalam mendapatkan informasi mengenai seks sebelumnya juga akan
mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PAUD Menur
Rw. 09 Kelurahan Cipinang-Jakarta Timur didapati bahwa dari orang tua
murid yang dijadikan responden dalam studi pendahuluan memiliki karakter,
tingkat pendidikan, pekerjaan dan suku bangsa yang berbeda-beda. Adapun
pekerjaan yang dilakukan oleh para orang tua (ibu) murid PAUD Menur Rw
09 hampir sebagian besar merupakan seorang ibu rumah tangga, sedangkan
pendidikan yang mereka dapatkan sebagian besar telah menempuh hingga
tahap Perguruan Tinggi, dengan begitu data yang diperoleh dalam penelitian
ini menjadi lebih bervariatif.
Pengalaman adalah suatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai,
ditanggung, dan sebagainya) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,
2013). Pengalaman juga merupakan salah satu faktor internal yang dapat
mempengaruhi persepsi, pengetahuan, dan perilaku seseorang (Notoatmojo
2005; Swansburg, 2001 & Sunaryo, 2004). Oleh karena itu, dari suatu
pengalaman kita dapat melihat bagaimana persepsi, pengetahuan, perilaku dan
lainnya dari seseorang terkait fenomena yang terjadi.
7
Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada topik sebelumnya,
membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengalaman orang tua
khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah (usia
3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi persepsi atau pengetahuan,
perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktor-faktor lain yang terkait di
PAUD Menur Rw. 09 kelurahan Cipinang Jakarta Timur.
B. Rumusan Masalah
Perilaku-perilaku yang ditunjukan anak dalam memuaskan rasa
keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi untuk orang
tua menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai
petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks. Tidak jarang orang
tua mengalihkan pembicaraan, bahkan hingga membentak dan melarang anak
apabila anak mereka berperilaku dan bertanya terkait masalah seks. Penelitian
terkait oleh Walker (2001) di Inggris menyimpulkan bahwa orang tua
memiliki
keterampilan
sebagai
pendidik,
namun
masih
mengalami
ketidakpastian dan malu terhadap peran mereka dalam memberikan
pendidikan seks pada anak. Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada
topik sebelumnya sehingga peneliti tertarik ingin menggali secara mendalam
tentang bagaimana pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada
anak prasekolah (usia 3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi
persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun
faktor-faktor lain yang terkait, khususnya di PAUD Menur Rw. 09 Cipinang
Jakarta Timur.
8
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengalaman
ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6
tahun) di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur.
D. Manfaat Penelitian
1. Orang tua
Memberikan informasi tentang pentingnya pendidikan seks pada usia
prasekolah kepada orang tua sebagai pendidik awal bagi anak dan
memperoleh gambaran pengalaman orang tua khususnya ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah.
2. Institusi pendidikan atau PAUD
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk menambahkan
pendidikan seks pada anak sebagai materi yang akan diberikan untuk
orang tua dan anak.
3. Perawat
Melalui penelitian ini, perawat dapat menilai tentang perlunya konstibutor
perawat dalam menjalankan perannya edukator dan konseler,yakni
perawat
dapat
memberikan
informasi
mengenai
seksualitas
dan
berkolaborasi dengan guru menjadi pembimbing baik kepada anak
maupun orang tua dalam menghadapi masalah mengenai perkembangan
seks pada anak.
9
4. Penelitian selanjutnya
Sebagai sumber referensi dan bacaan untuk peneliti selanjutnya dalam
kaitanya dengan pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada
anak prasekolah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada orang tua khususnya ibu yang memiliki
anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) dan bersekolah di PAUD Menur Rw.
09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif. Sampel dalam
penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Sedangkan untuk memperoleh informasi tentang
pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak yang diperoleh
dari data wawancara mendalam (indepth interview) dibantu dengan alat
pencatat dan alat perekam (tape recorder). Penelitian ini perlu dilakukan
untuk mengetahui gambaran dari pengalaman ibu dalam memberikan
pendidikan seks khususnya pada anak prasekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengalaman
1. Pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2013) mengartikan
pengalaman sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalanin, dirasakan,
ditanggung, dan sebagainya). Oakeshott (1933) mengartikan pengalaman
sebagai hal yang subjektif dan merupakan bentuk pemikiran yang
dibangun dan dipengaruhi oleh riwayat hidup seseorang, serta kondisi
sosial budaya dimana pengalaman tersebut terjadi (Jarvis, 2004).
Pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi
persepsi seseorang (Notoatmodjo, 2005). Pengalaman juga mempengaruhi
pengetahuan seseorang, walaupun seseorang dapat mempelajari suatu hal
dengan menghafal, pengalaman sebelumnya dapat dijadikan pembelajaran
yang bermanfaat (Swansburg, 2001). Perilaku individu yang berbeda-beda
pun salah satunya dipengaruhi oleh pengalaman (Sunaryo, 2004). Di sisi
lain, pengalaman dapat pula dipengaruhi oleh memori atau ingatan
seseorang dalam variasi cara yang berbeda (Jarvis, 2004). Dengan
demikian, pengalaman dapat diartikan sebagai hal subjektif yang pernah
dialami seseorang yang dipengaruhi oleh memori atau ingatan dan kondisi
sosial budaya, sehingga akan mempengaruhi persepsi, pengetahuan serta
perilaku seseorang itu sendiri.
10
11
B. Anak Usia Prasekolah
1. Pengertian
Anak usia pra-sekolah adalah anak yang berusia tiga sampai enam
tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Pada anak pra-sekolah,
pertumbuhan berlangsung secara stabil, terjadi perkembangan dengan
aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan
proses berpikir (Narendra, 2002). Kombinasi pencapaian biologis,
psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode pra-sekolah,
yakni mempersiapkan anak pra-sekolah untuk perubahan gaya hidup yang
paling bermakna sebelum anak masuk sekolah (Wong, 2008).
Anak pra-sekolah memiliki karakteristik sebagai individu yang
ingin
tahu, dapat berpikir secara intuitif, dan mengajukan pertanyaan
hampir segala hal. Mereka ingin tahu alasan, sebab, dan maksud segala
sesuatu (mengapa) dapat terjadi tetapi tidak merisaukan proses
(bagaimana) kejadiannya. Fantasi dan realitas tidak dapat dibedakan
dengan baik (Bastable, 2002). Pada usia pra-sekolah rasa ingin tahu yang
pertama kali muncul adalah mengenai perbedaan struktur tubuh antara
anak laki-laki dan perempuan serta anak-anak dan dewasa (Wong, 2008).
Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan anak usia pra-sekolah adalah
menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai
gender yang didefinisikan secara sosial (Potter, 2005). Belajar mengenal
peran-peran seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok
jenis kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari
dirinya sesuai jenis kelaminnya (Skripsiadi, 2005).
12
Montessori beranggapan bahwa tahap perkembangan pada rentang
usia tiga hingga enam tahun, terjadi kepekaan untuk peneguhan sensori
dan semakin memiliki kepekaan indrawi, yang masuk ke dalam masa
keemasan atau golden age. Pada masa keemasan (golden age), terjadi
transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya, namun juga termasuk
ke dalam masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting
bagi perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa yang akan
datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak.
Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan.
Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan anak selanjutnya (Asmani, 2009).
2. Tumbuh kembang anak prasekolah
a. Perkembangan biologis
Kecepatan pertumbuhan fisik melambat dan semakin stabil selama
masa pra-sekolah. Postur tubuh anak pra-sekolah lebih langsing tetapi
kuat, anggun, tangkas, dan tanggap. Namun hanya ada sedikit
perbedaan dalam karakteristik fisik sesuai dengan jenis kelamin,
kecuali yang ditentukan oleh faktor lain seperti pakaian dan potongan
rambut. Pada anak usia pra-sekolah sebagian besar sistem tubuh telah
matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stress dan
perubahan yang moderat. Selama periode ini sebagian besar anak
sudah menjalani toilet training. Perkembangan motorik terjadi pada
sebagian besar peningkatan kekuatan dan penghalusan keterampilan
yang telah diajari sebelumnya, seperti berjalan, berlari, dan melompat.
13
Namun, perkembangan otot dan pertumbuhan tulang masih jauh dari
matur. Penghalusan koordinasi mata-tangan dan otot jelas terbukti
dalam beberapa area. Perkembangan motorik halus jelas terbukti pada
keterampilan anak, seperti dalam menggambar dan berpakaian (Wong,
2008).
b. Perkembangan psikososial
Tugas psiko-sosial utama pada periode pra-sekolah adalah
menguasai rasa inisiatif. Pada tahap perkembangan ini anak sedang
dalam stadium belajar energik. Meraka bermain, bekerja, dan hidup
sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang
sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konfik timbul ketika anak telah
melampaui batas kemampuan mereka dan memasuki serta mengalami
rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak dengan benar.
Perasaan bersalah, cemas, dan takut juga bisa berakibat oleh pikiran
yang berbeda dengan perilaku yang diharapkan.
Perkembangan superego atau kesadaran telah dimulai pada akhir
masa toddler dan merupakan tugas utama untuk anak pra-sekolah.
Mempelajari kebenaran dari kesalahan dan mempelajari kebaikan dari
keburukan adalah permulaan moralitas (Wong, 2008).
c. Perkembangan kognitif
Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya memasukan anak
pra-sekolah yang berusia 3 hingga 6 tahun berada pada tahap praoperasional. Ciri menonjol pada tahap ini dalam perkembangan
intelektual adalah egosentrisme, hal ini bukan berarti egois atau
14
berpusat pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan
diri sendiri di tempat orang lain. Anak menginterpretasikan objek atau
peristiwa, tidak dari segi umum, melainkan dari segi hubungan mereka
atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut. Mereka tidak dapat
melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang
dimilikinya, mereka tidak dapat melihat sudut pandang orang lain, dan
mereka juga tidak dapat mengetahui alasan untuk melakukannya.
Berpikir pra-operasional bersifat konkret atau nyata. Anak-anak
tidak dapat berpikir melebihi yang terlihat, dan mereka kurang mampu
membuat deduksi atau generalisasi. Pemikiran didominasi oleh apa
yang mereka lihat, dengar, atau alami. Akan tetapi, mereka semakin
dapat menggunakan bahasa dan simbol untuk mewakili objek yang ada
di lingkungan mereka. Melalui bermain imajinatif, bertanya, dan
interaksi lainnya, mereka mulai membuat konsep dan membuat
hubungan sederhana antar-ide. Pada tahap akhir periode ini pemikiran
mereka bersifat intuitif (misalnya bintang harus pergi tidur karena
mereka juga tidur) dan mereka baru mulai menghadapi masalah berat
badan, tinggi badan, ukuran, dan waktu. Cara berpikir juga bersifat
transduktif karena dua kejadian terjadi bersamaan, mereka saling
menyebabkan satu sama lain, atau pengetahuan tentang satu ciri
dipindahkan ke ciri lain (misalnya semua wanita yang berperut besar
pasti hamil).
Bahasa
terus
berkembang
selama
periode
pra-sekolah.
Berbicara terutama masih menjadi pembawa komunikasi egosentris.
15
Anak pra-sekolah berasumsi bahwa setiap orang berpikir seperti yang
mereka pikirkan dan penjelasan singkat mengenai pemikiran mereka
membuat keseluruhan pemikiran mereka dipahami oleh orang lain.
Adanya komunikasi verbal yang merujuk pada diri sendiri dan bersifat
egosentris ini maka mengeksplorasi dan memahami pikiran anak kecil
sering kali dibutuhkan melalui pendekatan nonverbal lainnya. Anak
pada kelompok usia ini, metode yang paling menyenangkan dan efektif
adalah bermain, yang menjadi cara anak untuk memahami,
menyesuaikan dan mengembangkan pengalaman hidup.
Anak pra-sekolah semakin banyak menggunakan bahasa tanpa
memahami makna dari kata-kata tersebut, terutama konsep kanan dan
kiri, sebab-akibat, dan waktu. Anak bisa menggunakan konsep secara
benar tetapi hanya dalam keadaan yang telah mereka pelajari.
Pemikiran anak pra-sekolah sering kali dijelaskan sebagai pikiran
magis. Karena egoisentrisme dan alasan transduktif mereka, mereka
percaya bahwa pikiran adalah yang paling berkuasa. Pikiran tersebut
menempatkan mereka pada posisi yang rentan untuk merasa bersalah
dan bertangguang jawab terhadap pikiran buruk, yang secara kebetulan
terjadi sesuai dengan kejadian yang diharapkan. Ketidakmampuan
untuk merasionalisasi sebab-akibat suatu penyakit atau cidera secara
logis menyulitkan meraka memahami kejadian tersebut (Wong, 2008).
d. Perkembangan moral
Teori Kohlberg menempatkan anak pra-sekolah pada tingkat prakonvensional atau pra-moral. Perkembangan penilaian moral anak
16
kecil sedang berada pada tingkat paling dasar. Mereka berperilaku
sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu
tindakan.
Anak
menghindari
hukuman
dan
mematuhi
tanpa
mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan dan
memperkuat aturan dan label (benar atau salah). Anak akan
menentukan bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang
memuaskan kebutuhan mereka sendiri dan terkadang kebutuhan orang
lain. Walaupun unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta
pembagian yang adil juga terlihat pada tahap ini. Hhal tersebut
diinterpretasikan dengan cara yang sangat praktis dan konkret tanpa
kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan (Wong, 2008).
e. Perkembangan spiritual
Pengetahuan anak tentang kenyakinan dan agama dipelajari dari
orang lain yang bermakna dalam lingkungan mereka, biasanya dari
orang tua dan praktik keagamaan mereka. Namun, pemahaman anak
kecil mengenai spiritual dipengaruhi oleh tingkat kognitifnya. Anak
pra-sekolah memiliki konsep konkret mengenai Tuhan dengan
karakteristik fisik, yang sering kali menyerupai teman imaginer
mereka. Mereka mengerti kisah sederhana dari kitab suci dan
menghapal doa-doa yang singkat, tetapi pemahaman mereka mengenai
ritual ini masih terbatas.
Perkembangan kesadaran sangat terkait dengan perkembangan
spiritual. Pada usia ini anak mempelajari kebenaran dari kesalahan dan
berperilaku dengan benar untuk menghindari hukuman. Perbuatan
17
salah mengartikan penyakit sebagai hukuman akibat pelanggaran
mereka yang nyata atau khayalan. Penting bagi anak untuk
memandang Tuhan sebagai pemberi cinta tanpa syarat, bukan sebagai
hakim dari perilaku baik atau buruk (Wong, 2008).
f. Perkembangan citra tubuh
Masa
pra-sekolah
memainkan
peranan
penting
dalam
perkembangan citra tubuh. Meningkatnya pemahaman bahasa, anak
pra-sekolah mengenali bahwa individu memiliki penampilan yang
diinginkan dan yang tidak diinginkan. Mereka mengenali perbedaan
warna kulit dan identitas rasial serta rentan mempelajari prasangka dan
bias. Mereka menyadari makna kata seperti “cantik” atau “buruk”, dan
penampilan mereka mencerminkan pendapat orang lain. Pada usia 5
tahun anak mulai membandingkan ukuran tubuhnya degan teman
sebaya dan bisa menjadi sadar bahwa mereka tinggi atau pendek,
terutama jika orang lain mengatakan mereka “sangat besar” atau
“sangat kecil” untuk usia mereka. Meskipun perkembangan citra tubuh
telah maju, anak pra-sekolah tidak dapat mendefinisikan ruang lingkup
tubuhnya dengan baik dan mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan
mengenai anatomi internalnya (Wong, 2008).
g. Perkembangan seksualitas
Freud menempatkan anak pra-sekolah dalam teori psikoseksualnya
berada pada tahap falik, dimana selama tahap ini genital menjadi area
tubuh yang menarik dan sensitif. Anak mengetahui perbedaan jenis
18
kelamin dan menjadi ingin tahu tentang perbedaan tersebut. Fase yang
sangat penting pada perkembangan seksual pada masa ini yaitu,
mengenal
identitas
dan
kepercayaan
seksual
individu
secara
menyeluruh. Anak usia pra-sekolah menguatkan rasa identitas gender
dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan
secara sosial. Proses pembelajaran ini terjadi dalam perjalan interaksi
