1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agama Kristen pada awal sejarah kekristenan disebut agama Kristen Protestan. Dalam agama Kristen hanya mengakui dua sakramen yaitu sakramen baptisan kudus dan sakramen perjamuan kudus. Kedua sakramen ini merupakan ketetapan Tuhan Yesus untuk dilaksanakan oleh murid-murid-Nya pada waktu itu dan seluruh orang Kristen di segala bangsa, suku, bahasa, ras, budaya, dan zaman. Akan tetapi, penelitian ini hanya memfokuskan pada topik sakramen baptisan kudus. Sakramen baptisan kudus merupakan satu bagian yang sentral dan sangat penting dalam ibadah agama Kristen. Kata sakramen berasal dari bahasa Latin sacramentum yang secara harfiah berarti “menjadikan suci”. Suci berarti kudus dan tidak boleh dilakukan dengan cara sembarangan. Pelaksanaan sakramen ini diartikan sebagai Firman yang kelihatan dengan tujuan untuk menguatkan iman orang Kristen. Sakramen baptisan kudus bersifat sakral dan suci bagi kehidupan orang Kristen. Sakramen baptisan kudus adalah tanda, meterai, dan lambang bagi orang yang telah dipersatukan menjadi anggota gereja Tuhan Yesus. Sakramen baptisan kudus bukan syarat untuk memperoleh keselamatan, melainkan meterai yang ditetapkan oleh Allah untuk meyakinkan orang yang percaya sungguh-sungguh kepada Yesus Kristus melalui karya Roh Kudus bahwa janji pengampunan yang diberikan dalam Injil adalah benar dan dapat dipercaya. 2 Di dalam Alkitab dijelaskan bahwa sakramen baptisan kudus pertama sekali dilakukan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Pelaksanaan baptisan kudus ini dicatat oleh rasul Matius (LAI, 2008: 4) dengan berkata: “Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea...Maka datanglah kepadanya penduduk dari Yerusalem, dari seluruh Yudea dan seluruh daerah sekitar Yordan. Lalu sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan” (Matius 3:1, 4-6). Ayat ini menegaskan bahwa baptisan tidak boleh dilakukan atau diterima oleh semua orang, tetapi hanya orang-orang yang benar menyesali dan mengaku dosanya di hadapan Allah. Baptisan kudus yang dilaksanakan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan diterima juga oleh Tuhan Yesus sebagaimana dicatat oleh rasul Matius (LAI, 2008: 5) mencatat: “Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya. Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?” Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” Dan Yohanes pun menuruti-Nya” (Matius 3:13-15). Jawaban Tuhan Yesus kepada Yohanes Pembaptis berdasarkan ayat Alkitab di atas: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah”, menegaskan bahwa baptisan kudus adalah perintah Allah. Hal senada juga dicatat oleh rasul Markus (LAI, 2008: 54) yaitu: “Pada waktu itu datanglah Yesus dari Nazaret di tanah Galilea, dan Ia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes. Dalam hal ini Tuhan Yesus memberi contoh betapa pentingnya sakramen baptisan kudus bagi setiap pribadi orang yang percaya kepada-Nya. 3 Baptisan kudus yang diterima oleh Tuhan Yesus berbeda maknanya dengan yang diterima oleh orang Kristen pada umumnya. Baptisan kudus yang diterima oleh Tuhan Yesus menandakan bahwa Dia adalah Anak Allah yang telah menjadi manusia dan datang untuk menggenapkan seluruh kehendak Allah dalam menyelamatkan umat-Nya dari dosa melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib, mati, bangkit dari kematian, dan naik ke Sorga. Sedangkan baptisan kudus yang diterima oleh orang Kristen pada umumnya menandakan sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan Yesus serta menjadi satu persekutuan di dalam Dia. Sakramen baptisan kudus adalah perintah Tuhan Yesus. Perintah ini sering disebut “Amanat Agung” sebagaimana dicatat oleh rasul Matius (LAI, 2008: 52) menyatakan: “Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperinntahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20). Kalimat yang berbunyi: “Pergilah.....,baptislah...., dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” menunjukkan bahwa Tuhan Yesus secara langsung memerintahkan murid-murid-Nya pada waktu itu dan seluruh orang Kristen sampai saat ini untuk melakukan tugas ini. Apa yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus bukan sekedar perintah, tetapi Dia sendiri memberi contoh melalui pelayanan dan pembaptisan-Nya. Sebelum memerintahkan orang Kristen terlebih dahulu Dia mengajar, mendidik, dan membimbing mereka melalui diri-Nya sendiri. seluruh kehidupan Tuhan Yesus adalah teladan. Hal ini membuktikan bahwa 4 Baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus secara tersurat “dibaptis di sungai Yordan”. Berdasarkan bukti sejarah dalam agama Kristen bahwa baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus adalah baptisan tuang. Fakta sejarah ini ditegaskan oleh Scheunemann (1986:35) dalam kesimpulannya yang mengatakan: Kita memiliki sebuah pahatan batu, yang ditemukan dalam katakombe, yaitu tempat persembunyian orang-orang Kristen di Roma terhadap penganiayaan negara. Relief tersebut berasal dari permulaan abad II AD. Dari relief itu terdapat baptisan Tuhan Yesus oleh Yohanes Pembaptis dengan cara Yohanes menuangkan air ke atas kepala Kristus ... Namun dengan majunya gereja ke bagian utara, ke daerah dingin, gereja melazimkan baptisan percik, agar tidak membahayakan kesehatan anak. Kita ingat bahwa “membaptis” dalam bahasa Yunani selain berarti menyelamkan juga berarti membasuh. Baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus di sungai Yordan berdasarkan bukti sejarah tersebut menunjukkan bahwa Yohanes Pembaptis menuangkan air di atas kepala-Nya. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan gereja, istilah baptisan tuang jarang dipergunakan melainkan dengan istilah percik. Baptisan secara tuang atau percik pada dasarnya memiliki persamaan makna. Percik adalah titik-titik air yang berhamburan, sedangkan tuang adalah mencurahkan barang cair ke dalam cangkir, gelas, dan sebagainya (Poerwadarminta, 2005: 873, 1297). Bukti lain dalam sejarah kekristenan yang menjelaskan bahwa baptisan kudus dilakukan dengan cara percik ditegaskan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong (Rayburn 2005:1) yang menyatakan bahwa banyak gereja yang menjalankan baptisan percik di sepanjang sejarah gereja. Baptisan yang lazim dan sudah banyak dikenal dalam agama Kristen pada saat itu adalah baptisan dengan cara percik. Secara teoritis menegaskan bahwa Tuhan Yesus memerintahkan semua orang yang percaya kepada-Nya untuk melaksanakan baptisan kudus. Sakramen baptisan kudus adalah ketatapan Allah. Sakramen baptisan kudus bukanlah hasil 5 pikiran manusia atau khayalan manusia semata, tetapi lambang persekutuan orang Kristen di dalam Yesus Kristus. Baptisan adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen di segala tempat, masa, suku, dan bangsa dengan cara percik. Setiap orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus, tidak boleh menghindarkan diri dari sakramen baptisan kudus ini. Sakramen baptisan kudus adalah meterai atau lambang bahwa seseorang telah memperoleh hidup baru dan menjadi satu kesaksian hidup bagi orang lain sebagai milik kepunyaan Allah. Sakramen baptisan kudus adalah meterai dan tanda orang Kristen yang telah dipersatukan di dalam Allah Tritunggal. Setiap orang Kristen yang menjadi milik Allah berarti juga menjadi milik Tuhan Yesus. Dalam hal ini menurut Owen (2003: 40) bahwa baptisan Kristen adalah lambang orang yang menjadi Kristen, yakni kematian terhadap dosa dan kehidupan baru