Disini - Ditjen Penyediaan Perumahan

advertisement
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN
Jalan Pattimura No.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12110
Telepon/Fax : (021) 7226604
KAJIAN
PENGENDALIAN PENYELENGGARAAN
RUMAH UMUM DAN KOMERSIAL
TAHUN ANGGARAN 2015
DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN
DIREKTORAT RUMAH UMUM DAN KOMERSIAL
I.
1.1.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
28 H ayat (1), diamanatkan bahwa; setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik huni, sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Amanat tersebut mendudukkan
rumah sebagai hak setiap orang untuk mendapatkan mutu kehidupan dan
penghidupannya.
Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman,
menyatakan
bahwa
pemerintah
perlu
berperan
dalam
menyediakan
dan
memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi
masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang
berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu
kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi dan sosial
budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan
semangat demokrasi, otonomi daerah dn keterbukaan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam UU No.1 Tahun 2011 telah ditetapkan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak untuk menempati dan / atau menikmati dan / atau memiliki rumah
yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Berdasarkan
UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan ditinjau
dari pelaku pembangunan dan penghunian maka jenis rumah terdiri dari i : i) rumah
umum, ii) rumah komersial, iii) rumah swadaya, iv) rumah khusus, dan v) rumah
negara.
Pengertian Rumah Umum sendiri sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah rumah yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sedangkan
pengertian Rumah Komersial adalah rumah yang diselenggarakan
dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Permasalahan yang sering terjadi dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman antara lain perolehan lahan
yang sangat sulit dikarenakan harga tanah selalu naik setiap tahun. Selain itu juga
perijinan
yang mahal dan
ketidakserasian peraturan perundang-undangan,
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
1/47
persyaratan memperoleh kredit yang banyak mengalami hambatan.Pembangunan
rumah umum untuk MBR mengalami kendala pada aksesibilitas, dan harga rumah
yang tidak sebanding dengan pendapatan/ penghasilan masyarakat. Kendala
tersebut di atas juga ditambah dengan masih buruknya pelayanan Prasarana,
Sarana dan Utilitas Umum (PSU).
Pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni dan terjangkau bagi
seluruh lapisan masyarakat pada dasarnya merupakan tanggungjawab masyarakat
sendiri, namun kebijakan penyelenggaraannya, khususnya dalam skala nasional
merupakan tugas dan fungsi pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun demikian hak dasar rakyat
tersebut pada saat ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu penyebabnya
adalah adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan (backlog) yang
relatif masih besar. Hal tersebut terjadi antara lain karena masih kurangnya
kemampuan daya beli masyarakat khususnya kelompok Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR) dalam memenuhi kebutuhan perumahannya. Di sisi lain, perumahan
komersial pada umumnya berada pada lingkungan hunian yang layak, dengan PSU
yang memadai dan aksesibilitas yang cukup baik. Perumahan komersial umumnya
dimiliki oleh masyarakat yang mempunyai ekonomi yang baik. Dalam membangun
perumahan komersial, pengembang membangun rumah dengan harga yang lebih
tinggi dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada membangun
rumah untuk MBR.
Pemerintah telah menerbitkan Permenpera No.10 Tahun 2012, yang
kemudian diubah dengan Permenpera No.7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang.
Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk 1) menjamin tersedianya rumah
mewah, rumah menengah dan rumah sederhana bagi masyarakat yang dibangun
dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan untuk rumah sederhana.
Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk mewujudkan kerukunan antar berbagai
profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, permukiman,
lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Mewujudkan subsidi silang untuk
penyediaan PSU serta pembiayaan pembangunan perumahan, menciptakan
keserasian
tempat
bermukim,
baik
secara
sosial
dan
ekonomi,
serta
mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan
kawasan permukiman.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
2/47
Sasaran kuantitas penyediaan perumahan seperti tercantum dalam RPJM
Kementerian
Perumahan
Rakyat
Tahun
2015-2019
adalah
meningkatnya
kekurangan rumah (backlog) dari 5.8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta
unit rumah pada akhir tahun 2009. Jika jumlah tersebut ditangani sampai Tahun
2025, maka asumsi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sampai tahun 2014 harus
dibangun sebanyak 1,8 juta unit rumah. Sedangkan perkiraan pertambahan jumlah
rumah Tahun 2010 – 2014 di proyeksikan meningkat menjadi sebanyak 3.6 juta unit
rumah atau sebanyak 710 ribu unit rumah per tahun. Sehingga jumlah yang harus
dibangun sampai Tahun 2014 adalah sebanyak 5.4 juta unit rumah.
Terbatasnya
lahan
untuk
perumahan,
memungkinkan
masyarakat
melaksanakan transaksi jual beli lahan, atau merambah hutan atau lahan konservasi
tanpa memperhatikan rencana peruntukan lahan sebagaimana yang tertuang di
RTRW kabupaten/kota, sehingga sering melanggar kaidah lingkungan, yang
berakibat merusak lingkungan. Meskipun pemenuhan kebutuhan rumah MBR
sangatlah mendesak,
tetapi kaidah-kaidah lingkungan tetap harus diperhatikan.
Untuk itu dalam melaksanakan pembangunan rumah umum dan komersial perlu
dikendalikan.
Pengembangan kebijakan di bidang pengembangan perumahan umum dan
komersial merupakan salah satu bagian tugas pokok dan fungsi Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam upaya memberikan dukungan
dalam kerangka kebijakan pembangunan perumahan rakyat secara keseluruhan.
Untuk
itu
pada
tahun
anggaran
2015
dilakukan
“Kajian
Pengendalian
Pembangunan Rumah Umum dan Komersial” sebagai masukan untuk penyiapan
kebijakan di bidang pengembangan rumah umum dan komersial.
1.2.
MAKSUD DAN TUJUAN
1.2.1. Maksud
Penyusunan
pengendalian
kajian
ini
dimaksudkan
pembangunan
rumah
untuk
umum
melakukan
dan
penyusunan
komersial,
sebagai
kajian
acuan
penyusunan kebijakan di bidang pengembangan rumah umum dan komersial.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
3/47
1.2.2. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk :
a) Mengidentifikasi permasalahan yang ada terkait pembangunan rumah umum dan
komersial.
b) Mengidentifikasi para pemangku kepentingan terkait pembangunan rumah umum
dan komersial.
c) Menjaring isu dan permasalahan yang dihadapi dalam rangka pembangunan
rumah umum dan komersial.
d) Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pembangunan rumah
umum dan komersial.
e) Merumuskan kebijakan pengaturan, pengendalian, pengawasan yang akan
dilakukan dalam rangka menjamin terselenggaranya pembangunan rumah umum
dan
komersial
sesuai
peraturan
perundang-undangan
dan
pemenuhan
kebutuhan rumah.
1.3.
Sasaran
Pelaksanaan kegiatan Kajian Pengendalian Rumah Umum dan Komersial ini
diharapkan akan:
1) Teridentifikasi permasalahan yang ada terkait pembangunan rumah umum dan
komersial.
2) Teridentifikasi para pemangku kepentingan terkait pembangunan rumah umum
dan komersial.
3) Terjaring isu dan permasalahan yang dihadapi dalam rangka pembangunan
rumah umum dan komersial.
4) Teridentifikasikasi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pembangunan
rumah umum dan komersial.
5) Terumuskan kebijakan pengaturan, pengendalian, pengawasan yang akan
dilakukan dalam rangka menjamin terselenggaranya pembangunan rumah umum
dan
komersial
sesuai
peraturan
perundang-undangan
dan
pemenuhan
kebutuhan rumah.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
4/47
II.
2.1.
TINJAUAN RUANG UNTUK PERMUKIMAN
KESESUAIAN RUANG PERMUKIMAN
Kesesuaian
peruntukan
ruang
permukiman
bagi
terselenggaranya
pembangunan rumah umum dan komersial adalah prasyarat kebijakan yang
senantiasa menjadi perhatian utama di tahap pra konstruksi. Kesesuaian dimaksud
adalah sesuainya ruang yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman
dalam pola pemanfaatan ruang yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).
Ruang pada hakekatnya adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. Penataan ruang dimaknai sebagai suatu system proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada proses
perencanaan tata ruang, salah satu hasil yang diperoleh adalah adanya rencana
pola pemanfaatan ruang yang menggambarkan distribusi peruntukan ruang suatu
wilayah yang meliputi perungtukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budidaya. Fungsi lindung artinya wilayah tersebut ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan, sedangkan fungsi budidaya artinya wilayah tersebut
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Dalam konteks kajian ini, penataan ruang yang menjadi rambu-rambu
kebijakan adalah terkait kesesuaian fungsi ruang yang akan dibangun sebagai
kawasan rumah umum dan komersial terhadap peruntukan ruang tersebut sebagai
ruang untuk fungsi budidaya, atau lebih spesifik lagi yakni pola pemanfaatan untuk
kawasan budidaya dengan peruntukkan permukiman. Hal ini berarti, prasyarat
utama harus terpenuhi dalam mengimplementasikan pembangunan perumahan
adalah
kesesuaian
lokasi
terhadap
fungsi
budidaya
dengan
peruntukkan
permukiman.
Pada setiap wilayah otonom sesungguhnya RTRW adalah suatu dokumen
perencanaan yang mutlak harus ada seperti halnya Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP). Semua program pembangunan yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah selanjutnya disingkat RPJM (yang merupakan
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
5/47
penjabaran RPJP) seyogyanya lokasi pelaksanaannya sesuai dengan fungsi
peruntukan ruang yang tertuang dalam RTRW.
