BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL, PENDEKATAN DAN METODE KEGIATAN 2.1. 2.1.1. KONSEP DESA BUDAYA Pengertian Desa Istilah desa biasanya menunjuk suatu ruang sosial (social space), yang tentu saja di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang berdomisili, beraktivitas, dan berinteraksi di antara sesamanya. Ruang sosial itu terdiri atas lingkungan pemukiman dan lingkungan penjelajahan sebagai “lahan” bagi pencaharian manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Lingkungan penjelajahan yang berupa alam itulah yang biasanya dikelola penduduk desa bersangkutan demi melangsungkan hidupnya dengan cara pengelola lahan dalam bentuk budi daya pertanian baik dalam bidang cocok tanam, peternakan, maupun perikanan. Dalam bahasa Jawa, mula-mula istilah “desa” merupakan bentuk “ngoko” dari kata “dusun” yang merupakan bentuk “krama inggil”. Jadi, kedua kata itu berbeda tataran, tetapi maknanya sama. Namun, dalam peraturan perundangan istilah itu digunakan dalam derajat yang berbeda. Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memaknai istilah Dusun sebagai bagian dari Desa. Dengan perkataan lain, suatu Desa dapat terdiri atas sejumlah Dusun; dan bisa saja satu Desa utuh tanpa deretan dusun. Desa dikepalai oleh seorang Kepala Desa (Kades), sedangkan Dusun dikepalai seorang Kepala Dusun (Kadus). Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan, terdapat banyak satuan administrasi pemerintahan di bawah pemerintahan desa disebut “Pedukuhan”. Pedukuhan ini dikepalai Laporan Akhir II - 1 seorang “Dukuh”. Derajat Pedukuhan sama dengan Dusun, yakni di bawah suatu Desa tertentu. Kepala desa zaman dahulu di daerah DIY dan Jawa Tengah bagian selatan disebut “Lurah”; dan wilayah kekuasaanya disebut “Kalurahan”. Di sejumlah daerah pesisir utara Jawa Tengah, kepala desa lazim disebut “Petinggi”. Dalam UU Pemerintahan desa sebagaimana disebut di atas, istilah “Kalurahan” dipergunakan untuk menamai satuan daerah administrasi pemerintahan setingkat Desa tetapi berada di wilayah perkotaan. Maka, sebutan itu menjadi khas: Seorang Lurah memimpin Kalurahan di wilayah perkotaan, dan seorang Kades memerintah Desa di wilayah luar perkotaan. Uraian di atas lebih memberikan gambaran pengertian desa sebagai “satuan administrasi pemerintahan”. Dalam konteks penelitian ini, istilah desa dipredikati dengan istilah budaya. Mengingat entitas budaya tidak dapat dibatasi dengan wilayah administrasi pemerintahan, maka pengertian desa harus dirumuskan tidak dengan perpsektif administrasi pemerintahan, melainkan perspektif budaya. Dalam perspektif budaya, desa merupakan wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya. 2.1.2. Pengertian Budaya Istilah cultur (bukan Kultur seperti dalam bahasa Jerman sekarang) dalam khasanah keilmuan pertama kali digunakan oleh G.E. Klemm dalam bukunya Allgemeine Culturgesichte der Menschkeit (1843 - 1852). Pemakaian istilah yang dipergunakan Klemm ini kemudian mempengaruhi E.B. Tylor, cendekiawan Inggris, dalam bukunya Primitive Culture (1871). Dalam khasanah bahasa Inggris sendiri, sampai pada masa itu masih dipergunakan istilah civilization, walaupun dalam arti yang agak berbeda dari pengertian istilah itu di masa kini. Pada perkembangan lebih lanjut, istilah yang kurang lebih baku dipergunakan ialah Kultur dalam Bahasa Jerman, dan culture dalam bahasa Inggris. Sedangkan dalam bahasa Indonesia dipergunakan istilah kebudayaan, bahkan kadang-kadang disebut budaya begitu saja. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn, dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952), mencatat bahwa sampai pada masa itu sudah terdapat 179 definisi tentang kebudayaan. Kini, setelah setengah abad kemudian, dapat dipastikan jumlah definisi itu telah bertambah lebih banyak lagi. Oleh karenanya, penelitian ini tidak perlu menambah sebuah definisi lagi tentang kebudayaan. Definisi teoritik- Laporan Akhir II - 2 konseptual tentang kebudayaan perlu dirumuskan untuk kepentingan wacana teoritis tentang kebudayaan. Akan tetapi, untuk kepentingan penelitian semacam ini, yang diperlukan bukanlah definisi tunggal yang seakan-akan merangkum gambaran kebudayaan secara komprehensif, melainkan deskripsi mendasar tentang hal-hal pokok yang berkaitan dengan kebudayaan. Deskripsi itu akan berupa pokok-pokok pikiran yang menjadi acuan kerja bagi penelitian ini. Pokok-pokok pikiran itu sebagai berikut. Pertama, bahwa perbincangan mengenai seluk-beluk kehidupan manusia yang multidimensional baik dalam komunitas kecil maupun dalam skala masyarakat yang lebih besar dapat didekati dan disimak dengan berbagai perspektif; dan salah satu di antaranya yang terpenting adalah perspektif kebudayaan. Kajian dengan perspektif kebudayaan bukan hanya menyangkut hasil karya manusia yang kasat mata (benda-benda budaya) belaka, melainkan lebih jauh lagi merambah ke pola-pola perilaku, sistem sosial, cara berpikir dan berekspresi, bahkan hingga konsep, gagasan atau pemikiran, dan sistem nilai yang menjadi kiblat dan acuannya. Kajian budaya dalam suatu kantong budaya (entah desa, dusun, pedukuhan, atau satuan hidup lainnya) tertentu menjadi menarik, karena bagaimanapun juga suatau budaya tertentu telah eksis dan dipraktekkan oleh para pendukungnya. Kedua, bahwa untuk memahami wajah kehidupan budaya tertentu seyogyanya dilakukan kajian (sebagaimana dianjurkan oleh B. Malinowski, G.P. Murdock, C. Kluckhohn, dan Koentjaraningrat) terhadap dimensi isi atau unsur-unsurnya baik berupa bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, sistem dan organisasi sosial (termasuk di dalamnya khasanah politik dan hukum), sistem pengetahuan, religi, maupun kesenian. Di samping itu, masih terdapat satu aktivitas manusia yang khas manusiawi dan tidak dapat diabaikan, yaitu pendidikan. Setiap unsur itu, menurut Koentjaraningrat yang mengikuti pemikiran J.J. Honigman, dapat dilihat dalam tiga dimensi wujud, yaitu (1) wujud yang berupa kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran manusia (culture system), (2) wujud yang berupa kompleks aktivitas (social system), dan (3) wujud yang berupa benda-benda kongkrit (physical culture, material culture, artifacts). Ketiga, bahwa memahami dimensi-dimensi aktivitas manusia sebagai makhluk sosio-kultural sebagaimana dipaparkan di depan, tidakalah mudah, lebih-lebih menyangkut dimensi yang pertama, yakni wujud yang Laporan Akhir II - 3 berupa kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran manusia. Dua wujud berikutnya, yakni wujud yang berupa aktivitas social (social system) dan wujud benda-benda budaya yang kongkrit (material culture) relatif lebih mudah, karena gejalanya dapat diinderai. Dengan demikian, penelitian ini lebih diarahkan kepada dua wujud kebudayaan yang terakhir itu dengan mendeteksinya lewat ketujuh unsur kerbudayaan di atas dengan sejumlah modifikasi yang meliputi: (1) sistem kepercayaan, (2) Sistem kesenian, (3) sistem mata pencaharian, (4) sistem teknologi, (5) sistem komunikasi, (6) sistem sosial, dan (7) sistem lingkungan, tata ruang, dan arsitektur. Dunia Ilahiah T Dunia Human Manusia Dunia