BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. a. Lesbi Pengertian Lesbi Lesbi berasal dari kata Lesbos yang berarti pulau ditengah lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita yang menyukai sesama jenis disebut cinta lesbis atau lesbiism (Kartono, 2009). Lesbi adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual (Agustine, 2008). Lesbi merupakan seorang wanita yang memiliki emosi secara seksual dan erotis memiliki ikatan yang penting dengan wanita lain (Oetomo, 2008). Berdasarkan definisi dan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa lesbi adalah seorang perempuan yang memiliki ketertarikan kuat secara fisik, emosi maupun seksual pada sesama perempuan. Pada kelompok lesbi terdapat semacam label yang muncul karena adanya dasar karakter atau penampilan yang terlihat berbeda pada seorang lesbi yaitu, Butcy atau butchy, Femme dan Andro. Butcy (B) adalah lesbi yang berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka berpakaian laki-laki (kemeja laki-laki, celana panjang dan potongan rambut sangat pendek). Femme (F) adalah lesbi yang berpenampilan dan berpakaian feminim, lembut layaknya seperti perempuan pada umumya. Andro atau Androgyne (A) adalah perpaduan penampilan antara butcy dan femme. Lesbi andro memliki sifat lebih fleksibel, artinya individu tersebut bisa saja bergaya tomboy tapi tidak kehilangan sifat feminimnya (Poedjiati, 13 14 2005). Dalam buku All About Lesbi ada dua terminologi yang sering dihubungkan dengan menjadi seorang lesbi yaitu (Agustine, 2008): 1. Butcy Lesbi butch atau lebih dikenal dengan istilah butcy seringkali mempunyai stereotip sebagai pasangan yang lebih dominan dalam hubungan seksual. Terkadang dalam hubungannya adalah satu arah sehingga butcy lebih digambarkan sebagai sosok yang tomboy, dominan, aktif, agresif, melindungi dan lain-lain. Butcy dapat dibagi atau diklarifikasi menjadi 2 tipe: a. Soft Butcy Sering digambarkan mempunyai kesan yang lebih feminim dalam cara berpakaian dan potongan rambutnya. Secara emosional dan fisik tidak mengesankan bahwa mereka adalah pribadi yang kuat atau tangguh. Dalam kehidupan sehari-hari pada kehidupan lesbi, istilah Soft Butch sering dianggap seperti dengan lesbi andro (A). b. Stone Butcy Sering digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya. Mengenakan pakaian laki-laki, terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan menggunakan sesuatu didalam pakaian dalamnya sehingga menciptakan kesan berpenis. Butcy yang berpakaian maskulin seringkali lebih berperan sebagai seorang “laki-laki” baik dalam suatu hubungan dengan pasangannya, maupun saat berhubungan seks. Stone Butch sering kali disebut dengan Strong Butch dalam istilah lain untuk lebel lesbi ini. 2. Femme Lesbi femme lebih mengadopsi peran sebagai feminim dalam suatu hubungan dengan pasangannya. Femme yang berpakaian feminim selalu digambarkan mempunyai rambut 15 panjang dan berpakaian feminim. Femme sering kali digambarkan atau mempunyai stereotip sebagai pasangan yang pasif dan hanya menunggu atau menerima saja. Pada penelitian yang dilakukan oleh James (2013) dengan judul “Biological and Psychosocial Deteminants of Male and Female Human Sexual Orientation”, menjelaskan mengenai perbedaan antara lesbi butchy dan lesbi femme berdasarkan konstruksi sosial dan menemukan bahwa gen sebagai penyebab homoseksual, walaupun hanya ditemukan pada beberapa orang saja. b. Faktor Penyebab Perilaku Lesbi Bermacam-macam teori untuk menjelaskan lesbi secara garis besar yang dapat dijelaskan dengan teori biologi dan psikososial (Soetjiningsih, 2004) 1. Teori Biologi Bermacam-macam bukti telah banyak diteliti dan ditemukan bahwa orientasi homoseksual dipengaruh oleh faktor genetik dan hormonal, yaitu: a. Faktor Genetik Pada orientasi homoseksual telah terbukti pada penelitian angka kejadian homoseksualitas diantara kembar identik, kembar heterozigot dan saudara kandung. Penelitian pada saudara kandung menunjukkan angka kejadian homoseksual lebih tinggi (48%-66%). Ini menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting tetapi bukan satu-satunya faktor yang berperan terhadap terjadinya perilaku lesbi. Penyebab lesbi dengan faktor ini sulit untuk diatasi karena sudah sejak lahir membawa kecenderungan atau bakat untuk menyukai orang lain dengan jenis kelamin yang sama, dan hal tersebut diluar kontrol dan kesadaran dirinya. 