2. Kepercayaan, Stratifikasi Sosial dan Aturan

advertisement
PERANAN BUDAYA ERONG DALAM SISTEM BUDAYA TORAJA
(Suatu Kajian Etnoarkeologi)1
Oleh : Akin Duli2
1. Pendahuluan
Penelitian tentang wadah kubur kayu yang disebut erong di Tana Toraja, belum pernah
dilakukan oleh para arkeolog, padahal data tersebut sangat penting untuk dapat mengungkapkan
bentuk, peranan dan makna budaya tersebut pada masa lampau. Di sisi lain, bentuk budaya tersebut,
semakin punah akibat termakan waktu dan dirusak tangan-tangan jahil. Penelitian terhadap erong,
sangat memungkinkan untuk dilakukan dengan pendekatan studi etnoarkeologi, dimana studi
tersebut sangat penting bagi penelitian arkeologi yang berhubugan dengan sistem penguburan pra
Islam di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan sistem teknologi, sistem sosial dan sistem
idiologi, yang dirasakan masih banyak menghadapi kendala, terutama disebabkan karena faktor
keterbatasan data dan instrumen meteodologis. Keterbatasan data arkeologi disebabkan oleh faktor
transformasi data, sedangkan keterbatasan instrumen metodologis disebabkan belum adanya
pengembangan metode tertentu yang cocok dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan sistem penguburan di Nusantara. Oleh karena itu dengan berdasarkan pada potensi
data etnografi yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara, yaitu masih berlangsungnya
kebiasaan-kebiasaan sistem penguburan tradisional pada berbagai masyarakat etnis, merupakan
salah satu alternatif untuk dipergunakan sebagai bahan analogi dalam memecahkan berbagai
masalah di dalam arkeologi.
Dalam makalah ini akan dideskripsikan secara ringkas tentang bentuk-bentuk keranda erong
masyarakat Toraja yang mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Tana Toraja Utara.
Masalah yang dibahas dalam tulisan ini, adalah bentuk erong dalam hubungannya dengan
kepercayaan dan stratifikasi sosial. Data yang dipergunakan dalam makalah ini diperoleh melalui
penelitian secara sistematis di lapangan dan wawancara kepada masyarakat setempat dalam
mengunjungi beberapa situs penguburan di Tana Toraja. Hal yang mendorong penulis untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk penguburan erong masyarakat Toraja, karena pertimbangan bahwa
tradisi penguburan tersebut hampir punah karena tidak digunakan lagi dan rusak karena faktor alam
maupun manusia.
2. Kepercayaan, Stratifikasi Sosial dan Aturan Penguburan
Walaupun pada umumnya masyarakat Toraja sekarang telah menganut agama Kristen dan
Islam, namun sisa-sisa kepercayaan sebelumnya masih tetap hidup dalam masyarakat, yaitu
kepercayaan yang disebut dengan Aluk Todolo atau Alukta. Dasar dari kepercayaan Alukta adalah
kepercayaan terhadap arwah leluhur, yaitu kepercayaan yang selalu berdasarkan kepada hubungan
antara yang hidup dan mati terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari orang yang telah
mati terhadap keberhasilan dan kesejahteraan orang yang masih hidup, demikian pula sebaliknya
keselamatan arwah di alam puya (arwah) sangat ditentukan oleh perlakuan sesuai dengan aturan adat
dari sanak-kerabat yang ditinggalkannya. Sebagai implementasi dari kepercayaan tersebut dalam
kehidupan manusia sehari-hari, maka lahirlah norma-norma sebaga dasar aturan dalam sistem sosial
seperti berbagai pantangan dan ritual.
1
2
Dibawakan dalam Seminara Metodologi Kajian Etrnoarkeologi Indonesia, oleh Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Indonesia di Depok, 3-4 Desember 2012.
Dosen tetap pada Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, niversitas Hasanuddin.
1
.Konsep tentang hidup dan mati menurut Alukta adalah merupakan suatu proses
kesinambungan, sehingga tidak nampak batas yang tegas. Orang mati dianggap hanya mengalami
perubahan wujud dan perpindahan dari alam fana ke alam puya (arwah), hakekat kehidupan manusia
di alam fana dianggap sama dengan kehidupan di alam puya. Untuk keselamatan mencapai alam
puya dan menjadi Tomembali Puang atau Deata, maka diperlukan syarat-syarat seperti bekal berupa
perlengkapan (bekal kubur) dan ritus-ritus yang disertai dengan persembahan korban yang harus
dilakukan oleh para kerabat yang ditinggalkan. Bekal dan jenis ritus sangat erat kaitannya dengan
status sosial pada masa hidupnya.