normal orang dewasa-anak dari boneka yang diberikan kepada anak,
pakaian yang dikenakan, permainan yang dimainkan, dan respon yang
dihargai. Anak juga mengamati perilaku orang dewasa, mulai untuk
menirukan tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, dan
mempertahankan atau memodifikasi perilaku yang didasarkan pada
umpan balik orang tua.
Pada tahap ini eksplorasi tubuh merupakan perkembangan yang
sedang dialami anak. Eksporasi dapat mencakup mengelus diri sendiri,
manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan, atau orang di
sekitar mereka; dan percobaan sensual lainnya. Sementara mempelajari
bahwa tubuh itu baik dan bahwa stimulasi tertentu itu menyenangkan,
anak dapat juga diajarkan tentang perbedaan perilaku yang bersifat
pribadi versus publik. Permainan dengan pasangan jenis kelamin dapat
ditangani dengan cara seperti apa adanya. Orang tua dapat
menginterpretasi rasa keingintahuan yang ditunjukan sebagai suatu
indikasi yang menandakan bahwa anak telah siap untuk belajar tentang
perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan dan
laki-laki.
19
Pertanyaan mengenai reproduksi seksual bisa sampai ke bagian
depan pencarian anak prasekolah, bahkan pertanyaan tentang dari
mana bayi berasal atau perilaku seksual yang diamati oleh anak harus
dijelaskan secara terbuka, jujur, dan sederhana. Bahkan jika pertanyaan
tidak dijawab, kesempatan pembelajaran harus tetap diberikan melalui
menunjuk pada wanita yang sedang hamil atau perilaku hewan di
kebun binatang atau melalui diskusi tentang seksualitas sebagai tindak
lanjut dari cerita atau program televise yang melibatkan topik ini
(Potter dan Perry, 2005; Wong, 2008).
h. Perkembangan sosial
Selama periode pra-sekolah proses individualisasi-perpisahan
sudah komplet. Anak pra-sekolah telah mengatasi banyak kecemasan
yang berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan
pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka dapat berhubungan dengan
orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi perpisahan
singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protes. Namun,
mereka masih membutuhkan keamanan dari orang tua, penerangan,
bimbingan, dan persetujuan, terutama ketika memasuki masa
prasekolah atau sekolah dasar (Wong, 2008).
C. Pendidikan Seks
1. Pengertian
Pendidikan seks merupakan usaha pemberian informasi kepada
anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan dan laki-laki, dan
20
konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara
umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi,
kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan
menopause, serta penyakit kelamin (Skripsiadi, 2005).
Pengertian pendidikan seks dalam islam adalah pendidikan tentang
tingkah laku yang baik (berakhlak) berhubungan dengan seks. Jadi,
pendidikan seks ini walaupun tidak dapat dihindarkan dari membahas
tentang seks dalam arti keilmuan (seksologi), yang terpenting dalam
pandangan islam adalah bagaimana penanaman nilai-nilai moral agama,
serta akidah yang kuat dalam pendidikan seks tersebut. Harapannya, anak
mampu tumbuh dengan kematangan seksual yang berlandaskan pada
kekuatan iman, kebersihan jiwa, dan ketinggian akhlak (El-Qudsy, 2012).
Pendapat lain pendidikan seks menurut Profesor Gawshi adalah untuk
memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang menyiapkanya untuk
beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan
kehidupannya dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak
memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah seksual
dan reproduksi (Madani, 2003).
Usia pra-sekolah adalah masa pembentukan rasa percaya diri,
kebanggaan, dan dasar-dasar kemandirian, tetapi belum dapat menerima
pendapat orang lain. Pada usia ini anak sangat butuh bimbingan dengan
penuh kehangatan, kelembutan, kasih sayang, dan hindari dari pengalaman
yang dapat menimbulkan rasa ragu dan malu. Pendidikan seks yang dapat
diberikan pada anak usia pra-sekolah, yakni:
21
a. Memperlakukan anak sesuai dengan kodratnya.
b. Pengenalan dasar anatomi badan
c. Mengajarkan norma seks kepada anak
1) Kenalkan tentang konsep aurat dalam islam. Tunjukan bagian
tubuh mana yang boeh terlihat atau tidak bagi anak laki-laki atau
anak perempuan
2) Ajarkan berbagai doa yang berhubungan dengan alat vital.
Contohnya doa ketika anak membersihkan alat vitalnya selepas
buang air besar atau buang air kecil.
3) Mengajarkan cara berpakaian dan ia harus melepaskan pakaianya,
harus dilakukan di tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau
kamar tidur dan jelaskan kepada anak bahwa ini adalah perilaku
yang pribadi.
4) Memberikan contoh yang benar adalah penting bagi anak.
5) Hindari kecerobohan
6) Pada usia prasekolah, orang tua tidak perlu menjelaskan secara
detail tentang hubungan intim suami istri. Ada beberapa pertanyaan
yang tidak harus dijawab ketika itu. Namun, kita dapat membuat
janji pada waktu yang lain (El-Qudsy, 2012).
Pendapat lain pendidikan seks berdasarkan usia yaitu pada usia balita:
a. Membantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya.
b. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka
merasakan kasih sayang dari orang tuanya secara tulus.
22
c. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak
boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi
harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau kamarnya. Orang
tua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai
mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari
tubuhnya yang tidak semua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya.
d. Mengajarkan anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria
dan wanita. Menjelaskan proses tubuh, seperti hamil dan melahirkan
dalam kalimat sederhana. Menjelaskan bagaimana bayi bisa berada
dalam kandungan ibu. Hal ini tentu saja harus dilihat perkembangan
kognitif anak, yang penting orang tua tidak membohongi anak,
misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau
dibawa burung. Orang tua sebisa mungkin memosisikan diri sebagai
anak pada usia tersebut, yakni dengan memberitahu hal-hal yang
ingin diketahuinya atau dapat menjelaskan dengan contoh yang
terjadi pada binatang.
e. Menghindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi
tubuhnya.
f. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian
tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan
penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau
yang lainnya.
g. Membantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau
pembicaraan soal seks adalah pribadi.
23
h. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang
kepada orang tua untuk bertanya soal seks (Novita,2007).
2. Tujuan pendidikan seks
Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan pendidikan seks
kepada anak menurut islam adalah sebagai berikut:
a. Penanaman dan pengukuhan akhlak sejak dini kepada anak dalam
menghadapi masalah seksual agar tidak mudah terjerumus pada
pergaulan bebas. Diharapkan mereka mampu membentengi diri
dalam menghadapai perubahan-perubahan dorongan seksual secara
islami.
b. Membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab
terhadap masa depan seksual anaknya.
c. Sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama untuk
menghindarkan anak dari pergaulan bebas dan penyimpangan
seksual.
d. Membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual.
e. Membekali anak dengan informasi yang benar dan bertanggung
jawab tentang seks agar mereka terhindar informasi dari sumbersumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
f. Memahami sejak dini tentang perbedaan mendasar antara anatomi
pria dan wanita serta peran masing-masing gender dalam
reproduksi manusia (El-Qudsy, 2012).
24
D. Ibu
1. Pengertian
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu kandung (KBBI, 2013). Orang
tua khususnya ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak-anaknya
sehingga mereka diberi amat dan tanggung jawab untuk mengembangkan
anak-anaknya. Setiap orang tua memiliki tugas kependidikan dan hal itu
hendaknya bisa dijalankan dengan baik karena setiap orang tua pasti
memiliki kepentingan terhadap anak-anaknya (Roqib, 2009).
Islam
mengutamakan
peran ibu
dalam
kaitannya
dengan
pendidikan anak. Al-Mawardi rahimahullah menggambarkan hubungan
ibu dengan anaknya. Dia berkata: “kaum ibu unggul kasih sayangnya
lebih melimpah cinta kasihnya karena merekalah yang langsung
melahirkannya dan memperhatikan pendidikannya. Mereka manusia yang
paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya.” Oleh karena itu
keberadaan ibu dalam keluarga pelaksanaan kewajibannya dalam
mendidik dan merawat dipandang sebagai tiang keluarga yang paling
penting dan sebagai sebab utama ketentraman psikologis dan sosiologis
keluarga (Baharits 2005).
2. Peran ibu
Peranan ibu sebagai orang tua bagi pendidikan anak adalah
memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar, seperti
pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, kasih sayang, rasa aman,
dasar-dasar untuk memenuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaankebiasaan (Hasan, 2009). Salah satu tugas perkembangan anak yang harus
25
dicapai pada masa anak usia 3 hingga 6 tahun adalah belajar mengenai
jenis kelamin dan peran menyertainya. Belajar mengenal peran-peran
seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok jenis
kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari dirinya
sesuai jenis kelaminnya. Ibu sebagai orang tua berkewajiban menanamkan
identitas dan peran seksual yang sesuai dengan jenis kelamin.
Perbedaan-perbedaan sikap ibu sebagai orang tua dan tekanan
terhadap peran seksual yang tidak disesuaikan dengan taraf kematangan
anak dan penjelasan yang cukup, seringkali menimbulkan kebingungan
pada anak. Tidak jarang hal ini membuat anak merasa tidak aman, stres
dan tidak bahagia, baik ayah dan ibu khususnya mempunyai kewajiban
dan peran yang sama dalam menghantarkan anak agar ia bisa berperan
sesuai dengan standar norma yang berlaku. Bila orang tua mempunyai
pandangan dan harapan yang wajar terhadap perbedaan peran berdasarkan
jenis kelamin, tanda menekankan salah satu jenis kelamin lebih penting
dari yang lain, maka anak akan dapat berkembang dengan wajar. Bila
orang tua memberikan informasi yang cukup dan kesempatan yang ada di
sekelilingnya, maka dapat diharapkan ia akan bisa berlatih dan belajar
menemukan identitas seksualnya yang diharapkan daripadanya. Bila anak
berhasil menemukan dirinya, ia puas dengan perannya, dan ia merasa
orang tua pun puas dengannya, maka ia akan berkembang menjadi anak
yang ceria. Sebaliknya bila ia berkembang secara salah, baik disebabkan
oleh pembawaan pribadinya maupun karena sikap dan harapan orang tua,
26
maka sukar diharapkan ia bisa memperoleh kebahagiaan dari lingkungan
dan kepuasan dari dirinya sendiri (Skripsiadi, 2005).
Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan memang perlu dilakukan sejak dini (pra-sekolah).
Apalagi karena hal itu berkaitan dengan tugas perkembangan yang dimiliki
anak pada masa usia ini, yaitu mempelajari perbedaan jenis kelamin.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa dengan memberikan pendidikan
seks sejak dini pada anak, orang tua dapat membantu mengembangkan
anak yang sehat secara seksual. Selain itu, anak akan mamiliki self-esteem
yang lebih baik di masa dewasanya (Skripsiadi, 2005).
Tahapan yang harus dilakukan ibu sebagai orang tua adalah
membentuk kepribadian yang utuh dan kuat, termasuk perkembangan
seksual sebagai upaya menumbuhkan sikap dan tingkah laku seksual yang
sehat.
Saringendyanti,
1998
menerangkan
bahwa
pembentukan
kepribadian ini memerlukan pengarahan yang sengaja dipersiapkan untuk
mereka, dan diberikan secara bijaksana tanpa paksaan.
a. Menciptakan perasaan aman dan terlindung.
Perasaan aman dan terlindung merupakan dasar perkembangan
untuk memperoleh dasar perkembangan untuk memperoleh
kepribadian yang kuat dan selaras. Terarahnya perkembangan
kepribadian anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Oleh, karena itu, keluarga sebaiknya memberikan rasa aman dan
terlindung bagi putra-putrinya, tentunya dengan cara yang wajar,
tidak dibuat-buat, dan tidak berlebihan sehingga anak merasa
27
dalam
pengawasan
ketat
yang
justru
akan
merangsang
pemberontakan.
b. Membangkitkan gairah anak melalui teladan sebagai proses belajar
meniru.
Dalam perkembangan anak, meniru merupakan salah satu cara
belajar. Oleh karena itu, memberikan teladan yang patut ditiru
melalui sifat, sikap, dan cara-cara tingkah laku akan merangsang
pola-pola tingkah laku dan kepribadian anak, termasuk ke
dalamnya kecerdasan dan keterampilan sehari-hari.
c. Melepas anak secara perlahan agar anak mengenali kemampuan
dirinya.
Dalam kondisi ini, keakraban dan kehangatan antara orang tua dan
anak secara berangsur-angsur dilepas agar anak tidak terus
menerus tergantung pada orang tua. Anak perlu diberi pengertian
bahwa ada jarak antara pemikiran dan keinginan serta pemuasan
keinginan. Hal itu dilakukan agar anak menyadari adanya
pembatasan antara dirinya dan lingkungan di luar dirinya, serta
menyadari adanya dunia khayal dan dunia nyata yang akan
dijalaninya.
d. Memberikan wawasan yang luas di luar diri si anak, yaitu tentang
dunia di sekitarnya.
Jika semasa kecil anak hanya mempunyai perhatian pada apa yang
berhubungan dengan dirinya, selanjutnya dia harus belajar
memperhatikan hal-hal di luar kebutuhannya. Anak harus dilatih
28
dan diberi peranan yang berbeda-beda, sehingga ia dapat menahan
diri terhadap hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungannya.
Pengendalian diri seperti ini perlu dipupuk agar struktur
kepribadiannya kuat dan peka lingkungan.
e. Anak harus belajar menemukan pendapat dan pandangan hidup
yang berbeda-beda di luar dirinya.
Pendapat dan pandangan hidup itu mungkin saja berlainan dengan
yang terdapat pada keluarganya. Dengan demikian, terbentuknya
pandangan hidup anak bukan sekedar hubungan kekeluargaan dan
hubungan sosial sebagaimana orang menilainya, melainkan sesuai
dengan penilaian anak sendiri. Hal yang demikian itu akan
melatih anak berpikir menuju dewasa, memiliki inspirasi dan
keteguhan dalam bersikap mempertahankan pandangan hidupnya.
Beberapa strategi umum yang dapat diterapkan oleh ibu sebagai
orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak:
a. Memperkuat pendidikan agama
Pendidikan
agama
sangat
diperlukan
oleh
anak
dalam
perkembangan seksualnya sebagai benteng dalam menghadapi
masa depannya.
b. Memulailah sejak dini
Pentingnya memberikan pendidikan kepada anak sejak dini karena
ketika itu anak masih seperti lembaran putih yang siap untuk
dihiasi apa saja.
c. Menyesuai dengan umur dan kebutuhan
29
Sejak usia kanak-kanak setiap orang harus diberikan pendidikan
seks agar ia tidak merasa binggung dan tersesat ketika
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya.
Pendidikan yang sesuai dengan tingkatan umur dan intelegensi
setiap anak dan terus ditingkatkan seiring berjalannya waktu
menuju kedewasaannya. Jadi, materi atau jawaban yang
diberikan harus sesuai dengan daya nalar dan pemahaman anak.
Jika tidak, sisamping tidak efisien, anak akan terobsesi untuk
mendapatkan yang lebih.
d. Bertahap dan terus-menerus
Ketika memberikan informasi seks kepada anak, haruslah secara
bertahap, terus-menerus, dan sesuai dengan perkembangan usia.
Informasi yang diberikan secara bertahap, terus-menerus, dan
diulang-ulang, akan mempermudah anak dalam penyerapan
informasi.
e. Dari hati ke hati dan terbuka
Pendidikan seks yang tepat hanya dapat diberikan jika pesan
yang tepat dapat diberikan orang tua, baik secar eksplisit maupun
implisit. Jadi, harus ada keterbukaan serta atmosfer rumah yang
tidak kaku dan dogmatis. Dari cara ini anak-anak akan dapat
merasakan bahwa orang tuanya saling mencintai dan anak akan
menghargainya.
f. Jangan menunggu anak bertanya
30
Dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, jangan tunggu
sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks
diberikan secara terencana sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
anak.
g. Jangan lari dari pertanyaan anak
Ketika anak bertanya, orang tua tidak boleh lari dari pertanyaan
masalah seputar seks karena pertanyaan sekitar seks adalah
sesuatu yang lumrah dan fitrah.
h. Kontinyu dan berkesinambungan
Pendidikan seharusnya diberikan secara kontinyu dengan
berbagai sarana dan dalam kesempatan yang berbeda.
i. Jadilah teladan yang baik untuk anak.
