DASAR LOGIKA untuk ILMU SOSIAL 1. Definisi Logika Secara

advertisement
DASAR LOGIKA untuk ILMU SOSIAL
1. Definisi Logika
Secara singkat dapat dikatakan: logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk
berpikir lurus (tepat). Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan tentang pokok yang
tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan seperti ini terjadi dengan
menunjukkan sebab-musababnya (asbabunnuzul).
Logika juga merupakan ilmu pengetahuan dalam arti ini. Lapangan ilmu pengetahuan
ini adalah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat. Agar dapat
berpikir lurus, tepat dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum
hukum yang ditepati
Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus, tepat dan sehat, kita
dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu kecakapan. Hal ini menyatakan bahwa
logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan suatu ketrampilian unruk menerapkan
hukum hukum pemikiran dalam praktek. lnilah sebabnya mengapa logika disebut filsafat
praktis.
Berpikir adalah objek material logika. Yang dimaksudkan dengan berpikir di sini
ialah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia “mengolah”,
“mengerjakan” pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan
mengerjakannya, ia dapat memperoleh kebenaran. Pengolahan, pengerjaan ini terjadi dengan
mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang
satu dengan pengertian lainnya. Karena itu obyek material logika bukanlah bahan-bahan
kimia atau salah satu bahasa, misalnya. Tetapi bukan sembarangan berpikir yang diselidiki
dalam logika.
Dalam logika berpikir dipandang dari sudut kelurusan, ketepatannya. Karena itu
berpikir lurus, tepat, merupakan objek formal logika. Kapan suatu pemikiran disebut lurus?
Suatu pemikiran disebut lurus,tepat, apabila pemikiran itu sesuai dengan hukum-hukum serta
aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika. Kalau peraturan-peraturan itu ditepati,
dapatlah berbagai kesalahan atau kesesatan dihindarkan.
Dengan demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan lebih
aman. Semua ini menunjukkan bahwa merupakan suatu pedoman dan pegangan untuk
pemikiran.
2. Macam-macam Logika
Logika dapat dibedakan atas dua macam. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Kedua macam logika itu ialah logika kodratiah dan logika ilmiah.
2.1. Logika Kodratiah
Akal budi dapat bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara yang spontan.
Tetapi dalam hal-hal yang sulit baik akal budinya maupun seluruh diri manusia dapat dan
nyatanya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang
subyektif. Selain itu baik manusia sendiri maupun perkembangan pengetahuannya sangat
terbatas.
Hal-hal ini menyebabkan bahwa kesesatan tidak dapat dihindarkan. Namun dalam diri
manusia sendiri juga terasa adanya kebutuhan untuk menghindarkan kesesatan itu. Untuk
menghindarkan kesesatan itu diperlukan suatu ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang
harus ditepati dalam setiap pemikiran.
2.2. Logika Ilmiah
Logika ilmiah membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus,
mempertajam pikiran serta akal budi. Berkat pertolongan logika ini dapatlah akal budi
bekerja dengan lebih tepat, Iebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Dengan demikian
kesesatan juga dapat dihindarkan atau, paling tidak, dikurangi. Logika ilmiah inilah yang
dibicarakan dalam diktat ini.
3. Sejarah Logika
3.1. Yunani kuno
Kaum Sofis beserta Plato (427-347 seb. Kr.) telah merintis dan memberikan saran-saran
dalam bidang ini. Sokrates (469-399 seb.Kr) dengan “metode bidan” (metode mayeutis)-nya
juga telah banyak memberikan dasar bagi logika. Namun, penemuan yang sebenarnya baru
terjadi oleh Aristoteles (384-322 seb. Kar), Thophrastus (372-287 seb. Kr.) dan kaum Stoa.
Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama “to
Organon. Ke-enam buku itu adalah :
1. Categoriae (tentang pengertian-pengertian),
2. De Interpretatione (tentang keputusan),
3. Analytica Priora (tentang sillogisme),
4. Analytica Posteriora (tentang pembuktian)
5. Topica (tentang metode berdebat) dan
6. De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir).
Theophrastus memperkembangkan logika Aristoteles ini. Sedangkan kaum Stoa,
terutama Chrysippus (280-207 seb.Kr.) mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistemaris.
Logika lalu mengalami sistematisisi. Hal ini terjadi dengan mengikuti merode ilmu ukur.
