File - Republik Rwanda

advertisement
Republik Rwanda
Secara
resmi
Republik
Rwanda
(Kinyarwanda: Repubulika y'u Rwanda; bahasa
Perancis: République du Rwanda), adalah sebuah
negara di Afrika Tengah. Negara ini terletak
beberapa derajat di bawah garis khatulistiwa dan
berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Burundi, serta Republik Demokratik Kongo.
Semua wilayah Rwanda berada pada elevasi tinggi, dengan didominasi oleh
pegunungan di bagian barat, sabana di bagian timur, dan berbagai danau tersebar di
seluruh negeri. Iklimnya hangat hingga subtropis, dengan dua musim hujan dan musim
kemarau per tahun.
Penduduk Rwanda relatif muda dan masih didominasi pedesaan, sementara kepadatan
penduduknya merupakan salah satu yang tertinggi di Afrika. Di Rwanda terdapat tiga
kelompok: Hutu, Tutsi, dan Twa. Twa adalah pigmi yang tinggal di hutan dan
merupakan keturunan dari penduduk paling pertama Rwanda, namun para ahli masih
belum sepakat mengenai asal usul dan perbedaan antara Hutu dan Tutsi; beberapa
meyakini bahwa keduanya merupakan kasta sosial, sementara yang lain
memandangnya sebagai ras atau suku. Kekristenan adalah agama mayoritas di
Rwanda, dan bahasa utamanya adalah Bahasa Kinyarwanda, yang dituturkan oleh
sebagian besar penduduk Rwanda. Sistem pemerintahan di Rwanda adalah sistem
presidensial. Presiden Rwanda adalah Paul Kagame dari Partai Front Patriotik Rwanda
(FPR), yang mulai berkuasa pada tahun 2000. Rwanda memiliki tingkat korupsi yang
rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, namun organisasi-organisasi
kemanusiaan menyatakan penindasan terhadap golongan oposisi, intimidasi, dan
pelarangan dalam kebabasan berpendapat. Negara ini telah diperintah oleh pemerintah
administrasi hierarki yang ketat sejak masa pra-kolonial. Di sana sekarang ada 5
provinsi, yang digariskan oleh batas yang digambar pada tahun 2006.
Pemburu-pengumpul menetap menetap di wilayah ini pada Zaman Batu dan Zaman
Besi, diikuti oleh Suku Bantu. Penduduk pun bersatu, pertama-tama sebagai klan lalu
menjadi kerajaan. Kerajaan Rwanda mendominasi dari masa pertengahan abad ke-18,
dengan raja-raja Tutsi yang menguasai yang lain secara militer, memusatkan
kekuasaan, dan kemudian mengesahkan kebijakan anti-Hutu. Jerman menjajah
Rwanda pada tahun 1884, diikuti oleh Belgia, yang menginvasi pada tahun 1916 saat
Perang Dunia I. Kedua negara Eropa tersebut memerintah melalui raja-raja dan
menetapkan kebijakan pro-Tutsi. Penduduk Hutu memberontak pada tahun 1959,
membantai Suku Tutsi dalam jumlah besar dan akhirnya mendirikan negara bebas yang
didominasi oleh Hutu pada tahun 1962. Front Patriotik Rwanda yang dipimpin oleh
Tutsi melancarkan Perang Saudara Rwanda pada tahun 1990, lalu diikuti oleh
Pembantaian Rwanda tahun 1994. Dalam peristiwa tersebut, ekstremis Hutu
membunuh sekitar 500.000 sampai 1 juta (perkiraan) Tutsi dan kaum Hutu moderat.
Ekonomi Rwanda mengalami kekacauan selama Pembantaian Rwanda 1994, namun
setelah itu menguat. Ekonominya didasarkan terutama pada sektor agrikultur. Kopi dan
teh merupakan komoditas ekspor yang menjadi sumber devisa utama. Pariwisata
merupakan sektor yang berkembang pesat dan kini merupakan sumber devisa utama;
di negara ini gorila pegunungan dapat dikunjungi dengan aman, dan wisatawan siap
membayar mahal untuk memperoleh izin melacak gorila. Musik dan tari merupakan
bagian penting dalam budaya Rwanda, terutama drum dan tari intore. Seni dan
kerajinan tradisional juga dibuat di seluruh negeri, seperti imigongo, seni kotoran sapi
yang unik.
A. Sejarah Berdirinya Negara
Manusia mulai menetap di wilayah yang saat ini
dikenal sebagai Rwanda setelah zaman es terakhir,
antara periode Neolitik sekitar tahun 8000 SM
atau periode lembab panjang yang berlangsung
hingga sekitar tahun 3000 SM. Bukti permukiman
pemburu-pengumpul yang tersebar dari zaman
batu akhir telah ditemukan, yang kemudian diikuti
oleh pemukim Zaman Besi yang jumlahnya lebih besar, yang membuat tembikar
berlesung dan alat besi. Orang-orang tersebut merupakan nenek moyang Twa,
sekelompok pemburu-pengumpul pigmi aborigin yang masih menetap di Rwanda
hingga kini. Antara tahun 700 SM dan 1500 M, sejumlah orang Bantu bermigrasi ke
Rwanda, dan mulai menebang hutan untuk pertanian. Kelompok Twa yang tinggal di
hutan kehilangan tempat tinggal mereka dan pindah ke leren pegunungan. Terdapat
beberapa teori mengenai migrasi Bantu; menurut satu teori, pemukim pertama adalah
orang Hutu, sementara orang Tutsi bermigrasi belakangan dan merupakan kelompok
ras yang berbeda, kemungkinan berasal dari kelompok Kushitik. Sementara itu,
berdasarkan teori alternatif, migrasi berlangsung perlahan, dan kelompok yang datang
berintegrasi dan tidak menaklukan masyarakat yang sudah ada. Berdasarkan teori ini,
pemisahan antara Hutu dan Tutsi baru muncul belakangan dan merupakan pemisahan
kelas dan bukan rasial.
Bentuk organisasi sosial pertama di wilayah Rwanda adalah klan (ubwoko). Sistem
klan ada di seluruh wilayah Danau Besar, dan terdapat sekitar dua puluh klan di
wilayah Rwanda. Klan tidak dibatasi oleh garis silsilah atau wilayah geografis, dan di
sebagian besar klan terdapat orang Hutu, Tutsi, dan Twa. Dari abad ke-15, klan mulai
bersatu menjadi kerajaan; pada tahun 1700, terdapat sekitar delapan kerajaan di
Rwanda. Salah satu di antaranya, yaitu Kerajaan Rwanda dikuasai oleh klan Nyiginya
Tutsi yang menjadi semakin dominan pada pertengahan abad ke-18. Kerajaan tersebut
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-19 di bawah masa kekuasaan Raja Kigeli
Rwabugiri. Rwabugiri menaklukan beberapa negara yang lebih kecil, memperluas
wilayah ke barat dan utara, serta melancarkan reformasi administratif; salah satunya
adalah ubuhake, yang mengharuskan pelindung Tutsi untuk menyerahkan ternak, dan
maka status istimewa, kepada klien Hutu atau Tutsi dan memperoleh jasa ekonomi dan
personal sebagai gantinya. Reformasi lain adalah uburetwa, yaitu sistem corvée yang
mengharuskan Hutu bekerja untuk kepala suku Tutsi. Perubahan yang dilancarkan oleh
Rwabugiri mengakibatkan munculnya jurang antara Hutu dan Tutsi. Status orang Twa
lebih baik daripada masa pra-kerajaan, dengan beberapa di antaranya menjadi penari
di istana kerajaan, namun jumlah mereka terus berkurang.