Orang tua mampu menjadi contoh dan teladan yang benar bagi
anaknya, termasuk dalam pendidikan seks.
j. Silaturahmi ke keluarga salehah
Untuk memperkukuh nilai-nilai pendidikan seks islami dan
menghindarkan perasaan kecil hati atau merasa sendirian dalam
melaksanakan nilai-nilai agamanya, seorang anak tidak cukup
hanya mendapatkan contoh dalam keluarganya. Ia perlu juga
melihat orang lain atau keluarga muslimah lain.
k. Mintalah bantuan orang yang ahli
Jika kita merasa tidak mampu atau tidak nyaman membicarakan
seks dengan anak, carilah bantuan dari orang yang kita anggap
31
mampu dalam masalah pendidikan seks secara islami (El-Qudsy,
2012).
Anak pra-sekolah telah memiliki sejumlah besar informasi selama
kehidupan mereka yang masih singkat. Meskipun pikiran mereka belum
matur, anak selalu mencari penjelasan dan alasan yang logis dan masuk
akal bagi mereka, sehingga tak jarang anak suka melontarkan pertanyaanpertanyaan terkait masalah seksualitas kepada orang tua. Ada dua aturan
yang mengatur jawaban dari pertanyaan yang sensitif mengenai topik
seperti seks.
a. Aturan yang pertama adalah mengetahui apa yang diketahui dan
dipikirkan anak. dengan menginvestigasi teori, anak telah
menghasilkan penjelasan yang masuk akal, orang tua tidak hanya
memberikan jawaban yang benar, tetapi juga membantu anak
memahami mengapa penjelasan mereka tidak masuk akal. Alasan
lain untuk menemukan apa yang dipikirkan anak sebelum
member informasi apa pun adalah bahwa jawaban yang “tidak
ditanyakan” bisa saja diberikan.
b. Aturan kedua untuk memberikan informasi adalah harus jujur.
Memang benar bahwa sebagian besar informasi yang benar akan
dilupakan atau disalahartikan oleh anak prasekolah, tetapi yang
lebih penting adalah informasi yang benar dapat diulang kembali
sampai anak menyerap dan memahami kenyataan tersebut.
Meskipun kata-kata anatomis yang benar mungkin sulit
diucapkan atau lebih sulit diingat, kata-kata tersebut merupakan
32
isi dasar untuk menjelaskan konsep lain di kemudian hari (Wong,
2008).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua khususnya ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak
Walker (2001) dalam penelitiannya yang dilakukan pada orang tua
di Inggris, untuk melihat komunikasi antara orang tua dan anak dalam
membicarakan mengenai seks. Walker menemukan faktor-faktor yang
dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan anak
yang saling terkait dalam pendidikan seks.
a. Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks
termasuk:
1) Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk
pendidikan seks.
2) Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran
orang tua mereka.
3) Perasaan malu yang mengelilingi seluruh pengalaman
dalam membicarakan hal-hal seksual.
4) Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu,
lakukan dan katakan sebagai orang tua.
5) Kesalahpahaman umum dan sosial harapan bahwa orang
tua harus memberi anak mereka bicara seks yang formal.
b. Faktor yang meningkatkan pendidikan seks yang ditemukan
menjadi:
33
1) Rangsangan yang memicu kesempatan selama kehidupan
keluarga yang sibuk.
2) Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual
dalam keluarga adalah tabu.
3) Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan
sekolah.
4) Akses terhadap informasi dan sumber.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi orang tua khususnya
ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak khususnya usia
prasekolah, menurut Lubis (2012) antara lain:
a. Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi mempengaruhi ibu dalam mengajarkan
pendidikan seks pada anak, maka semakin rendah penghasilan
keluarga dan semakin lama ibu bekerja di luar rumah sehingga
mengajarkan pendidikan seks semakin buruk.
b. Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya juga berpengaruh terhadap ibu dalam
mengajarkan pendidikan seks pada anak karena rasa tabu dan malu
untuk membicarakan seks pada anak, juga anak usia prasekolah
masih dianggap belum pantas dan terlalu kecil untuk mengajarkan
pendidikan seks.
c. Riwayat pendidikan seks ibu
Riwayat pendidikan seks mempengaruhi ibu dalam mengajarkan
pendidikan seks pada anak prasekolah. Ibu yang belum pernah
34
diajarkan pendidikan seks, maka tidak akan mengajarkan
pendidikan seks pada anaknya.
Masih
tabunya
masyarakat
dalam
membicarakan
masalah
seksualitas dipertegas oleh Skripsiadi (2005), yang menjelaskan faktor
membuat masyarakat tabu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut
seksualitas, anatara lain:
a. Faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seksualitas di
depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan
sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada
orang lain.
b. Pengertian seksualitas yang ada di masyarakat masih sangat
sempit, pembicaraan tentang seksualitas seolah-olah hanya
diartikan ke arah hubungan seksual. Padahal secara harafiah seks
berarti jenis kelamin, sama sekali tidak porno karena setiap orang
memilikinya.
35
Tabel 2.1
Penelitian Terkait
No.
Judul
Tahun
Peneliti
1.
A Qualitative Study of
Parents’ Experiences
of Providing Sex
Education for Their
Children: The
Implications for
Health Education.
2001
Joy L Walker
Variabel
Metode
pene
litia
n
Qualitative
Komunikasi
analytical
antara orang tua
dan anak
mengenai seks
Hasil
 menemukan faktor-faktor yang
dapat
meningkatkan
dan
membatasi komunikasi antara
orang tua dan anak yang saling
terkait dalam pendidikan seks.
 Faktor pembatas keterlibatan
orang tua dalam pendidikan seks
termasuk:
 Kurangnya kesadaran akan
kebutuhan anak mereka
untuk pendidikan seks
 Tidak melihat pendidikan
seks sebagai bagian dari
peran orang tua mereka
 perasaan malu mengelilingi
seluruh pengalaman dalam
membicarakan
hal-hal
seksual
 Ketidakpastian tentang apa
yang mereka harus tahu,
lakukan
dan
katakan
sebagai orang tua
 Kesalahpahaman umum dan
36
2.
Hubungan Antara
Persepsi Ibu tentang
Pendidikan Seks pada
Anak Usia 0-5 Tahun
dengan Sikap Ibu
dalam Menerapkan
Pendidikan Seks di
Suronatan dan
Serangan Notoprajan
Yogyakarta
2005
Tenti
Kurniawati,
Ibrahim
Rahmat, Lely
Lusmilasari
Bebas:
Persepsi ibu
tentang
pendidikan seks
pada anak usia 05 tahun.
Terikat:
Sikap ibu dalam
menerapkan
pendidikan seks
sosial harapan bahwa orang
tua harus memberi anak
mereka bicara seks yang
formal
 Sedangkan faktor meningkatkan
pendidikan seks yang ditemukan
menjadi:
 Rangsangan yang memicu
peluang selama kehidupan
keluarga yang sibuk
 Menolak gagasan bahwa
masalah kesehatan seksual
dalam keluarga adalah tabu
 Komunikasi terbuka antara
orang tua dan lingkungan
sekolah
 Akses terhadap informasi
dan sumber.
Penelitian non  Secara umum persepsi ibu
eksperimen,
terhadap pendidikan seks pada
Analitik dengan
anak usia 0-5 tahun kurang baik.
pendekatan cross
Hal ini dilihat dari pandangan
sectional
dan
interpretasi
mengenai
perkembangan seksualitas anak,
peran
orang
tu
dalam
memberikan pendidikan seks,
dan penerapan pendidikan seks.
 Sikap ibu dalam menerapkan
pendidikan seks kurang baik. Hal
ini dilihat dari pandangan atau
37
3.
An Exploratory Study
of Parents’
Perceptions of
Teaching Sex
Education in Hong
Kong Preschool.
2005
4.
Parents Experience
With Sexual Education
Of Their Children:
Nursing Care.
2008
5.
Toward Prevention of
2008
pendapat ibu terhadap perasaan
mendukung atau memihak.
hubungan
antara
 Adanya
persepsi ibu tentang pendidikan
seks pada anak usia 0-5 tahun
dengan
sikap
ibu
dalam
menerapkan pendidikan seks.
Yuk Ching
persepsi orang tua Qualitative study Orang tua memiliki pemahaman
LAI
Hong Kong
yang tidak adekuat
terhadap
dari pendidikan seks
pelaksanaan
di Taman kanakprogram
kanak.
pendidikan seks
di Taman KanakKanak (TK).
Qualitative,
Pengalaman
Ana Carla
 beberapa orang tua berpendapat
descriptive and
orang tua dalam
Campos
bahwa
penting
berbicara
pendidikan seks
exploratory
Hidalgo de
mengenai seksual pada anak
study
pada remaja
Almeida,
dengan percakapan terbuka,
Maria de
walupun orang tua mengalami
Lourdes
kesulitan dalam berkomunikasi.
Centa
 Yakni dengan mengajarkan nilainilai
untuk
membangun
personalitas dan meningkatkan
pengetahuan anak mereka.
 Orang tua menyadari bahwa
sekolah berperan penting dalam
pendidikan seks pada anak
mereka.
Maureen C. Pengetahuan anak Kuantitative
Anak lebih mengenal nama bagian
38
6.
7.
8.
Childhood
Sexual
Abuse: Preschoolers’
Knowledge of Genital
Body Part.
Hubungan Tingkat
Pengetahuan Orang
Tua Tentang
Pendidikan Seks Dini
Dengan Perkembangan
Perilaku Seks Pada
Anak 3-6 Tahun Di
TK Cipto Rahayu Kec.
Gedeg, Kab.
Mojokerto
Gender Differences in
the ABC’s of the Birds
And the Bees: What
Mother Teach Young
Children about
Sexuality and
Reproduction.
Sex Categorization
among Preschool
Children: Increasing
Utilization of Sexually
Dimorpchic Cues.
2009
Kenny, Sandy dengan
K. Wurtele
menyebutkan
nama dari bagian
tubuh
Arum Tri
Pengetahuan
Kusumawati
orang tua
tentang
pendidikan seks
dini dan
perkembangan
perilaku seks
pada anak usia
3-6 tahun
study
Experiment
tubuh
genital.
yang
non
Ada bermakna antara hubungan
Kuantitatif
tingkat pengetahuan
analitik dengan
orang tua tentang
menggunakan
pendidikan seks dini
non probability
dengan perkembangan
sampling
tipe
perilaku seks pada
purposive
anak 3-6 tahun.
2010
Karin A.
Martin,
Katherine
Luke
Pembicaraan ibu
dengan anak lakilaki dan
perempuan
Kualitative study
2010
Kerri L.
Johnson,
Louis G.
Tassinary,
Leah E.
Lurye
Anak usia 4-6
tahun yang
menggunakan
bentuk tubuh
untuk
mengkategorikan
jenis kelaminnya.
Kuantitative
study
Ibu
lebih
cenderung
untuk
membicarakan
masalah
seksual
dengan
anak
perempuannya
dibandingkan
anak
laki-laki.
Penelitian ini menemukan terjadi
peningkatan
ketergantungan pada
dimorfisme
seksual
untuk
kategorisasi
seks pada usia 5 tahun.
Selain meneliti dalam
menghadapi persepsi
dan ketetapan gender,
39
9.
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Ibu
Dalam Mengajarkan
Pendidikan Seksual
Pada Anak Usia 4-6
Tahun Di TK Dharma
Bakti IV Tamantirto
Bantul Yogyakarta
2012
Dina Putri
Utami Lubis
Penghasilan ibu,
suku, riwayat
pendidikan seks
ibu
Faktor
Kuantitatif
deskriptif
analitik dengan
rancangan cross
sectional
temuan
ini
memberikan
bukti
konvergen
untuk
pengembangan konsep
penting dari pria dan
wanita pada anak usia
3 hingga 6 tahun.
social ekonomi, social
budaya dan riwayat
pendidikan
seks
mempengaruhi
ibu
dalam
mengajarkan
pendidikan seks pada
anak usia 4-6 tahun di
TK Dharma Bakti IV
Tamantirto
Bantul
Yogyakarta
40
E. Kerangka Teori
Anak usia
prasekolah (3
hingga 6 tahun)
Tugas perkembangan:
Menguatkan rasa
identitas gender dan
mulai membedakan
perilaku sesuai gender
yang didefinisikan
secara sosial
Pendidikan seks
Peran
orang tua
(ibu)
Faktor sosial ekonomi
Faktor-faktor yang dapat membatasi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
Faktor sosial budaya
Faktor riwayat
pendidikan seks
Pengalaman ibu dalam
memberikan pendidikan
seks
Bagan 2.1
Dimodifikasi dari Supartini (2004) & Hasan (2009); Potter (2005); El-Qudsy,
2012; Walker (2001); Lubis (2012); Novita (2007)
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka konsep
Konsep merupakan abstraksi yang dibentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus. Definisi dari kerangka konsep itu sendiri merupakan sintesis dari
telaah literatur (tinjauan pustaka) yang memuat masalah yang dipersoalkan
(Wasis, 2008). Berdasarkan tinjauan pustaka sebelumnya, Pendidikan seks
merupakan usaha pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisiknya
sebagai perempuan dan laki-laki, dan konsekuensi psikologis yang berkaitan
dengan kondisi tersebut. Pendidikan ini baik untuk diberikan pada anak sejak
dini khususnya pada anak usia prasekolah. Pada anak usia prasekolah hal ini
merupakan salah satu tugas perkembangannya, yaitu belajar mengenai jenis
kelamin dan peran yang menyertainya. Orang tua khususnya ibu sebagai
pendidik utama dalam keluarga berkewajiban menanamkan identitas dan peran
seksual yang sesuai dengan jenis kelamin (Skripsiadi, 2005). Penelitian ini
akan meneliti mengenai pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks
pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) yang dilihat baik dari segi
persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktorfaktor lain yang terkait.
41
42
B. Definisi istilah
1. Pengalaman adalah hal yang subjektif yang dialami seseorang yang
dipengaruhi oleh memori/ingatan dan kondisi sosial budaya, sehingga akan
mempengaruhi persepsi, pengetahuan serta perilaku seseorang itu sendiri.
2. Ibu adalah salah satu orang tua yang lebih berperan penting dalam
mendidik dan merawat anak.
3. Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 hingga 6 tahun, yang
mempunyai salah satu tugas perkembangan, yaitu menguatkan rasa
identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang
didefinisikan secara sosial dan rasa ingin tahu besar terhadap segalanya
termasuk masalah seksualitas.
4. Pendidikan seks adalah memberi informasi atau pengetahuan dasar kepada
anak mengenai jenis kelamin dan perannya, serta apapun terkait masalah
seksualitas.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi
fenomenologi deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan sejenis penelitian
formatif yang secara khusus memberikan teknik untuk memperoleh jawaban
atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang (Sumantri,
2011).
Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada
fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasiinterpretasi dunia (Moleong, 2010). Fokus utama fenomenologi adalah
pengalaman nyata (Saryono dan Anggraeni, 2010). Tujuan studi fenomenologi
adalah memahami makna dari pengalaman kehidupan yang dialami informan
dan menjelaskan perspektif filosofi yang mendasari fenomena tersebut
(Dharma, 2011).
Fenomenologi
merupakan
pendekatan
yang
sesuai
untuk
menginvestigasi fenomena penting seseorang yang berguna bagi bidang
keperawatan (Streubert dan Carpenter, 2003). Pendekatan fenomenologi ini
akan menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau fenomena
pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu
(Sumantri, 2011).
Spiegelberg (1975) menjelaskan bahwa fenomenologi deskriptif
menstimulasi persepsi tentang pengalaman hidup dengan menekankan pada
43
44
kekayaan, keluasan, dan kedalaman pengalaman itu sendiri (Streubert dan
Carpenter, 2003). Spiegelberg (1975 dalam Steubert dan Carpenter 2003)
mengidentifikasi tiga langkah prosesi untuk fenomenologi deskriptif. Langkah
pertama
yaitu
intuisi,
peneliti
menggumpulkan
data
dengan
cara
mengeksplorasi pengalaman informan tentang fenomena yang diteliti melalui
wawancara mendalam.
Langkah kedua yaitu analisis, dimana peneliti mengidentifikasi
pengalaman yang diteliti. Peneliti menyatukan diri dengan hasil pendataan
dengan cara mendengarkan deskripsi individu tentang pengalamannya
kemudian mempelajari data yang telah ditranskipkan dan ditelaah berulangulang. Peneliti mengidentifikasi esensi dari fenomena yang diteliti berdasarkan
data yang didapat. Peneliti kemudian mengeksplorasi hubungan dan
keterkaitan antara elemen-elemen tertentu dengan fenomena tersebut. Peneliti
mengidentifikasi tema-tema arti dan makna tentang pengalaman ibu
berdasarkan data yang diperoleh dari transkip wawancara dengan informan
guna menjamin keakuratan dan kemurnian hasil penelitian.
Langkah ketiga adalah deskripsi, dimana peneliti menuliskan laporan
data yang digunakan. Peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran
tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklarifikasian dan
pengelompokan fenomena.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu tahap persiapan
penelitian dan penyusunan laporan lengkap. Untuk tahap persiapan dimulai
pada bulan Maret sampai Oktober 2013. Pada tahap persiapan ini peneliti
45
melakukan penyusunan proposal penelitian serta studi pendahuluan dan studi
kepustakaan. Tahap pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan
November sampai Desember tahun 2013. Selanjutnya setelah proses
pengumpulan data dan penelitian selesai maka dilanjutkan dengan tahap
analisi data serta penyusunan laporan yang dilakukan bulan Desember hingga
Januari 2014.
Lokasi penelitian yang dilakukan peneliti adalah PAUD Menur Rw.09
Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Tempat tersebut dipilih dikarenakan
belum pernah dilakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah ini. PAUD
Menur sendiri adalah tempat pendidikan khusus untuk anak usia 3 hingga 6
tahun dengan siswa yang cukup banyak yaitu 33 anak yang terdaftar.
C. Informan Penelitian
Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling, yang ditetapkan secara langsung (purposive) dengan
prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequancy). Purposive
sampling
adalah
teknik
pengambilan
sampel
sumber
data
dengan
pertimbangan tertentu. Informan pada penelitian ini yaitu, orang tua dari anak
yang bersekolah di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur,
dengan kriteria inklusi informan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Orang tua khususnya ibu yang mempunyai anak usia 3 hingga 6 tahun.
2. Bersedia menjadi informan.
46
D. Instrumen Penelitian
Instrumen kunci dalam penelitian kualitatif ini yaitu peneliti sendiri
dengan melakukan wawancara mendalam dengan bantuan pedoman
wawancara mendalam, alat pencatat, dan alat perekam serta membuat catatan
lapangan saat wawancara.
E. Teknik Pengambilan Data
Dalam memperoleh data peneliti melakukan wawancara mendalam kepada
informan. Wawancara tersebut dilakukan dengan cara menanyakan sesuatu
kepada informan dan bercakap-cakap secara langsung. Berikut adalah tahapan
pengambilan data yang dilakukan peneliti:
a. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan minimal 30
menit untuk mengetahui pengalaman yang dialami informan secara
spesifik dan informan akan menceritakan semua pengalamannya dengan
jelas dan lengkap.
b. Wawancara yang dilakukan direkam dengan alat perekam agar semua
pembicaraan akan terekam dan tidak ada yang terlewat.
c. Peneliti melakukan wawancara dengan membuat catatan lapangan yang
berisi inti dari setiap ungkapan informan serta catatan mengenai ekspresi
mimik maupun respon informan ketika wawancara berlangsung.
47
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode Colaizzi (1978). Langkah-langkah analisis data berdasarkan Colaizzi
(1978) (dalam Streubert dan Carpenter, 2003), meliputi:
1. Peneliti dapat memberikan gambaran fenomena yang diteliti, yaitu tentang
pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia
prasekolah (3 hingga 6 tahun).
2. Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara kepada partisipan dan
membuat transkrip dari hasil wawancara partisipan sesuai fenomena yang
diteliti.
3. Peneliti membaca semua hasil transkrip partisipan secara berulang-ulang
sesuai fenomena yang diteliti.
4. Peneliti membaca transkrip kembali dan mencari pernyatan-pernyataan
penting dari setiap pernyataan partisipan.
5. Peneliti menentukan makna dari setiap pernyataan penting dari semua
partisipan.
6. Peneliti mengorganisasikan data yang terkumpul dan mengelompokkannya
kedalam suatu kelompok tema.
7. Peneliti menulis hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk desktiptif secara
lengkap, dengan melakukan analisis detail tentang perasaan partisipan dan
perspektif yang terkandung dalam tema.
8. Peneliti kembali ke lapangan dan menanyakan partisipan kembali untuk
validasi dari hasil deskripsi yang telah dibuat.
48
Memiliki gambaran fenomena yang diteliti
secara jelas
mengumpulkan data melalui wawancara dan membuat
transkrip hasil wawancara dengan partisipan
membaca semua hasil transkrip partisipan
secara berulang-ulang
mencari pernyatan-pernyataan penting dari
setiap pernyataan partisipan
menentukan makna dari setiap pernyataan
penting dari semua partisipan
mengelompokkannya ke dalam suatu
kelompok tema
menulis hasil secara keseluruhan ke dalam
bentuk desktiptif secara lengkap
Kembali ke partisipan untuk validasi data
desripsi yang dibuat
Bagan 4.1. Teknik Analisa data
Sumber: Colaizzi (1978) dalam Streubert dan Carpenter (2003)
G. Validasi Data
Temuan atau data dalam penelitian kualitatif dapat dinyatakan valid
apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2010). Menurut
Sumantri (2011) dan Saryono (2010) dibutuhkan beberapa cara menentukan
keabsahan data. Uji keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini
49
dilakukan dengan cara peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain)
yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam
bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat atau yang ahli dalam
bidang kualitatif (Sumantri2011;Saryono2010). Dalam hal ini peneliti
berdiskusi kepada orang yang berpengalaman terhadap isi dan metodologi
penelitian, yaitu kepada pembimbing. Peneliti juga melakukan member check,
yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan
mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan
mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang data (Sumantri2011;Saryono2010). Dimana peneliti
kembali ke lapangan dan melakukan konfirmasi atau klarifikasi terhadap data
yang sudah diperoleh dengan menanyakan kembali kepada informan.
H. Etika Penelitian
Penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia namun
tidak berdampak langsung terhadap fisik, tetapi mungkin akan berdampak
terhadap emosional informan. Masalah etika yang harus diperhatikan menurut
Polit dan Hungler (2001) sebagai berikut :
1. Kemanfaatan (Benefecience)
Penelitian ini memberikan beberapa pelaksanaan yang baik bagi ibu
maupun anak mengenai pendidikan seks. Penelitian ini juga memberikan
perlindungan
dari
bahaya
(nonmalefecience) bagi informan.
fisik,
psikologis
dan
eksploitasi
50
2. Aspek kebebasan (Self determination)
Selama penelitian berlangsung peneliti memberikan aspek kebebasan
untuk menentukan apakah informan bersedia atau tidak untuk mengikuti
atau memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
3. Kerahasiaan (Privacy)
Selama penelitian informan juga dijaga kerahasiaan identitas selama dan
sesudah penelitian. Nama informan akan dirahasiakan sebagai ganti
digunakan nomor informan. Selama kegiatan penelitian nama informan
akan dirahasiakan sebagai gantinya digunakan inisial (anonimity). Peneliti
menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan dan hanya menggunakan
informasi tersebut untuk kegiatan penelitian (confidentiality).
4. Perlindungan dari ketidaknyamanan (Protection from discomfort)
Selama pengambilan data peneliti berusaha melakukan wawancara di
tempat yang diinginkan informan dan waktu yang ditentukan oleh
informan.
BAB V
HASIL PENELITIAN
C. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kelurahan Cipinang merupakan satu dari tujuh kelurahan yang
berada di kecamatan Pulogadung Jakarta Timur yang memiliki luas
wilayah 15509 Ha. Batas wilayah kelurahan Cipinang adalah sebelah
utara
berbatasan
dengan
Kelurahan
Rawamangun
sebelah
timur
berbatasan dengan kali Cipinang Kelurahan Jatinegara Kaum sebelah
barat
berbatasan
dengan
Kelurahan
Pisangan
Timur
dan
sebelah
selatan berbatasan dengan Jalan Raya I Gusti Ngurahrai Kelurahan
Cipinang Muara. Jumlah penduduk di kelurahan Cipinang sendiri
sebanyak 15.555 KK dengan jumlah laki-laki sebanyak 12.495 orang
dan perempuan 3.060 orang. Kelurahan Cipinang terdiri atas 18
Rukun Warga (RW) di setiap RW terdapat Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) sebagai salah satu upaya Pemerintahan daerah setempat
sebagai pengganti Taman Kanak-Kanak untuk mencerdaskan anakanak
balita (Data Laporan Kelurahan Cipinang Bulan Novermber
2013). PAUD Menur sendiri merupakan salah satu PAUD yang
berada di RW. 09 Kelurahan Cipinang terdapat 33 anak berusia 3
hingga 6 tahun yang terdaftar di PAUD ini (Data Siswa PAUD Menur
Tahun 2013).
D. Analisa Tematik Hasil Penelitian
51
52
1. Karakteristik Informan
Gambaran karakteristik informan meliputi umur jenis kelamin
pekerjaan pendidikan terakhir yang menjadi pemberi pendidikan
seks pada anak khususnya pada usia prasekolah. Informan dalam
penelitian ini adalah pendidikan utama pada anak dalam memberikan
pendidikan seks pada anak di rumah yang seluruhnya dilakukan oleh
ibu. Rentang usia informan penelitian yaitu 25-37 tahun dengan ratarata pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan pendidikan mengeyam
pendidikan mulai dari SMP hingga S1.
Tabel 5.1 karakteristik informan
Nama inisial
PekerjaanPendidikan terakhir
Nama anakUsia anak Kode
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
tangga
Ibu rumah tangga
53
2. Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia
prasekolah (3 hingga 6 tahun).
Gambaran hasil penelitian pengalaman ibu dalam memberikan
pendidikan seks pada anak usia prasekolah di PAUD Menur RW.09
Kelurahan Cipinang Jakarta Timur secara rinci menjelaskan uraian
lima tema yang teridenfikasi dari hasil wawancara tema-tema
tersebut meliputi: (1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama
pada anak, (2) Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak, (3)
Pengetahuan ibu mengenai seksualitas (4) Sikap ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak (5) Faktor-faktor yang
mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
Berdasarkan lima tema yang ditemukan pada saat wawancara,
berikut adalah uraian dari masing-masing tema yang ditemukan,
meliputi:
a. Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak.
Temuan yang didapat peneliti dari hasil wawancara yang
dilakukan pada informan didapati semua informan menyatakan
bahwa yang bertindak sebagai pemberi pendidikan seks utama
pada anak adalah ibu. Mereka mengungkapkan bahwa informan
sendirilah (ibu) yang lebih dominan memberikan pendidikan seks
pada anaknya. Hal ini didukung dengan pekerjaan dari informan
sendiri sebagai ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu
bersama anak di rumah sehingga ibu memiliki kesempatan yang
54
lebih banyak dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya.
Peran serta ayah sebagai orang tua laki-laki bagi anak dalam
memberikan pendidikan seks juga penting namun seperti yang
diungkapkan informan bahwa peran ayah dalam hal ini tidak
terlihat. Hal ini dikarenakan kesibukan ayah dalam berkerja dari
pagi hingga malam sehingga tidak memiliki waktu yang cukup
bersama dengan anaknya apalagi untuk memberikan pendidikan
seks pada anak. Berikut pernyataan informan:
“anak saya lebih dekat ya sama saya. kalau tanya apa-apa
juga ke saya. Kalau bapaknya kan kerja. Saya sama dia terus
yang ada di rumah.” (P1)“bapaknya sibuk ama kerja. Jadi ga
pernah cerita tentang ini itu.” (P2)
“jarang juga ketemu bapaknya. Bapaknya kan kerja pagi
pulang malem. Jarang ketemu. Iya lebih ke saya” (P3)
“dia kan kerja dari pagi sampe malam. Malam-malam aja
belum tentu ketemu kan. Jadi menjelaskannya itu hanya
terkadang aja.” (P4)
“keseringan pulang jam 8 malem. Jadi dianya uda tidur.
Selama libur juga belom sih.” (P5)
“suami saya kan kerja. Saya sama anak saya yang sering ada
di rumah. Dia aja kalau mau ngapa-ngapain juga sama
saya.” (P6)
b. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3
hingga 6 tahun).
Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia
prasekolah meliputi persepsi mengenai makna dari pendidikan
seks itu sendiri tingkat kepentingan dari pendidikan seks pada
anak dan waktu yang tepat bagi anak dalam memperoleh
pendidikan seks. Beberapa uraian sub tema meliputi:
1) Makna pendidikan seks pada anak
55
Makna pendidikan seks pada anak untuk anak usia
prasekolah menurut orang tua khususnya ibu sangat
beragama. Informan mengungkapkan sebenarnya kurang
memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya bagi
anak usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini terlihat dari pernyataan
dua informan yang mengungkapkan bahwa pendidikan
seks itu sendiri adalah pengajaran mengenai seks bebas
dan bahayanya sehingga diharapkan anak dapat terhindar
dari masalah tersebut. Berikut pernyataan informan:
“diberi tahu bagaimana bahayanya berhubungan seks
bebas. Apa apa saja ya yang harus dia ketahui untuk
dihindari.” (P4)
“biar ga melenceng dari norma agama, dari masalah
yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.” (P2)
Satu informan lagi menyatakan bahwa pendidikan seks itu
sendiri merupakan pengajarakan mengenai masa pubertas
anak. Berikut pernyataannya:
“ya tentang masa remaja dia masa pubernya atau
masa baliqnya gitu.” (P6)
Persepsi yang sesuai bagi ibu mengenai pendidikan seks
pada anak khususnya untuk anak usia prasekolah seperti
yang diungkapkan tiga dari enam informan menyatakan
bahwa pendidikan seks bagi anak usia 3 hingga 6 tahun
adalah mengenai jenis kelaminnya dan fungsinya. Berikut
pernyataan informan:
“seks itu suatu ilmu tapi yang anak kecil boleh
mempelajarinya tapi dengan point-pointnya tersendiri
gtu. Maksudnya anak-anak ini masih belom sampe
56
kesenggama, jadi ke alat kelaminnya itu apa dan
fungsinya.” (P1)
“Mengenai fungsi-fungsi organ intim. terus fungsifungsi organ yang ada di tubuhnya juga.” (P3)
“kalau umur segini paling….kasih taunya bedanya
laki-laki sama perempuan.” (P5)
2) Tingkat kepentingan pendidikan seks untuk anak usia
prasekolah.
Temuan yang didapat peneliti mengenai persepsi ibu
mengenai seberapa penting pendidikan seks bagi anak
khususnya pada anak usia 3 hingga 6 tahun ini. Seluruh
informan menyatakan bahwa pendidikan seks penting
untuk anaknya namun di sini terlihat bahwa alasan ibu
yang beragam mengenai pendidikan seks pada anak masih
belum memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya
untuk anak usia prasekolah. Berikut pernyataan informan:
“penting juga sih. kalau dia bertanya kan kita harus
jawab.” (P1)
“Penting.. biar ga melenceng dari norma agama, dari
masalah yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.”
(P2)
“Penting.. biar otaknya juga berkembang gitu” (P3)
“mungkin penting penting banget. Soalnya kan
namanya sekarang ini pergaulan makin bebas.” (P4)
“Penting..agar anak dapat bersikap baik terhadap
orang lain. ya terutama dengan teman sebayanya.”
(P5)
“ya penting..supaya anak saya bisa tahu tentang seks
itu apa.” (P6)
3) Waktu yang tepat untuk memberikan anak pendidikan
seks.
Temuan yang didapati peneliti terhadap persepsi ibu
mengenai waktu yang tepat dalam memberikan pendidikan
57
seks bagi anak hanya satu informan yang menyatakan
bahwa pendidikan seks dapat diberikan ketika anak mulai
bertanya. Berikut pernyataan informan:
“Sekitar lima tahun gitu karena anak segitu kan dia
mulai bisa bertanya.” (P1)
Lima dari enam informan lain berpendapat bahwa
pendidikan seks sebaiknya dimulai ketika anak usia
sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa mereka merasa bahwa
anak usia 3 hingga 6 tahun masih belum pantas dan belum
bisa mengerti jika diajarkan pendidikan seks. Berikut
pernyataan informan:
“mungkin 7 tahun ya. Soalnya kalau 4 tahun 5 tahun
kan dia kurang paham. Apa lagi SD sekarang kan
pergaulannya kan makin lama makin bebas juga ya.
Mungkin dari dia sekolah dasar.” (P4)
“kalau saya sih baiknya usia sekolah. Karna saat udah
usia sekolah itu kan sudah mulai diajarkan segala
macam kan? TK PAUD kan masih main-main.” (P5)
c. Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks.
Pengetahuan yang dimiliki ibu akan mempengaruhi pemberian
pendidikan seks pada anak. Pengetahuan yang dikaji oleh
penelitian terkait dengan pengetahuan mengenai pendidikan seks
yang meliputi pengetahuan mengenai organ-organ seksual
fungsinya dan tumbuh kembang seksualitas yang terjadi pada
anak. Pengetahuan ibu pun dapat diliat dari sumber informasi dan
riwayat pendidikan seks ibu.
1) Pengetahuan ibu mengenai seksualitas.
58
Pengetahuan ibu mengenai seksualitas meliputi pengatahuan
mengenai
organ-organ
reproduksi
fungsi
dari
organ
reproduksi dan tumbuh kembang seksual yang terjadi pada
anak baik laki-laki maupun perempuan. Temuan pada
penelitian ini didapati bahwa pengetahuan ibu mengenai
seksualitas cukup baik. Ibu dapat menyebutkan organ seksual
yang terdiri dari organ reproduksi eksterna dan payudara.
Organ reproduksi pada perempuan yang ibu ketahui adalah
vagina dan payudara walaupun di sini masih ada informan
yang mengunakan istilah lain dalam menyebutkan nama organ
reproduksi wanita. Fungsi dari organ reproduksi yang
informan ketahui antara lain: untuk eliminasi urin hubungan
seksual jalan lahir dan saluran untuk mengalirkan darah
menstruasi. Sedangkan fungsi payudara pada perempuan
menurut informan adalah untuk menyusui.
Organ reproduksi pada laki-laki menurut informan adalah
penis walaupun di sini beberapa informan mengunakan istilah
lain atau bahkan tidak mengetahui nama dari organ reproduksi
laki-laki. Fungsi dari organ reproduksi yang diketahui
informan yaitu untuk eliminasi urin dan hubungan seksual.
Berikut uraian dari penyataan informan terkait pengetahuan
mengenai organ reproduksi serta fungsinya yang diketahui:
“paling ke alat kelamin terus payudara. fungsinya kalau
payudara pada wanita untuk menyusuimisalkan untuk
pria bisa meningkatkan gairah. Terusnya kalau alat
kelamin wanita, vagina itu fungsinya satu untuk
59
