5. action plan desa budaya 2007 Bab 2

advertisement
BAB
2
KERANGKA KONSEPTUAL,
PENDEKATAN DAN
METODE KEGIATAN
2.1.
2.1.1.
KONSEP DESA BUDAYA
Pengertian Desa
Istilah desa biasanya menunjuk suatu ruang sosial (social space), yang
tentu saja di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang berdomisili,
beraktivitas, dan berinteraksi di antara sesamanya. Ruang sosial itu
terdiri atas lingkungan pemukiman dan lingkungan penjelajahan sebagai
“lahan” bagi pencaharian manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Lingkungan penjelajahan yang berupa alam itulah yang biasanya dikelola
penduduk desa bersangkutan demi melangsungkan hidupnya dengan cara
pengelola lahan dalam bentuk budi daya pertanian baik dalam bidang
cocok tanam, peternakan, maupun perikanan.
Dalam bahasa Jawa, mula-mula istilah “desa” merupakan bentuk “ngoko”
dari kata “dusun” yang merupakan bentuk “krama inggil”. Jadi, kedua
kata itu berbeda tataran, tetapi maknanya sama. Namun, dalam
peraturan perundangan istilah itu digunakan dalam derajat yang berbeda.
Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memaknai
istilah Dusun sebagai bagian dari Desa. Dengan perkataan lain, suatu Desa
dapat terdiri atas sejumlah Dusun; dan bisa saja satu Desa utuh tanpa
deretan dusun. Desa dikepalai oleh seorang Kepala Desa (Kades),
sedangkan Dusun dikepalai seorang Kepala Dusun (Kadus).
Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan,
terdapat banyak satuan administrasi pemerintahan di bawah
pemerintahan desa disebut “Pedukuhan”. Pedukuhan ini dikepalai
Laporan Akhir
II - 1
seorang “Dukuh”. Derajat Pedukuhan sama dengan Dusun, yakni di bawah
suatu Desa tertentu. Kepala desa zaman dahulu di daerah DIY dan Jawa
Tengah bagian selatan disebut “Lurah”; dan wilayah kekuasaanya disebut
“Kalurahan”. Di sejumlah daerah pesisir utara Jawa Tengah, kepala desa
lazim disebut “Petinggi”. Dalam UU Pemerintahan desa sebagaimana
disebut di atas, istilah “Kalurahan” dipergunakan untuk menamai satuan
daerah administrasi pemerintahan setingkat Desa tetapi berada di
wilayah perkotaan. Maka, sebutan itu menjadi khas: Seorang Lurah
memimpin Kalurahan di wilayah perkotaan, dan seorang Kades
memerintah Desa di wilayah luar perkotaan.
Uraian di atas lebih memberikan gambaran pengertian desa sebagai
“satuan administrasi pemerintahan”. Dalam konteks penelitian ini, istilah
desa dipredikati dengan istilah budaya. Mengingat entitas budaya tidak
dapat dibatasi dengan wilayah administrasi pemerintahan, maka
pengertian desa harus dirumuskan tidak dengan perpsektif administrasi
pemerintahan, melainkan perspektif budaya. Dalam perspektif budaya,
desa merupakan wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas
budaya.
2.1.2.
Pengertian Budaya
Istilah cultur (bukan Kultur seperti dalam bahasa Jerman sekarang)
dalam khasanah keilmuan pertama kali digunakan oleh G.E. Klemm dalam
bukunya Allgemeine Culturgesichte der Menschkeit (1843 - 1852).
Pemakaian istilah yang dipergunakan Klemm ini kemudian mempengaruhi
E.B. Tylor, cendekiawan Inggris, dalam bukunya Primitive Culture (1871).
Dalam khasanah bahasa Inggris sendiri, sampai pada masa itu masih
dipergunakan istilah civilization, walaupun dalam arti yang agak berbeda
dari pengertian istilah itu di masa kini. Pada perkembangan lebih lanjut,
istilah yang kurang lebih baku dipergunakan ialah Kultur dalam Bahasa
