BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Tentang Kognitif Kognitif (cognitive atau cognition) menurut kamus Oxford adalah kata terkait dengan arti mengetahui, persepsi (nalar) atau konsep tentang sesuatu yang dikaitkan. Menurut Chaplin (1989) bahwa : kognitif artinya suatu konsep umum yang mencakup semua konsep pengenalan. Termasuk didalamnya ialah mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, berpikir, memperkirakan, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Menurut Efendi (1986) bahwa : di dalam ilmu komunikasi pengaruh yang paling awal dapat dialami oleh pihak komunikan (penerima pesan) adalah nilai informasi atau nilai kognitif tentang sesuatu pendapat. Menurut Greenwald (2004) bahwa : kognitif itu dilihat dari bidang psikologi adalah ilmu pengetahuan yang didapat untuk perobahan sikap dari sikap negatif ke positif. Kognitif menekankan pada proses mental. Ilmu pengetahuan yang diterima, diproses melalui pernilihan, perbandingan dan penyatuan dengan ilmu pengetahuan lain yang ada dalam ingatan. Menurut Sofa (2008) bahwa : kognitif berhubungan erat dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, pengaplikasi, menganalisis dan kemampuan mengevaluasi. 2.1.1. Kognitif Hukum Menurut Soekanto (2008) bahwa : Memilah hukum itu menjadi 9 (sembilan), yaitu (1) hukum dalam arti ilmu (Pengetahuan), (2) hukum dalam arti disiplin atau ajaran tentang kenyataan, (3) hukum dalam arti kaidah atau norma, (4) hukum dalam arti tata hukum positif tertulis, (5) hukum dalam arti keputusan pejabat, (6) hukum dalam arti petugas, (7) hukum dalam arti proses pemerintahan, (8) hukum dalam arti perilaku yang teratur dan (9) hukum dalam arti jalinan nilai-nilai. Kognitif hukum berarti tingkat konsep atau ilmu pengetahuan tentang hukum yang dimiliki, baik oleh individu maupun oleh komunitas. Menurut Didin (2008) bahwa : "Penegakan hukum adalah ; (1) menciptakan ketertiban umum; (2) mencari kebenaran dan keadilan; (3) menegakkan hak asasi manusia. Tujuan mikro hukum adalah : (1) mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk; (2) membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna (3) menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana dan (4) pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan diperkirakan merendahkan martabat manusia". Sujatno (2008) menyatakan ; individu diberikan pengetahuan hukum supaya kelak mereka memiliki sikap sadar dan menurut hukum. Suyatno selanjutnya mengutip Pemidanaan dimaksudkan sebagai sarana untuk menghilangkan keinginan/motivasi melakukan kejahatan. Selama menjalani pidana, pelanggar hukum menjalani penyembuhan (treatment) berupa program seperti bimbingan, pendidikan dan pelatihan kerja. Upaya pembinaan (perbaikan perilaku) difokuskan pada upaya `mengobati' pelaku kejahatan (pelanggaran hukum). Pada banyak bentuk-bentuk kasus, hal tersebut berlangsung karena ketidaksadaran bahwa ada masalah pelanggaran hukum di dalam perlakuan individu. Pihak yang terlanjur mendapat hukuman karena ketidaktahuan, patut dan sebenarnya diberikan kesempatan untuk memahami masalah pelanggaran hukum yang telah ia lakukan. 2.1.1.1. Penyuluhan Hukum Menurut Bandura (2001) bahwa : "Penyuluhan hukum (observational learning ) adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru yang mempelajari hal-hal belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling)". Penyuluhan hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari penyuluhan hukum. Menurut Piaget (1998) bahwa : Penyuluhan hukum adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana perseorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan, tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan. Menurut Merdikanto (1996) bahwa : "Penyuluhan hukum merupakan salah satu cara mengkomunikasikan masalah-masalah hukum yang dihadapi individu dalam aktifitasnya sehari-hari". 2.1.1.2. Bantuan Hukum Menurut Hadikusuma (1992) bahwa : bantuan hukum adalah tenaga, pikiran hukum, karya hukum yang digunakan untuk membantu pars pihak yang terperkara. Menurut Zoebir (2008) bahwa : bantuan hukum adalah bantuan jasa penanganan terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi pada diri seseorang (personal trouble) maupun kelompok (public issue) yang berguna dalam melakukan upaya dalam penanganan permasalahannya. Menurut Soeparman (1999) bahwa : Bantuan hukum adalah : bantuan memberikan jasa untuk ; (1) memberikan nasihat hukum dalam bentuk penyuluhan, (2) bertindak sebagai pendamping atau kuasa seseorang untuk menyelesaikan masalah yang timbul karena adanya perselisihan hukum yang menyangkut hak dan kewajiban seseorang dimuka pengadilan, (3) bertindak sebagai pendamping dan pembela seseorang yang disangka/didakwa melakukan kejahatan dalam perkara pidana atau perdata dimuka pengadilan. 