Bab 2 Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1
Kesepian
2.1.1
Definisi Kesepian
Kesepian didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang
dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan
jenis hubungan sosial yang dimiliki (Perlman dan Peplau dalam Taylor, Peplau dan
Sears, 2012). Hampir semua orang pernah mengalami kesepian namun perasaan
tersebut akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Kesepian
merupakan sebuah perasaan terputus atau terpisahkan dari orang lain, dan juga
kekurangan kontak sosial dengan orang lain (Hays dan DiMatteo, 1987)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kesepian terjadi karena adanya perasaan terasing dan keadaan tidak menyenangkan
yang dipersepsikan seseorang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan hubungan
sosial ataupun hubungan interpersonal pada dirinya.
2.1.2
Pendekatan dalam Memahami Kesepian
Menurut Peplau dan Perlman (1982), dalam mempelajari kesepian terdapat
tiga dimensi kesepian yang dikembangkan oleh para ahli, yaitu :
a. Pendekatan Kebutuhan akan Keintiman
Perasaan kesepian muncul ketika tidak terpenuhinya kebutuhan pada diri
seseorang untuk merasakan kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain. Weiss
(dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan
karena sendirian tetapi tidak adanya hubungan yang diperlukan, kesepian selalu
terlihat sebagai tanggapan kepada ketidak hadiran dari beberapa jenis hubungan
tertentu.
b. Pendekatan Proses Kognitif.
Kesepian timbul bila seseorang dalam mempersepsikan dan mengevaluasi
hubungan sosialnya menemukan bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang
5
diinginkan dengan apa yang berhasil ia capai. Sermat (dalam Peplau dan Perlman,
1982) menyatakan bahwa kesepian adalah suatu pertentangan pengalaman antara
jenis hubungan antar pribadi, individu merasa dirinya dimiliki pada suatu ketika,
dan jenis hubungan yang ingin dimilikinya, dalam kaitan dengan pengalaman masa
lalunya atau beberapa status ideal yang tidak pernah dialaminya.
c. Pendekatan Penguatan Sosial.
Pendekatan penguatan sosial lebih menekankan bahwa kesepian disebabkan
oleh kurangnya penguatan (reinforcement) dari lingkungan sosial. Hubungan sosial
adalah suatu reinforcement, bila dalam interaksi sosial hal itu kurang diperoleh,
maka akan mengakibatkan seseorang merasa kesepian. Young (dalam Peplau dan
Perlman, 1982) mengemukakan definisi kesepian sebagai ketiadaan dalam
memuaskan hubungan sosial, yang diikuti oleh gejala psikologikal distress yang
dihubungkan dengan fakta atau perasaan ketiadaan, dalam mengusulkan hubungan
sosial itu dapat diperlakukan sebagai kelas penguatan tertentu, oleh karena itu
kesepian dapat dipandang pada sebagian orang sebagai tanggapan kepada ketiadaan
penguatan sosial.
2.1.3
Faktor-faktor Penyebab Kesepian
Terdapat dua kondisi yang menyebabkan terjadinya kesepian (Peplau dan
Perlman, 1982). Kondisi pertama adalah kejadian yang memicu terbentuknya
perasaan tersebut. Kondisi kedua adalah faktor-faktor yang mendahului dan yang
mempertahankan perasaan kesepian dalam jangka waktu yang cukup lama.
a. Faktor-faktor pemicu
Di bawah ini yang termasuk dalam kejadian pemicu adalah adanya perubahan
dalam hubungan sosial seseorang yang sebenarnya sehingga hubungan sosial
yang dijalankan seseorang itu jauh dari apa yang diharapkannya, yaitu:
1) Berakhirnya suatu hubungan dekat seperti kematian, perceraian, putus cinta,
serta perpisahan secara fisik yang kadang membawa kita ke arah kesepian.
2) Faktor kualitas dari hubungan sosial yang rendah. Perubahan dalam
kebutuhan atau keinginan sosial seseorang juga dapat menyebabkan
kesepian.
3) Lingkungan kehidupan berubah dalam kapasitas seseorang atau keinginan
dalam hubungan sosial mungkin mempercepat munculnya kesepian, jika
tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam suatu
hubungan yang sebenarnya.
4) Faktor perubahan situasional juga dapat menimbulkan kesepian.
b. Faktor-faktor yang mendahului dan mempertahankan.