Kepercayaan dan stratifikasi sosial, sangat berperanan dalam sistem penguburan masyarakat
Toraja. Menurut Alukta, penguburan pada umumnya berlangsung dalam dua tahap terutama bagi
masyarakat yang berasal dari kelas bangsawan tinggi dan keluarga para bangsawan (tanak bulaan
dan tanak bassi). Tahap pertama (penguburan primer), yaitu penguburan yang bersifat sementara
terutama kalau keluarga yang ditinggalkan belum siap mengadakan upacara pengorbanan (pesta
kematian). Mayat dibalut dengan kain kemudian dimasukkan ke dalam keranda yang terbuat dari
kayu dan ditempatkan di atas rumah (Tongkonan). Selama masa penguburan pertama tersebut mayat
diperlakukan seperti orang yang masih hidup, karena masih dianggap sebagai orang yang sementara
sakit. Orang dianggap betul-betul telah mati apabila proses upacara kematian telah selesai
dilaksanakan. Tahap kedua (penguburan sekunder), yaitu penguburan yang bersifat permanen yang
dilakukan setelah selesainya proses upacara kematian dilakukan oleh para keluarga yang
ditinggalkannya. Mayat yang tinggal kerangkanya dibalut ulang kemudian dimasukkan ke dalam
keranda yang disebut erong bersama-sama dengan berbagai benda-benda berharga yang dimiliki
pada masa hidupnya (bekal kubur), dan selanjutnya ditempatkan di kompleks pekuburan keluarga
(Liang).
Pada masa lampau di Tana Toraja, wadah yang dipergunakan dalam penguburan adalah
erong (peti dari kayu) untuk masyarakat yang berasal dari kelas bangsawan dan masyarakat biasa
yang mampu secara ekonomis. Wadah erong pada masa lampau, bentuknya berbeda-beda sesuai
dengan status sosialnya, yaitu bentuk perahu, bentuk kerbau dan bentuk babi.
Kubur (Liang) menurut ajaran Alukta dipandang sebagai tempat bersemayamnya para arwah
leluhur, oleh karena itu kubur harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menyenangkan para arwah
leluhur seperti mereka menempati rumah mereka semasa hidupnya. Adanya anggapan kesamaan
antara rumah dan kubur seperti tercermin dari penamaan pekuburan dengan istilah banua to membali
puang (rumah para arwah leluhur) atau banua tang merambu (rumah yang tidak berasap). Letak
penguburan bagi masyarakat Toraja tidak jauh dari pemukiman mereka, biasanya selalu berada di
tempat yang tinggi atau sengaja ditinggikan, dengan maksud agar arwah para leluhur selalu dapat
mengawasi mereka dalam berbagai aktivitas kehidupannya sehari-hari.
3. Bentuk Keranda Erong pada Beberapa Situs di Tana Toraja
Situs-Situs erong di Kabupaten Tana Toraja, pada umumnya terletak pada ceruk atau gua di
kaki bukit batu atau di gantung pada tebing batu (hanging grave). Untuk lebih jelasnya, dapat
diuraikan sebagai berikut.
a. Situs Marante Tondon (Rante Bolu)
Situs Marante Tondon berada di Kampung Marante, Desa Tondok Batu, Kecamatan Tondon,
Kabupaten Tana Toraja Utara, Pripinsi Sulawesi Selatan. Situs tersebut terletak di kaki bukit batu
kapur (karst), menghadap ke arah utara, di hadapan bukit dengan jarak 20 m, mengalir Sungai
Sakdan. Secara astronomis, letak Situs Marante Tondon, adalah S02057’14,5”, E119055’58,4”,
2
dengan ketinggian 830 m dari permukaan laut (dpl). Situs memanjang dari timur ke barat, dengan
panjang sekitar 30 m, ketinggian tebing sekitar 18 m. Situs tersebut dapat dicapai dengan naik kereta
dan jalan kaki, di sekitarnya terdapat kebun, kandang babi, rumah penduduk, sekolah dasar, dan
pengkebumian baru. Keadaan Situs sangat rusak, baik akibat pengaruh alam maupun akibat aktivitas
manusia, terutama karena ceruk maupun dasar ceruk digunakan sebagai pengkebumian baru, seperti
Liang Pa’ dan Patane.
Temuan erong di Situs tersebut sebanyak 11 buah, pada umumnya dalam keadaan rusak.
Bentuk perahu 9, bentuk kerbau 2, berhias 5 dan dalam keadaan lengkap 4 buah. Menurut
masyarakat tempatan, mengatakan bahwa dulunya di Situs tersebut terdapat banyak sekali erong,
baik yang terletak di dasar ceruk maupun yang digantung di dinding ceruk. Sekarang yang terletak di
dinding ceruk, tiggal 3 erong, 1 bentuk kerbau dan 2 bentuk perahu. Pada dinding ceruk terdapat
bekas tempat gantungan erong, seperti balok kayu yang masih tertancap dan bekas lubang tempat
menancapkan balok kayu sebagai penyangga erong. Pengambilan sampel untuk analisis pntarikhan,
diambil pada erong yang terletak di samping erong yang paling besar bentuknya.