dalam Kristus. Seiring berkembangnya ideologi setiap pemimpin gereja atau orang Kristen, sehingga memunculkan berbagai aliran gereja dalam agama Kristen. Pelaksanaan baptisan kudus pun dilakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan aliran gereja tersebut. Aliran adalah haluan pendapat atau pandangan hidup (Poerwadarminta, 2005: 26). Sedangkan denominasi adalah kelompok- kelompok agama Kristen yang memiliki nama organisasi gereja yang berbedabeda (http://id.wikipwdia/wiki/Denominasi_Kristen). Jadi, denominasi atau denominasionalisme adalah sebuah ideologi yang menganggap sejumlah atau semua kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu kelompok yang sama, tidak peduli dengan label nama gereja yang berbeda tetapi masih aliran yang sama. 6 Penyebab munculnya aliran gereja adalah sebuah reaksi sikap yang tidak menerima pelaksanaan baptisan kudus dengan cara percik. Setiap aliran gereja ini mengklaim bahwa baptisan percik tidak sah karena tidak sesuai dengan cara pembaptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus yaitu diselamkan di Sungai Yordan. Oleh sebab itu baptisan yang paling benar dan sah adalah baptisan selam. Penganut baptisan selam mendasari argumentasinya pada arti kata bahasa Yunani yaitu baptizein yang berarti selam. Argumentasi penganut baptisan selam ini dicatat oleh Rayburn (2005:21-22) dengan mengatakan: Beberapa bukti yang dipakai oleh para penganut baptisan selam dalam usaha mereka mengokohkan argumentasi mereka bahwa baptisan yang sah hanya jika dilakukan dengan menyelamkan pelaku seluruhnya ke dalam air ... biasanya orang-orang Baptis pertama-tama memakai argumen bahwa fakta kata Yunani “baptizein” terutama berarti “menenggelamkan”. Selain argumentasi di atas para penganut baptisan selam juga mengklaim bahwa Tuhan Yesus dibaptis dengan cara selam sebagaimana Rayburn (2005: 27) menjelaskan: Para penganut baptisan selam adalah asumsi mereka bahwa Yohanes Pembaptis mempraktekkan baptisan selam, dan oleh karenanya Tuhan Yesus Kristus sendiri telah dibaptis selam. Kita sering mendengar orangorang Baptis mengatakan dengan bangga: “mengikuti Tuhan dalam baptisan.” Penganut baptisan selam mengklaim bahwa kata “baptizein” berarti menyelamkan atau membenamkan. Pada dasarnya, argumentasi para penganut baptisan selam di atas tidak disetujui oleh Rayburn, demikian juga aliran gereja yang menganut baptisan percik sampai sekarang ini. Dasar argumentasi penganut baptisan selam ini tidak kuat karena kata “baptizein” tidak hanya berarti “menenggelamkan”, tetapi memiliki arti lain yang sering digunakan pada zaman Tuhan Yesus. Tentu saja orang Kristen pada umumnya yaitu gereja yang sudah lama ada di tengah-tengah dunia ini tidak akan menerima arti dan argumentasi penganut baptisan selam ini. 7 Penggunaan arti kata Yunani “baptizein” tidakmenunjuk pada pelaksanaan baptisan selam, tetapi kata ini lebih dipergunakan dalam pembersihan alat-alat dalam rumah ibadat, pembersihan kaki, pembersihan tangan menurut adat dan kebudayaan orang Yahudi dan Farisi. Budaya orang Farisi dan Yahudi yang memegang aturan, seperti “membaptis cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga, dan perabot-perabot” memakai kata Yunani yang sama yaitu “baptizein” (Rayburn, 2005: 23). Arti kata Yunani di atas sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang defenisi yang tepat sehingga dapat diterima oleh semua pihak. Kondisi inilah yang membuat sebagian aliran gereja bersikap dan mengambil posisi di tengahtengah kontroversi ini dengan berpendapat bahwa baptisan percik dan selam adalah sama-sama sah dan benar. Sikap ini diwujudkan dengan melaksanakan dua cara baptisan di gerejanya yaitu baptisan selam dan percik. Sikap aliran atau denominasi gereja