Dalam melakukan kajian pengendalian pembangunan rumah umum dan
komersial, sebagai acuan penyusunan kebijakan di bidang pengembangan rumah
umum dan komersial, diawali dengan studi literature terkait, khususnya peraturan
perundang-undangan yang dapat menjadi “payung” kebijakan untuk selanjutnya
dijabarkan para pelaksana melalui aturan penjabaran dibawahnya.
Setelah diperoleh peraturan perundang-undangan dimaksud maka dilakukan
inventarisasi dan pengolahan data. Inventarisasi data bertujuan untuk menelusuri
dan mengumpulkan
data yang dibutuhkan untuk selanjutnya diolah menjadi
informasi untuk menjelaskan cakupan kajian dan komponen apasaja yang perlu
dianalisis untuk mencapai tujuan kajian. Pengolahan data dilakukan setelah
inventarisasi data pada lokasi untuk mendapatkan gambaran lokasi kajian beserta
lokus tema kajian.
Hasil kompilasi inventarisasi data dan pengolahannya selanjutnya diolah
manjadi informasi untuk didiskusikan dalam pembahasan Focus Group Discusion
(FGD).
FGD
menghadirkan
berbagai
stakeholders
yang
bertujuan
untuk
mendapatkan gambaran komrehensif dan holistic terhadap tema kajian serta hal-hal
apasaja yang perlu mendapat penelahaan lebih lanjut terkait ke-khasan wilayah.
Berbagai masukan dan tanggapan FGD akan menghasilkan rumusan simpulan dan
rekomendasi tindaklanjut berupa masukan terhadap bahan penyusunan kebijakan.
Alur kajian dapat digambarkan pada bagan dibawah ini:
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
6/47
2.2.
TINJAUAN
PERUMAHAN
MENGACU
PERATURAN
PERUNDANG-
UNDANGAN
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa pengembangan kebijakan di
bidang pengembangan perumahan umum dan komersial merupakan salah satu
bagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat. Hal ini dipertegas kembali melalui UU No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disingkat PKP), khsusunya
pada uraian menimbang point (c) yang menyatakan bahwa “pemerintah perlu lebih
berperan
dalam
menyediakan
dan
memberikan
kemudahan
dan
bantuan
perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan
masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang
fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian
lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan
keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Uraian tersebut mengandung 2 (dua) point penting yang mengarah pada aturan
perundang-undangan yang perlu diperhatikan karena memiliki keterkaitan dalam
implemetasinya, yakni:
1) UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disingkat PR),
sebagaimana kalimat “Merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata
ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya”.
2) UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disingkat PPLH), sebagaimana kalimat “yang mampu menjamin
kelestarian lingkungan hidup”
2.2.1. Perumahan ditinjau dari sisi Penataan Ruang
Kedua undang-undang tersebut diatas tentunya selain memiliki keterkaitan
dalam
mengimplementasikan
UU
PKP,
juga
menjadi
prasyarat
bagi
penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, utamanya
terkait penataan ruang. Hal ini tergambar jelas pada beberapa pasal selanjutnya,
yaitu: pasal 3 (b), pasal 26 (1), pasal 38 (4), pasal 56 (1), pasal 64 (1), pasal 76 (1),
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
7/47
pasal 83 (2), pasal 95 (1), pasal 98 (1), pasal 101 (2), dan pasal 105 (2), yang
menegaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman harus
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, mendukung
penataan
dan
pengembangan
wilayah
serta
penyebaran
penduduk
yang
proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman
sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan,
terutama bagi MBR, meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam
bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan, baik di lingkungan hunian perkotaan maupun lingkungan hunian
perdesaan, dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan
berkelanjutan.
Ketiga kalimat yang dicetak tebal diatas senantiasa me-refer pada kesesuaian
peruntukkan ruang PKP dalam RTRW. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan pasal
3 point a dan f dibawah ini, tentang maksud kepastian hukum dan lingkungan yang
sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Penjelasan Pasal 3 (a):
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan hukum bagi setiap orang
untuk bertempat
tinggal secara layak, baik yang bersifat milik maupun bukan milik melalui cara sewa
dan cara bukan sewa. Jaminan hukum antara lain meliputi kesesuaian peruntukan
dalam tata ruang, legalitas tanah, perizinan, dan kondisi kelayakan rumah
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 3 (f):
Yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana,
terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan tata
ruang, kesesuaian hak atas tanah dan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana,
dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
8/47
Berdasarkan
penjelasan
diatas
maka
RTRW
yang
menggambarkan
kesesuaian peruntukan bagi perumahan dan kawasan permukiman menjadi syarat
utama implementasi kebijakan PKP, baik dalam sisi perencanaan maupun pada
konteks pengendalian pemanfaatan ruang disuatu wilayah. Sisi perencanaan
dimaksud adalah adanya ruang wilayah yang disediakan untuk pembangunan PKP
dan telah ditetapkan dalam RTRW. Sedangkan konteks pengendalian dimaksud
adalah seberapa besar keberadaan PKP dapat menjamin lingkungan yang sehat,
aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Lebih jauh dari itu, jika
teryata pembangunan PKP dalam ruang wilayah yang telah diperuntukkan telah
“penuh” maka ruang wilayah mana saja yang dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan PKP tanpa melanggar fungsi kawasan serta RTRW yang telah
ditetapkan. Terkait hal tersebut, point penting yang perlu diperhatikan adalah adanya
ruang dalam kawasan budidaya di RTRW yang tidak boleh dikonversi yakni lahan
yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini telah
diatur dalam UU 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B).
Dalam UU LP2B khususnya pada pasal 1 (7) Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah
perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta
unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional. Lebihlanjut dijelaskan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan
pangan pokok
bagi
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Sedangkan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah
lahan
potensial
yang
dilindungi
pemanfaatannya
agar
kesesuaian
dan
ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Pada pasal 17 disebutkan
bahwa Penetapan Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan
(RKP) baik
Rencana Kerja Pemerintah
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Selanjutnya dipertegas
pada pasal 23 bahwa Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
9/47
kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Daerah mengenai RTRW kabupaten/kota.
Artinya bahwa LP2B merupakan bagian dalam RTRW, baik sebagai peta tematik
yang menyusun RTRW khususnya Pola Pemanfaatan Ruang maupun menjadi salah
satu Lagenda dalam Pola Pemanfaatan Ruang yang ditetapkan. Oleh karenanya
konversi atau pengalihan kawasan yang telah ditetapkan sebagai LP2B tidak
diperbolehkan dan jika terjadi maka dapat dikenai pelanggaran RTRW. Terkait hal
tersebut sangat berkorelasi positif dalam penegasan LP2B untuk tidak dikonversi
sebagaimana dinyatakan pada pasal 50 (1) UU LP2B disebutkan bahwa Segala
bentuk
perizinan
yang
mengakibatkan
alih fungsi LP2B batal demi hukum,
kecuali untuk kepentingan umum.
2.2.2. Perumahan ditinjau dari sisi Lingkungan Hidup
Penyaringan Dan Pelingkupan AMDAL
a. Dalam ayat (2) Pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Ijin
Lingkungan disebutkan bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup menetapkan
kegiatan wajib AMDAL bagi rencana usaha atau kegiatan yang diperkirakan
menimbulkan dampak besar dan penting. Selanjutnya dalam penjelasannya
dikatakan bahwa bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak ada dampak
besar dan pentingnya dan atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak
pentingnya tidak termasuk dalam
kategori ini (wajib AMDAL). Dalam
pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan maka untuk kegiatan
atau usaha yang bebas AMDAL ini tetap harus dilengkapi dengan dokumen
upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL).
b. Besar kecilnya dampak terhadap lingkungan sangat tergantung kepada besarkecilnya dan jenis kegiatan yang dilakukan. Karenanya untuk menindak lanjuti
peraturan diatas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 tahun 2008 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum Yang Wajib
Memiliki UKL-UPL.
c.
Penyaringan pada dasarnya merupakan kegiatan pelingkupan (scoping), yaitu
proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
10/47
dampak penting yang terkait dengan rencana kegiatan. Kegiatan pelingkupan
merupakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
penyaringan
maupun
penyusunan KA-ANDAL dan hasilnya dapat berpengaruh besar pada kualitas
dokumen ANDAL. Semakin baik proses pelingkupan akan menghasilkan ANDAL
yang semakin baik pula sesuai identifikasi dampak yang semakin tajam, dan
adanya arahan yang tegas dalam lingkup serta kedalaman studi ANDAL.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
11/47
III.
3.1.
INVENTARISASI DAN PENGOLAHAN DATA
LATAR BELAKANG DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH
Data utama dalam kajian ini adalah Perda RTRW beserta materi teknis
(Matek) yang menyertainnya serta Perda RPJM wilayah kajian. Pada Perda RTRW
dapat diperoleh data struktur ruang, pola ruang, dan kawasan strategis. Lokasi
pembangunan PKP akan banyak jabafkan dari penjelasan pola ruang pada alokasi
kawasan budidaya khususnya peruntukkan permukiman.