Pada Situs tersebut, terdapat satu temuan erong yang paling besar, tampak bagus, kelihatan
sangat tua dan berbentuk perahu yang terletak di dasar ceruk, memiliki ukuran yang paling besar,
yaitu panjang badan 191 cm, panjang tutup 246 cm, tinggi badan 125 cm, tinggi ujung tutup tutup
167 cm, lebar badan 64 cm. Bentuk badan kebulat-bulatan, belum ditata, terdapat beberapa motif
hiasan Toraja, namun ada hiasan yang khas yaitu muka topeng manusia pada ujung badan, motif
hiasan manusia menarik ular kiri-kanan pada salah satu sisi tutup dan pada sisi lainnya manusia
menarik kerbau kiri-kanan (lihat foto). Pada bagian dalam erong, penuh dengan tulang-tulang dan
banyak tengkorak manusia. Erong tersebut pada awalnya tergantung di atas tebing dengan
ketinggian sekitar 11 m. Pada sisi barat ceruk, terdapat tau-tau sebagai kelengkapan dari
pengebumian orang Toraja sejak dahulu kala sampai sekarang. Namun kebnyakan tau-tau asli telah
dicuri orang dan diperjual belikan sebagai barang antik.
b. Situs Lombok Bori
Situs Lombok Bori terletak di Kampung Lombok Bori, Desa Lembang Parinding, Kecamatan
Sesean, Kabupaten Tana Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan.Situs tersebut dapat dicapai dengan
naik kereta dan berjalan kaki sekitar 1 km, letaknya berada di dalam gua yang menghadap ke arah
timur, dengan tinggi mulut gua 15m, lebar 58 m dan dalam 24 m. Letak astronomi adalah
S02055’76,5”, E119054’26,9”,dengan ketinggian 825 m dpl. Jarak dari kampong 752 m, berada
pada arah barat, dengan beda tinggi 25 m. Di bagian belakang gua terdapat gugusan pegunungan
batu kapur (karst), sedangkan pada bagian depan gua terdapat kebun penduduk dan di sekitarnya
terdapat tumbuh pohon nangka, mangga, bambu, jambu biji, uru, dan pohon bitti.
Keadaan Situs belum banyak terganggu karena agak jauh dari pemukiman penduduk, namun
temuan erong telah banyak mengalami kerusakan, karena lapuk, dan dirusak oleh manusia. Bagianbagian erong yang paling banyak mengalami kerusakan, adalah bagian tutup, karena lapuk dan
banyak dicuri orang untuk diperjualbelikan sebagai barang antik. Demikian pula erong yang
tergantung di atas dinding gua sudah jatuh dan berantakan di lantai gua, tulang-tulang dan tengkorak
berserakan, sehingga letak erong tidak beraturan.
Temuan erong di Situs Lombok Bori dihitung yang utuh di atas 50 % sebanyak 108 buah,
bentuk perahu 87, bentuk kerbau 17 dan bentuk babi 4, yang memiliki ragam hias 18, tidak berhias
90, yang lengkap 11 dan tidak lengkap 97. Pada umumnya yang tidak lengkap, hilang tutupnya dan
bagian badan yang lapuk. Terdapat juga sisa tiang di mulut gua pada sisi selatan, yang digunakan
3
sebagai tempat menyimpan erong, dan pada dinding gua bagian atas terdapat lubang bekas-bekas
menancapkan balok kayu, sebagai penyangga erong yang digantung.
Bentuk lantai gua terdiri dari dua teras, yaitu Teras I pada bagian dalam yang tersusun daru
batu-batu kecil, Teras II di mulut gua (bagian luar) tersusun dari batu-batu kecil. Dari hasil
pengamatan dapat direkonstruksi, bahwa erong bentuk perahu yang sederhana dan kecil-kecil serta
bentuk babi terletak di Teras I, erong bentuk perahu yang berukuran besar dan bentuk kerbau, baik
yang berhias maupun tidak berhias, terdapat di Teras II dan pada susunan tiang yang terletak di
mulut gua sisi selatan. Sedangkan erong berbentuk perahu ukuran besar dan kaya dengan berbagai
motif hias digantung di atas dinding gua. Tampaknya erong diletakkan dengan orientasi timur-barat,
sesuai dengan orientasi gua. Sayang bahwa perhitungan jumlah erong yang terdapat pada masingmasing pembagian ruang tersebut tidak dapat lagi dihitiung secara pasti, karena telah mengalami
perubahan tempat akibat terjadinya pelapukan, jatuh dan dipindah tempatkan oleh orang-orang
pencari harta karun. Pengambilan sampel untuk analisis pentarikhan, diambil pada erong bentuk
perahu dan kerbau, yang terletak pada sudut barat daya.
Kerusakan bagian erong yang paling banyak terjadi yaitu pada bagian tutup, cepat
mengalami patah dan pelapukan kibat kena hujan dan mata hari dan juga karena ukurannya tipis.
Selain itu, bagian tutup banyak dicuri oleh para pencari barang antik karena bentuknya unik, penuh
dengan ragam hias yang indah dan mudah untuk dipindah tempatkan untuk dibawah pergi jauh.
Pada bagian dalam dari erong-erong yang terdapat di Situs tersebut, terisi oleh tumpukan
tulan-belulang dan tengkorak yang tidak beraturan. Tampaknya tulang-tulang tersebut telah teraduk,
akibat ulah para pencari harta karun yang mencari barang-barang antic yang biasanya menjadi bekal
kubur dari orang yang dikebumikan. Menurut ceritera penduduk tempatan mengatakan bahwa
barang-barang tersebut biasanya terdiri dari emas, perak, keramik dan mata uang, yang biasanya
dijadikan sebagai bekal kubur. Temuan lain yang terdapat pada Situs tersebut, seperti dulang,
fragmen gerabah, tulang dan tengkorak yang tersebar di sekitar Situs.