Konferensi Berlin tahun 1884 menetapkan wilayah Rwanda sebagai bagian dari
Kekaisaran Jerman, sehingga memulai masa penjajahan. Penjelajah Gustav Adolf von
Götzen adalah orang Eropa pertama yang menjelajahi negara ini pada tahun 1894; ia
menyeberang dari wilayah tenggara hingga Danau Kivu dan bertemu dengan sang raja.
Jerman tidak banyak mengubah struktur sosial Rwanda, namun menancapkan
kekuasaan dengan mendukung raja dan hierarki yang ada serta mendelegasikan
kekuasaan kepada kepala suku setempat. Tentara Belgia mengambil alih Rwanda dan
Burundi selama Perang Dunia I, dan memulai periode penjajahan yang lebih langsung.
Belgia menyerdehanakan dan memusatkan struktur kekuasaan, serta memulai proyek
berskala besar dalam bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pengawasan
agrikultur, termasuk tanaman baru dan pemutakhiran tekhnik agrikultur untuk
mengurangi kelaparan. Baik orang Jerman maupun orang Belgia mendukung
supremasi Tutsi, serta menganggap Hutu dan Tutsi sebagai ras yang berbeda. Pada
tahun 1935, Belgia memperkenalkan kartu identitas yang melabeli setiap orang sebagai
Tutsi, Hutu, Twa, atau dinaturalisasi. Sementara sebelumnya seorang Hutu yang kaya
dapat menjadi Tutsi yang terhormat, kartu identitas menghentikan perpindahan antara
kedua kelas.
Belgium terus menguasai Rwanda sebagai Wilayah Kepercayaan Perserikatan BangsaBangsa setelah Perang Dunia II, dengan mandat untuk mengawal kemerdekaan.
Ketegangan menguat antara Tutsi, yang mendukung kemerdekaan awal, dan
pergerakan emansipasi Hutu, yang berujung kepada Revolusi Rwanda 1959: aktivis
Hutu mulai membunuh orang Tutsi, dan memaksa lebih dari 100.000 orang mengungsi
ke negara tetangga. Pada tahun 1962, Belgia yang kini pro-Hutu mengadakan
referendum dan pemilihan umum, dan mereka memilih menghapuskan monarki.
Rwanda dipisahkan dari Burundi dan memperoleh kemerdekaan pada tahun 1962.
Kekerasan berlanjut karena Tutsi yang mengungsi mulai menyerang dari negara
tetangga dan Hutu membalas dengan pembunuhan dan penindasan berskala besar. Pada
tahun 1973, Juvénal Habyarimana melancarkan kudeta dan mulai berkuasa.
Diskriminasi pro-Hutu berlanjut, namun kesejahteraan ekonomi meningkat sementara
kekerasan terhadap orang Tutsi berkurang. Orang Twa tetap termarjinalisasi, dan pada
tahun 1990 hampir sepenuhnya diusir dari hutan oleh pemerintah; banyak yang
kemudian menjadi pengemis. Sementara itu, jumlah penduduk Rwanda yang
meningkat dari 1,6 juta pada tahun 1934 menjadi 7,1 juta pada tahun 1989
mengakibatkan munculnya persaingan memperebutkan tanah.
Pada tahun 1990, Front Patriotik Rwanda, pemberontak yang kebanyakan terdiri dari
pengungsi Tutsi, menyerang Rwanda utara, dan memulai Perang Saudara Rwanda.
Kedua pihak mampu mencapai keunggulan selama perang, namun pada tahun 1992
perang telah melemahkan kekuasaan Habyarimana; demonstrasi besar-besaran
memaksanya untuk berkoalisi dengan oposisi dan akhirnya menandatangani
Persetujuan Arusha 1993 dengan Front Patriotik Rwanda. Gencatan senjata berakhir
pada tanggal 6 April 1994 ketika pesawat Habyarimana ditembak di dekat Bandar
Udara Kigali, sehingga menewaskan sang presiden. Penembakan ini memicu Genosida
Rwanda, yang meletus dalam selang waktu beberapa jam. Selama sekitar 100 hari,
sekitar 500.000 hingga 1.000.000 Tutsi dan Hutu moderat dibantai dalam serangan
yang telah direncanakan dengan baik atas perintah pemerintahan interim. Banyak orang
Twa yang juga dibunuh, meskipun tidak ditarget secara langsung. Front Patriotik
Rwanda memulai kembali serangan mereka, menguasai negara perlahan-lahan, dan
berhasil menguasai seluruh Rwanda pada pertengahan Juli. Tanggapan internasional
terhadap Genosida Rwanda sangat minim karena negara-negara besar merasa enggan
untuk memperkuat pasukan pemelihara perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
sudah kewalahan. Ketika Front Patriotik Rwanda mengambil alih kekuasaan, kurang
lebih dua juta Hutu mengungsi ke negara tetangga, terutama Zaire, karena takut akan
pembalasan; selain itu, angkatan bersenjata yang dipimpih oleh Front Patriotik Rwanda
merupakan salah satu partisipan utama dalam Perang Kongo Pertama dan Kedua. Di
Rwanda sendiri, periode rekonsiliasi dan keadilan dimulai, dengan didirikannya
Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda dan pendirian kembali Gacaca,
sistem pengadilan desa tradisional. Selama tahun 2000-an, ekonomi, jumlah
wisatawan, dan Indeks Pembangunan Manusia Rwanda meningkat pesat antara 2006
dan 2011 angka kemiskinan berkurang dari 57 hingga 45 persen, dan tingkat kematian
anak-anak menurun dari 180 per 1000 kelahiran pada tahun 2000 2000 menjadi 111
per 1000 kelahiran pada tahun 2009.
B. Kondisi Geografis
Republik Rwanda terletak di
1°56.633′LU 30°3.567′BT. Dengan
luas sebesar 26,338 square kilometres
(10,169 sq mi),
Rwanda
adalah
negara terluas ke-149 di dunia.
Ukurannya kurang lebih sebanding
dengan Haiti atau negara bagian
Maryland
di
Amerika
Serikat.
Seluruh negara berada di elevasi tinggi: titik terendahnya adalah Sungai Rusizi pada
ketinggian 950 metres (3,117 ft) di atas permukaan laut. Rwanda terletak di Afrika
Tengah/Timur, dan berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo di barat, Uganda
di utara, Tanzania di timur, dan Burundi di selatan. Negara ini terletak beberapa derajat
dari garis khatulistiwa dan terkurung daratan. Ibukotanya, Kigali, terletak di tengah
Rwanda.