Faktor-faktor yang mendahului dan mempertahankan adalah factor kepribadian
dan situasional yang dapat meningkatkan munculnya kesepian. Faktor yang juga
dapat mempersulit seseorang yang kesepian untuk membangun kembali
hubungan sosial yang memuaskan. Karakteristik kepribadian yang berperan
dalam berkembangnya perasaan kesepian pada diri seseorang diantaranya:
1) Harga diri yang rendah : Konsep harga diri berkaitan dengan konsep diri,
yaitu prestasi, ide, dan sikap individu terhadap dirinya sendiri, harga diri
adalah bagaimana seseorang menilai dirinya. Bila seseorang selalu merasa
kesepian, maka ia akan bersikap sebagai orang yang kesepian.
2) Kecemasan sosial : Berdasarkan penelitian, orang yang merasa kesepian
mengalami kesulitan bersosialisasi dan menggambarkan dirinya sebagai
orang memiliki masalah perilaku, seperti merasa terabaikan dan kurang
mampu membuka diri pada orang lain.
3) Perasaan malu : Berdasarkan penelitian, seseorang yang malu merasa lebih
gugup bila berada ditengah orang dan situasi yang baru dikenalinya, karena
sulit untuk menilai perkenalan baru. Perasaan malu tersebut akhirnya
menimbulkan kesepian. Dalam hal ini, secara umum orang yang kesepian
tampaknya terjebak dalam suatu spiral sosial. Ia menolak orang lain, kurang
terampil dalam bidang sosial dan dalam kasus-kasus tertentu juga ditolak
oleh orang lain. Tanpa memperhatikan dari mana pola ini berawal, semua
komponen tersebut dapat membuat kehidupan sosial orang yang
bersangkutan menjadi lebih sulit dan kurang menguntungkan.
2.2
Attachment
2.2.1
Definisi Attachment
Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) adalah
suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu
sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal untuk melanjutkan hubungan
tersebut. Bowlby (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) menambahkan perilaku
attachment merupakan tingkah laku dimana individu berusaha untuk mencari dan
memelihara kedekatan dengan individu lainnya.
Attachment awal berkembang pada masa kanak-kanak dengan ibunya atau
caregiver (pengasuh). Hal ini terbentuk berdasarkan interaksi awal yang terjadi
pada anak adalah dengan ibunya atau caregiver (pengasuh). Ainsworth (dalam
Mikulincer dan Shaver, 2007) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa perilaku
attachment telah timbul sejak berusia 6 bulan. Interaksi sosial awal antara anak dan
ibu atau caregiver (pengasuh) selanjutnya menjadi dasar bagi perkembangan
kepribadian anak. Ibu atau caregiver (pengasuh) sebagai orang terdekat pertama
bagi anak, berperan dalam memberikan cara pengasuhan yang dapat memenuhi
kebutuhan psikologis anak. Pemenuhan kebutuhan psikologis anak dapat
diwujudkan ibu lewat kasih sayang, rasa cinta, perhatian, rasa aman, dan kooperatif
serta responsif terhadap kebutuhan orang lain.
2.2.2
Attachment Dewasa
Beberapa peneliti mengkhususkan penelitian attachment terhadap dunia
orang dewasa dan hubungan-hubungan yang dijalin pada masa dewasa, sehinga
keterikatan emosional yang menjadi topik diberi nama adult attachment. Pola-pola
adult attachment pada dasarnya merupakan replikasi dari pola-pola yang terbentuk
semasa bayi, namun adult attachment dengan infant-parent attachment bukanlah hal
yang sama. Relasi orangtua terhadap anak berupa caregiving (memberi), sementara
relasi anak pada orang tua berupa meminta, masing-masing sifatnya satu arah.
Sedangkan pada pasangan suami istri, relasi yang terjadi bersifat dua arah, yaitu
caregiving dan attachment. Masing-masing individu berperan sebagai figure
attachment atau significant others yang memberi sekaligus membutuhkan kedekatan
dan responsivitas dari pasangannya.
Hazan dan Shaver (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) merupakan salah
satu pelopor penelitian adult attachment dengan mengadopsi tiga pola infant-parent
attachment types dari Ainsworth yaitu secure, avoidance dan preoccupied (anxiousambivalent). Hazan dan Shaver (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) dalam
konteks hubungan romantis dewasa membagi attachment kedalam 3 pola yaitu
secure, avoidance, dan anxiety. Hazan dan Shaver yang pertama kali membuat
pengukuran attachment berupa self report.
