BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman objek, tujuan serta keinginannya. Beck (dalam Keliat, 1992) lebih menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, fiskal, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Secara umum disepakati bahwa konsep diri belum ada saat lahir. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Perkembangan konsep diri terpacu cepat dengan perkembangan indentitas dengan memanggil nama, anak mengerti dirinya istimewa, unik dan mandiri.Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dengan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan inidvidu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana inidividu mengertikan pandangan orang lain tentang dirinya. Konsep diri merupakan salah satu istilah yang paling banyak ditemukan dan dibahas dalam psikolog remaja. Konsep diri adalah bagaian inti dari kepribadian, olehnya aspek ini sangat perlu mendapat perhatian dalam pembentukan dan pengembangannya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian siswanya. Banyak para ahli yang mengartikan konsep diri dengan penekannya masingmasing. Menurut Brooks (dalam irawan, 2004), konsep diri adalah pandagan dan perasaan seseorang tentang dirinya senidri. Persepsi tentang diri ini biasa bersifat psikologis, sosial dan fisik. (Those physical, social and psycological of our self that we have derived from experince and our interacition with others). Menurut Stuart dan Sunden (dalam Keliat, 1992), konsep diri adalah ide, pikiran kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Termasuk persepsi inividu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginan. Beck, et all (Keliat, 1992) lebih menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh: fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan penagalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Chaplin (1981) konsep diri atau dikenal dengan istilah self-conceptmerupakan evaluas individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penafsiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Menurut Keliat (1992), konsep diri terdiri dari lima komponen, yaitu: a. Gambaran Diri (Body Image) Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya sadar dan tidak sadar (Stuart dan Sundeen, dalam keliat 1992). Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Sejak lahir individu mengeksplorasi bagi tubuhnya, menerima reaksi dari tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain. Kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dengan lingkungan. Pada usia remaja, fokus individu terhadap fisik lebih menonjol dari periode kehidupan yang lain. Bentuk tubuh, tinggi, berat badan dan tanda-tanda pertumbuhan sekunder. Perkembangan mama, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan bulu, semua akan menjadi bagian dari gambaran tubuh. Disaat seorang lahir sampai mati, maka selama 24 jam sehari, individu hidup dengan tubuhnya. Sehingga setiap perubahan tubuh akan mempengaruhi kehidupan individu. Gambaran diri berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandag diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistik terhadap diri, menerima dan menyukai bagain tubuh akan memberi rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Individu yang stabil, realisasi dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperhatikan kemampuan mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses di dalam kehidupan. Persepsi dan pengalaman individu dapat merubah gambaran diri secara dinamis. b. Ideal Diri Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaima ia harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi (Stuart dan Sundeen, dalam Keliat 1992). Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkannya atau sejumlah asipiras, cita-cita, nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga, budaya). Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruahi orang yang penting pada dirinya yang memberikan tuntutan atau harapan. Pada usia remaja, ideal diri akan dibentuk malalui proses identifikas pada orang tua, guru dan teman. Ada bebrapa faktor yang mempengaruhi ideal diri: a. Kecendrungan individu menetapkan ideal diri pada batas kemampuan b. Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri, kemampuan standar ini dibandingkan dengan standar kelompok teman c. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil; kebutuhan yang realistis; keinginan untuk menghidari kegagalan; perasaan cemas dan rendah diri. Semua faktor di atas mempengaruhi individu dalam menetapkan ideal diri. Individu yang mampu berfungsi akan mendemostarsikan kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri, sehingga ia akan tampak menyerupai apa yang ia inginkan. Ideal diri hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi tapi masi lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai. c Harga Diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart dan Sundeen, dalam Keliat 1992). Frekunsi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung memiliki harga diri yang rendah. Harga diri diperolah dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utamanya adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Manusia cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengakui kemampuan orang lain namun jarang mengekspresikannya. Harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari orang lain. Sesorang individu aka merasa bermakna atau berhasil jika diterima dan diakui orang lain; merasa mampu menghadapi kehidupan, merasa dapat mengontrol dirinya. Harga diri yang rendah, berhubungan dengan interpersonal yang buruk. d. Peran Peran adalah pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan diri seseorang berdasarkan posisinya di masayarakat (Beck, et all, dalam Keliat 1992). Setiap orang disibukkan oleh bebrapa peran yang berhubungan posisi tiap waktu, sepanjang daun kehidupan. Misalnya, sebagai anak, istri, ibu, mahsiswa, perawat dan teman. Posis dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. e. Identitas