Pentingnya Memakai Produk Dalam Negeri

advertisement
Pentingnya Memakai Produk Dalam Negeri1)
Oleh : Syahrituah Siregar, SE, MA2)
Latar Belakang
Pada umumnya bangsa-bangsa yang maju dan mencapai kemakmuran
memiliki ciri yang sama, yakni Produktif. Dengan tingkat produktivitas yang tinggi
mereka memiliki daya saing lebih baik dan menguasai pasar di dalam dan luar
negeri atas komoditas/produk yang bernilai tambah tinggi. Sebaliknya jika suatu
bangsa cenderung kosumtif, bangsa tersebut cenderung akan terbelakang dan
tidak mandiri. Jangankan untuk bersaing di pasar global, untuk keperluan
domestik saja, terutama untuk produk kompetitif, harus diimpor dari luar.
Untuk itulah perlu kiranya adanya langkah nyata untuk memajukan
produksi dalam negeri yang berhasil guna. Kemajuan sektor produktif di dalam
negeri sekaligus berarti pula kemajukan bagi bangsa. Hal ini memang bukan
masalah baru namun semakin kritis dan penting mendapat perhatian dengan
adanya era perdagangan bebas yang semakin gencar setelah berlakunya ChinaAsean Free Trade Area (CAFTA).
Berbagai langkah perlu diambil untuk mengantisipasi hal ini. Keterlibatan
semua pihak dari berbagai kalangan, seperti Pemerintah, Produsen, Konsumen,
Pedagang, LSM, dan semua Stakeholders sangat diperlukan. Makalah ini akan
memfokuskan perhatian pada hal-ikhwal pentingnya pemakaian produk dalam
negeri yang otomatis terkait pada peran masyarakat sebagai konsumen. Meski
demikian, pembahasan akan meluas ke beberapa spektrum makro dan mikro
mengingat implikasi konsumen untuk lebih suka menggunakan produk dalam
negeri tidaklah berdiri sendiri.
Insentif Bagi Produktivitas
Suatu bangsa dapat menjalankan peranannya dalam kegiatan ekonomi
berdasarkan ketersediaan daya dukung baik yang lahir secara alamiah maupun
yang diupayakan. Meskipun karakter berbagai bangsa berbeda-beda, namun
bangsa yang mampu mencapai tingkat produktivitas tinggi biasanya didalam
aktifitas riilnya terdapat Insentif Produksi yang jelas berupa tingkat profit yang
layak dan adanya jaminan bagi sustainabilitas.
Faktor-faktor pendukung eksistensi insentif bagi produksi, khusunya pada
kondisi Sektor Riil, dapat terdiri dari:
Luas Pasar ( terkait konsumen)
Mobilitas / Aksesibilitas
Informasi
Teknologi
Infrastruktur
Regulasi
1) Disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi Peningkatan Produk Dalam Negeri
Kalsel TA.2011 oleh Disperindag Provinsi Kalsel 26 Juli 2011 di
Banjarmasin.
2) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat
Dengan mengacu pada faktor-faktor tersebut maka didalam ranah kebijakan
untuk mendorong produksi dalam negeri, persoalaanya adalah bagaimana
mengelola regulasi dan/atau deregulasi yang mendorong terciptanya
mobilitas/aksesibilitas, teknologi, informasi, infrastruktur dan luas pasar yang
memadai bagi perkembangan produksi dalam negeri.
Khusus dalam hal peningkatan luas pasar dapat ditempuh dengan dua
arah kebijakan, yakni intensifikasi dan eksensifikasi. Melalui intensifikasi,
didorong untuk terjadi peningkatan komitmen dalam hal pemakaian ataupun
penggunaan produk dalam negeri. Hal ini tentunya harus didukung dengan
adanya aksesibilitas dan keterjangkauan yang layak. Sebaliknya, melalui
ekstensifikasi, pengusaha didorong untuk melakukan penetrasi pasar ke luar
negeri atau ke luar pangsa pasar yang telah ada.