2.1.2. Kognitif Medis Kata Medis didalam penelitian ini dimaksudkan untuk berfokus pada kegiatan pengajaran pengobatan (treatment) terhadap para warga yang mengalami kekurangtahuan tentang masalah informasi (kognitif) medis yang terkait di dalam aldbat dari perilaku yang merugikan. Masalah kesehatan (medis) banyak yang timbui sebagai aldbat dan ketidak tahuan individu dari efek samping perbuatannya. Menurut green (1988) bahwa : "kognitif medis adalah konsep penyuluhan medis juga merupakan proses belajar pada individu, kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi sendiri menjadi mampu mengatasi sendiri masalah-masalahnya". Pengetahuan (kognitif) medis akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pengetahuan medis. Selanjutnya perilaku medis akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan individu sebagai keluaran (outcome) pengetahuan medis. 2.1.2.1. Penyuluhan Medis Menurut Neisser (1987) bahwa Penyuluhan medis adalah proses belajar transformasi dari masukan (input), kemudian masukan tersebut direduksi, diuraikan, disimpan, ditemukan kembali, dan dimanfaatkan, yang dimulai dari kontak individu dengan dunia luar. Menurut Gestalt (1985) bahwa : Penyuluhan medis adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dari sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan. 2.1.2.2. Konseling Menurut Rogers (1942) bahwa : "Konseling adalah suatu hubungan yang bebas dan berstruktur yang membiarkan individu memperoleh pengertian sendiri yang membimbingnya untuk menentukan langkah-langkah positif ke arah orientasi baru". Menurut Smith (1955) bahwa : "Konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan pribadi antara individu yang mengalami kesulitan dengan individu yang profesional yang latihan, pembelajaran dan pengalamannya mungkin dapat dipergunakan untuk membantu individu agar mampu memecahkan persoalan pribadinya. Smith juga membuat kesimpulan bahwa penyuluhan medis dan konseling berpengaruh terhadap kognitif medis. Dengan adanya penyuluhan medis dan konseling akan sangat membantu masyarakat, kelompok atau individu dalam mengetahui dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 2.2. Teori tentang Perilaku Menurut Chaplin (1989) bahwa : perilaku (behaviaur) adalah sembarang bentuk tingkah laku yang kompleks yang tersusun atas komponen-kompenen individual yang jelas dan nyata dan terorganisir dalam satu kesatuan dalam seorang individu. Menurut Simanjuntak (2003) bahwa : Arti dan Pelaksanaan Pembinaan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) adalah supaya WBP ; (1) WBP menyadari kesalahannya; (2) memperbaiki diri; (3) tidak mengulangi tindak pidana; (4) mencintai lingkungannya/masyarakatnya; (5) siap turut berperan dalam pembangunan bangsa dan (6) siap untuk hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Menurut Simanjuntak (pada bagian berikut) bahwa : Pelaksanaan pembinaan terhadap WBP memiliki komponen — komponen ; (1) pengayoman; (2) persamaan perilaku; (3) pendidikan; (4) pembimbingan; (5) penghormatan atas harkat dan martabat manusia; (6) kebebasan yang dibatasi dan (7) masih memiliki hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sebagian dari keterbatasan yang disebutkan adalah untuk tujuan pembinaan dan pengamanan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan sendiri. Menurut Bandura (2001) bahwa : perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atau stimulus melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Untuk merealisasikan tujuan murni dari Rutan Klas I Medan, oleh Rutan Klas I Medan apapun yang dilakukan di Rutan Klas I Medan dapat selalu menjadi lebih baik dan berproses sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Margono (2003) bahwa : Dalarn suatu rangkuman bahwa pemasyarakatan sebagai suatu sistem diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, yang menyadari kesalahan, mampu memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik. Tentang fenomena adanya kegagalan dari Rutan memasyarakatkan Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga mampu berubah dan menunjukkan perilaku yang lebih baik. Menurut Didin (2003) bahwa : mengungkapkan bahwa hal tersebut adalah wajar terjadi dalam porsi yang kecil karena pada dasarnya di dalam keterbatasannya. Rutan Klas I Medan adalah sama seperti institusi pengayoman ataupun pendidikan lain di masyarakat yang tidak selalu mampu merubah perilaku siapapun kecuali pada individu tersebut mampu dan mau mengembangkan kesadaran kognitif (pengetahuan), kesadaran bersikap (attitude) dan kesadaran berperilaku (efek konatif yang ditunjukkan dengan perilaku) yang dapat diterima oleh masyarakat. Menurut Kimberlin (1994) bahwa : "Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi dan/atau genetika". Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Menurut Simanjuntak (2003) bahwa : narapidana, Warga Binaan Pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan yang telah divonis hakim karena melakukan tindak pidana narkoba ataupun karena tindak pidana lainnya, yang masih memiliki ketergantungan dengan narkoba. Warga Binaan Pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan yang telah divonis karena melakukan tindak pidana narkoba, yang masih memiliki ketergantungan dengan narkoba (Dep. Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2004). 2.2.1. Perilaku Hukum Seperti diketahui, hukum sebagai pengendalian sosial dimungkinkan untuk merumuskan proposisi-proposisi yang menjelaskan tentang kuantitas hukum dan gaya hukum pada setiap tempat. Masing-masing dari proposisi ini menunjukkan hubungan antara hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial, yaitu ; statisfikasi, morfologi, kultur, organisasi dan sosial control. Soekanto (1982) menyatakan : Memilah hukum itu menjadi 9 (sembilan), yaitu : (1) hukum dalam arti ilmu (pengetahuan), (2) hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan, (3) hukum dalam arti kaidah atau norma, (4) hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis, (5) hukum dalam arti keputusan pejabat, (6) hukum dalam arti petugas, (7) hukum dalam arti proses pemerintahan, (8) hukum dalam arti perilaku yang teratur, dan (9) hukum dalam arti jalinan nilai-nilai. Secara lebih umum, kuantitas hukum diketahui dan mencakup sejumlah larangan, kewajiban dan standar-standar lain dimana orang merupakan subjeknya. Kuantitas hukum beraneka ragam dari waktu ke waktu, antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Keanekaragaman kuantitas hukum juga terjadi dengan adanya perbedaan person yang mengajukan tuntutan atau gugatan, adanya perbedaan sosok penegak hukum yang menangani suatu kasus. Marcella (2008) menyatakan : Perilaku hukum dapat dimaknai dengan "gaya hukum" (the style of law) yang juga merupakan suatu variabel kuantitatif yang dapat menjadi alat pengendali sosial. Beberapa "style of law" yang mungkin diamati yang masing-masing berkaitan dengan suatu gaya pengendalian sosial yang banyak ditemukan di dalam kehidupan sosial adalah : (1) gaya penghukuman (the penal style), (2) gaya konpensasi (the compensatory style), (3) gaya terapi (the therapeutic style), (4) gaya konsiliasi (the conciliatory style). Perilaku hukum ini sangat terkait dengan stratifikasi. 2.2.2. Perilaku Propososial Byrne (2003) menyatakan ; Perilaku propososial sebagai segala tindakan apapun yang menguntungkan orang lain. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. Proses rehabilitasi dan pembinaan mental yang dilakukan tidak mampu membuat perilaku Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Medan banyak berubah. Perilaku mereka yang pernah dihukum, dibina di dalam Rutan Klas I Medan tidak banyak yang bertahan, tobat setelah mereka kembali ke masyarakat. Ada pandangan bahwa kendala yang dialami, akan lebih terkendali bila proses promosi dan pencegahan dilakukan jauh sebelum seseorang terjerurnus memakai narkoba itu sendiri. Maksudnya bahwa tindakan pencegahan di masyarakat di luar Rutan Klas I Medan akan lebih bermanfaat mengikis habis pelanggaran, bila kelompok masyarakat melakukan sendiri pembinaan/promosi anti narkoba terhadap kaum di lingkungannya secara efektif. Masyarakat perlu berpartisipasi menegakkan perilaku hidup sehat tanpa narkoba pada warga lingkungannya. Menurut Basti (2007) bahwa ; Perilaku propososial merupakan tindakan yang mempunyai akibat sosial secara positif, yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis, dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang lebih banyak memberikan keuntungan pada orang lain. Dengan adanya cara mempromosikan pencegahan, dapat dipastikan bahwa peningkatan tindakan pelanggaran yang digambarkan dalam statistik kasus-kasus pelanggaran narkoba (yang merupakan manifestasi dari kurang efektifnya tindakan promosi pencegahan pelanggaran narkoba) akan menjadi berkurang bila pekerjaaan penanggulangan dilakukan secara sinergis diantara petugas Rutan Klas I Medan dan oleh pihak masyarakat di luar Rutan Klas I Medan.