Republik Rwanda Secara resmi Republik Rwanda (Kinyarwanda: Repubulika y'u Rwanda; bahasa Perancis: République du Rwanda), adalah sebuah negara di Afrika Tengah. Negara ini terletak beberapa derajat di bawah garis khatulistiwa dan berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Burundi, serta Republik Demokratik Kongo. Semua wilayah Rwanda berada pada elevasi tinggi, dengan didominasi oleh pegunungan di bagian barat, sabana di bagian timur, dan berbagai danau tersebar di seluruh negeri. Iklimnya hangat hingga subtropis, dengan dua musim hujan dan musim kemarau per tahun. Penduduk Rwanda relatif muda dan masih didominasi pedesaan, sementara kepadatan penduduknya merupakan salah satu yang tertinggi di Afrika. Di Rwanda terdapat tiga kelompok: Hutu, Tutsi, dan Twa. Twa adalah pigmi yang tinggal di hutan dan merupakan keturunan dari penduduk paling pertama Rwanda, namun para ahli masih belum sepakat mengenai asal usul dan perbedaan antara Hutu dan Tutsi; beberapa meyakini bahwa keduanya merupakan kasta sosial, sementara yang lain memandangnya sebagai ras atau suku. Kekristenan adalah agama mayoritas di Rwanda, dan bahasa utamanya adalah Bahasa Kinyarwanda, yang dituturkan oleh sebagian besar penduduk Rwanda. Sistem pemerintahan di Rwanda adalah sistem presidensial. Presiden Rwanda adalah Paul Kagame dari Partai Front Patriotik Rwanda (FPR), yang mulai berkuasa pada tahun 2000. Rwanda memiliki tingkat korupsi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, namun organisasi-organisasi kemanusiaan menyatakan penindasan terhadap golongan oposisi, intimidasi, dan pelarangan dalam kebabasan berpendapat. Negara ini telah diperintah oleh pemerintah administrasi hierarki yang ketat sejak masa pra-kolonial. Di sana sekarang ada 5 provinsi, yang digariskan oleh batas yang digambar pada tahun 2006. Pemburu-pengumpul menetap menetap di wilayah ini pada Zaman Batu dan Zaman Besi, diikuti oleh Suku Bantu. Penduduk pun bersatu, pertama-tama sebagai klan lalu menjadi kerajaan. Kerajaan Rwanda mendominasi dari masa pertengahan abad ke-18, dengan raja-raja Tutsi yang menguasai yang lain secara militer, memusatkan kekuasaan, dan kemudian mengesahkan kebijakan anti-Hutu. Jerman menjajah Rwanda pada tahun 1884, diikuti oleh Belgia, yang menginvasi pada tahun 1916 saat Perang Dunia I. Kedua negara Eropa tersebut memerintah melalui raja-raja dan menetapkan kebijakan pro-Tutsi. Penduduk Hutu memberontak pada tahun 1959, membantai Suku Tutsi dalam jumlah besar dan akhirnya mendirikan negara bebas yang didominasi oleh Hutu pada tahun 1962. Front Patriotik Rwanda yang dipimpin oleh Tutsi melancarkan Perang Saudara Rwanda pada tahun 1990, lalu diikuti oleh Pembantaian Rwanda tahun 1994. Dalam peristiwa tersebut, ekstremis Hutu membunuh sekitar 500.000 sampai 1 juta (perkiraan) Tutsi dan kaum Hutu moderat. Ekonomi Rwanda mengalami kekacauan selama Pembantaian Rwanda 1994, namun setelah itu menguat. Ekonominya didasarkan terutama pada sektor agrikultur. Kopi dan teh merupakan komoditas ekspor yang menjadi sumber devisa utama. Pariwisata merupakan sektor yang berkembang pesat dan kini merupakan sumber devisa utama; di negara ini gorila pegunungan dapat dikunjungi dengan aman, dan wisatawan siap membayar mahal untuk memperoleh izin melacak gorila. Musik dan tari merupakan bagian penting dalam budaya Rwanda, terutama drum dan tari intore. Seni dan kerajinan tradisional juga dibuat di seluruh negeri, seperti imigongo, seni kotoran sapi yang unik. A. Sejarah Berdirinya Negara Manusia mulai menetap di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Rwanda setelah zaman es terakhir, antara periode Neolitik sekitar tahun 8000 SM atau periode lembab panjang yang berlangsung hingga sekitar tahun 3000 SM. Bukti permukiman pemburu-pengumpul yang tersebar dari zaman batu akhir telah ditemukan, yang kemudian diikuti oleh pemukim Zaman Besi yang jumlahnya lebih besar, yang membuat tembikar berlesung dan alat besi. Orang-orang tersebut merupakan nenek moyang Twa, sekelompok pemburu-pengumpul pigmi aborigin yang masih menetap di Rwanda hingga kini. Antara tahun 700 SM dan 1500 M, sejumlah orang Bantu bermigrasi ke Rwanda, dan mulai menebang hutan untuk pertanian. Kelompok Twa yang tinggal di hutan kehilangan tempat tinggal mereka dan pindah ke leren pegunungan. Terdapat beberapa teori mengenai migrasi Bantu; menurut satu teori, pemukim pertama adalah orang Hutu, sementara orang Tutsi bermigrasi belakangan dan merupakan kelompok ras yang berbeda, kemungkinan berasal dari kelompok Kushitik. Sementara itu, berdasarkan teori alternatif, migrasi berlangsung perlahan, dan kelompok yang datang berintegrasi dan tidak menaklukan masyarakat yang sudah ada. Berdasarkan teori ini, pemisahan antara Hutu dan Tutsi baru muncul belakangan dan merupakan pemisahan kelas dan bukan rasial. Bentuk organisasi sosial pertama di wilayah Rwanda adalah klan (ubwoko). Sistem klan ada di seluruh wilayah Danau Besar, dan terdapat sekitar dua puluh klan di wilayah Rwanda. Klan tidak dibatasi oleh garis silsilah atau wilayah geografis, dan di sebagian besar klan terdapat orang Hutu, Tutsi, dan Twa. Dari abad ke-15, klan mulai bersatu menjadi kerajaan; pada tahun 1700, terdapat sekitar delapan kerajaan di Rwanda. Salah satu di antaranya, yaitu Kerajaan Rwanda dikuasai oleh klan Nyiginya Tutsi yang menjadi semakin dominan pada pertengahan abad ke-18. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-19 di bawah masa kekuasaan Raja Kigeli Rwabugiri. Rwabugiri menaklukan beberapa negara yang lebih kecil, memperluas wilayah ke barat dan utara, serta melancarkan reformasi administratif; salah satunya adalah ubuhake, yang mengharuskan pelindung Tutsi untuk menyerahkan ternak, dan maka status istimewa, kepada klien Hutu atau Tutsi dan memperoleh jasa ekonomi dan personal sebagai gantinya. Reformasi lain adalah uburetwa, yaitu sistem corvée yang mengharuskan Hutu bekerja untuk kepala suku Tutsi. Perubahan yang dilancarkan oleh Rwabugiri mengakibatkan munculnya jurang antara Hutu dan Tutsi. Status orang Twa lebih baik daripada masa pra-kerajaan, dengan beberapa di antaranya menjadi penari di istana kerajaan, namun jumlah mereka terus berkurang. Konferensi Berlin tahun 1884 menetapkan wilayah Rwanda sebagai bagian dari Kekaisaran Jerman, sehingga memulai masa penjajahan. Penjelajah Gustav Adolf von Götzen adalah orang Eropa pertama yang menjelajahi negara ini pada tahun 1894; ia menyeberang dari wilayah tenggara hingga Danau Kivu dan bertemu dengan sang raja. Jerman tidak banyak mengubah struktur sosial Rwanda, namun menancapkan kekuasaan dengan mendukung raja dan hierarki yang ada serta mendelegasikan kekuasaan kepada kepala suku setempat. Tentara Belgia mengambil alih Rwanda dan Burundi selama Perang Dunia I, dan memulai periode penjajahan yang lebih langsung. Belgia menyerdehanakan dan memusatkan struktur kekuasaan, serta memulai proyek berskala besar dalam bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pengawasan agrikultur, termasuk tanaman baru dan pemutakhiran tekhnik agrikultur untuk mengurangi kelaparan. Baik orang Jerman maupun orang Belgia mendukung supremasi Tutsi, serta menganggap Hutu dan Tutsi sebagai ras yang berbeda. Pada tahun 1935, Belgia memperkenalkan kartu identitas yang melabeli setiap orang sebagai Tutsi, Hutu, Twa, atau dinaturalisasi. Sementara sebelumnya seorang Hutu yang kaya dapat menjadi Tutsi yang terhormat, kartu identitas menghentikan perpindahan antara kedua kelas. Belgium terus menguasai Rwanda sebagai Wilayah Kepercayaan Perserikatan BangsaBangsa setelah Perang Dunia II, dengan mandat untuk mengawal kemerdekaan. Ketegangan menguat antara Tutsi, yang mendukung kemerdekaan awal, dan pergerakan emansipasi Hutu, yang berujung kepada Revolusi Rwanda 1959: aktivis Hutu mulai membunuh orang Tutsi, dan memaksa lebih dari 100.000 orang mengungsi ke negara tetangga. Pada tahun 1962, Belgia yang kini pro-Hutu mengadakan referendum dan pemilihan umum, dan mereka memilih menghapuskan monarki. Rwanda dipisahkan dari Burundi dan memperoleh kemerdekaan pada tahun 1962. Kekerasan berlanjut karena Tutsi yang mengungsi mulai menyerang dari negara tetangga dan Hutu membalas dengan pembunuhan dan penindasan berskala besar. Pada tahun 1973, Juvénal Habyarimana melancarkan kudeta dan mulai berkuasa. Diskriminasi pro-Hutu berlanjut, namun kesejahteraan ekonomi meningkat sementara kekerasan terhadap orang Tutsi berkurang. Orang Twa tetap termarjinalisasi, dan pada tahun 1990 hampir sepenuhnya diusir dari hutan oleh pemerintah; banyak yang kemudian menjadi pengemis. Sementara itu, jumlah penduduk Rwanda yang meningkat dari 1,6 juta pada tahun 1934 menjadi 7,1 juta pada tahun 1989 mengakibatkan munculnya persaingan memperebutkan tanah. Pada tahun 1990, Front Patriotik Rwanda, pemberontak yang kebanyakan terdiri dari pengungsi Tutsi, menyerang Rwanda utara, dan memulai Perang Saudara Rwanda. Kedua pihak mampu mencapai keunggulan selama perang, namun pada tahun 1992 perang telah melemahkan kekuasaan Habyarimana; demonstrasi besar-besaran memaksanya untuk berkoalisi dengan oposisi dan akhirnya menandatangani Persetujuan Arusha 1993 dengan Front Patriotik Rwanda. Gencatan senjata berakhir pada tanggal 6 April 1994 ketika pesawat Habyarimana ditembak di dekat Bandar Udara Kigali, sehingga menewaskan sang presiden. Penembakan ini memicu Genosida Rwanda, yang meletus dalam selang waktu beberapa jam. Selama sekitar 100 hari, sekitar 500.000 hingga 1.000.000 Tutsi dan Hutu moderat dibantai dalam serangan yang telah direncanakan dengan baik atas perintah pemerintahan interim. Banyak orang Twa yang juga dibunuh, meskipun tidak ditarget secara langsung. Front Patriotik Rwanda memulai kembali serangan mereka, menguasai negara perlahan-lahan, dan berhasil menguasai seluruh Rwanda pada pertengahan Juli. Tanggapan internasional terhadap Genosida Rwanda sangat minim karena negara-negara besar merasa enggan untuk memperkuat pasukan pemelihara perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sudah kewalahan. Ketika Front Patriotik Rwanda mengambil alih kekuasaan, kurang lebih dua juta Hutu mengungsi ke negara tetangga, terutama Zaire, karena takut akan pembalasan; selain itu, angkatan bersenjata yang dipimpih oleh Front Patriotik Rwanda merupakan salah satu partisipan utama dalam Perang Kongo Pertama dan Kedua. Di Rwanda sendiri, periode rekonsiliasi dan keadilan dimulai, dengan didirikannya Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda dan pendirian kembali Gacaca, sistem pengadilan desa tradisional. Selama tahun 2000-an, ekonomi, jumlah wisatawan, dan Indeks Pembangunan Manusia Rwanda meningkat pesat antara 2006 dan 2011 angka kemiskinan berkurang dari 57 hingga 45 persen, dan tingkat kematian anak-anak menurun dari 180 per 1000 kelahiran pada tahun 2000 2000 menjadi 111 per 1000 kelahiran pada tahun 2009. B. Kondisi Geografis Republik Rwanda terletak di 1°56.633′LU 30°3.567′BT. Dengan luas sebesar 26,338 square kilometres (10,169 sq mi), Rwanda adalah negara terluas ke-149 di dunia. Ukurannya kurang lebih sebanding dengan Haiti atau negara bagian Maryland di Amerika Serikat. Seluruh negara berada di elevasi tinggi: titik terendahnya adalah Sungai Rusizi pada ketinggian 950 metres (3,117 ft) di atas permukaan laut. Rwanda terletak di Afrika Tengah/Timur, dan berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo di barat, Uganda di utara, Tanzania di timur, dan Burundi di selatan. Negara ini terletak beberapa derajat dari garis khatulistiwa dan terkurung daratan. Ibukotanya, Kigali, terletak di tengah Rwanda. Batas air antara daerah aliran sungai Kongo dan Nil mengalir dari utara ke selatan melalui Rwanda. Sungai terpanjang di negara ini adalah Nyabarongo, yang mulai mengalir di barat daya, dan kemudian mengalir ke utara, timur, dan tenggara sebelum bergabung dengan Sungai Ruvubu untuk membentuk Sungai Kagera; Kagera lalu mengalir ke utara di sepanjang perbatasan timur dengan Tanzania. Nyabarongo-Kagera akhirnya