Kemudian Brennan, Clark, Shaver, Fraley dan Waller (dalam Collins dan
Feeney, 2004) mengemukakan bahwa adult attachment dibagi dalam dua dimensi
orthogonal yaitu anxiety dan avoidance. Attachment anxiety merupakan perasaan
tentang keberhargaan dirinya (self-worth) berkaitan dengan seberapa tinggi individu
merasa khawatir bahwa ia akan ditolak, ditinggalkan atau tidak dicintai oleh figure
attachment atau significant others. Attachment avoidance berkaitan dengan
seberapa jauh individu membatasi intimasi dan ketergantungan pada orang lain.
Individu dengan attachment anxiety yang tinggi diyakini memiliki negative self
models. Mereka cenderung memiliki persepsi negatif tentang harga diri, kompetensi
dan kemampuan untuk mencintai dan sering disibukkan dengan kebutuhan untuk
mendapatkan pengakuan dari orang lain. Seperti contoh, seseorang ingin dekat
dengan orang lain, namun ia memiliki ketakutan dan kecemasan bahwa orang
tersebut akan tidak menyukainya atau bahkan menolaknya, padahal sebetulnya hal
tersebut belum tentu terjadi. Sedangkan individu dengan attachment avoidance
diyakini telah membangun sebuah internal working models yang negatif dan
cenderung jarang merasakan kebaikan, kepercayaan dan ketergantungan orang lain.
Akibatnya mereka sering menunjukkan suatu kebutuhan yang berlebihan dan takut
bergantung dengan orang lain. Seperti contoh, seseorang membatasi dirinya agar
tidak terlalu dekat dengan orang lain, ia cenderung memilih untuk melakukan
sesuatu tanpa perlu bergantung dengan orang lain.
Tingkah laku attachment akan teraktifkan terutama dalam kondisi yang
tampak mengancam yaitu: kondisi individu (misal; sakit atau lelah), kondisi
lingkungan (bencana alam, hal-hal yang membahayakan), dan kondisi-kondisi lain
yang dianggap mengancam hubungan attachment (misal ketidakhadiran atau
keengganan figur attachment untuk dekat) (Bowlby, 1969; dalam Feeney and
Noller, 1996).
2.3
Situs Jejaring Sosial
Situs jejaring sosial adalah sebuah kategori dari media online dimana seseorang
dapat berbicara, berpartisipasi, berbagi, jaringan dan bookmark secara online (Ward, 2012).
Situs jejaring sosial merupakan suatu struktur sosial antara individu (users), sebagian besar
individu, atau organisasi, yang menunjukkan cara mereka terhubung melalui berbagai
hubungan sosial seperti persahabatan, rekan kerja, atau pertukaran informasi (Hanneman
dan Riddle 2005 dalam Jamali dan Abolhassani, 2006).
Jejaring sosial merupakan sebuah aplikasi yang digunakan untuk mengakomodasi
hubungan antar pribadi. Aplikasi diantaranya yang populer digunakan adalah Facebook,
Twitter, Instagram, dan Path. Situs jejaring sosial merupakan wadah untuk
menghubungkan banyak orang dalam lingkungan sosial online melalui penggunaan website
(Douglis, 2008). Social Networking Site (SNS), atau situs jejaring sosial didefinisikan
sebagai suatu layanan berbasis web yang memungkinkan setiap individu untuk membangun
hubungan sosial melalui dunia maya seperti membangun suatu profil tentang dirinya
sendiri, menunjukkan koneksi seseorang dan memperlihatkan hubungan apa saja yang ada
antara satu pengguna dengan pengguna lainya dalam sistem yang disediakan (Boyd dan
Ellison, 2007).
Situs jejaring sosial sebenarnya serupa dengan jenis lain dari media sosial dan
komunitas online yang mendukung komunikasi lewat komputer. Namun yang
membedakannya dengan media sosial lainnya, dan bahkan mendefinisikan kategori tertentu
dari situs jejaring sosial adalah kombinasi fitur (Goodings, Locke, dan Brown 2007). Situs
jejaring sosial menyediakan akses ke beberapa alat komunikasi untuk mendukung
kemampuan seseorang dalam membangun sebuah identitas digital (Dashgupta, 2010).
Melalui fitur yang diberikan dalan setiap situs jejaring sosial, pengguna bisa mengetahui
secara lengkap seperti nama, tanggal lahir, foto wajah, alamat, pekerjaan atau semua
informasi seseorang yang disertakan di dalamnya.
