environmental and social safeguards framework

advertisement
E2173
IIFF: DRAFT KERANGKA KERJA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP
DAN SOSIAL (ESSF)1
A.
Latar Belakang
1.
Infrastruktur saat ini dilihat sebagai hambatan kritis bagi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia, dimana serangkaian upaya untuk menarik kembali para investor swasta, banyak
diantaranya adalah investor asing, yang telah mendorong pembangunan infrastruktur lewat
investasi swasta di awal era 1990-an, telah gagal. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan
sejumlah besar langkah-langkah untuk mengajak keikutsertaan investasi swasta, khususnya dalam
negeri, agar tertarik ikut mengembangkan infrastruktur. Satu elemen penting dari upaya tersebut
adalah mengembangkan kemampuan dalam negeri untuk mendanai sendiri proyek-proyek
infrastruktur yang secara komersial dianggap menguntungkan, dengan cara mendukung lembagalembaga pembiayaan dalam negeri yang sudah ada. Sebagai bagian dari upaya ini, Pemerintah
Indonesia telah memutuskan untuk mendirikan satu lembaga pendanaan baru dan khusus, yang
disebut sebagai Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Indonesia (Indonesian Infrastructure
Financing Facility atau disingkat “IIFF”), yang akan menawarkan pembiayaan bagi proyekproyek pembangunan infrastruktur, dalam jangka panjang dan menggunakan mata uang setempat.
2.
IIFF sedang didirikan sebagai satu lembaga pembiayaan komersial, untuk memobilisasi
program pembiayaan dalam mata uang setempat dalam tenor, ketentuan serta harga yang tepat,
untuk proyek-proyek infrastruktur yang dianggap pantas didanai, dengan cara: (i) menggunakan
rating kreditnya yang bagus untuk meminjam dana dari lembaga investasi dan perbankan dalam
negeri yang mencari cara menempatkan dana mereka dalam jangka panjang dengan marjin yang
lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh korporasi besar atau pihak sovereign lainnya, dan
dengan cara (ii) menyediakan produk-produk pendanaan/keuangan yang memenuhi kebutuhan
infrastruktur PPP dan proyek yang sepenuhnya didanai oleh swasta. IIFF akan menjadi semacam
pihak perantara keuangan non-bank yang memiliki kapasitas untuk menilai kelaikan proyekproyek infrastruktur dan dengan kewajiban bayar jangka panjang yang sesuai dengan suatu
portofolio dari aset-aset jangka panjang. Diharapkan lembaga ini akan berfokus pada senior
jangka panjang dan subordinated debt serta minority equity position, namun rangkaian produk
yang ditawarkannya kemungkinan dapat meluas sampai meliputi jasa credit enhancement,
securitization, advisory services serta mekanisme lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan
investasi di bidang pembangunan infrastruktur.
3.
IIFF akan beroperasi sebagai suatu badan usaha komersial, menggunakan tingkat rate dan
fee yang berlaku di pasar. Badan usahan ini akan menanggapi kebutuhan pasar, dan mengikuti
metode praktek terbaik di dunia internasional dalam hal tata laksana korporasi yang baik, dengan
menjalankan kebijakan serta langkah manajemen resiko; memberikan Indonesia suatu
ketrampilan pengelolaan pembiayaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan saat ini. Pemerintah
Indonesia telah memasukkan konsep ini ke dalam pernyataan kebijakannya mengenai IIFF dan
hal tersebut akan ditunjukkan dalam struktur serta pengelolaan lembaga keuangan ini.
1
Rancangan ESSF ini diberikan sebagai draft awal saja, draft ini akan diperbarui dan difinalisasi sebelum
pemberlakuan pinjaman.
B.
Tujuan Proyek Ini
4.
Usulan proyek ini memiliki dua tujuan menyeluruh, yaitu: (i) memperkuat dan
mengembangkan lebih jauh kerangka kerja kelembagaan dari sektor finansial untuk
mempermudah pembiayaan dari proyek-proyek infrastruktur yang dianggap layak secara
komersial; dan hal ini berakibat pada (ii) peningkatan jumlah infrastruktur di Indonesia. IIFF
diharapkan dapat mencapai tujuan pertamanya dengan cara membangun kapasitas dan
kemampuan yang dibutuhkan, dengan cara menyediakan jasa pembiayaan jangka panjang,
produk-produk keuangan lain yang inovatif, serta layanan advisory. Tujuan akhir dari IIFF adalah
meningkatkan pengadaan infrastruktur di Indonesia guna mendukung suatu iklim investasi yang
lebih menarik, pertumbuhan yang terus terjaga, serta pengurangan tingkat kemiskinan dalam
jangka panjang.
5.
IIFF akan menjadi satu lembaga pembiayaan swasta non-bank yang akan meminjam dana
dari pasar hutang lokal dan meminjamkannya ke proyek-proyek infrastruktur yang dianggap
layak. Dalam tahap awal pembentukannya, lembaga ini akan mendapatkan sumber dana dari
pinjaman ADB dan IBRD, serta dari IFC, KfW, ADB dan penyertaan modal oleh Pemerintah
Indonesia sendiri.
6.
Amanat yang diemban IIFF akan bersifat fleksibel, guna memungkinkan investasi
dilakukan pada pembangunan infrastruktur berdasarkan penghitungan komersial. Pada awalnya,
dana yang disediakan akan dipusatkan pada sektor-sektor pembangunan yang memungkinkan
proyek pembangunan dilakukan berdasarkan penghitungan komersial, guna menarik perhatian
investasi pihak swasta. Sektor-sektor pembangunan yang menjadi bagian dari mandat investasi
IIFF adalah, antara lain: enerji (termasuk pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik),
air bersih dan sanitasi, transportasi publik (termasuk jalan, kereta api, pelabuhan laut dan bandar
udara), infrastruktur di sektor industri dan komersial, serta proyek-proyek pembangunan
telekomunikasi.
C.
Komponen Proyek Ini serta Produk-Produk Keuangan
7.
Proyek ini akan memiliki satu komponen: suatu pinjaman investasi kepada Pihak
Peminjam Dana (Borrower) yang akan disediakan kepada IIFF sebagai subordinated debt oleh
Pihak Peminjam Dana. Pihak World Bank – termasuk juga para partner pembangunan yang
mendukung proyek ini – akan menyetujui suatu Operations Manual (OM) yang membentuk dasar
dari proses seleksi oleh IIFF untuk menentukan proyek-proyek pembangunan infrastruktur
manakah yang akan didanai, melalui instrumen-instrumen finansial yang disediakan. World Bank
tidak akan terlibat dalam persetujuan untuk masing-masing sub-proyek yang dipilih oleh IIFF
untuk didanai, dengan syarat bahwa Unit Lingkungan Hidup dan Sosial di IIFF telah memiliki
kapasitas yang memadai untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan IIFF di bidang
lingkungan hidup dan sosial akan terpenuhi. Meskipun demikian, World Bank (dan IFC) akan
mengkaji ulang pelaksanaan dari sub-sub proyek tersebut guna memastikan agar kebijakan
perlindungan yang ada telah diikuti dengan benar.
8.
Di awal operasinya, IIFF akan berpusat pada sektor-sektor berikut ini: (i) enerji; (ii) air
bersih dan sanitasi; (iii) transportasi publik; serta (iv) infrastruktur industrial dan komersial.
Dengan mempertimbangkan bahwa program pembangunan infrastruktur oleh dana swasta di
Indonesia masih dalam taraf pengembangan awal, dan fakta bahwa IIFF sendiri diharapkan
memainkan peran yang signifikan dalam dalam pengembangan cara penyaluran dana ini
kedepannya, maka tim World Bank dengan sengaja mengasumsikan pola pertumbuhan yang
lambat di dalam balance sheet IIFF. Pinjaman dari World Bank diharapkan dapat sepenuhnya
diserap dalam kurun waktu empat tahun ini (tahun 2009-2012).
9.
D.
IIFF akan mempunyai tiga kategori produk finansial utama:

Fee based products yaitu produk-produk yang mendatangkan pembayaran fee bagi
IIFF (misalnya: memberikan layanan penasihat/advisory) dan hal ini tidak
menyangkut pengeluaran apapun dari dana IIFF.

Fund based products yaitu produk pembiayaan atau pendanaan, (sebagai contohnya:
senior debt, subordinated debt, mezzanine funding, equity investment, bridge finance,
refinancing, securitization) yang hal tersebut melibatkan pengucuran dana aktual dari
World Bank (melalui IIFF). 5 kategori pertama, yaitu senior debt, subordinated debt,
mezzanine funding, equity investment, bridge finance – kesemuanya melibatkan
pembiayaan bagi infrastruktur yang baru. Dua kategori terakhir (refinancing dan
securitization) lebih melibatkan pembiayaan yang didapat atas dasar infrastruktur
yang sudah ada (yang digunakan secara efektif sebagai collateral atau jaminan
pinjaman), untuk tujuan membangun infrastruktur baru.

Non-fund based products atau produk-produk yang tidak berdasarkan pendanaan contohnya penjaminan – melibatkan penyaluran dana secara terpisah (contingent
disbursement) dari dana World Bank (melalui IIFF). Jika IIFF menyatakan akan
menjaminsuatu sub-proyek dengan guarantee defaults atas kewajiban pembayaran
hutangnya ke lembaga pembiayaan lain atau investor lain, maka hanya jika demikian,
IIFF diharuskan membayar pinjaman untuk menggantikan posisi sub-proyek tersebut.
Dengan demikian, ini menjadi suatu pengeluaran dana terpisah oleh dana World
Bank. Meskipun demikian, mengingat adanya kemungkinan bahwa dana World Bank
mungkin dapat didistribusikan, secara ex-ante, maka persyaratan keamanan yang
sama sebagaimana produk berdasarkan pendanaan akan harus diterapkan juga.
Jenis Sub-proyek Sesuai Dengan Tingkat Kesiapan
10.
IIFF akan menawarkan produk-produk keuangan yang berbeda, serta mempertimbangkan
sub-sub proyek berdasarkan tingkat kesiapan implementasi yang berbeda-beda. Ada empat
kategori sub-proyek, yang masing-masing akan membutuhkan jenis prosedur kajian yang berbeda
pula:

Jenis 1 –Sub-proyek selama tahap-tahap awal persiapan (dimana lokasi proyek belum
ditentukan dan opsi-opsi desain proyek masih terbuka): Klien IIFF akan
mempersiapkan dan memaparkan semua dokumen Asesmen Lingkungan (EA) (yaitu
EIA, EMP, SIA, RAP, IPP, dll.) sebelum persetujuan pendanaan sub-proyek tersebut
oleh IIFF.

Jenis 2 – Sub-proyek yang telah dianggap sepenuhnya siap (dimana para perusahaan
konstruksi telah diundang ikut tender): IIFF akan mengkaji dokumen-dokumen EA
yang sudah ada dan meminta klien untuk melengkapi atau mengembangkan dokumen
yang baru. Semua dokumen yang dipersyaratkan harus dipaparkan sebelum
persetujuan pendanaan sub-proyek.

Jenis 3 – Sub-proyek yang masih dalam tahap pembangunan atau fasilitas yang telah
selesai dibangun: dalam hal ini IIFF akan menjalankan kajian kelayakan atau due
diligence guna memastikan bahwa: (a) sub-proyek ini telah menjalankan kepatuhan
atas semua aturan serta hukum nasional terkait perlindungan lingkungan dan sosial;
(b) tidak ada resiko reputasi bagi IIFF dan bagi pihak World Bank Group (WBG);
dan (c) tidak ada masalah yang dibawa dari masa lalu, atau ketidak-sepakatan atau
tanggungjawab pembayaran yang belum selesai dari masa sebelumnya. Berdasarkan
temuan-temuan asesmen tersebut, maka IIFF akan meminta klien untuk menerapkan
langkah remedial atau perbaikan, sejauh diperlukan, atau untuk melakukan mitigasi
bagi resiko reputasi potensial, atau menangani masalah-masalah atau tunggakan
kewajiban pembayaran dari periode sebelumnya.