Batas air antara daerah aliran sungai Kongo dan Nil mengalir dari utara ke selatan
melalui Rwanda. Sungai terpanjang di negara ini adalah Nyabarongo, yang mulai
mengalir di barat daya, dan kemudian mengalir ke utara, timur, dan tenggara sebelum
bergabung dengan Sungai Ruvubu untuk membentuk Sungai Kagera; Kagera lalu
mengalir ke utara di sepanjang perbatasan timur dengan Tanzania. Nyabarongo-Kagera
akhirnya mengalir ke Danau Victoria, dan sumbernya di Hutan Nyungwe merupakan
salah satu kandidat sumber Sungai Nil yang masih belum ditentukan. Rwanda punya
banyak danau, dan danau yang terbesar adalah Danau Kivu. Danau ini menduduki dasar
Celah Albertine di sepanjang perbatasan barat Rwanda. Dengan kedalaman maksimal
sebesar 480 metres (1,575 ft), Danau Kivu merupakan salah satu dari dua puluh danau
terdalam di dunia. Danau besar lain meliputi Danau Burera, Ruhondo, Muhazi, Rweru,
dan Ihema.
Pegunungan mendominasi Rwanda tengah dan barat; pegunungan tersebut merupakan
bagian dari Pegunungan Celah Albertine. Puncak-puncak tertinggi dapat ditemui di
gugusan gunung berapi Virunga di barat laut; dengan ketinggian 4,507 metres
(14,787 ft), titik tertinggi adalah Gunung Karisimbi. Ketinggian bagian barat negara,
yang terletak di ekoregion hutan montane Celah Albertine, bervariasi antara 1,500
metres (4,921 ft) hingga 2,500 metres (8,202 ft). Daerah tengah negara didominasi oleh
bukit yang berombak-ombak, sementara perbatasan timur terdiri dari sabana, dataran,
dan rawa-rawa.
Rwanda memiliki iklim tropis dan sedang, dengan suhu yang lebih rendah dibanding
negara khatulistiwa lainnya karena ketinggiannya. Kigali, yang terletak di tengah
negara, memiliki suhu harian yang bervariasi antara 12 °C (54 °F) hingga 27 °C
(81 °F), dengan sedikit variasi sepanjang tahun. Terdapat beberapa variasi suhu di
seluruh negara; wilayah barat dan utara yang bergunung biasanya lebih dingin daripada
daerah timur yang lebih rendah. Terdapat dua musim hujan dalam satu tahun; musim
hujan pertama berlangsung dari Februari hingga Juni, dan musim hujan kedua dari
September hingga Desember. Selain itu, juga terdapat dua musim kemarau: musim
kemarau besar dari Juni hingga September, dan saat itu seringkali tidak terjadi hujan
sama sekali, sementara musim kemarau yang lebih pendek dan ringan berlangsung dari
Desember hingga Februari. Curah hujan bervariasi, dengan wilayah barat dan barat laut
mendapat lebih banyak hujan daripada wilayah timur dan tenggara.
C. Kondisi Kependudukan (Demografi)
Berdasarkan perkiraan tahun 2012, jumlah penduduk Rwanda tercatat sebesar
11.689.696. Mayoritas penduduknya masih muda: diperkirakan 42,7% penduduk
umurnya masih di bawah 15 tahun, dan 97,5% di bawah 65 tahun. Angka kelahiran
tahunan diperkirakan sebesar 40,2 kelahiran per 1000 penduduk, dan angka kematian
tercatat sebesar 14,9. Harapan hidup terbilang 58,02 tahun (59,52 tahun untuk
perempuan dan 56,57 untuk laki-laki), yang terendah ke-30 di antara 221 negara.
Seksratsio negara ini sendiri relatif seimbang.
Dengan 408 penduduk per kilometer persegi, kepadatan penduduk Rwanda merupakan
salah satu yang tertinggi di Afrika. Sejarawan seperti Gérard Prunier meyakini bahwa
genosida 1994 dapat dikaitkan dengan kepadatan penduduk. Masyarakat Rwanda
kebanyakan masih bersifat pedesaan, dan hanya ada sedikit kota besar; tempat tinggal
penduduk sendiri menyebar secara merata di seluruh negara. Satu-satunya wilayah
yang jarang dihuni adalah wilayah sabana di bekas provinsi Umutara dan Taman
Nasional Akagera di timur. Kigali adalah kota terbesar dengan jumlah penduduk
sebesar satu juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat merupakan tantangan
bagi pengembangan infrastruktur. Kota penting lain adalah Gitarama, Butare, dan
Gisenyi, ketiganya memiliki jumlah penduduk di bawah 100.000 jiwa. Persentase
penduduk perkotaan meningkat dari 6% pada tahun 1990, menjadi 16,6% pada tahun
2006; namun, pada tahun 2011, persentasenya menurun sedikit menjadi 14.8%.
Rwanda sudah bersatu semenjak masa prakolonial, dan penduduknya berasal dari satu
kelompok etnik dan linguistik saja, yaitu Banyarwanda; hal ini berbeda dengan
sebagian besar negara di Afrika yang perbatasannya ditarik berdasarkan warisan
kolonial dan tidak sesuai dengan batas etnis kerajaan-kerajaan prakolonial. Di dalam
kelompok Banyarwanda, terdapat tiga kelompok terpisah, yaitu Hutu (84% populasi
pada tahun 2009), Tutsi (15%), dan Twa (1%). Twa adalah pigmi yang merupakan
keturunan dari penduduk pertama Rwanda, namun para ahli masih belum sepakat
mengenai asal usul dan perbedaan antara Hutu dan Tutsi. Antropolog Jean Hiernaux
menyatakan bahwa Tutsi adalah ras yang berbeda, dengan kecenderungan memiliki
"kepala, wajah, dan hidung panjang dan kecil" antropolog lain, seperti Villia
Jefremovas, meyakini bahwa tidak ada perbedaan fisik dan kategori tersebut tidak kaku
secara historis. Pada zaman prakolonial Rwanda, Tutsi merupakan kelompok yang
berkuasa, sementara Hutu merupakan petani. Pemerintah Rwanda saat ini tidak
menganjurkan perbedaan antara Hutu/Tutsi/Twa, dan telah menghapuskan klasifikasi
tersebut di kartu identitas.
Sebagian besar orang Rwanda memeluk agama Katolik, namun ada perubahan
demografi keagamaan yang signifikan setelah genosida, dengan banyak orang yang
menjadi Kristen Evangelis dan Islam. Pada tahun 2006, 56,5% penduduk Rwanda
memeluk agama Katolik, 37,1% Protestan (dengan 11,1% dari antaranya
berdenominasi Advent Hari Ketujuh), dan Islam 4.6%, sementara 1,7% menyatakan
tidak beragama. Agama tradisional Afrika, meskipun hanya dipeluk oleh 0,1%
penduduk, tetap berpengaruh. Banyak orang Rwanda yang memandang bahwa Tuhan
dalam agama Kristen sama dengan dewa tradisional Rwanda, Imana.
Bahasa utama di Rwanda adalah Kinyarwanda. Bahasa Eropa yang dituturkan pada
masa kolonial adalah bahasa Jerman dan bahasa Perancis; bahasa Perancis yang dibawa
oleh Belgia tetap menjadi bahasa resmi dan banyak dituturkan setelah kemerdekaan.
Arus pengungsi dari Uganda dan tempat lain selama abad ke-20 mengakibatkan
munculnya pemisahan linguistik antara penduduk yang berbahasa Inggris dengan
penduduk yang berbahasa Perancis. Kinyarwanda, Inggris, dan Perancis adalah bahasa
resmi negara. Kinyarwanda adalah bahasa pemerintahan dan bahasa Inggris merupakan
bahasa pengantar utama dalam pendidikan. Bahasa Swahili, lingua franca Afrika
Timur, juga dituturkan terutama di wilayah pedesaan. Selain itu, penduduk Rwanda di
Pulau Nkombo menuturkan bahasa Amashi, yang berhubungan dekat dengan
Kinyarwanda.