Ada beberapa aspek yang dapat dilihat, dalam situs jejaring sosial. Boyd dan Ellison (2007)
menyebutkan bahwa aspek-aspek tersebut antara lain adalah :
1. Impression management,
2. Networks and network structure
3. Online or offline social networks
4. Privacy
Aspek pertama digunakan untuk membangun identitas untuk menguatkan jalinan
pertemanan dimana pengguna dapat membangun suatu profil tentang dirinya. Aspek kedua
merupakan struktur jaringan dan sekumpulan data yang ada pada situs jejaring sosial yang
digunakan untuk menggambarkan suatu interkasi.Aspek ketiga memungkinkan situs
jejaring sosial dapat menghubungkan individu ketika dalam keadaan online maupun offline.
Aspek keempat terkait pengaturan privasi yang bisa dilakukan oleh pengguna untuk
mengelola hal-hal yang ingin ditampilkan pada halaman profil. Serupa dengan Boyd dan
Ellison (2007), menurut Gotta (2008) situs jejaring sosial memiliki beberapa aspek yaitu:
1. Berperan sebagai fasilitas bagi individu untuk menjalin hubungan dengan
individu lainnya sehingga memungkinkan seseorang untuk bersama-sama
membangun atau memperluas jaringan sosialnya.
2. Merupakan sebuah fasilitas bagi pengguna untuk berinteraksi satu sama lain,
berbagi informasi, berpartisipasi dalam kegiatan situs yang berbeda, dan
membangun komunitas secara informal dan sukarela.
3. Terintegrasi dengan sistem yang melengkapi fungsi dari situs jejaring sosial
tersebut.
4. Mengandung komponen spesifik yang memungkinkan pengguna untuk:
a) Mendefinisikan profil secara online.
b) Menjelaskan hubungan antar individu.
c) Pemberitahuan tentang suatu kegiatan (notification).
d) Berpartisipasi dalam kegiatan suatu kelompok masyarakat (group).
e) Melakukan pengaturan privasi dan izin.
2.4
Emerging Adulthood
2.4.1
Pengertian Emerging Adulthood
Emerging adulthood adalah suatu konsep tahapan perkembangan dengan
fokus usia 18-25 tahun (Arnett,2000). Arnett (2000) mendefinisikan emerging
adulthood sebagai suatu tahapan perkembangan yang bukan tahapan remaja
maupun dewasa awal. Tahapan ini telah meninggalkan masa anak-anak dan remaja,
namun belum memiliki tanggung jawab seperti orang dewasa.
Seorang individu di umur 20 akan menghadapi masa-masa pencarian
keintiman dengan orang lain (Erikson, 1968). Keintiman tidak hanya dikaitkan
menjalin cinta dengan lawan jenis, namun dapat pula didefinisikan sebagai
kemampuan untuk membina suatu afiliasi yang diikat oleh komitmen.
2.4.2
Kriteria Emerging Adulthood
Arnett (2000) menggolongkan lima kriteria emerging adulthood :
a. Identity Explorations
Seseorang akan mencari dan mengeksplorasi identitasnya secara serius
sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan selanjutnya seperti cinta dan
pekerjaan.
b. Instability
Mereka mengalami banyak perubahan-perubahan dalam rencana yang telah
mereka rencanakan sebelumnya.
c. Being Self-focused
Sudah mampu berdiri sendiri atau mandiri dalam mencukupi kebutuhan
masing-masing.
d. Feeling in between and in transition
Mereka berada di tahapan seperti remaja namun belum sepenuhnya dewasa.
Seperti contoh dalam memenuhi kebutuhan finansial, mereka tidak langsung
dapat mandiri, namun bertahap sampai betul-betul mandiri secara finansial.
e. Possibilities
Tahapan ini memungkinkan mereka untuk dapat mencapai segala mimpimimpi mereka. Karena pada tahapan ini mereka masih memiliki banyak
kesempatan dan dapat mencoba banyak hal seperti pekerjaan, pasangan
hidup dan falsafah hidup.
2.4.3
Perbedaan Emerging Adulthood Dengan Remaja dan Dewasa
Arnett (2000) mengemukakan perbedaan emerging adulthood dengan
remaja dan dewasa dilihat dari 3 aspek yaitu :
a. Demografis
Survey membuktikan bahwa pada usia 18-25 seseorang mengalami suatu
perubahan yang sangat cepat dan tidak stabil. Di Amerika, remaja usia 12-17
tahun 95% masih tinggal di rumah dengan orang tuanya, 95% masih bersekolah
dan 10% yang memiliki anak. Kemudian pada usia 30 tahun ke atas kurang dari
10% mereka yang masih sekolah, 75% sudah menikah dan sekitar 75% sudah
memiliki anak (US Bureau of the Census, dalam Stern, 2004).
b. Eksplorasi identitas
Eksplorasi identitas pada emerging adulthood berbeda secara kualitatif.