E.
Jenis 4 – Layanan advisory berdasarkan fee: ESSF harus memasukkan prosedur yang
dapat memastikan agar semua layanan advisory berdasarkan fee disediakan dengan
cara yang konsisten dengan tujuan kebijakan IIFF dan yang tidak menimbulkan
resiko reputasi bagi World Bank Group.
Tujuan dari Kerangka Kerja Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sosial
(Environmental & Social Safeguard Framework atau ESSF)
11.
Tujuan dari ESSF adalah memberikan bagi IIFF, khususnya Unit Lingkungan Hidup dan
Sosial IIFF, di dalam struktur organisasinya, satu rangkaian kebijakan dan panduan yang akan
membantu Unit tersebut menyeleksi, menilai dan mengawasi aspek-aspek lingkungan hidup dan
sosial dari suatu sub-proyek.
12.
Kerangka kerja ini menjelaskan garis besar (1) Kebijakan World Bank Group (WBG)
yang akan diterapkan pada sub-proyek yang didukung oleh IIFF dan (2) pengaturan implementasi
guna memastikan agar kebijakan-kebijakan ini diterapkan sepenuhnya dan bahwa sub-proyek
tersebut memenuhi semua persyaratan yang harus diterapkan sesuai permintaan WBG,
sebagaimana juga sesuai dengan hukum dan peraturan Indonesia.
13.
IIFF akan mengembangkan prosedur terinci untuk melakukan kajian lingkungan hidup
dan sosial atas suatu sub-proyek. Prosedur-prosedur tersebut, yang akan diintegrasikan ke dalam
Operations Manual IIFF, akan mencakup seleksi, penilaian dan pengawasan sub-proyek.
F.
Kebijakan yang Dapat Diterapkan
14.
Tidaklah mungkin sebelum implementasi proyek ini untuk menentukan cakupan beragam
kegiatan yang akan membutuhkan pendanaan dari lembaga ini nantinya. Yang jelas, pembiayaan
tersebut disediakan untuk sub-sub proyek ukuran menengah dan besar yang memenuhi berbagai
kriteria kelayakan.
15.
IIFF, sebagai suatu Badan Perantara Pendanaan atau Financial Intermediary (FI) yang
didukung oleh baik World Bank dan IFC, akan mendanai sebagian besar dari sub-proyek sektor
swasta. Untuk alasan inilah, maka ESSF akan menggunakan Performance Standards (PSs) dari
IFC sebagai inti dari aturan dan standar dasar. ESSF dalam bentuk final akan menggabungkan
komponen-komponen yang berbeda antara PSs dan kebijakan WB dengan mengikuti panduan
yang disediakan di dalam dokumen “Environment and Social Policy dan Procedural Guidelines
for Projects Financed Jointly by World Bank, IFC and/or MIGA”, tertanggal 21 Januari 2009.
16.
Dokumen Operations Manual saat ini sedang disusun dengan mempertimbangkan:

Hukum dan peraturan Indonesia;

Delapan Standar Kinerja / Performance Standard (PS) dari IFC (PS 1: Asesmen
Lingkungan Hidup dan Lingkungan Sosial dan Sistem Manajemen; PS 2: Kondisi
Pekerja dan Lingkungan Kerja; PS 3: Pencegahan dan Penanganan Polusi; PS 4:
Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Masyarakat; PS 5: Pembebasan Lahan dan
Pemukiman Kembali ; PS 6: Konservasi Keragaman Hayati dan Pengelolaan Sumber
Alam secara Keberlanjutan; PS 7: Masyarakat Asli Daerah atau Indigenous Peoples;
dan PS 8: Warisan Budaya);

Tujuh Kebijakan Perlindungan World Bank yang dapat terpicu oleh sub-sub proyek
IIFF adalah (Asesmen Lingkungan (OP/BP 4.01); Habitat Alamiah (OP/BP 4.04);
Hak Milik Budaya (OP 4.11); Pemukiman Kembali secara Sukarela (OP/BP 4.12);
Masyarakat Asli Daerah (OP 4.10); Hutan (OP/BP 4.36); dan Keamanan Bendungan
(OP/BP 4.37); dan

Panduan yang disediakan di dalam dokumen “Environment & Social Policy and
Procedural Guidelines for Projects Financed Jointly by World Bank, IFC and/or
MIGA”, tertanggal 21 Januari 2009 diharapkan dapat memecahkan perbedaan yang
ada antara standar IFC dan kebijakan World Bank.
17.
IIFF akan mengikuti satu set standar yang akan ditetapkan, sebagaimana dijelaskan dalam
dokumen ESSF dan Operations Manual.
G.
Seleksi Aspek Lingkungan
18.
Setiap sub-proyek akan diseleksi untuk menentukan cakupan kesesuaiannya dan jenis
Asesmen Lingkungan (EA)-nya. Satu kategori lingkungan akan dimasukkan ke dalam sub-proyek
yang disetujui, tergantung dari jenis, lokasi, sensitivitas, dan skala dari sub-proyek tersebut dan
sifat serta besaran dari potensi dampaknya terhadap lingkungan. Proses seleksi tersebut juga akan
menentukan cakupan instrumen perlindungan yang harus disiapkan (misalnya EA, RAP).
19.
Investasi di bidang sub-proyek pembangunan infrastruktur (Jenis 1, 2 dan 3) dalam
proyek ini kemungkinan besar akan berdampak di tingkat sedang ke signifikan dalam hal
lingkungan hidup dan lingkungan sosial; yang akan dianggap sebagai Sub-Proyek Kategori A
atau B sesuai dokumen OP 4.12 Asesmen Lingkungan World Bank dan Prosedur IFC bagi Kajian
Lingkungan Hidup dan Sosial dari Proyek). Sub-proyek yang melibatkan fee-based advisory
services (Jenis 4) akan dimasukkan kedalam Kategori C.
H.
Pengaturan Implementasi
20.
Prosedur yang harus diikuti untuk setiap jenis akan ditegaskan di dalam dokumen
Operations Manual, yang saat ini sedang disusun. Dokumen OM tersebut – yang akan sesuai
dengan persyaratan WBG – akan disusun sebelum pemberlakuan pinjaman. Dokumen OM
tersebut akan berisi prosedur-prosedur untuk melakukan seleksi sub-proyek dan untuk
memastikan agar semua dampak negatif yang terkait dengan proyek ini telah diidentifikasi,
dimitigasi secara efektif, dan diawasi pelaksanaannya.
21.
OM bagi proyek ini akan mengarah ke pembentukan dari Sistem Manajemen Lingkungan
Hidup dan Sosial (Environmental and Social Management System/ESMS) IIFF. Suatu Unit
Lingkungan Hidup dan Sosial akan diciptakan di bawah struktur organisasi IIFF. Unit ini akan
mempekerjakan para spesialis lingkungan hidup dan sosial.
22.
Dokumen OM tersebut akan berisi semua prosedur yang diperlukan guna memastikan
agar sub-proyek yang disetujui memenuhi persyaratan IFC di bidang PS dan Kebijakan
Perlindungan World Bank. Prosedur seleksi akan mencakup aspek-aspek berikut ini:

seleksi lingkungan dan penentuan kategori lingkungan;

identifikasi dampak sub-proyek terhadap lingkungan hidup dan sosial serta resikoresiko lainnya;

asesmen dan manajemen dampak dari suatu sub-proyek, termasuk dampaknya atas
habitat alamiah, hutan, dan keamanan bendungan, sejauh dapat diterapkan;

persyaratan keharusan melakukan konsultasi dan penyebarluasan informasi/publikasi
(disclosure) untuk setiap jenis dari sub-proyek, konsisten dengan peraturan di
Indonesia dan kebijakan World Bank Group;

Pembebasan lahan dan pemukiman kembali, termasuk prosedur pemberian
kompensasi dan rehabilitasi warga masyarakat setempat yang terkena imbas proyek;

Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples), termasuk prosedur-prosedur untuk
konsultasi yang bebas dan konstruktif yang dilakukan di awal ; serta

kajian atas dokumen-dokumen EA (Environmental Assessment) dan kapasitas yang
dimiliki oleh klien IIFF dalam mengelola masalah-masalah terkait lingkungan hidup
dan sosial.
23.
Dokumen OM tersebut akan termasuk pula suatu Kerangka Kerja Kebijakan Masyarakat
Asli Daerah (Indigenous Peoples Policy Framework/IPPF) dan Kerangka Kerja Kebijakan
Pemukiman Kembali (Resettlement Policy Framework/RPF), dengan kepatuhan pada
persyaratan-persyaratan dalam dokumen OP 4.10 dan OP 4.12, serta konsisten dengan
persyaratan-persyaratan dalam PS5 dan PS7. Versi awal dari dokumen-dokumen tersebut telah
dimasukkan ke dalam Lampiran 1 dan 2 pada Draft ESSF ini.
I.
Konsultasi dan Publikasi ESSF
24.
Draft ESSF ini dikembangkan atas dasar dokumen Safeguards Planning Document yang
telah disetujui oleh ADB, yang mempersyaratkan dilakukannya beberapa kali perundingan dan
akan dipublikasikan secara setempat dan di Website ADB dalam bahasa Inggris. Draft ini telah
dibicarakan dengan para pemangku kepentingan proyek ini, termasuk para partner yang
berpartisipasi dalam pengembangan.
25.
Kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup dan sosial yang diadopsi di dalam draft
ESSF ini telah dibicarakan di antara para pemangku kepentingan kunci proyek ini, termasuk IFC,
World Bank, ADB dan Pihak Peminjam Dana (yaitu Direktorat Jendral Aset Negara). Telah
disepakati bahwa IIFF akan memegang satu ESSF yang disetujui dan sejalan dengan kebijakankebijakan di bidang lingkungan hidup dan sosial yang diberlakukan oleh semua pihak yang akan
turut mendanai IIFF. Draft ESSF ini akan diperbarui setelah adanya konsultasi tambahan yang
dilakukan dengan para pemangku kepentingan kunci proyek ini, termasuk masyarakat. Versi final
dari dokumen ESSF ini, yang telah akan siap sebelum pemberlakuan pinjaman, akan
dipublikasikan secara setempat dan di InfoShop World Bank. Versi final tersebut akan menjadi
dasar dari bagian penjelasan mengenai prosedur lingkungan hidup dan lingkungan sosial dalam
dokumen Operations Manual.
26.
Kegiatan konsultasi dan penyebarluasan informasi yang dijalankan sampai hari ini sudah
tepat, sesuai dengan fakta bahwa sub-sub proyek spesifik yang akan didanai lewat IIFF saat ini
belumlah diidentifikasi. Pihak Peminjam Dana akan melanjutkan kegiatan konsultasi dan
penyebarluasan informasi tersebut sejalan dengan pembaruan dokumen ESSF ini. Instrumen
perlindungan bagi sub-proyek tertentu akan diharuskan untuk dikonsultasikan dan dipublikasikan
oleh klien IIFF, sebagaimana dituntut oleh kebijakan World Bank.
27.
Klien IIFF akan mempublikasikan laporan Kajian Lingkungan (Environmental
Assessment/EA), Rencana Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali (Land Acquisition and
Resettlement Action Plan/LARAP), Rencana Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples
Plan/IPP), dll., di suatu lokasi publik yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat yang terkena
dampak, LSM setempat dan para pemangku kepentingan lainnya.
J.
Daftar Pengecualian
28.
IIFF tidak akan mendanai aktivitas-aktivitas yang dianggap tidak layak mendapatkan
pembiayaan dari World Bank atau IFC (lihat Lampiran 3).
Lampiran 1
Kerangka Kerja Kebijakan Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali
TUJUAN DAN CAKUPAN PELAKSANAAN
1.
Tujuan dari Kerangka Kerja Kebijakan Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali
(Land Acquisition and Resettlement Policy Framework/LARPF) ini adalah untuk mengklarifikasi
prinsip, prosedur dan pengaturan organisasi yang perlu diterapkan pada pembebasan lahan untuk
sub-sub proyek yang didanai lewat IIFF ini, dimana pihak yang bertanggungjawab untuk
pembebasan lahan adalah pemerintah daerah atau badan pemerintahan lainnya. LARPF akan
memberikan panduan bagi persiapan melakukan Pembebasan Lahan dan Pemukiman kembali
(Land Acquisition and Resettlement Action Plan/LARAP) bagi sub-sub proyek semacam ini.
Dalam kasus dimana area lahan untuk suatu sub-proyek dibeli secara langsung oleh satu sektor
swasta dari IIFF, tanpa adanya bantuan atau intervensi dari pemerintah daerah atau badan
pemerintahan lainnya, maka aturan Performance Standard 5 dari IFC akan berlaku. 2
2.
Kerangka kerja ini berlaku bagi semua sub-sub proyek yang menjadi bagian kepentingan
publik, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden No.36/2005 mengenai “Penyediaan
Lahan untuk Aktivitas Pembangunan yang Menjadi Kepentingan Publik”, sebagaimana direvisi
oleh Peraturan Presiden No.65/2006, dan Panduan Pelaksanaan No.3/2007 untuk Perpres
No.36/2005 dan Perpres No.65/2006 yang diterbitkan oleh BPN (Badan Perlahanan Nasional).
Sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut, maka proyek-proyek berikut ini dianggap sebagai
bagian dari kepentingan publik: yaitu konstruksi jalan umum, jalan toll, rel kereta api, sistem
pasokan air bersih, sistem pembuangan air dan sanitasi; bendungan, sistem irigasi; bandar udara,
pelabuhan laut, stasiun kereta api dan kendaraan lainnya; fasilitas pembuangan sampah padat,
sumberdaya budaya dan alamiah; pembangkit tenaga listrik, jalur transmisi dan distribusi listrik;
serta keselamatan publik.
PRINSIP-PRINSIP UTAMA
3.
Prinsip-prinsip berikut ini akan memandu persiapan dan pelaksanaan suatu sub-proyek
yang mengharuskan suatu kegiatan pembebasan lahan:



2
Pembebasan lahan dan pemukiman kembali haruslah dihindari sejauh mungkin, atau
diminimalkan sesedikit mungkin. Selama proses persiapan suatu sub-proyek, dampakdampak potensial dari pembebasan lahan sudah harus dikaji, sehingga, apabila
memungkinkan, dapat merancang alternatif untuk meminimalisir dampak merugikan
secepat mungkin.
Mereka yang akan kehilangan lahan dan/atau aset lainnya di atas lahan tersebut sebagai
dampak dari pembebasan lahan untuk sub-proyek harus mendapatkan suatu bentuk
kompensasi yang segera dan adil.
Warga masyarakat setempat yang terkena imbas proyek (PAP) yang harus dipindahkan
ke lokasi lainnya sebagai dampak dari pembebasan lahan untuk sub-proyek tersebut
haruslah (i) sudah diajak bicara dan menyetujui pilihan-pilihan kompensasi dan relokasi
Prosedur khusus terkait pelaksanaan PS5 ini akan dikembangkan tersendiri dalam dokumen OM IIFF .

yang tersedia untuk mereka, (ii) ditawarkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
perencanaan dan implementasi rencana relokasi, dan (iii) dibantu selama proses relokasi.
PAP yang kehilangan sumber penghasilan atau sarana penghidupan sebagai dampak dari
pembebasan lahan untuk sub-proyek tersebut harus mendapatkan bantuan dalam
mengembalikan cara hidup dan penghidupan mereka, serta standar kehidupan mereka
seperti semula.
KELOMPOK WARGA MASYARAKAT YANG TERKENA DAMPAK PROYEK (PROJECT
AFFECTED PERSONS/PAP) DAN HAK-HAK MEREKA
4.
Secara umum, ada dua kelompok PAP yang dibagi sesuai haknya, dalam LARPF:


PAP yang memiliki hak atas lahan yang terkena dampak sub-proyek tersebut
PAP yang tidak memiliki hak atas lahan yang terkena dampak sub-proyek tersebut
5.
PAP yang memiliki hak atas lahan yang terkena dampak sub-proyek. Sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Indonesia, warga masyarakat yang memiliki hak atas lahan yang
terkena dampak suatu proyek yang menjadi kepentingan publik berhak mendapatkan kompensasi
untuk hilangnya lahan dan aset mereka terkait ke lahan tersebut. Warga masyarakat dalam
kelompok ini termasuk “para pemilik tanah sah, yang terkena dampak, atau siapapun yang
memegang hak-hak atas lahan tersebut, dan dalam hal ini termasuk Nazhir atau penerima dari
tanah wakaf yang dihibahkan”.3
6.
Hak atas tanah di Indonesia diatur oleh UU No.5/19604 dan aturan yang diterbitkan oleh
BPN. Hak-hak atas tanah tersebut, atau juga disebut sertifikat tanah, termasuk:



HM - Hak Milik atau hak untuk memiliki kepemilikan atas tanah, dalam hal ini
memberikan hak-hak kepemilikan secara sepenuhnya atas lahan dan kira-kira sama
dengan pengertian Freehold Title dalam jurisdiksi hukum negara Barat;
HGB - Hak Guna Bangunan atau hak untuk membangun, memberikan hak kepada satu
pihak untuk membangun dan memiliki bangunan tersebut, di atas lahan milik negara;5
HP - Hak Pakai atau hak untuk menggunakan lahan, memberikan hak kepada satu pihak
untuk menggunakan lahan tersebut untuk tujuan apapun;6 dan
3
Perpres No.36/2005, Pasal 16 (1) ; Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 43 (1). Wakaf adalah cara seorang
Muslim untuk mendedikasikan suatu hak miliknya melalui suatu surat wasiat, atau cara lain, untuk
digunakan untuk tujuan-tujuan yang dianggap dalam ajaran agama Islam sebagai cara yang suci, relijius
serta sosial.
UU No.5/1960, atau dikenal sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Walaupun kata “Agraria”
dipakai dalam judulnya, namun UU No.5/1960 ini tidak hanya mengatur tanah pedesaan, melainkan semua
jenis lahan, yaitu perkotaan, hutan, ladang dan sawah, perkebunan, pertambangan, dan wilayah
perairan/pantai, termasuk perikanan.
4
5
HGB memberikan suatu hak untuk membangun dan mempergunakan suatu bangunan kepada warga
negara Indonesia untuk periode maksimum 30 tahun, dan dapat diperbaharui setiap 20 tahun sekali. Hak ini
dapat dikonversikan menjadi sertifikat HM.
6
Suatu HP pada umumnya diberikan untuk periode 25 tahun, dan dapat diperbaharui setiap 20 tahun sekali.

HGU - Hak Guna Usaha adalah hak untuk memanfaatkan lahan tersebut, memberikan
hak kepada satu pihak untuk menggunakan suatu lahan milik negara untuk tujuan
pertanian/perkebunan.7
7.
Meskipun demikian, sebagian besar lahan di Indonesia tidaklah didaftarkan di BPN. Hak
atas tanah tersebut berdasarkan hak adat atau dokumen diterbitkan oleh pejabat setempat yang
menunjukkan kepemilikan atas suatu bidang tanah, misalnya adalah tanda terima pembayaran
pajak PBB dan kontrak jual-beli tanah dan sebagainya.
8.
Dalam proposal sub-proyek, warga masyarakat dan komunitas setempat akan disebut
sebagai “para pemegang hak atas tanah”, yaitu, warga masyarakat atau sekelompok masyarakat
yang memiliki hak atas lahan, yang terkena dampak suatu sub-proyek tersebut:





PAP yang memegang hak atas tanah atau sertifikat tahan yang diterbitkan oleh kantor
BPN setempat, termasuk hak milik penuh, hak guna bangunan, hak pakai, atau hak hak
guna usaha.
PAP yang memegang dokumen yang diterbitkan oleh pejabat setempat8 yang
menunjukkan kepemilikan tanah (biasanya suatu tanda terima bayar pajak PBB,9 yang
disertai oleh dokumen lain, contohnya kontrak jual-beli tanah dan tanda terima
pembayaran layanan utilitas publik, contohnya air bersih dan listrik);
Kelompok masyarakat yang memiliki hak traditional atas tanah (hak ulayat);
Individual PAP yang memiliki hak adat atas tanah; dan
Nazhir atau pihak penerima tanah wakaf.
9.
Sesuai dengan Perpres 36/2005, semua pemegang hak atas tanah yang terkena dampak
oleh suatu sub-proyek akan berhak mendapatkan kompensasi untuk hilangnya lahan dan aset-aset
lainnya di atas tanah tersebut. Dalam proposal suatu sub-proyek, pemegang hak atas tanah adalah
juga berhak mendapatkan bantuan relokasi (jika mereka harus dipindahkan sebagai dampak dari
pembebasan lahan proyek ini) dan dukungan rehabilitasi (jika mereka menderita kehilangan
sumber mata pencaharian dan/atau cara penghidupan).
10.
Dalam suatu proposal sub-proyek, PAP yang tidak termasuk satu dari kategori dalam
paragraf diatas pada saat dilakukan sensus penduduk di daerah itu, namun mengajukan klaim
kepemilikan atas lahan atau aset tersebut (akibat, contohnya, kepemilikan yang dipindahkan atau
pendudukan suatu lahan kosong selama bertahun-tahun tanpa ada upaya pemerintah untuk
mengosongkan tanah tersebut), akan diperlakukan sebagai para pemegang hak atas tanah, sejauh
7
Hak Guna Usaha (HGU) diberikan kepada para warga Indonesia untuk periode waktu 25 sampai 35 tahun,
dan dapat diperbaharui setiap 25 tahun jika lahan tersebut dianggap telah dikelola dan digunakan dengan
baik.
8
Camat atau Lurah (perkotaan) atau Kepala Desa (pedesaan).
9
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
klaim mereka tersebut dapat dianggap sah sesuai hukum di Indonesia10 atau melalui suatu proses
yang dijelaskan di dalam rencana pemukiman kembali.
11.
PAP yang tidak memiliki hak atas lahan dan terkena dampak sub-proyek tersebut. PAP
yang menempati lahan-lahan yang diperlukan bagi pembangunan sub-proyek tersebut, namun
mereka tidak memiliki hak apapun atas tanah yang mereka tempati, akan dimasukkan ke dalam
dua kelompok:


para penyewa atau tenant, termasuk disini petani penggarap tanah dan pemanen.
penghuni lahan tidak resmi atau liar, tanpa memiliki sertifikat tanah atau klaim atas tanah
tersebut (berdasarkan suatu bukti pembayaran pajak tanah atau bukti kepemilikan
lainnya, hak adat, atau bukti lain yang sah), termasuk:
- Para penghuni liar dari suatu tanah yang dimiliki oleh perseorangan (baik dalam zona
residensial, pertanian, komersial ataupun industrial) yang tidak memiliki hak untuk
lahan tersebut, tidak membayar sewa, tidak memiliki perjanjian sewa atau bentuk sah
lainnya; dan
- Para penghuni liar dari suatu tanah negara yang tidak memiliki klaim apapun atas
tanah tersebut, namun sudah bertahun-tahun tinggal di lahan kosong tersebut, tanpa
ada upaya pemerintah untuk mengusir mereka, termasuk penghuni dari pinggir jalan,
taman kota, atau fasilitas publik dan sebagainya.
12.
Para penyewa atau tenant. Sesuai dengan UU No.20/1961 mengenai Pembatalan Hak atas
Tanah, warga yang kehilangan tempat tinggal ataupun sumber mata pencaharian akibat dari
pembatalan atas hak tanah tersebut harus mendapatkan tempat penampungan (rumah pengganti)
atau lahan pengganti.11
13.
Dalam suatu proposal sub-proyek, para penyewa yang dipindahkan tersebut, yang pada
saat dilakukan sensus penduduk terdaftar, akan dibantu menemukan rumah sewa lainnya, atau
fasilitas perumahan yang ukurannya sama dengan yang sudah mereka tinggali selama ini, yang
dapat disewa, atau disewa-beli melalui cicilan yang terjangkau.
14.
Para penghuni lahan tidak resmi (liar). Penghuni yang tidak memiliki hak atas tanah tidak
berhak mendapatkan kompensasi apapun, bantuan relokasi atau dukungan rehabilitasi sesuai
hukum di Indonesia, kecuali untuk warga masyarakat yang menempati tanah sebagai lahan
garapan dan hak pakai tanah lainnya, mereka akan berhak mendapatkan kompensasi untuk
hilangnya aset dan pekerjaan terkait ke lahan tersebut.12 Para penghuni lahan tidak resmi dan liar
yang tidak memiliki hak apapun atas suatu lahan tidak disebutkan di dalam Perpres No.36/2005
(yang telah diperbarui oleh Perpres No.65/2006) atau dalam Aturan BPN No.3/2007; meskipun
demikian, sudah dianggap biasa di kalangan pemerintah daerah atau pemerintah kota untuk
memberikan kepada mereka sejumlah kecil uang kontan untuk mendorong mereka meninggalkan
10
Sesuai Peraturan Pemerintah PP No.24/1997, seseorang yang telah menempati sebidang tanah selama
dua puluh tahun secara terus menerus berhak untuk mendapatkan hak atas tanah, atau sertifikat atas tanah
yang mereka telah tempati tersebut.
11
UU No.20/1961, Penjelasan Pasal 2.
12
UU No.20/1961, Penjelasan Pasal 2 dan Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 43 (2).
tanah kosong tersebut. Praktek ini lalu mendorong para penghuni liar tersebut untuk pindah
menempati ruang-ruang terbuka publik ataupun wilayah berbahaya, tanpa memiliki akses ke
infrastruktur dasar atau layanan hidup.
15.
Dalam suatu proposal sub-proyek, para penghuni liar yang tidak memiliki hak atas tanah,
sebagaimana dijelaskan dalam paragraf 11, berhak mendapatkan kompensasi untuk hilangnya
aset lain selain tanah tersebut, plus bantuan relokasi (jika mereka harus pindah sebagai dampak
dari pembebasan lahan untuk proyek ini) dan dukungan rehabilitasi (jika mereka kehilangan
mata pencaharian dan/atau cara penghidupannya). Para warga yang dipindahkan tanpa memiliki
hak atas tanah termasuk juga penghuni daerah berbahaya, contohnya di pinggir-pinggir jalan, di
bawah jalan toll, dan daerah publi terbuka lainnya, dimana hak atas tanah tidak dapat diberikan.
PERSIAPAN, PERSETUJUAN DAN PELAKSANAAN INSTRUMEN PEMUKIMAN KEMBALI
16.
Persiapan dan Persetujuan Instrumen Pemukiman Kembali. Pihak sub-borrower akan
mempersiapkan suatu Rencana Tindakan Pembebasan Lahan dan Pemukiman kembali (LARAP)
atau suatu dokumen LARAP yang lebih singkat (LARAP Sederhana), tergantung dari dampak
yang diantisipasi dari kegiatan pembebasan lahan untuk suatu sub-proyek, yang akan
diidentifikasi lewat Asesmen Lingkungan dan Sosial. Jika kurang dari 200 PAP diidentifikasikan
untuk harus dipindahkan, atau jika tidak satupun dari PAP tersebut kehilangan lebih daripada
20% aset produktif mereka, maka suatu dokumen LARAP Sederhana dapat disusun. Jika tidak,
maka suatu dokumen LARAP Penuh akan harus disusun. Isi dari suatu dokumen LARAP Penuh
ataupun Sederhana dijelaskan di dalam Operation Manual (OM) IIFF.
17.
Dalam kasus dimana dokumen LARAP Penuh atau LARAP Sederhana dibuat dalam
kerjasama dengan pihak pemerintah daerah, maka IIFF akan memastikan agar dokumen-dokumen
tersebut konsisten dengan panduan LARPF ini sebelum diserahkan ke IIFF untuk mendapatkan
persetujuan.
18.
IIFF akan memberikan Surat Tidak Berkeberatan (No Objection Latter/NOL) jika
LARAP tersebut telah konsisten dengan LARPF. Setelah IIFF memberikan persetujuan, maka
pihak sub-borrower tersebut akan memberikan konfirmasi tertulis bahwa mereka berkomitmen
untuk mematuhi kewajiban-kewajiban semacam itu, termasuk pengadaan anggaran yang
memadai bagi aktivitas yang menjadi tanggungjawab mereka. Proses pembebasan lahan hanya
dapat dimulai setelah dokumen LARAP disetujui oleh IIFF.
19.
Pelaksanan Instrumen Pemukiman Kembali. Selama pelaksanaan LARAP Penuh ataupun
Sederhana pihak sub-borrower akan memberikan laporan kemajuan perkembangan proyek
secara reguler ke IIFF (unit E&S). IIFF akan menerbitkan Surat Tidak Berkeberatan (NOL) untuk
pekerjaan konstruksi fisik dari sub-proyek tersebut pada saat pembebasan lahan selesai
sepenuhnya dan PAP telah menerima kompensasi sesuai dengan LARAP. Konstruksi dapat
dimulai hanya setelah PAP menerima dan menyepakati kompensasi yang ditawarkan, dan
kemudian menyerah-terimakan hak mereka atas tanah dan aset yang ada diatasnya, untuk
kepentingan proyek ini.13
13
Perpres No.36/2005, Pasal 3, paragraph 1; Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 67, paragraph 1.
PROSEDUR PEMBEBASAN LAHAN
20.
Prosedur yang harus diikuti dalam pembebasan lahan untuk kepentingan publik telah
dijelaskan dalam (1) Peraturan Presiden No.36/2005 mengenai “Penyediaan Lahan untuk
Aktivitas Pembangunan yang Menjadi Kepentingan Publik”, sebagaimana telah direvisi oleh
Peraturan Presiden No.65/2006 dan (2) Panduan Pelaksanaan No.3/2007 untuk Perpres
No.36/2005 dan Perpres No.65/2006 yang diterbitkan oleh BPN. Prosedur-prosedur tersebut
dijelaskan secara rangkumannya di bawah ini, termasuk dengan tindakan tambahan yang perlu
dilakukan dalam menanggapi proposal sub-sub proyek (tindakan tambahan akan dijelaskan dalam
paragraf yang menjorok ke dalam).
A. Definisi Area Proyek
21.
Lembaga pemerintah yang memerlukan lahan untuk sub-proyek menyerahkan proposal
proyek terlebih dahulu kepada Bupati/Walikota dimana sub-proyek tersebut berlokasi, atau ke
Gubernur Jakarta dalam kasus dimana suatu sub-proyek berada di wilayah DKI Jakarta.14 Jika
Bupati, Walikota atau Pemda DKI Jakarta tersebut memutuskan bahwa sub-proyek tersebut layak
dilaksanakan, mereka akan menerbitkan suatu “penunjukan wilayah proyek”, yang menegaskan
area tertentu untuk digunakan sebagai lokasi sub-proyek tersebut.15
B. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah
22.
Bupati/Walikota (atau Pemda DKI Jakarta) kemudian akan mendirikan Panitia
Pengadaan Tanah (P2T) untuk mempermudah urusan pembebasan lahan. P2T tersebut dipimpin
oleh Sekda dan terdiri dari para pemimpin pemerintahan setempat termasuk pula anggota dari
instansi pemerintah setempat yang relevan (misalnya, BPN, Badan Teknis yang membutuhkan
lahan tersebut, Badan Administratif, para Camat dan Lurah setempat.
C. Konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak sub-proyek dan/atau para pemegang
hak atas tanah
23.
Setelah lokasi lahan sub-proyek tersebut ditegaskan, P2T akan menjelaskan keberadaan
sub-proyek tersebut kepada anggota / kelompok masyarakat yang akan terkena dampak dan /atau
para pemegang hak atas tanah tersebut, melalu konsultasi publik, konsultasi tatap muka, dan
sosialisasi informasi melalui media yang ada.16
Tindakan atau prosedur tambahan:

Rapat-rapat konsultasi perlu diorganisir melibatkan semua tingkatan PAP (tidak
hanya para pemilik tanah). PAP akan mendapatkan informasi mengenai dampakdampak potensial proyek ini serta hak dan kewajiban-kewajiban mereka sesuai
dengan LARPF.
14
Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007, Pasal 2, sub-bagian (1); Pasal 5, sub-bagian (3).
15
Ibid, Pasal 5, sub-bagian (1) sampai (3).
16
Perpres No.36/2005, Pasal 7, sebagaimana telah direvisi oleh Perpres No.65/2006; Panduan Pelaksanaan
BPN, Pasal 8.

Kekhawatiran yang diutarakan oleh PAP selama rapat-rapat konsultasi tersebut dan
tanggapan atas usulan ataupun tindakan untuk menanggapi kekhawatiran tersebut
perlu didokumentasikan di dalam dokumen LARAP.
D. Inventarisasi lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak
24.
P2T tersebut melaksanakan suatu inventarisasi atas lahan dan aset-aset lainnya yang akan
terkena dampak sub-proyek.17 Inventarisasi lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak
tersebut dijalankan setelah rancangan sub-proyek tersebut tersedia.
Tindakan atau prosedur tambahan:



P2T tersebut akan melaksanakan inventarisasi atas lahan dan aset-aset lainnya yang
terkena dampak dengan bantuan satu konsultan proyek, jika bantuan tersebut
dibutuhkan oleh P2T.
Inventarisasi atas lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak termasuk
informasi-informasi mengenai hal-hal berikut dari setiap rumahtangga yang
kehilangan tanah atau aset mereka, yaitu: (i) berapa total ukuran dari tanah yang
terkena dampak, wilayah yang digunakan untuk sub-proyek tersebut, dan tanah sisa
lahan; (ii) bangunan yang terkena dampak, yang menunjukkan berapa persen
bangunan yang akan terkena dampak sub-proyek tersebut; status legal dari tanah
yang terkena tersebut; dan (iii) penjelasan untuk tanah yang terkena dampak itu –
apakah daerah residensial, lahan komersial, atau pertanian.
Inventarisasi tersebut akan membedakan antara tanah yang diambil seluruhnya dan
sebagian saja. Dalam hal tanah yang diambil sebagian, daftar inventaris tersebut akan
menunjukkan berapa sisa lahan yang masih ada nilainya. Dalam hal terdapat
bangunan rumah tinggal dan bisnis, maka daftar inventaris tersebut akan
menunjukkan apakah sisa lahan/gedung itu cukup untuk masih dijadikan tempat
tinggal atau tempat bekerja.
E. Identifikasi dari orang/keluarga yang harus pindah (displaced)
25.
P2T tersebut menghasilkan suatu daftar berisi nama-nama dari para pemilik tanah atau
pemegang hak atas tanah yang terkena dampak sub-proyek tersebut.18
Tindakan/prosedur tambahan

P2T akan melaksanakan suatu sensus untuk menghitung semua penghuni wilayah
yang terkena dampak, termasuk para penyewa dan penghuni yang tidak memiliki hak
atas lahan. Tanggal selesainya sensus tersebut menjadi tanggal batas waktu (cut-off
date) dalam menentukan berapa dan siapa warga masyarakat di atas lahan sub-proyek
tersebut yang akan berhak mendapatkan kompensasi, bantuan rehabilitasi dan
17
Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007, Pasal 20 sampai 24.
18
Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007, Pasal 20 sampai 24.