yang mengambil posisi di tengah-tengah seperti ini dijelaskan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong (Rayburn 2005:1) dengan menyatakan: Memang tidak ada contoh yang konkret di dalam Alkitab mengenai cara baptisan dimana orang Kristen bisa meneladaninya. Ini mengakibatkan timbul banyak cara yang berbeda dalam menjalankan baptisan. Banyak gereja yang menjalankan baptisan percik di sepanjang sejarah gereja, namun belakangan ini muncul juga gereja-gereja yang juga menjalankan baptisan selam. Kami melihat bahwa baik baptisan percik maupun baptisan selam, keduanya hanya merupakan upacara gereja yang berbeda dalam cara pelaksanaannya. Namun lebih penting bagi kita untuk mengerti maknanya. Pernyataan Tong di atas menunjukkan bahwa perbedaan dalam pelaksanaan baptisan selama beberapa puluh tahun bahkan ribuan tahun yang lalu tidak perlu diperdebatkan. Apabila dilihat dengan seksama bahwa perbedaan pelaksanaan baptisan ini telah menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen. 8 Munculnya berbagai aliran gereja yang saling bertentangan dan tidak mengakui keberadaan aliran gereja lain. Beberapa hal yang menyebabkan perpecahan ini yaitu adanya sikap mamaksakan kehendak, berusaha menguasai aliran gereja lain, dan ideologi yang mempengaruhi pemimpin gereja pada saat menafsirkan Alkitab dengan tujuan untuk memperoleh makna yang diinginkan demi kepentingan pribadi dan golongannya. Oleh sebab itu, Hayes (1999: 164) menasihatkan setiap pemimpin gereja atau orang Kristen agar tidak begitu saja memasukan tafsiran kita sendiri ke dalam sebuah teks, bila demikian kita melakukan eisegese, bukan eksegese. Kata eksegese atau eksegesis berarti membaca, menggali, dan menafsirkan setiap teks dalam Alkitab secara benar dan tepat sesuai dengan prinsip dan metode penafsiran. Sedangkan eisegese artinya memasukan pikiran dan kehendak sendiri dalam menafsirkan teks-teks Alkitab. Dengan melihat perpecahan dalam agama Kristen dalam berbagai aliran gereja yang terjadi di Kota Denpasar, sebenarnya telah terjadi konflik kepentingan dalam mempertahankan ideologinya serta untuk menguasai aliran gereja lain. Menurut pandangan psikologi, konflik dapat dibagi dalam tiga taraf, yaitu: (1) konflik kognitif yaitu konflik yang berhenti sampai pada pemikiran; (2) konflik afektif yaitu konflik yang melibatkan keberpihakan emosional; dan (3) konflik konatif yaitu konflik yang meniscayakan tindakan kekerasan (Jatman, 1996:122). Ditinjau dari sudut kontroversi sakramen baptisan kudus, maka konflik yang terjadi dalam agama Kristen di Kota Denpasar berada pada taraf konflik afektif. Dinamika konflik dalam kontroversi sakramen baptisan kudus tidak bisa dipisahkan dari dinamika kompetisi dan kooperasi. Tinjauan sosiologis 9 anthropologis menunjukkan bahwa banyak kebudayaan menciptakan konflik sebagaimana ditinjau dari “ecological calture”. Dalam dimensi sosial misalnya konflik antar etnis semula dimulai dengan adanya stereotif, kemudian prasangka (prejudice), dan akhirnya memasuki ranah tindakan kekerasan seperti agresi, diskriminasi, dan destruksi (Jatman, 1996:122). Jika melihat dan meninjau secara sosiologis maka potensi konflik tentang sakramen baptisan kudus di Kota Denpasar sudah dimulai dengan adanya stereotif yang “keliru” akibat munculnya berbagai aliran gereja, perbedaan penafsiran, dan perbedaan pelaksanaan baptisan kudus tersebut. Adanya hegemoni dari setiap pemimpin aliran dan denominasi gereja dengan tujuan untuk menonjolkan dan membenarkan aliran gerejanya di tengah-tengah masyarakat Kristen. Perpecahan semacam ini ditegaskan oleh Godfrey (2009: 426) bahwa kaum Protestan menenukan diri mereka terpecah secara signifikan. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan penelitian ini dilakukan yaitu sejauh mana kontroversi sakramen baptisan kudus ini mengakibatkan perpecahan dalam agama Kristen serta berusaha untuk memberi perlindungan kepada aliran atau denominasi gereja yang dihegemoni. Dari hasil pengamatan dan data dari Pembimbing Masyarakat Kristen Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 ada 232 buah gereja di Provinsi Bali yang sudah terdaftar. Di Kota Denpasar berjumlah 66 gedung gereja yang terbagi ke dalam 10 aliran gereja. Keenam puluh enam gedung gereja ini tersebar dalam empat Kecamatan yaitu: Kecamatan Denpasar Barat sebanyak 26 gereja, Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 17 gereja, Kecamatan Denpasar Selatan sebanyak 14 gereja, dan 10 Kecamatan Denpasar Utara sebanyak 9 gereja. Dari data ini gereja di Kecamatan Denpasar Barat lebih banyak dibandingkan dengan Kecamatan lainnya yang ada di Kota Denpasar. Akan tetapi, masih ada aliran atau denominasi gereja yang belum terdaftar. Berdasarkan data tersebut membuktikan bahwa agama Kristen di Kota Denpasar saling berjuang untuk membangun aliran dan denominasi gereja yang baru. Aliran gereja yang kuat dan besar secara perlahan-lahan menindas aliran dan denominasi gereja yang kecil. Setiap aliran gereja berjuang untuk menjadi yang paling unggul, namun di pihak lain berusaha menyingkirkan aliran atau denominasi gereja lain. Setiap aliran gereja yang berpengaruh serta memiliki kekuasaan maka berusaha menjadikan gereja yang dipimpinnya dihargai dan dihormati dalam komunitas agama Kristen. Kekuasaan ini dapat dilihat melalui jumlah anggota gerejanya yang paling banyak dengan cara mengambil anggota gereja yang lain karena perbedaan pelaksanaan baptisan kudus. Selain itu juga kekuasaan dapat ditujukan dengan membangun gedung gereja yang besar dengan fasilitas yang mewah karena memiliki uang yang banyak dan sponsor dari luar negeri. Pada saat aliran gereja memiliki gedung gereja yang besar dan fasilitas yang lengkap, maka secara sosial gereja yang kecil tersisi dan tidak bisa berkembang. Fenomena sosial ini dapat terjadi pada gereja yang sudah lama maupun bagi aliran gereja yang baru ada di Kota Denpasar. Dalam kondisi ini sesungguhnya telah terjadi hegemoni kekuasaan yang dilatarbelakangi oleh pemahaman dan ideologi tentang perbedaan dalam pelaksanaan baptisan kudus. 11 Orang Kristen yang menganut baptisan percik merasa paling benar dan merasa bukan bagian dari kelompok yang menganut baptisan selam. Aliran gereja yang mengakui hanya baptisan selam yang benar dan sah sehingga merasa bukan bagian dari aliran gereja yang melaksanakan baptisan percik. Ada aliran gereja yang menekankan bahwa baptisan kudus baru benar-benar sah apabila dilaksanakan berkali-kali bagi setiap pribadi orang Kristen. Ada pula orang Kristen yang memiliki keyakinan bahwa tidak perlu melakukan baptisan percik atau selam, tetapi baptisan Roh Kudus yang langsung dilakukan oleh Allah Tritunggal dan pasti sesuai dengan ajaran Alkitab. Gereja yang melaksanakan salah satu dari cara baptisan tersebut tidak akan mengakui dan menerima aliran gereja yang berbeda dengan gerejanya. Kontroversi pelaksanaan baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar berhubungan erat dengan agama Kristen di Indonesia secara khusus dan dunia pada umumnya. Kontroversi semacam ini bagi Calvin (Godfrey, 2009: 425) telah terjadi sejak agama Kristen mulai berkembang. Dalam tulisannya menegaskan bahwa memberikan banyak perhatian kepada sakramen-sakramen karena semuanya kontroversi dan paling banyak menguras tenaga yang penuh dengan emosional dan mendalam. Dari fenomena-fenomena tersebut, seharusnya pemerintah yang berkepentingan mengambil hikmah dan menangkap esensi serta maksud dan tujuan dari pemimpin gereja atau