Pop Lingkungan | 25 SELASA, 5 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA REUTERS/DESMOND BOYLAN TEKNOLOGI CSNOx: Kapal tanker Norwegia melintas di sebuah dermaga di Kuba, beberapa waktu lalu. Sebuah perusahaan yang berbasis di Singapura kini menemukan CSNOx, teknologi penyerapan gas buang yang biasa dikeluarkan kapal tanker. Air Laut untuk Tekan Emisi Kapal Emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan kapal tanker bisa ditekan dengan memanfaatkan air laut pada sistem gas buangnya. Bintang Krisanti D I laut, kapal tanker layaknya paus. Sama-sama besar dan terus-menerus mengembuskan ‘napas’ dengan kuat. Namun, jika embusan paus adalah hal yang indah, sebaliknya pada kapal tanker. Asap hitam yang dikeluarkannya membawa polutan dan gas yang membuat bumi ini makin panas. Maka, meski sumbangannya hanya 1.8% dari emisi CO2 global, Badan Lingkungan PBB mendesak penurunan emisi sektor ini. Perbedaan telah dibuat kapal tanker di Singapura. Kapal tanker Aframax dan MV White Sea memiliki tingkat emisi yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kapal tanker pada umumnya. Kadar karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NOx), yang merupakan gas-gas penyebab utama efek rumah kaca pada Aframax bisa ditekan masing-masing hingga 77%, 99%, dan 66%. Angka ini adalah sebuah pencapaian besar, terlebih kapal-kapal ini tidak mengubah sistem bahan bakar sebagaimana yang diusulkan Badan Lingkungan PBB. Rahasia kapal-kapal ‘Negeri Singa’ ini nyatanya terdapat pada sistem gas buangnya. “Air laut kita ambil, lalu kita pakai gelombang dan kita siramkan ke asap hasil pembakaran. Air itu akan mengikat dan mengubah gas-gas tadi,” kata Chew Hwee Hong, direktur utama sekaligus pendiri Ecospec di Jakarta, Selasa (28/9). Perusahaan yang berbasis di Singapura ini adalah pencipta teknologi penyerap gas buang tersebut, dinamai teknologi CSNOx. Teknologi ini telah diakui banyak pihak. Autoritas Pelabuhan Singapura memercayakan dana US$2 juta untuk Ecospec mengembangkan sistem pengurangan emisi di sana. Dari luar negeri, Biro Pelayaran Amerika Serikat (ABS) pada 8 Februari telah memverifikasi data-data pencapaian pengurangan emisi pada kapal tanker Aframax tersebut dan perusahaan Jerman AE&E Lentjes pun memercayakan proyek-proyek industri lautnya kepada CSNOx. Teknologi ini juga diganjar Environmental Protection Award 2009 oleh Seatrade Asia dan Technology of The Year Award 2010 pada Green Ship Technology Conference 2010 yang berlangsung di Denmark. Untungkan laut Penyerapan emisi dengan CSNOx diawali dengan memberikan gelombang magnet pada air laut yang disedot. Ini berfungsi untuk mematikan organisme-organisme pengganggu dalam air itu. Proses ini juga yang bisa membuat instalasi CSNOx bebas dari teritip. Selanjutnya, sebagian air tersebut dialirkan ke instalasi tingkat pertama, yakni bagian penyerapan SO2. Sebagian lainnya dibuat menjadi elektroda aktif dengan proses elektrolisis. Air kemudian dinaikkan ke cerobong bagian teratas kemudian disiram layaknya air terjun pada gas. Dari proses ini, gas-gas buang diubah menjadi sulfat, sulfur, nitrogen, bikarbonate, karbonat, dan oksigen. “Jadi lebih bagus kan, karena karbonat dibutuhkan hewan laut,” tutur Hong. Teknologi CSNOx juga tidak membutuhkan tempat penyimpanan CO2 seperti yang dibutuhkan dalam CCS.” Ia juga