PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HINDU Oleh I Ketut Suda Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI, Denpasar I. PENDAHULUAN Dilihat dari perspektif sejarah, masalah pendidikan di Indonesia sebenarnya telah dikenal sejak abad ke.3—4 pada jaman kerajaan Hindu di Kutai, Kalimantan Timur. Hal ini dapat dilihat dari bukti sejarah peninggalan Raja Mulawarman berupa batu bertulis dan bangunan dari kayu yang bertuliskan huruf Palawa dalam bahasa Sanskerta. Namun, pendidikan pada zaman itu, hanya ditujukan untuk kalangan Brahmana saja dan dengan memimjam istilah Barnadib (1983:11) dapat dikatakan pendidikan saat itu hanya ditujukan untuk golongan kasta-kasta saja. Hal ini disebabkan kewajiban kaum Brahmana adalah untuk mencerahkan dan menghubungkan antara rakyat dengan para Dewata. Demikian halnya yang terjadi di kerajaan Tarumanegara Jawa Barat, pada abad ke-5 telah dikenal adanya pelajaran membaca dan menulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada jaman itu telah berlangsung proses pendidikan, akan tetapi tidak diketahui secara jelas bagaimana sistem pendidikan itu dijalankan dan siapa para gurunya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya pada abad ke-6 di Sumatra Selatan, tepatnya di Palembang berdirilah kerajaan Sriwijaya yang diperintah oleh Raja turunan Syailendra yang beragama Budha. Pendidikan pada jaman itu sudah mulai agak berkembang, terbukti di beberapa tempat seperti Palembang, Jambi, dan Bangka ditemukan bukti sejarah berupa batu bertuliskan huruf Palawa dalam bahasa Melayu Tua bercampur dengan perkataan-perkataan dalam bahasa Sanskerta. Melalui pelajaran membaca dan menulis anak-anak dididik dengan tujuan agar menjadi orang yang baik, dalam arti dapat menulis dengan baik, bekerja yang baik, jujur, dan teliti (Barnadib (1983:16). Meski tidak dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan persekolah seperti yang ada sekarang ini telah berkembang di Indonesia sejak abad ke-5 atau ke-6, karena tidak ditemukan bukti-bukti, tetapi jika dilihat dari tujuan pendidikan yang berkembang saat itu, dapat dibangun sebuah pemahaman bahwa pada jaman kerajaan Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya di Indonesia telah diletakan dasar-dasar filsafat eksistensialisme dan essensialisme dalam proses pendidikan umat manusia. Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus dapat menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin, sementara secara esensialisme pendidikan itu harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik individu maupun kelompok (Depdiknas,2008:4). Dengan mengacu pada filosofi eksistensialisme dan essensialisme maka pendidikan pada hakikatnya diarahkan untuk menumbuhkembangkan manusia menuju kemanusiannya (humanisme). Hal senada dikemukakan Paulo Freirre (dalam Suda, 2013:11) bahwa pendidikan merupakan suatu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia yang terhindar dari berbagai penindasan, kebodohan, dan ketertinggalan (memanusiakan manusia). Namun, dalam kenyataannya yang terjadi, seperti dikatakan Johar (dalam Assegaf, 2004:13) bahwa pendidikan di Indonesia saat ini justru berpotensi menghasilkan kenakalan remaja, kriminalitas, manusia-manusia koruptor, sikap ketergantungan sosial, dan disintegrasi bangsa. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka yang menjadi tema menarik untuk didiskusikan adalah adakah suatu nilai dalam model pendidikan Hindu yang dapat ditafsir sebagai nilai yang mengarah pada ‘’Pendidikan Anti Korupsi’’? II. Pembahasan a. Hakikat Pendidikan Menurut Hindu Setelah saya mencoba melacak beberapa pustaka untuk mencari sumber mengenai hakikat pendidikan menurut Hindu, ternyata hasilnya nihil. Maksudnya, saya belum menemukan satu sumberpun yang menyebut secara eksplisit apa sebenarnya hakikat pendidikan menurut perspektif Hindu. Namun demikian, beberapa sumber yang saya baca menyebutkan bahwa dasar pengetahuan Hinduisme adalah Veda, sebab Veda sebagai pustaka suci merupakan sumber dari segala sumber pengetahuan, baik yang bersifat rohani maupun sains (Santika, 2011;88). Senada