mengalir ke Danau Victoria, dan sumbernya di Hutan Nyungwe merupakan salah satu kandidat sumber Sungai Nil yang masih belum ditentukan. Rwanda punya banyak danau, dan danau yang terbesar adalah Danau Kivu. Danau ini menduduki dasar Celah Albertine di sepanjang perbatasan barat Rwanda. Dengan kedalaman maksimal sebesar 480 metres (1,575 ft), Danau Kivu merupakan salah satu dari dua puluh danau terdalam di dunia. Danau besar lain meliputi Danau Burera, Ruhondo, Muhazi, Rweru, dan Ihema. Pegunungan mendominasi Rwanda tengah dan barat; pegunungan tersebut merupakan bagian dari Pegunungan Celah Albertine. Puncak-puncak tertinggi dapat ditemui di gugusan gunung berapi Virunga di barat laut; dengan ketinggian 4,507 metres (14,787 ft), titik tertinggi adalah Gunung Karisimbi. Ketinggian bagian barat negara, yang terletak di ekoregion hutan montane Celah Albertine, bervariasi antara 1,500 metres (4,921 ft) hingga 2,500 metres (8,202 ft). Daerah tengah negara didominasi oleh bukit yang berombak-ombak, sementara perbatasan timur terdiri dari sabana, dataran, dan rawa-rawa. Rwanda memiliki iklim tropis dan sedang, dengan suhu yang lebih rendah dibanding negara khatulistiwa lainnya karena ketinggiannya. Kigali, yang terletak di tengah negara, memiliki suhu harian yang bervariasi antara 12 °C (54 °F) hingga 27 °C (81 °F), dengan sedikit variasi sepanjang tahun. Terdapat beberapa variasi suhu di seluruh negara; wilayah barat dan utara yang bergunung biasanya lebih dingin daripada daerah timur yang lebih rendah. Terdapat dua musim hujan dalam satu tahun; musim hujan pertama berlangsung dari Februari hingga Juni, dan musim hujan kedua dari September hingga Desember. Selain itu, juga terdapat dua musim kemarau: musim kemarau besar dari Juni hingga September, dan saat itu seringkali tidak terjadi hujan sama sekali, sementara musim kemarau yang lebih pendek dan ringan berlangsung dari Desember hingga Februari. Curah hujan bervariasi, dengan wilayah barat dan barat laut mendapat lebih banyak hujan daripada wilayah timur dan tenggara. C. Kondisi Kependudukan (Demografi) Berdasarkan perkiraan tahun 2012, jumlah penduduk Rwanda tercatat sebesar 11.689.696. Mayoritas penduduknya masih muda: diperkirakan 42,7% penduduk umurnya masih di bawah 15 tahun, dan 97,5% di bawah 65 tahun. Angka kelahiran tahunan diperkirakan sebesar 40,2 kelahiran per 1000 penduduk, dan angka kematian tercatat sebesar 14,9. Harapan hidup terbilang 58,02 tahun (59,52 tahun untuk perempuan dan 56,57 untuk laki-laki), yang terendah ke-30 di antara 221 negara. Seksratsio negara ini sendiri relatif seimbang. Dengan 408 penduduk per kilometer persegi, kepadatan penduduk Rwanda merupakan salah satu yang tertinggi di Afrika. Sejarawan seperti Gérard Prunier meyakini bahwa genosida 1994 dapat dikaitkan dengan kepadatan penduduk. Masyarakat Rwanda kebanyakan masih bersifat pedesaan, dan hanya ada sedikit kota besar; tempat tinggal penduduk sendiri menyebar secara merata di seluruh negara. Satu-satunya wilayah yang jarang dihuni adalah wilayah sabana di bekas provinsi Umutara dan Taman Nasional Akagera di timur. Kigali adalah kota terbesar dengan jumlah penduduk sebesar satu juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat merupakan tantangan bagi pengembangan infrastruktur. Kota penting lain adalah Gitarama, Butare, dan Gisenyi, ketiganya memiliki jumlah penduduk di bawah 100.000 jiwa. Persentase penduduk perkotaan meningkat dari 6% pada tahun 1990, menjadi 16,6% pada tahun 2006; namun, pada tahun 2011, persentasenya menurun sedikit menjadi 14.8%. Rwanda sudah bersatu semenjak masa prakolonial, dan penduduknya berasal dari satu kelompok etnik dan linguistik saja, yaitu Banyarwanda; hal ini berbeda dengan sebagian besar negara di Afrika yang perbatasannya ditarik berdasarkan warisan kolonial dan tidak sesuai dengan batas etnis kerajaan-kerajaan prakolonial. Di dalam kelompok Banyarwanda, terdapat tiga kelompok terpisah, yaitu Hutu (84% populasi pada tahun 2009), Tutsi (15%), dan Twa (1%). Twa adalah pigmi yang merupakan keturunan dari penduduk pertama Rwanda, namun para ahli masih belum sepakat mengenai asal usul dan perbedaan antara Hutu dan Tutsi. Antropolog Jean Hiernaux menyatakan bahwa Tutsi adalah ras yang berbeda, dengan kecenderungan memiliki "kepala, wajah, dan hidung panjang dan kecil" antropolog lain, seperti Villia Jefremovas, meyakini bahwa tidak ada perbedaan fisik dan kategori tersebut tidak kaku secara historis. Pada zaman prakolonial Rwanda, Tutsi merupakan kelompok yang berkuasa, sementara Hutu merupakan petani. Pemerintah Rwanda saat ini tidak menganjurkan perbedaan antara Hutu/Tutsi/Twa, dan telah menghapuskan klasifikasi tersebut di kartu identitas. Sebagian besar orang Rwanda memeluk agama Katolik, namun ada perubahan demografi keagamaan yang signifikan setelah genosida, dengan banyak orang yang menjadi Kristen Evangelis dan Islam. Pada tahun 2006, 56,5% penduduk Rwanda memeluk agama Katolik, 37,1% Protestan (dengan 11,1% dari antaranya berdenominasi Advent Hari Ketujuh), dan Islam 4.6%, sementara 1,7% menyatakan tidak beragama. Agama tradisional Afrika, meskipun hanya dipeluk oleh 0,1% penduduk, tetap berpengaruh. Banyak orang Rwanda yang memandang bahwa Tuhan dalam agama Kristen sama dengan dewa tradisional Rwanda, Imana. Bahasa utama di Rwanda adalah Kinyarwanda. Bahasa Eropa yang dituturkan pada masa kolonial adalah bahasa Jerman dan bahasa Perancis; bahasa Perancis yang dibawa oleh Belgia tetap menjadi bahasa resmi dan banyak dituturkan setelah kemerdekaan. Arus pengungsi dari Uganda dan tempat lain selama abad ke-20 mengakibatkan munculnya pemisahan linguistik antara penduduk yang berbahasa Inggris dengan penduduk yang berbahasa Perancis. Kinyarwanda, Inggris, dan Perancis adalah bahasa resmi negara. Kinyarwanda adalah bahasa pemerintahan dan bahasa Inggris merupakan bahasa pengantar utama dalam pendidikan. Bahasa Swahili, lingua franca Afrika Timur, juga dituturkan terutama di wilayah pedesaan. Selain