Human M M M Infra Human : • Binatang • Tumbuhan • Benda tak hidup Korelasi / Hubungan M–T IH Hubungan dengan Tuhan Sistem Budaya • Sistem kepercayaan • Sistem kesenian M–M Hubungan dengan orang lain dan dengan diri sendiri M – IH Hubungan dengan lingkungan infra human • Sistem Sosial • Sistem Komunikasi • Sistem mata pencaharian • Sistem Teknologi • Sistem Lingkungan, tata ruang dan arsitektur Gambar 2.1. Diagram Hubungan Manusia Dengan Lingkungan Laporan Akhir II - 4 Keempat, bahwa pada hakikatnya manusia itu bukan hanya “produk” kebudayaan sebagaimana diyakini oleh para penganut Aliran Strukturalisme, melainkan juga sekaligus “pencipta” kebudayaan. Oleh karena itu, sebagaimana dianjurkan oleh C.A. van Peursen, manusia juga dapat merancang suatu strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih berkeadaban. Dengan skala yang lebih kecil, orang dapat menyusun suatu strategi pengembangan desa budaya Di sinilah relevansi penelitian ini untuk menyusun suatu strategi pengembangan desa budaya, agar dapat mendukung mengembangan sumber daya manusia dan dapat mejamin identitas dan kearifan lokal dari desa budaya yang hendak dikembangkan. Kelima, Dalam amatan awam, kebudayaan dapat saja dilihat sebagai aktivitas bersama suatu komunitas yang tampak dalam (1) adat dan tradisi, (2) seni pertunjukan, dan (3) kerajinan. Adat dan tradisi merupakan peristiwa yang dapat mencakup kegiatan suatu sistem kepercayaan –-istilah “adat dan tradisi” sudah diintegrasikan dalam unsur kebudayaan sistem kepercayaan guna memudahkan amatan untuk menyusun profil --, sistem sosial, sistem komunikasi dan juga sistem mata pencaharian. Seni pertunjukan sudah barang tentu merupakan peristiwa kesenian, namun seni pertunjukan juga dapat sekaligus merupakan ekspresi dari suatu sistem kepercayaan, dan bisa juga sebagai ekspresi sistem sosial. Kerajinan merupkan kegiatan insani seseorang atau suatu komunitas yang dapat dikatakan sebagai ekspresi nilai seni tertentu, sistem mata pencaharian, dan juga sistem teknologi. Keenam unsur kebudayaan telah terwadahi ke dalam tiga wadah, yakni adapt dsan tradisi, seni pertunjukan, dan kerajian. Namun unsur ketujuh, yakni tata ruang dan arsitektural belum terwadahi, dan oleh karenanya ia harus tetap dipertahankan sebagai salah satu unsur penting di antara ketiga wadah tadi, sebab tata ruang dan arsitektural suatu kawasan merupakan karya budaya yang menandai kesadaran penghuninya dalam mengapresiasi alam. Maka, dalam kajian berikut, akan dipancangkan 4 hal yang dianggap penting, yaitu (1) adat dan tradisi, (2) seni pertunjukan, (3) kerajinan, dan (4) tata ruang dan arsitektural. Sistem Kepercayaan ADAT DAN TRADISI Laporan Akhir II - 5 Sistem Kesenian SENI PERTUNJUKAN Sistem Sosial Sistem Komunikasi KERAJINAN Sistem Mata Pencaharian Sistem Teknologi Sistem Lingkungan, Tata Ruang dan Arsitektural TATA RUANG DAN ARSITEKTURAL Gambar 2.2. Diagram Reduksi Unsur Budaya 2.1.3. Pengertian Desa Budaya Sebagaimana telah ditegaskan di depan, bahwa pengertian “desa” dalam konteks penelitian ini, tidak selalu terikat sebagai wilayah administrasi pemerintahan yang ketat batasan teritorialnya, melainkan lebih luwes cakupannya; bisa lebih sempit dari pengertian “desa” secara administratif (mungkin hanya satu “dusun” atau sejumlah “dusun”, tetapi boleh jadi sejumlah dusun lintas desa, atau bahkan hanya semacam “kantong-kantong” pemukiman tertentu yang khas). Atas dasar uraian pengertian desa dan uraian kelima pokok pikiran mengenai budaya sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat dijabarkan definisi desa budaya, yaitu : “wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem kepercayaan (religi), sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan MENGAKTUALISASIKAN KEKAYAAN POTENSINYA dan MENKONSERVASINYA DENGAN SAKSAMA ATAS KEKAYAAN BUDAYA YANG DIMILIKINYA, terutama yang tampak pada ADAT DAN TRADISI, SENI PERTUNJUKAN, KERAJINAN, DAN TATA RUANG DAN ARSITEKTURAL.” 