Pintu Komitmen
Untuk memberdayakan konsumen dalam negeri langkah intensifikasi
perlu dilakukan. Terdapat dua pintu ataupun koridor yang perlu dilalui untuk
membentuk komitmen atas konsumen untuk pemakaian produk dalam negeri.
Pintu komitmen tersebut terdiri dari:
- Nasionalisme
- Rasionalisme
Nasionalisme menyebabkan seseorang lebih mengedepankan pemakaian
produk dalam negeri dibanding produk impor yang menjadi alternatif bagi
pemenuhan kebutuhannya dikarenakan adanya motivasi/rasa bangga untuk
berbuat yang terbaik demi kepentingan bangsa. Tipe konsumen seperti ini
tentunya sangat menguntungkan bagi perkembangan produksi lokal. Akan tetapi,
assumsinya warga negara yang relevan untuk menerapkan idealisme seperti ini
adalah mereka yang memiliki kemampuan lebih untuk memilih, seperti umumnya
kelompok berduit saja. Mereka rela membayar lebih agar tetap menggunakan
produk dalam negeri ataupun meredam “syahwat pamer” dengan tidak membeli
produk impor yang prestisius. Upaya untuk meningkatkan nasionalisme lebih
bersifat persuasif, melalui propaganda (bersifat positif ataupun negatif) dan
edukasi.
Rasionalisme menyebabkan seseorang cenderung menempatkan piihan
atas produk yang digunakannya berdasarkan atas pandangan yang lebih
realistis. Dengan adanya kenyataan ini komitmen pemakaian produk dalam
negeri tidak cukup hanya ditumbuhkan dengan propaganda. Upaya untuk
meningkatkan pemakaian produk dalam negeri bagi kelompok masyarakat
realistis ini mencakup berbagai aspek, diantaranya:
- peningkatan kualitas produk dalam negeri
- penetapan harga yang bersaing
- propaganda
- edukasi
2
Apabila kedua koridor diatas tidak bisa dikelola dengan baik niscaya
permintaan akan produk impor tidak dapat dikendalikan. Hal ini dapat
menurunkan kinerja neraca pembayaran yang tergambar dari menurunnya
surplus dalam perdagangan luar negeri. Penurunan kinerja perdagangan luar
negeri dengan adanya tekanan dari produk impor ini pada akhirnya akan
menurunkan industri dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan lokal.
Kondisi Faktual Penurunan Surplus Transaksi Berjalan
Berdasarkan laporan BI, 2011, pada Triwulan I, surplus transaksi berjalan
Indonesia terus mengalami penyusutan seiring dengan laju kenaikan impor yang
melebihi ekspor, baik di sektor migas maupun nonmigas. Hal ini terlihat pada
table berikut:
Sumber: dikutip dari Bank Indonesia, 2011.
Untuk sektor nonmigas, dalam Triwulan I - 2011 impor tumbuh 27,2%
(y.oy.), antara lain didorong oleh pertumbuhan impor kelompok barang konsumsi
yang mencapai 40%, khususnya impor kelompok komoditas makanan &
minuman (primer dan yang diproses) untuk rumah tangga yang tumbuh 67,3%
(y.o.y). Hal ini terlihat pada grafik berikut ini.
3
Sumber: dikutip dari Bank Indonesia, 2011.
Dari sisi negara asal, produk impor di Indonesia didominasi China
kemudian Jepang, dan Thailand. Khusus dengan China perdagangan bilateral
Indonesia menunjukkan defisit yang semakin melebar. Ekpor Indonesia ke China
pada tahun 2008 sebesar $ 11,64 M sedangkan impor dari China sebesar $
15,25 M. Pada 2009 ekspor sebesar $ 11,50 M sedangkan impor sebesar $
14,00 M . Pada 2010 ekspor Indonesia ke China sebesar $ 15,70 M sedangkan
impor Indonesia dari China sebeasar $ 20,42 M. Data Litbang Kompas
menyebutkan neraca perdagangan Indonesia-China defisit. Pertumbuhan Impor
Indonesia (54,97%) dua kali lipat banyaknya dari Pertumbuhan Ekspor Indonesia
(25,08%) ke China.