D. Kondisi Perekonomian
Ekonomi Rwanda mengalami kehancuran pada
saat
Genosida
kehancuran
pengabaian
1994
karena
infrastruktur,
tanaman
korban
jiwa,
penjarahan,
dan
panen.
Hal
ini
mengakibatkan merosotnya Produk Domestik
Biji kopi di Maraba. Kopi merupakan
salah satu sumber kas utama Rwanda.
Bruto (PDB) dan menghancurkan daya Tarik
investasi. Semenjak itu, ekonomi telah menguat, dengan PDB per kapita
(berdasarkankeseimbangan kemampuan berbelanja) tercatat sebesar $1.284 pada tahun
2011, dibandingkan dengan $416 pada tahun 1994. Tujuan ekspor utama meliputi Cina,
Jerman,
dan Amerika Serikat. Ekonomi diatur oleh Bank Nasional Rwanda dan mata uangnya
adalah franc Rwanda; pada Juni 2010, nilai tukarnya adalah 588 franc untuk satu dollar
Amerika Serikat. Rwanda bergabung dengan Komunitas Afrika Timur pada tahun 2007
dan ada rencana untuk menetapkan shilling Afrika Timur pada tahun 2015.
Rwanda hanya memiliki sedikit sumber daya alam, dan ekonomi bergantung pada
sektor agrikultur teras yang menggunakan alat sederhana Diperkirakan 90% dari
peternakan dan agrikultur meliputi 42,1% dari PDB pada tahun 2010. Semenjak
pertengahan tahun 1980an, peternakan dan produksi makanan berkurang akibat
perpindahan tempat tinggal orang yang terlantar. Meskipun ekosistem Rwanda subur,
produksi makanan tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga makanan
harus diimpor.
Hasil panen meliputi kopi, teh, piretrum, pisang, kacang, sorgum, dan kentang. Kopi
dan teh adalah komoditas ekspor utama karena didukung oleh elevasi tinggi, lereng
curam, dan tanah vulkanik. Namun, ebergantungan kepada ekspor agrikultur
mengakibatkan kerentanan terhadap perubahan harga. Sementara itu, hewan yang
diternak di Rwanda meliputi sapi, kambing, domba, babi, ayam, dan kelinci. Sistem
produksi biasanya masih tradisional, meskipun ada beberapa peternakan intensif di
sekitar Kigali. Sayangnya, kelangkaan tanah dan air, makanan yang tidak cukup dan
berkualitas rendah, dan penyakit serta layanan dokter hewan yang tidak cukup
merupakan penghambat maksimalisasi hasil ternak. Di sisi lain, sektor perikanan dapat
ditemui di danau, akan tetapi sumber dayanya hampir habis, sehingga ikan hidup
diimpor untuk memulihkan industri ini.
Sektor industri masih kecil, dan meliputi 14,3 dari PDB pada tahun 2010. Produk yang
dihasilkan contohnya adalah semen, produk agrikultur, minuman berskala kecil, sabun,
furnitur, sepatu, barang plastik, tekstik, dan rokok. Industri penambangan Rwanda juga
merupakan sektor yang penting; pada tahun 2008, sektor ini menghasilkan $93 juta.
Barang tambang meliputi kasiterit, wolframit, emas, dan koltan, yang digunakan untuk
produksi alat elektronik dan komunikasi seperti telepon genggam.
Sektor jasa Rwanda mengalami kemunduran selama resesi global akhir dasawarsa
2000-an karena berkurangnya pinjaman bank, bantuan asing, dan investasi. Sektor ini
melambung kembali pada tahun 2010, menjadi sektor terbesar negara berdasarkan hasil
dan meliputi 43,6% PDB. Penyumbang tersier utama meliputi sektor perbankan dan
keuangan, usaha grosir dan eceran, hotel dan restoran, transportasi, gudang,
komunikasi, asuransi, lahan yasan, jasa perniagaan, dan tata usaha umum seperti
pendidikan dan kesehatan. Pariwisata merupakan sektor yang berkembang paling pesat
dan menjadi sumber devisa utama pada tahun 2011. Meskipun memiliki sejarah
genosida, Rwanda semakin dipandang sebagai tujuan wisata yang aman; Direktorat
Imigrasi dan Emigrasi mencatat bahwa 405.801 datang mengunjungi negara ini antara
Januari dan Juni 2011, dengan 16% di antaranya berasal dari luar Afrika. Pendapatan
dari sektor pariwisata diperkirakan sebesar US$115,6 juta antara Januari dan Juni
2011; orang yang berlibur menyumbang sekitar 43% dari pendapatan tersebut,
meskipun persentasenya hanya 9%. Di Rwanda, gorila pegunungan dapat dikunjungi
dengan aman; pelacakan gorila di Taman Nasional Volcans menarik ribuan
pengunjung setiap tahunnya, yang siap membayar mahal untuk memperoleh izin.
Tujuan wisata lainnya adalah Hutan Nyungwe (tempat tinggal simpanse, kolobus
Ruwenzori dan primata lainnya), resor di Danau Kivu, serta Akagera (cagar sabana di
wilayah timur Rwanda).
E. Pariwisata Negara
Pariwisata di Rwanda merupakan sektor ekonomi yang berkembang pesat setelah
Genosida Rwanda pada tahun 1994. Pada tahun 2010, 666.000 wisatawan mengunjungi
Rwanda. Pendapatan dari sektor ini tercatat sebesar $200 juta.
Rwanda terletak di Afrika Tengah dan terkenal akan sejarah dan keindahan alamnya.
Ada banyak tempat menarik di Rwanda, seperti ekspedisi ke gunung berapi, air terjun,
dan hujan hujan. Selain itu, aktivitas yang sering dilakukan di Rwanda adalah
pelacakan gorila pegunungan. Meskipun Rwanda adalah negara berkembang, terdapat
beberapa hotel. Kantong plastik secara resmi dilarang di Rwanda, dan wisatawan
diperingati untuk tindak membawanya.
Sumber Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Rwanda
Pantai Gading
Pantai Gading atau Côte d' Ivoire, secara
resmi
Republik
Pantai
Gading
(Perancis:
République de Côte d' Ivoire) , adalah sebuah
negara di Afrika Barat. ibukota Pantai Gading
adalah Yamoussoukro dan kota terbesar adalah
kota pelabuhan Abidjan. Sebelum kolonisasi oleh orang Eropa, Pantai Gading adalah
rumah bagi beberapa negara, termasuk Gyaaman, Kekaisaran Kong, dan Baoule. Ada
dua kerajaan Anyi, Indénié dan Sanwi, yang berusaha untuk mempertahankan identitas
terpisah mereka melalui masa kolonial Perancis dan setelah kemerdekaan. Pantai
Gading menjadi protektorat Perancis pada 1843-1844 dan kemudian dibentuk menjadi
koloni Perancis pada tahun 1893 di tengah perebutan Eropa untuk Afrika. Pantai
Gading mencapai kemerdekaan pada tahun 1960, yang dipimpin oleh Félix Houphouët
- Boigny, yang memerintah negara hingga tahun 1993. Ini dipelihara hubungan politik
dan ekonomi yang erat dengan tetangga Afrika Barat, sementara pada saat yang sama
menjaga hubungan dekat dengan Barat, terutama Perancis. Sejak akhir pemerintahan
Houphouët - Boigny pada tahun 1993, Pantai Gading telah mengalami satu kudeta,
pada tahun 1999, dan dua agama beralasan perang saudara: pengambilan tempat
pertama antara tahun 2002 dan 2007, dan yang kedua selama 2010-2011.