Eksplorasi identitas mereka digali secara lebih serius terutama di area cinta,
pekerjaan dan worldviews. Kalau dalam cinta, mereka lebih serius dan sudah
menuju ke pernikahan. Dalam pekerjaan, mereka tidak lagi kerja paruh waktu,
namun sudah bekerja penuh waktu.
c. Persepsi subjektif dewasa
Dari survei yang dilakukan Arnett (2000), bahwa kebanyakan seseorang merasa
dia sudah dewasa kalau sudah dapat bertanggung jawab penuh atas diri sendiri
dan sudah dapat mencukupi kebutuhan sendiri. Sedangkan, usia 18-25 tahun itu
belum semuanya dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
2.5
Emerging Adulthood dan Situs Jejaring Sosial
Emerging adulthood adalah suatu konsep tahapan perkembangan dengan fokus usia
18-25 tahun (Arnett,2000). Kemudian, terkait dengan situs jejaring sosial, Duggan dan
Smith (2013) menuliskan bahwa sebanyak 31% dari total pengguna internet yang berusia
18–24 tahun tercatat menggunakan Twitter. Itu artinya banyak pengguna internet
khususnya situs jejaring sosial yang berada dalam tahapan emerging adulthood.
Emerging adulthood memiliki lima kriteria, salah satunya yaitu identity exploration.
Kriteria ini memiliki maksud bahwa seseorang dalam tahapan ini sudah mulai mencari dan
mengeksplorasi identitasnya secara serius sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan
selanjutnya seperti cinta dan pekerjaan. Melalui situs jejaring sosial, mereka dapat
berkomunikasi dengan orang lain dan dapat membantu mengeksplorasi identitas mereka.
Kemudian kriteria emerging adulthood selanjutnya adalah instability. Mereka
belum memiliki hidup yang stabil sehingga dapat berubah-ubah dalam setiap waktu. Terkait
dengan situs jejaring sosial, mereka sering membuat status yang berubah-ubah, di satu
waktu mereka membuat status senang, namun di waktu lain langsung berubah menjadi
status sedih.
Kriteria selanjutnya yaitu feeling in between. Mereka masih berada dalam masa
transisi, sudah tidak remaja lagi namun belum dewasa. Jadi, mereka belum cukup dewasa
untuk menyikapi situs jejaring sosial. Sering kali terjadi penyalah gunaan situs jejaring
sosial, seharusnya untuk komunikasi dengan orang lain, tetapi digunakan dalam hal yang
kurang baik.
2.6
Kerangka Berpikir
Emerging
Adulthood
Attachment
Anxiety
Attachment
Avoidance
Kesepian
Situs Jejaring
Sosial sebagai
pelarian
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Dimulai dari pemikiran bahwa seseorang yang berada pada tahap emerging
adulthood memiliki tugas-tugas tertentu, yang salah satunya adalah identity exploration,
dimana mereka sudah mulai mencari cinta dan pekerjaan. Lalu instability, yang masih
belum stabil dan feeling in between yaitu berada di masa transisi dari remaja menuju
dewasa. Kemudian pada tahapan ini setiap orang memiliki suatu ikatan emosional terhadap
seseorang atau attachment. Emerging adulthood dengan attachment yang avoidance dan
anxiety. Lalu Wei, Vogel, Ku dan Zakalik (2005) mengungkapkan bahwa attachment
anxiety dan avoidance berkorelasi signifikan dengan kesepian. Orang-orang yang kesepian
tersebut melarikan diri dengan menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter,
dan Path. Begitupun sebaliknya, orang yang menggunakan situs jejaring sosial rata-rata
juga mengalami kesepian. Bernardon, Babb, Larson dan Gragg (2011) mengungkapkan
bahwa anxiety dan avoidance berkorelasi signifikan dengan kesepian.
2.7
Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, yang
kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita
cari tau atau apa yang ingin dipelajari. (Nazir, 2003). Asumsi peneliti mengenai hasil dari
penelitian ini adalah bahwa terdapat korelasi signifikan antara anxiety dengan kesepian dan
tidak ada korelasi signifikan antara avoidance dengan kesepian karena orang yang anxiety
akan lebih merasa kesepian karena mereka sulit untuk dekat dengan orang lain sedangkan
avoidance cenderung membatasi diri dari orang lain sehingga dirinya tidak merasa kesepian
walaupun hubungannya tidak dekat dengan orang lain.
Download