4
Sumber: dikutip dari Bank Indonesia, 2011.
Ancaman Produk Impor
Sebagaimana data makro diatas telah menunjukkan bahwa terdapat
kecendrungan yang kritis pada transaksi perdagangan Indonesia, khususnya
dalam era perdagangan bebas saat ini. Secara mikro dapat dengan jelas pula
diamati hal ini telah berlangsung dan membawa dampak di masyarakat.
Terjadinya goncangan disorientasi industri sebagai dampak negatif
perdagangan bebas, yakni sekitar 20% sektor industri manufaktur beralih ke
sektor perdagangan. Situasi ini kian memburuk karena memaksa di PHK-nya
sekitar 300.000 orang tenaga kerja industri alas kaki pada tahun 2010. Kondisi
ini berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya yang dapat dengan baik
memetik manfaat dari ACFTA. Filipina, Malaysia, Brunei, dan Singapura surplus
dalam Pertumbuhan Ekspor. Vietnam dan Thailand surplus dalam nilai
perdagangan buah-buahan tropikal.
Ketua Kelompok Usaha Bersama Rakitan Rakyat Tegal (KUBRRT)
Muhidin, di Tegal, mengatakan sejak adanya barang-barang berbahan tembaga
dari China yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 2008 hingga sekarang, usaha
kerajinan tembaga di wilayah Kabupaten Tegal turun drastis bahkan tidak sedikit
yang telah gulung tikar. Di Kecamatan Talang, dari hampir 700 pengusaha
tembaga kini tersisa hanya sekitar 400 pengusaha (AntaraNews, 25/6/2011).
Lebih lanjut, menurutnya untuk satu UKM yang memproduksi beragam peralatan
rumah tangga, onderdil kendaraan, dan aneka pernak-pernik berbahan tembaga
biasanya mempekerjakan sedikitnya 20 karyawan. Dapat diperirakan tingkat
PHK yang terjadi begitu tinggi.
5
Tekstil, buah-buahan, dan mainan China murah karena berkualitas rendah
namun laku bak kacang goreng. Ada sebagian kalangan yang mengemukakan
bahwa barang-barang tersebut tidak memenuhi standar tapi dilempar ke
Indonesia sebagai produk murah sehingga Indonesia bagaikan tong sampah.
Tidak seperti negara lain yang cenderung acuh dengan “black campaign”
produk Indonesia dinegerinya, Indonesia sangat ramah dengan produk impor.
Badan Karantina Kementrian Pertanian baru-baru tadi sigap mengumumkan
bahwa 3 sampel jenis jeruk China yang diisukan mengandung residu kimia tidak
terbukti (DetikFinance, 27/5/2011).
Mengutip Ketua Komite Pedagang Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Heris, Produk impor China yang mengisi
pasar di Tanah Abang sudah banyak, 40% tekstil itu impor, sprei 80% impor,
baju koko 30%, 75% baju anak-anak. Parahnya lagi bahan baku sekarang sulit
(hanrganya ada yang naik hampir 100%)," (DetikFinance, 20/4/2011).