Diri Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa diri semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yag utuh (Stuart dan Sundeen dalam Keliat 1992). Seorang yang mempunayi identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan yang lain, unik dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Seorang yang mendiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak bersama dengan perkembangan konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin. Identitas jenis kelamin berkembang sejak bayi secara bertahap. Dimulai dengan konsep diri laki-laki dan wanita yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing jenis. Misalnya anak wanita pasif dan menerima sehingga berkembanglah asuhan yang tidak asertif. Brooks (dalam Anastasya, 2004), mendefinisikan konsep diri sebagai segala persepsi tentang diri sendiri, secara fisik, sosial dan psikologis yang diperolah berdasarkan pengalaman dan interakasi dengan orang lain. Menurut Calhoun (dalam Anastasya, 2004), konsep diri adalah pandangan diri sendiri, pengharapan dan penilaian diri. Menurut Burus (dalam Anastasya, 2004), konsep diri adalah kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan, mencakup pendapatnya tentang diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain dan pendapat tentang hal-hal yang dicapai. Dari berbagai pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah suatu cara pandang menyeluruh yang dimiliki seseorang mengenai dirinya yang meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan dan penilain diri, yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Konsep diri seseorang dapat bergerak di dalam kesatuan dari positif ke negatif (Burns, dalam Yanti, 2008). Hal ini berkaitan langsung dengan respon sosial individu terutama orang-orang penting terdekatny, terhadap diri individu. Respon ini adalah persepsi orang tua atau orang-orang penting terdekatnya, terhadap diri seseorang. Jika seorang anak memperoleh perlakuan yang positif, maka akan mengembangkan konsep diri yang positif pula. Individu juga tidak akan ragu untuk dapat membuka diri dan menerima masukan dari luar, sehingga konsep dirinya menjadi lebih dekat pada kenyataan. Suatu konsep diri yang positif sama dengan penghargaan diri dan penerimaan diri yang positif. Coopersmith (dalam Yanti, 2008) mengemukakan karakteristik remaja dengan konsep diri positif, yaitu bebas mengemukakan pendapat, cenderung memiliki motivasi tinggi untuk mencapai persepsi, mampu mengaktualisasilan potensinya dan mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Pendapat tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Brooks dan Emmert dikutip oleh Rahmat (dalam Yanti, 2008) yang menyatakan bahwa individu yang memeiliki konsep diripositif ditandai dengan lima hal, yaitu: a. Yakin akan kemapuannya mengatasi masalah b. Merasa setara dengan orang lain c. Menerima pujian tanpa rasa malu d. Menyadari bahwa sertiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat e. Mampu memperbaiki diri dengan mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenagi dan berusaha merubahnya. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan menyukai dirinya sendiri dan cukap mampu menghadapi dunia. Ia mampu mencapai prestasi yang tinggi dan menjalani kehidupan secara efektif, baik untuk keberadaan dirinya maupun orang-orang lain di sekiranya. Sedangkan untuk konsep diri yang negatif, Coopresmith dikutip oleh Partosuwiso (dalam Yanti, 2008) mengemukakan beberapa kareakteristik, yaitu mempunyai perasaan tidak aman, kurang menerima dirinya sendiri dan biasanya memiliki harga diri yang rendah. Fitts (dalam Yanti, 2008), menyebutkan ciri-ciri individu yang mempunyai konsep diri rendah adalah tidak menyukai dan menghormati diri sendiri, memiliki gambaran yang tdiak pasti terhadap dirinya, sulit mendefinisikan diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh bujukan dari luar, tidak memiliki pertahanan psikologis yang dapat membantu menjaga tingkat harga dirinya, mempunyai banyak persepsi yang saling berkonflik, merasa aneh dan saling terhadap diri sendiri sehingga sulit bergaul, mengalami kecemasan yang tinggi, serta sering mengalami pengalaman negatif dan tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman tesebut. Konsep diri akan turut ke negatf apabila seseorang tidak dapat melaksankan perkembangan dengan baik. Hal yang diungkapkan Keliat (1992) bahwa gangguan konsep diri dapat dibagi sebagai berikut: 1. Perlakuan berhubungan harga diri rendah Harga diri yang rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya diseratai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat 1992) mengemukakan sembilan cara individu mengekspresikan secara lansung konsep diri rendah: a) Mengejek dan mengeritik diri sendiri’ Individu yang mempunyai pandangan yang negatif tentang dirinya. Individu tersebut serta mengatakan dirinya “bodoh”, “tidak tau apa-apa” b) Merendahkan atau mengurangi martabat Menghindari, mengabaikan atau menolak kemampuan yang dimiliki c) Rasa bersalah dan khawatir Individu menghukum diri sendiri. Ini dapat di tampilkan berupa fobia, obsesi. Individu tersebut menolak dirinya sendiri d) Manifestasi fisik Termasuk tekanan darah tinggi, penyakit psikosomatis dan penyelahgunaan zat e) Menunda keputusan Sangat ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Rasa aman terancam f) Gangguan berhubungan Individu menjadi kejam, merendahkan diri atau mengeksploitasi orang lain. Perlaku lain adalah menarik diri atau isolas yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga. g) Menarik diri dari realitas Bila kecemasan yang disebabkan oleh penolakan diri sendiri mancapai tingkat berat atau panik, mungkin seseorang akan menagalami gangguan asosiasi, halusinasi, curiga, cemburu atau paranoid h) Merusak diri Harga diri yang rendah dapat mendorong individu mengakhiri kehidupanya i) Merusak atau melukai orang lain Kebencian dan penolakan pada diri sendiri dapat dikisar pada lingkungan dengan melukai orang lain. 2. Perliaku yang berhubungan dengan identitas kabur, terjadi karena kegagalan mengintegrasikanberbagai identifikasi pada masa kanak-kanak secara selaras dan harmonis. Perilaku yang berhubungan dengan identitas kabur adalah hubungan interpersonal yang kacau atau masalah hubungan intim. Individu mengalami kesukaran tampil sesuai dengan jenis kelaminnya. 