Lokasi kajian terdiri dari 3 (tiga) wilayah menggambarkan 3 kondisi yang
senantiasa dihadapi pada pembangunan PKP yakni:
a) Lokasi kawasan budidaya (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik
pemanfaatan berupa konversi lahan produktif (indikasi LP2B) menjadi kawasan
permukiman. Lokasi ini digambarkan pada wilayah Kabupaten Bekasi.
b) Lokasi kawasan budidaya (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik
pemanfaatan berupa konversi lahan penyangga dan lahan kritis (indikasi lahan
konservasi gambut) menjadi kawasan permukiman. Lokasi ini digambarkan pada
wilayah Kota Banjarmasin.
c) Lokasi kawasan budidaya (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik
pemanfaatan berupa konversi daerah tangkapan air (kawasan lindung) menjadi
kawasan permukiman. Lokasi ini digambarkan pada wilayah Kabupaten Bogor
d) Lokasi kawasan penyangga ibukota Propinsi (peruntukkan permukiman) yang
mengalami konflik pemanfaatan berupa konversi daerah pertanian dan
tangkapan air (kawasan lindung) menjadi kawasan permukiman. Lokasi ini
digambarkan pada wilayah Kabupaten Bandung
3.2.
KABUPATEN BEKASI
Terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 yang ditetapkan pada
tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-Kabupaten di Propinsi
Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950
tentang berlakunya Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tersebut, maka Kabupaten
Bekasi secara resmi terbentuk pada Tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak
mengatur rumahtangga-nya sendiri.
Selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
12/47
Daerah Tingkat II kabupaten Bekasi, bahwa Tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI
JADI KABUPATEN BEKASI. Dalam perjalanannya kemudian, Kabupaten Bekasi
mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi kawasan industri yang
mendunia, kawasan industri yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tapi juga berdiri
plaza, mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah
unggulan. Di sisi lain, Kabupaten Bekasi kini telah mengalami pemekaran wilayah
dengan terbentuknya Kota Bekasi, maka kini pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi
berada di Cikarang Pusat (Desa Sukamahi).
Secara geografis letak Kabupaten Bekasi berada pada posisi 6º 10’ 53” - 6º
30’ 6” Lintang Selatan dan 106º 48’ 28” -107º 27’ 29” Bujur Timur. Topografinya
terbagi atas dua bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian wilayah bagian
utara dan dataran bergelombang di wilayah bagian selatan. Ketinggian lokasi antara
6 – 115 meter dan kemiringan 0 – 250.
Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang strategis ditinjau dari wilayahnya
yang berbatasan langsung dengan Metropolitan DKI Jakarta. Letak strategis Bekasi
terhadap Jakarta tersebut secara langsung dan tidak langsung memberikan peluang
lebih besar bagi masyarakat Bekasi untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari
perkembangan Jakarta. Namun demikian peluang tersebut diimbangi dengan
peningkatan kebutuhan lahan yang merupakan implikasi dari semakin beragamnya
fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta
industri. Percepatan alih fungsi lahan tersebut umumnya disebabkan oleh
keunggulan Bekasi dalam hal ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas.
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kabuapaten Bekasi umumnya
berupa penurunan luas kawasan pertanian baik pertanian lahan basah maupun
pertanian lahan kering, biasanya digunakan untuk penyediaan kawasan terbangun
baik untuk permukiman, industri maupun jasa lainnya. Pada periode tahun 1995
sampai tahun 2000, perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi tidak terlalu
signifikan. Perubahan yang terjadi cenderung membentuk gerombol disekitar
kawasan industri di kecamatan Tambun, Cibitung dan Cikarang. Pada tahun 2000
sampai dengan tahun 2006 perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi juga
cenderung membentuk gerombol (cluster). Sedangkan pada tahun 2006 sampai
dengan tahun 2009 dinamika yang terjadi cenderung menyebar secara tidak teratur.
Kecamatan yang tidak mengalami perubahan penggunaan lahan dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2009 adalah Bojongmangu.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
13/47
Dinamika perubahan penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang di
Kabupaten Bekasi relatif sangat dinamis. Perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Bekasi diantaranya adalah aksesibilitas terhadap jalan, laju pertumbuhan
penduduk, fasilitas ekonomi, sosial, kesehatan dan alokasi RTRW. Perubahan
rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi dilatarbelakangi oleh adanya
pemekaran wilayah di Kabupaten Bekasi yang semula berjumlah 15 kecamatan
menjadi 23 kecamatan. Alokasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi yang
terbesar pada tahun 1993 adalah untuk kawasan pertanian. Pada tahun tersebut
tidak terdapat lagi alokasi untuk kawasan pertambangan karena telah beralih alokasi
menjadi kawasan industri. Penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi
RTRW tahun 1993 umumnya terpusat pada Bagian Utara dan Tengah Kabupaten
Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan tahun 2000 sampai tahun 2009 terhadap
alokasi RTRW tahun 2003 terlihat memusat pada Bagian Utara, Barat dan Selatan
Kabupaten Bekasi.
RTRW Kab. Bekasi ditetapkan melalui Perda Nomor 12 tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031. Pada lampiran perda
yang merupakan materi teknis dalam penyusunan pasal perda RTRW, tertuang Peta
Pola Ruang Kabupaten Bekasi sebagaiberikut:
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
14/47
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
15/47
Gambaran peta Pola Ruang Kabupaten Bekasi secara tegas menjelaskan
lokasi permukiman dalam kawasan budidaya tata ruang Kabupaten Bekasi, yang
dapat diuraikan sebagaiberikut:
a) Rencana pola ruang kabupaten bekasi meliputi (pasal 19):
 kawasan lindung seluas 27.040 Ha ; dan
 kawasan budidaya seluas 100.348 Ha .
b) Rencana pengembangan kawasan budidaya meliputi (pasal 27):
 kawasan peruntukan hutan produksi;
 kawasan peruntukan pertanian;
 kawasan peruntukan perikanan;
 kawasan peruntukan pertambangan;
 kawasan peruntukan industri;
 kawasan peruntukan pariwisata;
 kawasan peruntukan permukiman;
 kawasan peruntukan pesisir dan laut; dan
 kawasan peruntukan lainnya.
c) Kawasan Peruntukan Pertanian meliputi (pasal 29):
 Kawasan pertanian tanaman pangan, meliputi lahan basah dan lahan kering.
Pertanian lahan basah diarahkan dan ditetapkan sebagai lahan pertanian
pangan berkelanjutan dengan luas kurang lebih 35.244 (tiga puluh lima ribu
dua ratus empat puluh empat) hektar meliputi:
o Kecamatan Cabangbungin;
o Kecamatan Sukawangi;
o Kecamatan Sukakarya;
o Kecamatan Sukatani;
o Kecamatan Karang Bahagia;
o Kecamatan Pebayuran;
o Kecamatan Kedungwaringin;
o Kecamatan Cikarang Timur;
o Kecamatan Setu;
o Kecamatan Serang Baru;
o Kecamatan Cibarusah; dan
o Kecamatan Bojongmangu.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
16/47
 Kawasan hortikultura seluas kurang lebih 2.417 (dua ribu empat ratus tujuh
belas) hektar berupa pertanian lahan kering meliputi:
o Kecamatan Cibarusah;
o Kecamatan Serang Baru; dan
o Kecamatan Bojongmangu.
 Kawasan perkebunan seluas kurang lebih 710 (tujuh ratus sepuluh) hektar
berupa tanaman tahunan meliputi:
o Kecamatan Cikarang Selatan;
o Kecamatan Setu;
o Kecamatan Serang Baru;
o Kecamatan Cibarusah; dan
o Kecamatan Bojongmangu.
 Kawasan peternakan terdiri dari pengembangan kegiatan peternakan rakyat
(meliputi Kecamatan Sukatani, Kecamatan Sukakarya dan Kecamatan
Pebayuran) dan pengembangan kawasan peternakan (meliputi Kecamatan
Bojongmangu dan Kecamatan Cibarusah.
d) Kawasan Peruntukan Permukiman meliputi (pasal 34):
 Kawasan permukiman tersebar di seluruh kecamatan seluas kurang lebih
13.918 (tiga belas ribu sembilan ratus delapan belas) hektar;
 Pengembangan kawasan permukiman perkotaan seluas kurang lebih 41.907
(empat puluh satu ribu Sembilan ratus tujuh) hektar meliputi:
o Kecamatan Cibitung;
o Kecamatan Karang Bahagia;
o Kecamatan Tambun Utara;
o Kecamatan Sukatani;
o Kecamatan Sukawangi;
o Kecamatan Cikarang Timur;
o Kecamatan Cikarang Pusat;
o Kecamatan Tambun Selatan;
o Kecamatan Serang Baru;
o Kecamatan Setu;
o Kecamatan Cikarang Selatan; dan
o Kecamatan Cikarang Barat.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
17/47
 Pengembangan kawasan permukiman perdesaan seluas kurang lebih 3.515
(tiga ribu lima ratus lima belas) hektar meliputi:
o Kecamatan Babelan;
o Kecamatan Muaragembong;
o Kecamatan Cabangbungin;
o Kecamatan Cibarusah;
o Kecamatan Bojongmangu; dan
o Kecamatan Serang Baru.
 Pengembangan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud diarahkan
untuk pengembangan hunian vertikal berupa rusunami dan rusunawa
diperkotaan dan kawasan industry, pengembangan kawasan permukiman
mandiri, dan peningkatan sarana dan prasarana dasar permukiman.
 Pengembangan permukiman perdesaan diarahkan untuk pengembangan
hunian horizontal dan peningkatan sarana dan prasarana dasar permukiman.
3.3.
KOTA BANJARMASIN
Kota Banjarmasin terletak pada 3°,15 sampai 3°,22 Lintang Selatan dan
114°,32 Bujur Timur, ketinggian tanah berada pada 0,16 m di bawah permukaan laut
dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang. Kota Banjarmasin
berlokasi di sisi timur sungai Barito. Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-tengah
Indonesia.
