KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN Jalan Pattimura No.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12110 Telepon/Fax : (021) 7226604 KAJIAN PENGENDALIAN PENYELENGGARAAN RUMAH UMUM DAN KOMERSIAL TAHUN ANGGARAN 2015 DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN DIREKTORAT RUMAH UMUM DAN KOMERSIAL I. 1.1. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1), diamanatkan bahwa; setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik huni, sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Amanat tersebut mendudukkan rumah sebagai hak setiap orang untuk mendapatkan mutu kehidupan dan penghidupannya. Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman, menyatakan bahwa pemerintah perlu berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah dn keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam UU No.1 Tahun 2011 telah ditetapkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan / atau menikmati dan / atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan ditinjau dari pelaku pembangunan dan penghunian maka jenis rumah terdiri dari i : i) rumah umum, ii) rumah komersial, iii) rumah swadaya, iv) rumah khusus, dan v) rumah negara. Pengertian Rumah Umum sendiri sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sedangkan pengertian Rumah Komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Permasalahan yang sering terjadi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman antara lain perolehan lahan yang sangat sulit dikarenakan harga tanah selalu naik setiap tahun. Selain itu juga perijinan yang mahal dan ketidakserasian peraturan perundang-undangan, Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 1/47 persyaratan memperoleh kredit yang banyak mengalami hambatan.Pembangunan rumah umum untuk MBR mengalami kendala pada aksesibilitas, dan harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan/ penghasilan masyarakat. Kendala tersebut di atas juga ditambah dengan masih buruknya pelayanan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU). Pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat pada dasarnya merupakan tanggungjawab masyarakat sendiri, namun kebijakan penyelenggaraannya, khususnya dalam skala nasional merupakan tugas dan fungsi pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun demikian hak dasar rakyat tersebut pada saat ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu penyebabnya adalah adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan (backlog) yang relatif masih besar. Hal tersebut terjadi antara lain karena masih kurangnya kemampuan daya beli masyarakat khususnya kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam memenuhi kebutuhan perumahannya. Di sisi lain, perumahan komersial pada umumnya berada pada lingkungan hunian yang layak, dengan PSU yang memadai dan aksesibilitas yang cukup baik. Perumahan komersial umumnya dimiliki oleh masyarakat yang mempunyai ekonomi yang baik. Dalam membangun perumahan komersial, pengembang membangun rumah dengan harga yang lebih tinggi dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada membangun rumah untuk MBR. Pemerintah telah menerbitkan Permenpera No.10 Tahun 2012, yang kemudian diubah dengan Permenpera No.7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk 1) menjamin tersedianya rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana bagi masyarakat yang dibangun dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan untuk rumah sederhana. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk mewujudkan kerukunan antar berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Mewujudkan subsidi silang untuk penyediaan PSU serta pembiayaan pembangunan perumahan, menciptakan keserasian tempat bermukim, baik secara sosial dan ekonomi, serta mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan kawasan permukiman. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 2/47 Sasaran kuantitas penyediaan perumahan seperti tercantum dalam RPJM Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019 adalah meningkatnya kekurangan rumah (backlog) dari 5.8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta unit rumah pada akhir tahun 2009. Jika jumlah tersebut ditangani sampai Tahun 2025, maka asumsi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sampai tahun 2014 harus dibangun sebanyak 1,8 juta unit rumah. Sedangkan perkiraan pertambahan jumlah rumah Tahun 2010 – 2014 di proyeksikan meningkat menjadi sebanyak 3.6 juta unit rumah atau sebanyak 710 ribu unit rumah per tahun. Sehingga jumlah yang harus dibangun sampai Tahun 2014 adalah sebanyak 5.4 juta unit rumah. Terbatasnya lahan untuk perumahan, memungkinkan masyarakat melaksanakan transaksi jual beli lahan, atau merambah hutan atau lahan konservasi tanpa memperhatikan rencana peruntukan lahan sebagaimana yang tertuang di RTRW kabupaten/kota, sehingga sering melanggar kaidah lingkungan, yang berakibat merusak lingkungan. Meskipun pemenuhan kebutuhan rumah MBR sangatlah mendesak, tetapi kaidah-kaidah lingkungan tetap harus diperhatikan. Untuk itu dalam melaksanakan pembangunan rumah umum dan komersial perlu dikendalikan. Pengembangan kebijakan di bidang pengembangan perumahan umum dan komersial merupakan salah satu bagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam upaya memberikan dukungan dalam kerangka kebijakan pembangunan perumahan rakyat secara keseluruhan. Untuk itu pada tahun anggaran 2015 dilakukan “Kajian Pengendalian Pembangunan Rumah Umum dan Komersial” sebagai masukan untuk penyiapan kebijakan di bidang pengembangan rumah umum dan komersial. 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN 1.2.1. Maksud Penyusunan pengendalian kajian ini dimaksudkan pembangunan rumah untuk umum melakukan dan penyusunan komersial, sebagai kajian acuan penyusunan kebijakan di bidang pengembangan rumah umum dan komersial. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 3/47 1.2.2. Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk : a) Mengidentifikasi permasalahan yang ada terkait pembangunan rumah umum dan komersial. b) Mengidentifikasi para pemangku kepentingan terkait pembangunan rumah umum dan komersial. c) Menjaring isu dan permasalahan yang dihadapi dalam rangka pembangunan rumah umum dan komersial. d) Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pembangunan rumah umum dan komersial. e) Merumuskan kebijakan pengaturan, pengendalian, pengawasan yang akan dilakukan dalam rangka menjamin terselenggaranya pembangunan rumah umum dan komersial sesuai peraturan perundang-undangan dan pemenuhan kebutuhan rumah. 1.3. Sasaran Pelaksanaan kegiatan Kajian Pengendalian Rumah Umum dan Komersial ini diharapkan akan: 1) Teridentifikasi permasalahan yang ada terkait pembangunan rumah umum dan komersial. 2) Teridentifikasi para pemangku kepentingan terkait pembangunan rumah umum dan komersial. 3) Terjaring isu dan permasalahan yang dihadapi dalam rangka pembangunan rumah umum dan komersial. 4) Teridentifikasikasi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pembangunan rumah umum dan komersial. 5) Terumuskan kebijakan pengaturan, pengendalian, pengawasan yang akan dilakukan dalam rangka menjamin terselenggaranya pembangunan rumah umum dan komersial sesuai peraturan perundang-undangan dan pemenuhan kebutuhan rumah. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 4/47 II. 2.1. TINJAUAN RUANG UNTUK PERMUKIMAN KESESUAIAN RUANG PERMUKIMAN Kesesuaian peruntukan ruang permukiman bagi terselenggaranya pembangunan rumah umum dan komersial adalah prasyarat kebijakan yang senantiasa menjadi perhatian utama di tahap pra konstruksi. Kesesuaian dimaksud adalah sesuainya ruang yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman dalam pola pemanfaatan ruang yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ruang pada hakekatnya adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang dimaknai sebagai suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada proses perencanaan tata ruang, salah satu hasil yang diperoleh adalah adanya rencana pola pemanfaatan ruang yang menggambarkan distribusi peruntukan ruang suatu wilayah yang meliputi perungtukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Fungsi lindung artinya wilayah tersebut ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, sedangkan fungsi budidaya artinya wilayah tersebut ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Dalam konteks kajian ini, penataan ruang yang menjadi rambu-rambu kebijakan adalah terkait kesesuaian fungsi ruang yang akan dibangun sebagai kawasan rumah umum dan komersial terhadap peruntukan ruang tersebut sebagai ruang untuk fungsi budidaya, atau lebih spesifik lagi yakni pola pemanfaatan untuk kawasan budidaya dengan peruntukkan permukiman. Hal ini berarti, prasyarat utama harus terpenuhi dalam mengimplementasikan pembangunan perumahan adalah kesesuaian lokasi terhadap fungsi budidaya dengan peruntukkan permukiman. Pada setiap wilayah otonom sesungguhnya RTRW adalah suatu dokumen perencanaan yang mutlak harus ada seperti halnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Semua program pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah selanjutnya disingkat RPJM (yang merupakan Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 5/47 penjabaran RPJP) seyogyanya lokasi pelaksanaannya sesuai dengan fungsi peruntukan ruang yang tertuang dalam RTRW. Dalam melakukan kajian pengendalian pembangunan rumah umum dan komersial, sebagai acuan penyusunan kebijakan di bidang pengembangan rumah umum dan komersial, diawali dengan studi literature terkait, khususnya peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi “payung” kebijakan untuk selanjutnya dijabarkan para pelaksana melalui aturan penjabaran dibawahnya. Setelah diperoleh peraturan perundang-undangan dimaksud maka dilakukan inventarisasi dan pengolahan data. Inventarisasi data bertujuan untuk menelusuri dan mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk selanjutnya diolah menjadi informasi untuk menjelaskan cakupan kajian dan komponen apasaja yang perlu dianalisis untuk mencapai tujuan kajian. Pengolahan data dilakukan setelah inventarisasi data pada lokasi untuk mendapatkan gambaran lokasi kajian beserta lokus tema kajian. Hasil kompilasi inventarisasi data dan pengolahannya selanjutnya diolah manjadi informasi untuk didiskusikan dalam pembahasan Focus Group Discusion (FGD). FGD menghadirkan berbagai stakeholders yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran komrehensif dan holistic terhadap tema kajian serta hal-hal apasaja yang perlu mendapat penelahaan lebih lanjut terkait ke-khasan wilayah. Berbagai masukan dan tanggapan FGD akan menghasilkan rumusan simpulan dan rekomendasi tindaklanjut berupa masukan terhadap bahan penyusunan kebijakan. Alur kajian dapat digambarkan pada bagan dibawah ini: Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 6/47 2.2. TINJAUAN PERUMAHAN MENGACU PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa pengembangan kebijakan di bidang pengembangan perumahan umum dan komersial merupakan salah satu bagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Hal ini dipertegas kembali melalui UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disingkat PKP), khsusunya pada uraian menimbang point (c) yang menyatakan bahwa “pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Uraian tersebut mengandung 2 (dua) point penting yang mengarah pada aturan perundang-undangan yang perlu diperhatikan karena memiliki keterkaitan dalam implemetasinya, yakni: 1) UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disingkat PR), sebagaimana kalimat “Merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya”. 2) UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat PPLH), sebagaimana kalimat “yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup” 2.2.1. Perumahan ditinjau dari sisi Penataan Ruang Kedua undang-undang tersebut diatas tentunya selain memiliki keterkaitan dalam mengimplementasikan UU PKP, juga menjadi prasyarat bagi penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, utamanya terkait penataan ruang. Hal ini tergambar jelas pada beberapa pasal selanjutnya, yaitu: pasal 3 (b), pasal 26 (1), pasal 38 (4), pasal 56 (1), pasal 64 (1), pasal 76 (1), Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 7/47 pasal 83 (2), pasal 95 (1), pasal 98 (1), pasal 101 (2), dan pasal 105 (2), yang menegaskan bahwa penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR, meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di lingkungan hunian perkotaan maupun lingkungan hunian perdesaan, dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Ketiga kalimat yang dicetak tebal diatas senantiasa me-refer pada kesesuaian peruntukkan ruang PKP dalam RTRW. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 3 point a dan f dibawah ini, tentang maksud kepastian hukum dan lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Penjelasan Pasal 3 (a): Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan hukum bagi setiap orang untuk bertempat tinggal secara layak, baik yang bersifat milik maupun bukan milik melalui cara sewa dan cara bukan sewa. Jaminan hukum antara lain meliputi kesesuaian peruntukan dalam tata ruang, legalitas tanah, perizinan, dan kondisi kelayakan rumah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 3 (f): Yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan tata ruang, kesesuaian hak atas tanah dan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 8/47 Berdasarkan penjelasan diatas maka RTRW yang menggambarkan kesesuaian peruntukan bagi perumahan dan kawasan permukiman menjadi syarat utama implementasi kebijakan PKP, baik dalam sisi perencanaan maupun pada konteks pengendalian pemanfaatan ruang disuatu wilayah. Sisi perencanaan dimaksud adalah adanya ruang wilayah yang disediakan untuk pembangunan PKP dan telah ditetapkan dalam RTRW. Sedangkan konteks pengendalian dimaksud adalah seberapa besar keberadaan PKP dapat menjamin lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Lebih jauh dari itu, jika teryata pembangunan PKP dalam ruang wilayah yang telah diperuntukkan telah “penuh” maka ruang wilayah mana saja yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan PKP tanpa melanggar fungsi kawasan serta RTRW yang telah ditetapkan. Terkait hal tersebut, point penting yang perlu diperhatikan adalah adanya ruang dalam kawasan budidaya di RTRW yang tidak boleh dikonversi yakni lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini telah diatur dalam UU 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Dalam UU LP2B khususnya pada pasal 1 (7) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lebihlanjut dijelaskan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Sedangkan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Pada pasal 17 disebutkan bahwa Penetapan Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan (RKP) baik Rencana Kerja Pemerintah nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Selanjutnya dipertegas pada pasal 23 bahwa Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 9/47 kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Daerah mengenai RTRW kabupaten/kota. Artinya bahwa LP2B merupakan bagian dalam RTRW, baik sebagai peta tematik yang menyusun RTRW khususnya Pola Pemanfaatan Ruang maupun menjadi salah satu Lagenda dalam Pola Pemanfaatan Ruang yang ditetapkan. Oleh karenanya konversi atau pengalihan kawasan yang telah ditetapkan sebagai LP2B tidak diperbolehkan dan jika terjadi maka dapat dikenai pelanggaran RTRW. Terkait hal tersebut sangat berkorelasi positif dalam penegasan LP2B untuk tidak dikonversi sebagaimana dinyatakan pada pasal 50 (1) UU LP2B disebutkan bahwa Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi LP2B batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum. 2.2.2. Perumahan ditinjau dari sisi Lingkungan Hidup Penyaringan Dan Pelingkupan AMDAL a. Dalam ayat (2) Pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan disebutkan bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup menetapkan kegiatan wajib AMDAL bagi rencana usaha atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting. Selanjutnya dalam penjelasannya dikatakan bahwa bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak ada dampak besar dan pentingnya dan atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak pentingnya tidak termasuk dalam kategori ini (wajib AMDAL). Dalam pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan maka untuk kegiatan atau usaha yang bebas AMDAL ini tetap harus dilengkapi dengan dokumen upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). b. Besar kecilnya dampak terhadap lingkungan sangat tergantung kepada besarkecilnya dan jenis kegiatan yang dilakukan. Karenanya untuk menindak lanjuti peraturan diatas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 tahun 2008 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum Yang Wajib Memiliki UKL-UPL. c. Penyaringan pada dasarnya merupakan kegiatan pelingkupan (scoping), yaitu proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 10/47 dampak penting yang terkait dengan rencana kegiatan. Kegiatan pelingkupan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyaringan maupun penyusunan KA-ANDAL dan hasilnya dapat berpengaruh besar pada kualitas dokumen ANDAL. Semakin baik proses pelingkupan akan menghasilkan ANDAL yang semakin baik pula sesuai identifikasi dampak yang semakin tajam, dan adanya arahan yang tegas dalam lingkup serta kedalaman studi ANDAL. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 11/47 III. 3.1. INVENTARISASI DAN PENGOLAHAN DATA LATAR BELAKANG DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH Data utama dalam kajian ini adalah Perda RTRW beserta materi teknis (Matek) yang menyertainnya serta Perda RPJM wilayah kajian. Pada Perda RTRW dapat diperoleh data struktur ruang, pola ruang, dan kawasan strategis. Lokasi pembangunan PKP akan banyak jabafkan dari penjelasan pola ruang pada alokasi kawasan budidaya khususnya peruntukkan permukiman. Lokasi kajian terdiri dari 3 (tiga) wilayah menggambarkan 3 kondisi yang senantiasa dihadapi pada pembangunan PKP yakni: a) Lokasi kawasan budidaya (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik pemanfaatan berupa konversi lahan produktif (indikasi LP2B) menjadi kawasan permukiman. Lokasi ini digambarkan pada wilayah Kabupaten Bekasi. b) Lokasi kawasan budidaya (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik pemanfaatan berupa konversi lahan penyangga dan lahan kritis (indikasi lahan konservasi gambut) menjadi kawasan permukiman. Lokasi ini digambarkan pada wilayah Kota Banjarmasin. c) Lokasi kawasan budidaya (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik pemanfaatan berupa konversi daerah tangkapan air (kawasan lindung) menjadi kawasan permukiman. Lokasi ini digambarkan pada wilayah Kabupaten Bogor d) Lokasi kawasan penyangga ibukota Propinsi (peruntukkan permukiman) yang mengalami konflik pemanfaatan berupa konversi daerah pertanian dan tangkapan air (kawasan lindung) menjadi kawasan permukiman. Lokasi ini digambarkan pada wilayah Kabupaten Bandung 3.2. KABUPATEN BEKASI Terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 yang ditetapkan pada tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-Kabupaten di Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 tentang berlakunya Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi terbentuk pada Tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumahtangga-nya sendiri. Selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 12/47 Daerah Tingkat II kabupaten Bekasi, bahwa Tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI JADI KABUPATEN BEKASI. Dalam perjalanannya kemudian, Kabupaten Bekasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi kawasan industri yang mendunia, kawasan industri yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tapi juga berdiri plaza, mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah unggulan. Di sisi lain, Kabupaten Bekasi kini telah mengalami pemekaran wilayah dengan terbentuknya Kota Bekasi, maka kini pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi berada di Cikarang Pusat (Desa Sukamahi). Secara geografis letak Kabupaten Bekasi berada pada posisi 6º 10’ 53” - 6º 30’ 6” Lintang Selatan dan 106º 48’ 28” -107º 27’ 29” Bujur Timur. Topografinya terbagi atas dua bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian wilayah bagian utara dan dataran bergelombang di wilayah bagian selatan. Ketinggian lokasi antara 6 – 115 meter dan kemiringan 0 – 250. Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang strategis ditinjau dari wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Metropolitan DKI Jakarta. Letak strategis Bekasi terhadap Jakarta tersebut secara langsung dan tidak langsung memberikan peluang lebih besar bagi masyarakat Bekasi untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari perkembangan Jakarta. Namun demikian peluang tersebut diimbangi dengan peningkatan kebutuhan lahan yang merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri. Percepatan alih fungsi lahan tersebut umumnya disebabkan oleh keunggulan Bekasi dalam hal ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kabuapaten Bekasi umumnya berupa penurunan luas kawasan pertanian baik pertanian lahan basah maupun pertanian lahan kering, biasanya digunakan untuk penyediaan kawasan terbangun baik untuk permukiman, industri maupun jasa lainnya. Pada periode tahun 1995 sampai tahun 2000, perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi tidak terlalu signifikan. Perubahan yang terjadi cenderung membentuk gerombol disekitar kawasan industri di kecamatan Tambun, Cibitung dan Cikarang. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi juga cenderung membentuk gerombol (cluster). Sedangkan pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 dinamika yang terjadi cenderung menyebar secara tidak teratur. Kecamatan yang tidak mengalami perubahan penggunaan lahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 adalah Bojongmangu. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 13/47 Dinamika perubahan penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang di Kabupaten Bekasi relatif sangat dinamis. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi diantaranya adalah aksesibilitas terhadap jalan, laju pertumbuhan penduduk, fasilitas ekonomi, sosial, kesehatan dan alokasi RTRW. Perubahan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah di Kabupaten Bekasi yang semula berjumlah 15 kecamatan menjadi 23 kecamatan. Alokasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi yang terbesar pada tahun 1993 adalah untuk kawasan pertanian. Pada tahun tersebut tidak terdapat lagi alokasi untuk kawasan pertambangan karena telah beralih alokasi menjadi kawasan industri. Penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi RTRW tahun 1993 umumnya terpusat pada Bagian Utara dan Tengah Kabupaten Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan tahun 2000 sampai tahun 2009 terhadap alokasi RTRW tahun 2003 terlihat memusat pada Bagian Utara, Barat dan Selatan Kabupaten Bekasi. RTRW Kab. Bekasi ditetapkan melalui Perda Nomor 12 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031. Pada lampiran perda yang merupakan materi teknis dalam penyusunan pasal perda RTRW, tertuang Peta Pola Ruang Kabupaten Bekasi sebagaiberikut: Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 14/47 Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 15/47 Gambaran peta Pola Ruang Kabupaten Bekasi secara tegas menjelaskan lokasi permukiman dalam kawasan budidaya tata ruang Kabupaten Bekasi, yang dapat diuraikan sebagaiberikut: a) Rencana pola ruang kabupaten bekasi meliputi (pasal 19): kawasan lindung seluas 27.040 Ha ; dan kawasan budidaya seluas 100.348 Ha . b) Rencana pengembangan kawasan budidaya meliputi (pasal 27): kawasan peruntukan hutan produksi; kawasan peruntukan pertanian; kawasan peruntukan perikanan; kawasan peruntukan pertambangan; kawasan peruntukan industri; kawasan peruntukan pariwisata; kawasan peruntukan permukiman; kawasan peruntukan pesisir dan laut; dan kawasan peruntukan lainnya. c) Kawasan Peruntukan Pertanian meliputi (pasal 29): Kawasan pertanian tanaman pangan, meliputi lahan basah dan lahan kering. Pertanian lahan basah diarahkan dan ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang lebih 35.244 (tiga puluh lima ribu dua ratus empat puluh empat) hektar meliputi: o Kecamatan Cabangbungin; o Kecamatan Sukawangi; o Kecamatan Sukakarya; o Kecamatan Sukatani; o Kecamatan Karang Bahagia; o Kecamatan Pebayuran; o Kecamatan Kedungwaringin; o Kecamatan Cikarang Timur; o Kecamatan Setu; o Kecamatan Serang Baru; o Kecamatan Cibarusah; dan o Kecamatan Bojongmangu. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 16/47 Kawasan hortikultura seluas kurang lebih 2.417 (dua ribu empat ratus tujuh belas) hektar berupa pertanian lahan kering meliputi: o Kecamatan Cibarusah; o Kecamatan Serang Baru; dan o Kecamatan Bojongmangu. Kawasan perkebunan seluas kurang lebih 710 (tujuh ratus sepuluh) hektar berupa tanaman tahunan meliputi: o Kecamatan Cikarang Selatan; o Kecamatan Setu; o Kecamatan Serang Baru; o Kecamatan Cibarusah; dan o Kecamatan Bojongmangu. Kawasan peternakan terdiri dari pengembangan kegiatan peternakan rakyat (meliputi Kecamatan Sukatani, Kecamatan Sukakarya dan Kecamatan Pebayuran) dan pengembangan kawasan peternakan (meliputi Kecamatan Bojongmangu dan Kecamatan Cibarusah. d) Kawasan Peruntukan Permukiman meliputi (pasal 34): Kawasan permukiman tersebar di seluruh kecamatan seluas kurang lebih 13.918 (tiga belas ribu sembilan ratus delapan belas) hektar; Pengembangan kawasan permukiman perkotaan seluas kurang lebih 41.907 (empat puluh satu ribu Sembilan ratus tujuh) hektar meliputi: o Kecamatan Cibitung; o Kecamatan Karang Bahagia; o Kecamatan Tambun Utara; o Kecamatan Sukatani; o Kecamatan Sukawangi; o Kecamatan Cikarang Timur; o Kecamatan Cikarang Pusat; o Kecamatan Tambun Selatan; o Kecamatan Serang Baru; o Kecamatan Setu; o Kecamatan Cikarang Selatan; dan o Kecamatan Cikarang Barat. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 17/47 Pengembangan kawasan permukiman perdesaan seluas kurang lebih 3.515 (tiga ribu lima ratus lima belas) hektar meliputi: o Kecamatan Babelan; o Kecamatan Muaragembong; o Kecamatan Cabangbungin; o Kecamatan Cibarusah; o Kecamatan Bojongmangu; dan o Kecamatan Serang Baru. Pengembangan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud diarahkan untuk pengembangan hunian vertikal berupa rusunami dan rusunawa diperkotaan dan kawasan industry, pengembangan kawasan permukiman mandiri, dan peningkatan sarana dan prasarana dasar permukiman. Pengembangan permukiman perdesaan diarahkan untuk pengembangan hunian horizontal dan peningkatan sarana dan prasarana dasar permukiman. 3.3. KOTA BANJARMASIN Kota Banjarmasin terletak pada 3°,15 sampai 3°,22 Lintang Selatan dan 114°,32 Bujur Timur, ketinggian tanah berada pada 0,16 m di bawah permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang. Kota Banjarmasin berlokasi di sisi timur sungai Barito. Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-tengah Indonesia. Kota Banjarmasin dibelah oleh sungai Martapura dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat, terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan. Menurut data statistik 2011 dari seluruh luas wilayah Kota Banjarmasin yang kurang lebih 98 Km² ini dapat dipersentasikan bahwa peruntukan tanah saat sekarang adalah lahan tanah pertanian atau 3.111,9 ha, perindustrian 278,6 ha, jasa 443,4 ha dan pemukiman adalah 3.029,3 ha, dan lahan perusahaan seluas 336,8 ha. Perubahan dan perkembangan wilayah terus terjadi seiring dengan pertambahan kepadatan penduduk dan kemajuan tingkat pendidikan serta penguasaan ilmu pengetahuan teknologi. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 18/47 Penggunaan tanah di Kota Banjarmasin dibandingkan dengan data tahuntahun sebelumnya lahan pertanian cenderung menurun, sementara untuk lahan perumahan mengalami perluasan sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pola permukiman merupakan lingkup penyebaran daerah tempat tinggal penduduk menurut keadaan geografi (fisik) tertentu. Untuk pertumbuhan kota Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya terkonsentrasi pada tepian sungai, terutama daerah aliran sungai Barito dan anak sungainya. Permukiman penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan aliran sungai sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan rumah biasanya terdapat dermaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau mengikat alat transportasi berupa perahu. Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, karena masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam. Pada perkembangan selanjutnya, permukiman lebih mengarah ke daratan karena dibentuknya jalan-jalan darat. Transportasi air mulai ditinggalkan,sedangkan transportasi darat semakin berkembang. Kondisi tapak juga mengalami perubahan. Pada mulanya banyak lahan rawa yang berhubungan dengan saluran air, tetapi sekarang ini lahan rawa mulai berkurang karena bertambah luasnya area permukiman. Hal ini dapat mengurangi area resapan air dan air tidak dapat mengalir dengan leluasa. Untuk perkembangan selanjutnya, permukiman tumbuh di sepanjang jalur darat ini baik formal maupun informal. Permukiman informal biasanya tumbuh di sepanjang sungai, sedangkan permukiman formal tumbuh di area pedalaman (lebih jauh dari sungai). Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit untuk keluar karena tidak ada area pengaliran. Perkembangan tapak permukiman dibedakan menjadi dua kawasan, yaitu (a) tapak permukiman yang berada di tepian (dekat) sungai dan (b) tapak permukiman pedalaman (jauh dari sungai). RTRW Kota Banjarmasin ditetapkan melalui Perda Nomor 5 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Kota Banjarmasin 2013-2032. Pada lampiran perda yang merupakan materi teknis dalam penyusunan pasal perda RTRW, tertuang Peta Pola Ruang Kabupaten Bekasi sebagaiberikut: Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 19/47 Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 20/47 Gambaran peta Pola Ruang Kota Banjarmasin khususnya terkait tujuan kajian dapat diuraikan sebagaiberikut: a) Rencana pola ruang Kota Banjarmasin meliputi (pasal 18): Kawasan lindung Kawasan budidaya. b) Kawasan budidaya terdiri dari (pasal 20): Rencana kawasan budidaya nasional, meliputi rencana pengembangan kawasan Banjar Bakula dan sekitarnya dengan sektor unggulan pertanian, industri, perkebunan, pariwisata dan perikanan. Rencana kawasan budidaya wilayah kota, meliputi: o kawasan perumahan; o kawasan perdagangan dan jasa; o kawasan perkantoran; o kawasan industri dan pergudangan; o kawasan pariwisata; o kawasan ruang terbuka non hijau; o kawasan ruang evakuasi bencana; o kawasan ruang bagi kegiatan sektor informal; dan o kawasan peruntukan lainnya, yang meliputi pendidikan, kesehatan, peribadatan, pelabuhan, pertanian dan pertahanan negara. c) Selanjutnya pada pasal 21 secara spesifik menjelaskan bahwa Rencana kawasan perumahan sebagaimana dimaksud tersebar pada seluruh wilayah kota disesuaikan dengan daya tampung penduduk 900.000 orang. Rencana pengembangan perumahan meliputi : Perumahan kepadatan tinggi dengan luas 160,91 ha berada di kawasan pusat kota, meliputi kawasan Seberang Masjid, Pekapuran dan Kelayan; Perumahan kepadatan sedang dengan luas 1.018,08 ha berada di kawasan Banjarmasin Barat; dan Perumahan kepadatan rendah dengan luas 3.594,54 ha berada di Kawasan Sungai Andai, Kecamatan Banjarmasin Utara dan Kawasan Mantuil dan Basirih di Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kawasan Sungai Lulut Kecamatan Banjarmasin Timur. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 21/47 3.4. KABUPATEN BANDUNG Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa barat. Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan, 270 desa, dan 10 kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Bandung adalah 176.238,67 ha. Batas wilayah administrasi Kabupaten Bandung adalah: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang; Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur; Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung termasuk wilayah dataran tinggi dengan kemiringan lereng antara 0-8%, 8-15% hingga di atas 45%. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung berada diantara bukit-bukit dan gunung-gunung, seperti disebelah utara terdapat Bukit Tunggul dengan tinggi 2.200m, Gunung Tangkuban Parahu dengan tinggi 2.076m, yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta. Di sebelah selatan terdapat Gunung Patuha dengan tinggi 2.334m, Gunung Malabar dengan tinggi 2.321m, GunungPapandayan dengan tinggi 2.262m, dan Gunung Guntur dengan tinggi 2.249m, yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500mm sampai dengan 4.000mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 12 o C sampai 24 o C dengan kelembaban antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Dampak dari kondisi geografis Kabupaten Bandung membuat potensi hidrologi Kabupaten Bandung yaitu sumber daya air tersedia cukup melimpah, baik air bawahtanah maupun air permukaan. Air permukaan terdiri dari 4 danau alam, 3 danau buatan serta 172 buah sungai dan anak-anak sungai. Sumber air permukaan pada umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, industri, dan sosial lainnya sedangkan air tanah dalam (kedalaman 60-200m) pada umumnya dipergunakan untuk keperluan industri, non industri, dan sebagian kecil untuk rumah tanggal. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan air tanah bebas (sumur gali) dan air tanah dangkal (kedalaman 24 sampai 60 meter) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta sebagian kecil menggunakan fasilitas dari PDAM terutama di wilayah perkotaan.Selain itu, kondisi curah hujan rata- rata di Kabupaten Bandung mencapai 1.500-4.000mm per tahun Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 22/47 atau jika dihitung luas lahan yang ada maka volume air yang turun di wilayah Kabupaten Bandung dapat mencapai 2,643-7,05milyar meter kubik. Potensi air yang begitu besar tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan banyak genangan banjir di berbagai wilayah. Penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Bandung terdiri atas kawasan lindung, kawasan budidaya pertanian, non pertanian, dan kawasan lainnya. Penggunaan lahan di kawasan lindung meliputi belukar, danau/waduk, hutan,rawa, semak, dan sungai. Secara proporsi, penggunaan lahan di Kabupaten Bandung didominasi oleh kawasan budidaya pertanian yaitu seluas 53,22% dari luas keseluruhan 176.238,67 Ha. Penggunaan lahan lainnya yaitu kawasan lindung sebesar 33,83%, kawasan budidaya non pertanian 12,44%, dan kawasan lainnya 0,51%. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung masih berupa kawasan ruang terbuka, dimana mampu menyerap air larian hujan yang mencapai 2.000-3.500mm per tahun. Berdasarkan luas lahan terbuka yang ada di Kabupaten Bandung baik yang berupa kawasan lindung maupun kawasan budidaya, tanah di Kabupaten Bandung memiliki kemampuan untuk menyerap air sebanyak 0,793-2,115 miliar meter kubik per tahun. RTRW Kabupaten Bandung ditetapkan melalui Perda Nomor 3 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung 2007-2027. Peruntukan pengembangan PKP secara khusus tertuang dalam Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya (pasal 73 ayat 1) yakin kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Beberapa hal yang terkait kajian pengembangan PKP adalah sebagaiberikut: a) Kawasan budidaya terdiri dari: Kawasan budidaya perkotaan/non pertanian dan Kawasan budidaya perdesaan/pertanian b) Kawasan budidaya perkotaan/non pertanian meliputi: Kawasan Permukiman, Kawasan Perdagangan dan Jasa, Pemerintahan, Kawasan Peruntukan Industri, Kawasan Pertahanan dan Keamanan, serta Kawasan Konservasi Budaya dan Sejarah (Artefak/Bangunan Bersejarah). Sedangkan Kawasan budidaya perdesaan/pertanian meliputi Kawasan Budidaya yang berfungsi lindung, Kawasan Pertanian, Permukiman Perdesaan, dan Kawasan Pariwisata. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 23/47 c) Selanjutnya pasal 81 menyatakan bahwa Rencana pengembangan kawasan permukiman seluas ± 31.029,59 ha atau 17,61 % dari total luas wilayah Kabupaten tersebut Bandung. Kawasan pemukiman dibagi kedalam pengembangan pemukiman untuk kawasan perkotaan seluas ± 13.936,85 ha dan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan seluas ± 17.092,74 ha. Pengembangan permukiman di kawasan perkotaan diarahkan untuk perumahan terorganisir dan rumah susun, sedangkan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan diarahkan untuk permukiman yang tumbuh alami dan pengembangan perumahan dengan kepadatan rendah namun dalam pengembangannya tetap dibatasi sesuai dengan fungsi ruangnya yang ditentukan berdasarkan Koefisien Wilayah Terbangun. d) Pada pasal 84, secara detail diuraikan luas dan lokasi peruntukan terkait permukiman, meliputi: Pengembangan kawasan budidaya perkotaan/non pertanian seluas ± 40.259,46 ha, terdapat di kecamatan-kecamatan sebagai berikut: o Kecamatan Soreang: pemerintahan/fasum (± 48,54 ha), kawasan permukiman (± 1.309,55 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 1,43 ha), perdagangan/jasa (± 102,5 ha). o Kecamatan Kutawaringin: kawasan peruntukan industri (± 53,17 ha), pemerintahan/fasum (± 72,94 ha), kawasan permukiman (± 1.023,04 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 7,25 ha), perdagangan/jasa (± 352,78 ha). o Kecamatan Katapang: kawasan peruntukan industri (± 283,29 ha), pemerintahan/fasum (± 4,14 ha), kawasan permukiman (± 693,54 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 3,95 ha), perdagangan/jasa (± 33,05 ha). o Kecamatan Ciwidey: pemerintahan/fasum (± 0,27 ha), kawasan permukiman (± 948,92 ha), perdagangan/jasa (± 24,36 ha). o Kecamatan Pasirjambu: pemerintahan/fasum (± 1,13 ha), kawasan permukiman (± 834,49 ha), perdagangan/jasa (± 27,07 ha). o Kecamatan Rancabali: kawasan permukiman (± 395,99 ha) dan perdagangan/jasa (± 17,70 ha). Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 24/47 o Kecamatan Banjaran: kawasan peruntukan industri (± 74,54 ha), kawasan permukiman (± 1.219,20 ha), kawasan hankam (± 39,63 ha), perdagangan/jasa (± 81,15 ha). o Kecamatan Cangkuang: kawasan permukiman (± 1.038,59 ha), kawasan hankam (± 0,12 ha ) dan perdagangan/jasa (± 22,29 ha). o Kecamatan Pameungpeuk: kawasan peruntukan industri (± 169,42 ha), kawasan permukiman (± 332,63 ha), perdagangan/jasa (± 8,33 ha). o Kecamatan Pangalengan: pemerintahan/fasum (± 2,33 ha), kawasan permukiman (± 1,260.53 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 47,09 ha) dan perdagangan/jasa (± 46,23 ha). o Kecamatan Cimaung: pemerintahan/fasum (± 10,59 ha), kawasan permukiman (± 1.019,80 ha). o Kecamatan Arjasari: kawasan peruntukan industri (± 205,90 ha), kawasan permukiman (± 1.236,88 ha), perdagangan/jasa (± 1,58 ha). o Kecamatan Baleendah: kawasan peruntukan industri (± 136,84 ha), pemerintahan/fasum (± 33,50 ha), kawasan permukiman (± 1.623,51 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 3,80 ha) dan perdagangan/jasa (± 110,81 ha). o Kecamatan Dayeuhkolot: kawasan peruntukan industri (± 433,60 ha), pemerintahan/fasum (± 21,99 ha), kawasan permukiman (± 464,40 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 2,80 ha), dan perdagangan/jasa (± 34,69 ha). o Kecamatan Bojongsoang: kawasan peruntukan industri (± 387,23 ha), pemerintahan/fasum (± 8,30 ha), dan kawasan permukiman (± 1.111,88 ha), perdagangan/jasa (± 151,06 ha). o Kecamatan Cicalengka: kawasan peruntukan industri (± 136,24 ha), pemerintahan/fasum (± 5.93 ha), kawasan permukiman (± 1.125,35 ha), dan perdagangan/jasa (± 105,59 ha). o Kecamatan Nagreg: pemerintahan/fasum (± 51,17 ha), kawasan permukiman (± 913,21 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 36,69 ha), dan perdagangan/jasa (± 154,95 ha). o Kecamatan Cikancung: kawasan peruntukan industri (± 483,11 ha), pemerintahan/fasum (± 0,49 ha), kawasan permukiman (± 959,53 ha) dan perdagangan/jasa (± 83,90 ha). Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 25/47 o Kecamatan Cileunyi: kawasan peruntukan industri (± 504,20 ha), pemerintahan/fasum (± 12,31 ha), kawasan permukiman (± 1.737,01 ha) dan perdagangan/jasa (± 61,54 ha). o Kecamatan Rancaekek: kawasan pariwisata (± 493,61 ha), kawasan peruntukan industri (± 560,05 ha), pemerintahan/fasum (± 8,38 ha), kawasan permukiman (± 1.698,17 ha) dan perdagangan/jasa (± 157,78 ha). o Kecamatan Majalaya: kawasan peruntukan industri (± 590,20 ha), kawasan permukiman (± 803,20 ha) dan perdagangan/jasa (± 129,04 ha). o Kecamatan Ciparay: kawasan peruntukan industri (± 2,74 ha), kawasan permukiman (± 1.453,42 ha) dan perdagangan/jasa (± 67,79 ha). o Kecamatan Ibun: pemerintahan/fasum (± 0,42 ha), kawasan permukiman (± 794,69 ha) dan perdagangan/jasa (± 8,57 ha). o Kecamatan Kertasari: pemerintahan/fasum (± 0,56 ha), kawasan permukiman (± 495,63 ha) dan perdagangan/jasa (± 10,90 ha). o Kecamatan Pacet: pemerintahan/fasum (± 0,45 ha), kawasan permukiman (± 1.104,53 ha) dan perdagangan/jasa (± 11,72 ha). o Kecamatan Paseh: kawasan peruntukan industri (± 63,03 ha), kawasan permukiman (± 1.503,07 ha) dan perdagangan/jasa (± 24,66 ha). o Kecamatan Solokanjeruk: kawasan peruntukan industri (± 808,62 ha kawasan permukiman (± 722 ha), kawasan pariwisata (± 5,13 ha) dan perdagangan/jasa (± 157,10 ha). o Kecamatan Margaasih: kawasan peruntukan industri (± 592,33 ha), pemerintahan/fasum (± 7,40 ha), kawasan permukiman (± 844,48 ha) dan perdagangan/jasa (± 35,65 ha). o Kecamatan Margahayu: kawasan peruntukan industri (± 47,87 ha), kawasan permukiman (± 509,13 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 298,14 ha) serta perdagangan/jasa (± 74,99 ha). o Kecamatan Cilengkrang : kawasan permukiman (± 405,50 ha). o Kecamatan Cimenyan: pemerintahan/fasum (± 60,33 ha), kawasan permukiman (± 1.569,71 ha), kawasan pertahanan dan keamanan (± 159,09 ha) serta perdagangan/jasa (± 8,20 ha). Adapun Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bandung terlihat pada gambar berikut. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 26/47 Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 27/47 IV. FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) 4.1. PELAKSANAAN FGD I 21 Oktober 2015 di Jayakarta hotel Bandung Tanya Jawab; Sesi Pertama a. Bappeda Kota Bandung Bidang Tata Ruang, Kendala; - Bahwa punya keterbatasan ruang, lahan terbatas. - Permendagri 74 tahun 2007, ttg insentif kpd pelaku pembangunan perumahan, investasi unt pembangunan - Budaya masyarakat, terkait kesiapan masyarakat ttg tinggal di rusun. - Pengadaan rumah kluster, pengaturannya gimana ? kalau satu hektar masih ada pengaturan. b. REI Jabar Tanggapan Bu Sri - Tks PSU, kl di th 2016 naik tidak realistis, perlu dibenahi dan perlu disepakati. Surat pernyataan harus bisa menerima, ini keberatan - Minta RTRW planning at least 5 tahun kedepan agar bisa ditetapkan dng melibatkan para pemangku kepentingan. - Minta RTRW ditindak lanjuti dlm RDTR - Kendala para pelaku; perijinan, pembiayaan, aspek pertanahan - Kl ada share c. Suwarno, kantor pertanahan kota Bandung; - Mengajukan perijinan, pd saat bangunan sudah berdiri - Setiap penghuni ingin memiliki - Diingatkan mengingat tugas pembinaan. - Ditanya ttg tata ruang yg seperti apa ? Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 28/47 - Pengalaman Kab Bekasi pernah ada reklamasi, tapi peraturannya tidak tahu. - Tentang “penetapan lahan pertanian” kl ada pertanyaan, pasti ada yg tidak mau. d. Perumnas, pak Miko - Banyak perumahan yg akan dibangun - Peraturan dari Pemda Bandung KDH 50% keberatan, minta solusi Untuk sejuta rumah, mhn dipikirkan pembangunannya bagaimana. - Memikirkan subsidi silang, perlu memikirkan profit. - 13 titik sudah selesai, ada beberapa peraturan yg perlu ditinjau, regulasi perlu perhatian. e. Mantan pejabat Kab Bekasi, pak Nanang - Tertarik UU ttg LP2B, di kab Bekasi belum di Perdakan. Ada lahan pertanin 55.000 Ha. Saat ini kemungkinan besar tidak ada lagi Apa UU LP2B ini sudah tersosialisasi dng baik, krn kenyataannya LP2B ini sudah habis. f. Pak Sidi Kab Bekasi - Perijinan sd tujuh belas item, kesannya tdk ada yg ngontrol. Sample kota Bandung, contoh perumahan “Sanggar Hurip” g. Jawab pak Rasman; 1. ttg LP2B ada surat dr Dirjen Pangan, bahwa ada data ttg Penetapan LP2B dan luasannya dlm bentuk Perda. 2. Perpres 22 tahun 2002, ttg reklamasi, ada pengecualian reklamasi Ada dua dokumen reklamasi, ijin dokumen. 3. Ada rencana KDB dan KLB Acuan KDB 50 % dr BKPRD terkait dr peningkatan yg sdh distandarkan oleh Nasional. Kl RTRW KDB 30% Sesssion kedua Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 29/47 a. Kab Bandung; Catatan bahwa, ekspansi pasti kearah lahan yg murah termasuk lahan pertanian. Ijin tidak hanya terkait pelaksanaan konstruksi, tetapi jg ijin pemanfaatan ruang. b. Kab Bekasi; Sawah masti 64% c. Kab Bogor; Sub urban Jakarta, ialah Kabupaten Bogor Perizinzan 648 perumahan 33 kecamatan terbangun perumahan Cibinong Raya, 330 perumahan, terpusat di cibinong raya. Dasar2 kebijkan perumahan, UU1/2014 Pengembang mempertannguwjabk 6% luas lahan hrs dipersiapkan 15 unit rmh ato 2500 15 unit ato luas 25m Jl masuk min 8 m Jl perumahan min 6 m Kriteria perumahan mengikuti permenpera Perijinanan mendektkan kpd masy, oleh kecamatan Pembangunan dlm unit kecil kluster2 akal2an, sd tidak ada PSU nya Perumahan diwajibkan,yg mengajukan hrs berbadan hukum Akan meminimalkan sprawlnya pengemb dlm jml unit kecil MBR bukan wajibnya Pemerintah kabupaten kota tapi oleh Pemerintah pusat. Terlalu banyak perhatian pembangunan rumah baru, Tetapi kepedulian terhadap pembangunan rumah lama, perlu diperhatikan. Kebingungan thd PSU rusun. Penyediaan tanah makam, unt rusun tidak ada. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 30/47 Kota Bandung belum mengatur 2% luas lantai unt pemakaman. Untuk mendukung sejuta rumah, ttap diijinkan pembangunan baru tp didorong unt menyediakan tanah makam. Untuk pengembangan kluster, perlu dikendalikan. Di Depok ada ketentuan minmal 200 m2, tp harganya tinggi Mk pembangunan lari ke kab bogor. Jawab; Pak Rasman; a. Kab Bogor; Ttg Lingkungan; Penanam modal, misal pertama pembangunan 10 unit, berikut tambah 20, mk dipembahasan lingkungan menjadi akumulasi, bukan pisah pisah demikian. b. Kab Bekasi; Ttg peta, Lahan abadi agar diperiksa. 35 000 ha sbg lahan abadi apakah sudah ada titiknya. Pengendalian pertamanya perlu di tetapkan terkait lahan abadi. Bahwa ijin lingkungan, adalah tidak hanya terkait proyek swasta tetapi, tetapi termasuk pekerjaan pemerintah. Jawab; Kab Bogor; Untuk dibawah 15 unit pengurusan ijin di kecamatan, tetapi diatas 15 unit sudah merupakan lingkup ijin BP2T. mk harus ada kewajiban spt penyediaan psu dst. Kab Bekasi; dilakukan control,kl pembangunannya kanan kiri yg dimintakan ijin sdh terbangun, mungkin diloloskan. Tetapi apabila ada tanah luas, yg msh memungkinkan pengembangan pembngunan baru, ini harus ditarik ke BP2T. Ijin Lingkngan 2012 sudah dilimpahkan ke SPPL audit lingkungan. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 31/47 SPPL= surat pernyataan pengelolaan lingkungan (yg paling rendah) c. Amdal; Amdal Kawasan dilakukan, Dilakukan dlm kawasan tsb dpt dilakukan UKL UPL item pembngaunan yg berada didlm kawasan. Untuk bangunan2 yg sudah terbangun, ada pemutihan sejak juli 2014, tidak melakukan ijin lingkungan. UKL UPL diatur oleh Bupati atau Gubernur. Berdasarkan peraturan gubernur. Apersi Pengalaman dr kabupaten Bandung Satu juta rumah, ttg sertifikat Sertifikat induk dr splitzing atas nama perusahaan, Baru splitzing nama perusahaan, menjadi splitzing nama peroangan setelah akad kredit Biaya per unit bisa mencapai 2,5 juta rp-an Menjadi kendala 4.2. PELAKSANAAN FGD II 9-Oktober 2015 di Hotel Ratan In Kota Banjarmasin Tanya a. pak Deni BP2T Propinsi Harga rumah, yg mahal bukan tanahnya tp bahan bangunan murah Knp Pemerintah tdk bs mengatur harga semen. Diminta Pemerintaha, tdk bisa kerjasama sgsr bisa menekan haga murah Meratus Jaya Mnta subsidi bahan murah Salut kpd Propinsi; ada kebijakan satu hari kebijakan perijinan presiden. Perijinan, ada niat baik memudahkan perijinan dr Presiden Rumah murah ?.. ke Sbsidi bahan baku spt, gas, Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 32/47 b. pak Fahrudin, kota Banjarmasin Permasalahan yg ada lahan mahal, bahan bangunan mahal spt baja, semen. Inovasi, sudah ada cerucuk, diganti piling c. pak Nasrudin, dinas perumahan di Banjarbaru, Ada pabrik semen di tanjung, namanya semen Cons per sak 40 ribu Pemda tidak ada standarisasi untuk bangunan. d. DPD REI Kalsel, Satifa (Oriza Satifa) Standar Batako, kl jatuh tdk pecah. Satu bangunan rumah, menghabiskan semen 45 sak Soal kualitas, tidak terlalu jelek. Perda kota banjarbaru, 2 ha hanya jd 70 unit Kl bahan bangunan sdh punya langganan, tiga bulan tdk ambil tidak masalah Selama ini tidak ada complain dr konsumen. Semen lokal, unt K250 bisa diterima. Perijinan minta dibedakan Unt banjarbaru pengemb jual rumah 500 setahun Cuma 2 unit rumah. Sejuta rumah e. Bappeda Banjarbaru Di Kalsel minimal luas tanah 150 m2, kebijakan sbg antisipasi rumah tumbuh. Pernah ada kesepakatan terkait luasan minimal. Untuk mencegah kumuh. REI tidak setuju, terkait batasan minimal luas. Perwali luas minimal 160m2 dan sekarang jd Perda f. Dinas Perumahan Banjarbaru (pakSatifa), Banjarbaru, info jumlah rumah lebih besar dr jumlah penduduk. Di Banjarbaru, masy tidak mau punya rumah kopel atau sama. Pengalaman mentri lama, jual rumah 25 juta per unit tidak ada yg minat Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 33/47 g. Pemkot Banjarbaru Perlu dipikirkan ada hal yg akan dimatikan dng munculnya pabrikasi. h. REI Banjarbaru, Untuk banjar baru; bata, semen, menumbuhkan pemberdayaan masyarakat. Untuk makasar dulu, ada bata dan bamboo, dng pertimbangan2. i. Pak Slamet Bappeda Batola, Bahan baku, stock banyak, murah Sebaiknya menyerahkan bahan kpd pasar. Ada ulin stock terbatas, galam stock terbatas. j. Bappeda Propinsi Kalsel Justru arahnya kepada tata kelola Bahan baku alternative, sudah banyak yg dikaji. k. Reza Bappeda kabBanjar Tidak mengumpulkan masalah tp mengumpulkan banyak potensi. Pemerintah Pusat diminta dapat membantu produk2 lokal Standarisasi Standarisasi ttg bahan bangunan apa standarisasi rumah terbangun l. Syamsu Rizal BPN Kab. Banjar Kearifan Lokal Sertifikat yg murah sj m. Satriadi, Kab Banjarbaru, badan pelayanan perijinan terpadu dan badan penanaman modal Perijinan satu pintu, tim teknisnya msh di SKPD. Diharapkan; Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 34/47 a) Faktanya sumber daya alam dr hari ke hari berkurang, menjaga keberlanjutan b) Jeli melihat potensi, dan mengembangkanKearifan lokal, c) Berpikir Sustainable dev, lingkungan memperhatikan keterbatasan d) Mendorong kemajuan, 4.3. PELAKSANAAN FGD III 7 Desember 2015 di kantor Perumahan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Dari pelaksanaan diskusi diperoleh beberapa catatan yang dapat dilaporkan sebagai berikut : 1) Bahwa pelaksanaan pembangunan rumah umum dan komersial perlu dikendalikan, mempertimbangkan sisi tata ruang dan sisi lingkungan. 