Gurihnya pasar Indonesia nampak jadi rebutan dunia. Meskipun impor
produk dari China masih yang terbesar, namun impor produk Jepang mengalami
percepatan lebih tinggi. Menurut Prasetyantoko dari LPPM, Perkembangan
impor Indonesia dari Jepang antara 2009 dan 2010 berkembang 72,37% dengan
perubahan nilai dari US$ 9,8 miliar menjadi US$ 16,9 miliar. Sedangkan pada
periode yang sama impor dari China hanya berkembang 45,93% dari US$ 13,5
miliar menjadi US$ 19,7 miliar. (DetikFinance, 26/4/2011)
Akibat keterlambatan proses birokrasi maka penetapan Bea Masuk
Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard bagi industri yang terpukul atas
membanjirnya produk impor tidak efektif lagi. Sebagai contoh, berdasarkan data
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan,
kasus penetapan BMTP Kawat Bindrat dan Kain Tenun dari kapas sudah
dilaporkan hasil inisiasinya oleh kementerian perdagangan ke kementerian
keuangan tanggal 20 Desember 2010. Namun baru ditetapkan oleh kementerian
keuangan pada tanggal 23 Maret 2011, artinya ada jeda 3 bulan lebih.
Sebagai contoh yang lebih ekstrim, untuk produk Ceramic Tableware
dengan nomor HS 6911.00.00.00 dan 6912.00.00.00, proses inisiasinya sudah
dilakukan sejak 19 OKTOBER 2004 namun baru ditetapkan 4 JANUARI 2006
dan 4 JANUARI 2009. Akibatnya 67% pangsa pasarnya telah dikuasai oleh
produk dari China. Selain itu, karena sebab yang sama, China telah menguasai
pangsa pasar Produk Paku dengan nomor HS 7317.00.10.00 sebesar 95%,
Produk Kawat Bindrat HS 7217.10.10.00 dikuasainya 90%, Kawat Seng HS
7217.20.10.00 dikuasai 90,51%, Produk Tali Kawat Baja HS 7312.10.10.00,
dikuasai 91,96%, Produk Tali Kawat Baja HS 7312.10.90.00 dikuasai 51,26%,
dan Produk Kain Tenunan dari Kapas dengan nomor HS 5208.11.00.00,
5208.12.00.00, 5208.13.00.00, 5208.19.00.00, 5208.23.00.00, 5208.29.00.00,
5209.29.00.00, 5210.11.00.00, 5211.12.00.00 dan 5212.11.00.00, dikuasai
China sebesar 40,28% (DetikFinance, 15/4/2011).
Disektor komoditas pertanian, akibat serbuan buah China, Indonesia
mencatatkan defisit perdagangan dengan China untuk buah-buahan sekitar US$
600 juta sepanjang 2010. (DetikFinance, 18/4/2011). Disisi lain, buah lokal
6
menghadapi kendala dihulu seperti masalah mobiitas, penyimpanan, dan fiskal
yang menyangkut harga.
Hal yang cukup ironis juga adalah kenyataan TNI yang selama ini tidak
optimal belanja Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang berpotensi menyebabkan BUMN strategis hidup
segan mati tak mau. Sementara, produk BUMN seperti Krakatau Steel, PT PAL
dan PTDI cukup sering dipesan oleh luar negeri. Ini menunjukkan kualitas
produk BUMN kita sebenarnya cukup baik dan bisa bersaing di pasar
international. Meski demikian, selama ini TNI lebih senang mendatangkan
barang impor untuk Alutsista.
Potensi Pembinaan Cinta Produk dalam Negeri
Tantangan agar mampu mengelola pintu komitmen pemakaian produk
dalam negeri saat ini menjadi lebih berat terutama dengan banjirnya produk
China yang harganya murah. Akan lebih parah lagi jika taraf hidup riil bangsa
Indonesia masih rendah dan tidak berhasil ditingkatkan segera. Mereka akan
menyerahkan sikapnya pada pertimbangan realistik untuk memilih barang murah
sesuai kemampuannya. Meskipun demikian, banyak kenyataan yang dahsyat
dari kondisi ekonomi yang potensial bagi suksesnya gerakan memakai produk
dalam negeri
Ditinjau dari ukuran ekonomi (size of economy)nya, penduduk Indonesia
berjumlah lebih dari 240 juta jiwa, atau merupakan negara dengan penduduk
terbanyak keempat didunia. Ini merupakan ladang pemasaran produk yang
besar bagi siapapun yang bisa memanfaatkannya. Terlebih lagi, Produk
Domestik Bruto Riil (PPP) Indonesia pada 2010 adalah sebesar kurang lebih US
$ 1,03 T, merupakan peringkat ke 15 terbesar didunia (IMF, 2011).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata masih ditunjang oleh besarnya
tingkat konsumsi. Meskipun ada plus-minus nya, namun keadaan seperti inilah
yang menyelamatkan Indonesia dari krisis keuangan global dunia 2008 lalu.
