1 Efek Infusa Daun Kaliandra (Calliandra calotyrsus Meissn) terhadap Mortalitas Cacing Raillietina echinobothrida Secara In Vitro Lustini Nur Hadili, Sofia Ery Rahayu, Masjhudi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang Jl Semarang 5 Malang 65145, Telepon/Fax: 0341-551312 Email : [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui konsentrasi efektif, waktu efisien, dan hubungan konsentrasi infusa daun kaliandra dengan banyaknya cacing Raillietina echinobothrida yang mati per satuan waktu secara in vitro. Penelitian ini menggunakan konsentrasi infusa daun sebesar 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 60% untuk melihat efek anthelmintik infusa daun kaliandra. Infusa diperoleh dengan cara serbuk daun direbus pada aquades hingga menjadi stok infusa kemudian ditambahkan NaCl 0,9% hingga menjadi konsentrasi infusa perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi efektif pada 60,4%, waktu efisien pada menit ke-74 dan hubungan dinyatakan dengan persamaan y = -0,296 + 0,890x. Kata kunci: infusa daun kaliandra, cacing Raillietina echinobothrida, in vitro Kebutuhan manusia semakin meningkat khususnya kebutuhan akan protein hewani. Namun, upaya peningkatan produktivitas ayam di Indonesia juga masih banyak kendala yang harus dihadapi. Salah satu penyebabnya adalah terserang cacing pita. Semua penyakit ayam yang disebabkan oleh cacing pita disebut cestodosis pada ayam. Retnani, dkk. (2009) menjelaskan terdapat tiga genus cestoda yang ditemukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah Raillietina, Choanotaenia, dan Hymenolepis. Cacing pita pada ternak dibedakan ke dalam ordo Cyclophyllidea. Ordo ini bersifat parasit pada sebagian besar vertebrata dan merugikan bagi kesehatan ternak itu sendiri. Cacing pita pada ordo ini memiliki karakteristik adanya sebuah skoleks dengan empat sucker dan ada/tidaknya rostellum (Shahin et. al., 2011). Cacing pita yang termasuk ordo Cyclophyllidea dan sering menginfeksi ayam yaitu dari genus Raillietina, salah satu spesiesnya yaitu Raillietina echinobothrida. Raillietina echinobothrida berbentuk pipih umumnya hermaphrodit dan hidup di usus halus. Berdasarkan pengamatan Lalchhandama (2009) dengan SEM (scanning electron micrographs) memperlihatkan garis bentuk tubuh yang tersusun dari rangkaian segmen menyerupai pita pipih dorsoventral yang tersusun memanjang. Keseluruhan tubuh cacing tertutup oleh tegumen dan mikrotrik (mikrovili menyerupai rambut yang tersusun rapat). Mikrotrik-mikrotrik tersebut membentuk bubungan-bubungan kecil dan alur-alur di seluruh bagian tegumen. Cestodosis tidak banyak menimbulkan kematian tetapi secara ekonomis sangat merugikan. Beberapa kerugian ekonomi yang dimunculkan yaitu pertumbuhan ayam terhambat, produksi telur menurun, kurang aktif, dan bulubulu kusam. Kematian pada ayam biasanya bukan disebabkan oleh cacing itu 2 sendiri, tetapi karena adanya penyakit sekunder, sebab cacing tersebut menyebabkan kondisi tubuh menjadi rentan (Murtidjo, 2006). Cacing pita banyak menyerang ayam kampung. Ayam yang terserang cacing akan diare dan kotorannya mengandung darah. Gigitan cacing pita menimbulkan bintil-bintil pada dinding usus dan bintil itu tampak berada di luar dinding usus (Sarwono, 2001). Obat cestodosis yang saat ini sering digunakan adalah obat sintetis. Obat sintetis memiliki bahan aktif dengan struktur kimia yang kompleks. Struktur kimia seperti ini menjadikan obat sintetis sulit diabsorpsi oleh tubuh sehingga menyebabkan keseimbangan sistem tubuh terganggu. Kerja organ dalam proses metabolisme obat seperti hati dan ginjal juga akan semakin berat. Selain kerja organ semakin berat, obat sintetis juga dapat menimbulkan resistensi. Resistensi terjadi akibat pemakaian obat secara tidak teratur dalam jangka waktu yang lama. Obat sintetis memiliki efek samping yang kurang baik, sehingga perlu dikembangkan obat tradisional. Ditegaskan oleh Tampubolon (1981) bahwa