dukungan rehabilitasi. Para pendatang yang tidak memiliki hak atas tanah
dikecualikan dari program ganti rugi ini.
Sensus terhadap penduduk yang akan dipindahkan dijalankan dengan bantuan satu
konsultan proyek, jika bantuan tersebut memang diperlukan oleh P2T.
Sensus penduduk tersebut mengidentifikasi orang/keluarga yang harus dipindahkan
ke lokasi lain, dan dibeda-bedakan antara:
- PAP yang harus pindah secara permanen dan PAP yang harus pindah sementara
waktu saja; dan
- PAP yang dapat membangun rumah baru dengan sisa tanah yang masih ada, dan
PAP yang harus pindah lokasi baru lain karena tanah sisa mereka tidak lagi
memungkinkan untuk membangun rumah baru.
Sensus penduduk tersebut juga mengidentifikasi warga masyarakat atau rumahtangga
yang harus dipindahkan itu yang kehilangan lebih daripada 20% aset produktif
mereka (aset yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan).
Satu studi sosial-ekonomi perlu dilaksanakan, mencakup semua warga/rumah tangga
yang terkena (PAP/PAHs) yang kehilangan lebih daripada 20% aset produktif
mereka tersebut dan/atau yang terpaksa pindah ke lokasi lain. Dalam kasus tersebut,
relokasi warga setempat ini dapat berdampak pada peluang mereka mendapatkan
penghasilan dan penghidupan bagi orang-orang yang terpaksa pindah ini, dan dengan
demikian perlu mengumpulkan data dasar kondisi sosial-ekonomi sebelum
dipindahkan, termasuk data pendapatan, sumber penghasilan dan kondisi
kesejahteraan, apabila dipandang perlu. Survei ini akan menghasilkan suatu data
“baseline” atau dasar dari kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat sebelum
pelaksanaan sub-proyek tersebut. Kemajuan dari pelaksanaan langkah dan upaya
pengembalian penghasilan atau penghidupan ini nantinya akan diawasi dan
dibandingkan dengan data baseline yang dihasilkan oleh survei tersebut.19
F. Diseminasi informasi bagi warga masyarakat dan aset yang terkena imbas proyek
26.
Daftar berisi aset-aset yang akan terkena imbas proyek dan para pemilik dari aset-aset
tersebut akan diumumkan di kantor desa atau kantor kecamatan / walikota, dan di website selama
7 hari dan/atau dalam dua koran lokal, agar dapat memberi tahu para pihak yang akan terkena
dampak untuk menyampaikan keberatan-keberatan mereka.20
Tindakan/prosedur tambahan:

19
Hasil dari pendaftaran nama warga masyarakat serta aset mereka yang terkena imbas
proyek dipajang selama 30 hari di kantor kelurahan untuk wilayah perkotaan dan
kantor desa untuk wilayah pedesaan) agar para warga masyarakat yang terkena imbas
proyek dapat mengajukan keberatan-keberatan mereka. Jika warga masyarakat yang
Survei tersebut harus memungkinkan dilakukannya asesmen atau penilaian atas dampak dari pembebasan
lahan dan/atau relokasi penduduk pada pola-pola kegiatan ekonomi dan sosial penduduk yang akan
dipindahkan (PAP), termasuk dampak pada jejaring sosial dan sistem pendukung sosial mereka. Survei
tersebut harus menghasilkan semua informasi yang penting yang nantinya akan dipakai untuk memantau
kemajuan dari program rehabilitasi sepenuhnya dari para warga dan keluarga-keluarga yang terpaksa
dipindahkan.
20
Panduan Pelaksanaan BPN No 3/2007, Pasal 23 (3).
terkena imbas proyek tersebut menyatakan keberatan selama masa tersebut, maka
prosedur penanganan keluhan akan diaktifkan (lihat paragraf 33 dan 38).
G. Penilaian atas lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak
27.
Penilaian atas lahan. Nilai dari lahan yang terkena dampak ditentukan melalui bantuan
satu Lembaga Apraisal Nilai Tanah21 yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota atau Pemda DKI
Jakarta. Dalam kasus dimana tidak ada Lembaga Apraisal Nilai Tanah di kota atau kabupaten
tersebut, dimana proyek ini berlokasi, atau di kota-kota sekitarnya, maka Bupati/Walikota atau
Pemda DKI Jakarta akan membentuk suatu “Tim Penilai Harga Lahan” (LAT), yang menilai
harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau dengan cara melihat berapa NJOP
tanah di wilayah tersebut pada tahun tersebut. Tim LAT ini dapat juga mempertimbangkan faktor
lain yang mempengaruhi harga lahan, misalnya lokasinya.22
Tindakan/prosedur tambahan:

Nilai dari lahan yang terkena dampak akan ditentukan oleh satu Lembaga Apraisal
Nilai Tanah atau seorang penilai tanah berlisensi.
28.
Penilaian harga bangunan dan obyek lain terkait ke lahan tersebut. Penilaian harga
bangunan dan obyek lainnya terkait ke lahan (termasuk pepohonan dan tanaman) akan dilakukan
oleh kantor pemerintah di Kabupaten atau Kotamadya yang bertanggungjawab atas gedung,
tanaman dan obyek lainnya terkait ke lahan tersebut, berdasarkan standar harga yang telah
dijelaskan dalam undang-undang yang berlaku.23
Tindakan/prosedur tambahan:

Bangunan dan obyek lainnya terkait ke lahan tersebut akan diberi suatu “biaya
penggantian” (“replacement cost”), yaitu, harga pasar dari bahan bangunan yang
digunakan untuk membangun suatu bangunan pengganti di tempat dan dengan
kualitas yang sama dengan bangunan yang akan terkena dampak sub-proyek tersebut,
atau biaya untuk mengganti sebagian bangunan yang akan terkena dampak, ditambah
biaya transportasi bahan bangunan ke lokasi pembangunan gedung pengganti
tersebut, ditambah biaya tukang, buruh dan biaya kontraktor lainnya. Dalam
menerapkan metode valuasi semacam ini, depresiasi aset dan bangunan tidaklah
dimasukkan ke dalam penghitungan.
“Lembaga Apraisal Nilai Tanah” dijelaskan di dalam Pasal 1 Panduan Pelaksanaan BPN No 3/2007
sebagai “lembaga profesional dan independen yang memiliki ketrampilan dan kemampuan menilai harga
tanah”. Pasal 25, sub-bagian 2, pada Panduan yang sama, juga menjelaskan bahwa Lembaga Apraisal Nilai
Tanah tersebut haruslah terdaftar di BPN.
21
22
Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 26, sub-bagian (1); Pasal 28.
23
Ibid, Pasal 29.
H. Kompensasi
29.
Musyawarah mengenai kompensasi. hasil dari valuasi / penilaian tersebut akan
diserahkan ke P2T dan digunakan sebagai dasar dalam musyawarah mengenai bentuk dan / atau
jumlah kompensasi antara lembaga pemerintah yang memerlukan lahan tersebut dan pemilik
lahan yang terkena dampak.24 Musyawarah dilakukan “secara langsung dan kolektif” antara
lembaga pemerintah dan pemilik lahan.25 Jika jumlah pemilik lahannya banyak sekali sehingga
tidak memungkinkan untuk dilakukan musyawarah secara langsung, maka musyawarah dapat
dilakukan secara bertahap.26 Proses musyawarah dapat makan waktu sampai 120 hari kalender.27
Tindakan/prosedur tambahan:


Sebelum memulai musyawarah mengenai bentuk dan/atau jumlah kompensasi yang
akan dibayarkan, P2T akan membagikan dulu hasil penilaian yang dijalankan oleh
Lembaga Apraisal Nilai Tanah atau penilai tanah yang berijin tersebut, kepada para
pemilik lahan-lahan yang terkena dampak.
Dalam kasus dimana sebuah sub-proyek terpaksa memindahkan warga masyarakat
yang penghidupannya berdasarkan atas sumberdaya lahan, maka warga masyarakat
tersebut akan ditawari lahan pengganti apabila memungkinkan.
30.
Pembayaran atau Tawaran Kompensasi. Setelah akhir periode musyawarah, lembaga
pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut mengajukan tawaran kompensasi atau pembayaran
kompensasi , dan ini dilakukan dalam suatu laporan resmi. Jika kompensasi tersebut akan
diberikan dalam bentuk uang, P2T akan memerintahkan lembaga yang membutuhkan lahan
tersebut untuk membayar kompensasi dalam waktu paling lambat 60 hari sejak tanggal keputusan
P2T Lahan yang menyebutkan bentuk dan jumlah ganti ruginya.28 Undangan menerima
pembayaran kompensasi haruslah sudah diterima oleh para pemilik tanah paling tidak 3 hari
sebelum tanggal pembayaran.29 Jika kompensasi dibagikan dalam bentuk bukan uang, maka
penentuan waktu pemberian kompensasi akan disepakati bersama dengan para pemilik dan
lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut. Warga masyarakat yang kehilangan
24
Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 30 dan 31.
25
Ibid, Pasal 32, sub-bagian (1). Jika ada hak tanah kolektif yang terkena dampak, maka keputusan diambil
harus juga melibatkan semua pemegang hak di dalam kepemilikan kolektif tersebut; dan jika suatu tanah
atau bangunan wakaf terkena dampaknya, keputusan diambil bersama pihak yang disebutkan di dalam UU
No.41/2004 mengenai wakaf (Pasal 32, sub-bagian (2). Wakif didefinisikan di dalam Pasal 1, sub-bagian
(1) dari UU No.41/2004 sebagai tindakan legal seorang Wakif (donatur) dalam membagi dan/atau
menyerahkan hak sebagian dari kekayaannya, baik secara permanen ataupun untuk waktu tertentu, bagi
tujuan aktivitas keagamaan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan hukum islam Syar’iyah.
26
Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 33.
27
Ibid, Pasal 37, sub-bagian (1).
28
Ibid, Pasal 40 dan 44.
29
Ibid, Pasal 44.
tanah atau aset-aset lainnya haruslah mendapatkan kompensasi sebelum tanah atau aset lainnya
tersebut diambil alih untuk keperluan pembangunan sub-proyek tersebut.
31.
Bentuk-bentuk Kompensasi. Kompensasi atau ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk
(1) uang kontan; (2) lahan pengganti dan/atau gedung pengganti; (3) pemukiman kembali warga
yang terkena proyek; atau (4) suatu kombinasi satu atau lebih metode kompensasi yang
sebelumnya dijelaskan disini.30 Kompensasi dalam bentuk lahan pengganti dan/atau gedung
pengganti akan diberikan sesuai permintaan si pemilik dan sebagaimana disetujui oleh lembaga
pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut.31
Tindakan/prosedur tambahan:



Jika lahan pengganti memang ditawarkan, lahan tersebut harus setara atau lebih
tinggi nilainya, dengan pertimbangan faktor antara lain ukuran, lokasi, potensi, dll.
Dalam kasus dimana satu sub-proyek memindahkan warga masyarakat yang cara
penghidupannya bergantung pada sumberdaya lahan, warga masyarakat semacam itu
akan harus ditawari lahan pengganti apabila memungkinkan. Pengadaan ganti rugi
uang kontan untuk jenis warga seperti ini tidak cocok diterapkan, kecuali dalam
kasus dimana lahan yang diambil untuk proyek ini hanya sebagian kecil (kurang dari
20%) dari keseluruhan lahan produktif, dan sisa lahan yang ada masih dapat diolah
secara ekonomis, atau ada cadangan lahan yang luas di dekat lahan sub-proyek
tersebut dan memungkinkan untuk melakukan pertukaran lahan.
Jika tidak mungkin menawarkan lahan pengganti bagi warga masyarakat yang cara
penghidupannya bergantung pada sumberdaya lahan dan yang akan kehilangan lebih
daripada 20% aset produktif mereka, maka prosedur yang telah dijelaskan di paragraf
37 akan dijalankan.
32.
Dalam kasus tanah/bangunan wakaf (yaitu yang hak kepemilikannya didonasikan untuk
tujuan agamis atau sosial dan dikelola oleh satu trust) maka kompensasi akan disediakan dalam
bentuk lahan pengganti dan/atau gedung dan/atau fasilitas pengganti yang paling tidak nilainya
sama dengan properti yang diwakafkan tersebut.32 Dalam kasus dimana tanah ulayat (lahan
dimana satu masyarakat adat memiliki hak secara turun-temurun) akan terkena dampak suatu subproyek, maka kompensasi yang ditawarkan akan dalam bentuk fasilitas publik atau fasilitas lain
yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak sub-proyek.33
Tindakan/prosedur tambahan:

Masyarakat yang terkena dampak oleh hilangnya lahan yang menjadi bagian dari
suatu tanah ulayat akan ditawari kompensasi berdasarkan konsultasi / pembicaraan
30
Perpres 65/2006, Pasal 13 ; Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 45.
31
Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 45 (a).
32
Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 45 (b).
33
Ibid, Pasal 45 (c).
dengan para pemuka masyarakat tersebut, dan kompensasinya dapat berupa fasilitas
publik, lahan pengganti atau uang kontan, tergantung dari yang mereka kehendaki.
33.
Prosedur penanganan keluhan. Pemilik lahan yang merasa keberatan dengan keputusan
P2T dalam hal bentuk dan/atau jumlah uang kompensasi akan diberi kesempatan mengajukan
keberatan-keberatan mereka kepada Bupati/Walikota atau Pemda DKI Jakarta atau ke Menteri
Dalam Negeri, selama periode waktu 14 hari, setelah dikeluarkannya keputusan P2T tersebut.
Pihak-pihak yang berwenang tersebut harus membuat keputusan mengenai keberatan tersebut
dalam waktu 30 hari dan menjawab atau mengubah bentuk dan/atau jumlah dari uang
kompensasinya.34
I. Prosedur jika Negosiasi Gagal
34.
Jika para pemilik tanah tidak sepakat dan tidak mau melepaskan hal atas tanah mereka,
dan lokasi sub-proyek tersebut tidak dapat digeser, maka P2T akan mengusulkan kepada
Bupati/Walikota atau Pemda DKI Jakarta untuk menerapkan UU No.20/1961 (Pembatalan Hak
atas Tanah dan Obyek yang berdiri di atasnya).35 Jika pihak yang berwenang ataupun Menteri
Dalam Negeri memutuskan untuk memecahkan masalah ketidaksepakatan tersebut dengan cara
membatalkan hak atas tanah atas dasar UU No.20/1961,36 maka P2T akan mengeluarkan
keputusan mengenai bentuk dan/atau jumlah kompensasi yang akan dibayarkan dan
memerintahkan kepada lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut untuk
membayarkan kompensasi tersebut lewat Pengadilan Negeri yang wilayah yurisdiksinya
mencakup lokasi tanah proyek yang akan digunakan untuk kepentingan publik tersebut.37 Proyek
hanya dapat dimulai setelah dana kompensasi telah diserahkan (dikonsinyasikan) lewat
Pengadilan Negeri setempat dan Bupati/Walikota setempat telah mengeluarkan putusan
pelaksanaan pembangunan fisik.38
Tindakan/prosedur tambahan:

Jika para pemilik tanah yang terkena dampak suatu sub-proyek tidak juga sepakat
untuk melepaskan hak tanah mereka, maka sub-proyek tersebut akan dikeluarkan dari
program pembiayaan proyek IIFF ini.
J. Pengecualian dalam hal pembebasan lahan skala kecil
35.
Prosedur yang dijelaskan di atas tidak akan berlaku apabila sub-proyek hanya
membutuhkan lahan seluas satu hektar atau kurang. Dalam kasus tersebut, lahan haruslah dibeli
34
Ibid, Pasal 41.
35
Ibid, Pasal 19.
36
Ibid, Pasal 41 dan 42.
37
Ibid, Pasal 38 dan 40.
38
Ibid, Pasal 67.
secara langsung dari pemiliknya melalui suatu pembelian, penjualan, atau metode lain yang
disetujui oleh lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan dan pemilik lahan, tanpa bantuan
P2T.39
PROSEDUR DALAM KASUS DIMANA RELOKASI PERLU DILAKUKAN
36.
Kompensasi untuk kerugian-kerugian terkait ke akuisisi lahan untuk suatu sub-proyek
dapat diberikan dalam bentuk pemukiman kembali atau relokasi.40
Tindakan/prosedur tambahan:

Jika suatu sub-proyek memaksa warga setempat untuk pindah ke lokasi lain, maka
dokumen LARAP akan memasukkan pula suatu rencana relokasi warga.
Prosedur dalam hal relokasi sekelompok warga:




Para warga yang dipindahkan mungkin dapat ditawarkan tempat relokasi yang sudah
jadi berupa perumahan murah, yaitu perumahan yang disediakan lewat fasilitas kredit
dari Bank Tabungan Negara (BTN), atau skema lainnya yang diorganisir di tingkat
pemerintahan yang tepat. Para warga yang dipindahkan tersebut dapat juga
membentuk koperasi perumahan untuk membangun sendiri rumah mereka, dibantu
oleh pemerintah daerah atau lembaga pemerintah yang mensponsori proyek ini, yaitu
proyek yang menjadi kepentingan publik, yang telah mengakibakan terjadinya
relokasi warga setempat ini.
Tempat relokasi haruslah dipilih setelah melalui konsultasi dengan para warga yang
dipindahkan dan masyarakat tuan rumah, apabila memungkinkan. Para warga yang
dipindahkan haruslah:
- Diberikan informasi yang lengkap mengenai lokasi pemukiman kembali yang
telah dipilih, termasuk apa saja fasilitas dan infrastruktur yang tersedia, dan hasil
dari konsultasi yang dijalankan dengan masyarakat tuan rumah, jika ada.
- Diberitahu mengenai tanggal siapnya lokasi pemukiman kembali tersebut paling
tidak satu bulan sebelum pemindahan warga ini, dan sebelumnya mereka juga
haruslah diundang untuk melihat-lihat lokasi yang baru tersebut.
Karakteristik dan lokasi dari perumahan tersebut paling tidak haruslah setara dengan
kondisi di tempat perumahan yang lama
Lokasi pemukiman kembali harus memiliki infrastruktur dasar, contohnya jalan
masuk (atau jalur pejalan kaki apabila dipandang perlu), listrik, sistem saluran air dan
pasokan air bersih. Jika tidak tersedia jaringan distribusi pipa air bersih, haruslah ada
sumur-sumur yang sesuai dengan standar kesehatan setempat. Para warga yang
dipindahkan juga perlu mendapatkan akses memadai ke layanan transportasi publik,
layanan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak, pekerjaan, peluang kerja, layanan
39
Pasal 20 dalam Perpres No.36/2005 dan Pasal 54 dari Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007.
40
Pasal 13 dalam Perpres No.65/2006; Pasal 45 (a) dari Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007.


keagamaan, dan fasilitas olahraga, sesuai dengan ukuran yang berlaku di masyarakat
yang menerima mereka.
Dokumen LARAP memasukkan pula informasi mengenai penentuan waktu pindah,
urusan logistik dan transportasi publik untuk warga dan barang mereka, serta
pengaturan tempat bernaung sementara, bila perlu.
Para warga yang dipindahkan menerima sertifikat tanah di lokasi yang baru, dan
mereka tidak boleh dibebani biaya untuk mendapatkannya. Sertifikat tanah tersebut
haruslah sesuai atau lebih tinggi tingkat tenure security-nya (apabila memungkinkan)
daripada di lokasi yang lama. Hak atas tanah atau sertifikat tanah tersebut harus
sudah diterbitkan 6 bulan sejak tanggal pemindahan tersebut.
Prosedur dalam kasus dimana rumahtangga dan keluarga yang dipindahkan
bertanggungjawab sendiri untuk relokasi itu:


Kompensasi uang tunai akan diberikan kepada para warga yang akan pindah sendiri
tersebut sebelum mereka pindah.
Para warga yang dipindahkan akan menerima juga tunjangan pindah, untuk menutup
biaya perpindahan ke tempat yang baru tersebut. Pembayaran tunjangan relokasi
tersebut harus didokumentasikan di dalam LARAP.
PROSEDUR DALAM HAL DAMPAK EKONOMI PEMINDAHAN WARGA INI
37.
Peraturan di Indonesia tidak mengatur dampak ekonomis dari pemindahan warga ini,
yaitu, hilangnya sumber penghasilan atau penghidupan warga.
Tindakan/prosedur tambahan:

41
Suatu survei sosio-ekonomi akan dilakukan jika beberapa dari warga masyarakat atau
rumahtangga yang harus dipindahkan itu kehilangan lebih daripada 20% aset
produktif mereka. Semua warga masyarakat /rumahtangga yang terkena imbas
proyek haruslah diidentifikasi melalui suatu sensus; namun survei sosio-ekonomi
tersebut haruslah lebih difokuskan pada orang/keluarga yang akan kehilangan lebih
daripada 20% aset produktif mereka bila pindah ke lokasi lain. Dalam kasus tersebut,
relokasi warga setempat ini dapat berdampak besar pada peluang mereka
mendapatkan penghasilan dan tingkat penghidupan orang-orang yang terpaksa
pindah ini, yang membuat perlu untuk mengumpulkan data dasar mengenai kondisi
sosial-ekonomi mereka sebelum dipindahkan. Survei ini akan membentuk data dasar
atau “baseline” yang menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi mereka saat ini,
sebelum sub-proyek tersebut dilaksanakan. Kemajuan dari pelaksanaan suatu
pemulihan mata pencaharian atau tingkat penghidupan tersebut akan diawasi dan
dibandingkan dengan informasi dasar yang dihasilkan oleh survei tersebut.41
Survei tersebut harus melakukan asesmen atau penilaian atas dampak dari pembebasan lahan dan/atau
relokasi penduduk pada pola-pola kegiatan ekonomi dan sosial penduduk yang dipindahkan (PAP),
termasuk dampak pada jejaring sosial dan sistem pendukung sosial mereka. Survei tersebut harus
menghasilkan semua informasi yang perlu dalam melakukan pemantauan kemajuan program rehabilitasi
sepenuhnya dari keluarga/rumahtangga yang dipindahkan.