3. Perlaku berhubungan dengan depersonalisasi Jika individu mengalami tingkat panik dari kecemasan maka respon maladaptif terhadap masalah identitas akan bertambah yang mengakibatkan individu menarik diri dari realitas. Depresonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis di mana individu tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya Stuart dan Sundeen, (dalam Keliat, 1992). Ini merupakan perasaan asing akan diri sendiri. Individu sukar membedakan dirinya dengan orang lain. Konsep diri didefinisikan oleh Calhoun dan Acocell (dalam Sari 2004), sebagai pandangan diri anda tentang anda sendiri, dimana potret diri mental ini memiliki tiga dimensi, yang meliputi: a. Pengetahuan Merupakan dimensi dalam konsep diri mengenai apa yang kita ketahui tentag diri sendiri, yang meliputi: 1. Pengetahuan kita tentang tempat kita dalam kelompok berdasarkan azas dasar yang melekat pada diri sendiri, yang berupa usia, jenis kelamin, suku bangsa dan pekerjaan. 2. Pengetahuan kita tentang kategori kualitas diri kita, apabila dibandingkan dengan orang lain di sekitar kita, yang berupa kita sebgai orang yang spontan atau hatihati, orang yang tenang atau bertemperemen tinggi, orang yang tergantung atau mandiri, orang yang baik hati atau egois. b. Harapan Merupakan dimensi dalam konsep diri mengenai sejumlah pengharapan kita sebagai diri sendiri di masa mendatang, di mana harapan tersebut dapat terus berkemabang dan menajdi kekuatan serta pemadu bagi kegiatan kita dalam perjalanan hidup c. Penilaian Merupakan penilaian terhadapa diri sendiri, yang meliputi evaluasi tentang apakah kita bertentanga dengan pengharapan kita bagi diri sendiri dan evaluasi kita tentang apakah kita bertentangan dengan standar kita bagi diri sendiri. Selanjutnya hasil evaluasi akan mencerminkan rasa harga diri tinggi berarti hidup sesuai dengan standar dan harapanharapan untuk diri sendiri, menyukai sikap dirinya, menyukai yang dikerjakan, serta menyukai tentang akan ke mana dirinya. Berdasarkan beberapa rumusan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah evaluasi mengenai diri sendiri secara fisik, sosial dan psikologis yang diperolah berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain oleh individu yang bersangkutan. 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Menurut Yacinta F. Rini (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah sebagai berikut: a. Pola Asuh Orang Tua Pola asuh orang tua turut menjadi faktor signifikan dalam mempangaruhi konsep diri, terbentuk. Sikap positif dari orang tua yang akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua seprti mengatakan bodoh, tidak mendukungnya, akan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihani, untuk disayangi dan diharagi; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya, sehingga orang tua tidak menyayangi anaknya. b. Kegagalan Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berahkir dengan kesimpulan bahwa semua penyebab terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna. c. Depresi Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya jika ia, tidak diundang ke sebuah pesta, maka ia akan berpikir bahwa dirinya “miskin”, sehingga ia tidak diundang dalam pesta tersebut. Orang yang depresi sulit utnuk melihat apakah dirinya mampu bertahan menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung. d. Kritik mental Ada kalanya mengeritik diri sendiri dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan brperilaku agar keberadaan kita ditemani oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik 2.1.3 Asepk-aspek Dalam Konsep Diri Menurut Calhoun (dalam Anastasya, 2004), konsep diri meliputi pengetahuan tentang diri dalam penilaian tentang diri. Konsep diri dapat bergerak dari positif ke negatif yang dimaksud adalah inividu dikatakan memiliki konsep diri positif bila ia mampu menerima dirinya, memahami dan menrima bermacam-macam fakta tenatang dirinya, tetapi bukan berarti tidak pernah merasa kecewa dengan dirinya. Terdapat dua tipe dalam konsep diri negtif, yaitu yang pertama pengatahuan tentang diri sendiri sangat sedikit, tidak tahu apa yang menjadi kelemahan ataupun kelebihannya sementara tipe kedua, individu tidak dapat menerima informasi yang baru tentang dirinya dianggap sebagai ancaman dan penyebab kecemasan pada dirinya. Menurut Nashori (dalam Anastasya, 2004) konsep diri memiliki aspek-aspek sebagai berikut: a. Konsep diri fisik Konsep diri fisik adalah suatu pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian seseorang terhadap pribadinya sendiri. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri positif bila memandang dirinya sebagai orang bahagia, optimis, mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai kemampuan, sebaliknya konsep diri negatif bila memandang dirinya sebagai orang yang tidak bahagia, psimis, tidak mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai macam kekurangan. b. Konsep diri sosial Konsep diri sosial adalah suatu pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian seseorang terhadap kecenderungan sosial yang ada pada dirinya, konsep diri sosial berkaitan dengan kemampuan dengan dunia di luarnya, perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri sosial positif bila memandang dirinya sebagai orang yang berminta terhadap orang lain, memahami orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain, memperhatikan kepentingan orang lain, aktif dalam kegiatan sosial. Sebaliknya digolongkan memiliki konsep diri sosial yang negatif bila ia memandang dirinya sebagai orang yang acuh tak acuh terhadap orang lain, tidak peduli terhadap orang lain, tidak peduli dengan perasaan orang lain. c. Konsep diri pribadi Konsep diri pribadi adalah suatu pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian seseorang peribadinya sendiri. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri positif bila memandang dirinya sebagai orang yang bahagia, optimis, mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai kemampuan, sebaliknay konsep diri negatif bila memandang dirinya sebagai orang yang tidak bahagia, pesimis, tidak mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai macam kekurangan. d. Konsep diri moral etik Konsep diri moral etik adalah suatu pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian seseorang terhadap moralitas diri sendiri. Konsep diri moral etik berakaitan dengan nilai dan perinsip yang memberi arah dalam kehidupan seseorang. Bila seseorang memandang dirinya sebagai orang yang teguh nilai-nilai moral etik digolongkan memiliki konsep diri moral etik positif. Sebaliknya digolongkan konsep diri moral etik negatif bila memandang dirnya sebagai orang yang menyimpnag dari standar nilai moral yang harus diikuti. e. Konsep diri keluarga Konsep diri keluarga adalah suatu pandangan, pikiran, perasan dan penilaian seseorang terhadap keluraganya sendiri. Hal ini berkaitan dengan keberadaan diri seseorang remaja dalam keluarga. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri keluarga yang positif bila memandang diri mencintai dan dicinatai keluarga, bahagia bersama keuarga, banyak mendapat bantuan dan dukungan keluarga. Sebaliknya digolongkan memiliki konsep diri negatif bila memandang diri sebagai orang yang tdiak dicintai keluarga, banyak terlibat perselisihan dan pertengkaran dengan keluarga. f. Konsep diri akademik Konsep diri akademik adalah suatu pandang, pikiran, perasaan dan penilaian seseorang terhadap kemampuan akademisnya. Seseorang digolongkan memilliki konsep diri keluarga positif bila memandang dirinya sebagai orang yang berprsestasi akademik. Sebaliknya digolongkan konsep diri akademik negatif bila memadang dirinya tidak memiliki prestasi akademik yang cukup, kemampuan akademik dipandang sebelah mata oleh kawan-kawanya, merasa bukan orang yang tekun belajar. 2.1.4 Kondisi-kondisi yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja (Hurlock 1990) a. Usia Kematangan Remaja yang matang lebih awal, yang diperlukan orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenagkan, sehingga dapat menyesuaikan diri denga baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlukan seperti anak-anak merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik. Sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. b. Penampilan diri Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan yang menyenangkan sosial. tentang ciri kepribadian dan menumbuh c. Kepatutan seks Kepatuan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membuat remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatuan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat untuk pada perilakunya d. Nama dan julukan Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama juluknya yang bernada cemoohan. e. Hubungan keluarga Seorang remaja mempunayi hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifiaksi diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembagkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya. f. Teman-teman sebaya Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep diri teman-teman tentang dirinya dan yang kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembagkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok g. Kreativitas Remaja semasa kanak-kanak didorong agar keratif dalam beramain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembagkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya, remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas. h. Cita-cita Bila remaja mempunyai cita-ciata yang tidak realistik, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia menyalakan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalan. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasaan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik. 2.2 Intensi Kedisiplinan Di Sekolah 2.2.1 Pengertian Intensi Djamaluddin Ancok (1983) mendefinisikan intensi sebagai niat yang ada pada individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Pada dasarnya intensi berkaitan dengan pengetahuan seseorang terhadap suatu hal serta dengan perilaku sendiri sebagai perwujud nyata dari intensinya. Intensi perilaku merupakan bentuk khusus dari kenyataan yang berkecenderungan untuk berperilaku besar. Intensi merupakan perpaduan antara sikap sehingga dapat dikatakan bahwa komponen ini hubungan erat dengan komponen efektif dari sikap (Fishein dan Ajzen, 1975 dalam Lanny Setiyawati, 2000). Ditambahkan bahwa intensi merupakan fungsi 2 faktor yaitu sikap terhadap perilaku normal subjektif mengenai perilaku. Allport (dalam Hurlock, 1988) menambahkan bahwa intensi merupakan predisposisi untuk merespon suatu objek yang sifatnya spesifik. Khususnya intensi ini ditandai dengan 4 elemen yaitu behavior, target objek, situasi dan waktu. Keempat elemen inilah yang membedakan pengertian intensi dengan sikap karena pada sikap yang diukur adalah sesuatu yang umum. Pomazal dan Jaccard (1970) mendefinisikan intensi sebagai prediktor yang terbaik untuk melihat perilaku yang sebenarnya. Istilah intensi biasanya digunakan dalam arti yag meliputi harapan-harapan, keinginan-keinginan, ambisi-ambisi, cita-cita dan rencana seseorang (Sujanto, 1986). Sears (1991) mendefinisikan intensi sebagai komponen sikap maksudnya mempunyai pengertian yang mengarah pada kesiapan individu untuk bereaksi atau kecenderungan individu untuk bertindak terhadap objek. Sedangkan J.P.Chaplin (1995) mendefinisikan intensi sebagai kekuatan yang mendukung suatu pendapat atau suatu sikap. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang intensi maka dapat dikatakan intensi adalah suatu keyakinan individu untuk berperilaku lebih besar atau niat yang ada pada individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu yang berupa harapan-harapan, keinginan-keinginan, ambisi-ambisi, cita-cita dan rencana sesorang yang diwujudkan dalam kesiapan individu untuk mendukung suatu pendapat atau suatu sikap. 