Temuan erong yang menarik pada Situs tersebut, adalah erong bentuk perahu dan bentuk
kerbau yang berukuran besar. Terdapat beberapa erong bentuk perahu yang berukuran besar,
memiliki banyak motif ragam hias Toraja pada seluruh bagian badan dan tutup yang lazim dikenal
dalam budaya Toraja. Namun yang khas, adalah ragam hias naga, manusia yang menarik naga pada
kedua belah tangannya, manusia yang menarik kerbau pada kedua belah tangannya. Erong bentuk
kerbau, ada dalam ukuran kecil dan ada pula dalam ukuran besar, ada yang memiliki kaki dan ada
yang tidak berkaki, ada yang memiliki ragam hias dan ada yang polos.
c. Situs Londa
Situs Londa terdapat di Kampung Londa, Desa Todongkon, Kecamatan Kesu, Kabupaten
Tana Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Situs tersebut dapat dicapai dengan dengan naik
kereta dan jalan kaki sejauh 240 m, terletak pada tebing batu kapur (karst) yang tingginya sekitar
200 m dan berdiri tegak lurus dengan kemiringan 900, menghadap ke arah barat. Pada kaki tebing
terdapat dua gua dan ceruk yang sangat idial untuk pengkebumian. Mulai dari gua dan ceruk yang
terdapat pada kaki buki sampai pada dinding bukit, dari dahulu kala sampai sekarang digunakan
sebagai pengkebumian. Letak astronomi adalah S03000’58,8”, E119052’35,6”, ketinggian pada kaki
bukit 815 m dpl, jarak dari kampong tua sekitar 300 m pada arah barat, beda tinggi dengan kampong
tua 14 m. Luasa dasar ceruk yang bersambung dengan mulut gua 65 m, tinggi ceruk 16 m, dua buah
gua saling bersambung di bagian dalamnya sekitar 60 m. Di sekitar situs terdapat kebun, sawah dan
perkemapungan penduduk, tumbuh pohon bambu, pohon uru, dan tanaman penduduk tempatan
4
(lihat foto). Sekitar 200 m ke arah utara terdapat pusat souvenir yang menjual kerajinan Toraja,
karena Situs Londa merupakan objek wisata yang terkenal di Tana Toraja.
Dinding tebing yang tinggi maupun dinding ceruk dan gua yang terdapat di kaki bukit,
digunakan sebagai tempat pengkebumian erong maupun pengkebumian baru sekarang. Menurut
cerita penduduk tempatan (Marla Tandirerung), mengatakan bahwa pada masa lampau erong para
bangsawan tinggi yang berbentuk perahu dengan ukuran besar dan kaya dengan ragam hias
diletakkan di atas tebing, namun sudah lapuk dan jatuh ke dasar tebing. Erong yang tergantung pada
dinding ceruk di kaki bukit, digunakan oleh para keluarga bangsawan, dan yang dikuburkan di dalam
gua adalah masyarakat biasa yang tidak menggunakan wadah erong. Sampai sekarang situs tersebut
masih digunakan sebagai tempat pengkebumian, dengan menggunakan keranda biasa sebagai wadah
kubur.
Temuan erong di Situs Londa sebanyak 43 buah, 39 bentuk perahu, 3 bentuk kerbau, 1
bentuk babi, 6 erong bentuk perahu berhias, 47 tidak berhias, 30 lengkap dan 13 tidak lengkap.
Sebahagian besar erong yang terdapat di situs tersebut, sudah direnovasi, bahkan ada yang sudah
diganti dengan bahan baru. Temuan lain adalah patung-patung dari kayu (tau-tau) yang diletakkan
berderet di ceruk bagian sudut selatan. Selain itu, di dasar ceruk terdapat temuan seperti dulang,
fragmen tulang, tengkorak, fragmen gerabah, fregmen erong, usungan mayat berbentuk rumah
Toraja, keranda-keranda kubur baru dan benda-benda persembahan para pengunjung.
Beberapa erong bentuk perahu dengan ukuran besar dan kaya dengan ragam hias yang
terletak di dasar ceruk sudah mengalami kerusakan, sperti tutup sudah tidak ada dan sebagaian
badannya telah lapuk. Erong bentuk kerbau ukurannya hampir sama semua, termasuk ukuran besar,
sedangkan erong bentuk babi yang terletak di dasar ceruk sudah tidak lengkap, namun kelihatannya
ukurannya termasuk ukuran besar. Pada bagian dalam terdapat tumpukan tulang dan tengkorak yang
tidak beraturan, pada erong inilah yang diambil sampel untuk dianalisis pentarikhan. Kerusakan
erong pada situs tersebut selain karena pelapukan, juga karena masih digunakan terus sebagai
pengkebumian baru. Erong yang sudah lapuk dipindahkan dan tempatnya digunakan untuk
meletakkan keranda baru.
