Perspektif Al-Qur’an Mengenai Hak-Hak Reproduksi Perempuan 1 Musdah Mulia Pendahuluan Fungsi-fungsi reproduksi sejak awal telah mendapat perhatian yang sangat serius dari Islam. Terdapat sejumlah ayat Al-Qur'an yang menyerukan kepada orangorang beriman agar mereka menjaga organ reproduksinya. Salah satu di antaranya surat al-Nur, 30-31: ت َ ِار ِھ ْم َويَحْ فَظُوْ ا فُرُوْ َجھُ ْم َذل َ قُلْ ِل ْل ُم ْؤ ِمنِ ْينَ يَ ُغضﱡ وْ ا ِم ْن أَ ْب ِ َوقُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنَا. َك أَ ْز َكى لَھُ ْم إِ ﱠن ﷲَ َخبِ ْي ٌر ِب َما يَصْ نَعُوْ ن ِ ص ْ َار ِھ ﱠن َويَحْ ف . ظنَ فُرُوْ َجھ ﱠُن َ يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن أَ ْب ِ ص "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya (organ reproduksinya), yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang diperbuat oleh mereka. Katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya (organ reproduksinya)... ". Lalu pada ayat lain Allah swt. memuji mereka yang memelihara alat-alat reproduksinya dan menggolongkan mereka kepada orang-orang yang beroleh keberuntungan. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu` dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan tak berguna, dan orang-orang yang mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam 1 Disampaikan pada Kelompok Pengkajian Islam Ulil Albab, Bogor, 23 Desember 2015 1 hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari selain itu, maka merekalah orangorang yang melampaui batas (Q.S. al Mukmin, 1-7). Ada kesan bahwa dalam Islam upaya antisipatif terhadap organ-organ reproduksi dan fungsi-fungsinya dilakukan dalam bentuk yang ekstrim, misalnya, larangan berhubungan seksual sebelum pernikahan, termasuk segala macam prolognya, baik atas saling menyukai atau tidak. Hal-hal itulah yang seringkali disalahpahami oleh sebagian orang modern dan kemudian menuding Islam sebagai agama yang kuno dan ketinggalan zaman. Pemenuhan hak reproduksi dalam Islam Islam mengajarkan bahwa semua naluri biologis harus dipenuhi dengan cara yang diridhai, bukan melalui cara yang dimurkai. Konsekuensinya, pengekangan diri atas naluri seksual, misalnya dengan memilih kehidupan asketis (tidak menikah), justeru dipandang tidak memenuhi tuntutan-tuntutan yang baik dari Islam. Sebaliknya, semua bentuk penyaluran dan pemenuhan naluri biologis yang dilakukan tidak dengan cara yang diridhai dipandang sebagai cara yang buruk dan "fahisyah" sebagaimana dilansir dalam ayat berikut: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji serta suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra, 32). Karena itu, Islam menegaskan bahwa perilaku seksual bebas dalam berbagai bentuknya, seperti zina adalah cara penyaluran fungsi reproduksi yang tidak sehat dan terkutuk. Sebaliknya, Islam mengarahkan pemanfaatan fungsi alat-alat reproduksi tersebut kepada cara yang sehat dan bertanggung jawab yaitu melalui lembaga perkawinan. Ada banyak persoalan yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi, di ataranya perkawinan; hubungan seksual dengan segala problemanya; kehamilan dengan segala yang terkait dengannya seperti penggunaan alat-alat kontrasepsi dan aborsi; kelahiran; perawatan dan pengasuhan anak. Akan tetapi, dalam tulisan singkat ini hanya ada dua 2 persoalan yang akan disinggung, yakni perkawinan serta masalah kehamilan dan kelahiran. Perkawinan Untuk Kesehatan Reproduksi Perkawinan adalah perjanjian antara dua orang yang berlawanan jenis sesuai dengan tuntunan Allah swt. dan rasul-Nya. Perkawinan memberikan hak kepada lakilaki dan perempuan untuk mendapatkan kenikmatan seksual. Berkaitan dengan ini Wahbah al Zuhaili, pakar hukum Islam asal Siria menyatakan: "Akad nikah sebagaimana akad yang lain adalah perjanjian dua pihak dengan hak dan kewajiban yang sama, sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan (tawazun) kesepadanan (takafu) dan kesamaan (musawah).” Ia mendasarkan pandangannya pada ayat AlQur'an: "Walahunna mitslullazi 'alaihinna bil ma'ruf" (Perempuan mempunyai hak atas laki-laki sebagaimana laki-laki mempunyai hak atas perempuan) (Al Fiqh wa Adillatuhu, IX/6599). Prinsip-prinsip di atas juga harus menjadi dasar dari setiap perjanjian antara dua pihak. Perjanjian yang dilakukan tanpa merealisasikan prinsip-prinsip ini akan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Al-Qur'an dengan jelas mengemukakan "Hunna libasun lakum wa antum libasun lahun" (mereka (kaum perempuan) adalah pakaian kamu dan kamu (kaum laki-laki) adalah pakaian mereka (al-Baqarah, 187). Karena itu, perkawinan hendaknya dibangun atas dasar prinsip-prinsip kesetaraan. Ayat di atas menunjukkan ide dasar Islam tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan relasi seksual. Dengan ungkapan lain, hak yang dimiliki perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya adalah setara dengan hak lakilaki atasnya. Ini berarti pula bahwa relasi seksual harus dilakukan berdasarkan atas asas kesamaan atau asas kesetaraan. Hak suami untuk relasi seksual menjadi kewajiban atas isteri. Demikian pula sebaliknya. Dengan begitu tidak ada lagi kekuasaan mutlak satu atas yang lain. Lebih jauh lagi, dalam pembahasan tentang relasi seksual, pandangan fiqh 3 Mazhab Hanafiyah, misalnya lebih transparan. Dikatakan bahwa perempuan berhak menuntut hubungan intim kepada suaminya, dan apabila isteri menghendaki, suami wajib mengabulkannya, demikian pula sebaliknya. Mazhab Malikiyah juga menyetujui pendapat ini. Mazhab ini menyatakan bahwa suami wajib mengabulkan tuntutan seks isterinya selama tidak ada halangan. Hubungan seksual harus dilakukan secara sehat. Ini berarti relasi seksual, dan kesediaan kedua pihak untuk saling menerima dan memberi hendaknya dilakukan secara tulus, bukan paksaan. Sementara di masyarakat, pandangan yang dianut oleh kelompok mayoritas sangat bias nilai-nilai patriarkhi, yaitu bahwa kenikmatan seksual hanya menjadi milik laki-laki. Artinya, hanya para suami saja yang mempunyai hak monopoli seksual atas isterinya, sedangkan para istri harus menuruti keinginan suami. Seorang isteri berkewajiban memenuhi tuntutan seksual suami, tetapi tidak sebaliknya. Ironisnya, pandangan seperti itu dinisbahkan pada bunyi hadits Nabi saw.: ْ َاش ِه فَأَب ٌ َت َوھُ َو غَضْ ب .ان لَ َعنَ ْتھَا ْال َمالَئِ َكةُ َحتﱠى تُصْ بِ َح ِ إِ َذا َدعَا َر ُج ٌل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َر "Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia menolak dan (karena itu) suami menjadi marah, maka malaikat akan melaknat isteri tersebut sampai pagi". (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut jika dipahami secara tekstual niscaya akan menimbulkan kesan kuat adanya superioritas laki-laki atas perempuan. Lebih fatal lagi, bahwa pemahaman yang sangat tektualis itu dijadikan sebagai alat legitimasi bagi laki-laki untuk memaksa perempuan dalam hal hubungan seksual. Pemahaman seperti ini sangat terasa dalam realitas sehari-hari kehidupan umat Islam. Tidaklah mengherankan jika kemudian ditemukan banyak kasus pemaksaan seksual, bahkan kekerasan seksual (sexual abuse) atau dalam bentuk yang lebih parah seperti perkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam wilayah domestiknya. Secara logika sehat, sulit menerima hadis tersebut hanya dengan melihat arti tekstual semata, oleh karena itu mari kita coba menganalisisnya. Kata "abat (istri 4 menolak) dalam konteks ini perlu diketahui alasannya, misalnya atas dasar apa penolakan itu dilakukan, apa latar belakangnya. Penolakan isteri terhadap ajakan suaminya untuk hubungan intim tanpa didasari alasan-alasan yang logis, atau bahkan tidak beralasan tentu pantas memperoleh hukuman berupa kutukan malaikat. Jika kesalahan itu ternyata ada pada pihak perempuan, hukuman itu wajar dikenakan kepadanya. Dalam keadaan demikian ia dipandang nusyuz. Akan tetapi, jika penolakan itu sungguh-sungguh dilakukan atas dasar alasanalasan