itu, penduduk Rwanda di Pulau Nkombo menuturkan bahasa Amashi, yang berhubungan dekat dengan Kinyarwanda. D. Kondisi Perekonomian Ekonomi Rwanda mengalami kehancuran pada saat Genosida kehancuran pengabaian 1994 karena infrastruktur, tanaman korban jiwa, penjarahan, dan panen. Hal ini mengakibatkan merosotnya Produk Domestik Biji kopi di Maraba. Kopi merupakan salah satu sumber kas utama Rwanda. Bruto (PDB) dan menghancurkan daya Tarik investasi. Semenjak itu, ekonomi telah menguat, dengan PDB per kapita (berdasarkankeseimbangan kemampuan berbelanja) tercatat sebesar $1.284 pada tahun 2011, dibandingkan dengan $416 pada tahun 1994. Tujuan ekspor utama meliputi Cina, Jerman, dan Amerika Serikat. Ekonomi diatur oleh Bank Nasional Rwanda dan mata uangnya adalah franc Rwanda; pada Juni 2010, nilai tukarnya adalah 588 franc untuk satu dollar Amerika Serikat. Rwanda bergabung dengan Komunitas Afrika Timur pada tahun 2007 dan ada rencana untuk menetapkan shilling Afrika Timur pada tahun 2015. Rwanda hanya memiliki sedikit sumber daya alam, dan ekonomi bergantung pada sektor agrikultur teras yang menggunakan alat sederhana Diperkirakan 90% dari peternakan dan agrikultur meliputi 42,1% dari PDB pada tahun 2010. Semenjak pertengahan tahun 1980an, peternakan dan produksi makanan berkurang akibat perpindahan tempat tinggal orang yang terlantar. Meskipun ekosistem Rwanda subur, produksi makanan tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga makanan harus diimpor. Hasil panen meliputi kopi, teh, piretrum, pisang, kacang, sorgum, dan kentang. Kopi dan teh adalah komoditas ekspor utama karena didukung oleh elevasi tinggi, lereng curam, dan tanah vulkanik. Namun, ebergantungan kepada ekspor agrikultur mengakibatkan kerentanan terhadap perubahan harga. Sementara itu, hewan yang diternak di Rwanda meliputi sapi, kambing, domba, babi, ayam, dan kelinci. Sistem produksi biasanya masih tradisional, meskipun ada beberapa peternakan intensif di sekitar Kigali. Sayangnya, kelangkaan tanah dan air, makanan yang tidak cukup dan berkualitas rendah, dan penyakit serta layanan dokter hewan yang tidak cukup merupakan penghambat maksimalisasi hasil ternak. Di sisi lain, sektor perikanan dapat ditemui di danau, akan tetapi sumber dayanya hampir habis, sehingga ikan hidup diimpor untuk memulihkan industri ini. Sektor industri masih kecil, dan meliputi 14,3 dari PDB pada tahun 2010. Produk yang dihasilkan contohnya adalah semen, produk agrikultur, minuman berskala kecil, sabun, furnitur, sepatu, barang plastik, tekstik, dan rokok. Industri penambangan Rwanda juga merupakan sektor yang penting; pada tahun 2008, sektor ini menghasilkan $93 juta. Barang tambang meliputi kasiterit, wolframit, emas, dan koltan, yang digunakan untuk produksi alat elektronik dan komunikasi seperti telepon genggam. Sektor jasa Rwanda mengalami kemunduran selama resesi global akhir dasawarsa 2000-an karena berkurangnya pinjaman bank, bantuan asing, dan investasi. Sektor ini melambung kembali pada tahun 2010, menjadi sektor terbesar negara berdasarkan hasil dan meliputi 43,6% PDB. Penyumbang tersier utama meliputi sektor perbankan dan keuangan, usaha grosir dan eceran, hotel dan restoran, transportasi, gudang, komunikasi, asuransi, lahan yasan, jasa perniagaan, dan tata usaha umum seperti pendidikan dan kesehatan. Pariwisata merupakan sektor yang berkembang paling pesat dan menjadi sumber devisa utama pada tahun 2011. Meskipun memiliki sejarah genosida, Rwanda semakin dipandang sebagai tujuan wisata yang aman; Direktorat Imigrasi dan Emigrasi mencatat bahwa 405.801 datang mengunjungi negara ini antara Januari dan Juni 2011, dengan 16% di antaranya berasal dari luar Afrika. Pendapatan dari sektor pariwisata diperkirakan sebesar US$115,6 juta antara Januari dan Juni 2011; orang yang berlibur menyumbang sekitar 43% dari pendapatan tersebut, meskipun persentasenya hanya 9%. Di Rwanda, gorila pegunungan dapat dikunjungi dengan aman; pelacakan gorila di Taman Nasional Volcans menarik ribuan pengunjung setiap tahunnya, yang siap membayar mahal untuk memperoleh izin. Tujuan wisata lainnya adalah Hutan Nyungwe (tempat tinggal simpanse, kolobus Ruwenzori dan primata lainnya), resor di Danau Kivu, serta Akagera (cagar sabana di wilayah timur Rwanda). E. Pariwisata Negara Pariwisata di Rwanda merupakan sektor ekonomi yang berkembang pesat setelah Genosida Rwanda pada tahun 1994. Pada tahun 2010, 666.000 wisatawan mengunjungi Rwanda. Pendapatan dari sektor ini tercatat sebesar $200 juta. Rwanda terletak di Afrika Tengah dan terkenal akan sejarah dan keindahan alamnya. Ada banyak tempat menarik di Rwanda, seperti ekspedisi ke gunung berapi, air terjun, dan hujan hujan. Selain itu, aktivitas yang sering dilakukan di Rwanda adalah pelacakan gorila pegunungan. Meskipun Rwanda adalah negara berkembang, terdapat beberapa hotel. Kantong plastik secara resmi dilarang di Rwanda, dan wisatawan diperingati untuk tindak membawanya. Sumber Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Rwanda Pantai Gading Pantai Gading atau Côte d' Ivoire, secara resmi Republik Pantai Gading (Perancis: République de Côte d' Ivoire) , adalah sebuah negara di Afrika Barat. ibukota Pantai Gading adalah Yamoussoukro dan kota terbesar adalah kota pelabuhan Abidjan. Sebelum kolonisasi oleh orang Eropa, Pantai Gading adalah rumah bagi beberapa negara, termasuk Gyaaman, Kekaisaran Kong, dan Baoule. Ada dua kerajaan Anyi, Indénié dan Sanwi, yang berusaha untuk mempertahankan identitas terpisah mereka melalui masa kolonial Perancis dan setelah kemerdekaan. Pantai Gading menjadi protektorat Perancis pada 1843-1844 dan kemudian dibentuk menjadi koloni Perancis pada tahun 1893 di tengah perebutan Eropa untuk Afrika. Pantai Gading mencapai kemerdekaan pada tahun 1960, yang dipimpin oleh Félix Houphouët - Boigny, yang memerintah negara hingga tahun 1993. Ini dipelihara hubungan politik dan ekonomi yang erat dengan tetangga Afrika Barat, sementara pada saat yang sama menjaga hubungan dekat