16 b. Faktor Hormonal Perilaku lesbi dipengaruhi adanya keseimbangan hormon androgen sebelum dan saat dewasa. Hormon androgen prenatal diperlukan untuk perkembangan genitalia eksternal laki-laki pada fetus dengan genetik laki-laki. Pada kasus yang dikenal sebagai Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH), yaitu suatu kondisi dimana terdapat efek dari suatu enzim sehingga terjadi suatu produksi hormon androgen secara berlebihan, jika terjadi pada bayi perempuan maka akan mengakibatkan maskulinisasi pada bayi perempuan itu. 2. Teori Psikososial Beberapa teori perkembangan orientasi homoseksual menghubungkan dengan pola asuh, trauma kehidupan, tanda-tanda psikologis individu, dan pengalaman seks yang pertama yaitu: a. Pola Asuh Menurut Freud pakar psikoanalisa mempercayai bahwa setiap indvidu lahir sebagai biseksual dan hal ini dapat membawa setiap individu memiliki kecenderungan untuk homoseksual. Freud berpendapat individu juga dapat terfiksasi menjadi homoseksual sejak mengalami hal-hal tertentu dalam kehidupannya, misalnya adanya hubungan yang tidak baik antara anak dengan kedua orangtua, anak dengan salah satu orangtua, orangtua tiri atau lingkungan yang lain. Hubungan yang seperti ini menjadi pemicu menjadi seorang homoseksual atau lesbi karena adanya kecemasan dan rasa bersalah. b. Trauma Kehidupan Pengalaman hubungan heteroseksual yang tidak bahagia atau ketidakmampuan individu untuk menarik perhatian lawan jenis, dipercaya dapat menyebabkan 17 perilaku lesbi. Pandangan lama juga menganggap bahwa lesbi terjadi karena adanya trauma, dendam, tidak suka, takut atau tidak percaya terhadap laki-laki. Pandangan ini juga menganggap bahwa orientasi seksual lesbi adalah pilihan kedua setelah heteroseksual, walaupun tidak merefleksikan suatu kekurangan pengalaman berhubungan heteroseksual, maupun mempunyai riwayat hubungan heteroseksual yang tidak menyenangkan. Adanya trauma kehidupan, contoh: seorang perempuan yang patah hati dan disakiti secara terus menerus oleh pacarnya (laki-laki), merasa tidak mampu menarik perhatian lawan jenis, dan adanya berbagai trauma dalam kehidupan (Contoh: mengalami perkosaan atau kekerasaan seksual oleh laki-laki) yang menjadi pemicu dan salah satu latar belakang seorang perempuan memilih jalan sebagai seorang lesbi. c. Tanda-tanda Psikologis Dapat dilihat sewaktu kanak-kanak terutama dalam hal bermain dan berpakaian yang dianggap dapat memprediksikan perilaku homoseksual di kemudian hari. Anak laki-laki yang bermain boneka, memakai baju perempuan, atau tidak menyukai permainan laki-laki disebut sissy. Pada perempuan yang tidak menyukai permainan perempuan seperti boneka dan senang bermain dengan teman laki-laki dan memakai pakaian laki-laki disebut tomboy. d. Pengalaman Seks yang Pertama Hal ini sering berpengaruh pada orientasi seks selanjutnya, terutama pada individu yang belum matang kepribadian seksualnya. Misalkan seorang remaja perempuan yang melakukan kegiatan seks dengan laki-laki dewasa, kemudian remaja perempuan tersebut menganggap suatu yang tidak menyenangkan, maka remaja perempuan itu menolak untuk melanjutkan hubungan seksual dengan laki-laki 18 (heteroseksual), dan kemungkinan besar mendorong untuk menjadi homoseksual atau lesbi. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada berbagai macam hal yang dapat mendorong dan mempengaruhi seseorang menjadi homoseksual, khususnya lesbi yang dijelaskan dengan dua macam teori yaitu, teori biologi yang dihubungkan pada faktor genetik dan faktor hormonal dan teori psikososial yang dihubungkan pada pola asuh, trauma kehidupan, tanda-tanda psikologis individu dan pengalaman seks yang pertama. Hal tersebut di dukung oleh kajian Soewandi (2012) yang berjudul “Lesbi dalam Pandangan Psikiatrik”, yang mengungkapkan bahwa adanya faktor psikologis sebagai salah satu penyebab lesbi. Pada penelitian tersebut membandingkan antara 100 perempuan lesbi dan 100 perempuan heteroseksual menunjukkan hasil adanya kurangnya peran seorang ayah dan kurang adekuatnya kasih sayang dari orangtua mengarahkan anak perempuan tersebut untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain hingga menjadi seorang lesbi. Penelitian yang dilakukan oleh Manning (2012) dengan judul “Digit Ratio: A Pointer to Fertility, Behavior and Health”, menyebutkan bahwa penyebab homoseksual disebabkan oleh dua faktor, yaitu: biological aspects, dan environmental aspects. Biological aspects yaitu pada faktor genetika tetapi jarang terjadi, dan environmental aspects seperti adanya pelecehan seksual saat masih anak-anak, adanya urutan kelahiran, dan penularan perilaku homoseksual. Menurut tipe-tipe homoseksual berdasarkan konflik psikis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: (Soetjiningsih, 2004) 1. Homoseksual egosintonik (sinkron dengan egonya) Seorang homoseksual yang merasa tidak terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang dialami, serta tidak ada desakan atau dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Orang homoseksual 19 egosintonik mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang heteroseksual. Pada perempuan lesbi yang masuk dalam tipe homoseksual egosintonik akan lebih terbuka, mandiri, fleksibel, dan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Kelompok ini mampu menjalankan fungsi sosial dan seksualnya secara efektif, karena individu tersebut tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis dibandingkan dengan lesbi yang menutupi orientasi seksual (non-coming out). 2. Homoseksual egodistonik (tidak sinkron dengan egonya) Homoseksual yang mengeluh dan merasa terganggu akibat adanya konflik psikis. Seorang perempuan yang termasuk dalam homoseksual egodistonik akan senantiasa tidak atau terangsang oleh lawan jenis (laki-laki) dan hal ini menghambatnya untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya, namun perempuan tersebut juga menjalankan hubungan dengan sesama perempuan dan kemungkinan adanya konflik bawah sadar yang dialami. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, tertutup, kesepian, malu, cemas dan depresi, sehingga homoseksual ego distonik dianggap sebagai gangguan psikososial. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan ada dua tipe homoseksual yang dilihat dari konflik psikis yaitu homoseksual egosintonik (sinkron dengan egonya) dan homoseksual egodistonik (tidak sinkron dengan egonya). Pada perempuan lesbi yang masuk dalam tipe homoseksual egosintonik merasa tidak terganggu dan menerima orientasi seksualnya, sehingga akan lebih terbuka, mandiri, fleksibel, dan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Sebaliknya, pada perempuan lesbi dengan tipe homoseksual 20 egodistonik merasa mengeluh dan terganggu akibat adanya konflik psikis, sehingga menyebabkan perasaan bersalah, tertutup, kesepian, malu, cemas dan depresi. 