2.2. PENDEKATAN KEGIATAN Laporan Akhir II - 6 Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan kegiatan Penyusunan Action Plan Pengelolaan Desa Budaya adalah : a). Pendekatan Pemberdayaan Komunitas Lokal b). Pengembangan budaya berkelanjutan 2.2.1. Pendekatan Pemberdayaan Komunitas Lokal Pemberdayaan masyarakat atau komunitas lokal merupakan paradigma yang sangat penting dalam kerangka pengembangan atau pengelolaan sumber daya budaya dan pariwisata. Pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan tersebut digarisbawahi oleh Murphy (1988), yang memandang bahwa pengembangan kegiatan budaya dan pariwisata merupakan “kegiatan yang berbasis komunitas”, yaitu bahwa sumber daya dan keunikan komunitas lokal baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya) yang melekat pada komunitas tersebut merupakan unsur penggerak utama kegiatan budaya dan pariwisata itu sendiri; di lain pihak komunitas lokal yang tumbuh dan hidup berdampingan dengan suatu objek wisata tidak dapat dipungkiri sebenarnya telah menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling kait mengkait dengan sumber daya budaya dan pariwisata. Pendekatan tersebut menegaskan bahwa pengembangan sumber daya budaya dan pariwisata harus sensitif dan responsif terhadap keberadaan dan kebutuhan komunitas lokal dan bahwa dukungan dari seluruh komunitas (tidak saja hanya dari mereka yang mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari kegiatan budaya dan pariwisata) amat sangat diperlukan bagi keberhasilan pengembangan dan pengelolaan sumber daya budaya dan pariwisata di tingkat lokal. Pentingnya peran komunitas lokal juga digarisbawahi oleh Wearing (2001) yang menegaskan bahwa sukses atau keberhasilan jangka panjang kegiatan (industri) budaya dan pariwisata sangat tergantung pada tingkat penerimaan dan dukungan dari komunitas lokal. Karena itu, untuk memastikan bahwa pengembangan kegiatan (industri) budaya dan pariwisata di suatu tempat dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan, maka hal mendasar yang harus diwujudkan untuk mendukung tujuan tersebut adalah bagaimana memfasilitasi keterlibatan yang luas dari komunitas lokal dalam proses pengembangan dan memaksimalkan nilai manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan budaya dan pariwisata. Laporan Akhir II - 7 Pemberdayaan masyarakat lokal selanjutnya perlu didasarkan pada kriteria sebagai berikut: Memajukan tingkat hidup masyarakat sekaligus melestarikan identitas budaya dan tradisi lokal. Meningkatkan tingkat pendapatan secara ekonomis mendistribusikan merata pada penduduk lokal. Berorientasi pada pengembangan usaha berskala kecil dan menengah dengan daya serap tenaga besar dan berorientasi pada teknologi tepat guna. Mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif. Memanfaatkan pariwisata seoptimal mungkin sebagai agen penyumbang tradisi budaya dengan dampak seminimal mungkin. sekaligus 2.2.2. Pendekatan Pengembangan Sumber Daya Budaya Berkelanjutan Sebagaimana pengembangan pada umumnya yang menekankan prinsip/pendekatan berkelanjutan, maka pengembangan sumber daya budaya juga perlu mengacu pada pola yang sama, dengan penekanan