Klasifikasi sample erong di Situs Londa berdasarkan bentuk, ukuran dan ragam hias
NO
VARIABEL
U
Dasar
Badan
Tutup
Tinggi
Badan
Ujung tutup
Dasar
Lebar
Badan
Tutup
Panjang
Lubang
Lebar
Dalam
Ragam hias
Panjang
K
U
1
R
A
N
2
Perahu
Besar
245 cm
245 cm
283 cm
87 cm
128 cm
58 cm
58 cm
52 cm
210 cm
45 cm
67 cm
ramai
Kecil
169 cm
169 cm
188 cm
46 cm
72 cm
34 cm
34 cm
31 cm
160 cm
28 cm
37 cm
Berhias,
5
B E N T U K
Kerbau
Besar
Kecil
236 cm
185 cm
67 cm
46 cm
49 cm
42 cm
180 cm
38 cm
43 cm
polos
Tak ada
temuan
Babi
Besar
58 cm
54 cm
35 cm
41 cm
polos
Kecil
Tak ada
temuan
3
Bentuk
Badan
Persegi
Bulat
Persegi
-
polos
persegi
-
bulat
Bulat
d. Situs Ke’Tek Kesu’
Situs Ke’tek Kesu’ terletak di Kampung Ke,tek, Desa Battan, Kecamatan Kesu’, Kabupaten
Tana Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Situs tersebut dapat dicapai dengan naik kereta dan
jalan kaki sekitar 600 m, letaknya berada di tebing yang menghadap ke arah utara. Letak astronomi
adalah S02059’43,2”, E119054’38,1”, dengan ketinggian 798 m dpl, tinggi ceruk 24 m, panjang
lantai dasar ceruk 51 m, lebar lantai 4 m – 12m. Pada arah utara terdapat kampong tua Ke’tek Kesu’,
dengan jarak 200 m, beda tinggi dengan kampung 4m – 24 m. Pada arah utara terdapat pegunungan
batu kapur (karst), di sekitar Situs terdapat pengkebumian baru seperti Leang Pa’ dan Patane,
kebun, pohon bambu, pohon uru dan kandang babi.
Keadaan Situs sudah sangat terganggu, karena dijadikan sebagai objek wisata yang sangat
ramai dikunjungi oleh para pelancong. Temuan erong telah banyak mengalami kerusakan akibat
pelapukan dan dirusak orang yang mencari benda-benda antic untuk diperjual belikan. Sebahagian
besar erong yang terletak di dinding ceruk telah jatu, ada yang dikembalikan ke tempat semula dan
ada yang dibuatkan tempat dan diletakkan di dasar ceruk. Menurut masyarakat tempatan mengatakan
bahwa dulunya hampir semua erong diletakkan di atas dinding ceruk, kecuali erong bentuk babi
sederhana tanpa ragam hias dan erong bentuk perahu sederhana diletakkan di dasar ceruk.
Temuan erong di Situs Ke’tek Kesu’ yang masih dapat dikenali sebanyak 64 buah, 55 bentuk
perahu, 7 bentuk kerbau, 2 bentuk babi. Bentuk yang lengkap 51, tidak lengkap 13, berhias 48 dan
tidak berhias 16. Erong yang masih tergantung di dinding tebing sebanyak 21 buah, 18 bentuk
perahu dan 3 bentuk kerbau, sedangkan yang terdapat di dasar ceruk sebanyak 43 buah, 37 bentuk
perahu, 4 bentuk kerbau dan 2 bentuk babi. Menurut ceritra masyarakat tempatan (Pak Lintin)
mengatakan bahwa erong bentuk perahu yang berhias, bentuk kerbau dan bentuk babi berhias
dulunya terletak di atas dinding tebing, sedangkan beberapa erong bentuk perahu sederhana dan
bentuk babi sejak dahulu kala terletak di dasar ceruk dan sudah sebagian besar badannya telah lapuk
dan hamper tidak bisa lagi dikenali bentuknya. Selanjutnya, Pak Lintin menceriterakan bahwa erong
bentuk perahu ukuran besar dan kaya dengan ragam hias, terletak pada dinding ceruk bagian paling
atas, kemudian erong bentuk perahu ukuran sedang dan erong bentuk kerbau pada bagian tengah dan
paling bawah adalah bentuk babi berhias, selanjutnya di dasar ceruk adalah erong bentuk babi dan
erong bentuk perahu sederhana.
Pada kaki ceruk terdapat gua kecil berukuran lebar 2 m x 2,5 m yang dijadikan sebagai
tempat penyimpanan tau-tau, dan dipasangi pagar besi agar tidak dicuri orang. Menurut informasi
masyarakat tempatan, mengatakan bahwa pada bagian atas tebing juga terdapat tau-tau yang
diletakkan di dalam celah-celah batu dan ditutupi dengan papan kayu. Temuan lain di permukaan
dasar ceruk, adalah dulang, fragmen tulang, fragmen erong dan fragmen gerabah. Pada bagian dalam
dari erong-erong tersebut, terdapat banyak tulang dan tengkorak manusia yang tidak beraturan.
Kerusakan erong pada umumnya terjadi pada bagian tutup dan badan, karena terkena air hujan dan
sinar mata hari, menyebabkan cepatnya terjadi pelapukan.
Hal yang menarik pada temuan erong di Situs Ke’tek Kesu’, adalah erong bentuk perahu
ukuran besar yang kaya dengan berbagai motif ragam hias, terutama ragam hias naga dan kerbau
yang ditarik manusia. Kemudian erong bentuk kerbau dan babai yang berhias ular, dan erong bentuk
perahu berbadan bulat dan tidak ditata sehingga kulit kayu masih tampak di bagian luar (lihat foto).