2. Coming out (Pengungkapan Diri) a. Pengertian Coming out Pengungkapan diri yang dilakukan oleh kaum homoseksual atau dikenal dengan istilah coming out. Menurut Cass, coming out merupakan sebuah bentuk pengakuan, penerimaan, dan keterbukaan mengenai orientasi seksual seseorang kepada dirinya sendiri dan orang lain (Anderson & Brown, 2009). Devito (2011) menyebutkan pengungkapan diri adalah komunikasi yang dilakukan seseorang untuk mengungkapkan suatu informasi dan perasaan pribadi tentang diri sendiri kepada orang lain. Coming out adalah proses individu dalam mengetahui, menerima dan mengekspresikan secara terbuka mengenai kencenderungan homoseksualnya (Crooks & Baur, 1990). Menurut Davies (1992), pengungkapan diri (coming out) didefinisikan sebagai jalan yang penuh bahaya bagi homoseksual, saat untuk mengakui kebenaran mengenai diri sendiri dan mengesahkan label penghinaan yang diberikan oleh orang lain terhadap kaum homoseksual. Signorile (1996), coming out adalah tidak terdapat lagi kekhawatiran jika identitas seksual sebagai homoseksual diketahui oleh lingkungannya, teman, maupun keluarga. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa coming out merupakan suatu proses perkembangan jati diri dalam bentuk penerimaan diri, pengakuan, keterbukaan, ekspresi dan tidak khawatir memberitahu perilaku homoseksualnya kepada teman maupun keluarga dan siap menerima segala risiko dari keputusan coming out yang telah dilakukan. 21 b. Tahapan Coming out Proses dari coming out memiliki suatu rangkaian atau tahapan yang terbagi ke dalam lima tahapan yaitu (Vaughan, 2007): 1. Awareness Proses ini dimulai dari adanya perasaan yang berbeda dengan teman sebaya yang memiliki gender sama. Adanya ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, dan mulai merasa berbeda dengan norma gender yang tradisonal yang mengharuskan berpasangan dengan lawan jenis. Proses ini merupakan proses yang sangat membingungkan dan penuh dengan tekanan sosial bagi seseorang yang merasa adanya ketertarikan dengan sesama jenisnya, karena harus menyesuaikan dengan norma dan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat. Resolusi untuk masalah ini akan muncul jika individu mempersiapkan kemungkinan untuk menjadi lesbi. 2. Exploration Pada proses ini, seorang sudah menyadari adanya yang berbeda yaitu adanya ketertarikan seksual dengan sesama jenis. Adanya kesadaran tersebut, membuat suatu toleransi dan keterbukaan yang semakin tinggi untuk menyelidiki seksualitas yang berbeda tersebut. Individu akan mulai untuk mencari lingkungan yang sesuai dan sama dengan individu yaitu lingkungan lesbi, untuk dapat belajar dari kaum lesbi lainnya tentang bagaimana arti menjadi seorang lesbi. Hal ini mencakup keikutsertaan dalam organisasi, acara, atau area sosial yang diasosiasikan dengan suatu komunitas atau kelompok lesbi. Resolusi dari proses ini terjadi jika individu menyimpulkan bahwa individu tersebut adalah anggota dari komunitas lesbi, dan mengadopsi identitas seksualnya sebagai lesbi, dan menetapkan hubungan pada suatu kelompok atau komunitas lesbi. 22 3. Acceptance Pada proses ini, individu menolak identitas heteroseksual dan menginternalisasikan identitas individu sebagai lesbi. Selain itu, penerimaan ini dihubungkan dengan kontak sosial yang lebih luas dengan lesbi lainnya, menjalin pertemanan, dan mengejar kesempatan untuk terlibat dalam hubungan seksual atau romantis dengan individu yang memiliki gender yang sama. Resolusi dari periode ini muncul saat individu mencapai titik untuk dapat menerima dan mengapresiasikan sepenuhnya identitas sebagai seorang lesbi. 4. Commitment Pada proses ini, individu semakin hanyut dalam suatu kelompok atau komunitas lesbi. Akibatnya, individu seringkali menjadi aktivis sosial dan politik untuk memperjuangkan hak yang sederajat bagi individu dan lesbi yang lainnya serta berusaha untuk mengubah stereotip yang negatif tentang lesbi dalam masyarakat. Secara internal, komitmen ini diekspresikan melalui penerimaan penuh dan tidak terkondisi atau merasa terisolasi dari identitas sebagai lesbi. Resolusi dari periode ini adalah adanya suatu kenyamanan dan penerimaan diri yang diartikan sebagai perasaan bangga terhadap identitas seksualnya sebagai lesbi. 