dengan Barat, terutama Perancis. Sejak akhir pemerintahan Houphouët - Boigny pada tahun 1993, Pantai Gading telah mengalami satu kudeta, pada tahun 1999, dan dua agama beralasan perang saudara: pengambilan tempat pertama antara tahun 2002 dan 2007, dan yang kedua selama 2010-2011. Pantai Gading adalah sebuah republik dengan kekuasaan eksekutif yang kuat diinvestasikan dalam presidennya. Melalui produksi kopi dan kakao, negara adalah pusat kekuatan ekonomi di Afrika Barat selama tahun 1960 dan 1970-an. Pantai Gading mengalami krisis ekonomi pada 1980-an, memberikan kontribusi untuk periode kekacauan politik dan sosial. Ekonomi Pantai Gading abad ke-21 sebagian besar berbasis pasar dan masih sangat bergantung pada pertanian, dengan produksi petani tanaman pangan menjadi dominan. Bahasa resmi Perancis, dengan bahasa lokal pribumi juga banyak digunakan, termasuk Baoule, Dioula, Dan, Anyin dan Cebaara Senufo. Agama-agama utama adalah Islam, Kristen (terutama Katolik Roma) dan berbagai agama pribumi. A. Sejarah Berdirinya Negara Migrasi Kehadiran manusia pertama di Pantai Gading telah sulit untuk menentukan karena sisa-sisa manusia belum terawat dengan baik di iklim lembab negara. Namun, kehadiran baru ditemukan senjata dan alat fragmen (khusus, sumbu dipoles memotong serpih dan sisa-sisa memasak dan memancing) telah ditafsirkan sebagai indikasi kemungkinan keberadaan manusia yang besar selama periode Paleolitik (15.000 sampai 10.000 SM), atau minimal, periode Neolitik. Penduduk awal dikenal Pantai Gading telah meninggalkan jejak yang tersebar di seluruh wilayah. Sejarawan percaya bahwa mereka semua baik pengungsi atau diserap oleh nenek moyang penduduk asli ini, yang bermigrasi ke selatan ke daerah sebelum abad ke-16 . Kelompok semacam termasuk Ehotilé (Aboisso), Kotrowou (Fresco), Zéhiri (Grand Lahou), Ega dan mati (Divo). Periode Pra-Islam dan Islam Sejarah mencatat pertama ditemukan dalam tulisan Afrika Utara ( Berber ) pedagang, yang, dari zaman Romawi awal, melakukan perdagangan kafilah melintasi Sahara seperti garam, budak, emas, dan barang-barang lainnya. Terminal selatan transRute perdagangan Sahara terletak di tepi padang gurun, dan dari perdagangan tambahan ada diperpanjang selatan sejauh tepi hutan hujan. Terminal yang lebih penting Djenné, Gao, dan Timbuctu Tumbuh menjadi pusat perdagangan utama di sekitar yang kerajaan Sudanic besar dikembangkan. Dengan mengontrol rute perdagangan dengan kekuatan militer mereka yang kuat, kerajaan ini mampu mendominasi negara-negara tetangga. Kerajaan Sudanic juga menjadi pusat pendidikan Islam. Islam telah diperkenalkan di Sudan barat. Muslim Berber pedagang dari Afrika Utara; itu menyebar dengan cepat setelah konversi banyak penguasa yang penting. Dari abad ke-11, saat para penguasa kerajaan Sudanic telah memeluk Islam, menyebar ke selatan ke wilayah utara Pantai Gading kontemporer. Kerajaan Ghana, awal dari kerajaan Sudanic, berkembang di masa kini Mauritania timur dari keempat untuk abad ke-13. Pada puncak kekuasaannya di abad ke-11, alam yang terbentang dari Samudera Atlantik ke Timbuctu. Setelah penurunan Ghana, Kekaisaran Mali tumbuh menjadi sebuah negara Muslim yang kuat, yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-14. Wilayah Kekaisaran Mali di Pantai Gading terbatas pada utara-barat sudut sekitar Odienné. Penurunan lambat dimulai pada akhir abad ke-14 diikuti perselisihan internal dan pemberontakan oleh negara-negara pengikut, salah satunya, Songhai, berkembang sebagai sebuah kerajaan antara abad keempat belas dan keenam belas. Songhai juga lemah karena perselisihan internal, yang menyebabkan perang antar faksi. Perselisihan ini mendorong sebagian besar migrasi masyarakat selatan menuju sabuk hutan. Hutan hujan lebat, yang meliputi bagian selatan negara itu, menciptakan hambatan bagi organisasi politik besar-besaran yang telah muncul di utara. Penduduk tinggal di desadesa atau kelompok desa; kontak mereka dengan dunia luar disaring melalui pedagang jarak jauh. Penduduk desa hidup dari pertanian dan berburu. Era Pra-Eropa Lima negara berkembang penting di Pantai Gading di era pra-Eropa. Muslim Kong Empire didirikan oleh Juula di abad ke-18 awal utara-tengah wilayah yang dihuni oleh Sénoufo, yang telah melarikan diri Islamisasi di bawah Kekaisaran Mali. Meskipun Kong menjadi pusat makmur pertanian, perdagangan, dan kerajinan, keragaman etnis dan perpecahan agama secara bertahap melemah kerajaan. Kota Kong dihancurkan pada tahun 1895 oleh Samori Ture. The Abron Kerajaan Gyaaman didirikan pada abad ke-17 oleh kelompok Akan, yang Abron, yang telah melarikan diri berkembang Ashanti konfederasi Asanteman dalam apa yang kini Ghana. Dari pemukiman mereka di selatan Bondoukou, yang Abron bertahap diperluas hegemoni mereka atas orang-orang Dyula di Bondoukou, yang baru-baru ini emigran dari kota pasar Begho. Bondoukou berkembang menjadi pusat utama perdagangan dan Islam. Sarjana Quran kerajaan menarik siswa dari seluruh penjuru Afrika Barat. Pada pertengahan abad ke-17 di Pantai Gading timur-tengah, kelompok Akan lain melarikan diri Asante mendirikan kerajaan Baoule di Sakasso dan dua kerajaan Agni, Indénié dan Sanwi. The Baoule, seperti Ashanti, mengembangkan struktur politik dan administrasi yang sangat terpusat di bawah tiga penguasa berturut-turut. Akhirnya dibagi menjadi chiefdom kecil. Meskipun pecahnya kerajaan mereka, Baoule sangat menolak kuasa Perancis. Keturunan dari penguasa kerajaan Agni mencoba untuk mempertahankan identitas mereka yang terpisah lama setelah kemerdekaan Pantai Gading; hingga akhir 1969, Sanwi berusaha untuk melepaskan diri dari Pantai Gading dan membentuk sebuah kerajaan independen. Raja saat Sanwi adalah Nana Amon Ndoufou V (sejak tahun 2002). Pembentukan Pemerintahan Prancis Dibandingkan dengan negara tetangga Ghana, Pantai Gading menderita sedikit dari perdagangan budak, sebagai budak dan pedagang kapal Eropa lebih suka daerah lain di sepanjang pantai dengan pelabuhan yang lebih baik. Tercatat