2.2.3 Pembentukan Intensi Menurut Fishbein (dalam Rendra, 2003) mengatakan bahwa intensi dalam pembentukan dipengaruh oleh 2 faktor utama yaitu yang pertama faktor personal atau attitudianal. Komponen personal menunjuk pada sikap sesuatu terhadap suatu perilaku, dimana komponen ini berorientasi pada diri orang itu sendiri dan berkembang atas dasar keyakinan dan pertimbangan terhadap apa yang diyakini itu. Kemudian faktor yang kedua adalah factor normative, komponen sosial ini merupakan gabungan dengan motivasi seseorang untuk mematuhi harapan sosialnya. Fishbein (dalam Ajzen, 1997) theory of reasoned action juga menyatakan bahwa intensi merupakan fungsi dari 2 determinan dasar yaitu sikap individu terhadap perilaku dan persepsi individu yang bersngkutan yang disebut dengan norma subjektif. Penjelasan lebih lanjut Fishbein dan Ajzen (1975) memberikan uraian bahwa sikap terhadap perilaku terdiri dari keyakianan dan evaluasi individu akibat dari suatu perilaku. Sedangkan norma subjektif mengandung pengertian bagaimana keyakinan individu akan norma dari orangorang di sekitarnya dan motivasi individu untuk melakukan norma tersebut. 2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi intensi Kedisiplinan Menurut Ajzen, (1975) theory of reasoned action ada 2 faktor yang mempengaruhi intensi yaitu sikap terhadap perilaku dan norma subyektif. Sikap terhadap perilaku adalah suatau bentuk evaluasi positif atau negatif dari seseorang individu karena telah melakukan atau tertarik pada suatu perilaku tertentu. Sedangkan norma subjektif adalah persepsi individu akan tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu di bawah suatu pertimbangan tertentu. Sikap Terhadap Perilaku Intensi Perilaku Norma Subyektif Gambar 1: Theory of Reasoned Action (Ajzen, 1975) Sedangkan menurut Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1988). Intensi dipengaruh oleh 3 faktor yag saling berhubungan yaitu sikap terhadap perilaku, norma subyektif dan kontrol perilaku yang dirasa. Theory of Planned Behavior merupakan pengembangan diri Tehory of Reasoned Action hanya saja dalam thory of planned behavior terdapat kontrol perilaku yang menunjukkan sebagai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan suatu perilaku, dan hal ini dianggap sebagai suatu cerminan pengalaman yang telah lalu sebagai antiasipasi kesulitan dan rintangan. Sikap Terhadap Perilaku Norma Subyektif Kontrol Petilaku Yang Dirasa Gambar 2. Theory Of Planned Behavior (Ajzen, 1988) Intensi Perilaku 2.3 Kedisiplinan Sekolah 2.3.1 Pengertian Disiplin Sekolah Istilah dispilin dari bahasa latin “disciplina’’ yang menunjuk kepada kegiatan belajar mengajar. Istilah tersebut sangat dekat dengan istilah dalam bahasa Inggris disciple yang berarti mengikuti orang untuk belajar di bawah pengawasan seorang pemimpin. Dalam istilah bahasa Inggris latin discipline berarti (1) taat, tertib, atau mengendalikan tingkah laku, penguasaan diri, kendali diri; (2) latihan membentuk, melurusakan atau menyempurnakan sesuatu sebagai kemampuan mental atau karakter moral; (3) hukuman yang diberikan untuk melihat atau memperbaiki; (4) kumpulan atau sistem peraturan-peraturan bagi tingkah laku (Mac Millian Dictionary dalam Tu’u, 2004). Dalam Bahasa Indonesia istilah displin terkait dan menyatu dengan istilah tata tertib dan ketertiban. Istilah ketertiban mempunyai arti kepatuha seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didoroang atau disebabkan oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Sebaliknya, istilah dispilin sebagai kepatuhan dan ketaatan yang muncul karena adanya kesadaran dan dorongan dari dalam diri orang itu. Istilah tata tertib berarti perangkat peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi dan teratur. Disiplin sebagai ketaatan terhadap peraturan dan norma kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang berlaku, yang dilaksanakan secara sadar dan ikhlas batin, sehingga timbul rasa malu terkena sansi dan rasa takut terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku tersebut diikuti berdasarkan dan keyakinan bahwa hal itu yang benar, dan kesyafan bahwa hal itu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Oleh sebab itu, disiplin disini berarti hukuman atau sansi yang berbobot mengatur dan mengendalikan perilaku. (GDM dalam Tu’u, 2004) Prijodarminto (dalam Tu’u, 2004) mengatakan, disiplin sebagai kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari perlaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaann, keteraturan atau ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian perilaku dalam kehidupannya. Perilaku itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan pengalaman. Rahman (dalam Tu’u, 2004), mengartikan disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan atau kesadaran yang muncul dari dalam hatinya. Nitsemito (dalam Rawambaku 2006), mengatakan bahwa disiplin adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dan perusahaan baik ynag tertulis maupun tidak. Selanjutnya N. A. Ametembun (dalam Rawambaku 2006), mengatakan disiplin adalah suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan senang hati. Soeharto (dalam Tu’u, 2004) menyebutkan tiga hal yang mengenai disiplin, yakni disiplin sebagai latihan. Disiplin sebagai hukuman, dan disiplin sebagai pendidikan. 