kemanusiaan, seperti sakit, lelah, capek, atau sedang tidak bergairah, maka tentu sangat dapat dibenarkan. Atau penolakan itu disebabkan oleh kondisi suami yang selama ini memperlakukannya secara bengis dan tidak manusiawi, maka dalam hal ini kesalahan ada pada pihak laki-laki (suami) dan ia pun mesti dipandang nusyuz dan juga mendapat kutukan para malaikat. Dengan demikian suami atau isteri, keduanya berpotensi melakukan nusyuz dan keduanya juga sama-sama bisa dilaknat. Pandangan ini berbeda dengan pandangan mayoritas tentang nusyuz yang selalu dialamatkan pada perempuan. Menarik dikemukakan di sini pandangan dua pakar hadis. Pertama, Ibnu Hajar al-Asqalani, pakar hadis terkemuka, dalam bukunya Fath al Bari mengatakan bahwa kutukan itu ditimpakan kepada si perempuan (isteri yang menolak), jika dia melakukan tanpa alasan apapun. (Juz IX/294). Kedua, Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa hukuman itu ditimpakan kepada istri apabila ia tidak disibukkan oleh urusan-urusan yang menjadi kewajibannya dan apabila ia tidak merasa dirugikan secara fisik maupun mental (ma lam yusyghilha an al-faraid aw yadhurruha) (Al Fiqh, IX/6851). Selanjutnya, Al-Zhaili menambahkan bahwa kalimat fa baata ghadhban (dan suami sepanjang malam dalam kondisi marah) dianggap sebagai syarat kondisional. Artinya kutukan itu hanya ditimpakan pada istri jika akibat perbuatannya yang tanpa alasan itu menjadikan suaminya marah sepanjang malam. Tetapi, jika kondisi itu tidak terjadi, maka kutukan itupun tidak terlaksana. Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa alasan istri menolak ajakan suaminya perlu ditelusuri. Jika alasan 5 penolakannya itu logis dan memenuhi keriteria syar`i ia tidak berhak dipersalahkan apalagi dilaknat, dan justru sebaliknya, suami merekalah yang harus dilaknat. Pertanyaan muncul apakah masuk akal Nabi saw. -yang dalam banyak hal menyerukan umatnya agar hidup damai penuh kasih sayang- mengajarkan dan menghendaki tindak kekerasan melalui pemaksaan seksual? Sebab, semua bentuk kekerasan dan pemaksaan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perkawinan, seperti prinsip mawaddah wa rahmah, dan wa`asyiruhunna bil ma`ruf, bahkan juga tidak sejalan dengan penegasan Al-Qur'an tentang tujuan perkawinan: "... agar kamu tenteram bersamanya, dan Dia menjadikan kamu berdua (dengan perkawinan itu) saling mencintai dan menyayangi...". (Q.S. Al Ruum, 21). Segala bentuk kekerasan dan pemaksaan tidak sesuai dengan prinsip "mu'asyarah bil ma'ruf". Bukankah Nabi saw. pernah menegaskan bahwa "laki-laki yang baik dan terhormat adalah mereka yang menghargai perempuan. Sebaliknya, lakilaki jahat adalah mereka yang menghina dan melecehkan perempuan" (HR. Ibnu Syakir). Persoalan Kehamilan dan Kelahiran Mengandung dan melahirkan merupakan fungsi reproduksi yang kodrati bagi perempuan. Akan tetapi, harus diingat bahwa kedua fungsi tersebut merupakan akibat dari relasi laki-laki dan perempuan sehingga seharusnya segala resiko dan dampak yang muncul akibat pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut menjadi tanggung jawab bersama: laki-laki dan perempuan, bukan semata-mata dibebankan pada pundak perempuan sebagaimana dipraktekkan di masyarakat. Al-Qur'an menggambarkan kehamilan sebagai sesuatu yang amat berat (wahnan 'ala wahnin) (Q.S. Luqman, 14), atau sebagai "kurhun" (melelahkan) demikian pula dengan aktivitas melahirkan (Q.S. al Ahqaf, 15). Mengandung dan melahirkan merupakan tugas kemanusiaan yang sangat mulia dan tugas-tugas itu hanya mampu dilakukan oleh perempuan, konsekuensinya perempuan hendaknya dihargai dan 6 dihormati karena bersedia menjalani tugas-tugas mulia tetapi sangat berat tersebut. Itulah sebabnya Allah swt. menyuruh manusia agar memperlakukan perempuan hamil secara bijaksana dan hati-hati. Di samping itu, Allah swt juga memerintahkan manusia agar berbakti kepada orang tuanya, terlebih-lebih kepada ibunya. Bahkan, ditegaskan bahwa tingkat kebaktian pada