dengan pandangan tersebut Ngurah dkk. (1999:36) menegaskan bahwa Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu, sebagai satu-satunya sumber yang dapat memberi bimbingan, arahan dan petunjuk dalam menjalani kehidupn di dunia ini. Dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 12 disebutkan : Yan paramarthanya, yan arthakama sadhyan, Dharma juga lekasakena rumuhun, niyata Katemwaning arthakama mene tanparamartha wi Ketamwaning arthakama deninganasar saking dharma. Artinya: Pada hakikatnya, jika harta dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diproleh arta dan kama itu nanti, tidak akan ada artinya, jika arta dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma. (Kajeng, dkk.1997:15). Jika sloka di atas diterjemahkan secara bebas kurang lebih dapat diartikan, ketika seseorang dalam hidupnya ingin mendapatkan harta dan kama, maka yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu adalah kewajibannya. Maksudnya, dalam konsep pendidikan Hindu diajarkan bahwa jika seseorang dalam hidupnya ingin mencari harta atau kama, maka jalankanlah kewajibannya terlebih dahulu, maka niscaya harta atau kama itu akan didapat. Atau dengan kata lain sah-sah saja manusia itu mencari harta dan kama asal dalam proses pencariannya didasarkan atas dharma, sebab tidak akan ada artinya ketika harta atau kama itu diperoleh tanpa landasan dharma. Namun, dalam konteks keberagamaan masyarakat dewasa ini, paradigma yang dianut cenderung mulai bergeser, yakni dari anutan paham monotheisme bergeser ke paham moneytheisme (Bawa Atmadja, 2010:76). Hal demikian menurut Piliang (2004:xiii—xiv) menimbulkan implikasi Tuhan lalu membiarkan dunia ‘’berlari’’ tanpa kehadiran-Nya. Manusia ditinggalkan dengan segala hasrat (yakni hasrat akan kekuasaan, kekayaan, dan popularitas) dan dengan segala kegilaan (yakni kegilaan dalam hal ekonomi, politik, media massa, dan informasi) serta dengan segala kehendak (yakni kehendak untuk menguasai, dan kehendak untuk memiliki). Berangkat dari apa yang dikatakan Piliang tersebut, maka manusia dengan akal yang dimiliki menjadi bertambah ego, ditambah ketidakhadiran Tuhan mengakibatkan fungsi agama termasuk fungsi pendidikan yang terkandung dalam Veda, menjadi melemah. Padahal secara teks Tuhan selalu mengontrol tubuh manusia melalui kaidah yang diturunkan-Nya, yakni agama (Turner, 2003). Akan tetapi dalam kenyataanya karena agama formal termasuk anutan agama Hindu mulai melemah, maka dengan meminjam istilah Maguire (2004) agama Pasar (daulat pasar) dengan mudah dapat masuk dan merangkul masyarakat yang telah beragama formal untuk menjadi pengikutnya yang setia. Keberhasilan agama Pasar mempengaruhi masyarakat agar mau menjadi pengikut setianya tidak dapat dilepaskan dari kecerdikan agama Pasar dalam mengeksploitasi hasrat, nafsu, atau keinginan manusia, baik yang bersifat karnal maupun libidinal. Hasrat manusia sebagaimana dikatakan Piliang (1998;2004) tidak pernah berhenti bekerja karena manusia adalah mesin hasrat. Jika mengacu pada Bawa Atmadja (2010), Piliang (1998;2004), dan Maguire (2004) maka dapat dikatakan bahwa berbagai ajaran kebaikan, tujuan hidup, dan berbagai filsafat kehidupan yang termuat dalam kitab suci agama-agama yang dianut oleh manusia saat ini dalam praktiknya mulai terabaikan, karena dalam aplikasinya telah dikalahkan oleh agama Pasar, yang cenderung mengeksploitasi hasrata, nafsu, dan keinginan manusia. Yang dimaksud agama Pasar dalam konteks kajian ini adalah keyakinan masyarakat atas kemampuan pasar untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia. Sebab menurut Cahyono (2005:14) pasar dengan mudah dapat menguasai kehidupan manusia karena segala keinginan mereka bisa dipenuhi lewat pasar sehingga terbentuklah ‘’daulat pasar’’. Pasar sebagai tempat suci agama pasar, dalam perwujudannya tidak saja berbentuk pasar tradisional, tetapi juga pasar modern yang lazim disebut istana belanja atau tempat belanja dan rekreasi. Misalnya, dalam bentuk shopping maal, supermarket, atau hypermarket. Shopping maal atau hypermarket merupakan tempat suci yang amat penting bagi Agama