Kota Banjarmasin dibelah oleh sungai Martapura dan dipengaruhi oleh
pasang surut air laut Jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan
memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat, terutama
pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi air, pariwisata,
perikanan dan perdagangan. Menurut data statistik 2011 dari seluruh luas wilayah
Kota Banjarmasin yang kurang lebih 98 Km² ini dapat dipersentasikan bahwa
peruntukan tanah saat sekarang adalah lahan tanah pertanian atau 3.111,9 ha,
perindustrian 278,6 ha, jasa 443,4 ha dan pemukiman adalah 3.029,3 ha, dan lahan
perusahaan seluas 336,8 ha. Perubahan dan perkembangan wilayah terus terjadi
seiring dengan pertambahan kepadatan penduduk dan kemajuan tingkat pendidikan
serta penguasaan ilmu pengetahuan teknologi.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
18/47
Penggunaan tanah di Kota Banjarmasin dibandingkan dengan data tahuntahun sebelumnya lahan pertanian cenderung menurun, sementara untuk lahan
perumahan mengalami perluasan sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi
dan pertumbuhan penduduk.
Pola permukiman merupakan lingkup penyebaran daerah tempat tinggal
penduduk menurut keadaan geografi (fisik) tertentu. Untuk pertumbuhan kota
Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya terkonsentrasi pada tepian
sungai, terutama daerah aliran sungai Barito dan anak sungainya. Permukiman
penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan aliran sungai
sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan rumah
biasanya terdapat dermaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau mengikat
alat transportasi berupa perahu. Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan
keseimbangan ekosistem, karena masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi
alam.
Pada perkembangan selanjutnya, permukiman lebih mengarah ke daratan
karena dibentuknya jalan-jalan darat. Transportasi air mulai ditinggalkan,sedangkan
transportasi darat semakin berkembang. Kondisi tapak juga mengalami perubahan.
Pada mulanya banyak lahan rawa yang berhubungan dengan saluran air, tetapi
sekarang ini lahan rawa mulai berkurang karena bertambah luasnya area
permukiman. Hal ini dapat mengurangi area resapan air dan air tidak dapat mengalir
dengan leluasa. Untuk perkembangan selanjutnya, permukiman tumbuh di
sepanjang jalur darat ini baik formal maupun informal. Permukiman informal
biasanya tumbuh di sepanjang sungai, sedangkan permukiman formal tumbuh di
area pedalaman (lebih jauh dari sungai). Untuk permukiman yang posisinya dekat
dengan sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga
surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang jauh dari
sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit
untuk keluar karena tidak ada area pengaliran. Perkembangan tapak permukiman
dibedakan menjadi dua kawasan, yaitu (a) tapak permukiman yang berada di tepian
(dekat) sungai dan (b) tapak permukiman pedalaman (jauh dari sungai).
RTRW Kota Banjarmasin ditetapkan melalui Perda Nomor 5 tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang Kota Banjarmasin 2013-2032. Pada lampiran perda
yang merupakan materi teknis dalam penyusunan pasal perda RTRW, tertuang Peta
Pola Ruang Kabupaten Bekasi sebagaiberikut:
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
19/47
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
20/47
Gambaran peta Pola Ruang Kota Banjarmasin khususnya terkait tujuan kajian
dapat diuraikan sebagaiberikut:
a) Rencana pola ruang Kota Banjarmasin meliputi (pasal 18):
 Kawasan lindung
 Kawasan budidaya.
b) Kawasan budidaya terdiri dari (pasal 20):
 Rencana kawasan budidaya nasional, meliputi rencana pengembangan
kawasan Banjar Bakula dan sekitarnya dengan sektor unggulan pertanian,
industri, perkebunan, pariwisata dan perikanan.
 Rencana kawasan budidaya wilayah kota, meliputi:
o kawasan perumahan;
o kawasan perdagangan dan jasa;
o kawasan perkantoran;
o kawasan industri dan pergudangan;
o kawasan pariwisata;
o kawasan ruang terbuka non hijau;
o kawasan ruang evakuasi bencana;
o kawasan ruang bagi kegiatan sektor informal; dan
o kawasan peruntukan lainnya, yang meliputi pendidikan, kesehatan,
peribadatan, pelabuhan, pertanian dan pertahanan negara.
c) Selanjutnya pada pasal 21 secara spesifik menjelaskan bahwa Rencana
kawasan perumahan sebagaimana dimaksud tersebar pada seluruh wilayah kota
disesuaikan dengan daya tampung penduduk 900.000 orang. Rencana
pengembangan perumahan meliputi :
 Perumahan kepadatan tinggi dengan luas 160,91 ha berada di kawasan
pusat kota, meliputi kawasan Seberang Masjid, Pekapuran dan Kelayan;
 Perumahan kepadatan sedang dengan luas 1.018,08 ha berada di kawasan
Banjarmasin Barat; dan
 Perumahan kepadatan rendah dengan luas 3.594,54 ha berada di Kawasan
Sungai Andai, Kecamatan Banjarmasin Utara dan Kawasan Mantuil dan
Basirih
di
Kecamatan
Banjarmasin
Selatan,
Kawasan
Sungai
Lulut
Kecamatan Banjarmasin Timur.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
21/47
3.4.
KABUPATEN BANDUNG
Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa barat.
Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan, 270 desa, dan 10 kelurahan. Luas
wilayah Kabupaten Bandung adalah 176.238,67 ha. Batas wilayah administrasi
Kabupaten Bandung adalah: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung
Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang; Sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; Sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur; Sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi.
Kabupaten Bandung termasuk wilayah dataran tinggi dengan kemiringan
lereng antara 0-8%, 8-15% hingga di atas 45%. Sebagian besar wilayah Kabupaten
Bandung berada diantara bukit-bukit dan gunung-gunung, seperti disebelah utara
terdapat Bukit Tunggul dengan tinggi 2.200m, Gunung Tangkuban Parahu dengan
tinggi 2.076m, yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten
Purwakarta. Di sebelah selatan terdapat Gunung Patuha dengan tinggi 2.334m,
Gunung Malabar dengan tinggi 2.321m, GunungPapandayan dengan tinggi 2.262m,
dan Gunung Guntur dengan tinggi 2.249m, yang berbatasan dengan Kabupaten
Garut.
Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson
dengan curah hujan rata-rata antara 1.500mm sampai dengan 4.000mm per tahun.
Suhu udara berkisar antara 12 o C sampai 24 o C dengan kelembaban antara 78%
pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Dampak dari kondisi geografis
Kabupaten Bandung membuat potensi hidrologi Kabupaten Bandung yaitu sumber
daya air tersedia cukup melimpah, baik air bawahtanah maupun air permukaan. Air
permukaan terdiri dari 4 danau alam, 3 danau buatan serta 172 buah sungai dan
anak-anak sungai. Sumber air permukaan pada umumnya dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan pertanian, industri, dan sosial lainnya sedangkan air tanah
dalam (kedalaman 60-200m) pada umumnya dipergunakan untuk keperluan industri,
non industri, dan sebagian kecil untuk rumah tanggal. Sebagian besar masyarakat
memanfaatkan air tanah bebas (sumur gali) dan air tanah dangkal (kedalaman 24
sampai 60 meter) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta sebagian kecil
menggunakan fasilitas dari PDAM terutama di wilayah perkotaan.Selain itu, kondisi
curah hujan rata- rata di Kabupaten Bandung mencapai 1.500-4.000mm per tahun
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
22/47
atau jika dihitung luas lahan yang ada maka volume air yang turun di wilayah
Kabupaten Bandung dapat mencapai 2,643-7,05milyar meter kubik. Potensi air yang
begitu besar tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan banyak
genangan banjir di berbagai wilayah.
Penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Bandung terdiri atas kawasan
lindung, kawasan budidaya pertanian,
non pertanian, dan kawasan lainnya.
Penggunaan lahan di kawasan lindung meliputi belukar, danau/waduk, hutan,rawa,
semak, dan sungai. Secara proporsi, penggunaan lahan di Kabupaten Bandung
didominasi oleh kawasan budidaya pertanian yaitu seluas 53,22% dari luas
keseluruhan 176.238,67 Ha. Penggunaan lahan lainnya yaitu kawasan lindung
sebesar 33,83%, kawasan budidaya non pertanian 12,44%, dan kawasan lainnya
0,51%. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung
masih berupa kawasan ruang terbuka, dimana mampu menyerap air larian hujan
yang mencapai 2.000-3.500mm per tahun. Berdasarkan luas lahan terbuka yang
ada di Kabupaten Bandung baik yang berupa kawasan lindung maupun kawasan
budidaya, tanah di Kabupaten Bandung memiliki kemampuan untuk menyerap air
sebanyak 0,793-2,115 miliar meter kubik per tahun.
RTRW Kabupaten Bandung ditetapkan melalui Perda Nomor 3 tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung 2007-2027. Peruntukan
pengembangan PKP secara khusus tertuang dalam Rencana Pola Ruang Kawasan
Budidaya (pasal 73 ayat 1) yakin kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya buatan. Beberapa hal yang terkait kajian pengembangan
PKP adalah sebagaiberikut:
a) Kawasan budidaya terdiri dari:
 Kawasan budidaya perkotaan/non pertanian dan
 Kawasan budidaya perdesaan/pertanian
b) Kawasan budidaya perkotaan/non pertanian meliputi: Kawasan Permukiman,
Kawasan Perdagangan dan Jasa, Pemerintahan, Kawasan Peruntukan Industri,
Kawasan Pertahanan dan Keamanan, serta Kawasan Konservasi Budaya dan
Sejarah
(Artefak/Bangunan
Bersejarah).