Jerman, dan culture dalam bahasa Inggris. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia dipergunakan istilah kebudayaan, bahkan kadang-kadang
disebut budaya begitu saja.
A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn, dalam bukunya Culture: A Critical
Review of Concepts and Definitions (1952), mencatat bahwa sampai pada
masa itu sudah terdapat 179 definisi tentang kebudayaan. Kini, setelah
setengah abad kemudian, dapat dipastikan jumlah definisi itu telah
bertambah lebih banyak lagi. Oleh karenanya, penelitian ini tidak perlu
menambah sebuah definisi lagi tentang kebudayaan. Definisi teoritik-
Laporan Akhir
II - 2
konseptual tentang kebudayaan perlu dirumuskan untuk kepentingan
wacana teoritis tentang kebudayaan. Akan tetapi, untuk kepentingan
penelitian semacam ini, yang diperlukan bukanlah definisi tunggal yang
seakan-akan merangkum gambaran kebudayaan secara komprehensif,
melainkan deskripsi mendasar tentang hal-hal pokok yang berkaitan
dengan kebudayaan. Deskripsi itu akan berupa pokok-pokok pikiran yang
menjadi acuan kerja bagi penelitian ini. Pokok-pokok pikiran itu sebagai
berikut.
Pertama, bahwa perbincangan mengenai seluk-beluk kehidupan manusia
yang multidimensional baik dalam komunitas kecil maupun dalam skala
masyarakat yang lebih besar dapat didekati dan disimak dengan berbagai
perspektif; dan salah satu di antaranya yang terpenting adalah perspektif
kebudayaan. Kajian dengan perspektif kebudayaan bukan hanya
menyangkut hasil karya manusia yang kasat mata (benda-benda budaya)
belaka, melainkan lebih jauh lagi merambah ke pola-pola perilaku,
sistem sosial, cara berpikir dan berekspresi, bahkan hingga konsep,
gagasan atau pemikiran, dan sistem nilai yang menjadi kiblat dan
acuannya. Kajian budaya dalam suatu kantong budaya (entah desa,
dusun, pedukuhan, atau satuan hidup lainnya) tertentu menjadi menarik,
karena bagaimanapun juga suatau budaya tertentu telah eksis dan
dipraktekkan oleh para pendukungnya.
Kedua, bahwa untuk memahami wajah kehidupan budaya tertentu
seyogyanya dilakukan kajian (sebagaimana dianjurkan oleh B. Malinowski,
G.P. Murdock, C. Kluckhohn, dan Koentjaraningrat) terhadap dimensi isi
atau unsur-unsurnya baik berupa bahasa, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian hidup atau ekonomi, sistem dan organisasi sosial (termasuk
di dalamnya khasanah politik dan hukum), sistem pengetahuan, religi,
maupun kesenian. Di samping itu, masih terdapat satu aktivitas manusia
yang khas manusiawi dan tidak dapat diabaikan, yaitu pendidikan. Setiap
unsur itu, menurut Koentjaraningrat yang mengikuti pemikiran J.J.
Honigman, dapat dilihat dalam tiga dimensi wujud, yaitu (1) wujud yang
berupa kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran manusia (culture
system), (2) wujud yang berupa kompleks aktivitas (social system), dan
(3) wujud yang berupa benda-benda kongkrit (physical culture, material
culture, artifacts).
Ketiga, bahwa memahami dimensi-dimensi aktivitas manusia sebagai
makhluk sosio-kultural sebagaimana dipaparkan di depan, tidakalah
mudah, lebih-lebih menyangkut dimensi yang pertama, yakni wujud yang
Laporan Akhir
II - 3
berupa kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran manusia. Dua wujud
berikutnya, yakni wujud yang berupa aktivitas social (social system) dan
wujud benda-benda budaya yang kongkrit (material culture) relatif lebih
mudah, karena gejalanya dapat diinderai. Dengan demikian, penelitian
ini lebih diarahkan kepada dua wujud kebudayaan yang terakhir itu