menyebutkan, alkalinitas air buangan yang lebih tinggi daripada air yang diserap bisa membantu laut melawan proses pengasaman. Keunggulan itu membuat CSNOx, yang baru dikenalkan pada 2009, ini relatif cepat melejit. Karena teknologi sebelumnya, seperti Selective Catalic Reduction (SCR) dan Carbon Capture Storage (CCS) yang lebih dulu dipopulerkan, hanya bisa mengemisi satu gas. Padahal, pembakaran yang menggunakan batu bara atau minyak berat (heavy fuel) seperti kapal umumnya akan menghasilkan CO2, SO2, dan NOx secara bersamaan. Teknologi CSNOx juga tidak membutuhkan tempat penyimpanan CO2 seperti yang dibutuhkan dalam CCS. CO2 akan dipecah dan larut dalam air lalu dibuang kembali ke laut sehingga gas yang terlepas ke udara berupa oksigen (O2) dan nitrogen (N). Potensial di darat Kedatangan Escospec di Indonesia menyiratkan kepentingan bisnis. Hong sangat bersemangat menerangkan penggunaan teknologi CSNOx pada pembangkit berbahan bakar batu bara, minyak fosil, dan gas, yang memang sedang digenjot pemerintah Indonesia. Hong mengatakan, di daerah yang jauh dari laut dan air sulit didapat, air tanah dapat digunakan berulang-ulang (daur ulang). Penggunaan jenis air yang berbeda ini diduga karena pada dasarnya teknologi hanya menggunakan air sebagai medium gelombang, perbedaan sifat kimia air sendiri tidak berpengaruh. “Bahkan sebetulnya tidak perlu natrium klorida (unsur dalam air laut) sama sekali. Dengan material khusus, saya sudah bisa membuat air berenergi tanpa mengutak-atik kimianya,” kata Hong. Dengan tidak disentuhnya NaCl (natrium klorida), Hong juga menjamin tidak ada pembentukan klorin yang bisa berbahaya bagi perairan. Sayangnya, ia sama sekali tidak mau menyebutkan ‘material ajaibnya’ yang membuat air tersebut menjadi elektroda aktif. Ia hanya memastikan bahwa material itu bukanlah material mineral berbahaya. Air ini, menurut Hong, dapat digunakan berulang-ulang sampai kurang lebih delapan kali. Setelah ini air akan banyak mengandung padatan yang ditangkap dalam gas buang itu sehingga tidak lagi efektif untuk dielektrolisis. Namun, Hong belum dapat menunjukkan bukti keberhasilan penyerapan di sektor pembangkit karena hingga kini belum ada penerapannya. Meski begitu, dari segi teknologi dan ekonomi, CSNOx cukup menggiurkan bagi Indonesia. Ini yang dirasa Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform IESR) Fabby Tumiwa. “Bujet karbon kita sudah tinggal setengahnya, atau 40 tahun lagi. Kalau kita tidak mau itu cepat habis, kita harus cegah emisi lebih besar dan salah satunya dengan menyerap gas buang,” katanya. Fabby juga melihat sektor listrik Indonesia yang paling membutuhkan teknologi semacam ini. Menurutnya, konsumsi listrik akan naik 7-8 kali lipat dalam 20 tahun kedepan atau menjadi 810 megaton CO2. Secara ekonomi pun CSNOx menggiurkan. Menurut Hong, CCS menghabiskan US$5 juta/10 Mw, sedangkan CSNOx membutuhkan US$3 juta/10 Mw. Instalasi CSNOx hanya membutuhkan energi operasional 1% dari energi yang dihasilkan pembangkit itu. Plus, dapat disesuaikan dengan penurunan emisi yang ingin dicapai. Dengan kata lain, instalasi dapat dibongkar pasang, ditambah, atau dikurangi sesuai kebutuhan. Namun perlu diingat, teknologi ini tetap merupakan teknologi adaptasi yang tidak mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. (M-4) [email protected]