Ini terutama dikembangkan oleh Galenus (130-201) dan Sextus Empiricus ( 200). Kemudian
logika mengalami masa dekadensi. Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali.
Namun, masih ada juga yang pantas disebut pada masa itu. Karya-karya itu ialah Eisagoge
dari Porphyrius (232-305), Fons scientiae dari Johanes Damascenus (674-749) dan komentarkomentar dari Boethius (480-524).
3.2. Abad Pertengahan (abad IX-XVI)
Pada masa itu masih dipakai buku-buku, seperti De Interpretatione dan Categoriae
(Aristoteles), Eisagoge (Porphyrius) dan buku buku dari Boethius (abad XII-XIII). Ada usaha
untuk mengadakan sistematisasi dan komentar-komentar. Usaha ini dikerjakan oleh Thomas
Aquinas (1224-1274) dan kawan-kawannya. Mereka juga serentak mengembangkan logika
yang sudah ada.
Logika moderen muncul dalam abad XIII-XV. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini
ialah Petrus Hispanus (1210-1274), Roger Bacon (1214 1292), Raymundus Lullus (12321315), Wilhelmus Ockham (1295 1349) dan lain-lain. Khususnya Raymundus LuIIus
menemukan suatu metode logika yang baru. Metode itu disebut Art Magna, yang merupakan
semacam aljabar pengertian. Aljabar ini bermaksud membuktikan kebenaran-kebenaran yang
tertinggi. Kemudian logika Aristoreles mengalami perkembangan yang murni. Logika itu
dilanjurkan oleh beberapa tokoh, seperti Thomas Hobbes (1588 1679) dalam Leviaran-nya
dan John Locke (1652-1704) dalam An Essay concerning Human Understanding-nya. Namun
tekanan yang mereka berikan sebenarnya juga berbeda-beda. Di sini ajaran-ajaran Aristoteles
sudah diberi warna nominalistis yang sangat kuat (bdk. Wilhelmus Ockham dan kawankawannya).
3.3. Eropa Moderen (abad-XVlII –XVIII/XX )
Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis Bacon
(1561-1626) mengembangkan metode induktif. Ini terutama dinyatakannya dalam bukunya
Novum Organum Scientiarum. W. Leibnitz (1646-1716) menyusun logika aljabar (bdk. Ars
Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi
dan lebih memberikan kepastian.
Logika Aristoteles masih diperkembangkan dalam jalur yang murni. Ini dijalankan,
misalnya, oleh para Neo-Thomis. Tradisi Aristoteles dilanjutkan juga dengan tekanan pada
induksi. Hal ini nampak antara lain dalam buku “System of Logic”-nya J.S. Mill (18061873). Logika metafisis mengalami perkembangannya dengan Immanuel Kant (1724-1804).
Dia menamainya logika transendental. Dinamakan logika karena membicarakan bentukbentuk pikiran pada umumnya. Dan dinamakan transendental karena mengatasi batas
pengalaman. Kemudian logika menjadi sekadar suatu peristiwa psikologis dan rnetodologis.
Hal ini, misalnya, diperkembangkan oleh W. Wundt (1832-1920), J. Dewey (1859-1952) dan
J. M. Baldwin (1861-1934).
Dan akhirnya logistik pada abad XIX dan XX. Ini terutama diperkembangkan oleh A.
de Morgan (1806-1371), G. Boole (1815-1864), W. S. Jevons (1835-1882), E. Schroder
(1841-1902), B. Russel (1872-L970), G. Peano (l958-1932) dan masih banyak nama yang
lain lagi.
3.4. India
Logika lahir karena Sri Gautama (563-483 seb.Kr.) sering berdebat dengan golongan
Hindu fanatik yang menentang ajaran kesusilaannya. Dalam Nyaya Sutra logika diuraikan
secara sistematis. Ini mendapat komentar dari prasastapada (abad V ses. Kr.). Komentar ini
kemudian disempurnakan oleh para penganut Buddha lainnya terutama Dignaga (abad VI
seb. Kr)
Kemudian logika terus diakui sebaqai metode berdebat. Lantas muncullah berbagai
komentar seperti ying dibuat oleh Uddyotakara (abad VII seb. Kr.), Udayana (abad X seb.