melahirkan kedua untuk hubungan seksual dengan pria
dewasa, sama alat kelamin pria dewasa. kelamin wanita
buang air kecil, menstruasi, alat kelamin wanita itu
ya..menstruasi, buang air kecil, melahirkan, bersenggama,
maksudnya itu berhubungan badan dengan pria dewasa.
kalau alat kelamin pria, buat air kecil juga bisa, buat
bersenggama sama wanita.” (P1)
Satu
dari
enam
informan
pengetahuannya
terkait
kebingunggan.
Informan
organ
saat
ditanya
seksualitas
memnyebutkan
mengenai
mengalami
bahwa
organ
seksualitas pada manusia adalah wajah yang fungsinya untuk
menyukai, untuk menambah semangat. Berikut pernyataan
informan:
“Muka gitu atau wajah? Atau apa? Itu aja palingan. Ya
fungsinya untuk menyukai, untuk menambah semangat.”
(P2)
Pengetahuan ibu terkait seksualitas selain pengetahuannya
mengenai organ seksualitas dan fungsinya juga dikaji
pengetahuannya mengenai tumbuh kembang seksual pada
anak. Pengetahuan ibu terkait tumbuh kembang seksual anak
bersifat umum tidak berfokus pada anak usia prasekolah.
Tumbuh kembang seksual anak yang diungkapkan informan
baik pada anak perempuan maupun laki-laki. Pada anak
perempuan tumbuh kembang seksual yang terjadi meliputi
menstruasi perkembangan payudara perubahan bentuk tubuh
tumbuh rambut di daerah tertentu dapat berhubungan seksual
mengeluarkan ASI saat melahirkan dan perasaan malu.
Berikut pernyataan informan:
60
“Untuk payudaranya lebih membesar, menstruasi
pertama. misalkan menstruasi satu, keduanya kalau dia
punya suami bisa berhubungan dengan suaminya.
Terusnya…payudaranya bisa mengeluarkan air susu kalau
dia melahirkan.” (P1)
“ya mungkin karna anak saya cewe ya…buah dadanya ya
kan? Terus menstruasi badan juga makin lama makin
besar.” (P3)
“kalau wanita ya. Paling akan tumbuh payudara haid.
terus untuk organ tubuh juga mungkin akan ada
perubahan.” (P4)
“kalau perempuan kan haid. terus payudaranya juga
mulai tumbuh. Bulu-bulu yang tersembunyi juga.” (P5)
“kalau pas remaja kan masa pubernya keliatan haid.
badannya melar ada malu.” (P6)
Tumbuh kembang seksual pada anak laki-laki menurut
informan yaitu meliputi perubahan postur tubuh sikap dan
suara tumbuh rambut didaerah tertentu serta mimpi basah.
Berikut pernyataan informan:
“postur tubuhnya, mimik mukanya, tubuhnya, tingkah
lakunya, suaranya..ada tambah-tambah kaya kumis
sikapnya lebih dewasa.” (P2)
Laki-laki juga sama. Kalau laki-laki ada jenggotada yang
cambangnya panjang. Terus kalau laki-laki kan..baliqnya
kan mimpi gitu kan. biasanya kan lebih dahuluan
perempuan yang baliqnya dari pada laki-laki.” (P5)
2) Sumber informasi
Sumber informasi yang didapat oleh ibu akan mempengaruhi
pengetahuan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada
anak. Temuan yang didapati dalam penelitian ini adalah
informasi-informasi yang didapat ibu biasanya bersumber dari
pengalaman sendiri maupun orang lain TV majalah atau
61
Koran. Berikut pernyataan informan terkait sumber informasi
dalam memberikan pendidikan seks pada anak:
“paling dari aku sendiri aja. dari pengetahuan aku sendiri
aja. Ga sampe liat majalah atau apa itu belom.” (P1)
“dari orang ngomong. Kan ibu-ibu suka ngumpul kan?
Dari informasi mereka juga bisa. Dari TV juga ada.” (P2)
“kan punya tetangga punya temen. Kadang suka dikasih
tau juga sama tetangga.” (P3)
“baru liat di itu…tentang akibat dari perbuatan aja di TV.
saya suka nonton TV. Suka ngeliat berita-berita
pemerkoasaan.” (P4)
“yang biasa kita tahu sehati-hari aja.” (P5)
“dari berita sama pengalaman.” (P6)
3) Riwayat pendidikan seks ibu
Pengalaman orang tua dalam mendapatkan pendidikan seks
pada anak dapat mempengaruhi orang tua dalam memberikan
pendidikan seks pada anak. Temuan pada penelitian ini
didapati bahwa riwayat pendidikan seks ibu diperoleh ketika
duduk di bangku sekolah oleh guru dalam pelajaran biologi
maupun agama. Berikut uraian pernyataan informan:
“Engga deh kayanya. Ya tahunya ya dari belajar dari
sekolah dari biologi, gitu aja. Tahunya dari situ.” (P1)
“engga sih…ibu saya agak kolot jadi ga terlalu
ngomongin gitu-gitu. kalau di sekolah iyaa.” (P2)
“di sekolah. yah …uda lupa saya. Kelas berapa ya???
Kayanya ngerti-ngertinya kayanya SMP deh. Kan ada
pelajaran biologi kan” (P3)
“Saya inget banget kelas5 baru dijelasin. saya inget
banget itu. Guru agama soalnya yang ngejelaskan.
Karana disitu dijelasin uda di hitung dosanya solatnya
harus rajin. Baru ke alat kelamin seksual baru dijelasin.”
(P5)
“kalau pendidikan seks ada sih ada di sekolah. Pas SMP.”
(P6)
d. Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia 3
hingga 6 tahun
62
Pendidikan seks pada anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana
sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks. Sikap yang
dilakukan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak
ditunjukan ketika anak bertanya mengenai masalah seksualitas
dan menunjukan perilaku seksual anak.
1) Sikap ibu terhadap pertanyaan anak.
Temuan dalam penelitian ini informan mengungkapkan dalam
memberi pendidikan seks pada anak dilakukan jika anak
bertanya saja. Pertanyaan yang diajukan anak terkait dengan
seks yakni mengenai jenis kelaminnya serta perbedaan dengan
lawan jenisnya atau pertanyaan mengenai seks lainnya.
Sikap ibu dalam menjawab pertanyaan anakpun lebih
menggunakan kata-kata sederhana atau istilah lain yang
diharapkan anak dapat mengerti dan tidak mengalami
kebinggungan dalam memahami perkataan yang diungkapan
oleh ibu atau bahkan mengiyakan pernyataan anak tanpa
menjelaskan kepada anak lebih lanjut. Berikut pernyataan ibu
terkait sikapnya terhadap pertanyaan yang diajukan anak:
“paling kalau dia nanya ini apa mama? Ini “___”(istilah
selain vagina) misalkan. Kalau dia vagina kan belom mengerti
ya. jadi aku langsung bilang ini punya kaka buat pipis
gitu..tapi kalau cowo itu OO gitu. belom ngejelasin secara
detailbaru bahasa kasarlah ibaratnya.” (P1)
“kalau aku cewe ya bu gitu..terus dia sering tanya aa sama ya
bu kaya ayah. Kalau ade sm kaya ibu ya? Iyaaa…(ibu
mengiyakan pernyataan anak)” (P4)
2) Sikap ibu terhadap perilaku seksual anak
63
Anak usia prasekolah tak jarang suka menunjukan perilaku
seksual
misalnya
manipulasi
genetial
(mengelus
alat
kelaminnya). Perilaku tersebut tak jarang pula membuat orang
tua merasa aneh sehingga sikap yang ditunjukan oleh ibu
dalam penelitian ini adalah melarang anak melakukan hal
tersebut dengan alasan kotor atau menasehati bahwa perilaku
itu tidak baik dan ada pula yang beranggapan bahwa anak
mengalami
sensasi
gatal
pada
alat
kelaminnya
atau
beranggapan bahwa anak ingin buang air kecil sehingga
meminta anak untuk ke kamar mandi. Berikut pernyataan
sikap ibu terkait perilaku seks:
“kalau kemaluannya sendiri dia suka pegang. jangan
kaka…kotor. Kan kotor kan kemaluan kan. Kalau dia ga
cuci tangan kan kalau masuk ke mulut ka nada bakteri di
kemaluannya. Paling itu doang.” (P1)
“palingan anak gatel aja, paling digaruk-garuk gitu aja.
disuruh cebok, ke kamar mandi suruh cebok sana.” (P2)
“iya anak saya juga suka ngelus-ngelus juga. Palingan
saya suka “ ih ade jorok”. Suka saya gituin aja. Ga boleh.
Saya larang.” (P3)
“diberi tahu secara pelan-pelan. Secara baik-baik.
Namanya anak usia segini. Paling sering kita kasih tahu.
Kalau perbuatan kaya gitu engga baik. Kalau..takutnya
kalau dia dibiarkan takut keterusan.” (P4)
“paling kalau pagi…kalau bangun tidur kan suka
diledekin. Bangun kan bangun…pipis..pipis..itu apa
namanya burungnya bangun tuh. Ayo pipis-pipis…ama dia
suka dipegang-pegang gitu. kalau dimanin jangannanti
sakit. Jangan dipegang-pegang nanti kencingnya sakit.
Entar ga bisa pipis. Gitu doang paling.” (P5)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan
pendidikan seks pada anak.
64
Temuan dalam penelitian ini terkait memberikan pendidikan seks
pada anak terdapat faktor-faktor yang menurut ibu berpengaruh.
Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok (subtema)
antara lain: faktor pendukung dan faktor pembatas.
1) Faktor pendukung
Ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak terdapat
beberapa faktor atau hal-hal yang membuat ibu mau
mengajarkan pendidikan seks pada anak. faktor-faktor
pendukungnya antara lain: agar anak dapat mengenal dan
mengerti
kekhawatiran ibu bahwa anak mendapatkan
informasi yang salah keinginan ibu untuk mengajarkannya
dan harapan ibu agar anak memiliki self-estem yang baik.
Berikut pernyataan orang yang kait:
“biar dia lebih mengenal dan mengerti. Jadi lebih biar dia
mengerti daripada dari luar mending dari orang yang
terdekatnya keduanya supaya dia tidak mencari tahu di
luar..dengan caranya dia sendiri, takutnya dia salah
mencari tahunya kan.” (P1)
“ya supaya dia tau. Semakin dewasa kan pergaulan
semakin bebas. Jangan sampe dia dewasa nanti dia
terjerumus.” (P4)
“yaa…palingg buat jaga diri kali ya? Dijelasin supaya dia
bisa jaga diri. Tahu sendiri jaman sekarang” (P6)
2) Faktor pembatas
Ibu dalam memberikan pendidikan seks pada selain faktor
pendukung yang membuat ibu mau mengajarkan pada anak
terdapat pula faktor pembatas atau hambatan yang dirasakan
ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. faktorfaktor tersebut antara lain: mengalami kesulitan dalam
65
menjawab pertanyaan anak anggapan bahwa anak belum
pantas mendapatkan pendidikan seks merasa masalah
mengenai seks adalah suatu yang kotor atau tabu perasaan
malu untuk menjelaskannya perasaan bosan karena anak
sering mengulang pertanyaan terkait masalah seks perasaan
takut bahwa anak akan menceritakannya kepada temantemannya. Berikut pernyataan ibu yang terkait:
“Kesulitannya.ya kalau dia nanya yang macem-macem
lagi. Saya binggung jawabnya.” (P3)
“Takut dibilang kotor. Kan kadang dia kalau bergaul
sama anak-anak kan. Ada anak-anak yang suka ngomong
kotor suka diikutin sama dia gitu. bagaimana ya
perasaannya malu juga ketika menjelaskannya. namanya
anak-anak susah untuk diberi tahu. Anak umur sekian kan
sulit untuk pahan. Jadi dia yang dipertanyakan itu
lagi…itu lagii..jadi saya tuh kalau dibilang bosen ya
bosen.” (P4)
“Takut kalau dijelasin hingga detail. Nanti aja kalau uda
dewasa. takut dia ngomong sama temen-temennya. Takut
dia ngejelasin sama temen-temennya gitu. Mama aku
kasih tahu begini-begini gitu kan takut.” (P6)
“palingan saya bilang uda jangan banyak tanya, pusing
nih…palingan gitu” (P2)
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Hasil Penelitian
Peneliti telah mengidentifikasi lima tema yang merupakan hasil dari
penelitian ini. Tema-tema tersebut teridentifikasi berdasarkan tujuan
penelitian. Ibu yang berperan aktif dalam memberikan pendidikan seks pada
anak dapat digambarkan sebagai tema pertama ibu sebagai pemberi
pendidikan seks utama pada anak. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks
pada anak dapat digambarkan sebagai tema kedua. Pengetahuan yang
dimiliki ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak dapat
digambarkan sebagai tema ketiga pengetahuan orang tua mengenai
pendidikan seks. Sikap yang ditunjukan ibu saat memberikan pendidikan seks
pada anak digambarkan sebagai tema keempat sikap ibu dalam memberikan
pendidikan seks pada anak. Hal-hal yang dapat mempengaruhi ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak baik yang mendukung ataupun yang
membatasi
digambarkan
sebagai
tema
kelima
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
1. Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak.
Hasil wawancara pada informan diketahui bahwa yang bertindak
sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak adalah ibu. Peran ayah
dalam memberikan pendidikan seks pada anak tidak terlihat dikarenakan
sibuk bekerja sehingga intensitas ayah untuk berkomunikasi dengan
anakpun kurang. Ibu yang rata-rata adalah seorang ibu rumah tangga
66
67
memiliki banyak waktu bersama anaknya sehingga kesempatan ibu dalam
mengajarkan pendidikan seks pada anak pun sangat banyak.
Hal ini sesuai dengan temuan yang dilakukan oleh Nambambi dan
Mufune (2011) bahwa baik anak perempuan maupun laki-laki lebih suka
mendiskusikan seks dengan ibunya yang dianggap lebih peduli dan
pengertian. Namun disini ibu lebih memahami seksualitas pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa ibu memiliki
kepekaan yang paling konsisten dalam membicarakan seks pada anak
(Miller et.al. 2009).
Uraian di atas dapat kita ketahui bahwa kedekatan antara ibu dan anak
membuat ibu lebih memiliki peluang yang lebih banyak serta lebih
bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hal
tersebut dapat dilihat bahwa peran ibu sebagai orang tua lebih dominan
dalam berdiskusi terkait seks pada anak sehingga dapat disimpulkan
bahwa ibu adalah pemberi pendidikan seks utama pada anak. Orang tua
selain ibu yaitu ayah memiliki tanggung jawab yang sama dalam
memberikan pendidikan seks pada anak namun kenyataan yang didapat di
sini bahwa ayah kurang berperan dalam memberikan pendidikan seks pada
anak. Oleh karena itu konstribusi ayah sebagai orang tua dalam
memberikan pendidikan seks pada anak sangatlah penting khususnya bagi
anak laki-lakinya sebagai role model yang baik bagi anak dalam mengenal
identitas gendernya.
2. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3 hingga 6
tahun).
68
Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia
prasekolah meliputi persepsi mengenai makna dari pendidikan seks itu
sendiri tingkat kepentingan dari pendidikan seks pada anak dan waktu
yang tepat bagi anak dalam memperoleh pendidikan seks. Beberapa uraian
sub tema meliputi:
a. Makna pendidikan seks pada anak.
Makna pendidikan seks pada anak menurut orang tua khususnya
ibu sangat beragama. Informan mengungkapkan kurang memahami
pendidikan seks khususnya pada anak usia prasekolah. Pemahaman ibu
mengenai pendidikan seks merupakan pengetahuan mengenai jenis
kelamin seks bebas dan masa pubertas.
Berbicara tentang seks tidak hanya berbicara seputar hubungan
seksual anatara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu bicara tentang
seks sama halnya bicara soal tubuh manusia mulai dari perbedaan
antara laki-laki dan perempuan yang bisa dilihat dari bentuk dan fungsi
tubuhnya (Andika 2010). Pendidikan seks sederhana pertama yang
diberikan kepada anak usia prasekolah adalah mengidentifikasi bagianbagian tubuh (Rimm 2003).
Persepsi ibu mengenai pendidikan seks yang masih terbatas
membuat ibu kurang memahami makna dari pendidikan seks
khususnya bagi anak usia prasekolah. Walaupun ada sebagian besar
dari informan yang memiliki persepsi yang cukup baik mengenai
pendidikan seks pada anak usia prasekolah.
69
Terbatas persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak
prasekolah sehingga perlu adanya penambahan pemahaman bagi
orang tua khususnya ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama bagi
mengenai pendidikan seks itu sendiri khususnya pada anak usia
prasekolah. Peningkatan persepsi ibu terkait pendidikan seks pada anak
prasekolah bisa dilakukan oleh ibu itu sendiri dengan mencari sumber
referensi yang menunjang ataupun dapat diberikan oleh pengajar
PAUD ataupun perawat komunitas dalam meningkatkan persepsi
masyarakat khususnya ibu terkait pendidikan seks pada anak usia
prasekolah.
b. Tingkat kepentingan pendidikan seks untuk anak usia prasekolah.
Hasil dari penelitian menyatakan bahwa seluruh informan
beranggapan bahwa pendidikan seks penting untuk anaknya namun di
sini terlihat bahwa alasan ibu yang beragam mengenai pendidikan seks
pada anak masih belum memahami pendidikan seks itu sendiri
khususnya untuk anak usia prasekolah. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wilson et.al. (2010) bahwa orang tua
khususnya ibu percaya mengenai pentingnya membicarakan seks pada
anak namun banyak yang tidak melakukan hal tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa kesadaran ibu mengenai pentinganya pendidikan
seks pada anak khususnya usia prasekolah tidak didukung dengan
pemahaman yang cukup baik bagi ibu terkait hal tersebut sehingga
perlu bagi orang tua khususnya ibu dalam meningkatkan pemahaman
70
mengenai pendidikan seks bagi anak prasekolah guna mendukung
persepsi mereka terkait pentingnya pendidikan seks untuk anak.
c. Waktu yang tepat untuk memberikan anak pendidikan seks.
Hasil penelitian didapati bahwa sebagian besar ibu berpendapat
bahwa pendidikan seks sebaiknya dimulai ketika anak usia sekolah.
Hal ini dikarenakan bahwa mereka merasa bahwa anak usia 3 hingga 6
tahun masih belum pantas dan belum bisa mengerti jika diajarkan
pendidikan seks. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Wilson et.al (2010) yang menemukan bahwa orang tua menganggap