Pantai Gading adalah sebuah republik dengan kekuasaan eksekutif yang kuat
diinvestasikan dalam presidennya. Melalui produksi kopi dan kakao, negara adalah
pusat kekuatan ekonomi di Afrika Barat selama tahun 1960 dan 1970-an. Pantai Gading
mengalami krisis ekonomi pada 1980-an, memberikan kontribusi untuk periode
kekacauan politik dan sosial. Ekonomi Pantai Gading abad ke-21 sebagian besar
berbasis pasar dan masih sangat bergantung pada pertanian, dengan produksi petani
tanaman pangan menjadi dominan.
Bahasa resmi Perancis, dengan bahasa lokal pribumi juga banyak digunakan, termasuk
Baoule, Dioula, Dan, Anyin dan Cebaara Senufo. Agama-agama utama adalah Islam,
Kristen (terutama Katolik Roma) dan berbagai agama pribumi.
A. Sejarah Berdirinya Negara
Migrasi
Kehadiran manusia pertama di Pantai Gading telah sulit untuk menentukan
karena sisa-sisa manusia belum terawat dengan baik di iklim lembab negara. Namun,
kehadiran baru ditemukan senjata dan alat fragmen (khusus, sumbu dipoles memotong
serpih dan sisa-sisa memasak dan memancing) telah ditafsirkan sebagai indikasi
kemungkinan keberadaan manusia yang besar selama periode Paleolitik (15.000
sampai 10.000 SM), atau minimal, periode Neolitik.
Penduduk awal dikenal Pantai Gading telah meninggalkan jejak yang tersebar di
seluruh wilayah. Sejarawan percaya bahwa mereka semua baik pengungsi atau diserap
oleh nenek moyang penduduk asli ini, yang bermigrasi ke selatan ke daerah sebelum
abad ke-16 . Kelompok semacam termasuk Ehotilé (Aboisso), Kotrowou (Fresco),
Zéhiri (Grand Lahou), Ega dan mati (Divo).
Periode Pra-Islam dan Islam
Sejarah mencatat pertama ditemukan dalam tulisan Afrika Utara ( Berber )
pedagang, yang, dari zaman Romawi awal, melakukan perdagangan kafilah melintasi
Sahara seperti garam, budak, emas, dan barang-barang lainnya. Terminal selatan transRute perdagangan Sahara terletak di tepi padang gurun, dan dari perdagangan
tambahan ada diperpanjang selatan sejauh tepi hutan hujan. Terminal yang lebih
penting Djenné, Gao, dan Timbuctu Tumbuh menjadi pusat perdagangan utama di
sekitar yang kerajaan Sudanic besar dikembangkan.
Dengan mengontrol rute perdagangan dengan kekuatan militer mereka yang kuat,
kerajaan ini mampu mendominasi negara-negara tetangga. Kerajaan Sudanic juga
menjadi pusat pendidikan Islam. Islam telah diperkenalkan di Sudan barat. Muslim
Berber pedagang dari Afrika Utara; itu menyebar dengan cepat setelah konversi banyak
penguasa yang penting. Dari abad ke-11, saat para penguasa kerajaan Sudanic telah
memeluk Islam, menyebar ke selatan ke wilayah utara Pantai Gading kontemporer.
Kerajaan Ghana, awal dari kerajaan Sudanic, berkembang di masa kini Mauritania
timur dari keempat untuk abad ke-13. Pada puncak kekuasaannya di abad ke-11, alam
yang terbentang dari Samudera Atlantik ke Timbuctu. Setelah penurunan Ghana,
Kekaisaran Mali tumbuh menjadi sebuah negara Muslim yang kuat, yang mencapai
puncaknya pada awal abad ke-14. Wilayah Kekaisaran Mali di Pantai Gading terbatas
pada utara-barat sudut sekitar Odienné.
Penurunan lambat dimulai pada akhir abad ke-14 diikuti perselisihan internal dan
pemberontakan oleh negara-negara pengikut, salah satunya, Songhai, berkembang
sebagai sebuah kerajaan antara abad keempat belas dan keenam belas. Songhai juga
lemah karena perselisihan internal, yang menyebabkan perang antar faksi. Perselisihan
ini mendorong sebagian besar migrasi masyarakat selatan menuju sabuk hutan. Hutan
hujan lebat, yang meliputi bagian selatan negara itu, menciptakan hambatan bagi
organisasi politik besar-besaran yang telah muncul di utara. Penduduk tinggal di desadesa atau kelompok desa; kontak mereka dengan dunia luar disaring melalui pedagang
jarak jauh. Penduduk desa hidup dari pertanian dan berburu.
Era Pra-Eropa
Lima negara berkembang penting di Pantai Gading di era pra-Eropa. Muslim
Kong Empire didirikan oleh Juula di abad ke-18 awal utara-tengah wilayah yang dihuni
oleh Sénoufo, yang telah melarikan diri Islamisasi di bawah Kekaisaran Mali.
Meskipun Kong menjadi pusat makmur pertanian, perdagangan, dan kerajinan,
keragaman etnis dan perpecahan agama secara bertahap melemah kerajaan. Kota Kong
dihancurkan pada tahun 1895 oleh Samori Ture.
The Abron Kerajaan Gyaaman didirikan pada abad ke-17 oleh kelompok Akan, yang
Abron, yang telah melarikan diri berkembang Ashanti konfederasi Asanteman dalam
apa yang kini Ghana. Dari pemukiman mereka di selatan Bondoukou, yang Abron
bertahap diperluas hegemoni mereka atas orang-orang Dyula di Bondoukou, yang
baru-baru ini emigran dari kota pasar Begho. Bondoukou berkembang menjadi pusat
utama perdagangan dan Islam. Sarjana Quran kerajaan menarik siswa dari seluruh
penjuru Afrika Barat. Pada pertengahan abad ke-17 di Pantai Gading timur-tengah,
kelompok Akan lain melarikan diri Asante mendirikan kerajaan Baoule di Sakasso dan
dua kerajaan Agni, Indénié dan Sanwi.
The Baoule, seperti Ashanti, mengembangkan struktur politik dan administrasi yang
sangat terpusat di bawah tiga penguasa berturut-turut. Akhirnya dibagi menjadi
chiefdom kecil. Meskipun pecahnya kerajaan mereka, Baoule sangat menolak kuasa
Perancis. Keturunan dari penguasa kerajaan Agni mencoba untuk mempertahankan
identitas mereka yang terpisah lama setelah kemerdekaan Pantai Gading; hingga akhir
1969, Sanwi berusaha untuk melepaskan diri dari Pantai Gading dan membentuk
sebuah kerajaan independen. Raja saat Sanwi adalah Nana Amon Ndoufou V (sejak
tahun 2002).