5. Integration Periode ini fokus untuk mencapai kesesuaian maksimal dan keterbukaan antara pribadi sebagai lesbi kepada lingkungannya. Pada tahap ini, individu telah mampu membuat keputusan tentang siapa yang dapat dipercaya untuk memberikan dukungan dan penguatan bagi identitas seksualnya sebagai lesbi. Resolusi pada tahap ini, Individu telah siap untuk memberitahukan kepada siapapun, terutama kepada keluarga bahwa individu tersebut adalah seorang lesbi. Individu tersebut 23 telah siap terbuka dan percaya diri untuk menunjukkan kepada siapapun mengenai identitas seksualnya sebagai lesbi. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat simpulkan bahwa seorang lesbi yang dikatakan sudah melakukan coming out adalah ketika lesbi tersebut telah berada pada tahapan integration, dan melewati tahapan awareness, exploration, acceptance, dan commitment. Proses untuk melakukan coming out bukan hal yang mudah, karena dibutuhkan suatu proses yang panjang untuk berani menerima segala risiko sampai pada tahapan coming out, khususnya pada seorang lesbi kepada keluarga, teman heteroseksual dan lingkungan sosialnya. Hal tersebut didukung dari penelitian Carien Lubbe (2010) dengan judul: Significant Other Experience of the Coming Out Process of Lesbi Individual. Pada penelitian tersebut menggunakan 2 orang lesbi yang yang telah coming out, dan 4 orang sebagai significant others. Dalam penelitian tersebut adanya kesadaran dan kecurigaan yang hadir sebelum responden melakukan coming out dan setelah coming out adanya berbagai reaksi emosional dari negatif dan positif yang diterimanya. coming out yang dilakukan responden merupakan suatu yang berkesan dan berhubungan terhadap penerimaan diri untuk mampu terbuka dan jujur terhadap diri sendiri. Beberapa faktor yang mendasari dan mendukung terjadinya coming out, yaitu (Paul, Gonsiorek & Hotvedt, 1982): 1. Ingin berkembang menjadi individu yang berjiwa sehat dengan konsep diri positif. 2. Ingin mengubah mitos dan stereotip yang ada di masyarakat mengenai homoseksual. 3. Ingin memiliki rasa percaya diri yang baik. 4. Ingin dapat bersosialisasi dalam masyarakat tanpa memandang bahwa dirinya memiliki orientasi seksual yang berbeda. 24 5. Ingin mengurangi gejala-gejala kecemasan. c. Dampak Coming Out Menurut Coleman (1982) ada beberapa dampak dari coming out pada homoseksual, yaitu dampak positif dan dampak negatif bagi homoseksual yang dapat mencapai tahap coming out. 1. Dampak positif melakukan coming out Individu dengan identitas seksual sebagai lesbi memiliki rasa percaya diri yang baik, dapat bersosialisasi dengan masyarakat tanpa memandang bahwa dirinya memiliki orientasi seksual yang berbeda, sehat secara psikologis, dalam arti mempunyai harga diri (self-esteem) yang lebih positif, serta berkurangnya gejala kecemasan dan berkurangnya depresi. 2. Dampak negatif melakukan coming out Bisa menghancurkan keluarga yang akan berdampak bagi kaum homoseksual itu sendiri, seperti dibuang oleh keluarga, tidak diakui oleh keluarga, dihina oleh masyarakat umum, dikucilkan baik oleh teman maupun lingkungan sosial, dikeluarkan dari pekerjaan, atau tidak diterima bekerja dalam suatu perusahaan. Dalam penelitian dari Gottschalk (2007) terdapat risiko-risiko yang harus dipertimbangkan ketika melakukan coming out, yaitu: 1. Intoleransi diri Intoleransi diri (ketidakmampuan diri) yang dilakukan oleh seorang lesbi memungkinan terjadinya penolakan, menjadi marah dan kecewa, merasa tidak nyaman berada disekitar orang yang telah mengungkapkan diri, melakukan penghindaraan terhadap lesbi dan diskriminasi. Hal ini jelas dapat mempengaruhi seorang lesbi untuk melakukan coming out. 25 2. Merubah hubungan Saat seorang lesbi melakukan coming out pada orang terdekatnya akan memiliki konsekuensi tertentu yaitu adanya perubahan hubungan yang kuat menjadi melemah atau berubah selamanya, karena orang terdekat tersebut bisa saja tidak menerima pengungkapan identitas seksual yang dilakukan. 