pada prinsip-prinsip berkelanjutan dan nilai manfaat jangka panjang. Agar prinsip pengembangan berkelanjutan tersebut dapat tercapai, maka pengembangan sumber daya budaya harus menciptakan sinergi pengembangan dari 3 (tiga) aspek pokok yang terkait didalamnya, yaitu meliputi : Kualitas sumber daya budaya, yaitu bahwa upaya pengembangan potensi sumber daya budaya diharapkan dapat tetap menjaga kelangsungan dan keutuhan dengan tetap memperhatikan daya dukung serta upaya pelestarian terhadap obyek yang ada. Kualitas hidup (masyarakat lokal), yaitu bahwa upaya pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya budaya agar mampu memberikan nilai manfaat ekonomi yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan peningkatan kualitas lingkungan. Kualitas pengalaman (dari sisi konsumen), yaitu bahwa upaya pemanfaatan dan pengembangan sumber daya budaya agar mampu memberikan kualitas pengalaman yang maksimal bagi konsumen/ wisatawan, khususnya dari segi keunikan, interpretasi dan pemahaman serta wawasan mengenai obyek secara utuh dan mendalam. Laporan Akhir II - 8 2.3. KERANGKA PROSES STUDI Untuk mencapai tujuan, sasaran dan keluaran yang diharapkan, maka kerangka proses pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut : Observasi lapangan, interview, dan instansional Kajian literatur terkait dengan konsep budaya dan pengelolaan desa budaya Kriteria desa budaya Inventarisasi dan identifikasi kondisi dan potensi Desa Budaya di Daerah Istimewa Yaogyakarta Formulasi strategi pengelolaan desa budaya Analisis dan Kompilasi Data : Analisis kondisi Pembobotan dan klasifikasi Formulasi program pengelolaan desa budaya o Sumber Daya Manusia o Program pengelolaan adat dan tradisi o Kelembagaan o Program pengelolaan seni pertunjukan o Sarana dan prasarana o Program pengelolaan kerajinan o Program pengelolaan tata ruang dan arsitektural. Rencana tindakan/Action Plan : Pedoman Pengelolaan Desa Budaya berdasar karakteristik unsur budaya dalam format yang dijabarkan dalam format aspek, tujuan, rencana aksi, metode pengelolaan, tahapan waktu, pelaksana, dan sumber dana. Gambar 2.3. Diagram Proses Rencana Pelaksanaan Studi Laporan Akhir II - 9 2.4. TAHAPAN DAN METODE KEGIATAN 2.4.1. Tahap Persiapan A. Tujuan Tahapan persiapan adalah tahap paling awal yang dilakukan untuk melaksanakan pekerjaan berikutnya secara keseluruhan. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data awal mengenai wilayah studi, seperti kondisi sosial budaya masyarakat di desa budaya, data lembaga pengembangan seni budaya, serta data sekunder yang terkait dengan penelitian yang pernah dilakukan. B. Sasaran Tahapan persiapan disini meliputi persiapan lapangan (penggalian data-data primer maupun sekunder), persiapan pengerahan tenaga terkait, dan persiapan bagi proses analisis–sintesis yang akan dilakukan kemudian, seperti penyusunan metodologi dan pendekatan perencanaan, serta penyusunan strategi pengembangan. Adapun sasaran dari tahap persiapan ini adalah sebagai berikut : 1) Persiapan dasar, berupa penentuan bentuk metode yang akan dikembangkan dan digunakan 2) Persiapan teknis berupa persiapan bentuk format dan alat penggalian data 3) Persiapan pengamatan, berupa interpretasi data awal 4) Penyusunan pendekatan perencanaan umum, sebagai dasar bagi pelaksanaan tahap-tahap selanjutnya. C. Metode Metode yang digunakan dalam tahap ini adalah persiapan dasar berupa studi literatur, serta penelaahan materi yang tertuang dalam rencana–rencana yang lebih luas ruang lingkupnya, baik lingkup dalam arti substansial, seperti