HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis (clades).ď€ Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang–kurangnya 10 sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India (FHI, 2009). Gambar 1. Klasifikasi dan Struktur Virus HIV (Rosa dkk, 2000) HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksi–infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV–2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV–2 ditulari lebih awal dalam proses penularannya (FHI, 2009). HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani, cairan vagina, air susu ibu dan cairan lainnya yang mengandung darah. Virus tersebut menular melalui: Melakukan penetrasi seks dengan seseorang yang telah terinfeksi. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui (FHI, 2009). 1 Sistem Kerja Virus HIV Gambar 2. Sistem Kerja Virus HIV Sampai Pelepasan Virus Baru (Rosa dkk, 2000) Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena ia mengkoordinasi semua system kekebalan sel lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4 (FHI, 2009). 1. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI. 2. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan 2 tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. 3. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. (FHI, 2009) Immunologi AIDS Gambar 3. Immunologi AIDS dan Macam serta Fungsi Sel T-helper (Rosa dkk, 2000) Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang menunjuk pada jumlah relatif dari virus bebas bergerak didalam plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya (FHI, 2009). Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase: 1. Infeksi utama (Seroconversion), ketika kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera bahwa mereka telah terinfeksi. 2. Fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala yang nampak, tetapi virus tersebut tetap aktif. 3 3. Fase symptomatic, dimana seseorang mulai merasa kurang sehat dan mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang bukan HIV tertentu melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di sekitar kita dalam segala keseharian kita. 4. AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang dari 200. (FHI, 2009) Sebab HIV/AIDS Sulit Disembuhkan Kendati tidak terinfeksi, sel T pada pasien AIDS mati setelah melalui semua tahap apoptosis. Menyiapkan respon kekebalan melawan virus penyerang, sel T-penolong memperbanyak diri. Sel T ini akan mati dalam beberapa hari setelah menjalankan fungsinya. Akan tetapi, banyak sel T sehat pada penderita AIDS melakukan bunuh diri sebelum berusaha melawan infeksi. Pertama-tama sel itu mengerut dan menjauh dari tetangganya, lalu muncul gelembung di permukaan (sel seakan-akan mendidih), dan kromatin (kompleks DNA inti sel dengan protein) memadat di ujung nucleus (inti sel). Tidak lama kemudian nucleus lalu sel itu sendiri pecah, dan fragmen pecahan sel segera ditelan oleh sel lain di sekitarnya (Rosa dkk, 2000). Dari percobaan pada beberapa pengidap HIV yang mampu bertahan hidup 10-15 tahun setelah mereka diketahui (+) terinfeksi HIV, dapat diketahui bahwa tubuh penderita memang mengandung sel T yang sangat spesifik yang bekerja sangat efisien sebagai pembunuh sel yang sudah terinfeksi HIV. Tetapi sebaliknya, ada juga pengidap HIV seperti ini yang sel Tnya cepat dilumpuhkan hanya karena serangan oleh jenis HIV yang lemah (Muninjaya. MPH, 1999). HIV merupakan golongan retrovirus yang materi dasarnya berupa RNA. Setelah masuk ke dalam peredaran darah penderita, HIV akan membajak system kekebalan tubuh penderita dengan mengubah RNAnya menjadi DNA setiap kali virus ini akan memperbanyak dirinya. Virus ini juga mengandung enzyme pengubah (transkriptase) yang memberikan kemudahan baginya untuk mempercepat proses ini (Muninjaya. MPH, 1999). AZT (Zidovudin) merupakan obat generasi pertama yang telah ditemukan dan dimanfaatkan untuk melawan serangan HIV hanya mampu memperpanjang hidup pasien 1-2 tahun saja dan itu hanya berlaku pada penderita yang gejala AIDSnya belum muncul. Obat ini juga mengurangi 2/3 resiko penularan HIV dari Ibu pengidap HIV ke bayinya, namun pengaruh sampingan AZT untuk jangka waktu panjang terhadap tubuh bayi juga belum diketahui (Muninjaya, MPH, 1999). 