dengan mendeteksinya lewat ketujuh unsur kerbudayaan di atas dengan
sejumlah modifikasi yang meliputi: (1) sistem kepercayaan, (2) Sistem
kesenian, (3) sistem mata pencaharian, (4) sistem teknologi, (5)
sistem komunikasi, (6) sistem sosial, dan (7) sistem lingkungan, tata
ruang, dan arsitektur.
Dunia Ilahiah
T
Dunia
Human
Manusia
Dunia
Human
M
M
M
Infra Human :
• Binatang
• Tumbuhan
• Benda tak
hidup
Korelasi / Hubungan
M–T
IH
Hubungan dengan Tuhan
Sistem Budaya
• Sistem kepercayaan
• Sistem kesenian
M–M
Hubungan dengan orang
lain dan dengan diri
sendiri
M – IH
Hubungan dengan
lingkungan infra human
• Sistem Sosial
• Sistem Komunikasi
• Sistem mata
pencaharian
• Sistem Teknologi
• Sistem Lingkungan,
tata ruang dan
arsitektur
Gambar 2.1. Diagram Hubungan Manusia Dengan Lingkungan
Laporan Akhir
II - 4
Keempat, bahwa pada hakikatnya manusia itu bukan hanya “produk”
kebudayaan sebagaimana diyakini oleh para penganut Aliran
Strukturalisme, melainkan juga sekaligus “pencipta” kebudayaan. Oleh
karena itu, sebagaimana dianjurkan oleh C.A. van Peursen, manusia juga
dapat merancang suatu strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju
kehidupan bersama yang lebih berkeadaban. Dengan skala yang lebih
kecil, orang dapat menyusun suatu strategi pengembangan desa budaya
Di sinilah relevansi penelitian ini untuk menyusun suatu strategi
pengembangan desa budaya, agar dapat mendukung mengembangan
sumber daya manusia dan dapat mejamin identitas dan kearifan lokal
dari desa budaya yang hendak dikembangkan.
Kelima, Dalam amatan awam, kebudayaan dapat saja dilihat sebagai
aktivitas bersama suatu komunitas yang tampak dalam (1) adat dan
tradisi, (2) seni pertunjukan, dan (3) kerajinan. Adat dan tradisi
merupakan peristiwa yang dapat mencakup kegiatan suatu sistem
kepercayaan –-istilah “adat dan tradisi” sudah diintegrasikan dalam unsur
kebudayaan sistem kepercayaan guna memudahkan amatan untuk
menyusun profil --, sistem sosial, sistem komunikasi dan juga sistem mata
pencaharian. Seni pertunjukan sudah barang tentu merupakan peristiwa
kesenian, namun seni pertunjukan juga dapat sekaligus merupakan
ekspresi dari suatu sistem kepercayaan, dan bisa juga sebagai ekspresi
sistem sosial. Kerajinan merupkan kegiatan insani seseorang atau suatu
komunitas yang dapat dikatakan sebagai ekspresi nilai seni tertentu,
sistem mata pencaharian, dan juga sistem teknologi. Keenam unsur
kebudayaan telah terwadahi ke dalam tiga wadah, yakni adapt dsan
tradisi, seni pertunjukan, dan kerajian. Namun unsur ketujuh, yakni tata
ruang dan arsitektural belum terwadahi, dan oleh karenanya ia harus
tetap dipertahankan sebagai salah satu unsur penting di antara ketiga
wadah tadi, sebab tata ruang dan arsitektural suatu kawasan merupakan
karya budaya yang menandai kesadaran penghuninya dalam
mengapresiasi alam. Maka, dalam kajian berikut, akan dipancangkan 4
hal yang dianggap penting, yaitu (1) adat dan tradisi, (2) seni
pertunjukan, (3) kerajinan, dan (4) tata ruang dan arsitektural.
Sistem Kepercayaan
ADAT DAN TRADISI
Laporan Akhir
II - 5
Sistem Kesenian
SENI PERTUNJUKAN
Sistem Sosial
Sistem Komunikasi
KERAJINAN
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Teknologi
Sistem Lingkungan, Tata Ruang
dan Arsitektural
TATA RUANG DAN
ARSITEKTURAL
Gambar 2.2. Diagram Reduksi Unsur Budaya
2.1.3. Pengertian Desa Budaya
Sebagaimana telah ditegaskan di depan, bahwa pengertian “desa” dalam