pengkajian ketetapan sektor terkait dan sebagainya maupun dalam lingkup teritorial, seperti penelaahan acuan-acuan tingkat lokal dan regional. Laporan Akhir II - 10 2.4.2. Tahap Pengumpulan Data A. Tujuan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai berbagai hal yang terkait dengan desa-desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi data fisik dan non fisik. B. Sasaran Sasaran yang akan dicapai adalah inventarisasi berbagai kondisi desa budaya yang meliputi : Potensi desa budaya yang terkait dengan sistem kepercayaan, kesenian, mata pencaharian, teknologi, sosial, komunikasi, serta sistem lingkungan dan tata ruang arsitektural Ekspresi sistem kepercayaan, kesenian, mata pencaharian, teknologi, sosial, komunikasi, serta sistem lingkungan dan tata ruang arsitektural dalam kehidupan masyarakat budaya Upaya konservasi yang dilakukan masyarakat terkait dengan pelestarian unsur-unsur sistem kepercayaan, kesenian, mata pencaharian, teknologi, sosial, komunikasi, serta sistem lingkungan dan tata ruang arsitektural C. Metode Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) Kajian pustaka terhadap terhadap dokumen-dokumen yang relevan terhadap pengembangan desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta 2) Survei instansional dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada instansi dan stakeholders terkait. 3) Survei lapangan, dilakukan untuk mengetahui secara langsung kondisi desa budaya dengan cara observasi dan wawancara kepada tokoh masyarakat di desa budaya terkait. Laporan Akhir II - 11 2.4.3. Tahap Analisis A. Tujuan Tahap ini dimaksudkan untuk menganalisis temuan-temuan baik dari review studi-studi terdahulu maupun data hasil survei instansional, lapangan, serta data primer. Hasil analisis ini akan menjadi jembatan bagi penyusunan action plan pengelolaan desa budaya. B. Sasaran Hasil yang didapat pada tahap ini adalah : 1) Hasil analisis potensi, ekspresi dan konservasi unsur budaya di desa budaya 2) Kategori/tipologi perkembangan desa-desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. C. Unit Analisis Unit realitas kebudayaan yang dianalisis ialah wujud kebudayaan. Dalam kerangka teoritik sebagaimana diuraikan di depan, karena keterbatasan instrument studi, wujud kebudayaan yang dipotret dalam kajian ini sengaja meninggalkan wujud pertama yang berupa kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran. Fokus kajian lebih diarahkan kepada dua wujud yang lain, yakni wujud yang berupa aktivitas sosial (social system) dan wujud benda-benda budaya (material system) dengan mendeteksinya lewat tujuh unsur kebudayaan sebagaimana dipopulerkan Koentjaraningrat dengan sejumlah modifikasi, yaitu (1) sistem kepercayaan, (2) sistem kesenian, (3) sistem mata pencaharian, (4) sistem teknologi, (5) sistem komunikasi, (6) sistem sosial, dan (7) sistem lingkungan, tata ruang, dan arsitektural. Ketujuh unsur kebudayaan itu diringkas lagi menjadi 4 hal yang dianggap penting, yaitu (1) adat dan tradisi, (2) seni pertunjukan, (3) kerajinan, dan (4) tata ruang dan arsitektural. Keempat unsur budaya hasil reduksi di atas itulah yang akan menjadi bahan penilaian untuk mengklasifikasikan desa budaya ke dalam tiga taraf, yakni desa budaya dengan taraf embrional, berkembang, atau maju. Keempat unsur itu dikedepankan karena keempatnya merupakan unsur budaya yang paling “kasat mata”, maka keempatnya juga sekaligus mempermudah pengamatan, penilaian, Laporan Akhir II - 12 dan juga penyusunan rencana aksi dalam rangka pengeloalaan, pelestarian, dan penegembangan