1. Disiplin sebagai latihan untuk menuruti kemauan seseorang jika dikatakan “melatih untuk menurut” berarti jika seseorang memberi perintah, orang lain akan menuruti perintah itu. 2. Disiplin sebagai hukuman. Bila seseorang berbuat salah, harus dihukum. Hukuman itu sebagai upaya mengeluarkan yang jelek dari dalam diri orang itu sehingga menjadi baik. 3. Disipilin sebagai alat untuk mendidik. Seorang anak memiliki potensi untuk berkembang melalui interaksi dengan lingkungan untuk mencapai tujuan realisasi dirinya. Dalam interaksi tersebut anak belajar tentang nilai-nilai sesuatu. Proses belajar dengan lingkungan yang didalamnya terdapat nilai-nilai tertentu telah membawa pengaruh dalam perubahan perilakunya. Perilaku ini berubah tertuju pada arah yang sudah ditentukan oleh nilai-nilai yang dipelajari. Jadi, fungsi belajar adalah mempengaruhi dan mengubah perilaku seorang anak. Semua perilaku merupakan hasil sebuah proses belajar. Inilah sebetulnya makan disiplin. Dalam pemahaman ketiga inilah seharusnya disiplin di kembangkan. Berdasarkan rumusan dan pendapat tersebut, Tu’u (2004 ) merumuskan disiplin sebagai berikut: a. Mengikuti dan menaati peraturan, nilai, hukuman yang berlaku. b. Pengikutan dan ketaatan tersebut terutama muncul karena adanya kesadaran diri bahwa hal itu berguna bagi kebaikan dan keberhasilan dirinya. Dapat juga muncul karena rasa takut, tekanan, paksaan dan dorongan dari luar dirinya. c. Sebagai alat pendidikan untuk mempengaruhi, mengubah, membina dan membentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan atau diajaran atau ajarkan. d. Hukuman yang diberikan bagi yang melanggar ketentuan yang berlaku, dalam rangka mendidik, melatih, mengendalikan dan memperbaiki tingkah laku. e. Peraturan-peraturan yang berlaku sebagai pedoman dan ukuran perilaku. Sekolah adalah lembaga pendidikan dan pengajaran secara formal. Berdasarkan pengertian disiplin dan sekolah di atas penulis menyimpulkan bahwa disiplin sekolah adalah kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolahnya. Menurut Wikipedia (Mading SMA Negeri I Pakel 2009) bahwa disiplin sekolah “refres to studens complying with a code of behavior often known as the school rules’’. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar (standards of colthing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sangsi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontrovesi dalam menerapkan metode pendesiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan perilaku fisik (physical maltrestment) dan kesalahan psikologis. 2.3.2 Perlunya Disiplin Sekolah Disiplin diperlukan oleh siapa pun dan di mana pun. Hal itu disebabkan di mana pun seseorang berada, di sana selalu ada peraturan atau tata tertib. Displin sekolah apabila dikembangkan secara baik, konsisten dan konsekuen akan berdampak positif bagi kehidupan dan perilaku siswa. Displin dapat mendorong siswa untuk belajar secara konkret dalam praktik hidup sekolah tentang hal-hal positif: melakukan hal-hal lurus dan belajar, menjauhi hal-hal negatif. Dengan pemberlakuan disiplin, siswa belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baik itu, sehingga muncul keseimbagan diri dalam hubungan dengan orang lain. Jadi, disiplin menurut perilaku seseorang dalam hubungan di tengah-tengah lingkungan dalam hal itu, menurut Brown dan Browen (dalam sudrajad, 2008) mengemukakan pentingnya disiplin dalam proses pendidikan dan pembelajaran untuk mengerjakan hal-hal sebagi berikut: a. Rasa hormat terhadap otoritas /kewenangan; Disiplin akan menyadarkan setiap siswa tentang kedudukannya, baik di kelas maupun di luar kelas, misalnya kedudukannya sebagai siswa yang harus hormat terhadap guru dan kepala sekolah b. Upaya untuk menanamkan kerja sama; disiplin dalam dapat dijadikan sebagai upaya untuk menanamkan kerja sama, baik antara siswa, siswa dengan guru maupun siswa dengan lingkungannya. c. Kebutuhan untuk berorganisasi; disiplin dapat dijadikan sebagai upaya untuk menanamkan dalam diri setiap siswa mengenai kebutuhan berorganisasi d. Rasa hormat terhadap orang lain; dengan ada dan junjung tingginya displin dalam proses belajar mengajar, setiap siswa akan tahu dan memahami tentang hak dan kewajibannya, serta akan menghormati dan menghargai hak dan kewajiban orang lain e. Kebutuhan untuk melakukan hal yang tidak menyenangkan; dalam kehidupan selalui dijumpai hal yang menyeyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Melalui disiplin siswa dipersiapkan untuk mampu menghadapi hal-hal yang kurang atau tidak menyenangkan dalam kehidupan pada umumnya dan dalam proses belajar mengajar pada khususnya f. Memeperkenalkan contoh perilaku tidak disiplin; dengan memberikan contoh perilaku yang tidak disiplin diharapkan siswa dapat menghindari atau dapat membedakan mana perilaku disiplin dan yang tidak disiplin Lingkungan sekolah yang teratur, tertib tenang tersebut memberikan gambaran lingkungan siswa yang giat, gigih, serius penuh perhatian, susngguh-sungguh dan kompetitif dalam kegiatan pembelajaran. lingkungan seperti itu memberi lahirnya siswasiswi yang berperstasi dengan kepribadian lingkungan di sana ada dan terjadinya kompetisi positif diantara siswa. Untuk mencapai dan memiliki ciri-ciri kepribadian unggul tersebut, diperlukan pribadi yang giat, gigih, tekun dan disiplin. Keunggulan tersebut dapat dimiliki apabila dalam diri seseorang terdapat sikap dan perilaku disiplin. Disiplin inilah yang dapat mendorong adanya motivasi, daya saing, kemampuan dan sikap yang melahirkan ketujuh ciri keunggulan tersebut. 2.3.3 Tujuan Disiplin Sekolah Racham (dalam Sudrajad 2008:wordpress. Com) mengemukakan bahwa tujuan displin sekolah adalah: a. Memberikan dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang b. Mendorong siswa melakukan hal yang baik dan benar c. Membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah d. Siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya Hal ini dikemukakan oleh Wikipedia bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamaan dan lingkungan belajar yang nyaman terutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka siswa menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang konduktif untuk mencapai prestasi belajar siswa (sudrajad 2008:wonderpress.com). dari kedua tujuan yang di atas penulis menyimpulkan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah agar siswa dapat berperilaku baik di lingkungan sekolah maupun di rumah. 