3. Hilangnya dukungan ekonomi Seorang lesbi yang coming out pada keluarganya akan memiliki risiko adanya kemungkinan untuk tidak didukung lagi secara finansial, diusir, dan dipaksa untuk kembali ke heteroseksual. Adanya suatu hambatan yang dirasakan oleh seorang lesbi dalam melakukan coming out, seperti: adanya individu yang merasa ragu untuk melakukan coming out karena memiliki persepsi bahwa tindakan lesbi adalah perbuatan yang salah, dan adanya rasa permusuhan yang diekspresikan oleh orang lain yang mencegah individu tersebut melakukan coming out (Evans & Broido, 1999). Hal tersebut didukung dari penelitian dari Kline (2006) dengan judul: “Discovering Lesbi Community? An Exploration of Lesbi Experiences and Perceptions of Shared Community”, Kline membahas mengenai pengalaman lesbi, dan adanya akses yang terbatas yang membuat kaum lesbi mengalami pengucilan sosial sehingga adanya kebingungan untuk melakukan coming out. Menurut Evans dan Broido (1999), seorang homoseksual yang tidak melakukan coming out atau staying in the closet (menutup diri) cenderung memlilki perasaan cemas, bersalah, kesepian dan terisolasi. Adanya kecenderungan berpikir untuk bunuh diri, tidak percaya diri, dan menyakiti diri sendiri. Selain itu mengalami konflik internal, seperti: menutup diri, ketakutan bila ada orang lain tahu dan menciptakan jarak antara orang lain atau penghindaran intimasi dari orang-orang terdekat. 26 Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa coming out pada lesbi khusunya lesbi femme bukan hal yang mudah. Lesbi femme yang bersembunyi dibalik penampilan feminimnya dan sulit diketahui sebagai seoraang lesbi mengalami hambatan dalam melakukan coming out. Penelitian ini bukan menyimpulkan bahwa semua lesbi femme tidak mampu melakukan coming out, namun penelitian ini berfokus pada hambatan lesbi femme dalam melakukan coming out. B. Perspektif Teoretis Perspektif teoretis dalam penelitian ini mengambil latar belakang bahwa homoseksual di Indonesia merupakan orientasi seksual yang masih dianggap tabu dan sulit diterima oleh masyarakat. Homoseksual adalah orientasi seksual atau pilihan seks yang diarahkan atau ketertarikan pada jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2003). Secara keilmuan psikologi, homoseksual sudah tidak dianggap lagi sebagai sebuah gangguan kejiwaan sejak tahun 1973 hingga sekarang. Hal tersebut berdasarkan acuan terbaru dari DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) dan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) bahwa homoseksual sudah tidak masuk ke dalam kategori gangguan kejiwaan. Disisi lain, Masyarakat Indonesia khususnya di Bali masih adanya paham heteronormatif sebagai norma satu-satunya orientasi seksual yang lazim dan pantas diakui dalam masyarakat yaitu heteroseksual, sedangkan diluar heteroseksual dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual dan pantas untuk disingkirkan atau mengalami diskriminasi (Kadir, 2007). Hal tersebut diperkuat oleh hasil survey dari LSI (Lingkaran Survey Indonesia) tahun 2012 yang menemukan fakta sebesar 80,6 persen dari populasi sampel yang keberatan memiliki tetangga dari kaum gay dan lesbi (Galih & Tofler, 2012). 