Kr) dan lain-lain. Mereka ini hanya menyusun serta meningkatkan sistematisasi ajaran-ajaran
klasik saja. Muncullah yang disebut Navya Nyaya (abad XIII) ini merupakan pengintegrasian
secara kiitis ajaran-ajaran golongan Brahmanisme, Buddhisme dan Jainisme.
3.5. Indonesia
Nampaknya logika belum begitu dipahami maknanya. Baru sedikit orang saja yang
menaruh perhatian secara ilmiah pada logika. Kiranya sudah tiba waktunya untuk
memperluas serta mengembangkan studi tentang logika itu. Di sana sini usaha untuk itu
sudah mulai nampak dan membawa hasil juga perluasan serta pengembangan ini merupakan
salah satu usaha yang raksasa. Dan usaha itu mempertinggi taraf inteligensi setiap orang
Indonesia dan bangsa Indonesia seluruhnya.
4. Pembagian Logika
4.1. Logika memang menyelidiki hukum-hukum pemikiran.
Penyelidikan itu terjadi dengan menguraikan unsur-unsur pemikiran tersebut.
Penguraian unsur-unsur itu menunjukkan bahwa pemikiran manusia sebenarnya terdiri atas
unsur-unsur yang berikut :
Pertama ialah pengertian-pengertian.
Kedua ialah pengertian-pengertian disusun sedemikian rupa sehingga menjadi keputusankeputusan.
Ketiga ialah keputusan-keputusan menjadi penyimpulan-penyimpulan.
Namun demikian pemikiran manusia bukanlah suatu kegiatan yang terjadi di dalam
batin saja. Pemikiran itu juga nampak dalam tanda-tanda lahiriah. Berbicara merupakan tanda
lahiriah dari pemikiran. Karena itu kata-kata adalah tanda-tanda lahiriah pengertianpengertian, kalimat-kalimat tanda-tanda lahiriah keputusan-keputusan dan pembuktianpembuktian tanda-tanda penyimpulan-penyimpulan.
Karena itu logika membicarakan baik pengertian-pengertian, maupun kata-kata, baik
keputusan-keputusun, kalimat-kalimat, dan akhirnya baik penyimpulan-penyimpulan maupun
pembuktian-pembuktiannya.
4.2. Ketiga unsur yang baru disebut ini merupakan tiga pokok kegiatan akal budi manusia.
Ketiga pokok kegiatan akal budi itu ialah:
1. Menangkap sesuatu sebagaimana adanya. Artinya, menangkap sesuatu tanpa mengakui
atau memungkirinya.
2. Memberikan keputusan. Artinya, menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian
lainnya atau memungkiri hubungan itu.
3. Merundingkannya. Artinya, menghubungkan keputusan keputusan sedemikian rupa,
sehinggu dari satu keputusan atau lebih, orang sampai pada suatu kesimpulan.
Logika terutama menyentuh bagian yang akhir ini. Namun untuk sampai kepada
kesimpulan, lebih dahulu orang harus menyelidiki unsur-unsur lainnya. Dan unsur-unsur
lainnya yang harus diselidiki lebih dahulu itu adalah pengertian-pengertian dan keputusankeputusan.
5. Pentingnya belajar Logika
Logika membantu orang untuk berpikir lurus, tepat dan terarur. Dengan berpikir
demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan. Dalam semua bidang
kehidupan manusia menggunakan pikirannya Ia juga mendasarkan tindakan-tindakannya atas
pikiran itu.
Semua ilmu pengetahuan hampir tidak dapat dilepaskan dari logika. Logika juga
memperkenalkan ilmu filsafat. Selain itu logika terutama memaksa serta mendorong orang
untuk berpikir sendiri. Akhirnya, manusia pada umumnya mendasarkan tindakan-tindakannya
atas pemikiran, pertimbangan-petimbangan yang obyektif. Demikian juga halnya dengan
orang-orang Indonesia sebagai pribadi dan sebagai bangsa. Bangsa Indonesia kiranya
membutuhkan orang orang yang sungguh berpikir tajam dan dapat berpikir sendiri. Dari
orang orang seperti inilah dapat diharapkan bimbingan serta pembinaan yang tepat untuk
seluruh bangsa.
Logika Induktif
Logika induktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan
yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh
jadi’
Pemakaian logika induktif ini berbahaya karena bisa terjadi terlalu cepat mengambil
kesimpulan yang berlaku umum, sementara jumlah kasus yang digunakan dalam premis
kurang memadai. Selain itu pula, kemungkinan premis yang digunakan kurang memenuhi
kaedah-kaedah ilmiah.