6
Pengambilan sampel untuk analisis pentarikhan, diambil pada erong bentuk perahu yang sudah
lapuk terletak di dasar ceruk.
Klasifikasi erong di situs Ke’tek Kesu’
NO
VARIABEL
U
Dasar
Badan
Tutup
Tinggi
Badan
Bagian tengah
Ujung tutup
Dasar
Lebar
Badan
Tutup
Panjang
Lubang
Lebar
Dalam
Ragam hias
Panjang
K
U
1
R
A
N
2
3
Bentuk
Badan
Persegi
Bulat
B E N T U K
Kerbau
Perahu
Besar
203 cm
206 cm
279 cm
102 cm
158 cm
252 cm
58 cm
58 cm
48 cm
172 cm
48 cm
89 cm
Berhias,
polos
persegi
Kebulatabulatan
Kecil
162 cm
167 cm
227 cm
49 cm
87 cm
114 cm
44 cm
44 cm
36 cm
157 cm
34 cm
50 cm
Berhias,
polos
persegi
Kebulatbulatan
Besar
275 cm
190 cm
117 cm
117 cm
77 cm
40 cm
175 cm
40 cm
65 cm
Berhias,
polos
bulat
Kecil
212 cm
165 cm
56 cm
56 cm
42 cm
30 cm
162 cm
28 cm
39 cm
Polos
Bulat
Babi
Besar
271 cm
188 cm
106 cm
106 cm
51 cm
40 cm
169 cm
38 cm
63 cm
Berhias,
Polos
Bulat
Kecil
203 cm
160 cm
64 cm
64 cm
39 cm
30 cm
158 cm
28 cm
57 cm
Polos
Bulat
4. Pengaruh Kepercayaan dan Stratifikasi Sosial Pada Bentuk Erong
Dalam ajaran Aluk Todolo diuraikan tentang konsep kepercayaan terhadap alam kehidupan
setelah mati. Menurut konsep kepercayan ini menganggap bahwa arwah seseorang setelah mati tidak
hilang atau lenyap begitu saja, melainkan kembali ke suatu tempat yang dianggap sebagai alam
arwah atau sebagai tempat asal-usul leluhur suatu kelompok masyarakat. Konsep kepercayaan
tersebut, kemudian diimplementasikan dalam sistem upacara terutama upacara yang berkaitan
dengan kematian (Rambu Solok) dan sistem penguburan.
Secara umum tujuan dari upacara yang termasuk kelompok Rambu Solok, adalah untuk
keselamatan arwah leluhur di alam puya dan kesejahteraan serta keselamatan manusia di dunia.
Salah satu aspek budaya yang berkaiatan dengan keselamatan arwah leluhur tercermin pada bentuk
serta tata letak kubur dan wadah yang dipergunakan. Tujuan dari penguburan erat kaitannya dengan
kepercayaan akan kehidupan setelah mati, yang menyebabkan manusia untuk menguburkan
mayatnya dengan maksud untuk melestarikan arwahnya di alam baka (Soejono, 1984). Berdasarkan
latarbelakang konsepsi kepercayaan tersebut, telah mendorong masyarakat Toraja pada masa lampau
untuk menguburkan anggota keluarga atau masyarakatnya dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan
penguburan tersebut, dilakukan dengan penguburan pada beberapa jenis kubur baik secara langsung
(kubur primer) maupun secara tidak langsung (kubur sekunder), baik yang mempergunakan wadah
7
tertentu seperti erong maupun tanpa wadah seperti pada kubur jenis Sillik (dimasukkan ke dalam gua
tampa wadah). Keranda erong, digunakan sebagai tempat penguburan kedua (sekunder), biasanya
diisi antara 5 – 20 jenazah.
Penguburan dengan mempergunakan wadah tertentu telah dikenal di Indonesia sejak jaman
Neolitik dan berlangsung terus sampai ke jaman Perundagian. Penggunaan wadah kubur berupa
tembikar telah ditemukan di Situs-Situs perundagian seperti di Gilimanuk (Bali), Pelawangan (Jawa
Tengah), Anyer (Jawa Barat), Melolo (Sumba Timur), Sakbang Luwu dan Tiletile Selayar (Sulawesi
Selatan), dan Lewoleba (pulau Lomblen) (Soejono, 1969 : 6). Sementara penggunaan kubur batu
yang berupa sarkopagus, dietmukan tersebar luas di Bali, Jawa Timur (Besuki), Sumbabawa
(Batutring), Sumatra (Jambi, Samosir, Batak Selatan), Kalimantan Selatan (Apo Kayan), dan Nias
(Soejono, 1969 : 4; 1977 : 94). Sementara penguburan mayat tanpa wadah telah dikenal sejak jaman
Neolitik dan berlangsung terus sampai ke jaman Perundagian, seperti yang ditemukan di Situs
Gilimanuk (Bali), Anyer (Jawa Barat), Pelawangan (Jawa Tengah), Puger (Jawa Timur), Liang Bua
(Flores), dan Lewoleba (Soejono, 1969 : 10-11). Di luar Indonesia tradisi penguburan dengan
mempergunakan wadah berupa sarkopagus, dikenal di Tonkin, Korea, Jepang, Taiwan, dan Filipina
(Heekren, 1958 : 90; Soejono, 1977 : 283).
