Menakar ilalang Joko pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 Buku Bulu Matamu: Padang Ilalang merupakan kumpulan puisi yang ditulis oleh Joko Pinurbo sebagai pengumpulan berkas-berkasnya yang tertinggal di lingkaran waktu. Seperti ditulisnya, “sajak-sajak yang sempat hilang” Kelampauan yang dibawakan oleh Joko Pinurbo ini seakan bertelau-telau dan kemudian dihidupkan kembali oleh realitas di masyarakan yang dekat dengan lariklarik puisinya. Sebut saja sajak Sungai yang ditulisnya pada tahun 1982. Sajak ini mengisahkan perjalanan air yang dipadukan dengan imaji percakapan romantik yang terjadi sebelum perpisahan. Barangkali jika air mempunyai struktur gramatikal yang sama dengan manusia, ia mampu bercerita ribuan tahun yang dilaluinya. Sungai akan pulang perlahan, meninggalkan laut, meninggalkan muara, ombak, dan karang “Selamat tinggal sahabat setia. Selamat tinggal hati yang telah lama mencinta. Kapan lagi jita berjumpa? Mungkin seribu tahun yang akan datang.” Tap ke mana ia ‘kan pulang Kepada siapa pula ia datang Angin hanya mengantarkannnya ke tengah hutan, membiarkannya menggenang dan berangsur menjadi lautan Buku setebal 62 halaman dan berukuran 12x19 cm ini diterbitkan oleh Motion Publishing pada Agustus 2014. Barangkali judul buku ini dikutip dari salah satu judul sajaknya yang mengisahkan aku lirik dipadukan dengan pesona alam. Bulu matamu: padang ilalang. Di tengahnya sebuah sendang Kata sendang, dalam KBBI Edisi III, merupakan nomina dari bahasa jawa yang berarti kolam di pegunungan yang airnya berasal dari mata air yang ada di dalamnya.Pada kemudian, larik-lariknya menunjukkan aku lirik tengah bercerita, hal ini seperti cerita berbingkai yang terkandung dalam puisi. Kata sebuah dongen, dulu ada seorang musafir datang bertapa untuk membuktikan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang. Ia tak percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam. Arwahnya menjelma pusaran air berwarna hitam. Penulis kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, membuat saya tertegun seketika dan mencoba menerka kisah mana yang tengah digulirkan. Sungguh luar biasa adalah ketika penulis tidak hanya menuliskan kearifan lokal daerahnya sendiri, ini ditunjukkan dari pilihan kata sendang. Lalu proses mendeskripsikan keadaan alam dalam pemilihan diksi yang menggunakan frasa metaforik. Syair ini benar-benar hidup di dalam bukunya yang lebih banyak bercerita tentang kehidupan yang dekat di masyarakat. Pada akhirnya, betapa pun karya dipandang indah oleh pengarangnya, namun tanpa pisau analisis dari pembaca yang heterogen, rasanya karya hanya menjadi suguhan televisi yang tidak menawarkan dialektika bersusastra, sehingga bagi saya terdapat keluasan imaji yang sulit saya mengerti karena penulis menggunakan imaji yang tidak setara. Bulu Matamu: Padang Ilalang Bulu matamu: padang ilalang. Di tengahnya sebuah sendang Kata sebuah dongen, dulu ada seorang musafir datang betapa untuk membuktikan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang. Ia tak percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam. Arwahnya menjelma pusaran air berwarna hitam. Bulu Matamu: Padang Ilalang Sungai Sungai akan pulang perlahan, meninggalkan laut, meninggalkan muara, ombak, dan karang “Selamat tinggal sahabat setia. Selamat tinggal hati yang telah lama mencinta. Kapan lagi jita berjumpa? Mungkin seribu tahun yang akan datang.” Tap ke mana ia ‘kan pulang Kepada siapa pula ia datang Angin hanya mengantarkannnya ke tengah hutan, membiarkannya menggenang dan berangsur menjadi lautan (1982)