Ciri-ciri logika induktif antara lain:
1. Sintesis. Kesimpulan ditarik dengan mensintesakan kasus-kasus yang digunakan
dalam premis-premis.
2. General. Kesimpulan yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak
3. Aposteriori. Kasus-kasus yang dijadikan landasan argumen merupakan hasil
pengamatan inderawi. Kesimpulan tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak
(ada aspek probabilitas)
Secara umum, logika induktif sulit untuk dibuktikan kebenaran/ke-reliable--annya dilihat
dari ciri-cirinya.
Sebagai contoh:
Strong Inductive/Induktif kuat
Besi (logam) apabila dipanaskan memuai
Perunggu (logam) apabila dipanaskan memuai
Perak (logam) apabila dipanaskan akan memuai
Jadi, logam (besi, perunggu, perak) apabila dipanaskan akan memuai.
Buktinya sangat kuat. Hampir semua logam bila dipanaskan akan memuai.
Weak Inductive/Induktif lemah
Apel di Toko A rasanya manis
Apel di Toko B rasanya manis
Apel di Toko C rasanya manis
Jadi, semua apel rasanya manis.
Buktinya lemah. Tidak semua apel rasanya manis, karena ada juga apel yang rasanya masam.
Dari contoh di atas antara Strong Inductive dan Weak Inductive, bisa diambil kesimpulan
bahwa logika induktif bisa menjadi reliable ketika kebanyakan orang sudah pernah
mengalaminya sendiri atau menurut pendapat kebanyakan orang secara global.
Logika Deduksi
Pengertian logika deduktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip
penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan
sebagai kemestian yang diturunkan dari pangkal pikiran yang jernih atau sehat’. Atau logika
deduktif adalah ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hokum-hukum dalam berfikirm
hokum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berfikirnya benar dan mencapai kebenaran’
(Sudiarja, dkk., 2006; Copi, I.M. 1978).
Dalam kajian logika deduktif, secara umum macam-macam definisi dibedakan
menjadi tiga, yaitu:Definisi nominalis, yaitu ‘definisi yang menjelaskan sebuah istilah’.
Definisi nominalis dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) definisi sinonim, yaitu penjelasan
dengan memberi arti persamaan dari istilah yang didefinisikan. Contoh: Valid adalah ‘sahih’;
Sawah-ladang adalah ‘lahan pertanian terbuka’, Universitas adalah lembaga pendidikan
tinggi tempat mendidik mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
sebagainya; (2) definisi simbolik, yaitu penjelasan dengan memberikan persamaan dari istilah
berbentuk simbol-simbol. Contoh, ( p => q ) = df – ( p Λ – q ), di baca, Jika p maka q,
didefinisikan non (p dan non q); dan (3) definisi etimologis, yaitu penjelasan istilah dengan
memberikan uraian asal usul istilah atau kata tersebut. Contoh. pengertian kata ‘filsafat’
berasal dari bahwa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang
berarti kebijaksanaan, dan sebagainya.
Definisi realis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu atau hal yang ditandai oleh suatu
istilah’. Definisi realis dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) definisi essensial, yaitu penjelasan
dengan cara menguraikan bagian penting atau mendasar tentang sesuatu hal yang
didefinisikan. Contoh, definisi ‘manusia’, adalah makhluk yang mempunyai unsur jasad, jiwa
dan ruh; Definisi ‘nilai’, adalah sesuatu yang diagungkan atau dijadikan pedoman hidup; (2)
definisi deskriptif, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat atau ciri-ciri yang
dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan. Contoh, Bangsa Indonesia adalah ‘bangsa yang
menjunjung tinggi nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan’,
dan sebagainya.
Definisi praktis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu istilah atau kata dari segi manfaat
dan tujuan yang hendak dicapai’. Contoh: (1) ‘filsafat’ adalah ‘pemikiran secara kritis,
sistematis, rasional, logis, mendalam dan menyeluruh untuk mencari hakikat kebenaran’; (2)
‘Universitas atau Institut’ adalah lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik dan mencetak
sarjana yang berkualitas yang berguna bagi masyarakat’ (Mundiri, 1994; Maram.R.R. 2007).