Di Toraja orang yang meninggal dunia dikuburkan di Liang dengan mempergunakan
beberapa jenis kubur, baik yang mempergunakan keranda erong maupun tanpa wadah, sesuai
dengan status sosialnya masing-masing. Jenis Liang Sillik diperuntukkan bagi strata sosial yang
berasal dari Tanak Kua-Kua, yaitu penguburan pertama tanpa menggunakan wadah tertentu.
Sedangkan strata sosial menengah yang mampu secara ekonomi dan strata sosial tinggi, dikuburkan
pada Liang yang mempergunakan keranda erong, yang berfungsi sebagai penguburan kedua.
Letak Liang selalu dekat dari pemukiman dan berada di tempat yang tinggi seperti di bukit,
pegunungan, atau tempat yang sengaja ditinggikan. Letak Liang yang dekat dengan pemukiman,
menunjukkan bahwa Liang merupakan salah satu unsur dari suatu pola permukiman, seperti yang
dikemukakan oleh Michael B. Schiffer, bahwa Situs kubur merupakan bagian dari suatu daerah
yang berkaitan dengan penguburan dalam lokasi permukiman (Schiffer, 1985 : 371). Tujuan dari
penempatan kubur yang dekat dengan pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu konsep kepercayaan
akan adanya hubungan timbal-balik antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah
meninggal dunia.
Sementara letak kubur pada tempat yang lebih tinggi dari pemukiman, dilatarbelakangi oleh
suatu kepercayaan bahwa alam kubur sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur, harus berada di
tempat yang lebih tinggi dari pemukiman manusia agar mudah dalam mengawasi prilaku manusia
yang masih hidup di dunia. Kepercayaan akan tempat yang tinggi seperti puncak bukit atau puncak
gunung sebagai tempat bersemayamnya para arwah leluhur, terdapat pada beberapa suku bangsa di
Indonesia seperti di Bali yang percaya bahwa di puncak Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung
Sangiang, dan beberap gunung lainnya sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur mereka
(Soejono, 1977 : 269).
Penggunaan bentuk-bentuk wadah erong tertentu seperti bentuk persegi, bentuk kerbau, dan
bentuk perahu dalam sistem penguburan mereka, selain berkaitan dengan stratifikasi sosial,
mempunyai makna pula sebagai tanda kenderaan yang dapat membawa arwah leluhur ke alam puya,
khususnya bagai masyarakat yang berasal dari startifikasi sosial tinggi (Tanak Bulaan). Keranda
erong bentuk perahu dengan ukuran besar ramai dengan ragam hias, digunakan oleh bangsawan
tinggi yang pernah menjadi pemimpin, kaya dan berani. Sedangkan keranda erong bentuk perahu
yang berukuran kecil dan tidak berhias, bentuk kerbau dan bentuk babi, digunakan oleh para
keluarga bangsawan (Tanak Bassi) dan rakyat biasa (tanak karurung) yang mampu dari segi
8
ekonomi. Hal lain yang berhubungan dengan stratifikasi sosial adalah tata letak erong, dimana erong
bentuk perahu ukuran besar dan ramai dengan ragam hias yang digunakan bangsawan tinggi selalu
berada pada tempat yang lebih tinggi, kemudian disusul pada tempat yang lebih rendah, yaitu
bentuk perahu ukuran kecil, bentuk kerbau dan bentuk babi, yang digunakan oleh para keluarga
bangsawan dan rakyat biasa yang mampu secara ekonomi.
Menurut kepercayaan orang Toraja, meyakini bahwa untuk keselamatan arwah leluhur
sampai ke alam puya, maka salah satu syarat adalah adanya bekal bagi orang yang meninggal dalam
bentuk korban yang dipersembahkan dalam berbagai upacara Rambu Solok dan bekal kubur. Seperti
diketahui bahwa dalam setiap tahap upacara Rambu Solok membutuhkan korban persembahan
(kerbau dan babi) dalam jumlah yang besar, semuanya itu dianggap sebagai bekal untuk keselamatan
arwah leluhur sampai ke alam puya. Sedangkan benda-benda berharga yang dimiliki orang semasa
hidupnya seperti emas, perak, dan benda-benda berharga lainnya, disertakan sebagai bekal kubur
ketika ia meninggal.
Hal yang menarik dari sistem penguburan orang Toraja, adalah bahwa untuk kubur para
bangsawan selain dapat dikenali berdasarkan tata letak dan bentuk keranda, dapat juga dikenali
berdasarkan adanya penempatan tau-tau (patung-patung dari kayu) di depan kubur (Liang) masingmasing. Tau-tau tersebut, merupakan perwujudan dari orang yang telah meninggal, dirawat dan
diperlakukan sebagai mana manusia yang masih hidup, seperti selalu diberikan benda-benda
persembahan, dan pada waktu-waktu tertentu pakaiannya diganti dengan yang baru.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium dengan metode pertanggalan radio karbon (carbon
dating) dapat diketahui umur dari keranda erong di Tana Toraja, yaitu situs Londa berumur 900
Masehi, situs Lombok Borik Parinding 1000 Masehi, situs Ke’tek Kesu’ 1400 Masehi dan situs
Marante Tondon 1600 Masehi. Budaya keranda erong masih berlangsung terus sampai pada awal
abad ke-20, ketika Bealanda datang budaya tersebut dilarang karena dianggap tidak sehat.