konteks penelitian ini, tidak selalu terikat sebagai wilayah administrasi
pemerintahan yang ketat batasan teritorialnya, melainkan lebih luwes
cakupannya; bisa lebih sempit dari pengertian “desa” secara
administratif (mungkin hanya satu “dusun” atau sejumlah “dusun”, tetapi
boleh jadi sejumlah dusun lintas desa, atau bahkan hanya semacam
“kantong-kantong” pemukiman tertentu yang khas).
Atas dasar uraian pengertian desa dan uraian kelima pokok pikiran
mengenai budaya sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat
dijabarkan definisi desa budaya, yaitu :
“wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang
mengekspresikan sistem kepercayaan (religi), sistem kesenian, sistem
mata pencaharian, sistem teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial,
dan sistem lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan
MENGAKTUALISASIKAN KEKAYAAN POTENSINYA dan MENKONSERVASINYA
DENGAN SAKSAMA ATAS KEKAYAAN BUDAYA YANG DIMILIKINYA, terutama
yang tampak pada ADAT DAN TRADISI, SENI PERTUNJUKAN, KERAJINAN,
DAN TATA RUANG DAN ARSITEKTURAL.”
2.2.
PENDEKATAN KEGIATAN
Laporan Akhir
II - 6
Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan kegiatan Penyusunan Action Plan
Pengelolaan Desa Budaya adalah :
a). Pendekatan Pemberdayaan Komunitas Lokal
b). Pengembangan budaya berkelanjutan
2.2.1. Pendekatan Pemberdayaan Komunitas Lokal
Pemberdayaan masyarakat atau komunitas lokal merupakan paradigma
yang sangat penting dalam kerangka pengembangan atau pengelolaan
sumber daya budaya dan pariwisata. Pentingnya pemberdayaan
masyarakat dalam pengembangan tersebut digarisbawahi oleh Murphy
(1988), yang memandang bahwa pengembangan kegiatan budaya dan
pariwisata merupakan “kegiatan yang berbasis komunitas”, yaitu bahwa
sumber daya dan keunikan komunitas lokal baik berupa elemen fisik
maupun non fisik (tradisi dan budaya) yang melekat pada komunitas
tersebut merupakan unsur penggerak utama kegiatan budaya dan
pariwisata itu sendiri; di lain pihak komunitas lokal yang tumbuh dan
hidup berdampingan dengan suatu objek wisata tidak dapat dipungkiri
sebenarnya telah menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling kait
mengkait dengan sumber daya budaya dan pariwisata.
Pendekatan tersebut menegaskan bahwa pengembangan sumber daya
budaya dan pariwisata harus sensitif dan responsif terhadap keberadaan
dan kebutuhan komunitas lokal dan bahwa dukungan dari seluruh
komunitas (tidak saja hanya dari mereka yang mendapatkan manfaat
ekonomi langsung dari kegiatan budaya dan pariwisata) amat sangat
diperlukan bagi keberhasilan pengembangan dan pengelolaan sumber
daya budaya dan pariwisata di tingkat lokal.
Pentingnya peran komunitas lokal juga digarisbawahi oleh Wearing (2001)
yang menegaskan bahwa sukses atau keberhasilan jangka panjang
kegiatan (industri) budaya dan pariwisata sangat tergantung pada tingkat
penerimaan dan dukungan dari komunitas lokal. Karena itu, untuk
memastikan bahwa pengembangan kegiatan (industri) budaya dan
pariwisata di suatu tempat dapat dikelola dengan baik dan
berkelanjutan, maka hal mendasar yang harus diwujudkan untuk
mendukung tujuan tersebut adalah bagaimana memfasilitasi keterlibatan
yang luas dari komunitas lokal dalam proses pengembangan dan
memaksimalkan nilai manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan budaya
dan pariwisata.
Laporan Akhir
II - 7
Pemberdayaan masyarakat lokal selanjutnya perlu didasarkan pada
kriteria sebagai berikut:

Memajukan tingkat hidup masyarakat sekaligus melestarikan identitas
budaya dan tradisi lokal.

Meningkatkan tingkat pendapatan secara ekonomis
mendistribusikan merata pada penduduk lokal.

Berorientasi pada pengembangan usaha berskala kecil dan menengah
dengan daya serap tenaga besar dan berorientasi pada teknologi
tepat guna.

Mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif.

Memanfaatkan pariwisata seoptimal mungkin sebagai agen
penyumbang tradisi budaya dengan dampak seminimal mungkin.
sekaligus
2.2.2. Pendekatan Pengembangan Sumber Daya Budaya Berkelanjutan
Sebagaimana pengembangan pada umumnya yang menekankan
prinsip/pendekatan berkelanjutan, maka pengembangan sumber daya
budaya juga perlu mengacu pada pola yang sama, dengan penekanan
pada prinsip-prinsip berkelanjutan dan nilai manfaat jangka panjang.
Agar prinsip pengembangan berkelanjutan tersebut dapat tercapai, maka
pengembangan sumber daya budaya harus menciptakan sinergi
pengembangan dari 3 (tiga) aspek pokok yang terkait didalamnya, yaitu
meliputi :

Kualitas sumber daya budaya, yaitu bahwa upaya pengembangan
potensi sumber daya budaya diharapkan dapat tetap menjaga
kelangsungan dan keutuhan dengan tetap memperhatikan daya
dukung serta upaya pelestarian terhadap obyek yang ada.

Kualitas hidup (masyarakat lokal), yaitu bahwa upaya pemanfaatan
dan pengembangan potensi sumber daya budaya agar mampu
memberikan nilai manfaat ekonomi yang berdampak pada
peningkatan kualitas hidup dan peningkatan kualitas lingkungan.

Kualitas pengalaman (dari sisi konsumen), yaitu bahwa upaya
pemanfaatan dan pengembangan sumber daya budaya agar mampu
memberikan kualitas pengalaman yang maksimal bagi konsumen/
wisatawan, khususnya dari segi keunikan, interpretasi dan
pemahaman serta wawasan mengenai obyek secara utuh dan
mendalam.
Laporan Akhir
II - 8
2.3.
KERANGKA PROSES STUDI
Untuk mencapai tujuan, sasaran dan keluaran yang diharapkan, maka kerangka
proses pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut :
Observasi lapangan,
interview, dan instansional
Kajian literatur terkait dengan
konsep budaya dan pengelolaan
desa budaya
Kriteria desa
budaya
Inventarisasi dan identifikasi kondisi
dan potensi Desa Budaya di Daerah
Istimewa Yaogyakarta


Formulasi strategi pengelolaan desa
budaya
Analisis dan Kompilasi Data :
Analisis kondisi
Pembobotan dan klasifikasi
Formulasi program pengelolaan desa
budaya
o
Sumber Daya Manusia
o
Program pengelolaan adat dan tradisi
o
Kelembagaan
o
Program pengelolaan seni pertunjukan
o
Sarana dan prasarana
o
Program pengelolaan kerajinan
o Program pengelolaan tata ruang dan
arsitektural.
Rencana tindakan/Action Plan :
Pedoman Pengelolaan Desa Budaya
berdasar karakteristik unsur budaya dalam
format yang dijabarkan dalam format aspek,
tujuan, rencana aksi, metode pengelolaan,
tahapan waktu, pelaksana, dan sumber
dana.
Gambar 2.3. Diagram Proses Rencana Pelaksanaan Studi
Laporan Akhir
II - 9
2.4.
TAHAPAN DAN METODE KEGIATAN
2.4.1. Tahap Persiapan
A. Tujuan
Tahapan persiapan adalah tahap paling awal yang dilakukan untuk
melaksanakan pekerjaan berikutnya secara keseluruhan. Pada tahap
ini dilakukan pengumpulan data awal mengenai wilayah studi, seperti
kondisi sosial budaya masyarakat di desa budaya, data lembaga
pengembangan seni budaya, serta data sekunder yang terkait dengan
penelitian yang pernah dilakukan.
B. Sasaran
Tahapan persiapan disini meliputi persiapan lapangan (penggalian
data-data primer maupun sekunder), persiapan pengerahan tenaga
terkait, dan persiapan bagi proses analisis–sintesis yang akan
dilakukan kemudian, seperti penyusunan metodologi dan pendekatan
perencanaan, serta penyusunan strategi pengembangan.
Adapun sasaran dari tahap persiapan ini adalah sebagai berikut :
1) Persiapan dasar, berupa penentuan bentuk metode yang akan
dikembangkan dan digunakan
2) Persiapan teknis berupa persiapan bentuk format dan alat
penggalian data
3) Persiapan pengamatan, berupa interpretasi data awal
4) Penyusunan pendekatan perencanaan umum, sebagai dasar bagi
pelaksanaan tahap-tahap selanjutnya.
C. Metode
Metode yang digunakan dalam tahap ini adalah persiapan dasar
berupa studi literatur, serta penelaahan materi yang tertuang dalam
rencana–rencana yang lebih luas ruang lingkupnya, baik lingkup dalam
arti substansial, seperti pengkajian ketetapan sektor terkait dan
sebagainya maupun dalam lingkup teritorial, seperti penelaahan
acuan-acuan tingkat lokal dan regional.
Laporan Akhir
II - 10
2.4.2. Tahap Pengumpulan Data
A. Tujuan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai
berbagai hal yang terkait dengan desa-desa budaya di Daerah
Istimewa Yogyakarta, meliputi data fisik dan non fisik.
B. Sasaran
Sasaran yang akan dicapai adalah inventarisasi berbagai kondisi desa
budaya yang meliputi :