Ciri-ciri dari logika deduktif adalah:
1. Analitis Kesimpulan daya tarik hanya dengan menganalisa proposisi-proposisi atau
premis-premis yang sudah ada
2. Tautologies. Kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat sudah terkandung
dalam premis-premisnya
3. Apirori. Kesimpulan ditarik tanpa pengamatan indrawi atau operasi kampus.
4. Argument deduktif selalu dapat nilai sahih atau tidaknya.
Penyimpulan deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip atau dalil atau
kaidah atau hukum menuju contoh-contoh (kesimpulan dari umum ke khusus). Contoh: (a) –
Setiap agama mengakui adanya Tuhan; – Budiman pemeluk agama Islam; – Jadi, Budiman
mengakui (beriman) kepada Tuhan Yang Esa; (b) – Universitas Gadjah Mada mempunyai
beberapa fakultas dan program studi; – Ani mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik;
– Jadi, Ani mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Logika deduktif bisa berbahaya apabila salah dalam mengambil/menyusun
kesimpulan. Sebagai contoh:
Pasir adalah material dasar sungai (premis major)
Lempung adalah material dasar sungai (premis minor)
Lempung adalah pasir (kesimpulan)
Semua karyawan di PT. Anaconda mempunyai IQ tinggi (premis major)
Komar bukan karyawan di PT. Anaconda (premis minor)
Komar tidak ber-IQ tinggi (kesimpulan)
Kesalahan ini sering terjadi karena menganggap kata “adalah” selalu berarti “sama dengan”.
Perlu diingat bahwa kata “adalah” tidak selalu berarti “sama dengan”.
LOGIKA ILMU SOSIAL (Metode Ilmiah)
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Metode ilmiah sebagai suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis sebagai pengkajian dari peraturan yang terdapat dalam metode
ilmiah. Metode ilmiah ilmu sosial berkaitan dengan paradigma disiplin ilmu sosial, yang
terdiri dari tiga paradigma (Amal, 1998), yaitu:
1. Positivisme
Dilakukan dengan rangkaian logika deduktif, induktif, hipotesis dan verifikasi. Juga
digunakan statistik (pelengkap induktif).
Berasumsi bahwa pancaindera sebagai alat tangkap untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui panca indera (sense data), segala sesuatu
yang berhubungan dengan kenyataan dan masuk ke dalam kesadaran manusia secara
langsung. Asas positivisme yang dikembangkan oleh kelompok Wina (Der Weiner
Kreis) pada tahun 1929, meliputi asas empirisme (induktif) dan logika (deduktif).
Proses ilmiah positivisme (Wallace, 1971) meliputi: observasi, generalisasi empiris,
penyusunan teori, penyusunan hipotesis, keputusan menerima atau menolak hipotesis
dan penyimpulan logis teori.
2. Konvensionalisme
Asas filsafat konvensionalisme terhadap manusia berpandangan positif, manusia
adalah bebas dan merdeka. Masyarakat adalah prular (sosial dan budaya), sebagai
kumpulan individu yang membentuk kelompok primer.
Ontologi adalah merupakan hasil konvensi, termasuk epistemologinya. Teorinya
bersifat mengerti dan memahami. Dampak dan cara dalam metodologinya dengan
pengertian, pemahaman, melalui pendekatan “indepth” dan kualitatif. Penelitian lebih
bersifat eksploratif, menyusun hipotesis yang juga siap untuk diuji.
3. Realisme
Asumsi yang diajukannya adalah ontologi common sense dan realitas ilmiah
(scientific reality). Tentang hakekat sesuatu (essense) adalah sturktur dan mekanisme,
sebagai hasil yang diturunkan.
Epistemologi adalah hasil para pakar melalui generating structure and mecanism.
Implikasi  metode survey dan penyusunan analogi dan model. Realisme positif
terhadap manusia.
Ketiga paradigma tersebut menentukan filsafat ilmu pengetahuan (ontologi, epistemologi,
dan implikasi metodologi).