desa budaya. Untuk mempermudah dalam penilaian terhadap kondisi desa budaya maka disusun suatu pedoman penilaian untuk mengukur masingmasing unsur budaya yang dinilai (lihat lampiran). D. Metode Metode analisis yang digunakan adalah Metode Likert dengan menggunakan skala berjenjang. Mengingat begitu luasnya ruang lingkup kajian kebudayaan ini maka skala Likert ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan sejauh mana tingkat klasifikasi desa budaya dengan menggunakan penilaian/pembobotan atas potensi (dengan bobot 15%), ekspresi (dengan bobot 50%), dan konservasi (dengan bobot 35%) terhadap keempat unsur kebudayaan hasil reduksi di atas, yakni (1) adat dan tradisi, (2) seni pertunjukan, (3) kerajinan, dan (4) tata ruang dan arsitektural. Tabel 2.1. Penilaian Kondisi Desa Budaya UNSUR KATEGORI DAN BOBOT PENILAIAN Potensi (15%) Ekspresi (50%) Konservasi(35%) Skor 1 - 5 Skor 1 - 5 Skor 1 - 5 1. Adat dan Tradisi 2. Seni Pertunjukan 3. Kerajinan 4. Tata ruang dan arsitektural Rumus yang digunakan untuk menilai dan mengklasifikasikan desa budaya Skor Total =( skor potensix15)+( skor ekspresix50)+( skor konservasix35) NILAI KLASIFIKASI 100 - 233 Desa Budaya Embrional 234 – 367 Desa Budaya Berkembang 368 - 500 Desa Budaya Maju Laporan Akhir II - 13 2.4.4. Tahap Penyusunan Rekomendasi A. Tujuan Tahap ini merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menyusun dokumen action plan pengelolaan desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Sasaran Sasaran yang akan dicapai dalam tahap penyusunan rekomendasi ini adalah : 1. Reformulasi strategi pengembangan desa budaya yang terbagi atas pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan dan prasarana penunjang kegiatan budaya. 2. Penyusunan program aksi dalam format aspek pengelolaan, program aksi, metode, tahapan, pelaksana, dan sumber dana. 2.5. KENDALA PELAKSANAAN KEGIATAN Ketersediaan Data Ketersediaan data di masing-masing desa budaya sangat terbatas, baik dari segi data yang terdokumentasi maupun nara sumber yang mampu menjelaskan aspek-aspek budaya yang dikaji. Metodologi Studi tentang budaya selalu menemui kendala terkait dengan metodologi. Penelitian budaya yang selama ini dilakukan, pada umumnya bersifat kualitatif dan sangat jarang menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik pembobotan yang penilaiannya dilakukan dengan menggunakan Metode Likert. Dengan metode ini, setiap fenomena budaya pada objek sasaran dideskripsikan dalam bentuk angka-angka yang menunjukkan derajat sebuah desa menurut kriteria yang telah ditentukan, lihat di atas. Laporan Akhir II - 14 Berkemba SDM ng Dalam studi ini, walaupun memiliki banyak kelemahan (dan selalu menimbulkan perdebatan) pendekatan kuantitatif dirasa sangat diperlukan dalam rangka melakukan analisis dan evaluasi kondisi desa budaya yang bermuara pada hasil klasifikasi desa yang diperoleh melalui pemberian skor tertentu pada tiap-tiap aspek budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah salah satu model yang dapat diterapkan untuk mengkaji desa budaya, dan tidak menutup kemungkinan untuk dievaluasi dan diperbaharui di masa yang akan datang. Penyusunan Program Aksi Terkait dengan rekomendasi strategi, terdapat kesulitan dalam menurunkan hasil analisis ke dalam formula-formula strategi yang lebih rinci dalam format program-program aksi pengelolaan per desa budaya. Hal ini disebabkan karena kendala waktu pelaksanaan studi ini yang terbatas dengan jumlah desa yang banyak serta komponen / aspek kajian yang sangat luas. Laporan Akhir II - 15