Potensi desa budaya yang terkait dengan sistem kepercayaan,
kesenian, mata pencaharian, teknologi, sosial, komunikasi, serta
sistem lingkungan dan tata ruang arsitektural

Ekspresi sistem kepercayaan, kesenian, mata pencaharian,
teknologi, sosial, komunikasi, serta sistem lingkungan dan tata
ruang arsitektural dalam kehidupan masyarakat budaya

Upaya konservasi yang dilakukan masyarakat terkait dengan
pelestarian unsur-unsur sistem kepercayaan, kesenian, mata
pencaharian, teknologi, sosial, komunikasi, serta sistem
lingkungan dan tata ruang arsitektural
C. Metode
Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Kajian pustaka terhadap terhadap dokumen-dokumen yang relevan
terhadap pengembangan desa budaya di Daerah Istimewa
Yogyakarta
2) Survei instansional dilakukan dengan cara wawancara langsung
kepada instansi dan stakeholders terkait.
3) Survei lapangan, dilakukan untuk mengetahui secara langsung
kondisi desa budaya dengan cara observasi dan wawancara kepada
tokoh masyarakat di desa budaya terkait.
Laporan Akhir
II - 11
2.4.3. Tahap Analisis
A. Tujuan
Tahap ini dimaksudkan untuk menganalisis temuan-temuan baik dari
review studi-studi terdahulu maupun data hasil survei instansional,
lapangan, serta data primer. Hasil analisis ini akan menjadi jembatan
bagi penyusunan action plan pengelolaan desa budaya.
B. Sasaran
Hasil yang didapat pada tahap ini adalah :
1) Hasil analisis potensi, ekspresi dan konservasi unsur budaya di
desa budaya
2) Kategori/tipologi perkembangan desa-desa budaya di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
C. Unit Analisis
Unit realitas kebudayaan yang dianalisis ialah wujud kebudayaan.
Dalam kerangka teoritik sebagaimana diuraikan di depan, karena
keterbatasan instrument studi, wujud kebudayaan yang dipotret
dalam kajian ini sengaja meninggalkan wujud pertama yang berupa
kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran. Fokus kajian lebih
diarahkan kepada dua wujud yang lain, yakni wujud yang berupa
aktivitas sosial (social system) dan wujud benda-benda budaya
(material system) dengan mendeteksinya lewat tujuh unsur
kebudayaan sebagaimana dipopulerkan Koentjaraningrat dengan
sejumlah modifikasi, yaitu (1) sistem kepercayaan, (2) sistem
kesenian, (3) sistem mata pencaharian, (4) sistem teknologi, (5)
sistem komunikasi, (6) sistem sosial, dan (7) sistem lingkungan, tata
ruang, dan arsitektural. Ketujuh unsur kebudayaan itu diringkas lagi
menjadi 4 hal yang dianggap penting, yaitu (1) adat dan tradisi, (2)
seni pertunjukan, (3) kerajinan, dan (4) tata ruang dan
arsitektural.
Keempat unsur budaya hasil reduksi di atas itulah yang akan menjadi
bahan penilaian untuk mengklasifikasikan desa budaya ke dalam tiga
taraf, yakni desa budaya dengan taraf embrional, berkembang, atau
maju. Keempat unsur itu dikedepankan karena keempatnya
merupakan
unsur budaya yang paling “kasat mata”, maka
keempatnya juga sekaligus mempermudah pengamatan, penilaian,
Laporan Akhir
II - 12
dan juga penyusunan rencana aksi dalam rangka pengeloalaan,
pelestarian, dan penegembangan desa budaya.
Untuk mempermudah dalam penilaian terhadap kondisi desa budaya
maka disusun suatu pedoman penilaian untuk mengukur masingmasing unsur budaya yang dinilai (lihat lampiran).
D. Metode
Metode analisis yang digunakan adalah Metode Likert dengan
menggunakan skala berjenjang. Mengingat begitu luasnya ruang
lingkup kajian kebudayaan ini maka skala Likert ini telah dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan sejauh mana tingkat
klasifikasi desa budaya dengan menggunakan penilaian/pembobotan
atas potensi (dengan bobot 15%), ekspresi (dengan bobot 50%), dan
konservasi (dengan bobot 35%) terhadap keempat unsur kebudayaan
hasil reduksi di atas, yakni (1) adat dan tradisi, (2) seni pertunjukan,
(3) kerajinan, dan (4) tata ruang dan arsitektural.
Tabel 2.1. Penilaian Kondisi Desa Budaya
UNSUR
KATEGORI DAN BOBOT PENILAIAN
Potensi (15%)
Ekspresi (50%)
Konservasi(35%)
Skor 1 - 5
Skor 1 - 5
Skor 1 - 5
1. Adat dan Tradisi
2. Seni Pertunjukan
3. Kerajinan
4. Tata ruang dan
arsitektural
Rumus yang digunakan untuk menilai dan mengklasifikasikan desa budaya
Skor Total =( skor potensix15)+(  skor ekspresix50)+( skor konservasix35)
NILAI
KLASIFIKASI
100 - 233
Desa Budaya Embrional
234 – 367
Desa Budaya Berkembang
368 - 500
Desa Budaya Maju
Laporan Akhir
II - 13
2.4.4. Tahap Penyusunan Rekomendasi
A. Tujuan
Tahap ini merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menyusun
dokumen action plan pengelolaan desa budaya di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
B. Sasaran
Sasaran yang akan dicapai dalam tahap penyusunan rekomendasi ini
adalah :
1. Reformulasi strategi pengembangan desa budaya yang terbagi atas
pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan dan prasarana
penunjang kegiatan budaya.
2. Penyusunan program aksi dalam format aspek pengelolaan,
program aksi, metode, tahapan, pelaksana, dan sumber dana.
2.5.
KENDALA PELAKSANAAN KEGIATAN