paling awal perjalanan Eropa ke Afrika Barat dibuat oleh Portugis dan terjadi pada 1482. Yang pertama pemukiman Perancis Afrika Barat, Saint Louis, didirikan pada pertengahan abad ke-17 di Senegal, sementara pada waktu yang sama, Belanda menyerahkan ke Perancis pemukiman di Goree Island, off Dakar. Sebuah misi Perancis didirikan pada tahun 1637 Assinie dekat perbatasan dengan Gold Coast (sekarang Ghana). Kelangsungan hidup Assinie adalah genting, namun itu tidak sampai pertengahan abad ke-19 bahwa Prancis mapan di Pantai Gading. Pada 1843, laksamana Perancis BouetWillaumez menandatangani perjanjian dengan raja-raja Grand Bassam dan Assinie daerah, membuat wilayah mereka protektorat Perancis. Penjelajah Perancis, misionaris, perusahaan perdagangan, dan tentara bertahap diperluas daerah di bawah kekuasaan Prancis pedalaman dari wilayah laguna. Pengamanan tidak dilakukan sampai 1915. Kegiatan sepanjang pantai mendorong minat Eropa di pedalaman, terutama di sepanjang dua sungai besar, Senegal dan Niger. Eksplorasi Perancis bersama dari Afrika Barat dimulai pada pertengahan abad ke -19, tetapi bergerak perlahan, lebih didasarkan pada inisiatif individu dari pada kebijakan pemerintah. Pada tahun 1840-an, Perancis menyimpulkan serangkaian perjanjian dengan penguasa Afrika Barat lokal yang memungkinkan Perancis untuk membangun pos benteng di sepanjang Teluk Guinea untuk melayani pusat-pusat perdagangan yang permanen. Pos-pos pertama di Pantai Gading termasuk salah satu di Assinie dan satu lagi di Grand Bassam, yang menjadi ibukota pertama koloni. Perjanjian disediakan untuk kedaulatan Perancis dalam tulisan, dan perdagangan hak dalam pertukaran untuk biaya atau coutumes dibayarkan setiap tahun untuk para penguasa lokal untuk penggunaan tanah. Pengaturan ini tidak sepenuhnya memuaskan Perancis, karena perdagangan terbatas dan kesalah pahaman atas kewajiban perjanjian sering muncul. Namun demikian, pemerintah Perancis mempertahankan perjanjian, berharap untuk memperluas perdagangan. Perancis juga ingin mempertahankan kehadiran di wilayah tersebut untuk membendung meningkatnya pengaruh Inggris di sepanjang pantai Teluk Guinea. Perancis membangun pangkalan angkatan laut untuk mencegah pedagang nonPerancis dan memulai penaklukan sistematis interior. (Mereka capai ini hanya setelah perang panjang di tahun 1890-an melawan pasukan Mandinka, sebagian besar dari Gambia. Gerilya perang oleh Baoule dan kelompok timur lainnya berlanjut sampai 1917). Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia tahun 1871 dan aneksasi berikutnya oleh Jerman provinsi Perancis Alsace Lorraine disebabkan pemerintah Perancis untuk meninggalkan ambisi kolonial dan menarik garnisun militer dari Perancis pos perdagangan yang Afrika Barat, meninggalkan mereka di perawatan pedagang penduduk. Pos perdagangan di Grand Bassam di Pantai Gading yang tersisa dalam perawatan pengirim dari Marseille, Arthur Verdier, yang pada tahun 1878 bernama Penduduk Pembentukan Pantai Gading. Pada tahun 1886, untuk mendukung klaim pendudukan efektif, Perancis lagi memegang kendali langsung pos perdagangan pesisir Afrika Barat dan memulai program akselerasi eksplorasi di pedalaman. Pada tahun 1887 Letnan Louis Gustave Binger memulai perjalanan dua tahun yang melintasi bagian interior Pantai Gading. Pada akhir perjalanan, ia menyimpulkan empat perjanjian mendirikan protektorat Perancis di Pantai Gading. Juga pada tahun 1887, agen Verdier itu, Marcel Treich- Laplène, dinegosiasikan lima perjanjian tambahan yang memperluas pengaruh Perancis dari hulu Sungai Niger Basin melalui Pantai Gading. Era Kolonial Prancis Pada akhir tahun 1880-an, Perancis telah membentuk apa yang berlalu untuk kontrol atas wilayah pesisir Pantai Gading, dan pada tahun 1889 Inggris mengakui kedaulatan Perancis di daerah. Pada tahun yang sama, Perancis yang bernama TreichLaplène Gubernur tituler wilayah. Pada tahun 1893 Pantai Gading itu membuat koloni Perancis, dan kemudian Kapten Binger diangkat gubernur. Perjanjian dengan Liberia pada tahun 1892 dan dengan Inggris pada tahun 1893 menentukan batas timur dan barat koloni, tetapi batas utara tidak tetap sampai 1947 karena upaya oleh pemerintah Perancis untuk melampirkan bagian Upper Volta (sekarang Burkina Faso) dan French Sudan (sekarang Mali) ke Pantai Gading untuk alasan ekonomi dan administrasi. Tujuan utama Perancis adalah untuk merangsang produksi ekspor. Kopi, kakao dan kelapa sawit tanaman segera ditanam di sepanjang pantai. Pantai Gading berdiri sebagai satu-satunya negara Afrika Barat dengan populasi yang cukup besar pemukim; di tempat lain di Afrika Barat dan Tengah, Perancis dan Inggris sebagian besar birokrat. Akibatnya, warga negara Prancis yang dimiliki sepertiga dari perkebunan kakao, kopi dan pisang dan mengadopsi sistem kerja paksa. Sepanjang tahun-tahun awal pemerintahan Perancis, kontingen militer Perancis dikirim ke pedalaman untuk membangun pesan baru. Beberapa penduduk asli menolak penetrasi Perancis dan pemukiman. Di antara mereka memberikan perlawanan terbesar adalah Samori Ture, yang pada tahun 1880-an dan 1890-an itu mendirikan Wassoulou Empire, yang diperpanjang selama sebagian besar masa kini Guinea, Mali, Burkina Faso, dan Pantai Gading. Besar tentara Samori Ture itu, dilengkapi dengan baik, yang bisa memproduksi dan memperbaiki senjata api sendiri, menarik dukungan yang kuat di seluruh wilayah. Perancis menanggapi ekspansi Samori Ture di kontrol regional dengan tekanan militer. Kampanye Perancis melawan Samori Ture, yang bertemu dengan perlawanan sengit, intensif pada pertengahan 1890-an sampai ia ditangkap pada tahun 1898. Pengenaan Perancis dari pajak kepala pada tahun 1900 untuk mendukung koloni dalam program pekerjaan umum, memicu sejumlah pemberontakan. Ivoirians dilihat pajak sebagai pelanggaran ketentuan perjanjian protektorat, karena mereka berpikir bahwa Perancis menuntut setara kostum dari raja-raja loka , bukan sebaliknya. Sebagian besar penduduk, terutama di pedalaman, yang dianggap