REALITAS SOSIAL
Masyarakat sebagai realitas sosial, apabila dihubungkan dengan paradigma ilmu
sosial wawasannya sangat luas. Paradigma realitas sosial, artinya melihat gambaran yang
mendasar mengenai realitas sosial (masyarakat) menurut kacamata ilmu sosial. Tingkatan
kenyataan sosial:
1. Tingkat Individual
Menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisa. Kemudian
dibagi menjadi dua bagian: tingkat perilaku (behavioral) dan tingkat subjektif. Teori
dasar psikologi (sosial) yang mengkaji tingkat individu ini, meliputi teori stimulusrespons (S-R), teori sikap, teori peran, dan teori lapang (medan).
2. Tingkat Antarpribadi (Interpersonal)
Tingkat ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang
berhubungan dengan kerjasama, konflik, adaptasi, negosiasi komunikasi simbolis dan
hal lain yang mempunyai arti hubungan. Tingkatan ini banyak dipelajari ahli sosiologi
(interaksionisme simbolik).
Teori Interaksionisme Simbolis dipelopori oleh George Herbert Mead (18631931), seorang Professor of Philosophy di Universitas Chicago. Teori ini
memperhatikan dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling kebergantungan yang
erat antara konsep diri individu dan pengalaman kelompok kecil, negosiasi antara
norma-norma bersama dan peran-peran individu, serta proses-proses lainnya yang
mencakup individu dan pola-pola interaksi dalam skala mikro. Konsep pokoknya
diuraikan melalui pengertian-pengertian Self, Mind, Society dan Action.
Pikiran, diri, dan masyarakat (mind, self and society) nyata memberi hak
kepada masyarakat. Diri dan pikiran ada sejak individu-individu dilahirkan pada suatu
masyarakat, dan apa yang nampak karakteristik manusia sebagai self dan mind. Tentu
dalam hal ini simbol-simbol menjadi pokok apa yang timbul dan interaksi. Manusia
juga merupakan sosial, di mana masyarakat memecah unsur-unsur dasar, simbolsimbol, self dan mind.
3. Tingkat Struktur Sosial
Tingkat struktur sosial besifat abstrak, perhatiannya atau analisanya ditujukan
pada pola-pola tindakan, jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam dalam
waktu dan ruang, posisi sosial dan peranan-peranan sosial. Tingkat struktur ini dapat
pula menyangkut institusi-institusi sosial dan masyarakat secara keseluruhan.
Teori ini dipelopori oleh tokoh klasik seperti Durkheim, Marx dan tokoh
modern melanjutkan pemikirannya. Pelanjut tokoh klasik ini di antaranya Parson,
Merton, Cosser, Michel Collins, dan lain-lain. Tingkat anaisis struktur ini, secara garis
besarnya memandang struktur sosial (masyarakat) sebagai berikut:
a. Masyarakat sebagaimana halnya organisma hidup
b. Masyarakat sebagai sistem sosial
c. Masyarakat sebagai tertib sosial (social order)
d. Masyarakat sebagai sub-stratum yang melahirkan konflik
4. Tingkat Budaya
Tingkat budaya dalam hal kenyataan sosial maksudnya meliputi arti nilai,
simbol, norma dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota
suatu masyarakat. Tingkat budaya artinya melihat realitas sosial menurut perspektif
budaya. Istilah kebudayaan dalam arti yang luas adalah terdiri dari produk-produk
tindakan dan interaksi manusia, termasuk karya cipta manusia berupa materi dan
nonmateri. Kebudayaan nonmateri adalah keselurahan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuankemampuan dan tata cara lainnya yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota
masyarakat (Tylor, 1942).
Pengkajian tingkat budaya ini, dapat dipelajari dengan melepaskan diri dari
struktur sosial atau hubungan antarpribadi yang tercakup dalam ciptaan atau
penyebarannya. Hal ini dinyatakan oleh Sorokin (1957) bahwa kesatuan organis dari
gejala budaya dan tingkat sosial-budaya harus dianalisa terpisah dari tingkat individu.