Sedangkan
Kawasan
budidaya
perdesaan/pertanian meliputi Kawasan Budidaya yang berfungsi lindung,
Kawasan Pertanian, Permukiman Perdesaan, dan Kawasan Pariwisata.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
23/47
c) Selanjutnya pasal 81 menyatakan bahwa Rencana pengembangan kawasan
permukiman seluas ± 31.029,59 ha atau 17,61
% dari total luas wilayah
Kabupaten
tersebut
Bandung.
Kawasan
pemukiman
dibagi
kedalam
pengembangan pemukiman untuk kawasan perkotaan seluas ± 13.936,85 ha
dan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan seluas ± 17.092,74
ha. Pengembangan permukiman di kawasan perkotaan diarahkan untuk
perumahan
terorganisir
dan
rumah
susun,
sedangkan
pengembangan
permukiman di luar kawasan perkotaan diarahkan untuk permukiman yang
tumbuh alami dan pengembangan perumahan dengan kepadatan rendah namun
dalam pengembangannya tetap dibatasi sesuai dengan fungsi ruangnya yang
ditentukan berdasarkan Koefisien Wilayah Terbangun.
d) Pada pasal 84, secara detail diuraikan luas dan lokasi peruntukan terkait
permukiman, meliputi:
 Pengembangan kawasan budidaya perkotaan/non pertanian seluas ±
40.259,46 ha, terdapat di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:
o Kecamatan Soreang: pemerintahan/fasum (± 48,54 ha), kawasan
permukiman (± 1.309,55 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 1,43
ha), perdagangan/jasa (± 102,5 ha).
o Kecamatan Kutawaringin: kawasan peruntukan industri (± 53,17 ha),
pemerintahan/fasum (± 72,94 ha), kawasan permukiman (± 1.023,04 ha),
kawasan pertahanan dan keamanan (± 7,25 ha), perdagangan/jasa (±
352,78 ha).
o Kecamatan Katapang: kawasan peruntukan industri (± 283,29 ha),
pemerintahan/fasum (± 4,14 ha), kawasan permukiman (± 693,54 ha),
kawasan pertahanan dan keamanan (± 3,95 ha), perdagangan/jasa (±
33,05 ha).
o Kecamatan Ciwidey: pemerintahan/fasum (± 0,27
ha), kawasan
permukiman (± 948,92 ha), perdagangan/jasa (± 24,36 ha).
o Kecamatan Pasirjambu: pemerintahan/fasum (± 1,13 ha), kawasan
permukiman (± 834,49 ha), perdagangan/jasa (± 27,07 ha).
o Kecamatan Rancabali: kawasan permukiman (± 395,99 ha) dan
perdagangan/jasa (± 17,70 ha).
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
24/47
o Kecamatan Banjaran: kawasan peruntukan industri (± 74,54 ha), kawasan
permukiman
(±
1.219,20
ha),
kawasan
hankam
(±
39,63
ha),
perdagangan/jasa (± 81,15 ha).
o Kecamatan Cangkuang: kawasan permukiman (± 1.038,59 ha), kawasan
hankam (± 0,12 ha ) dan perdagangan/jasa (± 22,29 ha).
o Kecamatan Pameungpeuk: kawasan peruntukan industri (± 169,42 ha),
kawasan permukiman (± 332,63 ha), perdagangan/jasa (± 8,33 ha).
o Kecamatan Pangalengan: pemerintahan/fasum (± 2,33 ha), kawasan
permukiman (± 1,260.53 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (±
47,09 ha) dan perdagangan/jasa (± 46,23 ha).
o Kecamatan Cimaung: pemerintahan/fasum (± 10,59 ha), kawasan
permukiman (± 1.019,80 ha).
o Kecamatan Arjasari: kawasan peruntukan industri (± 205,90 ha), kawasan
permukiman (± 1.236,88 ha), perdagangan/jasa (± 1,58 ha).
o Kecamatan Baleendah: kawasan peruntukan industri (± 136,84 ha),
pemerintahan/fasum (± 33,50 ha), kawasan permukiman (± 1.623,51 ha),
kawasan pertahanan dan keamanan (± 3,80 ha) dan perdagangan/jasa (±
110,81 ha).
o Kecamatan Dayeuhkolot: kawasan peruntukan industri (± 433,60 ha),
pemerintahan/fasum (± 21,99 ha), kawasan permukiman (± 464,40 ha),
kawasan pertahanan dan keamanan (± 2,80 ha), dan perdagangan/jasa
(± 34,69 ha).
o Kecamatan Bojongsoang: kawasan peruntukan industri (± 387,23 ha),
pemerintahan/fasum (± 8,30 ha), dan kawasan permukiman (± 1.111,88
ha), perdagangan/jasa (± 151,06 ha).
o Kecamatan Cicalengka: kawasan peruntukan industri (± 136,24 ha),
pemerintahan/fasum (± 5.93 ha), kawasan permukiman (± 1.125,35 ha),
dan perdagangan/jasa (± 105,59 ha).
o Kecamatan
Nagreg:
pemerintahan/fasum
(±
51,17
ha),
kawasan
permukiman (± 913,21 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 36,69
ha), dan perdagangan/jasa (± 154,95 ha).
o Kecamatan Cikancung: kawasan peruntukan industri (± 483,11 ha),
pemerintahan/fasum (± 0,49 ha), kawasan permukiman (± 959,53 ha) dan
perdagangan/jasa (± 83,90 ha).
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
25/47
o Kecamatan Cileunyi: kawasan peruntukan industri (± 504,20 ha),
pemerintahan/fasum (± 12,31 ha), kawasan permukiman (± 1.737,01 ha)
dan perdagangan/jasa (± 61,54 ha).
o Kecamatan Rancaekek: kawasan pariwisata (± 493,61 ha), kawasan
peruntukan industri (± 560,05 ha), pemerintahan/fasum (± 8,38 ha),
kawasan permukiman (± 1.698,17 ha) dan perdagangan/jasa (± 157,78
ha).
o Kecamatan Majalaya: kawasan peruntukan industri (± 590,20 ha),
kawasan permukiman (± 803,20 ha) dan perdagangan/jasa (± 129,04 ha).
o Kecamatan Ciparay: kawasan peruntukan industri (± 2,74 ha), kawasan
permukiman (± 1.453,42 ha) dan perdagangan/jasa (± 67,79 ha).
o Kecamatan Ibun: pemerintahan/fasum (± 0,42 ha), kawasan permukiman
(± 794,69 ha) dan perdagangan/jasa (± 8,57 ha).
o Kecamatan
Kertasari:
pemerintahan/fasum
(±
0,56
ha),
kawasan
permukiman (± 495,63 ha) dan perdagangan/jasa (± 10,90 ha).
o Kecamatan Pacet: pemerintahan/fasum (± 0,45 ha), kawasan permukiman
(± 1.104,53 ha) dan perdagangan/jasa (± 11,72 ha).
o Kecamatan Paseh: kawasan peruntukan industri (± 63,03 ha), kawasan
permukiman (± 1.503,07 ha) dan perdagangan/jasa (± 24,66 ha).
o Kecamatan Solokanjeruk: kawasan peruntukan industri (± 808,62 ha
kawasan permukiman (± 722 ha), kawasan pariwisata (± 5,13 ha) dan
perdagangan/jasa (± 157,10 ha).
o Kecamatan Margaasih: kawasan peruntukan industri (± 592,33 ha),
pemerintahan/fasum (± 7,40 ha), kawasan permukiman (± 844,48 ha) dan
perdagangan/jasa (± 35,65 ha).
o Kecamatan Margahayu: kawasan peruntukan industri (± 47,87 ha),
kawasan permukiman (± 509,13 ha), kawasan pertahanan dan keamanan
(± 298,14 ha) serta perdagangan/jasa (± 74,99 ha).
o Kecamatan Cilengkrang : kawasan permukiman (± 405,50 ha).
o Kecamatan Cimenyan: pemerintahan/fasum (± 60,33 ha), kawasan
permukiman (± 1.569,71 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (±
159,09 ha) serta perdagangan/jasa (± 8,20 ha).
Adapun Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bandung terlihat pada gambar
berikut.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
26/47
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
27/47
IV. FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
4.1.
PELAKSANAAN FGD I
21 Oktober 2015 di Jayakarta hotel Bandung
Tanya Jawab;
Sesi Pertama
a. Bappeda Kota Bandung
Bidang Tata Ruang,
Kendala;
- Bahwa punya keterbatasan ruang, lahan terbatas.
- Permendagri 74 tahun 2007, ttg insentif kpd pelaku pembangunan
perumahan, investasi unt pembangunan
- Budaya masyarakat, terkait kesiapan masyarakat ttg tinggal di rusun.
- Pengadaan rumah kluster, pengaturannya gimana ? kalau satu hektar
masih ada pengaturan.
b. REI Jabar
Tanggapan Bu Sri
- Tks PSU, kl di th 2016 naik tidak realistis, perlu dibenahi dan perlu
disepakati.
Surat pernyataan harus bisa menerima, ini keberatan
- Minta RTRW planning at least 5 tahun kedepan agar bisa ditetapkan
dng melibatkan para pemangku kepentingan.
- Minta RTRW ditindak lanjuti dlm RDTR
- Kendala para pelaku; perijinan, pembiayaan, aspek pertanahan
- Kl ada share
c. Suwarno, kantor pertanahan kota Bandung;
- Mengajukan perijinan, pd saat bangunan sudah berdiri
- Setiap penghuni ingin memiliki
- Diingatkan mengingat tugas pembinaan.
- Ditanya ttg tata ruang yg seperti apa ?
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
28/47
- Pengalaman Kab Bekasi pernah ada reklamasi, tapi peraturannya tidak
tahu.