5. Penutup
Dari deskripsi singkat yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk kubur pada sistem penguburan masyarakat Toraja dapat merefleksikan sistem
idiologi dan sistem sosial. Sistem idiologi berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang
didasari oleh kepercayaan megalitis, yaitu suatu kepercayaan yang percaya akan adanya
pengaruh kuat dari para arwah leluhur demi untuk kebeberhasilan dan kesejahteraa manusia.
Dengan latarbelakang idiologis tersebut, maka implementasinya dalam sistem sosial adalah
munculnya aturan-aturan atau norma-norma yang harus dijalankan, misalnya aturan tentang cara
perlakuan bagi orang yang telah mati dalam berbagai ritus, hubungan antara yang mati dengan
yang hidup dan hubungan antara dunia fana dengan dunia arwah (puya). Sistem idiologi dan
sistem sosial secara simbolis termanifestasikan di dalam sistem teknologi kubur.
2. Bentuk-bentuk kubur pada masyarakat Toraja sangat dipengaruhi oleh faktor kepercayaan,
stratifikasi sosial, lingkungan, perkembangan jaman dan pengaruh unsur budaya luar.
Kedudukan bangsawan dan keluarganya sangat dominan dalam budaya orang Toraja, seperti
tercermin pada keranda erong, dimana kematian tidaklah berpengaruh pada status sosial,
bangsawan dan orang kaya di alam fana tetaplah menjadi bangsawan dan orang kaya di alam
puya.
3. Bagi disiplin arkeologi, penggunan data etnografi seperti diuraikan di atas sebagai bahan analogi
akan sangat membantu sebagai model dalam memahami data arkeolgi, terutama yang berkaitan
dengan cara perolehan dan pengolahan data, dan pemahaman tentang sistem idiologi dan sistem
sosial yang melatarbelakangi suatu sistem teknologi (artefak). Metode perolehan dan pengolahan
9
data arkeologi dapat dideterminasi berdasrkan analogi data etnografi, terutama pada prosesproses transformasi data arkeologi (proses buat, pakai dan buang).
DAFTAR PUSTAKA
Cristal, Eric. 1974. Man and Menhir, Contemporary Megalithic Practice of Sa’dan Toraja of
Sulawesi, Indonesia. Los Angeles, Institute of Archaeology University of California.
Duli, Akin.1996.“Bentuk dan Fungsi Batu Temu Gelang di Sulawesi Selatan: Suatu Studi
tnoarkeologi”. Dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, pada tanggal 6-11
Maret 1996, di Cipanas Jawa Barat.
________. 1999. “Bentuk-Bentuk Penguburan Orang Toraja, Suatu Studi Etnoarkeologi”.
Dibawakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII di Yogyakarta, 1518 Pebruari 1999.
_________. 2001. “Peninggalan Megalitik Pada Situs Sillanan di Kabupaten Tana Toraja Propinsi
Sulawesi Selatan, Suatu Rekonstruksi Masyarakat Megalitik Berdasarkan Studi
Etnoarkeologi”. Tesis. Jakarta, Universitas Indonesia.
_________. 2002. “Makna Simbolis Beberapa Motif Goresan Pada Situs Megalitik Tinco dan Lawo
di Kabupaten Soppeng”. WalennaE. Vol. V No. 9. Makassar, Balai Penelitian
Arkeologi.
Duli, Akin dan Hasanuddin. 2003. Toraja Dulu dan Kini. Makassar, Pustaka Refleksi.
Hakim, Budianto. 1996. “Simbol Dalam Upacara Masyarakat Toraja, Suatu Aspek Megalitik”.
Dalam PIA VII. Jakarta : Puslitarkenas.
Heekeren, H.R. van. 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Hodder, Ian. 1991. The Meaning of Things. London : Harper Collin.
Kadir, Harun. 1977. “Aspek Megalitik di Toraja Sulawesi Selatan”. Dalam PIA I. Jakarta :
Puslitarkenas.
Kauderen, Walter. 1938. Megalithic Finds in Central Celebes. Sweden : Elanders Boktryckery
Aktiebolag Goteborg.
Kruyt, A. C. 1938. De West Toradjas op Midden Celebes. Nieuwe Reeks Deel XL. Amsterdam,
Uitgave van de N.V. Noord Hollandsche Uitgevers-Maatschappijk, hlm. 1-6.
Soejono, R.P. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta, Balai Pustaka.
___________ 1989. Beberapa Masalah Tentang Tradisi Megalitik”. PIA V. Jakarta, Puslit Arkenas.
Tangdilintin, L.T. 1980. Toraja dan Kebudayannya. Toraja : YALBU.
Whitten, Anthony. J. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yowono, J. Susetyo Edy. “Etnoarkeologi Pascaprosesual, Prospek dan Penerapannya di Indonesia”.
Dibawakan pada Kongres API I dan Seminar Prasejarah Indonesia I di Yogyakarta,
1-3 Agustus 1996.
10
11
Download