Pokok pikiran Sorokin tentang analisa tingkat budaya meliputi:
a. Teori kemajuan
b. Interaksi sosial dan budaya
c. Tipe-tipe mentalitas budaya
REFLEKSI ATAS REALITAS SOSIAL
Ketegangan Struktural dan Gerakan Reformasi Sosial
Peristiwa monumental yang akan dicatat dalam sejarah kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bangsa Indonesia menjelang masa milenium ketiga adalah kerusuhan sosial dan
terjadinya gerakan reformasi “total”. Peristiwa tersebut mengandung makna sosiologis yang
mendalam tentang struktur sosial dan tatanan sosial masyarakat yang dapat menimbulkan
banyak tafsir sosial tentang realitas masyarakat Indonesia, apabila tidak dilakukan pengkajian
secara seksama. Realitas dinamika sosial masyarakat Indonesia tersebut, memberikan
peluang kepada bebagai disiplin ilmu atau paradigma ilmu dari suatu disiplin tertentu untuk
memberikan jawapan ilmiahnya, termasuk disiplin sosiologi. Seandainya kita meyakini
tentang tesis determinisme historis, melalui pendekatan “historis materialis” dari Marx, maka
peristiwa tersebut dapat ditelusuri dan ada kaitannya dengan sistem bermasyarakat atau
bernegara sebelumnya, yaitu masa pemerintahan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto.
Oleh karena itu untuk tujuan mengungkap peristiwa kerusuhan dan gejolak reformasi
total yang dimotori oleh para mahasiswa di seluruh perguruan tinggi Indonesia, kaum
intelektual, tokoh masyarakat, para aktivis LSM dan warga masyarakat reformis, maka perlu
mempelajari sistem kekuasaan dan proses pembangunan yang telah dijalankan oleh
pemerintahan Orde Baru sebelumnya.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah orde baru pada dua dasawarsa
terakhir ini, berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi. Kemudian
sebagai strategi orientasi pembangunan ekonomi. Kemudian sebagai strategi organisasi
pembangunan ekonomi agar meningkatkan kesejahteraan rakyat, menimbulkan perhatian dan
dijadikan asumsi bahwa hanya dengan stabilitas sosial politik, maka pembangunan akan
berhasil. Hal tersebut dilakukan dengan menata sistem politik yang mengutamakan integrasi
nasional dengan prinsip harmoni, selaras, serasi seimbang. Kelembagaan birokrasi, partai
politik dan militer merupakan kelembagaan politik yang menjadikan stabilitas, ketertiban dan
keamanan sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri. Orde baru menciptakan suatu
masyarakat baru yang aman dan tertib dan mengejar kemajuan pembangunan dalam iklim
stabilitas (Schiller, 1978). Orientasi kelembagaan yang demikian dengan sendirinya akan
mengesampingkan atau menolak adanya kodrat perbedaan dalam diri manusia atau dalam
garis-garis perjuangan kelompok.
Pendekatan dan Tafsiran Teoritis
Karakter pemerintahan Orde Baru dalam penyelenggaraan kekuasaan terefleksikan
dalam kegiatan pembangunan sebagai sebuah keniscayaan, yang ditunjukkan dengan usaha
intensif dan progresif seperti mengamankan, mensukseskan, stabilitas, birokrasi, regulasi dan
korporatisasi. Sehingga pembangunan sebagai idelologi berkoinsidensi dengan peranan
negara yang besar, kuat dan diterminan dalam penyelenggaraan pembangunan (Sutrisno,
1988). Dampak positif masyarakat menjadi berkesadaran tinggi terhadap pembangunan,
namun sekali gus menimbulkan masyarakat menjadi tidak kritis terhadap makna, arah dan
tujuan pembangunan. Kesadaran yang diperoleh masyarakat hanyalah bersifat sloganistis,
retoris, tetapi tidak realistis dan kritis (Abar, 1990:XV)
Karena mengedepankan stabilitas maka data dan fakta subjektif serta kreatifitas atau
kritis masyarakat selalu direduksi dan diminimalisasikan. Sehingga pembangunan kurang
melibatkan dan tidak memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi. Pemerintah lebih
mengandalkan parameter kuantitatif, di mana biaya sosial (kualitatif) tidak diperhitungkan
seolah telah dicukupi dengan parameter kuantitatif. Padahal pembangunan melibatkan faktorfaktor kompleks sosial, politik, lingkungan dan juga ekonomi (Conyers, 1991:6)
Pemerintah orde baru yang gerakan pembangunannya lebih bersifat pragmatis dan
‘top down planning’ ternyata menyebabkan masyarakat teralienasi dari perencanaan dan
sumber daya pembangunan. Akibatnya pembangunan tidak terkendali lepas dari logika dan
kemauan masyarakat, posisi tawar (bargaining position) masyarakat sangat lemah dan terjadi
kontradiksi kepentingan, distribusi pendapatan kekuasaan yang tidak adil.
Download