anak mereka terlalu muda sehingga tidak mengetahui bagaimana
membicarakan tentang seks dengan anak. Persepsi orang tua terhadap
masih terlalu mudanya anak matur dan naif juga diutarakan Elliot
(2010) dalam penelitiannya.
Anak usia prasekolah memiliki keingintahuan yang sangat besar.
Kemampuan kognitifnya pun mengalami perkembangan yang pesat.
Menurut teori kognitif Piaget anak usia prasekolah berada pada tahap
praoperasional dimana pada tahap ini anak mulai menggambarkan
dunia dengan kata-kata bayangan atau gambaran. Pemikiran simbolik
sudah lebih jauh daripada hubungan sederhana antara informasi dan
tindakan (Santrock 2003). Pada anak di usia 3-6 tahun ini anak sudah
bisa diajak memahami sesuatu lewat stimulus imajinasi serta mampu
menggelompokan warna benda maupun ukuran (Andika 2010). Hal
ini membuktikan bahwa anak usia prasekolah sudah bisa diberikan
pendidikan seks yang sesuai tugas perkembangannya. Tugas
71
perkembangan pada tahap prasekolah yaitu mengembangkan identitas
dan keingintahuan seksual dimana anak dapat memahami tubuh
mereka berkaitan dengan struktur fungsi dan dapat membedakannya
dengan konsep yang sederhana (Bastable 2002). Pendidikan seks
sederhana pertama yang diberikan kepada anak prasekolah adalah
mengidentifikasi bagian-bagian tubuh (Rimm 2003).
Uraian diatas mengenai persepsi tentang waktu yang tepat untuk
memberikan pendidikan seks pada anak dalam penelitian mayoritas
ibu menyatakan bahwa usia prasekolah belum pantas untuk diberikan
pendidikan seks. Padahal dalam teori menyatakan bahwa pada usia
prasekolah ada sudah dapat diberikan pendidikan seks dasar mengenai
identitas seksnya atau jenis kelaminnya. Hal ini membuktikan bahwa
ibu tidak memiliki pemahaman yang cukup baik terkait pendidikan
seks pada anak prasekolah maupun perkembangan anak usia
prasekolah baik secara kognitif ataupun seksualitas sehingga perlu
peningkatan pemahaman bagi ibu selain mengenai pendidikan seks
maupun perkembangan anak usia prasekolah.
3. Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut
akan semakin luas pula pengetahuannya (Dewi dan Wawan, 2010).
Tingkat pendidikan dari informan dalam penelitian ini pun beragamam
mulai dari SLTP hingga Stara 1.
72
Pengetahuan yang dimiliki ibu akan mempengaruhi pemberian
pendidikan seks pada anak. Pengetahuan yang dikaji oleh penelitian terkait
dengan
pengetahuan
mengenai
pendidikan
seks
yang
meliputi:
pengetahuan mengenai organ-organ seksual fungsinya dan tumbuh
kembang seksualitas yang terjadi pada anak. Pengetahuan ibu pun dapat
diliat dari sumber informasi dan riwayat pendidikan seks ibu.
a. Pengetahuan ibu mengenai seksualitas.
Hasil pada penelitian ini didapati bahwa pengetahuan ibu
mengenai seksualitas cukup baik hanya satu informan saja yang
mengalami kebingungan dalam menjelaskan mengenai seksualitas
khususnya mengenai organ seksualitas dan fungsinya. Ibu yang
memiliki pengrtahuan cukup baik dapat menyebutkan organ seksual
yang terdiri dari organ reproduksi eksterna dan payudara. Organ
reproduksi pada perempuan yang ibu ketahui adalah vagina dan
payudara walaupun di sini masih ada informan yang mengunakan
istilah lain dalam menyebutkan nama organ reproduksi wanita. Fungsi
dari organ reproduksi yang informan ketahui antara lain: untuk
eliminasi urin hubungan seksual jalan lahir dan saluran untuk
mengalirkan darah menstruasi. Sedangkan fungsi payudara pada
perempuan menurut informan adalah untuk menyusui.
Organ reproduksi pada laki-laki menurut informan adalah penis
walaupun di sini beberapa informan mengunakan istilah lain atau
bahkan tidak mengetahui nama dari organ reproduksi laki-laki. Fungsi
73
dari organ reproduksi yang diketahui informan yaitu untuk eliminasi
urin dan hubungan seksual.
Pengetahuan ibu
terkait seksualitas selain pengetahuannya
mengenai organ seksualitas dan fungsinya juga dikaji pengetahuannya
mengenai tumbuh kembang seksual pada anak. Pengetahuan ibu terkait
tumbuh kembang seksual anak bersifat umum tidak berfokus pada
anak usia prasekolah. Tumbuh kembang seksual anak yang
diungkapkan informan baik pada anak perempuan maupun laki-laki.
Pada anak perempuan tumbuh kembang seksual yang terjadi meliputi
menstruasi perkembangan payudara perubahan bentuk tubuh tumbuh
rambut di daerah tertentu dapat berhubungan seksual mengeluarkan
ASI saat melahirkan dan perasaan malu.
Teori secara umum mengenai organ-organ seksualitas pada
manusia baik wanita dan laki-laki terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
bagian dalam (interna) dan luar (eksterna). Organ reproduksi bagian
luar pada wanita terdiri dari: Mons veberis Labia mayora (bibir-bibir
besar) Labia minora (bibir-bibir kecil) Klitoris yang mempunyai
fungsi utama adalah merangsang dan meningkatkan ketegangan
seksual Vulva Bulbus vestibule kiri dan kanan Introitus vagina dan
Perineum. Sedangkan organ reproduksi bagian dalam pada wanita
terdiri atas: Vagina (liang kemaluan) yang berfungsi sebagai organ
untuk koitus dan jalan lahir Uterus yang mempunyai fungsi utama
sebagai tempat perkembangan janin dan dalam reproduksi adalah
siklus haid dengan peremajaan endometrium kehamilan dan
74
persalinan Tuba fallopi Ovarium (indung telur) yang mempunyai
fungsi utama adalah menyelenggarakan ovulasi dan menghasilkan
hormone seks steroid (estrogen progesterone dan androgen) dalam
jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan perkembangan dan
fungsi wanita normal. Payudara merupakan pelengkap alat reproduksi
perempuan yang berfungsi memproduksi susu (ASI).
Pada organ reproduksi laki-laki bagian luar terdiri atas: Mons
pubis Penis (zakar) yang memiliki uretra di dalamnya yang
mempunyai
fungsi
sebagai
saluran
pembuangan
kemih
dan
pengeluaran sperma dan Skrotum (kantong buah pelir). Sedangkan
organ reproduksi laki-laki bagian dalam terdiri atas: Testis yang
berfungsi sebagai tempat spermatozoa dibentuk dan menghasilkan
hormone laki-laki testosterone Saluran (duktus) testis Kelenjar
system reproduksi aksesori dan Semen yang merupakan cairan yang
diejakulasi pada saat orgasme mengandung sperma dan sekresi
vesikula seminalis kelenjar prostat dan kelenjar bulboutretralis.
Semen mengandung unsure pokok untuk menyediakan makanan bagi
sperma meningkatkan motilitas sperma dan sebagai penyangga
lingkungan asam cairan serviks dan vagina.
Tumbuh kembang seksual secara fisik yang terjadi pada anak
antara lain: Munculnya tanda-tanda seks primer: terjadi haid yang
pertama (menarche) pada remaja perempuan dan mimpi basah pada
anak laki-laki. Munculnya tanda-tanda seks sekunder yaitu: Pada anak
laki-laki tumbuhnya jakun penis dan buah zakar bertambah besar
75
dada lebih lebar badan berotot tambah kumis di atas bibir cambang
dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Pada anak perempuan;
pinggul melebar pertumbuhan rahim dan vagina tumbuh rambut
disekitar kemaluan dan ketiak payudara membesar (Pinem 2009).
Hasil
pengkajian
mengenai
pengetahuan
ibu
mengenai
seksualitas manusia dengan mengunakan pedoman Knowledge:
sexual functioning dari NIC (2013) dengan tiga indikator yang dikaji
yaitu: Sexual anatomy Function of sexual anatomy dan Physical
changes with puberty didapati bahwa pengetahuan ibu mengenai
Sexual anatomy berada pada skala pengetahuan terbatas. Hal ini
dikarenakan ibu hanya mengetahui organ reproduksi eksternal dan
payudara. Penyebutan nama organ reproduksinya pun ibu lebih
mengenal dengan istilah lain. Satu dari informan bahkan tidak
memiliki
pengetahuan
yang benar mengenai organ seksual.
Sedangkan pengetahuan ibu mengenai Function of sexual anatomy
dan Physical changes with puberty berada pada skala pengetahuan
sedang.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa ibu memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai dasar seksualitas manusia secara
umum. Namun untuk pengetahuan ibu mengenai seksualitas pada
anak khususnya pada anak usia prasekolah masih kurang sehingga
perlu ada peningkatan pengetahuan pada ibu mengenai seksualitas
anak usia prasekolah agar mempermudah ibu dalam memaplikasikan
pengetahuannya terkait pendidikan seks pada anak prasekolah.
76
a. Sumber informasi
Sumber informasi yang didapat oleh ibu akan mempengaruhi
pengetahuan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak.
informasi-informasi yang didapat ibu biasanya bersumber dari
pengalaman atau pengetahuan sendiri maupun orang lain TV
majalah atau Koran. Dalam penelitian Tripathi dan Sekher (2013)
yang menjadi sumber dalam mendapatkan
informasi terkait
pendidikan seks antara lain orang tua (81%) guru atau sekolah (55%)
saudara (50%) teman (30%) dan media informasi lainnya.
Hal ini membuktikan bahwa sumber informasi yang menjadi
pedoman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak
bersumber dari pengetahuan sendiri maupun orang lain dan media
informasi lainnya seperti TV majalah atau Koran.
b. Riwayat pendidikan seks ibu
Pengalaman ibu dalam mendapatkan pendidikan seks pada
anak dapat mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks
pada anak. riwayat pendidikan seks ibu didapati ketika duduk di
bangku sekolah oleh guru dalam pelajaran biologi maupun agama.
Hal ini sesuai dengan penelitian Tripathi dan Sekher (2012) yang
mendapatkan bahwa pendidikan seks benar-benar diterima ketika
sekolah. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan seks didapatkan di
sekolah saja. Orang tua dari informan kurang ikut serta dalam
memberikan pendidikan seks pada anak.
77
4. Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia 3 hingga 6
tahun.
Sikap yang dilakukan ibu dalam memberikan pendidikan seks pada
anak pada penelitian ini ditunjukan ketika anak bertanya mengenai
masalah seksualitas dan menunjukan perilaku seksual anak.
a. Sikap ibu terhadap pertanyaan anak.
Hasil dalam penelitian ini informan mengungkapkan dalam
memberi pendidikan seks pada anak dilakukan jika anak bertanya saja.
Sikap ibu dalam menjawab pertanyaan anakpun lebih menggunakan
kata-kata sederhana atau istilah lain yang diharapkan anak dapat
mengerti dan tidak mengalami kebinggungan dalam memahami
perkataan yang diungkapan oleh ibu atau bahkan mengiyakan
pernyataan anak tanpa menjelaskan kepada anak lebih lanjut.
Pada usia prasekolah memiliki rasa ingin tahu yang besar sehingga
tak heran anak akan mengajukan pertanyaan kepada orang tua
khususnya ibu terkait seks. Penjelasan lebih lanjut dapat dilakukan ibu
dengan menekankan bahwa tubuh laki-laki dan perempuan berbeda
sehingga anak akan lebih mengerti jika disertai dengan penjelasan
sederhana (Andika 2010). Menurut Rimm (2003) tidak masalah jika
orang tua menggunakan istilah tertentu untuk anak-anak dalam
memberikan pendidikan seks namun anak juga perlu diajarkan nama
yang sebenarnya agar kelak anak tidak merasa canggung untuk
menyebutkannya.
78
Sikap yang dilakukan oleh ibu dalam memberikan pendidikan seks
khususnya anak usia prasekolah terkait dengan pertanyaan yang
dilontarkan anak sudah cukup baik. Terlihat di sini bahwa ibu
memiliki kemampuan yang cukup baik dalam memberikan pendidikan
seks pada anak prasekolah namun dalam mengajarkan nama-nama
organ seksual anak orang tua lebih cenderung menggunakan istilah
asing dibandingkan nama yang sebenarnya. Penggunaan istilah asing
dalam menyebutkan organ seksual anak memang diperbolehkan namun
alangkah baiknya jika anak juga mengetahui nama sebenarnya dari
organ seksualnya sehingga diharapkan baik ibu maupun anak tidak
canggung atau lebih terbuka dalam membicarakan terkait seks dengan
anak.
b. Sikap ibu terhadap perilaku seksual anak
Anak usia prasekolah tak jarang suka menunjukan perilaku seksual
misalnya manipulasi genetial (mengelus alat kelaminnya). Perilaku
tersebut tak jarang pula membuat orang tua merasa aneh sehingga
sikap yang ditunjukan oleh ibu dalam penelitian ini adalah melarang
anak melakukan hal tersebut dengan alasan kotor atau menasehati
bahwa perilaku itu tidak baik dan ada pula yang beranggapan bahwa
anak mengalami sensasi gatal pada alat kelaminnya atau beranggapan
bahwa anak ingin buang air kecil sehingga meminta anak untuk ke
kamar mandi.
Anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) menurut Freud dalam
teori psikoseksual berada pada fase falik dimana genitalia menjadi
79
area yang menarik dan area tubuh yang sensitif (Supartini 2004). Pada
fase falik ini daerah yang paling sensitif yang terpenting pada anak
prasekolah adalah alat kelamin sehingga anak mulai melakukan
rangsangan otoerotik yaitu meraba-raba dan merasakan kenikmatan
(Sunaryo 2004). Anak akan cenderung memusatkan perhatian untuk
memperoleh kepuasan pada alat kelaminnya dan akan cenderung
menyentuh alat kelamin mereka untuk memperoleh kepuasan tersendiri
(Satiadarma 2002).
Sikap yang bisa ditunjukan oleh orang tua yaitu dengan
menjelaskan
kepada anak bahwa tangan bisa saja kotor dan
mengandung kuman alat kelamin kelamin merupakan bagian yang
sangat sensitif terhadap kuman dan jika disentuh dengan tangan yang
kotor anak mengakibatkan penyakit kemudian alihkan perhatian anak
(Andika 2010).
Sikap yang ditunjukan ibu terkait perilaku seksual anak menurut
teori yang dijelaskan di atas sudah cukup baik yaitu dengan melarang
ataupun menasehati perilaku anak tersebut namun sikap ibu tersebut
tidak didasari dengan pemahaman yang baik terhadap perilaku seksual
yg ditunjukan oleh anak. Ibu di sini tidak beranggapan bahwa perilaku
seksual yang ditunjukan oleh anak merupakan hal normal namun lebih
cenderung beranggapan bahwa hal tersebut kotor atau anak merasa
gatal atau bahkan anak ingin buang air kecil. Ibu perlu memahami
perilaku yang ditunjukan anak seperti suka memegang alat kelaminnya
merupakan hal yang normal pada anak dalam memuaskan hasrat
80
seksualnya di sini juga ibu dapat mengajarkan pada anak bahwa hal
tersebut bersifat privasi sehingga anak akan bisa mengontrol
perilakunya tersebut.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks
pada anak.
Pemberikan pendidikan seks pada anak yang dilakukan oleh ibu
dalam penelitian ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok (subtema) antara lain:
faktor pendukung dan faktor pembatas.
a. Faktor pendukung
Ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak terdapat
beberapa faktor atau hal-hal yang membuat ibu mau mengajarkan
pendidikan seks pada anak. faktor-faktor pendukungnya antara lain:
agar anak dapat mengenal dan mengerti kekhawatiran ibu bahwa anak
mendapatkan
informasi
yang
salah
keinginan
ibu
untuk
mengajarkannya dan harapan ibu agar anak bisa menjadi jaga dirinya
sendiri.
Wilson et.all (2010) mengemukakan hal-hal yang memotivasi
orang tua berbicara tentang seks pada anak antara lain: untuk
melindungi anak dari bahaya potensi seks untuk mengatasi informasi
yang salah dari sumber lain untuk mengkomunikasikan nilai-nilai
orang tua tentang seks.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti tidak jauh berbeda dengan
penelitian yang terkait yang menemukan bahwa faktor pendukung ibu
81
memberikan pendidikan seks pada anak antara lain: kesadaran ibu
mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak agar anak memiliki
pengetahuan mengenai pendidikan seks anak memiliki self-esteem
yang baik sehingga terhindar dari bahaya potensi seks dan menghindari
sumber informasi yang salah untuk anak terkait pendidikan seks.
b. Faktor pembatas
Dalam memberikan pendidikan seks pada selain faktor
pendukung yang membuat ibu mau mengajarkan pada anak terdapat
pula faktor pembatas atau hambatan yang dirasakan ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak. faktor-faktor tersebut antara
lain: mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan anak anggapan
bahwa anak belum pantas mendapatkan pendidikan seks merasa
masalah mengenai seks adalah suatu yang kotor atau tabu perasaan
malu untuk menjelaskannya perasaan bosan karena anak sering
mengulang pertanyaan terkait masalah seks perasaan takut bahwa
anak akan menceritakannya kepada teman-temannya.
Wilson et.al (2010) dalam penelitian juga menemukan
hambatan yang dirasakan oleh orang tua untuk berbicara tentang seks
pada anak. Hal-hal yang menjadi hambatan antara lain: persepsi bahwa
anak tidak siap untuk mendengarkan mengenai seks ketidaktauan
orang tua bagaimana berbicara mengenai seks pada anak kurangnya
waktu dan motivasi orang tua dalam membicarkan terkait seks pada
anak tidak memiliki pemikiran tentang berbicara seks merupakan
suatu kebutuhan disfungsi dalam beberapa keluarga serta bahasa dan
82
budaya yang menjadi hambatan bagi orang tua dan anak untuk
berbicara mengenai seks.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nambambi dan Mufune