2.3.4 Fungsi Kedisiplinan Sekolah Disiplin sangat penting dibutuhkan oleh setiap siswa. Disiplin menjadi prasyarat bagi pembentukan sikap, perilaku dan tata kehidupan bedisiplin, yang mengantar seorang siswa sukses dalam belajar dan kelak ketika belajar. Fungsi kedisiplinan menurut Tu’u (2004) adalah: a. Menata kehidupan bersama Manusia dalah makhluk unik memiliki ciri, sifat, kepribadian, latar belakang dan pola pikir yang berbeda-beda. Selain sebagai satu individu, juga sebagai makhluk sosial. Sebagai mahkluk sosial, selalu terkait dan berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan tersebut, diperlukan norma, nilai, peraturan untuk mengatur agar kehidupan dan kegiatannya berjalan dengan lancar. Kepintingan individu satu tidak berbenturan dengan kepentingan individu lain. Disiplian berguna untuk menyadarkan seseorang bahwa dirinya perlu menghargai orang lain dengan cara menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku. Ketaatan dan kepatuhan itu membatasi dirinya merugikan pihak lain, tetapi hubungan dengan sesama menjadi baik dan lancar. Jadi, fungsi disiplian adalah mengatur tata kehidupan manusia, dalam kelompok tertentu atau dalam masyarakat. Dengan itu, hubungan antara individu satu dengan yang lain menjadi baik dan lancar. b. Membangun kepribadian Kepribadian adalah keseluruhan sifat, tingkah laku dan pola hidup seseorang yang tercermin dalam berpenampilan, perkatan dan perbuatan sehari-hari. Sifat, tingkah laku dan pola hidup tersebut sangat unik sehingga membedakan dirinya dengan orang lain. Pertumbuhan kepribadian seseorang biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Disiplin yang diterapkan di masing-masing lingkungan tersebut memberi dampak bagi pertumbuhan kepribadian yang baik. Oleh karena itu, dengan disiplin seseorang akan terbiasa mengikuti , mematuhi aturan yang berlaku dan kebiasaan itu lama kelamaan masuk ke dalam kesadaran dirinya sehingga ahkirnya menjadi milik keperibadiannya. Disiplin menjadi bagian dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi, lingkungan yang berdisiplin baik, sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Apabila seorang siswa yang sedang tumbuh kerpibadiannya tentu lingkungan sekolah yang tertib, teratur, tenang, tentram sangat berperan dalam membangun kperibadian yang baik. c. Melatih kepribadian Sikap perilaku dan pola kehidupan yang baik dan berdisiplin terbentuk melalui latihan. Demikian juga dengan kepribadian yang tertib, teratur dan patuh perlu dibiasakan dan dilatih. Demikian juga dengan kepribadian yang tertib, teratur, taat, patuh, perlu dibiasakan dan dilatih. Pola hidup separti itu mustahil dapat berbentuk begitu saja. Hal ini memerlukan waktu dan proses yang memakan waktu. Perlu adanya latihan, pembiasaan diri, mencoba, berusaha dengan gigih, bahkan dengan gemblengan dan tampaan keras. d. Pemaksaan Disiplin dapat berfungsi sebagai pemaksaan kepada seseorang untuk mengikuti paraturan-peraturan yang berlaku dilingkungan itu. Memang disiplin seperti ini masih dangkal. Akan tetapi, dengan penampilan guru-guru, pemaksaan, pembiasaan dan latihan disipilin seperti itu dapat menyadarkan siswa bahwa disiplin itu penting baginya. Dari mula-mula karena paksaan, kini dilakukan dengan kesadaran diri, menyentuh kalbunya, merasa sebagai kebutuhan dan kebiasaan. Diharapkan juga, disiplin ini meningkat menjadi kebiasaan berpikir baik, positif, bermakna, memandang jauh kedepan. Disiplin bukan hanya soal mengikuti dan menaati aturan, melainkan sudah meningkat menjadi disiplian berpikir yang mengatur dan memperngaruhi seluruh aspek kehidupan. e. Hukuman Tata tertib biasanya berisi hal-hal positif dan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar tata tertib tersebut.Ancaman sangsi/hukuman sangat penting karena dapat memberi dorongan dan kekuatan bagi siswa untuk menaati dan mematuhi. Tanpa ancaman hukuman/sangsi, dorongan ketaatan dan kepatuha dapat diperlemah. f. Menciptakan lingkungan yang kondusif Disiplin sekolah berfungsi mendukung terlaksanya proses dan kegiatan pendidikan agar berjalan lancar. Hal ini dicapai dengan merancang peraturan sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru, bagi para siwa, serta peraturan-peraturan lain yang dianggap perlu. Kemudian di implementasikan secara konsisten dan konsekuen. Dengan demikian, sekolah menjadi lingkungan pendidikan yang aman, tenang, tentram, tertib dan teratur. Lingkungan seprti ini adalah lingkungan yang kondusif bagi pendidikan. 2.3.5 Faktor-faktor Mempengaruhi SikapKurang Disiplin Sikap siswa kurang disiplin di sekolah dipengaruhi dari berbagai faktor. Hal ini karena siswa berasal dari berbagai latar belakang kehidupan sosial, ekonomi maupun derajat pendidikan orang tuanya. Menurut Rachman (dalam Sudrajad 2008: wordpress.com) faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: a. Sekolah kurang menerapkan disiplin. Sekolah yang kurang menerapkan disiplin, maka siswa biasanya kurang bertanggung jawab karena siswa menggangap tidak melaksanakan tugas pun di sekolah tidak dikenakan sangsi, tidak dimarahi guru. b. Teman bergaul Anak yang bergaul dengan anak yang kurang baik perilakunya akan berpengaruh pada anak yang jarang berinteraksi sehari-hari, anak tersebut juga akan berpengaruh tidak baik. Sebaliknya anak bergaul dengan anak yang baik akan cenderung ikut berperilaku baik juga. c. Cara hidup dilingkungan anak tinggal Anak yang tinggal dilingkungan hidupnya kurang baik, maka akan cenderung bersikap dan berperilaku kurang baik pula. d. Sikap orang tua Anak yang dimanjakan oleh orang tuanya akan cenderung kurang bertanggung jawab dan takut menghadapi tatangan dan kesulitan-kesulitan, begitu pula sebaliknya anak yang sikap orang tuanya otoriter, maka anak akan menjadi penakut dan tidak berani mengambil keputusan dalam bertindak. e. Latar belakang kebiasaan dan budaya Budaya dan tingkat pendidikan orang tuanya akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak. Anak yang hidup di keluarga yang baik dan tingkat pendidikan orang tuanya bagus maka akan cenderung berperilaku yang baik pula. 2.3.6 Aspek- aspek Displin Sekolah Proses belajar mengajar secara formal berlangsung di sekolah, di mana dalam proses belajar mengajar tersebut disiplin sekolah sangat diperlukan. Menurtu Arikunto (dalam Sudrajad 