Sebesar 57,3% PDBnya dibentuk dari nilai konsumsi rumah tangga domestik.
Struktur PDRB Indonesia terlihat pada tabel di bawah ini., dimana proporsi
konsumsi rumah tangga menjadi bagian terbesar meski kecendrungannya
semakin turun dari 2006 hingga Semester 1 2010.
7
Hal terakhir yang melatari digalakkannya pemakaian produk dalam negeri
adalah bahwa beberapa produk bermerk kelas dunia yang dipercaya sebagai
produk luar ternyata berasal dari produksi lokal. Produk-produk tersebut dipesan
oleh pabrikan luar negeri untuk kemudian dipasarkan ke penjuru dunia
menggunakan merek mereka. Ini kembali menunjukkan bahwa untuk beberapa
jenis tertentu produksi Indonesia tidak kalah mutunya dengan produk impoor.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang alasan substansial maupun fakta empiris
yang ada maka komitmen bangsa Indonesia untuk selalu mengutamakan
pemakaian produk dalam negeri merupakan keharusan. Hal ini menjadi faktor
pendukung bagi tercapainya produktivitas yang tinggi melalui terjaminnya
pangsa pasar produk/komoditas lokal. Komitmen ini tidak akan terbangunn
hanya lewat edukasi dan propaganda semata. Langkah komprehensif mulai dari
hulu hingga ke hilir dibutuhkan karena ia tidak berdiri sendiri Bukan hanya
konsumen yang patut diberdayakan tetapi juga produsen dan pedagang melalui
fasilitasi yang tepat dari pemerintah dan berbagai pihak terkait.
8
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, 2011. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia Realisasi Tw. I2011, Jakarta
www.bps.go.id
www.imf.org
www.detik.com (DetikFinance, 15/4/2011)
www.detik.com (DetikFinance, 18/4/2011)
www.detik.com (DetikFinance, 20/4/2011)
www.detik.com (DetikFinance, 26/4/2011)
www.detik.com (DetikFinance, 27/5/2011)
.
Ctt:
Kebijakan impor
Outsourcing
Tuduhan dumping, subsidi, safeguard
“Kisruh” tentang keputusan mengenai Peraturan Menteri Keuangan,
Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No. 87/PMK.011/2011 tanggal 6 Juni 2011
Tentang Pengenaan Bea Masuk tindakan pengamanan terhadap Impor produk Benang
kapas selain benang jahit (Cotton Yarn Other Than Sewing Thread), sebagai hasil usulan
dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia ke WTO setelah diadakan penelitian.
Dinilai oleh banyak kalangan pelaku bisnis adalah “SANGAT KELIRU”, karena
dampaknya sangat besar bagi Perusahaan Industri Tekstil yang menggantungkan bahan
bakunya dari benang kapas. Kita harus mengakui bahwa jika dibandingkan dengan
negara China memang produk benang kapas ini jika kita lihat baik dalam masalah harga
dan kualitas produk benang kapas produk dari China sangatlah jauh sekali dengan produk
9
yang dihasilkan oleh produk lokal, maka konsequensinya otomatis – dengan sendirinya
volume impor meningkat.