sebagai pajak simbol memalukan penyerahan. Dari 1904-1958, Pantai Gading adalah unit konstituen Federasi Perancis Afrika Barat. Itu adalah koloni dan wilayah luar negeri di bawah Republik Ketiga. Dalam Perang Dunia I Pantai Gading dimasukkan ke dalam posisi yang buruk dengan invasi Jerman mengancam pada 1914. Tapi setelah Perancis membuat resimen dari Pantai Gading untuk bertarung di Perancis. Sumber Coloney dijatah 1917-1919. Beberapa 150.000 orang dari Pantai Gading meninggal di Perang Dunia I. Sampai periode setelah Perang Dunia II, urusan pemerintahan di Perancis Afrika Barat diberikan dari Paris. Kebijakan Perancis di Afrika Barat tercermin terutama dalam filosofi dari "asosiasi", yang berarti bahwa semua orang Afrika di Pantai Gading secara resmi Perancis "pelajaran", tetapi tanpa hak perwakilan di Afrika atau Perancis. Kebijakan kolonial Perancis dimasukkan konsep asimilasi dan asosiasi. Berdasarkan asumsi superioritas budaya Perancis atas semua orang lain, dalam prakteknya kebijakan asimilasi berarti perpanjangan bahasa Perancis, lembaga, hukum, dan adat istiadat di koloni. Kebijakan asosiasi juga menegaskan keunggulan Prancis di koloni, tetapi mensyaratkan lembaga dan sistem hukum untuk penjajah dan terjajah yang berbeda. Di bawah kebijakan ini, orang Afrika di Pantai Gading diizinkan untuk melestarikan adat istiadat mereka sendiri sejauh mereka sesuai dengan kepentingan Perancis. Elite pribumi yang terlatih dalam praktek administrasi Perancis membentuk kelompok perantara antara Perancis dan Afrika. Asimilasi dipraktekkan di Pantai Gading sejauh bahwa setelah tahun 1930, sejumlah kecil kebarat-baratan Ivoirians diberikan hak untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan Perancis. Kebanyakan Ivoirians Namun, diklasifikasikan sebagai subyek Perancis dan diperintah di bawah prinsip asosiasi. Sebagai subyek Perancis, mereka tidak memiliki hak-hak politik. Mereka dirancang untuk bekerja di pertambangan, perkebunan, sebagai kuli, dan pada proyekproyek publik sebagai bagian dari tanggung jawab pajak mereka. Mereka diharapkan untuk melayani di militer dan tunduk pada indigénat, suatu sistem yang terpisah dari hukum. Dalam Perang Dunia II, rezim Vichy tetap memegang kendali sampai tahun 1942, ketika pasukan Inggris menyerang tanpa banyak perlawanan. Winston Churchill memberikan kekuasaan kembali ke anggota pemerintah sementara Jenderal Charles de Gaulle. Pada tahun 1943 Sekutu telah kembali Perancis Afrika Barat kembali ke Perancis. Brazzaville Conference 1944, Majelis Konstituante pertama Republik Keempat tahun 1946, dan Perancis rasa syukur atas kesetiaan Afrika selama Perang Dunia II menyebabkan jauh reformasi pemerintah pada tahun 1946. kewarganegaraan Perancis diberikan kepada semua Afrika "mata pelajaran," kanan untuk mengatur politik diakui, dan berbagai bentuk kerja paksa dihapuskan. Sampai tahun 1958, gubernur ditunjuk di Paris diberikan koloni Pantai Gading, menggunakan sistem direct, administrasi terpusat yang meninggalkan sedikit ruang untuk partisipasi Ivoirian dalam pembuatan kebijakan. Sedangkan pemerintahan kolonial Inggris mengadopsi kebijakan membagi-dan-aturan di tempat lain, menerapkan ide-ide asimilasi hanya untuk elit berpendidikan, Perancis tertarik dalam memastikan bahwa elit kecil tapi berpengaruh adalah cukup puas dengan status quo untuk menahan diri dari sentimen anti-Prancis . Meskipun sangat menentang praktekpraktek asosiasi, Ivoirians berpendidikan percaya bahwa mereka akan mencapai kesetaraan dengan rekan-rekan mereka Perancis melalui asimilasi daripada melalui kemerdekaan penuh dari Perancis. Tapi, setelah doktrin asimilasi dilaksanakan sepenuhnya melalui reformasi pasca-perang, pemimpin Ivoirian menyadari bahwa bahkan asimilasi tersirat keunggulan Perancis atas Ivoirians, dan bahwa diskriminasi dan ketidaksetaraan politik akan berakhir hanya dengan kemerdekaan. Kemerdekaan Putra seorang kepala Baoule, Félix Houphouët-Boigny, yang menjadi ayah Kemerdekaan Pantai Gading. Pada tahun 1944 ia membentuk serikat pekerja pertanian pertama di negara itu untuk petani kakao di Afrika seperti dirinya. Marah bahwa kebijakan kolonial disukai pemilik perkebunan Perancis, mereka bersatu untuk merekrut pekerja migran untuk pertanian mereka sendiri. Houphouët-Boigny segera bangkit untuk menonjol dan dalam waktu satu tahun terpilih Parlemen Perancis di Paris. Setahun kemudian Perancis dihapuskan kerja paksa. Houphouët-Boigny menjalin hubungan yang kuat dengan pemerintah Prancis, mengungkapkan keyakinan bahwa negara akan mendapatkan keuntungan dari itu, yang hal itu selama bertahuntahun. Perancis menunjuk dia sebagai orang Afrika pertama yang menjadi menteri di pemerintahan Eropa. Sebuah titik balik dalam hubungan dengan Perancis dicapai dengan 1.956 Overseas Reformasi Undang-Undang (Loi Kader), yang ditransfer sejumlah kekuatan dari Paris ke pemerintah wilayah terpilih di Perancis Afrika Barat dan juga dihapus tersisa ketidaksetaraan suara. Pada tahun 1958, Pantai Gading menjadi anggota otonom dari Komunitas Perancis (yang menggantikan Uni Perancis). Pada saat kemerdekaan Pantai Gading (1960), negara itu dengan mudah Perancis Afrika Barat yang paling makmur, memberikan kontribusi lebih dari 40% dari total ekspor di kawasan itu. Ketika Houphouët-Boigny menjadi presiden pertama, pemerintahnya memberikan petani harga yang baik untuk produk mereka untuk lebih merangsang produksi. Hal ini lebih didorong oleh imigrasi besar pekerja dari negaranegara sekitarnya. Produksi kopi meningkat secara signifikan, terlempar Pantai Gading ke tempat ketiga dalam output dunia (di belakang Brazil dan Kolombia). Pada 1979, negara ini menjadi produsen kakao dunia. Hal ini juga menjadi eksportir terkemuka Afrika nanas dan kelapa sawit. Teknisi Perancis kontribusi terhadap 'keajaiban Ivoirian'. Di negara-negara Afrika lainnya, orang-orang mengusir orang Eropa setelah kemerdekaan; tetapi di Pantai Gading, mereka dituangkan dalam. Masyarakat Perancis tumbuh dari hanya 30.000 