Pasar, sebab istana belanja tersebut tidak saja menyediakan tempat belanja yang menyenangkan, karena ruangannya ber-AC, penataan barang yang indah, dan modern, tetapi juga persediaan barangnya yang lengkap, berlimpah, dan beragam, sehingga pembeli bisa memilih barang yang hendak dibeli secara impersonal, tanpa diganggu oleh pegawainya. Hal ini sangat cocok dengan penguatan individualisme yang berkembang dalam masyarakat saat ini yang pada dasarnya merupakan aspek ikutan dari globalisasi. Menurut Nugroho (2001:28--29) globalisasi yang sedang melanda seluruh dunia saat ini dapat diibaratkan bagaikan pedang bermata dua, yakni di satu sisi proses globalisasi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kelimpahruahan materi secara menakjubkan, sementara di sisi lain globalisasi juga memunculkan segudang permasalahan sosial yang dapat mengancam kelangsungan peradaban umat manusia. Globalisasi ditandai dengan berbagai bentuk perluasan dan integrasi pasar, baik di negara-negara sedang berkembang, maupun di negara-negara maju, seperti pasarpasar regional antar negara. Akibatnya, wilayah-wilayah geografis dan kebudayaan yang sebelum globalisasi bersifat subsisten, berubah menjadi berorientasi pasar. Dampak sosiologis ekspansi pasar adalah munculnya perilaku konsumtif di berbagai kategori usia, lapisan, dan kelompok masyarakat (Suda, 2009:110—111). Berangkat dari apa yang dikatakan Suda dan jika dikaitkan dengan kondisi riil yang sedang berkembang di tengah masyarakat saat ini, maka dapat dikatakan bahwa nilai, norma, dan prinsip-prinsip pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Veda, dalam aplikasinya sudah sangat jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini terjadi mengingat masyarakat saat ini telah terjerat pada kenikmatan hidup konsumerisme sebagaimana ditawarkan oleh Agama Pasar. b. Nilai dalam Konsep Pendidikan Hindu yang Dapat Ditafsir sebagai Pendidikan Anti Korupsi. Selain Sloka dalam kitab Sarasamuscaya sebagaimana tersurat dalam kutipan di atas, salah satu Sloka dalam kitab Menawa Dharmasastra (VIII,14—15) juga dapat diinterpretasikan sebagai pendidikan anti kuropsi. Adapun sloka dimaksud berbunyi: Ytra dharmo hyadharmena Satyam yatranrtena ca, Hanyate preksa mananam Hastastatra sabhasadhah Dharmo ewa hasto hati Dharmo raksati raksatah Tasmaddharmo na hantawyo mano Dharmo hato wadhit Artinya: Di mana keadilan itu dirusak oleh ketidakadilan atau kebenaran dirusak oleh kebohongan, sedangkan hakim melihatnya, maka ia akan dihancurkan, oleh karena itu keadilan jangan dilanggar, sebab melanggar keadilan akan menghancurkan kita sendiri. Jika dicermati secara lebih seksama, kearifan dan ketegasan yang terkandung baik dalam Sarasamuscaya maupun dalam Menawa Dharmasastra sebagaimana disebutkan di atas dan mungkin juga dalam sloka-sloka yang lain, maka dapat dikatakan dalam konsep pendidikan Hindu sesungguhnya banyak terdapat nilai-nilai kearipan sosial yang dapat diinterpretasikan sebagai nilai pendidikan anti korupsi. Seperti kalimat ‘’tidak akan ada artinya, jika harta dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma’’ dalam sloka 12 kitab Sarasamuscaya, secara jelas menawarkan sebuah konsep kejujuran yang seharusnya dijalankan oleh umat Hindu, dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Demikian pula pada kalimat ‘’keadilan jangan dilanggar, sebab melanggar keadilan akan menghancurkan kita sendiri’’ pada sloka VIII, 14—15, kitab Menawa Dharmasastra, mencerminkan betapa sesungguhnya ajaran dalam kitab suci Hindu melarang umatnya untuk berbuat tidak jujur, bertindak tidak adil, menjalankan segala sesuatu atas dasar adharma dan lain sebaginya. Demikian halnya dengan nilai ketaatan yang tertuang dalam kitab Atharva Veda, yang mengatakan: ‘’…hendaknya kamu bekerja dengan kesungguhan, kedisiplinan, dan kejujuran. Jika kamu bekerja dengan kesungguhan, kedisiplinan, dan kejujuran, maka hasil kerja yang diperoleh berlimpah ruah seribu kali…’’ (Atharva Veda III.24.5) Nilai pendidikan yang paling mencerminkan konsep pendidikan anti korupsi dalam ajaran Hindu adalah Asteya (yakni larangan mencuri) seperti