Ketersediaan Data
Ketersediaan data di masing-masing desa budaya sangat terbatas, baik
dari segi data yang terdokumentasi maupun nara sumber yang mampu
menjelaskan aspek-aspek budaya yang dikaji.

Metodologi
Studi tentang budaya selalu menemui kendala terkait dengan
metodologi. Penelitian budaya yang selama ini dilakukan, pada
umumnya bersifat kualitatif dan sangat jarang menggunakan
pendekatan kuantitatif.
Metode kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
pembobotan yang penilaiannya dilakukan dengan menggunakan Metode
Likert. Dengan metode ini, setiap fenomena budaya pada objek sasaran
dideskripsikan dalam bentuk angka-angka yang menunjukkan derajat
sebuah desa menurut kriteria yang telah ditentukan, lihat di atas.
Laporan Akhir
II - 14
Berkemba
SDM
ng
Dalam studi ini, walaupun memiliki banyak kelemahan (dan selalu
menimbulkan perdebatan) pendekatan kuantitatif dirasa sangat
diperlukan dalam rangka melakukan analisis dan evaluasi kondisi desa
budaya yang bermuara pada hasil klasifikasi desa yang diperoleh
melalui pemberian skor tertentu pada tiap-tiap aspek budaya. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah salah satu model yang
dapat diterapkan untuk mengkaji desa budaya, dan tidak menutup
kemungkinan untuk dievaluasi dan diperbaharui di masa yang akan
datang.

Penyusunan Program Aksi
Terkait dengan rekomendasi strategi, terdapat kesulitan dalam
menurunkan hasil analisis ke dalam formula-formula strategi yang lebih
rinci dalam format program-program aksi pengelolaan per desa budaya.
Hal ini disebabkan karena kendala waktu pelaksanaan studi ini yang
terbatas dengan jumlah desa yang banyak serta komponen / aspek
kajian yang sangat luas.
Laporan Akhir
II - 15
Download