Pembentukan Pemerintahan Prancis
Dibandingkan dengan negara tetangga Ghana, Pantai Gading menderita sedikit
dari perdagangan budak, sebagai budak dan pedagang kapal Eropa lebih suka daerah
lain di sepanjang pantai dengan pelabuhan yang lebih baik. Tercatat paling awal
perjalanan Eropa ke Afrika Barat dibuat oleh Portugis dan terjadi pada 1482. Yang
pertama pemukiman Perancis Afrika Barat, Saint Louis, didirikan pada pertengahan
abad ke-17 di Senegal, sementara pada waktu yang sama, Belanda menyerahkan ke
Perancis pemukiman di Goree Island, off Dakar. Sebuah misi Perancis didirikan pada
tahun 1637 Assinie dekat perbatasan dengan Gold Coast (sekarang Ghana).
Kelangsungan hidup Assinie adalah genting, namun itu tidak sampai pertengahan abad
ke-19 bahwa Prancis mapan di Pantai Gading. Pada 1843, laksamana Perancis BouetWillaumez menandatangani perjanjian dengan raja-raja Grand Bassam dan Assinie
daerah, membuat wilayah mereka protektorat Perancis. Penjelajah Perancis,
misionaris, perusahaan perdagangan, dan tentara bertahap diperluas daerah di bawah
kekuasaan Prancis pedalaman dari wilayah laguna. Pengamanan tidak dilakukan
sampai 1915.
Kegiatan sepanjang pantai mendorong minat
Eropa di pedalaman, terutama di sepanjang dua
sungai besar, Senegal dan Niger. Eksplorasi
Perancis bersama dari Afrika Barat dimulai pada
pertengahan abad ke -19, tetapi bergerak perlahan,
lebih didasarkan pada inisiatif individu dari pada
kebijakan pemerintah. Pada tahun 1840-an,
Perancis menyimpulkan serangkaian perjanjian dengan penguasa Afrika Barat lokal
yang memungkinkan Perancis untuk membangun pos benteng di sepanjang Teluk
Guinea untuk melayani pusat-pusat perdagangan yang permanen.
Pos-pos pertama di Pantai Gading termasuk salah satu di Assinie dan satu lagi di Grand
Bassam, yang menjadi ibukota pertama koloni. Perjanjian disediakan untuk kedaulatan
Perancis dalam tulisan, dan perdagangan hak dalam pertukaran untuk biaya atau
coutumes dibayarkan setiap tahun untuk para penguasa lokal untuk penggunaan tanah.
Pengaturan ini tidak sepenuhnya memuaskan Perancis, karena perdagangan terbatas
dan kesalah pahaman atas kewajiban perjanjian sering muncul. Namun demikian,
pemerintah Perancis mempertahankan perjanjian, berharap untuk memperluas
perdagangan.
Perancis juga ingin mempertahankan kehadiran di wilayah tersebut untuk
membendung meningkatnya pengaruh Inggris di sepanjang pantai Teluk Guinea.
Perancis membangun pangkalan angkatan laut untuk mencegah pedagang nonPerancis dan memulai penaklukan sistematis interior. (Mereka capai ini hanya setelah
perang panjang di tahun 1890-an melawan pasukan Mandinka, sebagian besar dari
Gambia. Gerilya perang oleh Baoule dan kelompok timur lainnya berlanjut sampai
1917).
Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia tahun 1871 dan aneksasi berikutnya
oleh Jerman provinsi Perancis Alsace Lorraine disebabkan pemerintah Perancis untuk
meninggalkan ambisi kolonial dan menarik garnisun militer dari Perancis pos
perdagangan yang Afrika Barat, meninggalkan mereka di perawatan pedagang
penduduk. Pos perdagangan di Grand Bassam di Pantai Gading yang tersisa dalam
perawatan pengirim dari Marseille, Arthur Verdier, yang pada tahun 1878 bernama
Penduduk Pembentukan Pantai Gading.
Pada tahun 1886, untuk mendukung klaim pendudukan efektif, Perancis lagi
memegang kendali langsung pos perdagangan pesisir Afrika Barat dan memulai
program akselerasi eksplorasi di pedalaman. Pada tahun 1887 Letnan Louis Gustave
Binger memulai perjalanan dua tahun yang melintasi bagian interior Pantai Gading.
Pada akhir perjalanan, ia menyimpulkan empat perjanjian mendirikan protektorat
Perancis di Pantai Gading. Juga pada tahun 1887, agen Verdier itu, Marcel Treich-
Laplène, dinegosiasikan lima perjanjian tambahan yang memperluas pengaruh
Perancis dari hulu Sungai Niger Basin melalui Pantai Gading.
Era Kolonial Prancis
Pada akhir tahun 1880-an, Perancis telah membentuk apa yang berlalu untuk
kontrol atas wilayah pesisir Pantai Gading, dan pada tahun 1889 Inggris mengakui
kedaulatan Perancis di daerah. Pada tahun yang sama, Perancis yang bernama TreichLaplène Gubernur tituler wilayah. Pada tahun 1893 Pantai Gading itu membuat koloni
Perancis, dan kemudian Kapten Binger diangkat gubernur. Perjanjian dengan Liberia
pada tahun 1892 dan dengan Inggris pada tahun 1893 menentukan batas timur dan barat
koloni, tetapi batas utara tidak tetap sampai 1947 karena upaya oleh pemerintah
Perancis untuk melampirkan bagian Upper Volta (sekarang Burkina Faso) dan French
Sudan (sekarang Mali) ke Pantai Gading untuk alasan ekonomi dan administrasi.
Tujuan utama Perancis adalah untuk merangsang produksi ekspor. Kopi, kakao dan
kelapa sawit tanaman segera ditanam di sepanjang pantai. Pantai Gading berdiri
sebagai satu-satunya negara Afrika Barat dengan populasi yang cukup besar pemukim;
di tempat lain di Afrika Barat dan Tengah, Perancis dan Inggris sebagian besar birokrat.
Akibatnya, warga negara Prancis yang dimiliki sepertiga dari perkebunan kakao, kopi
dan pisang dan mengadopsi sistem kerja paksa.
Sepanjang tahun-tahun awal pemerintahan Perancis, kontingen militer Perancis dikirim
ke pedalaman untuk membangun pesan baru. Beberapa penduduk asli menolak
penetrasi Perancis dan pemukiman. Di antara mereka memberikan perlawanan terbesar
adalah Samori Ture, yang pada tahun 1880-an dan 1890-an itu mendirikan Wassoulou
Empire, yang diperpanjang selama sebagian besar masa kini Guinea, Mali, Burkina
Faso, dan Pantai Gading. Besar tentara Samori Ture itu, dilengkapi dengan baik, yang
bisa memproduksi dan memperbaiki senjata api sendiri, menarik dukungan yang kuat
di seluruh wilayah. Perancis menanggapi ekspansi Samori Ture di kontrol regional
dengan tekanan militer. Kampanye Perancis melawan Samori Ture, yang bertemu
dengan perlawanan sengit, intensif pada pertengahan 1890-an sampai ia ditangkap pada
tahun 1898.
Pengenaan Perancis dari pajak kepala pada tahun 1900 untuk mendukung koloni dalam
program pekerjaan umum, memicu sejumlah pemberontakan. Ivoirians dilihat pajak
sebagai pelanggaran ketentuan perjanjian protektorat, karena mereka berpikir bahwa
Perancis menuntut setara kostum dari raja-raja loka , bukan sebaliknya. Sebagian besar
penduduk, terutama di pedalaman, yang dianggap sebagai pajak simbol memalukan
penyerahan.