yang disebutkan dalam Sloka 149 Kitab Sarasamuscaya sebagai berikut. Yapwan mangke kraman ikang wwang, angalap maasning mamaas, makapanghada kasaktinya, kwehning hambanya, tatan mas nika juga inalap nika, apa pwa dharma, artha, kama nika milu kaalap denika. Artinya: Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang pada kekuatannya dan banyak pengikutnya, malahan bukan harga kekayaan hasil curiannya saja yang terampas darinya, tetapi juga dharma, artha, dan kamanya itu turut oleh karena perbuatannya. Dari beberapa kutipan di atas dengan jelas terlihat bahwa betapa sesunguhnya niali-nilai kejujuran, kedisiplinan, larangan untuk merampas hak orang lain dan ketaatan terhadap nilai-nilai dan norma-norma kehidupan telah termuat dalam kitab suci agama Hindu. Hal demikian mengandung arti bahwa dalam konsep pendidikan Hindu sebenarnya sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan yang mengarah pada pendidikan anti korupsi, meskipun tidak satupun sloka dalam kitab suci Hindu yang menyebut secara eksplisit istilah pendidikan anti korupsi. Meski larangan untuk mencuri dan merampas hak orang lain demikian eksplisitnya ditegaskan dalam kitab suci Veda, namun dalam kenyataannya sebagaimana disinggung dalam uraian di atas, bahwa Agama Pasar yang telah menyediakan barang secara melimpah tidak saja mengakibatkan manusia menotemkan barang, tetapi juga melahirkan pula manusia yang hedonis dan konsumtif. Kondisi demikian tentu dapat membuat manusia merasa kecanduan dengan uang, yang pada akhirnya bermuara pula pada goyahnya moral dan iman manusia itu sendiri. Dengan meminjam gagasan Nadesul (2005:5) dapat dikatakan otak gelisah jika tidak berbuat serong dan mata akan semakin hijau jika melihat uang. Hal demikian tentau dapat berimplikasi bagi tindakan manusia untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang termasuk melakukan korupsi dengan mengabaikan berbagai nilai kearipan sosial sebagaimana termuat dalam kitab suci Veda. Hal ini menjadi semakin subur, karena keinginan manusia untuk kaya secara instan, yang menurut Ritzer (2002) disebut McDonaldisasi telah menjadi roh masyarakat dewasa ini. Akibatnya, masyarakat tidak pernah mempertanyakan bagaimana proses seseorang menjadi kaya, yang penting mereka memiliki banyak uang. Apalagi dengan uang yang mereka miliki, mereka berperilaku dermawan, seperti suka menyumbang dalam penyelesaian proyek di desa, maka kekaguman masyarakat terhadap orang seperti itu, semakin hebat. Sebab mereka tidak saja menjadi buah bibir di kalangan masyarakat desa, tetapi bisa juga melegenda dalam kehidupan masyarakat. Hal demikain dapat mengakibatkan banyak orang yang ingin kaya secara instan dan mengabaikan cara ataupun proses yang dibenarkan menurut agama (Bawa Atmadja, 2010:118). Berangkat dari uraian di atas, maka dapat dibangun sebuah pemahaman baru bahwa, meski secara konsepsional banyak nilai kearipan sosial dalam ajaran Veda yang dapat ditapsir sebagai nilai pendidikan anti korupsi, tetapi dalam kenyataanya saat ini, banyak orang yang mematikan agama Hindu dalam dirinya, sebaliknya mereka menganut Agama Pasar, sehingga tanpa ada rasa takut berdosa, malu, dan takut menanggung karma phala, mereka melakukan tindakan menyimpang, seperti menipu dengan bertopengkan paica, mencari nomor buntut di pura, mengkomodifikasikan kematian untuk mendapatkan uang duka, dan korupsi. c. Fenomena Pendidikan Kita Saat ini Menurut Undang-Undang No.20/2003 pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berangkat dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan sesungguhnya diarahkan untuk membentuk manusia yang utuh, baik lahir maupun batin, sehingga mampu mempertahankan eksistensi dan kebutuhan dirinya secara optimal (filosofi eksistensialisme dan essensialisme pendidikan). Dengan bahasa lainya dapat dikatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan tidak hanya berparadigma instrumentalis tetapi juga berparadigma pencerahan. Namun, dalam kenyataannya dengan meminjam gagasan Bambang Sudibyo dalam Suda (2013:1) masuknya sistem ekonomi pasar sejak awal tahun 1970-an ke Indonesia