ibu berada satu tingkat di atas kebaktian kepada ayah. Betapa besar pembelaan Allah kepada kaum ibu. Proses mengandung dan melahirkan demikian beratnya sehingga Al-Qur'an perlu memberikan petunjuk agar proses reproduksi dilakukan dalam jarak waktu yang cukup, yaitu dua tahun lebih (Q.S. Luqman, 14 dan al-Ahkaf, 15). Apa yang menjadi tujuan dibalik petunjuk Al-Qur'an tersebut adalah terpeliharanya kesehatan alat-alat reproduksi perempuan dan kesehatan tubuh perempuan secara umum serta kesehatan anaknya. Rasa sakit, penderitaan, dan kemungkinan mengalami kematian akibat kehamilan dan melahirkan hanya dirasakan oleh kaum perempuan. Ini seharusnya memberikan kesadaran laki-laki untuk dapat mempertimbangkan aspirasi dan keberatankeberatan untuk hamil yang diajukan perempuan. Dengan ungkapan lain, sudah selayaknya kaum perempuan diberikan hak untuk mengambil keputusan, dan bahkan hak menyatakan keberatan atas kehamilannya. Para istri hendaknya memiliki kesempatan untuk memilih apakah ia akan hamil atau tidak, apakah ia akan melahirkan atau tidak? Sebaliknya, adalah merupakan kewajiban para suami mempertimbangkan dan mendengar aspirasi dan pendapat istriistri mereka. Persoalan hamil dan melahirkan jangan semata-mata merupakan keinginan suami atau keluarga sehingga dirasakan sebagai beban oleh istri, melainkan harus pula menjadi keinginan dan kehendak sang isteri. Diakui bahwa persoalan hamil seringkali sulit dihindari selama relasi seksual tetap dilakukan. Seks bagaimanapun merupakan kebutuhan yang seringkali tak bisa dihindarkan, baik bagi laki-laki (suami) maupun perempuan (isteri). Jika keadaan ini berlangsung, sementara kehamilan menjadi hal yang tak diinginkan karena berbagai 7 alasan, alternatif pencegahan perlu dilakukan melalui berbagai cara. Secara tradisional, pencegahan kehamilan dapat dilakukan dengan azl (coitus interuptus) atau senggama terputus atau melalui pantang berkala. Dewasa ini pencegahan kehamilan dapat dilakukan melalui berbagai macam cara sebagaimana dikenal dalam program Keluarga Berencana (KB). Islam memberikan pembenaran atas cara-cara ini, selama tidak dimaksudkan untuk mematikan keturunan. Mematikan keturunan hanya dapat dibenarkan karena alasan darurat yang dibenarkan, misalnya jika terdapat kondisi yang sangat membahayakan jiwa perempuan. Dengan begitu program keluarga berencana seharusnya diarahkan bagi terpeliharanya kemaslahatan manusia, seperti untuk kesehatan reproduksi, bukan untuk kepentingan politik atau ekonomi. Hak reproduksi merupakan salah satu di antara 5 hak dasar individu yang harus ditegakkan oleh masyarakat dan negara. Imam Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12, menulis dalam bukunya ihya` `Ulumuddin: di antara kewajiban negara terhadap warganya adalah memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar manusia, yaitu: 1) hak dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat, termasuk keselamatan fisik bagi perempuan dalam melaksanakan fungsi reproduksinya; 2) hak dasar akan kebebasan berkeyakinan (akidah); 3) hak dasar akan kesucian keluarga dan keselamatan keturunan; 4) hak dasar akan keselamatan milik pribadi (individual proverty); 5) hak dasar akan keselamatan profesi. Memenuhi kelima hak dasar tersebut merupakan prasyarat bagi terbentuknya suatu masyarakat madani yang berkeadilan. Sebagai penutup ada baiknya dikemukakan di sini pernyataan Abdul Wahab Khallaf dalam kitab `Ushul Fikihnya bahwa teks-teks ayat hukum tidak bisa dipahami secara tepat dan benar, kecuali oleh orang yang benar-benar menyelami tujuan hukum (maqasid al-syariat) dan mengetahui aspek kontekstual, antara lain berupa kasus-kasus yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat hukum tersebut. 2 Demikianlah semoga 2 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, hal. 98. 8 pernyataan ulama besar itu dapat memberi pencerahan kepada kita semua, khususnya dalam memahami hak-hak reproduksi. Wallahu a`lam bi as-sawab 9