- Tentang “penetapan lahan pertanian” kl ada pertanyaan, pasti ada yg
tidak mau.
d. Perumnas, pak Miko
- Banyak perumahan yg akan dibangun
- Peraturan dari Pemda Bandung KDH 50% keberatan, minta solusi
Untuk sejuta rumah, mhn dipikirkan pembangunannya bagaimana.
- Memikirkan subsidi silang, perlu memikirkan profit.
- 13 titik sudah selesai, ada beberapa peraturan yg perlu ditinjau,
regulasi perlu perhatian.
e. Mantan pejabat Kab Bekasi, pak Nanang
- Tertarik UU ttg LP2B, di kab Bekasi belum di Perdakan. Ada lahan
pertanin 55.000 Ha. Saat ini kemungkinan besar tidak ada lagi
Apa UU LP2B ini sudah tersosialisasi dng baik, krn kenyataannya
LP2B ini sudah habis.
f.
Pak Sidi Kab Bekasi
- Perijinan sd tujuh belas item, kesannya tdk ada yg ngontrol.
Sample kota Bandung, contoh perumahan “Sanggar Hurip”
g. Jawab pak Rasman;
1. ttg LP2B ada surat dr Dirjen Pangan, bahwa ada data ttg Penetapan
LP2B dan luasannya dlm bentuk Perda.
2. Perpres 22 tahun 2002, ttg reklamasi, ada pengecualian reklamasi
Ada dua dokumen reklamasi, ijin dokumen.
3. Ada rencana KDB dan KLB
Acuan KDB 50 % dr BKPRD terkait dr peningkatan yg sdh
distandarkan oleh Nasional.
Kl RTRW KDB 30%
Sesssion kedua
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
29/47
a. Kab Bandung;
Catatan bahwa, ekspansi pasti kearah lahan yg murah termasuk lahan
pertanian.
Ijin tidak hanya terkait pelaksanaan konstruksi, tetapi jg ijin pemanfaatan
ruang.
b. Kab Bekasi;
Sawah masti 64%
c. Kab Bogor;
Sub urban Jakarta, ialah Kabupaten Bogor
Perizinzan
648 perumahan
33 kecamatan terbangun perumahan
Cibinong Raya, 330 perumahan, terpusat di cibinong raya.
Dasar2 kebijkan perumahan, UU1/2014
Pengembang mempertannguwjabk
6% luas lahan hrs dipersiapkan
15 unit rmh ato 2500
15 unit ato luas 25m
Jl masuk min 8 m
Jl perumahan min 6 m
Kriteria perumahan mengikuti permenpera
Perijinanan mendektkan kpd masy, oleh kecamatan
Pembangunan dlm unit kecil kluster2 akal2an, sd tidak ada PSU nya
Perumahan diwajibkan,yg mengajukan hrs berbadan hukum
Akan meminimalkan sprawlnya pengemb dlm jml unit kecil
MBR bukan wajibnya Pemerintah kabupaten kota tapi oleh Pemerintah
pusat.
Terlalu banyak perhatian pembangunan rumah baru,
Tetapi kepedulian terhadap pembangunan rumah lama, perlu
diperhatikan.
Kebingungan thd PSU rusun.
Penyediaan tanah makam, unt rusun tidak ada.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
30/47
Kota Bandung belum mengatur 2% luas lantai unt pemakaman.
Untuk mendukung sejuta rumah, ttap diijinkan pembangunan baru tp
didorong unt menyediakan tanah makam.
Untuk pengembangan kluster, perlu dikendalikan.
Di Depok ada ketentuan minmal 200 m2, tp harganya tinggi
Mk pembangunan lari ke kab bogor.
Jawab;
Pak Rasman;
a. Kab Bogor;
Ttg Lingkungan;
Penanam modal, misal pertama pembangunan 10 unit, berikut tambah
20, mk dipembahasan lingkungan menjadi akumulasi, bukan pisah pisah
demikian.
b. Kab Bekasi;
Ttg peta, Lahan abadi agar diperiksa. 35 000 ha sbg lahan abadi apakah
sudah ada titiknya.
Pengendalian pertamanya perlu di tetapkan terkait lahan abadi.
Bahwa ijin lingkungan, adalah tidak hanya terkait proyek swasta tetapi,
tetapi termasuk pekerjaan pemerintah.
Jawab;
Kab Bogor;
Untuk dibawah 15 unit pengurusan ijin di kecamatan, tetapi diatas 15 unit
sudah merupakan lingkup ijin BP2T. mk harus ada kewajiban spt
penyediaan psu dst.
Kab Bekasi;
dilakukan control,kl pembangunannya kanan kiri yg dimintakan ijin sdh
terbangun, mungkin diloloskan.
Tetapi apabila ada tanah luas, yg msh memungkinkan pengembangan
pembngunan baru, ini harus ditarik ke BP2T.
Ijin Lingkngan 2012 sudah dilimpahkan ke SPPL audit lingkungan.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
31/47
SPPL= surat pernyataan pengelolaan lingkungan (yg paling rendah)
c. Amdal;
Amdal Kawasan dilakukan,
Dilakukan dlm kawasan tsb dpt dilakukan UKL UPL item pembngaunan
yg berada didlm kawasan.
Untuk bangunan2 yg sudah terbangun, ada pemutihan sejak juli 2014,
tidak melakukan ijin lingkungan.
UKL UPL diatur oleh Bupati atau Gubernur. Berdasarkan peraturan
gubernur.
Apersi
Pengalaman dr kabupaten Bandung
Satu juta rumah, ttg sertifikat
Sertifikat induk dr splitzing atas nama perusahaan,
Baru splitzing nama perusahaan, menjadi splitzing nama peroangan
setelah akad kredit
Biaya per unit bisa mencapai 2,5 juta rp-an Menjadi kendala
4.2.
PELAKSANAAN FGD II
9-Oktober 2015 di Hotel Ratan In Kota Banjarmasin
Tanya
a. pak Deni BP2T Propinsi
Harga rumah, yg mahal bukan tanahnya tp bahan bangunan murah
Knp Pemerintah tdk bs mengatur harga semen.
Diminta Pemerintaha, tdk bisa kerjasama sgsr bisa menekan haga murah
Meratus Jaya
Mnta subsidi bahan murah
Salut kpd Propinsi; ada kebijakan satu hari kebijakan perijinan presiden.
Perijinan, ada niat baik memudahkan perijinan dr Presiden
Rumah murah ?.. ke
Sbsidi bahan baku spt, gas,
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
32/47
b. pak Fahrudin, kota Banjarmasin
Permasalahan yg ada lahan mahal, bahan bangunan mahal spt baja,
semen.
Inovasi, sudah ada cerucuk, diganti piling
c. pak Nasrudin, dinas perumahan di Banjarbaru,
Ada pabrik semen di tanjung, namanya semen Cons per sak 40 ribu
Pemda tidak ada standarisasi untuk bangunan.
d. DPD REI Kalsel, Satifa (Oriza Satifa)
Standar Batako, kl jatuh tdk pecah.
Satu bangunan rumah, menghabiskan semen 45 sak
Soal kualitas, tidak terlalu jelek.
Perda kota banjarbaru, 2 ha hanya jd 70 unit
Kl bahan bangunan sdh punya langganan, tiga bulan tdk ambil tidak
masalah
Selama ini tidak ada complain dr konsumen.
Semen lokal, unt K250 bisa diterima.
Perijinan minta dibedakan
Unt banjarbaru pengemb jual rumah 500 setahun Cuma 2 unit rumah.
Sejuta rumah
e. Bappeda Banjarbaru
Di Kalsel minimal luas tanah 150 m2, kebijakan sbg antisipasi rumah
tumbuh.
Pernah ada kesepakatan terkait luasan minimal. Untuk mencegah kumuh.
REI tidak setuju, terkait batasan minimal luas.
Perwali luas minimal 160m2 dan sekarang jd Perda
f.
Dinas Perumahan Banjarbaru (pakSatifa),
Banjarbaru, info jumlah rumah lebih besar dr jumlah penduduk.
Di Banjarbaru, masy tidak mau punya rumah kopel atau sama.
Pengalaman mentri lama, jual rumah 25 juta per unit tidak ada yg minat
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
33/47
g. Pemkot Banjarbaru
Perlu dipikirkan ada hal yg akan dimatikan dng munculnya pabrikasi.
h. REI Banjarbaru,
Untuk banjar baru; bata, semen, menumbuhkan pemberdayaan
masyarakat.
Untuk makasar dulu, ada bata dan bamboo, dng pertimbangan2.
i.
Pak Slamet Bappeda Batola,
Bahan baku, stock banyak, murah
Sebaiknya menyerahkan bahan kpd pasar.
Ada ulin stock terbatas, galam stock terbatas.
j.
Bappeda Propinsi Kalsel
Justru arahnya kepada tata kelola
Bahan baku alternative, sudah banyak yg dikaji.
k. Reza Bappeda kabBanjar
Tidak mengumpulkan masalah tp mengumpulkan banyak potensi.
Pemerintah Pusat diminta dapat membantu produk2 lokal
Standarisasi
Standarisasi ttg bahan bangunan apa standarisasi rumah terbangun
l.
Syamsu Rizal BPN Kab. Banjar
Kearifan Lokal
Sertifikat yg murah sj
m. Satriadi, Kab Banjarbaru, badan pelayanan perijinan terpadu dan badan
penanaman modal
Perijinan satu pintu, tim teknisnya msh di SKPD.