2008:wordpress.com) terwujudnya disipiln sekolah ditentukan oleh 3 aspek sebagai berikut: a. Aspek kepatuhan proses belajar mengajar Indikator dari kepatuhan mengikuti proses belajar mengajar adalah memperhatikan, mencatat, dan mengerjakan tugas. Dalam proses belajar mengajar, selain kegiatan belajar mengajar diberi secara tata muka, dan juga diberikan tugas-tugas tertentu dari guru untuk dikerjakan dalam rangka lebih meningkatkan penguasaan bahkan ajar yang diterima. Dengan demikian siswa yang mendapat tugas dari guru, sehubungan dengan pelajar yang diterima, wajib dikerjakan dengan sebaik-baiknya, misalnya mengerjakan pekrejaan rumah, membuat laporan percobaan atau pratikum dan membuat kliping. b. Aspek kepatuhan tata tertib Tata tertib di sekolah merupakan suatu ketentuan atau peraturan yang diperuntukkan bagi siswa, yang bertujuan mendidik para siswa agar dapat belajar dengan tertib sesuai dengan peraturan yang diterapkan di sekolah. Seorang siswa yang telah mematuhi dan melaksanakan tata tertib dengan baik berarti siswa telah sadar akan pentingnya sebuah peraturan sehingga dapat diartikan telah memiliki kedisiplinan. c. Aspek ketaatan pada jam belajar Taat artinya selalu patuh pada peraturan yang berlaku. Indikator dari ketaatan pada jam belajar adalah jadwal belajar, waktu belajar PR. Ketaatan didalam pada jam belajar berarti disiplin belajar diperlukan supaya setiap waktu yang ada dapat digunakan secara seimbang. Ketaatan pada jam belajar bukanlah menggunakan semua waktu yang ada hanya untuk belajar akan tetap diimbagi dengan kegiatan lain. Dalam proses belajar mengajar, selain kegiatan belajar diberikan secara tatap muka, juga diberikan tugas-tugas tertentu dari guru untuk dikerjakan dengan langkah lebih meningkatkan penguasaan bahan ajar yang diterima. Dengan demikian siswa yang mendapat tugas dari guru, sehubungan dengan pelajaran yang diterima, wajib dikerjakan dengan sebaik-baiknya, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah, membuat laporan percobaan atau pratikum dan membuat kliping. 2.3.7 Intensi Kedisipinan Intensi kedisplinan sebagai niat yang ada pada individu untuk melakukan suatu perilaku yang berupa harapan-harapan, keinginan-keinginan, ambisi-ambisi, cita-cita dan rencana seseorang yang diwujudkan untuk mendukung suatu pendapat atau suatu sikap. Menurut Djamaluddin Ancok (1983)intensi sebagai niat yang ada pada individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu (kedisiplinan tata tertib sekolah). Menurut Tu’u, 2004 kedisiplinan berasal dari kata disiplin. Istilah disiplin berasal dari bahasa latin “Disciplina” yang menunjuk pada kegiatan belajar dan mengajar. Sedangkan istilah bahasa inggrisnya yaitu “Discipline” yang berarti: 1) tertib, taat atau mengendalikan tingkah laku, penguasaan diri; 2) latihan membentuk, meluruskan atau menyempurnakan sesuatu, sebagai kemampuan mental atau karakter moral; 3) hukuman yang diberikan untuk melatih atau memperbaiki; 4) kumpulan atau sistem-sistem peraturan-peraturan bagi tingkah laku. Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas maka peneliti menyimpulkan intensi kedisiplinan adalah niat yang ada pada individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu dalam kedisiplinan tata tertib, taat atau mengandalkan tingkah laku, penguasaan diri, latihan membentuk, meluruskan atau menyempurnakan sesuatu, sebagai kemampuan mental atau karakter moral, hukuman yang diberikan untuk melatih atau memperbaiki, kumpulan atau sistem-sistem peraturan-peraturan bagi tingkah laku. 2.2.8Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Intensi Kedisiplinan Siswa Menurut Jascinta F. Rini (2002), seorang individu dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Konsep diri yang positif cenderung membuat siswa menaati tata tertib sekolah karena pada diri masing-masing siswa terbentuk pribadi yang optimis, penuh percaya diri dan cenderung bersikap positif terhadap segala sesuatu termasuk menaati tata tertib sekolah karena tata tertib dibuat untuk menjadikan siswa seorang individu yang bertanggung jawab. Masa remaja adalah masa yang sulit untuk dipahami, sebab jika dilihat secara fisik siswa sudah terlihat dewasa, akan tetapi jika dilihat secara emosional dan segi mental, remaja dapat dikatakan sebagai pribadi yang belum matang pada masa remaja ini terjadi suatu proses perkembangan kepribadian yang sangat penting bagi individu itu sendiri. Mappiare, 1981 (dalam Parwanto, 2003) mengemukakan remaja bergabung bersama teman sebaya menemukan kehangatan dan rasa aman karena menghadapi masalah yang sama, merasakan dengan cara yang sama dan bertingkah laku sama tetapi jusru karena memiliki banyak persamaan inilah remaja seringkali melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki. Remaja yang didominasi oleh teman bermainnya cenderung melakukan berbagai aktifitas kenakalan, seperti suka bertengkar, pemberontak dan halhal yang penting remaja dapat senang dengan apa yang dilakukannya tanpa ada kontrol sama sekali dari orang tua Self conceptyang dimilikinya. Konsep diri yang dimilki remaja akan mempengaruhi perilakunya dalam hubungan sosial dengan individu lain. Konsep diri yang tinggal atau positif akan berpengaruh pada perilaku positif dan sebagainya, konsep diri yang rendah atau negatif akan berpengaruh pada perilaku negatif. Dijelaskan oleh Daradjat (dalam Parwanto, 2003) bahwa perilaku individu yang mempunyai konsep diri rendah cenderung tidak berani, cepat tersinggung dan cepat marah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja yang konsep dirinya rendah akan cenderung untuk menutupi kekurangan yang dimilikinya, mengalami kecemasan dan kegelisahan secara psikis. Kaitanya dengan intensi kedisiplinan bahwa remaja dengan konsep diri negatif akan cenderung memiliki intensi kedisiplinan yang rendah, hal ini dilakukan unutk menutupi kecemasan dan kegelisahan. 2.2.9 Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan intensi kedisiplinan siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Salatiga Semester Gasal Tahun Pelajaran 2012/2013”.