Dari 1904-1958, Pantai Gading adalah unit konstituen Federasi Perancis Afrika Barat.
Itu adalah koloni dan wilayah luar negeri di bawah Republik Ketiga. Dalam Perang
Dunia I Pantai Gading dimasukkan ke dalam posisi yang buruk dengan invasi Jerman
mengancam pada 1914. Tapi setelah Perancis membuat resimen dari Pantai Gading
untuk bertarung di Perancis. Sumber Coloney dijatah 1917-1919. Beberapa 150.000
orang dari Pantai Gading meninggal di Perang Dunia I. Sampai periode setelah Perang
Dunia II, urusan pemerintahan di Perancis Afrika Barat diberikan dari Paris. Kebijakan
Perancis di Afrika Barat tercermin terutama dalam filosofi dari "asosiasi", yang berarti
bahwa semua orang Afrika di Pantai Gading secara resmi Perancis "pelajaran", tetapi
tanpa hak perwakilan di Afrika atau Perancis.
Kebijakan kolonial Perancis dimasukkan konsep asimilasi dan asosiasi. Berdasarkan
asumsi superioritas budaya Perancis atas semua orang lain, dalam prakteknya
kebijakan asimilasi berarti perpanjangan bahasa Perancis, lembaga, hukum, dan adat
istiadat di koloni. Kebijakan asosiasi juga menegaskan keunggulan Prancis di koloni,
tetapi mensyaratkan lembaga dan sistem hukum untuk penjajah dan terjajah yang
berbeda. Di bawah kebijakan ini, orang Afrika di Pantai Gading diizinkan untuk
melestarikan adat istiadat mereka sendiri sejauh mereka sesuai dengan kepentingan
Perancis.
Elite pribumi yang terlatih dalam praktek administrasi Perancis membentuk kelompok
perantara antara Perancis dan Afrika. Asimilasi dipraktekkan di Pantai Gading sejauh
bahwa setelah tahun 1930, sejumlah kecil kebarat-baratan Ivoirians diberikan hak
untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan Perancis. Kebanyakan Ivoirians
Namun, diklasifikasikan sebagai subyek Perancis dan diperintah di bawah prinsip
asosiasi. Sebagai subyek Perancis, mereka tidak memiliki hak-hak politik. Mereka
dirancang untuk bekerja di pertambangan, perkebunan, sebagai kuli, dan pada proyekproyek publik sebagai bagian dari tanggung jawab pajak mereka. Mereka diharapkan
untuk melayani di militer dan tunduk pada indigénat, suatu sistem yang terpisah dari
hukum.
Dalam Perang Dunia II, rezim Vichy tetap memegang kendali sampai tahun 1942,
ketika pasukan Inggris menyerang tanpa banyak perlawanan. Winston Churchill
memberikan kekuasaan kembali ke anggota pemerintah sementara Jenderal Charles de
Gaulle. Pada tahun 1943 Sekutu telah kembali Perancis Afrika Barat kembali ke
Perancis. Brazzaville Conference 1944, Majelis Konstituante pertama Republik
Keempat tahun 1946, dan Perancis rasa syukur atas kesetiaan Afrika selama Perang
Dunia II menyebabkan jauh reformasi pemerintah pada tahun 1946. kewarganegaraan
Perancis diberikan kepada semua Afrika "mata pelajaran," kanan untuk mengatur
politik diakui, dan berbagai bentuk kerja paksa dihapuskan.
Sampai tahun 1958, gubernur ditunjuk di Paris diberikan koloni Pantai Gading,
menggunakan sistem direct, administrasi terpusat yang meninggalkan sedikit ruang
untuk partisipasi Ivoirian dalam pembuatan kebijakan. Sedangkan pemerintahan
kolonial Inggris mengadopsi kebijakan membagi-dan-aturan di tempat lain,
menerapkan ide-ide asimilasi hanya untuk elit berpendidikan, Perancis tertarik dalam
memastikan bahwa elit kecil tapi berpengaruh adalah cukup puas dengan status quo
untuk menahan diri dari sentimen anti-Prancis . Meskipun sangat menentang praktekpraktek asosiasi, Ivoirians berpendidikan percaya bahwa mereka akan mencapai
kesetaraan dengan rekan-rekan mereka Perancis melalui asimilasi daripada melalui
kemerdekaan penuh dari Perancis. Tapi, setelah doktrin asimilasi dilaksanakan
sepenuhnya melalui reformasi pasca-perang, pemimpin Ivoirian menyadari bahwa
bahkan asimilasi tersirat keunggulan Perancis atas Ivoirians, dan bahwa diskriminasi
dan ketidaksetaraan politik akan berakhir hanya dengan kemerdekaan.
Kemerdekaan
Putra seorang kepala Baoule, Félix Houphouët-Boigny, yang menjadi ayah
Kemerdekaan Pantai Gading. Pada tahun 1944 ia membentuk serikat pekerja pertanian
pertama di negara itu untuk petani kakao di Afrika seperti dirinya. Marah bahwa
kebijakan kolonial disukai pemilik perkebunan Perancis, mereka bersatu untuk
merekrut pekerja migran untuk pertanian mereka sendiri. Houphouët-Boigny segera
bangkit untuk menonjol dan dalam waktu satu tahun terpilih Parlemen Perancis di
Paris. Setahun kemudian Perancis dihapuskan kerja paksa. Houphouët-Boigny
menjalin hubungan yang kuat dengan pemerintah Prancis, mengungkapkan keyakinan
bahwa negara akan mendapatkan keuntungan dari itu, yang hal itu selama bertahuntahun. Perancis menunjuk dia sebagai orang Afrika pertama yang menjadi menteri di
pemerintahan Eropa.
Sebuah titik balik dalam hubungan dengan Perancis dicapai dengan 1.956 Overseas
Reformasi Undang-Undang (Loi Kader), yang ditransfer sejumlah kekuatan dari Paris
ke pemerintah wilayah terpilih di Perancis Afrika Barat dan juga dihapus tersisa
ketidaksetaraan suara. Pada tahun 1958, Pantai Gading menjadi anggota otonom dari
Komunitas Perancis (yang menggantikan Uni Perancis).
Pada saat kemerdekaan Pantai Gading (1960), negara itu dengan mudah Perancis
Afrika Barat yang paling makmur, memberikan kontribusi lebih dari 40% dari total
ekspor di kawasan itu. Ketika Houphouët-Boigny menjadi presiden pertama,
pemerintahnya memberikan petani harga yang baik untuk produk mereka untuk lebih
merangsang produksi. Hal ini lebih didorong oleh imigrasi besar pekerja dari negaranegara sekitarnya. Produksi kopi meningkat secara signifikan, terlempar Pantai Gading
ke tempat ketiga dalam output dunia (di belakang Brazil dan Kolombia). Pada 1979,
negara ini menjadi produsen kakao dunia.
Hal ini juga menjadi eksportir terkemuka Afrika nanas dan kelapa sawit. Teknisi
Perancis kontribusi terhadap 'keajaiban Ivoirian'. Di negara-negara Afrika lainnya,
orang-orang mengusir orang Eropa setelah kemerdekaan; tetapi di Pantai Gading,
mereka dituangkan dalam. Masyarakat Perancis tumbuh dari hanya 30.000 sebelum
kemerdekaan 60.000 pada tahun 1980, sebagian besar dari mereka guru, manajer dan
penasihat. [39] Selama 20 tahun, perekonomian mempertahankan tingkat pertumbuhan
tahunan hampir 10 % -yang tertinggi negara-negara non-ekspor minyak Afrika.