2) Bahwa dalam pelaksanaan pengendalian tersebut, masing-masing kabupaten/kota harus siap dokumen legal yang dapat diacu. Selain itu juga diperlukan kesiapan kesiapan institusi dalam melaksanakan pengendalian tersebut. 3) Beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama bahwa, perlu mengakomodir pengembangan perumahan dalam rangka menjawab backlog/kebutuhan rumah. Tetapi dalam hal pengembangan tersebut perlu pelaksanaan pengendalian. 4) Untuk itu pelaksanaan pembangunan rumah umum dan komersial perlu memperhatikan konsep preservasi dan konservasi. 5) Terkait isu nasional terkait menjaga lahan pertanian abadi, untuk itu kabupaten Banjar dan kabupaten Batola akan meningkatkan pencegahan dalam hal alih fungsi lahan. a. Untuk itu dibahas tentang Undang-undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. b. Untuk itu dibahas tentang kearifan lahan gambut, dan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pengelolaan lahan gambut tersebut. 6) Beberapa Peraturan Menteri terkait pelaksanaan evaluasi lingkungan dibahas dalam acara tersebut. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 35/47 7) Catatan terkait kesiapan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan antara lain sbb ; a) bahwa beberapa kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan; b) Telah menyusun dokumen RP3KP, tapi belum final, sehingga belum bisa mengetahui kebutuhan rumah tahun kedepan. c) Memiliki kesulitan dalam hal pembebasan tanah untuk cadangan perumahan d) Berminat mengembangkan kawasan skala besar, karena akan lebih terrencana dan effisien. Karena menyadari bahwa mencegah adalah lebih baik daripada mengobati. 8) Muncul pertanyaan terkait kegiatan Land Banking, dan selanjutnya pengelolaan land banking nantinya dan siapa yang menangani. 9) Mengingat kemampuan keuangan pemerintah kabupaten/kota, apakah memungkinkan penyediaan lahan dengan melakukan kerjasama dengan swasta serta menanyakan Pembentukan badan Pengelola serta bentuk struktur Badan Pengelolanya. 10) Terkait proses serah terima PSU, ditanyakan tentang institusi mana yang melakukan sertifikasi lahan yang diatasnya dibangun PSU. 11) Muncul ide terkait rencana pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam skala regional. Serta mengoptimalkan potensi pengembangan perumahan dan kawasan permukiman dalam skala regional tersebut secara terintegrasi dan berkesinambungan. Untuk itu perlu pelaksanaan koordinasi dan memperkuat tim lintas kabupaten kota. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 36/47 V. PENYUSUNAN KONSEP KEBIJAKAN 5.1. KONSEP KEBIJAKAN PENATAAN RUANG Pada uraian sebelumnya telah secara tegas dinyatakan bahwa penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini berarti dalam proses penyelenggaraan khususnya dalam tahap perencanaan harus dapat dipastikan bahwa ruang yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan PKP, dalam pola pemanfaatan ruang di dokumen RTRW memiliki kesesuaian fungsi sebagai permukiman. Kegiatan pemanfaatan ruang bagi pembangunan PKP harus diawali dengan adanya Izin Pemanfaatan Ruang (selanjutnya disingkat IPR) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan pasal 1 point 32 UU PR yang menyatakan bahwa “Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”, dan pasal 37 (7) menegaskan bahwa “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang”. Pada FGD di lokasi studi ditemukan bahwa IPR dapat berupa 1 (satu) lembaran surat izin atau beberapa lembar surat (dokumen), namun isinya adalah penyataan dari pejabat yang berwenang bahwa ruang (lokasi) yang akan dimanfaatkan telah sesuai dengan fungsi peruntukkannya dalam RTRW. Perbedaan yang signifikan ditemukan adalah jumlah persyaratan dan waktu penyelesaian IPR berbeda disetiap wilayah. Hal ini yang tentunya perlu mendapat perhatian pemerintah, yang seyogyanya tidak jauh berbeda karena ketentuan mengenai prosedur perolehan izin diatur dengan peraturan pemerintah, sebagaimana bunyi pasal 37 (8) bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak diatur dengan peraturan pemerintah”. Jika ditelaah lebih jauh sesungguhnya usulan orang perseorangan atau badan hukum yang akan melaksanakan kegiatan atau pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTRW dapat diberikan insentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan salah satu insentif tersebut adalah kemudahan prosedur perizinan (pasal 38 point 2c). Atas penjelasan ini maka maka konsep kebijakan pembangunan PKP harus menegaskan adanya Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 37/47 IPR sebagai “dokumen wajib” yang harus terpenuhi pada tahapan awal proses perizinan bagi kesuksesan pencapaian target logbook. Pada proses lebih lanjut, pemanfaatan ruang yang telah sesuai dengan RTRW atau sejalan dengan kebijakan pemanfaatan ruang yang lebih rendah namun tidak bertentangan dengan RTRW (misalnya RDTR, RTBL, Masterplan, dll), senantiasa dihadapkan pada kebijakan sektor atau kebijakan daerah otonom sesuai Visi daerah untuk melakukan konversi lahan. Pada semua lokasi kajian ditemukan bahwa adanya tuntutan kebutuhan ruang yang sebelumnya tidak diperuntukkan untuk permukiman diajukan perubahan pola pemanfaatan menjadi permukiman melalui konversi lahan dengan berbagai pertimbangan khususnya untuk mengakomodasi tuntutan kebutuhan ruang permukiman karena pertumbuhan penduduk dan dinamika ekononomi wilayah. Pada kasus demikian telah diuraikan sebelumnya bahwa kawasan yang diperuntukkan untuk Kawasan Lindung dan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan) tidak boleh diakukan konversi atas kebutuhan dimaksud. Hal ini secara lugas diatur dalam UU Perlindungan LP2B yang secar prinsip menjelaskan bahwa degradasi, alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Oleh karenanya diperlukan penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan kabupaten/kota. Selanjutnya dijelaskan bahwa kawasan tersebut dapat diberikan insentif dalam bentuk pengalokasian anggaran secara khusus atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan PKP kedepan seyogyanya dapat mengharmonisasi dan mendukung pengaturan ini melalui adanya penegasan pelarangan konversi Kawasan Lindung dan LP2B bagi peruntukkan pembangunan PKP. 5.2. MASUKAN KEBIJAKAN RUANG Berdasarkan lokasi kajian diperoleh data yang dapat menjadi informasi kebijakan pembangunan PKP adalah sebagai berikut: a. Kabupaten Bekasi mengalokasikan ruang yang sesuai dalam RTRW untuk program pembangunan PKP berupa kawasan permukiman Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 38/47 perkotaan seluas kurang lebih 41.907 hektar dan kawasan permukiman perdesaan seluas kurang lebih 3.515 hektar, b. Kota Banjarmasin mengalokasikan ruang yang sesuai dalam RTRW untuk program pembangunan PKP berupa rencana pengembangan perumahan yang terdiri dari: (-) perumahan kepadatan tinggi dengan luas 160,91 hektar; (-) perumahan kepadatan sedang dengan luas 1.018,08 hektar; dan (-) perumahan kepadatan rendah dengan luas 3.594,54 hektar. c. Kabupaten Bandung mengalokasikan ruang yang sesuai dengan RTRW untuk program pembangunan PKP berupa kawasan permukiman seluas ± 31.029,59 hektar yang dibagi kedalam pengembangan pemukiman untuk kawasan perkotaan seluas ± 13.936,85 hektar dan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan seluas ± 17.092,74 hektar. Dari informasi diatas dapat diperoleh gambaran jumlah alokasi pembangunan rumah umum yang dapat diidukung oleh ruang wilayah kajian. Berdasarkan uraian sebelumnya telah dinyatakan bahwa asumsi untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sampai tahun 2014 harus dibangun sebanyak 1,8 juta unit rumah. Sedangkan perkiraan pertambahan jumlah rumah Tahun 2010 – 2014 di proyeksikan meningkat menjadi sebanyak 3.6 juta unit rumah atau sebanyak 710 ribu unit rumah per tahun. Sehingga jumlah yang harus dibangun sampai Tahun 2014 adalah sebanyak 5.4 juta unit rumah, maka alokasi ruang untuk membangun sejumlah 5,4 juta unit rumah pada lokasi kajian diperoleh sekitar 80 ribu hektar lahan yang sesuai untuk permukiman. 5.3. MASUKAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP 5.3.1. Prosedur Penyaringan AMDAL Landasan hukum pelaksanaan penyaringan AMDAL dan UKL- UPL rencana kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki AMDAL. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 39/47 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/PRT/M/2008 tentang Jenis Penetapan Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum Yang Wajib Dilengkapi UKL-UPL. Adapun tata cara atau prosedure penyaringan adalah sebagai berikut : 1. Pada tahap perencanaan umum, penyerahan data / informasi mengenai rencana kegiatan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman kepada institusi yang berwenang untuk melakukan penyaringan. 2. Institusi yang berwenang berdasarkan usulan kegiatan / proyek, peta lokasi dan kriteria penyaringan melakukan penyaringan tahap pertama. 3. Untuk rencana proyek yang masih meragukan (harus dilakukan studi AMDAL atau tidak), maka dilakukan penyaringan tahap kedua, dengan mendapatkan data-data yang lebih akurat atau dengan menyusun Kajian Lingkungan. 4. Penyerahan daftar rencana kegiatan / proyek yang akan dilakukan Kajian Lingkungan atau UKL-UPL. 5.3.2. Proses Penyaringan AMDAL Langkah-langkah penyaringan wajib AMDAL kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman adalah sebagai berikut : a. Pengelompokan rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan skala besaran dan lokasi. b. Klarifikasi rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dengan menggunakan Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan Yang wajib Memiliki AMDAL, untuk bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman kriteria selengkapnya disajikan dalam Tabel 5.1. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 40/47 Tabel 1. Kriteria Wajib AMDAL Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman Jenis Kegiatan Besaran Pembangunan Perumahan dan Kawasan Pemrukiman dengan pengelola tertentu: a. Kota Metropolitan, dengan luas ≥ 25 Ha b. Kota Besar, dengan luas ≥50 Ha c. Kota Sedang dan Kecil, dengan luas ≥100 Ha d. Untuk keperluan transmigrasi, dengan luas settlement ≥2.000 Ha Sumber: Lmapiran I Per.Men.Neg.LH No. 05 Tahun 2012 Catatan: Kota Metropolitan, jumlah penduduk > 1 juta jiwa Kota Besar, jumlah penduduk antara 500.000 – 1 juta jiwa Kota Sedang, jumlah pendudukantara 200.000 – 500.000 jiwa Kota Kecil, jumlah penduduk antara 20.000 – 200.000 jiwa Apabila rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman memenuhi salah satu kriteria seperti tersebut diatas, maka rencana kegiatan wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL (yang terdiri dari: KA-ANDAL; ANDAL; RKL dan RPL). c. Apabila besaran rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman tidak termasuk dalam kriteria Tabel 1, selanjutnya lokasi rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus dilihat apakah lokasi rencana kegiatan berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan lindung. Adapun yang termasuk dalam kawasan lindung berdasarkan Lampiran III Per.Men.Neg.LH No. 05 tahun 2012 selengkapnya disajikan dalam Tabel 2. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 41/47 Tabel 2. Daftar Kawasan Lindung No. Jenis Kawasan 1. Kawasan Hutan Lindung; 2. Kawasan Bergambut; 3. Kawasan Resapan Air; 4. Sempadan Pantai; 5. Sempadan Sungai; 6. Kawasan Sekitar Danau / Waduk; 7. Kawasan Sekitar Mata Air 8 Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa); 9. Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan / atau keunikan ekosistem); 10. 11. 12. 13. 14. Kawasan Pantai berhutan Bakau (mangrove); Taman Nasional; Taman Hutan Raya; Taman Wisata Alam Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst berair, daerah deengan budaya masyarakat istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan sejarah yang bernilai tinggi); Kawasan Rawan Bencana Alam. 15. Sumber : Lampiran III Per.Men.Neg.LH No. 05 tahun 2012 Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 42/47 Apabila lokasi rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana tabel di atas, maka rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL (yang terdiri dari: KA-ANDAL; ANDAL; RKL dan RPL). d. Setelah penyaringan tahap 1 dan tahap 2 terlewati dan rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman tidak termasuk dalam kegiatan wajib AMDAL, selanjutnya adalah melakukan penyaringan besaran rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Per.Men.PU No. 10/PRT/M/2008 untuk mengetahui apakah rencana kegiatan perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus wajib UKL-UPL atau SPPL. Adapun kriteria rencana kegiatan yang wajib UKL-UPL tersebut selengkapnya disajikan dalam Tabel 3. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 43/47 Tabel 3. Kriteria Wajib UKL-UPL Bidang Kecipta Karyaan No. A. B. C. Jenis Kegiatan Besaran Pengembangan Kawasan Permukiman Baru, kegiatan ini berupa: Kawasan Permukiman Sederhana untuk MBR, misalnya: PNS. TNI/POLRI, Buruh/Pekerja Pengembangan kawasan permukiman baru sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi lokal pedesaan (Kota Terpadu, Mandiri KTM eks transmigrasi, fasilitas pelintas batas PPLB di perbatasan); Pengembangan kawasan permukiman baru dengan pendekatan KASIBA/LISIBA Peningkatan Kualitas Permukiman, kegiatan ini berupa: Penanganan kawasan kumuh di perkotaan dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) pelayanan infrastruktur, tanpa pemindahan penduduk Pembangunan kawasan tertinggal, terpencil, kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil Pengembangan kawasan perdesaan untuk meningkatkan ekonomi lokal (penanganan kawasan agropolitan, kawasan terpilih pusat pertumbuhan desa KTP2D, desa pusat pertumbuhan (DPP) Penanganan kawasan kumuh perkotaan, kegiatan ini berupa: Penanganan menyeluruh terhadap kawasan kumuh berat di perkotaan metropolitan yang dilakukan dengan pendekatan peremajaan kota (urban renewal) disertai dengan pemindahan penduduk dan dapat dikombinasikan dengan penyediaan bangunan rumah susun Jumlah Hunian ≤ 500 unit rumah; Luas kawasan ≤ 10 Ha Luas kawasan ≤ 10 Ha Luas kawasan ≤ 5 ha Sumber: Per.Men.PU No. 10/PRT/M/2008 Apabila rencana kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan permukiman memenuhi salah satu kriteria diatas maka harus dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 44/47 e. Sedangkan apabila rencana kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan permukiman tidak masuk dalam kriteria tabel di atas maka rencana kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan permukiman cukup dilengkapi dengan Surat Pernyataan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup. Alur proses penyaringan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 2. Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 45/47 Rencana Kegiatan Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman Ya Memenuhi kriteria wajib AMDAL? 1) Tidak Ya Berbatasan langsung dengan kawasan lindung? 2) Tidak Ya Berdampak penting? 3) Tidak Tidak Memenuhi kriteria wajib UKL/UPL? 4) Ya Bebas AMDAL maupun UKL/UPL Wajib UKL/UPL Wajib AMDAL Gambar 2. Proses Penyaringan Kewajiban Kelengkapan Dokumen LH Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 46/47 VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil diskusi dan penelaahan yang telah dilakukan maka simpulan dan rekomendasi kajian adalah sebagaiberikut: a. IPR sebagai “dokumen wajib” yang harus terpenuhi pada tahapan awal proses perizinan bagi kesuksesan pencapaian target backlog. b. Adanya perbedaan yang signifikan di lokasi kajian terkait persyaratan IPR serta waktu penyelesaian IPR. c. Adanya tuntutan kebutuhan ruang yang sebelumnya tidak diperuntukkan untuk permukiman diajukan perubahan pola pemanfaatan menjadi permukiman melalui konversi lahan khsusunya kawasan lindung dan LP2B. d. Perlunya penegasan pelarangan konversi Kawasan Lindung dan LP2B bagi peruntukkan pembangunan PKP. e. Pada lokasi kajian diperoleh sekitar 80 ribu hektar lahan yang sesuai untuk permukiman. f. Perlunya pelaksanaan pengendalian penyelenggaraan Rumah Umum dan Komersial dari sisi; a) Perencanaan; - Untuk Ruang - Untuk Lingkungan b) Pemanfaatan; - Untuk kesesuaian fungsi bangunan - Lingkungan g. Mendorong kerjasama antar daerah untuk memenuhi rumah melalui pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman berbasis regional (lintas wilayah), pertimbangannya kompensasi. Pengendalian oleh pihak kabupaten/kota pelaksana kerjasama, referensi ada dalam Peraturan perundang-undangan tentang kerjasama antar daerah Laporan akhir kajian pengendalian rumah umum dan komersial 47/47