sebelum kemerdekaan 60.000 pada tahun 1980, sebagian besar dari mereka guru, manajer dan penasihat. [39] Selama 20 tahun, perekonomian mempertahankan tingkat pertumbuhan tahunan hampir 10 % -yang tertinggi negara-negara non-ekspor minyak Afrika. B. Kondisi Geografis Pantai Gading Terletak di 6°51′N 5°18′W dengan luas daerah mencapai 322,463 km2 dan Perairan 14%. Pantai Gading (Côte d'Ivoire) adalah sebuah negara di Afrika Barat yang berbatasan dengan Liberia, Guinea, Mali, Burkina Faso, dan Ghana di sebelah barat, utara dan timur serta dengan Teluk Guinea di sebelah selatan. Secara umum Pantai Gading menggambarkan zona ekologi yang berupa daerah pegunungan yang banyak hujan di bagian selatan (dekat ekuator) sedangkan di bagian utara merupakan daerah peralihan ke iklim gurun (kering) dengan banyak sungai mengalir ke pantai Teluk Guinea.Sementara Sungai Niger yang mengalir di bagian wilayah utara dari barat ke timur untuk kemudian ke selatan bermuara di pantai Teluk Guinea di Nigeria telah menopang kehidupan banyak penduduk di sejumlah negara yang dilewatinya serta menjadi pusat lalu lintas perdagangan dengan Eropa dan Asia.Dan Afrika Barat merupakan tempat persinggahan pertama pelayaran orang Eropa mencari rempah-rempah pada abad 15. Dengan keadaan alam yang cukup menguntungkan berupa letaknya di tepi Teluk Guinea,topografi perbukitan dan pegunungan yang cukup hujan,banyak sungai kecil dan besar serta tanah yang cukup subur untuk pertanian dan perkebunan. C. Kondisi Kependudukan Demografi Jumlah penduduk negara Pantai Gading adalah 15.366.672 pada tahun 1998, dan diperkirakan 20.617.068 pada tahun 2009, dan 23.919.000 pada bulan Juli 2014. Pantai Gading sensus nasional pertama pada tahun 1975 sebanyak 6,7 juta jiwa. Menurut 2012 survei pemerintah, tingkat kesuburan adalah 5.0, dengan 3,7 di daerah perkotaan dan 6,3 di daerah pedesaan. Bahasa Perancis, bahasa resmi, yang diajarkan di sekolah-sekolah dan berfungsi sebagai lingua franca di negara ini. Diperkirakan 65 bahasa digunakan di Pantai Gading. Salah satu yang paling umum adalah Dyula yang bertindak sebagai bahasa perdagangan serta bahasa yang biasa digunakan oleh penduduk Muslim. Kelompot etnis Kelompok etnis termasuk Akan 42,1 %, Voltaiques atau Gur 17,6 % , Northern Mandes 16,5 %, Krous 11%, Southern Mandes 10 % , lainnya 2,8 % ( termasuk 30.000 Lebanon dan 45.000 Perancis; 2004). 77 % dari populasi dianggap Ivoirians. Sejak Pantai Gading telah memantapkan dirinya sebagai salah satu negara Afrika Barat yang paling sukses, sekitar 20% dari populasi (sekitar 3,4 juta) terdiri dari pekerja dari negara tetangga Liberia, Burkina Faso dan Guinea. 4 % dari populasi adalah keturunan non-Afrika. Banyak Perancis, Lebanon, Vietnam dan Spanyol warga, serta misionaris Protestan dari Amerika Serikat dan Kanada. Pada bulan November 2004, sekitar 10.000 Perancis dan lainnya warga negara asing dievakuasi Pantai Gading karena serangan dari milisi pemuda pro-pemerintah. Selain dari warga Perancis, ada keturunan kelahiran asli pemukim Perancis yang tiba selama periode kolonial negara itu. Agama Penduduk asli kelahiran kira-kira dibagi menjadi tiga kelompok Muslim, Kristen (terutama Katolik Roma) dan animisme. Agama di Pantai Gading masih sangat heterogen, dengan Islam (hampir semua Muslim Sunni, dengan beberapa Muslim Ahmadi) dan Kristen (sebagian besar Katolik Roma dengan jumlah yang lebih kecil dari Methodis dan Protestan) menjadi agama-agama besar. Muslim mendominasi utara, sementara orang-orang Kristen mendominasi selatan. Pada tahun 2009, menurut US Department of perkiraan Negara, Kristen dan Muslim masing-masing terdiri 35 sampai 40 % dari populasi, sementara sekitar 25 % dari populasi dipraktekkan agama tradisional. Ibukota Pantai Gading, Yamoussoukro, adalah rumah bagi bangunan gereja terbesar di dunia, Basilika Our Lady of Peace of Yamoussoukro. D. Perekonomian Negara Ekonomi Utama Pantai Gading berasal dari agrikultur terutama Cokelat, dimana Pantai Gading merupakan negara penghasil dan pengekspor cokelat terbesar di dunia. Perkebunan Cokelat di Negara ini banyak sekali menyerap tenaga kerja dari negara - negara tetangga seperti Ghana, Liberia, Sierra Leone, Guinea, Senegal, Guinea - Bissau, Cape Verde, Nigeria, Benin, dan Togo. Selain Cokelat, hasil utama pertanian di Pantai Gading adalah Kopi, Karet, Tebu, Kelapa, dan Kelapa Sawit. E. Kegiatan Pariwisata Negara Pantai Gading menawarkan banyak kesempatan untuk wisatawan, mulai dari pengalaman wisata untuk kegiatan olahraga. Negara di Afrika Barat ini juga dikenal sebagai Pantai Gading, dan Perancis adalah bahasa resmi. Kota-kota besar termasuk Abidjan dan ibukota negara, Yamoussoukro. Samudera Atlantik berbatasan dengan negara Selatan serta Barat. Abidjan adalah rumah bagi Museum utama di negara ini. Musée National berada dekat dengan pasar Le Plateau dan berisi lebih dari 20.000 keping Afrika seperti patung kayu, tembikar, masker. gading, Musée perunggu Municipal dan d'Art Contemporain de Cocody menawarkan pengunjung pemandangan karya kontemporer dari seniman Afrika. Pilihan museum lainnya termasuk Museum kostum asli yang menampilkan item pakaian asli serta Museum of Civilization, yang menampilkan pameran yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan sosiologi. Cathedrale St Paul di Abidjan memiliki patung St. Paul Selain beberapa tableaux yang menggambarkan adegan agama. Yamoussoukro's Basilique de Notre Dame de la Paix menyerupai Katedral Santo Petrus di Roma. Pada saat penciptaan, Basilique de Notre Dame de la Paix dikatakan menjadi salah satu tempat Kristen terbesar ibadah di dunia. Juga di Yamoussoukro, Fondation Houphouet-Boigny adalah rumah bagi negara mantan pemimpin Felix Houphouet-Boigny dan situs pemakaman. Danau onsite meliputi buaya yang makan setiap hari oleh para pembantu. Semua itu gratis dan terbuka untuk umum. Sumber Referensi: http://en.wikipedia.org/wiki/Ivory_Coast#Economy http://glogngeblo.blogspot.com/2013/08/hal-hal-untuk-dilihat-dan-dilakukan-di.html