Atas kekeliruan ini janganlah Pemerintah dengan serta merta mengeluarkan peraturan
yang membebankan
kesalahan ini kepada Pabrik2 tekstil lokal. Seharusnya intropeksilah kedalam bagaimana
caranya mengembangkan dan meningkatkan mutu suatu produk dalam negeri agar
mempunyai daya saing dengan Negara lain. Apalagi dalam penerapkan Peraturan ini
dilaksanakan secara tiba2 dan mendadak yang diberlakukan mulai sejak tanggal 6 Juni
2011 tanpa adanya SOSIALISASI, PERTIMBANGAN, dan PERSETUJUAN dari semua
pihak terlebih dahulu. Jadi janganlah hanya melibatkan pihak Asosiasi saja dalam
memutuskan suatu peraturan karena saya yakin bahwa tidak semua pabrik2 tekstil di
Indonesia menjadi anggota Assosiasi Tekstil Indonesia.
Jika berlarut2 dibiarkan masalah ini sampai dengan ketentuannya selama 3 (tiga) tahun
maka lihat saja jangankan sampai 3 (tiga) tahun beberapa bulan kemudianpun pabrik
lokal maupun asing baik yang berstatus PMA, PMDN, maupun yang Non PMA dan
PMDN akan banyak yang bangkrut sehingga terjadi PHK besar-besaran yang
menimbulkan bertambah banyaknya pengangguran dan kemiskinan.
Ini jelas pasti akan terjadi migrasi besar2an perusahaan PMA ke Negara lain, sehingga
dengan sendirinya akan berdampak kepada perekonomian secara Nasional yaitu dengan
merosotnya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Bagaimana Prospek Ekonomi
Makro Indonesia Tahun 2011 ? …
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6,0% pada tahun ini dan di
perkirakan akan menurun
dengan tajam…
Dengan biaya tambahan tarif bea masuk sebesar Rp.40.687/Kg ini jelas merupakan suatu
kebijakan “POLITIK DUMPING” dan sudah barang tentu dampaknya dirasakan sangat
berat bagi Perusahaan yang sudah membuat proyeksi/kontrak kerjasama pembelian untuk
mengimpor barang tersebut dari Negara China (suplayer) untuk tahun anggaran 2011 dan
seterusnya. Beban biaya pengeluaran akan membengkak menjadi hampir 100%.
Sebagai ilustrasi Pabrik A mengimpor benang kapas dengan volume 1,2 ton dengan harga
pada Invoicenya sebesar USD9,814.99 atau (dengan rate USD1=Rp.8.549) setara dengan
Rp. 83.908.349,- Bea Masuk dinyatakan bebas dengan C/O (Certificate of origin) From E
pembebasan ini diberikan sebagai fasilitas dari Preferensi tarif importasi Asean-China
(AFCTA).
Apabila tanpa ada C/O maka tarif bea masuknya yang dikenakan sebagai dasar
pengenaaan Bea Masuk digolongkan kedalam tarif umum (MFN) sebesar 5% dari harga
(Rp.4.195.000).
Namun dengan adanya Peraturan ini maka bea masuknya menjadi :
10
1) Penambahan bea masuk = Rp. 48.824.400
2) Tarif Bea Masuk 5% = Rp. 4.195.400
3) Total Bea Masuk = Rp. 53.019.800
4) PPN 10% = Rp. 8.810.000
5) PPh Psl 22 Impor = Rp. 2.202.000
6) Biaya yang harus dibyr = Rp. 64.031.800
7) Harga Barang = Rp. 83.908.000
Nilai Pajak Impor sebesar 77% dari harga pembeliannya.
Oleh karenanya kami berharap agar kepada pihak Metro TV dan TV One agar masalah
ini dapat dijadikan suatu
“WACANA” penting, bahan diskusi secara marathon dan terarah dengan melibatkan
banyak pihak terkait secara berkesinambungan sehingga Peraturan ini dapat Dicabut
kembali karena ini demi menyelamatkan “HAJAT HIDUP” orang banyak, yaitu para
kuli, tenaga kerja dan buruh karyawan pabrik tekstil yang ada di Negara ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan semoga dapat dipertimbangkan atas perhatiannya
saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Arief
11
Download