(2011) mengungkapkan faktor-faktor yang menghambat orang tua
berdiskusi mengenai seks pada anak antara lain: perasaan malu
kurangnya kesadaran untuk membicarakan seks pada anak kurang
percaya diri keterampilan komunikasi yang buruk dan kurangnya
tradisi orang tua untuk membicarakan mengenai seks pada anak.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hasil yang ditemukan
dalam penelitian tidak jauh berbeda dengan hasil temuan penelitian
lainnya bahwa dalam penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor
yang membatasi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak
anatara lain: pertama mengalami kesulitan dalam menjawab
pertanyaan anak. Kesulitan ibu dalam berbicara mengenai seks pada
anak terlihat bahwa ibu tidak tahu bagaimana membicarakan soal seks
pada anak dan menunjukan pula bahwa keterampilan dalam
berkomunikasi terkait seks masih kurang. Kedua anggapan bahwa
anak belum pantas mendapatkan pendidikan seks. Hal ini menujukan
persepsi ibu bahwa anak tidak siap untuk mendengarkan mengenai
seks.
Ketiga merasa masalah mengenai seks adalah suatu yang kotor
atau tabu. Hal ini menujukan bahwa tradisi atau budaya ibu untuk
membicarakan mengenai seks pada anak yang masih kurang karna
83
dianggap tabu sehingga tidak melihat pendidikan seks merupakan
kebutuhan untuk anak.
Selanjutnya
yang
menjelaskannya. Kelima
keempat
perasaan
malu
untuk
perasaan bosan karena anak sering
mengulang pertanyaan terkait masalah seks dan terakhir adalah
perasaan takut bahwa anak akan menceritakannya kepada temantemannya. Hal ini menujukan bahwa tradisi atau budaya ibu untuk
membicarakan mengenai seks pada anak yang masih kurang karena
dianggap tabu sehingga membuat ibu merasa malu dan takut. Ibu pun
tidak melihat pendidikan seks merupakan kebutuhan untuk anak.
B. Keterbatasan Penelitian
Peneliti dalam melaksanakan penelitian ini peneliti masih memiliki
keterbatasan antara lain:
1. Penelitian ini merupakan pengalaman pertama bagi peneliti sehingga
peneliti
mengalami
memperhatikan
pengalaman
banyak
semua
dalam
kesulitan
yang
melakukan
dalam
diungkapkan
analisis
mendengarkan
informan.
data
kualitatif
dan
Kurangnya
sehingga
menyebabkan peneliti mengalami kesulitan terutama dalam menentukan
tema dan sub tema dari hasil wawancara yang telah dilakukan.
2. Hambatan kultural dimana pembicaraan mengenai seks merupakan hal
tabu. Informan di sini masih kurang terbuka dalam menggungkapkan
pernyataan terkait penelitian ini. Waktu penelitian yang terbatas membuat
hubungan saling percaya antara peneliti dan informan yang masih kurang
84
juga dirasakan oleh peneliti sehingga hasil dari penelitian pun dirasa
masih belum mendalam.
3. Keterbatasan dalam memperoleh referensi yang terkait dengan penelitian
ini sehingga mempengaruhi pembahasan dalam penelitian ini.
BAB VII
KESIMPULAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan
pemahaman secara mendalam mengenai pengalaman ibu dalam
memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun)
di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Berdasarkan
tema-tema yang teridentifikasi pada hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ibu adalah pemberi pendidikan
seks utama pada anak. Peran ayah sebagai orang tua selain ibu di sini
kurang berperan dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hal
tersebut dikarenakan kesibukan ayah berkeja mencari nafkah untuk
keluarga sehingga tidak memiliki kesempatan yang cukup banyak bagi
anak apalagi untuk memberikan pendidikan seks pada anaknya.
2. Orang tau khususnya ibu percaya bahwa pendidikan seks merupakan
hal yang penting bagi anak namun hal tersebut tidak didukung dengan
pemahaman atau persepsi yang cukup baik mengenai pendidikan seks
khususnya pada anak usia prasekolah yang masih beranggapan bahwa
anak usia 3 hingga 6 tahun masih belum pantas diberikan pendidikan
seks.
3. Ibu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dasar seksualitas
manusia secara umum. Namun untuk pengetahuan ibu mengenai
seksualitas pada anak khususnya anak usia prasekolah masih kurang.
4. Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks ditunjukan ketika anak
bertanya dan melakukan perilaku seksual. Secara umum sikap yang
ditunjukan oleh ibu sudah cukup baik. Ibu memiliki kemampuan
kemampuan dalam memberikan pendidikan seks pada anak namun
masih kurang memahami bagaimana semestinya bersikap dalam
memberikan pendidikan bseks khususnya pada anak usia prasekolah
baik terkait pertanyaan yang dilontarkan anak maupun perilaku yang
ditunjukan oleh anak.
5. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks
pada anak yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor pendukung dan faktor
penghambat. Faktor pendukung antara lain: kesadaran orang tua
mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak agar anak memiliki
pengetahuan mengenai pendidikan seks anak memiliki self-esteem
yang baik sehingga terhindar dari bahaya potensi seks dan
menghindari sumber informasi yang salah untuk anak terkait
pendidikan seks. Sedangkan faktor pembatasnya antara lain: kesulitan
dalam menjawab pertanyaan anak anggapan bahwa anak belum pantas
mendapatkan pendidikan seks merasa masalah mengenai seks adalah
suatu yang kotor atau tabu perasaan malu untuk menjelaskannya
perasaan bosan karena anak sering mengulang pertanyaan terkait
masalah seks dan terakhir adalah perasaan takut bahwa anak akan
menceritakannya kepada teman-temannya.
B. Saran
Saran yang dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Orang tua
Untuk meningkatkan kemampuan dalam memberikan pendidikan seks
pada anak serta meningkatkan pemahaman mengenai perkembangan
seksual pada anak dan pendidikan seks berdasarkan usia anak khususnya
pada anak usia prasekolah.
2. Instalasi pendidikan anak usia dini
Dapat memasukan pendidikan seks sebagai salah satu program pendidikan
baik untuk anak usia prasekolah maupun pada orang tua.
3. Perawat komunitas
Dapat menjalankan perannya sebagai edukator dan konselor baik bagi
orang tua maupun anak terkait dengan perkembangan seksual pada anak
dan pendidikan seks anak usia prasekolah dalam meningkatkan pentingnya
pemberikan pendidikan seks sejak dini.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Perlu diadakannya penelitian yang lebih mendalam lagi tentang
pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia
prasekolah (3 hingga 6 tahun) dalam waktu yang lebih lama dan
karakteristik informan yang lebih beragam. Peran ayah dalam memberikan
pendidikan seks pada anak pun dapat diteliti oleh peneliti selanjutnya
untuk melihat peran serta orang tua selain ibu dalam memberikan
pendidikan seks pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, Ana Carla Campos Hidalgo De & Centa, Maria De Lourdes. Parents
Experience With The Sexual Education Of Their Children: Implications
For Nursing Care. ACTA. 2008
Andika Alya. Ibu Dari Mana Aku Lahir? Cara Cerdas Mendidik Anak Tentang
Seks. Yogyakarta: Pustaka Grhatama. 2010
Asmani, Jamal Ma’mur. Managemen Strategis Pendidikan Anak Usia Dini.
Jogjakarta: Diva Press. 2009
Baharits Adnan Hasan Shalih. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki.
Jakarta: Gema Insani Press. 2005
Bastable, Susan B. Perawat Sebagai
Pembelajaran. Jakarta: EGC. 2002
Bkkbn.
2010.
Mengapa
Pendidik:
Perlu
http://kepri.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/AllItems.aspx.
Prinsip-Prinsip
dan
Pendidikan
Seks.
Diakses
pada
25
Desember 2012 pukul 10.30 WIB
BKKBN. 2013. Selama Januari Terjadi 42 Kasus Pelecehan Seksual Pada Anak.
http://dkijakarta.bkkbn.go.id/Lists/Berita/DispForm.aspx?ID=698&Conten
Diakses
tTypeId=0x0100A28EFCBF520B364387716414DEECEB1E.
pada tanggal 25 april 2013 pukul 19.53 WIB.
Bulecheck Gloria M. Butcher Howard K. Dochterman Joanne M & Wegner
Cheryl. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier.
2013
Dharma, Kusuma. Metodelogi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan
dan Menerapkan Hasil Penelitian. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Trans
Info Media. 2011
El- Qudsy, Hasan. Ketika Anaka Bertanya Tentang Seks, Panduan Islami Bagi
Orang Tua Mendampingi Anak Tumbuh Menjadi Dewasa. Solo: Tinta
Medina. 2012
Elliott Sinikka. Parents’ Constructions of Teen Sexuality: Sex Panics,
Contradictory Discourses, and Social Inequality. North Carolina State
University Symbolic Interaction Volume 33Number 2, 2010
Hasan, Maimunah. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Yogyakarta: Diva Press.
2009
Iskandar. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press. 2009
Johnson, Kerri L., Tassinary, Louis G., & Lurye, Leah E. Sex Categorization
Among Preschool Children: Increasing Utilization Of Sexually Dimorphic
Cues. Child Development, Volume 81, Number 5, Pages 1346-1355. 2010
KBBI, 2013. www.KamusBahasaIndonesia.org. Diakses pada tanggal 27 April
2013 pukul 20.38 WIB
_________.http://kbbi.web.id/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 11.07
WIB.
Kenny, M.C & Wurtele, S. K. Toward Prevention of Childhood Sexual Abuse:
Preschoolers’ Knowledge of Genital Body parts. In M. S. Plakhotnik & S.
M. Nielsen (Eds.), Proceeding of the Seventh Annual College of
Education Research Conference: Urban and Internasional Education
Section (pp. 74-79). Miami: Florida Internasional University
Kliegman, Robert M. Nelson Textbook Of Pediatrics 19th Edition. United States
of America: Saunders. 2011
Kurniawati, Tenti; Rahmat, Ibrahim & Lusmilasari, Lely. Hubungan antara
persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun dengan
sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks di Suronatan dan Serangan
Notoprajan Yogyakarta. Jurnal kebidanan dan keperawatan. Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah, Yogyakarta. 2005
Kusumawati, Arum Tri. Hubungan tingkat pengetahuan orang tua tentang
pendidikan seks dini dengan perkembangan perilaku seks pada anak 3-6
tahun di TK Cipto Rahayu Kec. Gedeg, Kab. Mojokerto. Jurnal
keperawatan Bina Sehat. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. 2009
LAI, Ching Yuk. An Exploratory Study Of Parents’ Perceptions Of Teaching Sex
Education In Hong Kong Preschool. The Hong Kong Institute Of
Education. 2005
Lubis, Dina Putri Utami. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam
mengajarkan pendidikan seksual pada anak usia 4-6 tahun di TK Dharma
Bakti IV Tamantirto, Bantul, Yogyakarta. Samodra ilmu: jurnal kesehatan.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yogyakarta. 2012
Madani, Yusuf. Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam: Panduan Bagi Orang
Tua, Guru, Ulama, Dan Kalangan Lainnya/ Yusuf Madani; Penerjemah,
Irwan Kurniawan; Penyunting, Yudi. –Cet. 1. Jakarta: Pustaka Zahra. 2003
Martin, Karin A & Luke, Katherine. Gender Differences In The ABC’s Of The
Birds And The Bees: What Mothers Teach Young Children About
Sexuality And Reproduction. Department of Sociology, University of
Michigan USA. 2010
Miller Kim S. Fasula E Amy M. Dittus E Patricia. Wiegand E Ryan E.
Wyckoff E Sarah & McNair Lily. Barriers and Facilitators to Maternal
Communication with Preadolescents about Age-Relevant Sexual Topics.
AIDS Behav (2009) 13:365–374 DOI 10.1007/s10461-007-9324-6
Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2010
Nambambi Ndishishi M & Mufune Pempelani. What Is Talked About When
Parents Discuss Sex With Children: Familiy Based Sex Education In
Windhoek Namibia. Africa Journal Of Reproductive Health Desember
2011; 15(4):\2Q
Narendra, M. B. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: PT. Sagung
Seto. 2002
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT.
Asdi Mahasatya. 2005
Novita, Windya. Serba-Serbi Anak, yang Perlu Diketahui Seputar Anak dari
dalam Kandungan Hingga Masa Sekolah. Jakarta: Elex Media
Komputindo. 2007
Pinem Saroha. Kesehatan Reproduksi Dan Kontrasepsi. Jakarta: Tim. 2009
Potter, Patricia A. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, Edisi 4. Jakarta: EGC. 2005
Rimm Sylvia. Mendidik dan menerapkan disiplin pada anak prasekolah. Jakarta:
gramedia pustaka utama. 2003
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKis. 2009
Saringendyanti W, E. Pendidikan Seks untuk Anak. Jakarta: Puspa Swara. 1998
Saryono & Anggraeni, Mekar Dwi. Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam
Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. 2010
Setiadarma Monty P. Pura-Pura Sakit Untuk Mencari Simpati (Sindroma
Munchausen) Sebuah Kajian Psikologis. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
2002
Skripsiadi, Erwin J. Pendidikan Dasar Seks Untuk Anak Sebagai Panduan Diskusi
Dalam Keluarga. Yogyakarta: Curiosita. 2005
Steubert, Helen J & Carpenter, Dona R. Qualitative Research in Nursing:
Advancing the Humanistik Imperative. USA: Lippincott. 2003
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. 2010
Sumantri, Arif. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada. 2011
Sunaryo. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 2004
Supartini, Yupi. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. 2004
Tripathi Niharika & Sekher T V. Youth in India Ready for Sex Education?
Emerging Evidence from National Surveys. International Institute for
Population Sciences, Deonar, Mumbai, Maharashtra, India. 2013
Walker, Joy L. A Qualitative Study Of Parents’ Experience Of Providing Sex
Education For Their Children: The Implications For Health Education.
SAGE Publication Health Education Journal 2001; 60; 132. 2001
Wasis. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC. 2008
Wawan, A dan Dewi, M. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan.
Perilaku Manusia.. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010
Wilson Ellen K. Dalberth Barbara T. Koo Helen P & Gard Jennifer C.
Parents’ Perspectives on Talking to Preteenage Children About Sex.
Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 2010, 42(1):56–63, doi:
10.1363/4205610 U.S.
Wong, Donna L. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Edisi 6. Jakarta: EGC.
2008
Pedoman Wawancara
1. Apa saja yang ibu/bapak ketahui mengenai organ-organ seksual pada
manusia?
2. Apa fungsi dari organ-organ seksual yang ibu/bapak sebutkan tadi?
3. Perubahan fisik apa saja yang akan terjadi pada anak ketika anak tumbuh
remaja hingga dewasa? Sebutkan!
4. Apakah ibu/bapak sudah menjelaskan secara sederhana mengenai organorgan seksual manusia serta fungsinya dan perubahan fisik yang akan
terjadi pada anak usia 3 hingga 6 tahun ini?
Jika ya, bagaimana cara ibu/bapak menjelaskan hal tersebut kepada anak?
5. Bagaimana respon anak ketika ibu/bapak menjelaskan hal tersebut?
6. Bagaimana perasaan ibu/bapak ketika menjelaskan hal tersebut pada anak?
7. Hal-hal apa saja yang mendukung ibu/bapak dalam mengajarkan hal
tersebut kepada anak?
8. Apa saja kesulitan yang ibu/bapak rasakan ketika mengajarkan hal tersebut
kepada anak?
9. Apa yang Ibu/Bapak ketahui mengenai pendidikan seks usia dini?
10. Sejak kapan sebaiknya pendidikan seks itu diberikan pada anak menurut
ibu/bapak? Pada usia berapa?
11. Seberapa pentingkah pendidikan seks untuk anak Ibu/Bapak khususnya
pada anak usia 3 hingga 6 tahaun?
12. Pendidikan seks apa saja menurut Ibu/Bapak yang dapat diberikan pada
anak usia 3 hingga 6 tahun?
13. Sikap atau perilaku dan pertanyaan apa saja yang ditunjukan anak
Ibu/Bapak terkait masalah seks?
14. Bagaimana sikap Ibu/Bapak dalam mengahapi perilaku atau sikap serta
pertanyaan anak terkait masalah seks yang dilakukan oleh anak 3 hingga 6
tahun?
15. Apakah Ibu/Bapak menggunakan sumber informasi dalam memberikan
pendidikan seks pada anak? Dari mana?
16. Apa ibu/bapak mendapatkan pengajaran mengenai pendidikan seks
sebelumnya? Kapan dan oleh siapa?
17. Dari bapak maupun ibu siapa yang paling berperan aktif untuk
menjelaskan mengenai pendidikan seks pada anak?
Matrikulasi Analisa Data
Pernyataan signifikan
Kategori
Subtema
“anak saya lebih dekat ya sama Ibu
selaku
saya. kalau tanya
pem
apa-apa juga ke saya.
beri
Kalau bapaknya kan
pend
kerja.”
idika
n
seks
utam
a
pada
anak
“seks itu suatu ilmu tapi yang anak Mengajarkan
Makna pendidikan seks
kecil
boleh
men
mempelajarinya tapi
gena
dengan
pointi alat
pointnya
tersendiri
kela
gtu.
Maksudnya
min
anak-anak ini masih
dan
belom
sampe
fung
kesenggama, jadi ke
siny
alat kelaminnya itu
a.
apa dan fungsinya.”
“biar ga melenceng dari norma Sebagai
bekal
agama, dari masalah
anak
Tema
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Orang tua yang      
berpera
n aktif
dalam
member
ikan
pendidi
kan
seks
pada
anak
Persepsi orang tua 