Diharapkan;
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
34/47
a) Faktanya sumber daya alam dr hari ke hari berkurang, menjaga
keberlanjutan
b) Jeli melihat potensi, dan mengembangkanKearifan lokal,
c) Berpikir Sustainable dev, lingkungan memperhatikan keterbatasan
d) Mendorong kemajuan,
4.3.
PELAKSANAAN FGD III
7 Desember 2015 di kantor Perumahan Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan
Dari pelaksanaan diskusi diperoleh beberapa catatan yang dapat dilaporkan
sebagai berikut :
1) Bahwa pelaksanaan pembangunan rumah umum dan komersial perlu
dikendalikan, mempertimbangkan sisi tata ruang dan sisi lingkungan.
2) Bahwa dalam pelaksanaan pengendalian tersebut, masing-masing
kabupaten/kota harus siap dokumen legal yang dapat diacu. Selain itu
juga diperlukan kesiapan kesiapan institusi dalam melaksanakan
pengendalian tersebut.
3) Beberapa
hal
yang
menjadi
pertimbangan
utama
bahwa,
perlu
mengakomodir pengembangan perumahan dalam rangka menjawab
backlog/kebutuhan rumah. Tetapi dalam hal pengembangan tersebut
perlu pelaksanaan pengendalian.
4) Untuk itu pelaksanaan pembangunan rumah umum dan komersial perlu
memperhatikan konsep preservasi dan konservasi.
5) Terkait isu nasional terkait menjaga lahan pertanian abadi, untuk itu
kabupaten Banjar dan kabupaten Batola akan meningkatkan pencegahan
dalam hal alih fungsi lahan.
a. Untuk itu dibahas tentang Undang-undang 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan.
b. Untuk itu dibahas tentang kearifan lahan gambut, dan beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam hal pengelolaan lahan gambut tersebut.
6) Beberapa Peraturan Menteri terkait pelaksanaan evaluasi lingkungan
dibahas dalam acara tersebut.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
35/47
7) Catatan terkait kesiapan pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan antara
lain sbb ;
a) bahwa beberapa kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan;
b) Telah menyusun dokumen RP3KP, tapi belum final, sehingga belum
bisa mengetahui kebutuhan rumah tahun kedepan.
c) Memiliki kesulitan dalam hal pembebasan tanah untuk cadangan
perumahan
d) Berminat mengembangkan kawasan skala besar, karena akan lebih
terrencana dan effisien. Karena menyadari bahwa mencegah adalah
lebih baik daripada mengobati.
8) Muncul pertanyaan terkait kegiatan Land Banking, dan selanjutnya
pengelolaan land banking nantinya dan siapa yang menangani.
9) Mengingat kemampuan keuangan pemerintah kabupaten/kota, apakah
memungkinkan penyediaan lahan dengan melakukan kerjasama dengan
swasta serta menanyakan Pembentukan badan Pengelola serta bentuk
struktur Badan Pengelolanya.
10) Terkait proses serah terima PSU, ditanyakan tentang institusi mana yang
melakukan sertifikasi lahan yang diatasnya dibangun PSU.
11) Muncul ide terkait rencana pengembangan Perumahan dan Kawasan
Permukiman dalam skala regional. Serta mengoptimalkan potensi
pengembangan perumahan dan kawasan permukiman dalam skala
regional tersebut secara terintegrasi dan berkesinambungan. Untuk itu
perlu pelaksanaan koordinasi dan memperkuat tim lintas kabupaten kota.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
36/47
V. PENYUSUNAN KONSEP KEBIJAKAN
5.1.
KONSEP KEBIJAKAN PENATAAN RUANG
Pada
uraian
sebelumnya
telah
secara
tegas
dinyatakan
bahwa
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman harus sesuai dengan
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
(RTRW).
Hal
ini
berarti
dalam
proses
penyelenggaraan khususnya dalam tahap perencanaan harus dapat dipastikan
bahwa ruang yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan PKP, dalam pola
pemanfaatan ruang di dokumen RTRW memiliki kesesuaian fungsi sebagai
permukiman. Kegiatan pemanfaatan ruang bagi pembangunan PKP harus diawali
dengan adanya Izin Pemanfaatan Ruang (selanjutnya disingkat IPR) yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan pasal 1 point 32
UU PR yang menyatakan bahwa
“Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang
dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan”, dan pasal 37 (7) menegaskan bahwa “Setiap
pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang”.
Pada FGD di lokasi studi ditemukan bahwa IPR dapat berupa 1 (satu)
lembaran surat izin atau beberapa lembar surat (dokumen), namun isinya adalah
penyataan dari pejabat yang berwenang bahwa ruang (lokasi) yang akan
dimanfaatkan telah sesuai dengan fungsi peruntukkannya dalam RTRW. Perbedaan
yang signifikan ditemukan adalah jumlah persyaratan dan waktu penyelesaian IPR
berbeda disetiap wilayah. Hal ini yang tentunya perlu mendapat perhatian
pemerintah, yang seyogyanya tidak jauh berbeda karena ketentuan mengenai
prosedur perolehan izin diatur dengan peraturan pemerintah, sebagaimana bunyi
pasal 37 (8) bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan
tata cara penggantian yang layak diatur dengan peraturan pemerintah”. Jika ditelaah
lebih jauh sesungguhnya usulan orang perseorangan atau badan hukum yang akan
melaksanakan kegiatan atau pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTRW dapat
diberikan insentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan salah satu insentif
tersebut adalah kemudahan prosedur perizinan (pasal 38 point 2c). Atas penjelasan
ini maka maka konsep kebijakan pembangunan PKP harus menegaskan adanya
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
37/47
IPR sebagai “dokumen wajib” yang harus terpenuhi pada tahapan awal proses
perizinan bagi kesuksesan pencapaian target logbook.
Pada proses lebih lanjut, pemanfaatan ruang yang telah sesuai dengan
RTRW atau sejalan dengan kebijakan pemanfaatan ruang yang lebih rendah namun
tidak bertentangan dengan RTRW (misalnya RDTR, RTBL, Masterplan, dll),
senantiasa dihadapkan pada kebijakan sektor atau kebijakan daerah otonom sesuai
Visi daerah untuk melakukan konversi lahan. Pada semua lokasi kajian ditemukan
bahwa adanya tuntutan kebutuhan ruang yang sebelumnya tidak diperuntukkan
untuk permukiman diajukan perubahan pola pemanfaatan menjadi permukiman
melalui
konversi
lahan
dengan
berbagai
pertimbangan
khususnya
untuk
mengakomodasi tuntutan kebutuhan ruang permukiman karena pertumbuhan
penduduk dan dinamika ekononomi wilayah. Pada kasus demikian telah diuraikan
sebelumnya bahwa kawasan yang diperuntukkan untuk Kawasan Lindung dan
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan) tidak boleh diakukan
konversi atas kebutuhan dimaksud. Hal ini secara lugas diatur dalam UU
Perlindungan LP2B yang secar prinsip menjelaskan bahwa degradasi, alih fungsi
dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah
secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Oleh karenanya diperlukan penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
kabupaten/kota. Selanjutnya dijelaskan bahwa kawasan tersebut dapat diberikan
insentif dalam bentuk pengalokasian anggaran secara khusus atau bentuk lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu konsep
kebijakan pembangunan PKP kedepan seyogyanya dapat mengharmonisasi dan
mendukung pengaturan ini melalui adanya penegasan pelarangan konversi
Kawasan Lindung dan LP2B bagi peruntukkan pembangunan PKP.
5.2.
MASUKAN KEBIJAKAN RUANG
Berdasarkan lokasi kajian diperoleh data yang dapat menjadi informasi
kebijakan pembangunan PKP adalah sebagai berikut:
a.
Kabupaten Bekasi mengalokasikan ruang yang sesuai dalam RTRW
untuk program pembangunan PKP berupa kawasan permukiman
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
38/47
perkotaan seluas kurang lebih 41.907 hektar dan kawasan permukiman
perdesaan seluas kurang lebih 3.515 hektar,
b.
Kota Banjarmasin mengalokasikan ruang yang sesuai dalam RTRW untuk
program pembangunan PKP berupa rencana pengembangan perumahan
yang terdiri dari: (-) perumahan kepadatan tinggi dengan luas 160,91
hektar; (-) perumahan kepadatan sedang dengan luas 1.018,08 hektar;
dan (-) perumahan kepadatan rendah dengan luas 3.594,54 hektar.
c.
Kabupaten Bandung mengalokasikan ruang yang sesuai dengan RTRW
untuk program pembangunan PKP berupa kawasan permukiman seluas ±
31.029,59 hektar yang dibagi kedalam pengembangan pemukiman untuk
kawasan perkotaan seluas ± 13.936,85 hektar dan pengembangan
permukiman di luar kawasan perkotaan seluas ± 17.092,74 hektar.
Dari informasi diatas dapat diperoleh gambaran jumlah alokasi pembangunan
rumah umum yang dapat diidukung oleh ruang wilayah kajian. Berdasarkan uraian
sebelumnya telah dinyatakan bahwa asumsi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
sampai tahun 2014 harus dibangun sebanyak 1,8 juta unit rumah. Sedangkan
perkiraan pertambahan jumlah rumah Tahun 2010 – 2014 di proyeksikan meningkat
menjadi sebanyak 3.6 juta unit rumah atau sebanyak 710 ribu unit rumah per tahun.
Sehingga jumlah yang harus dibangun sampai Tahun 2014 adalah sebanyak 5.4 juta
unit rumah, maka alokasi ruang untuk membangun sejumlah 5,4 juta unit rumah
pada lokasi kajian diperoleh sekitar 80 ribu hektar lahan yang sesuai untuk
permukiman.
5.3.
MASUKAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP
5.3.1. Prosedur Penyaringan AMDAL
Landasan hukum pelaksanaan penyaringan AMDAL dan UKL- UPL rencana
kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah :

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki AMDAL.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
39/47

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/PRT/M/2008 tentang Jenis
Penetapan Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Bidang Pekerjaan
Umum Yang Wajib Dilengkapi UKL-UPL.
Adapun tata cara atau prosedure penyaringan adalah sebagai berikut :
1. Pada tahap perencanaan umum, penyerahan data / informasi mengenai
rencana kegiatan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman
kepada institusi yang berwenang untuk melakukan penyaringan.
2. Institusi yang berwenang berdasarkan usulan kegiatan / proyek, peta lokasi
dan kriteria penyaringan melakukan penyaringan tahap pertama.
3. Untuk rencana proyek yang masih meragukan (harus dilakukan studi
AMDAL atau tidak), maka dilakukan penyaringan tahap kedua, dengan
mendapatkan data-data yang lebih akurat atau dengan menyusun Kajian
Lingkungan.
4. Penyerahan daftar rencana kegiatan / proyek yang akan dilakukan Kajian
Lingkungan atau UKL-UPL.
5.3.2. Proses Penyaringan AMDAL
Langkah-langkah
penyaringan
wajib
AMDAL
kegiatan
perencanaan
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman adalah sebagai berikut :
a. Pengelompokan rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman berdasarkan skala besaran dan lokasi.
b. Klarifikasi rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman dengan menggunakan Lampiran I Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau kegiatan Yang wajib Memiliki AMDAL, untuk bidang Perumahan
dan Kawasan Permukiman kriteria selengkapnya disajikan dalam Tabel 5.1.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
40/47
Tabel 1. Kriteria Wajib AMDAL Bidang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Jenis Kegiatan
Besaran
Pembangunan Perumahan dan Kawasan
Pemrukiman dengan pengelola tertentu:
a. Kota Metropolitan, dengan luas
≥ 25 Ha
b. Kota Besar, dengan luas
≥50 Ha
c. Kota Sedang dan Kecil, dengan luas
≥100 Ha
d. Untuk
keperluan
transmigrasi, dengan luas
settlement
≥2.000 Ha
Sumber: Lmapiran I Per.Men.Neg.LH No. 05 Tahun 2012
Catatan:
 Kota Metropolitan, jumlah penduduk > 1 juta jiwa
 Kota Besar, jumlah penduduk antara 500.000 – 1 juta jiwa
 Kota Sedang, jumlah pendudukantara 200.000 – 500.000 jiwa
 Kota Kecil, jumlah penduduk antara 20.000 – 200.000 jiwa
Apabila rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman memenuhi salah satu kriteria seperti tersebut diatas,
maka rencana kegiatan wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL (yang
terdiri dari: KA-ANDAL; ANDAL; RKL dan RPL).
c. Apabila besaran rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman tidak termasuk dalam kriteria Tabel 1, selanjutnya
lokasi rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman harus dilihat apakah lokasi rencana kegiatan berada
di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan lindung. Adapun
yang
termasuk
dalam
kawasan
lindung
berdasarkan
Lampiran
III
Per.Men.Neg.LH No. 05 tahun 2012 selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
41/47
Tabel 2. Daftar Kawasan Lindung
No.
Jenis Kawasan
1.
Kawasan Hutan Lindung;
2.
Kawasan Bergambut;
3.
Kawasan Resapan Air;
4.
Sempadan Pantai;
5.
Sempadan Sungai;
6.
Kawasan Sekitar Danau / Waduk;
7.
Kawasan Sekitar Mata Air
8
Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Marga
Satwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah,
dan Daerah Pengungsian Satwa);
9.
Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainnya (termasuk
perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai,
gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan / atau
keunikan ekosistem);
10.
11.
12.
13.
14.
Kawasan Pantai berhutan Bakau (mangrove);
Taman Nasional;
Taman Hutan Raya;
Taman Wisata Alam
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan (termasuk
daerah karst berair, daerah deengan budaya masyarakat
istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan
sejarah yang bernilai tinggi);
Kawasan Rawan Bencana Alam.
15.
Sumber : Lampiran III Per.Men.Neg.LH No. 05 tahun 2012
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
42/47
Apabila lokasi rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman berada di dalam dan/atau berbatasan langsung
dengan kawasan lindung sebagaimana tabel di atas, maka rencana kegiatan
perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman wajib
dilengkapi dengan dokumen AMDAL (yang terdiri dari: KA-ANDAL; ANDAL;
RKL dan RPL).
d.
Setelah penyaringan tahap 1 dan tahap 2 terlewati dan rencana
kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman
tidak termasuk dalam kegiatan wajib AMDAL, selanjutnya adalah melakukan
penyaringan
besaran
rencana
kegiatan
perencanaan
pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Per.Men.PU No.
10/PRT/M/2008 untuk mengetahui apakah rencana kegiatan perencanaan
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus wajib UKL-UPL
atau SPPL. Adapun kriteria rencana kegiatan yang wajib UKL-UPL tersebut
selengkapnya disajikan dalam Tabel 3.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
43/47
Tabel 3. Kriteria Wajib UKL-UPL Bidang Kecipta Karyaan
No.
A.
B.
C.
Jenis Kegiatan
Besaran
Pengembangan Kawasan Permukiman Baru,
kegiatan ini berupa:
 Kawasan Permukiman Sederhana untuk
MBR,
misalnya:
PNS.
TNI/POLRI,
Buruh/Pekerja
 Pengembangan kawasan permukiman baru
sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi lokal
pedesaan (Kota Terpadu, Mandiri KTM eks
transmigrasi, fasilitas pelintas batas PPLB di
perbatasan);
 Pengembangan kawasan permukiman baru
dengan pendekatan KASIBA/LISIBA
Peningkatan Kualitas Permukiman, kegiatan
ini berupa:
 Penanganan kawasan kumuh di perkotaan
dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan
dasar (basic need) pelayanan infrastruktur,
tanpa pemindahan penduduk
 Pembangunan kawasan tertinggal, terpencil,
kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil
 Pengembangan kawasan perdesaan untuk
meningkatkan ekonomi lokal (penanganan
kawasan agropolitan, kawasan terpilih pusat
pertumbuhan desa KTP2D, desa pusat
pertumbuhan (DPP)
Penanganan kawasan kumuh perkotaan,
kegiatan ini berupa:
 Penanganan menyeluruh terhadap kawasan
kumuh berat di perkotaan metropolitan
yang
dilakukan
dengan
pendekatan
peremajaan kota (urban renewal) disertai
dengan pemindahan penduduk dan dapat
dikombinasikan
dengan
penyediaan
bangunan rumah susun
Jumlah
Hunian ≤ 500
unit rumah;
Luas kawasan
≤ 10 Ha
Luas kawasan
≤ 10 Ha
Luas kawasan
≤ 5 ha
Sumber: Per.Men.PU No. 10/PRT/M/2008
Apabila rencana kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan
permukiman memenuhi salah satu kriteria diatas maka harus dilengkapi
dengan dokumen UKL-UPL.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
44/47
e. Sedangkan apabila rencana kegiatan Pembangunan Perumahan dan
Kawasan permukiman tidak masuk dalam kriteria tabel di atas maka rencana
kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan permukiman cukup
dilengkapi dengan Surat Pernyataan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup.
Alur proses penyaringan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam
Gambar 2.
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
45/47
Rencana Kegiatan Pembangunan
Perumahan dan Kawasan Permukiman
Ya
Memenuhi kriteria
wajib AMDAL? 1)
Tidak
Ya
Berbatasan langsung
dengan kawasan lindung?
2)
Tidak
Ya
Berdampak
penting? 3)
Tidak
Tidak
Memenuhi kriteria
wajib UKL/UPL? 4)
Ya
Bebas AMDAL maupun
UKL/UPL
Wajib UKL/UPL
Wajib AMDAL
Gambar 2. Proses Penyaringan Kewajiban Kelengkapan Dokumen LH
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
46/47
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil diskusi dan penelaahan yang telah dilakukan maka
simpulan dan rekomendasi kajian adalah sebagaiberikut:
a. IPR sebagai “dokumen wajib” yang harus terpenuhi pada tahapan awal
proses perizinan bagi kesuksesan pencapaian target backlog.
b. Adanya perbedaan yang signifikan di lokasi kajian terkait persyaratan IPR
serta waktu penyelesaian IPR.
c. Adanya tuntutan kebutuhan ruang yang sebelumnya tidak diperuntukkan
untuk
permukiman
diajukan
perubahan
pola
pemanfaatan
menjadi
permukiman melalui konversi lahan khsusunya kawasan lindung dan LP2B.
d. Perlunya penegasan pelarangan konversi Kawasan Lindung dan LP2B bagi
peruntukkan pembangunan PKP.
e. Pada lokasi kajian diperoleh sekitar 80 ribu hektar lahan yang sesuai untuk
permukiman.
f. Perlunya pelaksanaan pengendalian penyelenggaraan Rumah Umum dan
Komersial dari sisi;
a) Perencanaan;
- Untuk Ruang
- Untuk Lingkungan
b) Pemanfaatan;
- Untuk kesesuaian fungsi bangunan
- Lingkungan
g. Mendorong kerjasama antar daerah untuk memenuhi rumah melalui
pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman berbasis regional
(lintas wilayah), pertimbangannya kompensasi.
Pengendalian oleh pihak kabupaten/kota pelaksana kerjasama, referensi ada
dalam Peraturan perundang-undangan tentang kerjasama antar daerah
Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial
47/47
Download