obat tradisional pada umumnya tidak ada efek samping seperti obat sintetik. Obat tradisional berasal dari bahan alami dan dapat memberikan kesembuhan. Salah satu bahan alami yang digunakan sebagai anthelmintik yaitu tanaman kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn). Kaliandra merupakan tanaman perdu dari genus Calliandra dengan famili Leguminosae/Fabaceae. Tanaman ini sering ditanam di berbagai wilayah Asia Selatan-Timur dan mampu tumbuh pada daerah tropis (Mannetje dan Jones, 1992). Pada daun kaliandra mengandung kaya protein, namun tidak terdapat zat beracun. Kaliandra juga mengandung tanin dengan konsentrasi cukup tinggi sebesar 11% dan kadar N yang rendah (Ahn, et al., 1989). Kandungan kimia daun kaliandra berupa tanin cukup potensial untuk membunuh cacing. Pada beberapa tahun terakhir, terdapat perkembangan terkait kegunaan tanin sebagai agen anthelmintik. Min, et al. (2005) dalam Wina (2010) menjelaskan bahwa pakan ternak yang mengandung tanin diujikan ke parasit selama dua minggu menunjukkan mampu mengurangi jumlah telur cacing. Dalam penelitian Bendixsen, dkk. (tanpa tahun) di Vietnam, menjelaskan bahwa penelitian dengan menggunakan beberapa tanaman seperti Leucaena leucocephala, Acacia mangium and Calliandra sp. terhadap cacing Haemonchus contortus mampu berpotensi anthelmintik. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini untuk mengetahui konsentrasi efektif, waktu efisien, dan hubungan konsentrasi infusa daun kaliandra dengan banyaknya cacing Raillietina echinobothrida yang mati per satuan waktu secara in vitro. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian eksperimental laboratori dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pelaksanaan penelitian terdiri atas tahap berikut ini. 3 1. Persiapan Infusa Daun Kaliandra Pada tahap persiapan infusa daun kaliandra terdiri atas tahap pembuatan serbuk daun kaliandra, pembuatan stok infusa kaliandra, dan pembuatan konsentrasi perlakuan infusa daun kaliandra. a. Tahap Pembuatan Serbuk Daun Kaliandra Pada tahap ini, daun kaliandra segar yang diperoleh dari Blitar dilakukan pengeringan dengan cara dioven pada suhu 45ºC selama 26 jam. Daun kaliandra yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan cara diblender, sehingga menjadi serbuk. b. Tahap Pembuatan Stok Infusa Kaliandra Sebelum melakukan tahap pembuatan stok infusa perlu dilakukan uji adanya tanin pada serbuk daun kaliandra. Berdasarkan metode Sirait, dkk. (1980) yang dimodifikasi yaitu dengan cara 0,5 g serbuk daun kaliandra ditambah 100 ml air mendidih kemudian dipanaskan selama 10 menit. Selanjutnya larutan didiamkan dan ditambahkan FeCl3 1% sehingga ada perubahan warna coklat kehijauan. Tahap pembuatan stok infusa kaliandra mengacu pada Lasut, dkk. (2012). Untuk membuat stok infusa kaliandra 10% dengan cara mengambil serbuk daun sebanyak 10 g dan dibungkus kain kasa, selanjutnya direbus dalam 100 ml aquades selama 15 menit pada suhu 90ºC-100ºC. Prosedur ini juga dilakukan untuk membuat konsentrasi infusa daun kaliandra 20%, 30%, 40%, 50%, dan 60%. c. Tahap Pembuatan Konsentrasi Perlakuan Infusa Daun Kaliandra Penentuan konsentrasi dilakukan uji pendahuluan yang merujuk pada penelitian Lasut, dkk. (2012). Tahap pembuatan konsentrasi perlakuan infusa daun kaliandra adalah sebagai berikut. 1. Infusa daun 0% : mengambil larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 2. Infusa daun 10%: mengambil 10 ml stok infusa kaliandra 10% ditambahkan larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 3. Infusa daun 20%: mengambil 20 ml stok infusa kaliandra 20% ditambahkan larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 4. Infusa daun 30%: mengambil 30 ml stok infusa kaliandra 30% ditambahkan larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 5. Infusa daun 40%: mengambil 40 ml stok infusa kaliandra 40% ditambahkan larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 6. Infusa