Para warga yang dipindahkan yang cara penghidupannya bergantung pada
sumberdaya lahan berhak mendapatkan dukungan rehabilitasi jika kondisi-kondisi
berikut ini dijumpai di lapangan: (1) ganti rugi uang kontan untuk lahan tidak cocok
diterapkan (lihat paragraf 31); (2) tidak mungkin menawarkan lahan pengganti; dan
(3) 20% atau lebih dari aset produktif milik para warga yang dipindahkan tersebut
terkena dampak.
Para warga yang dipindahkan yang cara penghidupannya tidak tergantung pada
lahan, namun kehilangan pekerjaan atau sarana penghidupan mereka sebagai dampak
dari relokasi warga setempat ini, berhak mendapatkan dukungan rehabilitasi sehingga
mereka akan dapat menemukan pekerjaan alternatif ataupun sarana penghidupan
lainnya di tempat baru.
Dukungan rehabilitasi harus dapat memampukan para warga yang dipindahkan
tersebut untuk meningkatkan atau paling tidak mengembalikan tingkat pendapatan
mereka dan/atau cara penghidupannya. Bantuan rehabilitasi disediakan secara paralel
dengan fase konstruksi dan implementasi sub-proyek dan dapat berupa tawaran
pekerjaan, pelatihan ketrampilan dan keahlian khusus, uang tunjangan dalam masa
transisi, bantuan dana untuk memulai bisnis sendiri, kredit, dll., selain dari
kompensasi uang kontan untuk lahan dan aset-aset lainnya yang hilang.
Durasi dari program rehabilitasi haruslah dijelaskan di dalam dokumen LARAP.
PROSEDUR PENANGANAN KELUHAN
38.
Keluhan berkaitan dengan jumlah dan bentuk kompensasi akan ditangani sesuai dengan
prosedur yang telah dijelaskan di paragraf 33 di atas. Keluhan berkaitan dengan aspek lain dari
LARAP akan diarahkan ke bagian-bagian yang sesuai, yaitu: (1) unit perencana (BAPPEDA) dari
pemkot atau pemkab setempat; (2) manajer sub-proyek tersebut; atau (3) tim pemantau setempat
(lihat bagian Pemantauan & evaluasi di bawah). Penerima keluhan akan menyelidiki keluhan
tersebut dan memberikan tanggapan dalam waktu 14 hari.
PENGATURAN ORGANISASIO, PENDANAAN DAN PEMANTAUAN
39.
Pengaturan organisasi. Dalam hal dimana klien IIFF (sub-borrower) yang menyusun
dokumen LARAP, maka IIFF akan perlu memastikan agar pihak sub-borrower sebagai pelaksana
sub-proyek infrastruktur akan menyusun dan melaksanakan dokumen LARAP secara konsisten.
Sama halnya, pihak sub-borrower akan bertanggungjawab memastikan agar pemerintah daerah
menyusun dan melaksanakan dokumen LARAP, dengan bantuan dari satu konsultan sub-proyek
apabila perlu. Pihak sub-borrower tersebut akan harus bekerja dengan unit-unit di pemerintah
daerah (contohnya BAPPEDA sebagai badan perencanaan pembangunan daerah) yang akan
memiliki tanggungjawab sebagaimana berikut: mengkoordinasikan semua aspek-aspek LARAP,
termasuk aktivitas konsultasi dengan masyarakat, pembebasan lahan dan aset-aset lainnya,
bantuan relokasi dan dukungan bagi rehabilitasi; memfasilitasi komunikasi dengan para
pemangku kepentingan proyek ini; mengorganisir rapat-rapat untuk mengkoordinasikan aktivitas
terkait ke LARAP dan mengevaluasi pelaksanaannya; dan memberikan laporan kemajuan proyek
secara teratur kepada pihak sub-borrower tersebut mengenai pelaksanaan LARAP. Pihak subborrower akan melaporkan status dan kemajuan pelaksanaan LARAP ke unit E&S dari IIFF.
40.
Satu lembaga independen dapat dipekerjakan oleh IIFF guna melaksanakan pemantauan
dan penilaian secara periodik atas pelaksanaan LARAP sebagaimana disusun oleh pemerintah
daerah dan pihak sub-borrower tersebut.
41.
World Bank mungkin dapat melaksanakan inspeksi ke lokasi kandidat sub-proyek dengan
memberitahukannya kepada IIFF sebelumnya, meskipun inspeksi semacam ini dapat pula
dilakukan secara independen. Pihak World Bank akan mendiskusikan hasil inspeksi dengan
badan pemerintah daerah terkait, pihak sub-borrower untuk sub-proyek tersebut dan dengan IIFF.
42.
Hal-hal tambahan mengenai pengaturan organisasion akan dikembangkan sebagai bagian
dari Operation Manual IIFF.
43.
Pendanaan. Biaya pembebasan lahan akan ditanggung oleh lembaga pemerintah yang
membutuhkan lahan tersebut atau oleh pihak sub-borrower. Hal ini termasuk pula biaya
pengukuran dan pemetaan lahan, pembayaran uang kompensasi ke pemilik lahan, fee untuk
komite LPC, fee untuk Lembaga Penilaian Tanah atau Tim Penilaian Harga Tanah; biaya
penerbitan sertifikat tanah; dan biaya-biaya koordinasi dan pemantauan.42
PEMANTAUAN & EVALUASI
44.
Pemantauan dan pelaporan secara internal. Pemantauan dan pelaporan secara internal
mengenai pelaksanaan LARAP Penuh dan Sederhana akan dilaksanakan oleh unit E&S
(lingkungan dan sosial) dengan bantuan konsultan independen, apabila perlu.
45.
Laporan pemantauan akan dibuat oleh unit E&S setiap bulannya dan dibagikan dengan
unit-unit lain dalam IIFF, contohnya unit disbursement dan unit teknis. Laporan ini akan
termasuk pula informasi mengenai status dan tingkat kepatuhan pelaksanaan LARAP.
46.
Informasi dasar (baseline) mengenai aset dan warga masyarakat yang terkena imbas
proyek yang termasuk di dalam dokumen LARAP akan digunakan untuk menilai tingkat
kemajuan pelaksanaan LARAP dan mengevaluasi efektivitas dari program kompensasi, bantuan
dan dukungan yang ditawarkan kepada warga masyarakat yang terkena imbas proyek.
47.
Pemantauan & Evaluasi Eksternal. IIFF akan melaksanakan suatu pemantauan & evaluasi
eksternal atas semua portfolio sub-proyek setiap tahunnya. Aktivitas ini akan dijalankan oleh satu
konsultan independen untuk menilai kecukupan kompensasi yang diberikan dan menentukan
apakah langkah-langkah yang sudah dilaksanakan sebagai bagian dari LARAP telah
memungkinkan PAP untuk paling tidak memulihkan tingkat kehidupan penghidupan mereka atau
apakah mereka masih menghadapi masalah yang membutuhkan bantuan tambahan lagi. Anggaran
untuk Pemantauan & Evaluasi Eksternal ini akan ditanggung oleh IIFF.
42
Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 53.
Lampiran 2 : Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Asli Daerah (IPPF)
OBJECTIVE
4.
Tujuan dari dokumen Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Asli Daerah (Indigenous
Peoples Policy Framework/IPPF) ini adalah untuk memperjelas prinsip-prinsip, prosedur dan
pengaturan organisasional yang akan diterapkan ke Masyarakat Asli Daerah (IP) dalam kaitan ke
suatu sub-proyek yang didanai IIFF. IPFF memberikan panduan bagi IIFF guna memastikan agar
sub-proyek yang didanai oleh IIFF memenuhi persyaratan Kebijakan World Bank mengenai IP.
IPPF akan memandu IIFF dalam memastikan agar sub-borrower mempersiapkan suatu Rencana
Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples Plan/IPP) untuk sub-proyek yang sedang
dipertimbangkan untuk diberikan pembiayaan oleh IIFF sesuai dengan kebijakan pihak World
Bank. Dokumen IPPF ini akan dijelaskan secara terinci dalam dokumen OM IIFF, untuk:


Memandu IIFF dalam memastikan agar semua sub-sub proyek yang melibatkan IP
memiliki tingkat kepatuhan terhadap IPPF, dan
Memandu pihak sub-borrower tersebut dalam menyusun dan melaksanakan IPP.
PRINSIP-PRINSIP UTAMA
5.
Prinsip-prinsip utama ini akan membimbing persiapan dan implementasi dari suatu subproyek yang berdampak pada IP:




Selalu hindari dampak yang merugikan pada masyarakat kelompok IP
Jika penghindaran tidak lagi dimungkinkan, maka minimalkan, lakukan mitigasi, atau
berikan ganti rugi untuk dampak tersebut
Rancang sub-proyek yang berdampak pada IP agar memastikan kelompok IP
menerima manfaat sosial dan ekonomi yang secara budaya tepat bagi mereka, dengan
memasukkan nilai-nilai jender dan antar generasi yang tepat pula
Libatkan kelompok IP yang akan terkena dampak ini dalam proses pembuatan
keputusan mengenai lahan untuk sub-proyek.
DEFINISI IP (MASYARAKAT ASLI DAERAH)
6.
Definisi IP yang digunakan dalam kerangka kerja ini adalah suatu pengertian generik
yang mengacu ke suatu kelompok budaya, sosial, tertentu dan rentan, yang memiliki sifat-sifat
berikut ini, dalam tingkatan yang berbeda-beda:

Adanya identifikasi diri sendiri sebagai anggota dari satu kelompok budaya asli yang
berbeda, dan kelompok lain pun mengakui identitas tersebut;



Secara kolektif kelompok ini tergantung pada suatu habitat lingkungan tertentu, dan
wilayah budaya turun-temurun, dan sumber daya alam yang ada di dalam habitat dan
wilayah tersebut.
Memiliki kelembagaan budaya, ekonomi, sosial ataupun politis yang terpisah dari
masyarakat mayoritas, dan budaya mayoritas, serta
Menggunakan satu bahasa asli yang mereka gunakan sendiri, berbeda dengan bahasa
resmi yang digunakan di negara atau wilayah tersebut.
DAMPAK POTENSIAL ATAS IP
7.
Mengingat kemungkinan keragaman jenis-jenis infrastruktur dari sub-proyek dan lokasii
proyek yang bisa ditentukan di manapun di negara ini, semua kemungkinan ini dapat
mempengaruhi IP baik secara positif yaitu memberikan manfaat peningkatan kondisi sosial dan
ekonomi bagi para kelompok IP dan/atau mendatangkan dampak negatif bagi IP. Jenis, ukuran,
cakupan, dan lokasi dari dampak serta langkah-langkah mitigasi yang perlu untuk menangani
dampak negatif tersebut akan diidentifikasi selama persiapan sub-proyek tersebut oleh pihak subborrower.
ASESMEN SOSIAL
8.
Dalam hal dimana IP memang ada, atau mempunyai suatu keterkaitan kolektif ke area
dimana suatu sub-proyek akan dilakukan, maka IIFF perlu memastikan agar pihak sub-borrower
melakukan dulu suatu asesmen sosial (social assessment/SA) guna mengevaluasi potensi dampak
negatif dan positif dari sub-proyek tersebut terhadap IP, dan meneliti alternatif-alternatif ataupun
langkah-langkah yang mungkin dilakukan sub-proyek tersebut jika dampak negatifnya cukup
signifikan. Kajian SA tersebut akan harus dilakukan melalui konsultasi yang bebas dan
konstruktif dengan IP yang akan terkena dampak.
9.
Guna melaksanakan kajian SA tersebut, pihak sub-borrower perlu melibatkan para
ilmuwan sosial yang memiliki kualifikasi, pengalaman dan dipekerjakan dengan kerangka acuan
(terms of reference) yang dapat diterima oleh IIFF dan disetujui oleh pihak World Bank.
10.
IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower harus menyusun suatu laporan SA
yang memasukkan elemen-elemen berikut ini, apabila diperlukan, dan yang rinciannya telah
dimasukkan ke dalam OM IIFF:

Suatu kajian, dalam skala yang disesuaikan dengan proyek ini, mulai dari kajian legal
dan kerangka kerja kelembagaan yang dapat diterapkan ke Masyarakat Asli Daerah.

Pengumpulan informasi dasar (baseline) mengenai karakteristik demografis, sosial,
budaya, dan politik dari Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, lahan dan
wilayah yang secara turun-temurun telah mereka miliki atau gunakan secara adat,
atau kuasai, dan sumber-sumber alam yang menjadi ketergantungan masyarakat ini.

Penggunaan hasil kajian dan informasi baseline sebagai bahan pertimbangan,
identifikasi dari pemangku kepentingan sub-proyek utama dan keterlibatan proses
budaya yang tepat dalam melakukan konsultasi dengan Masyarakat Asli Daerah di
setiap tahapan dalam persiapan dan pelaksanaan suatu sub-proyek (lihat paragraf 9
dari kebijakan ini).

Suatu asesmen, berdasarkan konsultasi yang bebas dan konstruktif dengan kelompok
Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, perlu dilakukan untuk menghitung
potensi dampak positif dan negatif dari sub-proyek ini. Terutama yang sangat penting
adalah potensi dampak merugikan sebagai suatu analisa kerentanan dan resiko bagi
kelompok Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, mengingat kondisi dan
situasi kehidupan mereka yang turun-temurun telah terikat dengan lahan dan sumbersumber alamnya, sebagaimana juga kurangnya akses yang mereka miliki,
dibandingkan dengan kelompok-kelompok sosial di tempat lain, atau di perkotaan,
atau dibandingkan dengan mayoritas kelompok di negara ini.

Identifikasi dan evaluasi tersebut, yang dibuat berdasarkan konsultasi yang bebas dan
konstruktif dengan kelompok Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, juga
menunjukkan langkah-langkah yang dapat diambil untuk menghindari dampak
negatif tersebut. Atau jika langkah-langkah tersebut tidak mungkin dilakukan, perlu
suatu identifikasi langkah-langkah untuk meminimalisir, memitigasi, atau
menawarkan suatu ganti rugi untuk dampak semacam itu, dan perlu memastikan agar
Masyarakat Asli Daerah tersebut menerima manfaat yang tepat secara budaya
mereka, dari sub-proyek tersebut.
RENCANA MASYARAKAT ASLI DAERAH (INDIGENOUS PEOPLES PLAN/IPP)
11.
Dalam hal dimana suatu sub-proyek berdampak negatif pada suatu kelompok IP yang
teridentifikasi, maka IIFF akan memastikan agar pihak sub-borrower mempersiapkan suatu
Rencana Masyarakat Asli Daerah (IPP) yang dapat diterima, yang dibuat atas dasar asesmen
sosial dan konsultasi dengan kelompok IP yang akan terkena dampak tersebut. Pihak subborrower akan mengintegrasikan IPP tersebut ke dalam rancang-bangun sub-proyek tersebut.
Dokumen IPP juga harus ikut disetujui oleh pihak World Bank.
12.
Dalam kasus dimana kelompok IP ini menjadi satu-satunya kelompok, atau mayoritas
kelompok yang mendapatkan manfaat langsung dari hasil sub-proyek tersebut, maka IIFF perlu
memastikan agar elemen-elemen dari IPP sudah termasuk di dalam keseluruhan rancang-bangun
dari sub-sub proyek tersebut, dan dengan demikian, suatu IPP terpisah tidaklah diperlukan.
13.
IPP dipersiapkan dalam suatu cara yang fleksibel dan pragmatis, dan dengan tingkat
rincian yang tergantung dari sifat khusus atau karakter suatu sub-proyek dan dampak yang perlu
ditangani. IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower tersebut menyusun suatu dokumen
IPP yang memasukkan elemen-elemen berikut ini, apabila diperlukan (rincian lebih lanjut
disediakan di dlaam dokumen OM IIFF):

Satu rangkuman informasi yang mengacu pada bagian F, paragraf 10, poin pertama
dan kedua;

Satu rangkuman dari hasil asesmen sosial yang sudah dilakukan;

Satu rangkuman dari hasil konsultasi dengan pihak Masyarakat Asli Daerah yang
terkena dampak yang dijalankan selama tahap persiapan sub-proyek (Annex A) dan
yang mendorong ke tercapainya dukungan luas dari masyarakat bagi sub-proyek
tersebut.