mengen
ai
pendidi
kan
seks
pada
anak

yang tak terduga, biar
ga dapet fitnah juga.”
untu
k
kehi
dupa
nnya
kela
k.
seks
beba
s.
“diberi tahu bagaimana bahayanya Bahaya
berhubungan
seks
bebas. Apa apa saja
ya yang harus dia
ketahui
untuk
dihindari.
“ya tentang masa remaja dia masa Masa pubertas
pubernya atau masa
baliqnya gitu.”
“Pendidikan seks ya penting”
Penting


Tingkat
“Sekitar lima tahun gitu karena Usia 5 tahun saat Usia
anak segitu kan dia
anak
mulai bisa bertanya.”
mula
i
berta
nya.
“baiknya usia sekolah dasar.”
Usia sekolah
“anaknya masih kecil entar saat Anak dianggap
kepentingan
pendidikan
seks
itu
untuk anak
anak
untuk
mendapatk
anpendidik
an seks itu
diberikan
pada anak.


















dewasa
diajarin.”
pasti
“Paling kalau anak bertanya baru Orang
dijelaskan.”
belu
m
pant
as
diber
ikan
pend
idika
n
seks.
tua
menj
elask
an
jika
anak
berta
nya
saja.
“Kalau usia segini kasih tahu yang Dijelaskan
bisa dia mengerti
sese
aja.”
derh
ana
mun
gkin.
“Alat kelamin dan payudara.”
Organ reproduksi Organ seksualitas
ekste
rnal
Pengetahuan
















orang 
tua
mengen
ai
seksuali
tas.
“Muka atau wajah”
“Fungsi alat kelamin untuk buang
air
kecil
dan
berhubungan
seksual.”
“pada perempuan bisa juga untuk
melahirkan”
“wanita bisa untuk menstruasi”
Wajah
Eliminasi urin
Hubungan
seks
ual
Jalan lahir
“kalau
menyusui

Peranan seksual

payudara pada wanita
untuk menyusui.”
“Payudara misalkan untuk pria
bisa
meningkatkan
gairah.”
“untuk
menyukai,
untuk
menambah
semangat.”
“Pada perempuan akan mengalami
Saluran

Fungsi
organ
seksualitas


untuk
men
galir
kan
dara
h
men
strua
si






Hasrat seksual
Menstruasi






Tumbuh
kembang



menstruasi
dan Pertumbuhan
seksual
payudara membesar.”
payu
pada anak
dara
“Perubahan badan.”
Perubahan bentuk
tubu
h
“Perubahan suara pada laki-laki.” Perubahan suara
“Tumbuhnya rambut di bagian Tumbuh rambut
di
tertentu kaya kumis
daer
atau jenggot.”
ah
terte
ntu.
“sikapnya lebih dewasa.”
Perubahan sikap
“kalau dia punya suami bisa Dapat
berhubungan dengan
berh
suaminya.”
ubun
gan
seks
ual
“Terus kalau laki-laki baliqnya Mimpi basah
kan mimpi gitu kan”
“payudaranya bisa mengeluarkan Mengeluarkan
air susu kalau dia
ASI
melahirkan.”
Melahirkan
“ada malu.”
Timbul perasaan
malu
“pengalaman sendiri”
pengalaman
Sumber informasi




















“Kan ibu-ibu suka ngumpul kan?
Dari
informasi
mereka juga bisa.”
“Dari TV”
“Paling aku pernah baca di
majalah waktu itu
pernah ada, baca di
majalah
atau
di
Koran”
“Ya tahunya ya dari belajar dari
sekolah dari biologi”
“iya suka bertanya. kalau lagi dia
liat
gitu
suka
bertanya.
ya
dijelaskan sebisanya
kita aja ngejelasinnya
gitu.”
Dari orang lain

TV
Majalah









orang tua 
dalam
member
ikan
pendidi
kan
seks
pada
anak.











Dari
atau
kora
n
guru
di Riwayat
pendidikan
seko
seks orang
lah
tua
Menjelaskan
Sikap orang tua terkait Sikap
sede
pertanyaan
rhan
anak
a
jika
anak
berta
nya.
“kok laki-laki punya panjang, Mengiyakan
kalau perempuan ga
pern
ada katanya gitu. Ya
yata
belom terlalu di ini
an
sih..paling dia bilang
anak
dipotong abis ya? Ya
dipotong
abis,



makanya
jangan
nakal, kalau nakal
nanti dipotong abis
kaya ibu.”
“kalau kemaluannya sendiri dia Melarang nya
suka pegang. jangan
kaka kotor.”
Sikap orang tua terkait
perilaku
seksual
anak.
“palingan anak gatel aja, paling Menganggap
digaruk-garuk
gitu
bah
aja. disuruh cebok ke
wa
kamar mandi.”
anak
gatel
.
“Paling sering kita kasih tahu Dinasehati bahwa
kalau perbuatan kaya
tinda
kan
gitu engga baik
itu
takutnya kalau dia
tidak
dibiarkan
takut
baik
keterusan.”
“biar dia lebih mengenal dan Biar anak tahu
Faktor pendukung
mengerti.”





Faktor-faktor yang 
mempe
ngaruhi
orang
tua
dalam
member
ikan


pendidi
kan
seks
pada
anak
“Kalau lagi ga bete ya pengen Kalau lagi ada
ngejelasin,
saya
kein
jelasin.”
gina
n
saja.
“paling buat jaga diri”
Jaga diri
“Karna anak saya ga pernah
bertanya jadi saya
belom
pernah
ngajarin.”
tidak
“Biar dia ga cari tau diluar jadi Agar
men
dia ga salah dalam
dapa
mengambil
tkan
informasi.”
infor
masi
yang
salah
dari
luar.
“belom ada sih sampai sekarang.” Belum
ada Faktor pembatas
kesu
litan








“Kesulitannya ya kalau dia nanya Mengalami
yang macem-macem
kebi
lagi. Saya binggung
nggu
jawabnya.”
ngan
untu
k
menj
awa
b.
“Takut dibilang kotor.”
Tabu
“perasaannya malu juga ketika Merasa malu
menjelaskannya.”
“Jadi dia yang dipertanyakan itu Merasa bosen
lagi…itu lagii..jadi
saya
tuh
kalau
dibilang bosen ya
bosen.”
“takut dia ngomong sama temen- Takut
anak
temennya.”
men
gata
kan
kepa
da
tema
nnya
.







Download