daun 50%: mengambil 50 ml stok infusa kaliandra 50% ditambahkan larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 7. Infusa daun 60%: mengambil 60 ml stok infusa kaliandra 60% ditambahkan larutan NaCl 0,9% hingga 100 ml. 2. Persiapan Hewan Perlakuan Raillietina echinobothrida diambil dari usus ayam yang diperoleh dari tempat pemotongan ayam buras di Pasar Besar Malang dengan cara membedah usus ayam. Cacing yang terlihat lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam larutan fisiologis NaCl 0,9% dengan tujuan untuk menjaga viabilitas cacing. Untuk selanjutnya, cacing diinkubasi dengan suhu 40ºC. 4 3. Pelaksanaan in Vitro Konsentrasi infusa daun kaliandra dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 20 ml. Setiap cawan petri ditambahkan cacing sebanyak 8 ekor. Masingmasing cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator suhu 40ºC. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Data penelitian diperoleh dari jumlah cacing pita ayam yang mati setelah diberikan perlakuan dengan infusa daun kaliandra dengan konsentrasi yang berbeda. Indikator cacing sudah mati yaitu tidak ada gerakan cacing apabila disentuh selama 1 menit pada bagian anterior, tengah dan posterior dengan batang pengaduk. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit sekali bertujuan untuk mengetahui pertambahan jumlah cacing yang mengalami kematian. Data dianalisis dengan menggunakan analisis Regresi-Probit program SPSS 16 for windows untuk mengetahui konsentrasi efektif dan waktu efisien efek pemberian infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing secara in vitro. Selanjutnya dilakukan uji Regresi Linier untuk mengetahui hubungan konsentrasi infusa daun kaliandra dengan banyaknya cacing Raillietina echinobothrida yang mati per satuan waktu. HASIL Data penelitian diperoleh setelah dilakukan uji tanin pada infusa daun kaliandra. Bukti adanya tanin diketahui dari perubahan warna infusa yang semula kuning kecoklatan menjadi coklat kehijauan setelah ditetesi FeCl3 1%. Penelitian dilakukan dengan mengamati gerakan cacing pada interval waktu 30 menit selama 5 jam untuk melihat apakah cacing sudah mati atau belum. Rerata mortalitas cacing Raillietina echinobothrida setelah diberikan infusa daun kaliandra dengan berbagai tingkat konsentrasi disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1 Rerata Mortalitas Cacing Raillietina echinobothrida Setelah Diberikan Infusa Daun Kaliandra dengan Berbagai Tingkat Konsentrasi Konsentrasi (%) 0 10 20 30 40 50 60 0 0 0 0 0 0 0 0 Waktu pengamatan pada menit ke30 60 90 120 150 180 210 240 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,5 5 17,5 27,5 40 45 0 0 5 25 35 45 55 55 0 2,5 17,5 37,5 45 55 65 75 0 17,5 35 52,5 62,5 77,5 97,5 100 10 22,5 37,5 52,5 67,5 87,5 100 100 17,5 40 50 62,5 85 100 100 100 270 300 0 0 50 55 65 67,5 80 92,5 100 100 100 100 100 100 Data yang diperoleh berupa jumlah cacing Raillietina echinobothrida yang mati dan dianalisis menggunakan analisis Regresi-Probit. Hasil analisis Regresi- 5 Probit LC50 efek konsentrasi infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2 Analisis Regresi-Probit LC50 Efek Konsentrasi Infusa Daun Kaliandra terhadap Mortalitas Cacing Raillietina echinobothrida secara In Vitro Waktu 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 Probabilitas 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Estimasi 3,7 152,1 89,3 60,4 40,6 29,2 20,4 14,5 13,1 11,5 9,9 Konsentrasi Bawah 0,0 126,9 78,4 53,7 36,6 26,3 18,3 12,8 11,5 10,0 8,5 Konsentrasi Atas 0,0 186,1 102,5 67,9 44,9 32,3 22,7 16,4 14,8 13,2 11,4 Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa apabila diberikan infusa daun kaliandra sebesar 60,4% maka akan dapat mematikan minimal 50% cacing pita ayam pada menit ke-90. Hal ini berarti konsentrasi 60,4% merupakan konsentrasi efektif yang dapat mematikan minimal 50% cacing. Data berupa jumlah cacing pita ayam yang mati