4 Antiretroviral Therapy Peran Terapi antiretroviral dalam kaitannya dengan Infeksi Oportunistik. ARV efektif dalam mengurangi virus memuat dan sebagian memungkinkan pemulihan kekebalan, sehingga mencegah onset dan kambuhnya infeksi oportunistik. Jika diminum secara ketat sesuai dengan arah, ART dapat mendorong pemulihan reaktivitas CD4 terhadap oportunistik patogen dalam sangat imunosupresi pasien (Bertozzi et al, 2009). Efektivitas ARV terapi ditentukan oleh kemampuannya untuk cepat mengurangi viral load dan mempertahankan tingkat rendah aktivitas virus. Ini adalah aktivitas virus apa yang memiliki efek independen pada meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik. Salah satu tantangan dalam memulai ARV pada rangkaian terbatas sumber daya adalah bahwa pasien cenderung terlambat diketahui dalam penyakit mereka, biasanya ketika mereka memiliki infeksi oportunistik yang mendorong mereka untuk mencari perawatan medis. Hal ini juga mencatat bahwa memulai ARV pada pasien imunosupresi parah dapat mengakibatkan penyakit yang berhubungan dengan pemulihan dari sistem kekebalan tubuh. Penyakit ini dapat terjadi dengan semua kesempatan infeksi oportunistik dan mungkin lebih serius daripada infeksi itu sendiri. Masalah utama dengan perawatan pasien di situasi adalah bahwa mereka percaya, penyakit adalah efek samping dari mereka ART dan menahan diri dari mengobati. Pelatihan dokter untuk mengenali dan mengobati pemulihan kekebalan penyakit karena itu penting (Bertozzi et al, 2009). Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART) (FHI, 2009). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan: 1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC). 2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva). 5 3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. Kombinasi terapi dengan beberapa obat antiretroviral adalah terkait dengan kelangsungan hidup berkepanjangan. Sedangkan monoterapi berhubungan dengan satu tahun atau kurang dari kelangsungan hidup tambahan, kelangsungan hidup manfaat yang diberikan oleh terapi kombinasi tampaknya berkelanjutan untuk waktu yang lama. Toksisitas jangka panjang berhubungan dengan pengobatan dapat meliputi aterosklerosis, lipodistrofi, gagal hati, dan gagal jantung. Para peneliti masih mengevaluasi dampak dari toksisitas pada kematian HIV / AIDS (Bertozzi et al, 2009). Pengobatan Alternatif Di banyak Negara berkembang, termasuk juga Negara-negara maju saat ini sudah mulai dilakukan eksperimen untuk mengembangkan system pengobatan alternative untuk pengidap HIV seperti aromaterapi, pijat, diet khusus, akupuntur, dan sebagainya. Sejumlah obat-obatan yang dibuat dari daun-daunan (herbal medicine) juga semakin popular dikembangkan, contohnya di negara China. Misalnya: Astralagus membraneus, yang berfungsi meningkatkan system kekebalan, Lonicera Japonica dan Hericum perforatum juga mampu menghambat kerja HIV. Obat-obat herbal lainnya adalah Bitter mellon yang bersifat abortivum (merangsang keguguran) juga mengandung zat anti HIV (liquorice) yang mampu menghambat perpindahan HIV dari sel satu ke sel lainnya di dalm tabung percobaan. Obat ini juga dapat mengurangi keluhan berkeringat malam hari dan gejala diare pengidap HIV. Hanya sayangnya, penggunaan obat-obatan tradisional belum dapat dilakukan secara luas karena uji cobanya hanya dilakukan dalam waktu yang terbatas dan pada jumlah pasien yang terbatas pula sehingga efektifitasnya juga masih perlu diuji (Muninjaya. MPH, 1999). 6 DAFTAR PUSTAKA Family Health International (FHI). 2009. Media dan HIV/AIDS. Jakarta: FHI East Timor. pp.1-5. Muninjaya. MPH, Dr.A.A. Gde. 1999. AIDS di Indonesia; Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta: EGC. Bertozzi, Stefano., Padian, Nancy S., Wegbreit, Jeny., De Maria, Lisa M., Feldman, Becca., Gayle, Helene., Gold, Julian., Grant, Robert., and T. Isbell, Michael. 2009. HIV/AIDS Prevention and Treatment, Disease Control Priorities in Developing Countries Journal. pp. 354-355. Rosa, Selvy., Hidayati, Nurul., Suliska, Nova., Tempatih P, Yulia., dan Chandra S, Shendy. 2000. HIV/AIDS 1. Yogyakarta: FMIPA UNY Press. 7