27 Pada masyarakat dikenal dua macam bentuk homoseksual, yaitu gay yang berarti lakilaki yang secara seksual tertarik terhadap dengan sesama laki-laki dan lesbi berarti perempuan yang secara seksual tertarik dengan sesama perempuan (Pujileksono & Puspitosari, 2005). Penelitian ini berfokus pada fenomena lesbi, karena sekelompok atau disebut kaum lesbi cenderung tertutup dan kurang begitu dikenal dan dipahami dibandingkan kaum gay, sehingga masyarakat lebih banyak menolak keberadaan lesbi dan menganggap tabu pola pikir dan tatanan seksual dari lesbi. Dalam kehidupan lesbi dikenal tiga istilah yang membedakan peran dalam hubungan lesbi yang dijalani. Peran sebagai laki-laki biasa disebut butcy atau butch, butcy dapat dilihat dari cara berpakaian dan bertingkah laku seperti layaknya seorang laki-laki. Peran sebagai perempuan biasa disebut femme, femme dapat dilihat dalam berpakaian dan bertingkah laku layaknya seorang perempuan pada umumnya yang memiliki rambut panjang dan feminim. Andro biasanya disebut sebagai peran yang fleksibel karena tergantung dari peran yang dijalani saat itu, apa berperan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan (Agustine, 2008). Berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan, bahwa lesbi femme yang diakui sangat pandai sekali menyembunyikan identitasnya sebagai lesbi, karena tidak bisa begitu saja menafsirkan seorang perempuan yang feminim adalah seorang lesbi. Lesbi femme yang bersembunyi dibalik rok dan sepatu hak tinggi, sangat sulit dilihat ditempat umum sebagai seorang lesbi, dan biasanya lesbi femme lebih menutup jati dirinya, sehingga pada penelitian berfokus pada lesbi femme saja (Rain, 2007). Di Indonesia khususnya di Bali, lesbi menjadi individu yang paling “bawah” dikarenakan dua hal utama, yaitu kuatnya budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai yang pertama dan karena homoseksual masih dianggap penyakit dan menyimpang. Paham patriarki merupakan salah satu paham dan nilai yang dianut masyarakat Bali khususnya yang 28 beragama Hindu. Paham patriarki yang menjadikan perempuan Bali merasa minoritas dan dianggap lebih rendah keberadaannya dibandingkan laki-laki (Darma, 2003). Dua hal tersebut dan banyaknya pemikiran negatif terhadap perempuan lesbi semakin membuat perempuan lesbi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat yang membuat lesbi tidak ingin membuka diri atau yang dikenal dengan istilah non coming out. Melakukan Pengungkapan diri atau dalam istilah homoseksual disebut coming out merupakan suatu proses bagaimana seorang homoseksual percaya diri dan mampu mengungkapkan identitas seksualnya kepada siapapun, yang nantinya akan berimbas pada suatu penerimaan diri identitasnya sebagai seorang homoseksual yang lebih positif. Menurut Vaughan (2007), homoseksual yang sudah melakuakan coming out adalah homoseksual yang telah mencapai 5 tahapan coming out yaitu awareness, integration, acceptance, commitment, dan integration. Pada umumnya seorang lesbi takut untuk melakukan coming out terhadap keluarga, teman-teman heteroseksual dan rekan kerja karena berbagai risiko yang dihadapi setelah melakukan coming out. Sekitar 46% dari kaum lesbi kehilangan teman dekat setelah mengungkapkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari kaum lesbi mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah dan banyak orangtua yang tidak mengakui sebagai anak (Cramer & Roach, 1988). Pada penelitian ini akan melihat lebih dalam lagi mengenai faktorfaktor apa saja yang menghambat lesbi femme dalam melakukan coming out. 29 Secara Psikologis: - DSM-V - PPDGJ III Homoseksual Gay Secara Sosial: - Menyimpang - Diskriminasi - Heteronormatif - Lesbi - Patriarki - Tabu Lesbi Butcy Coming out Lesbi Andro Hambatan coming out pada lesbi femme ? Lesbi femme Keterangan: : latar belakang namun tidak menjadi fokus penelitian : latar belakang dan menjadi fokus penelitian : pertanyaan dari penelitian : terdiri dari : mempengaruhi Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian C. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan dari penelitian ini yaitu: 1. Faktor-faktor apa yang menghambat lesbi femme di Bali untuk melakukan coming out?