dan dianalisis menggunakan analisis Regresi-Probit untuk mengetahui waktu efisien efek pemberian infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing pita secara in vitro. Untuk hasil analisis Regresi-Probit LT50 efek konsentrasi infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut. Tabel 3 Analisis Regresi-Probit LT50 Efek Konsentrasi Infusa Daun Kaliandra terhadap Mortalitas Cacing Raillietina echinobothrida secara In Vitro Konsentrasi 0 10 20 30 40 50 60 Probabilitas 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Estimasi 30930 263,1 205,3 159,2 104,8 94,0 74,0 Waktu Bawah 0,0 246,8 192,7 148,5 96,5 83,0 66,0 Waktu Atas 0,0 280,1 217,7 169,5 112,6 104,2 81,4 6 Pada Tabel 3 diketahui bahwa jika konsentrasi diberikan sebesar 60% maka akan dapat mematikan 50% cacing pita ayam pada menit ke 74. Hal ini berarti menit ke 74 merupakan waktu efisien yang dapat mematikan minimal 50% cacing. Untuk Analisis Regresi Linier hubungan konsentrasi infusa daun kaliandra terhadap mortalitas Raillietina echinobothrida yang mati per satuan waktu terdapat pada Tabel 4 sebagai berikut. Tabel 4 Analisis Regresi Linier Hubungan Konsentrasi Infusa Daun Kaliandra terhadap Banyaknya Cacing Raillietina echinobothrida yang Mati per Satuan Waktu Coefficientsa Model Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 1 (Constant) -0,296 0,281 -1,053 0,293 Dosis 0,890 0,063 0,586 14,149 0,000 a. Dependent Variable: Mortalitas (%) Konsentrasi Infusa Daun Berdasarkan uji Regresi Linier di atas diketahui persamaan y= -0,296 + 0,890x. R square sebesar 0,343. Hal ini berarti 34,3% mortalitas cacing dipengaruhi konsentrasi infusa daun kaliandra sedangkan untuk sisanya 65,7% dijelaskan oleh faktor-faktor yang lainnya yang tidak dimasukkan dalam model. Untuk hubungan antara konsentrasi (LC50) dengan banyaknya waktu kematian cacing Raillietina echinobothrida adalah berbanding terbalik. Apabila konsentrasi infusa daun kaliandra semakin tinggi, maka waktu kematian cacing pita akan semakin cepat. Begitu pula, apabila konsentrasi infusa daun kaliandra semakin rendah, maka waktu kematian cacing pita akan semakin lama. Hal ini terlihat pada Gambar 1 sebagai berikut. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 Waktu Kematian Cacing (Menit) Gambar 1 Grafik Hubungan Konsentrasi (LC50) Infusa Daun Kaliandra dengan Banyaknya Cacing yang Mati per Satuan Waktu 7 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil kajian infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro, diketahui bahwa efektivitas infusa daun kaliandra berpengaruh terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida in vitro. Hal ini bisa dilihat dari Tabel 1 rerata mortalitas cacing Raillietina echinobothrida setelah diberikan infusa daun kaliandra dengan berbagai tingkat konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi infusa daun kaliandra yang digunakan maka semakin banyak cacing Raillietina echinobothrida yang mati. Adapun pada perlakuan infusa daun kaliandra 0% terlihat tidak ada cacing yang mati. Indikator yang menunjukkan perbedaan hasil perlakuan setelah diberi infusa dengan tanpa infusa daun kaliandra adalah ada tidaknya gerakan pada cacing pita. Pada saat cacing diberi perlakuan daun kaliandra 0%, cacing terlihat normal dan tidak mati. Hal ini berbeda dengan cacing yang diberi infusa daun kaliandra berbagai konsentrasi, cacing mulai terlihat lemas, tidak aktif bergerak, dan kemudian mati. Kematian cacing pita dimungkinkan karena pada infusa daun kaliandra mengandung tanin sebagai zat antihelminth. Tanin diduga berkontak dengan lapisan luar tubuh cacing kemudian akan cepat diserap mikrovili melalui difusi atau transport aktif. Mikrovili yang terdapat di lapisan terluar cacing tersebut berfungsi untuk penyerapan makanan. Mikrovili memiliki enzim fosfatase yang dibutuhkan dalam proses tersebut. Enzim inilah yang berikatan kuat dengan tanin sehingga proses penyerapan makanan di mikrovili terganggu. Kondisi ini akan menjadikan mikrovili mengalami kerusakan yaitu lepas dan patah. Akibatnya, nutrisi dari luar tubuh cacing sulit diserap dengan baik. Adanya tanin di lapisan terluar tubuh cacing juga akan berpengaruh pada tegumen. Fungsi tegumen sangat penting bagi cacing pita terutama kaitannya dalam absorpsi nutrisi untuk kelangsungan hidup cacing. Menurut Ridwan, dkk. (2010) tegumen cacing yang terdiri atas glikoprotein dan mukopolisakarida mampu dirusak oleh tanin dengan mempresipitasikan protein. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein. Pada penelitian ini, protein yang dimaksud yaitu glikoprotein akan mengalami denaturasi protein sehingga tegumen rusak. Ketika glikoprotein pada tegumen rusak, akan menghalangi cacing untuk menyerap nutrisi dari luar tubuhnya. Akibatnya, nutrisi yang ada di dalam tubuh semakin berkurang sedangkan nutrisi dari luar tidak mampu diserap dengan baik. Dengan demikian, cacing tidak mampu membentuk ATP dan menyebabkan cacing mati. Penentuan konsentrasi efektif (LC50) dengan menggunakan analisis RegresiProbit. Nilai konsentrasi efektif (LC50), berarti bahwa terdapat konsentrasi efektif infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro. Hasil analisis Regresi-Probit menunjukkan nilai LC50 daun kaliandra adalah konsentrasi 60,4% pada menit ke-90. Kolom estimasi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jika konsentrasi infusa daun kaliandra diberikan sebesar 60,4% maka akan dapat mematikan minimal 50% cacing pita. Sementara berdasarkan analisis Regresi-Probit selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai LT50. Hal ini berarti bahwa terdapat waktu efisien infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro. Hasil analisis Regresi-Probit menunjukkan nilai LT50 daun kaliandra adalah menit 8 ke-74 pada konsentrasi 60%. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada konsentrasi yang lebih tinggi mampu memberikan efek anthelmintik pada cacing pita ayam lebih cepat. Hasil penelitian terlihat bahwa pada konsentrasi infusa 60% untuk mencapai minimal 50% mortalitas cacing maka membutuhkan waktu pemaparan sebesar 74 menit. Hasil tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Beriajaya & Tetriana (1999) bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan yang dipakai untuk perendaman cacing maka semakin cepat larutan tersebut mempunyai efikasi untuk membunuh cacing pita. Hal ini karena semakin tinggi konsentrasi infusa daun kaliandra maka semakin tinggi pula kandungan tanin pada infusa daun kaliandra yang kontak langsung dengan mikrovili dan tegumen cacing. Hubungan konsentrasi infusa daun kaliandra terhadap mortalitas Raillietina echinobothrida yang mati per satuan waktu dapat diketahui melalui uji Regresi Linier. Berdasarkan uji regresi linier diketahui persamaan y= -0,296 + 0,890x dengan R square sebesar 0,343. Hubungan antara konsentrasi efektif infusa daun kaliandra dengan banyaknya cacing per satuan waktu adalah berbanding terbalik. Untuk membuktikan bahwa terdapat hubungan maka data berupa waktu yang menyebabkan cacing mati minimal 50% per satuan waktu setiap perlakuan dihubungkan dengan konsentrasi infusa daun kaliandra. Semakin tinggi konsentrasi infusa maka semakin singkat pula waktu yang menyebabkan cacing mati. Sebaliknya, apabila konsentrasi infusa rendah maka semakin lama waktu yang menyebabkan cacing mati. Kandungan tanin dari infusa daun kaliandra tinggi yang masuk ke dalam tubuh cacing melalui lapisan mikrovili dan tegumen tubuh cacing menyebabkan protein pada tegumen denaturasi. Akibatnya, cacing akan kekurangan persediaan nutrisi dalam tubuh dan tidak mampu menyerap nutrisi dari luar tubuh secara baik. Hal inilah yang menyebabkan cacing mati. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa infusa daun kaliandra cukup efektif untuk diberikan ke ayam. Namun, karena kandungan tanin pada kaliandra cukup tinggi maka diperlukan cara tertentu dalam pengolahan daun kaliandra. Teknik pengolahannya dengan metode silase yaitu daun kaliandra disimpan selama 2-4 hari kemudian diberikan ke ayam. Inilah yang disebut silase. Pemberian dalam bentuk segar atau silase adalah cara yang dilakukan agar tanin bisa berikatan dengan air. Namun, pemberian ke unggas biasanya berupa tepung daun dicampur air kemudian diolah menjadi pellet (Rukmana, 2005) agar tidak melukai saluran pencernaan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Konsentrasi efektif (LC50) infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro yaitu konsentrasi 60,4% pada menit ke90. Waktu efisien (LT50) infusa daun kaliandra terhadap mortalitas cacing Raillietina echinobothrida secara in vitro yaitu pada menit ke-74 dengan konsentrasi 60%. Hubungan antara konsentrasi efektif infusa daun kaliandra dengan banyaknya cacing Raillietina echinobothrida yang mati per satuan waktu dinyatakan dengan persamaan y= -0,296 + 0,890x. 9 Saran Penggunaan daun kaliandra sebagai anthelmintik alami terhadap cacing Railletina echinobothrida dalam bentuk infusa secara in vitro memberikan pengaruh signifikan, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh anthelmintik daun kaliandra dalam bentuk tepung daun secara in vivo untuk mengetahui kemungkinan efek yang terjadi pada ayam. DAFTAR PUSTAKA Ahn, J.H., Robertson, B.M., Elliott, R., Guttgeridge, R.C. & Ford, C.W. 1989. Quality Assessment of Tropical Browse Legumes: Tannin Content and Protein Degradation. Feed Sci. Technol., 27 (1-2): 147-156. Bendixsen, T., Hanh, H.T., Dong, V.V., Binh, D.V. & Lien, P.S. Tanpa tahun. A preliminary investigation of Vietnamese indigenous plants for antiparasite activities in goats, (Online), (www.mekarn.org/procsr/bend.pdf, diakses 17 Januari 2013). Beriajaya & Tetriana.1999. Pengaruh Perasan dan Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap cacing Haemonchus contortus secara Invitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil penelitian Bidang Ilmu Hayat. Lalchhandama, K. 2009. On The Structure of Raillietina echinobothrida, The Tapeworm of Domestic Fowl. Science Vision, 9(4): 174-182. Lasut, V.N., Yamlean, P.V.Y. & Supriati, H.S. 2012. Uji Efektifitas Daya Antelmintik Infus Daun Ketepeng Cina (Cassia alata) terhadap Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) secara In Vitro, (Online), Vol 1, No 1, (http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/438, diakses 23 Maret 2013). Mannetje, L’t & Jones, R.M. (Eds.). 1992. Prosea, Plant Resources of South-East Asia 4, Forages. Bogor: Pudoc Scientific Publisher. Murtidjo, B.A., 2006. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Retnani, E.B., Satrija, F., Hadi, U.K. & Sigit, S.H. 2009. Analisis Faktor-Faktor Resiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Bogor. Jurnal Veteriner, 10 (3) : 165-172. Ridwan, Y, Darusman, L.K., Satrija, F. & Handaryani, E. 2010. Efektivitas Anticestoda Ekstrak Daun Miana (Coleus blumei Benth) terhadap Cacing Hymenolepis microstoma pada Mencit. Media Peternakan. 33(1): 6-11. Rukmana, R. 2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Sarwono, B. 2001. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya. 10 Shahin, A.M., Lebdah, M.A., Abu-Elkheir,S. A., & Elmeligy, M.M. 2011. Prevalence of Chicken Cestodiasis in Egypt. New York Science Journal, (Online), Vol. 4, No. 9, (http://www.sciencepub.net/newyork, diakses 20 Juni 2013) Sirait, M., Loohu, E., dan Sutrisno, R. B., 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Direktorat Jendral Jakarta: Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM), Departemen Kesehatan Republik Indonesia.. Tampubolon, O. 1981. Tumbuhan Obat. Jakarta: Bhrata Karya Aksara. Wina, E. 2010. Utilization of tannin containing shrub legumes for Small ruminant production in Indonesia. Wartazoa, (Online), Vol. 20, No. 1, (http://peternakan.litbang.deptan.go.id, diakses 29 Januari 2013).