ternyata berpengaruh terhadap sistem kelembagaan sosial yang ada, termasuk lembaga pendidikan. Artinya, masuknya sistem ekonomi pasar ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia mengakibatkan kelembagaan sosial mengadaptasikan sistem ekonomi kemerosotan, bahkan kebangkrutan. pasar secara yang tidak mampu pelan-pelan akan mengalami Dengan demikian mau tidak mau lembaga-lembaga sosial, termasuk lembaga pendidikan secara perlahan tetapi pasti harus mengikuti sistem ekonomi pasar dalam menjalankan roda kehidupannya. Akibatnya, kapitalisasi pendidikanpun sulit dihindari, sehingga pendidikan yang seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, nilainilai keilmiahan, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai kebajikan, sebagai nilai dasar dalam pencaharian pengetahuan, kini dipandang sebagai alat kebenaran untuk mencari keuntungan, sebagai refleksi keberpihakan kebijakan pendidikan pada kekuasaan kapital (Piliang, 2004). Bukan hanya itu, kuatnya pengaruh komersialisasi menerpa dunia pendidikan saat ini ternyata berimplikasi pula terhadap penggunaan labeling oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Misalnya, ada sekolah yang berlabel unggulan, RSBI/SBI, sekolah favorit, dan sebutan lain yang senada. Jika hal ini didekonstruksi, maka di balik kegandrungan masyarakat menggunakan label-label semacam itu ada logika Darwinisme Sosial. Artinya, sekolah-sekolah unggulan, favorit, RSBI/SBI hanya menerima dan atau mencetak manusia unggul secara intelektual dan untuk itu butuh dana yang cukup besar. Akibatnya, para siswa yang masuk ke sekolah-sekolah model itu tidak saja harus unggul dalam hal intelektual, tetapi juga harus unggul dalam hal kepemilikan modal, baik ekonomi, social, budaya, maupun modal simbolik. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki modal-modal itu harus rela tersisih dan dapat dikatakan kemajuan masyarakat dewasa ini hanya menjadi milik mereka yang unggul (Bawa Atmadja, 2009:5). Sistem demikian selain dapat mendiskriminasi masyarakat yang berasal dari golongan tidak mampu juga dapat membangun filsafat hidup positivisme-materialisme dan gaya hidup ekonomi-kapitalistik. Dalam pandangan hidup positivisme-materialisme dan gaya hidup enkonomi-kapitalistik kecenderungan perilaku manusia adalah memperoleh kekayaan material sebanyak mungkin melalui cara apapun (Suhartono, 2008:28—29). Ketika lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi landasan kuat untuk pembentukan karakter siswa telah diresapi oleh nilai-nilai ekonomi-kapitalistik dan filosofi positivistik-materialistik, maka hakikat pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam UU No.20/2003 dan oleh Freire (2002) tidak akan pernah terwujud dalam praksis kehidupan masyarakat. Atau dengan bahasa lain, ketika lembaga pendidikan telah jauh mengadopsi gaya hidup ekonomi kapitalistik dan filsafat hidup positivistik-materialistik, maka dapat dikatakan lembaga pendidikan telah ikut meletakan dasar bagi terbangunnya mentalmental para siswa yang bersifat Materialisme-Konsumerisme, yang pada akhirnya dapat bermuara pada cara-cara hidup yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan kekayaan material. Ditambah pandangan masyarakat yang menganggap pelajaran agama di sekolah sebagai pelajaran kelas dua, maka semakin cepat pula pembentukan sikap paositivistik-materialistik pada diri para siswa itu sendiri. Dikatakan demikian sebab di balik romantisme ekonomi kapitalistik yang melanda dunia sekolah saat ini, tanpa disadari terjadi ‘’kanibalisme intelektual’’ yang pada waktunya nanti siap menghancurkan realitas kehidupan ini. Maksudnya, baik guru maupun siswa dengan sistem demikian sama-sama terjebak ke dalam moralitas konsumeristik, akibat filsafat dan gaya hidup sebagaimana diuraikan di atas. Moralitas demikian selain memakan korban manusia itu sendiri, juga cenderung mengorbankan alam dengan berbagai sumber daya yang ada. Pasalnya, ketika manusia terjerat pada gaya hidup ekonomi-kapitalistik mereka akan selalu merasa berkekurangan sehingga dengan modal yang dimiliki, mereka senantiasa berusaha untuk meraih materi sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan apakah cara-cara yang ditempuh dibenarkan oleh agama atau tidak. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada kehidupan ekonomi-kapitalistik bukan tidak mungkin dapat melahirkan sikap mental yang amoral, atheis, dan tidak humanis yang pada akhirnya dapat menggiring para lulusan sekolah memiliki mental korup yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan ajaran agama. Buktinya, banyak mantan pejabat negara yang terjerembab ke balik jeruji besi karena melakukan tindak pidana korupsi, yang notebene mereka-mereka itu merupakan tamatan dari lembaga-lembaga pendidikan sekolah. III Penutup Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa simpulan antara lain: Pertama, dalam ajaran Hindu, Veda sesungguhnya merupakan sumber dari segala sumber pengetahuan, baik yang berupa sains, maupun yang bersifat kerohanian. Kedua, dalam Veda sebenarnya banyak nilai yang dapat diinterpretasikan sebagai pendidikan antikorupsi, seperti; Sloka dalam kitab Menawa Dharmasastra (VIII,14—15); (Atharva Veda III.24.5); Sloka 149 Kitab Sarasamuscaya, dan banyak lagi sloka-sloka lainnya yang dapat diinterpretasikan sebagai pendidikan anti korupsi. Ketiga, fenomena social budaya yang melanda pendidikan kita saat ini adalah masuknya sistem ekonomi kapitalistik ke sekolah termasuk ke ruang-ruang kelas. Hal demikian dapat berakibat, sekolah tidak lagi semata-mata sebagai wahana untuk memanusiakan manusia, tetapi juga telah dipandang sebagai alat kebenaran untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. DAFTAR PUATAKA Assegaf, A.B.D Rahman.2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep.Yogya: Tiara Wacana Yogya. Atmadja Nengah Bawa, 2010. Ajeg Bali Gerakan Identitas Cultural dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS. Atmadja Negah Bawa, 2009. Sekolah + = Komersialisasi Pendidikan? Makalah Diseminarkan. Barnadib Sutari Imam, 1983. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Andi OFFSET. Depdiknas RI, 2006.Undang-Undang Republik Indonesia No.20/2003. Tentang Sistem Pendidikan nasional. Depdiknas, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2008. Panduan Pelaksanaan Pembinaan Rintisan Sekolah Sekolah Menengah Pertama Internasional (RSBI/SBI). Kadjeng, I Nyoman dkk. 1997. Sarasamuscaya.Surabaya: Paramita. Maguire, D.C.2004. Energi Suci Kerja Sama Agama-Agama untuk Menyelamatkan Masa Depan Manusia dan Dunia. (Ali Noer Jaman, Penerjemah). Yogyakarta : Pohon Sukma. Nadesul,H. 2005. ‘’Tikus juga Doyan Uang’’ Harian Kompas, kamis, 14 April 2005:Halaman 5. Ngurah I Gusti Made,1999. Buku Pendidikan Hindu untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita. Nugroho, Heru, 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Piliang, Amir Yasraf,2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Pudja G. dan Cokorda Rai Sudharta,1978. Menawa Dharma Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. Ritzer, George, 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrang Telaah Kritisterhadap Gelombang McDonaldisasi. (Solichin Didik P. Yuwono, Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santika I Ketut, 2011. Pendidikan Menurut Veda Shadana Spiritual bagi Generasi Muda. Surabaya: Paramita. Suhartono, Suparlan, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta; AR-RUZZ MEDIA GROUP. Suda I Ketut, 2009. Merkantilisme Pengetahuan dalam Bidang Pendidikan. Surabaya:Paramita. Suda I Ketut, 2013a. Nilai-Nila Pendidikan Hindu dalam Ceritra Rakyat dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat India. Hasil Penelitian Posdoktoral and Sanwich Program for Riseach on Hindu Tradition India. Suda I Ketut. Peluang Pengembangan Pendidikan di Kabupaten Tabanan Berdasarkan Kondisi Eksisting, Kualitas SDM, Peluang dan Kebutuhan SDM yang Sesuai. Makalah yang diseminarkan dalam workshop dan FGD ‘’Analisis diagnostic Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kerja Sesuai dengan Kebutuhan Daerah yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan RI, di Hotel Dewi Sinta Tanah Lot Tabanan, Kamis 21 Nopember 2013.