orang Kristen yang terus membentuk aliran atau denominasi gereja baru. Pemerintah harus mengambil suatu sikap atau tindakan yang tepat sehingga perpecahan dalam agama Kristen di Kota Denpasar tidak terus bertambah dengan menggunakan modus atau label aliran gereja baru. 12 Dalam mengatasi kontroversi ini diperlukan penelitian yang mendalam mengenai cara pelaksanaan baptisan di Kota Denpasar. Apabila kontroversi ini terus dibiarkan berlangsung secara terus menerus maka salah satu aliran gereja akan tersisi, terhegemoni, dan dapat menimbulkan kekacauan dalam agama Kristen. Oleh sebab itu, kehadiran Kajian Budaya menjadi penengah dan sekaligus berpihak kepada aliran gereja yang terhegemoni oleh aliran gereja lain yang lebih dominan dan berkuasa. Kajian Budaya berusaha membedah permasalahan ini dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan yang dapat memberi solusi, sehingga kontroversi dalam pelaksanaan baptisan kudus tidak terjadi lagi dalam agama Kristen di Kota Denpasar dan di seluruh dunia pada umumnya. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa agama Kristen di Kota Denpasar memiliki banyak aliran gereja. Dengan banyaknya aliran gereja ini menimbulkan kontroversi pada pelaksanaan baptisan kudus yang masih berlangsung sampai saat ini. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji dan menganalisa bentuk, faktor, dampak, dan makna dari kontroversi sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. Dalam penelitian ini tidak semua gereja diteliti, tetapi satu atau dua denominasi akan dipilih untuk mewakili setiap aliran gereja. Denominasi-denominasi gereja yang memiliki pemahaman dan aliran yang sama akan digabungkan untuk memudahkan proses penelitian. Pemilihan denominasi dari setiap aliran gereja didasarkan pada latarbelakang sejarah serta pengaruhnya terhadap perkembangan agama Kristen di Kota Denpasar. 13 1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar ? 2. Faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar ? 3. Apakah dampak dan makna kontroversi baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar ? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah memberikan pemahaman dan penjelasan tentang pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui bentuk kontroversi sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. (2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kontroversi pada sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. (3) Untuk menginterpretasi dampak dan makna kontroversi pada sakramen baptisan kudus dalam agama Kristen di Kota Denpasar. 14 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dari karya tulis ini terbagi dalam dua bagian, yaitu: manfaat akademis dan manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Akademis Manfaat akademis dalam penelitian ini adalah: (1) Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah pengetahuan para pendeta terhadap pelaksanaan baptisan dalam agama Kristen di Kota Denpasar. (2) Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah referensi dalam penelitian selanjutnya. (3) Hasil penenelitian ini dapat menambah referensi dan memperlengkapi wawasan atau pengetahuan mahasiswa dan orang Kristen secara umum. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dalam penelitian ini antara lain: (1) Setiap pemimpin gereja (pendeta) dapat melaksanakan baptisan sesuai dengan kebenaran Alkitab. (2) Setiap orang Kristen menghindarkan diri dari baptisan ulang, karena bukan dengan baptisan seperti itu yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus. (3) Hasil penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mempersatukan Gereja Kristen dari berbagai aliran di Kota Denpasar secara khusus, Indonesia dan dunia secara umum.