B. Kondisi Geografis
Pantai Gading Terletak di 6°51′N 5°18′W
dengan luas daerah mencapai 322,463 km2 dan
Perairan 14%. Pantai Gading (Côte d'Ivoire)
adalah sebuah negara di Afrika Barat yang
berbatasan dengan Liberia, Guinea, Mali, Burkina
Faso, dan Ghana di sebelah barat, utara dan timur
serta dengan Teluk Guinea di sebelah selatan.
Secara umum Pantai Gading menggambarkan
zona ekologi yang berupa daerah pegunungan
yang banyak hujan di bagian selatan (dekat ekuator) sedangkan di bagian utara
merupakan daerah peralihan ke iklim gurun (kering) dengan banyak sungai mengalir
ke pantai Teluk Guinea.Sementara Sungai Niger yang mengalir di bagian wilayah utara
dari barat ke timur untuk kemudian ke selatan bermuara di pantai Teluk Guinea di
Nigeria telah menopang kehidupan banyak penduduk di sejumlah negara yang
dilewatinya serta menjadi pusat lalu lintas perdagangan dengan Eropa dan Asia.Dan
Afrika Barat merupakan tempat persinggahan pertama pelayaran orang Eropa mencari
rempah-rempah pada abad 15.
Dengan keadaan alam yang cukup menguntungkan berupa letaknya di tepi
Teluk Guinea,topografi perbukitan dan pegunungan yang cukup hujan,banyak sungai
kecil dan besar serta tanah yang cukup subur untuk pertanian dan perkebunan.
C. Kondisi Kependudukan
Demografi
Jumlah penduduk negara Pantai Gading adalah 15.366.672 pada tahun 1998,
dan diperkirakan 20.617.068 pada tahun 2009, dan 23.919.000 pada bulan Juli 2014.
Pantai Gading sensus nasional pertama pada tahun 1975 sebanyak 6,7 juta jiwa.
Menurut 2012 survei pemerintah, tingkat kesuburan adalah 5.0, dengan 3,7 di daerah
perkotaan dan 6,3 di daerah pedesaan.
Bahasa
Perancis, bahasa resmi, yang diajarkan di sekolah-sekolah dan berfungsi
sebagai lingua franca di negara ini. Diperkirakan 65 bahasa digunakan di Pantai
Gading. Salah satu yang paling umum adalah Dyula yang bertindak sebagai bahasa
perdagangan serta bahasa yang biasa digunakan oleh penduduk Muslim.
Kelompot etnis
Kelompok etnis termasuk Akan 42,1 %, Voltaiques atau Gur 17,6 % ,
Northern Mandes 16,5 %, Krous 11%, Southern Mandes 10 % , lainnya 2,8 % (
termasuk 30.000 Lebanon dan 45.000 Perancis; 2004). 77 % dari populasi dianggap
Ivoirians.
Sejak Pantai Gading telah memantapkan dirinya sebagai salah satu negara Afrika Barat
yang paling sukses, sekitar 20% dari populasi (sekitar 3,4 juta) terdiri dari pekerja dari
negara tetangga Liberia, Burkina Faso dan Guinea.
4 % dari populasi adalah keturunan non-Afrika. Banyak Perancis, Lebanon, Vietnam
dan Spanyol warga, serta misionaris Protestan dari Amerika Serikat dan Kanada. Pada
bulan November 2004, sekitar 10.000 Perancis dan lainnya warga negara asing
dievakuasi Pantai Gading karena serangan dari milisi pemuda pro-pemerintah. Selain
dari warga Perancis, ada keturunan kelahiran asli pemukim Perancis yang tiba selama
periode kolonial negara itu.
Agama
Penduduk asli kelahiran kira-kira dibagi menjadi tiga kelompok Muslim,
Kristen (terutama Katolik Roma) dan animisme.
Agama di Pantai Gading masih sangat heterogen, dengan Islam (hampir semua Muslim
Sunni, dengan beberapa Muslim Ahmadi) dan Kristen (sebagian besar Katolik Roma
dengan jumlah yang lebih kecil dari Methodis dan Protestan) menjadi agama-agama
besar. Muslim mendominasi utara, sementara orang-orang Kristen mendominasi
selatan. Pada tahun 2009, menurut US Department of perkiraan Negara, Kristen dan
Muslim masing-masing terdiri 35 sampai 40 % dari populasi, sementara sekitar 25 %
dari populasi dipraktekkan agama tradisional.
Ibukota Pantai Gading, Yamoussoukro, adalah rumah bagi bangunan gereja terbesar di
dunia, Basilika Our Lady of Peace of Yamoussoukro.
D. Perekonomian Negara
Ekonomi Utama Pantai Gading berasal dari agrikultur terutama Cokelat,
dimana Pantai Gading merupakan negara penghasil dan pengekspor cokelat terbesar di
dunia. Perkebunan Cokelat di Negara ini banyak sekali menyerap tenaga kerja dari
negara - negara tetangga seperti Ghana, Liberia, Sierra Leone, Guinea, Senegal, Guinea
- Bissau, Cape Verde, Nigeria, Benin, dan Togo. Selain Cokelat, hasil utama pertanian
di Pantai Gading adalah Kopi, Karet, Tebu, Kelapa, dan Kelapa Sawit.
E. Kegiatan Pariwisata Negara
Pantai Gading menawarkan
banyak kesempatan untuk wisatawan,
mulai dari pengalaman wisata untuk
kegiatan olahraga. Negara di Afrika
Barat ini juga dikenal sebagai Pantai
Gading, dan Perancis adalah bahasa
resmi. Kota-kota besar termasuk
Abidjan
dan
ibukota
negara,
Yamoussoukro. Samudera Atlantik
berbatasan dengan negara Selatan serta Barat.
Abidjan adalah rumah bagi
Museum utama di negara ini. Musée
National berada dekat dengan pasar Le
Plateau dan berisi lebih dari 20.000
keping Afrika seperti patung kayu,
tembikar,
masker.
gading,
Musée
perunggu
Municipal
dan
d'Art
Contemporain de Cocody menawarkan pengunjung pemandangan karya kontemporer
dari seniman Afrika. Pilihan museum lainnya termasuk Museum kostum asli yang
menampilkan item pakaian asli serta Museum of Civilization, yang menampilkan
pameran yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan sosiologi.
Cathedrale St Paul di Abidjan memiliki patung St. Paul Selain beberapa tableaux yang
menggambarkan adegan agama. Yamoussoukro's Basilique de Notre Dame de la Paix
menyerupai Katedral Santo Petrus di Roma. Pada saat penciptaan, Basilique de Notre
Dame de la Paix dikatakan menjadi salah satu tempat Kristen terbesar ibadah di dunia.
Juga di Yamoussoukro, Fondation Houphouet-Boigny adalah rumah bagi negara
mantan pemimpin Felix Houphouet-Boigny dan situs pemakaman. Danau onsite
meliputi buaya yang makan setiap hari oleh para pembantu. Semua itu gratis dan
terbuka untuk umum.
Sumber Referensi:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ivory_Coast#Economy
http://glogngeblo.blogspot.com/2013/08/hal-hal-untuk-dilihat-dan-dilakukan-di.html
Download