Satu kerangka kerja untuk memastikan berlangsungnya konsultasi yang bebas dan
konstruktif dengan Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak tersebut selama
pelaksanaan sub-proyek;

Suatu rencana tindakan guna memastikan agar Masyarakat Asli Daerah menerima
manfaat sosial dan ekonomi yang sesuai dari sudut budaya mereka, termasuk, apabila
perlu, langkah untuk meningkatkan kapasitas badan pelaksana sub-proyek tersebut.

Pada saat suatu dampak negatif terhadap Masyarakat Asli Daerah diidentifikasi, suatu
rencana kerja yang tepat terdiri dari langkah-langkah untuk menghindari,
meminimalisir, dan memitigasi dampak tersebut, atau menyediakan kompensasi
harus dibuat.

Perkiraan biaya dan rencana pembiayaan untuk program IPP.

Prosedur penanganan keluhan yang mudah diakses, yang tepat bagi sub-proyek
tersebut dalam menangani keluhan yang timbul dari Masyarakat Asli Daerah yang
terkena dampak pelaksanaan sub-proyek. Saat merancang prosedur penanganan
keluhan, pihak sub-borrower perlu mempertimbangkan peluang judicial recourse dan
mekanisme penyelesaian persengketaan secara adat di antara IP.

Mekanisme dan tolok ukur yang tepat bagi proyek ini untuk pemantauan, evaluasi,
dan pelaporan mengenai pelaksanaan program IPP. Pemantauan & evaluasi harus
memasukkan pengaturan untuk penyelenggaraan konsultasi yang bebas dan
konstruktif dengan IP yang akan terkena dampak.
KONSULTASI & PARTISIPASI
14.
IIFF perlu memastikan agar jika suatu proposal sub-proyek akan berdampak pada IP,
pihak sub-borrower tersebut harus mengadakan suatu konsultasi yang bebas dan konstruktif
dengan mereka. Dalam memastikan konsultasi semacam itu berjalan baik, pihak sub-borrower
harus:



Menetapkan, apabila dipandang perlu, suatu kerangka kerja jender dan antar generasi
yang inklusif, yang memberikan peluang untuk diajak konsultasi di setiap tahapan
persiapan dan implementasi sub-proyek, yang melibatkan sub-borrower, IP yang
akan terkena dampak masyarakat, organisasi masyarakat IP jika ada, dan organisasi
masyarakat setempat lain (civil society organization/ CSO) sebagaimana
diidentifikasikan akan terkena dampak proyek ini
Menggunakan metode konsultasi yang tepat sesuai dengan nilai sosial dan budaya
kelompok IP yang akan terkena dampak tersebut, serta kondisi kehidupan mereka.
Dalam merancang metode ini, perlu memperhatikan khususnya kekhawatiran di
antara para wanita, anak muda, dan anak-anak penduduk asli, serta akses mereka
mendapatkan peluang dan manfaat yang dihasilkan proyek ini. Dan
Memberikan kelompok IP tersebut semua informasi yang relevan mengenai subproyek tersebut, termasuk apa saja kemungkinan dampak yang merugikan, dengan
cara yang tepat sesuai budaya mereka, di setiap tahapan dari persiapan dan
implementasi suatu sub-proyek.
PENGATURAN INSTITUSIONAL
15.
Dalam hal dimana pihak sub-borrower tersebut yang menyusun IPP, maka Unit Risk
Management/ES IIFF akan harus memastikan agar pihak sub-borrower tersebut menyusun serta
melaksanakannya secara konsisten dengan mengacu pada dokumen OM yang ada, dimana IPPF
menjadi salah satu bagiannya. Dalam hal dimana staf Unit Risk Management/ES tidak memiliki
keahlian di bidang IP, maka IIFF akan harus mempekerjakan satu ahli IP untuk mendampingin
mereka mengkaji dokumen IPP pihak sub-borrower tersebut dan mengawasi pelaksanaannya.
16.
IIFF akan perlu memastikan agar sub-borrower melibatkan instansi pemerintah daerah,
LSM dan CSO dimana kelompok IP yang terkena dampak tersebut berada.
17.
IIFF mungkin dapat menyelenggarakan program pelatihan peningkatan kapasitas bagi
pihak sub-borrower dalam menangani dan melaksanakan langkah-langkah menghindari atau
mitigasi resiko dampak negatif bagi masyarakat IP. Dalam pelatihan tersebut, IIFF mungkin dapat
melibatkan LSM dan CBO yang memiliki pengalaman serta keahlian bekerja dengan kelompok
IP tersebut.
18.
Satu lembaga independen mungkin dapat dipekerjakan oleh IIFF guna melaksanakan
pemantauan dan penilaian periodik atas pelaksanaan program IPP yang disiapkan oleh pihak subborrower tersebut.
19.
Unit Risk Management/ES IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower
melaporkan status dan kemajuan pelaksanaan program IPP.
20.
Pihak World Bank mungkin dapat melakukan inspeksi ke site atau lokasi kandidat subproyek dengan terlebih dahulu memberitahu pihak IIFF, meskipun inspeksi tersebut dapat juga
dilaksanakan secara independen. Pihak World Bank akan membicarakan hasil inspeksi tersebut
dengan badan pemerintah daerah terkait, pihak sub-borrower untuk sub-proyek tersebut dan
dengan Unit Risk Management/ES IIFF.
21.
Rincian lain dari pengaturan organisasional akan dikembangkan sebagai bagian dari
Operation Manual.
22.
Biaya pelaksanaan IPP akan ditanggung oleh pihak sub-borrower sendiri. Unit Risk
Management/ES perlu memastikan agar biaya sub-proyek tersebut sudah termasuk biaya
pelaksanaan langkah-langkah yang perlu untuk menangani dampak negatif terhadap masyarakat
IP tersebut. Langkah ini haruslah dimasukkan ke dalam rancangan sub-proyek tersebut.
PEMANTAUAN & PELAPORAN
23.
Pemantauan dan pelaporan internal. Pemantauan dan pelaporan internal mengenai
pelaksanaan IPP akan dilaksanakan oleh Unit Risk Management/ES IIFF dengan bantuan satu
konsultan independen, apabila perlu.
24.
Laporan pemantauan akan dibuat oleh Unit Risk Management/ES IIFF setiap bulannya
dan dibagikan dengan unit-unit lainnya di bawah IIFF, contohnya unit disbursement, legal dan
teknis. Dalam laporan ini, akan termasuk pula informasi mengenai status dan tingkat kepatuhan
pelaksanaan IPP.
25.
Pemantauan & Evaluasi Eksternal. IIFF akan melaksanakan pemantauan & evaluasi
eksternal atas harga dalam semua protfolio sub-proyek setiap tahunnya. Aktivitas ini akan
dijalankan oleh satu konsultan independen yang ditunjuk untuk menilai efektivitas pelaksanaan
dari langkah-langkah program IPP dan menentukan apakah langkah yang diterapkan telah
memungkinkan masyarakat IP tersebut menerima manfaat dari sub-proyek tersebut dan/atau
memulihkan mata pencaharian atau standar kehidupan mereka, atau apakah mereka masih
menghadapi masalah dan membutuhkan bantuan lainnya. Anggaran untuk Pemantauan &
Evaluasi Eksternal tersebut akan ditanggung oleh IIFF.
PENYEBARLUASAN INFORMASI (DISCLOSURE)
26.
Unit Risk Management/ES IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower tersebut
membuat laporan kajian SA dan draft IPP tersedia bagi masyarakat IP yang akan terkena dampak
tersebut, dengan cara dan bahasa yang tepat, sebelum diberikan persetujuan pendanaan subproyek. IIFF juga akan membuat hasil kajian SA dan IPP tersebut tersedia bagi publik di website
mereka, dan dalam website pihak sub-borrower tersebut, termasuk juga bagi instansni pemerintah
daerah dan bagi jaringan LSM yang bekerja di antara kelompok IP tersebut. Unit Risk
Management/ES IIFF akan perlu memastikan agar pihak sub-borrower menyerahkan Laporan
Implementasi Program IPP dan diberikan juga ke masyarakat IP, ke badan pemerintah daerah dan
ke publik.
Lampiran 3: Daftar Aktivitas yang tidak akan didanai oleh IIFF
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Aktivitas apapun yang menggunakan bahan radioaktif
Operasi pemangkasan kayu hutan yang dilakukan di hutan tropis basah.
Penangkapan ikan menggunakan drift net (pukat harimau) di lingkungan laut
Pengenalan suatu organisme yang direkayasa secara genetis
Perjudian, pengelolaan kasino dan bisnis-bisnis serupa
Pertambangan atau eksploitasi terumbu karang hidup
Produksi cat yang mengandung timah
Produksi atau perdagangan tembakau
Produksi atau perdagangan bahan radioaktif
Produksi atau perdagangan produk-produk yang mengandung PCB
Produksi atau perdagangan minuman alkohol.
Produksi atau perdagangan senjata dan munisinya.
Produksi dan/atau penggunaan produk-produk yang mengandung asbestos
Produksi, penyebaran dan penjualan pestisida illegal
Produksi atau perdagangan atau penggunaan unbonded asbestos fibers
Produksi atau perdagangan kertas atau produk lainnya dari hutan yang tidak dikelola
dengan benar
Produksi atau perdagangan bahan perusak ozon mengikuti fase penghapusan produk ini
di dunia internasional
Produksi atau perdagangan barang yang di pasar internasional akan dihapus atau sudah
dilarang.
Produksi atau perdagangan pestisida/herbisida yang di pasar internasional akan dihapus
atau sudah dilarang.
Produksi atau perdagangan produk barang atau aktivitas apapun yang dianggap ilegal
menurut hukum negara tuan rumah, atau peraturan-peraturan serupa atau konvensi dan
perjanjian internasional.
Produksi atau aktivitas yang melibatkan bentuk-bentuk yang membahayakan atau
eksploitatif tenaga kerja paksa/ tenaga kerja anak-anak.
Produksi, perdagangan, penyimpanan barang, atau transportasi dalam jumlah banyak,
barang-barang kimia berbahaya, atau penjualan komersial dari bahan kimia berbahaya.
Produksi atau aktivitas yang merampas hak kepemilikan atas tanah, atau mengklaim
kepemilikan dari Masyarakat Asli Daerah, tanpa adanya persetujuan tertulis dari
masyarakat tersebut.
Pembelian peralatan penebangan hutan untuk terutama digunakan di hutan tropis basah.
Perdagangan binatang liar atau produk barang yang dihasilkan dari binatang liar.
27. wb152996
28. C:\Documents
and
Settings\wb152996\My
_revised_22_May[1]_Nin-DD.doc
29. 25.05.2009 20:06:00
Documents\MARCH
30-2009\IIFF\E&S_Framework_Bahasa_-
Download