Penyakit infeksi virus pada hewan darat Profesor Darmono 17 Januari 2014 Mempelajari virus pada hewan darat adalah sangat penting dalam bidang kedokteran hewan (veteriner), banyak jenis virus pada hewan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Disamping itu banyak virus hewan yang dapat menular ke manusia, sehingga dapat menimbulkan permasalahan kesehatan pada manusia. Beberapa penyakit asal virus hewan yang dapat menular ke manusia (zoonosis) antara lain adalah virus “SARS”, virus “avian influenza” (flu burung), virus “rabies” dan beberapa virus lainnya. Dari hal tersebut maka virus hewan sangat penting untuk dipelajari secara umum terhadap ilmu mengeni virus ini (virologi). Penelitian telah banyak dilakukan mengenai epidemiologi, evolusi, biologi molekuler dan penelitian mengenai pengaruhnya terhadap penderita (hospes). Penyakit virus yang menyerang hewan dapat dikelompokkan menurut jenis hewan yang terserang yaitu: Hewan ruminansia, yang penting adalah FMD, BVD, IBR; jenis Unggas ND, IBD, AI; babi, kholera babi; dan pada anjing, rabies. Penyakit virus pada hewan ruminansia Penyakit mulut dan kuku (FMD) Penyakit mulut dan kuku (“foot and mouth disease”/FMD, Aphtae epizooticae/AE ) baru diketahui sebagai penyebabnya adalah virus pada tahun 1897 oleh Friedrich Loeffler. Ia menyaring darah dari hewan penderita dengan filter Chamberland dan cairannya disuntikkan pada hewan yang sehat, maka hewan yang sehat menjadi sakit. FMD sangat menular dan kadang menyebabkan fatal, penyakit menyerang mulut dan kuku pada hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan babi, juga pada hewan liar seperti kijang, bison, dan gajah peka terhadap penyakit ini. Hewan seperti llama dan alpha resisten terhadap penyakit ini, hanya menderita ringan dan tidak menularkan ke hewan lainnya. Hewan laboratorium dapat diinfeksi secara buatan untuk penelitian, dan tidak ditemukan penyakit ini pada hewan tersebut terjadi infeksi secara alami. Orang dapat menyebarkan penyakit ini bila pakaian atau badannya membawa virus ini. Virus FMD adalah virus picorna, termasuk genus Aphthovirus dalam famili Picornaviridae. Ada tujuh serotipe FMD yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-3 dan Asia-1, serotipe ini dibagi sebagian menurut regional, dan serotipe O adalah yang paling banyak ditemukan. FMD pernah mewabah hampir di seluruh dunia, dan sebagian negara telah menyatakan bebas dari FMD termasuk Indonesia. Karena penyakit ini sangat menular dan dapat menyerang hampir semua spesies hewan termasuk manusia, maka penyakit ini menjadi penyakit yang penting untuk diwaspadai pada tingkat internasional. Setelah perang dunia ke II, FMD menyebar keseluruh dunia, pada tahun 1996 daerah endemik penyakit ini meliputi Asia, Afrika dan sebagian dari Amerika latin dilaporkan sekitar bulan Agustus 2007, bebas dari FMD yaitu Chile, sedangkan Uruguay dan Argentina tidak ada outbreak sejak tahun 2001. Amerika serikat dan Australia tidak ada kasus FMD selama bertahun-tahun, begitu juga New Zealand tidak pernah ada kasus. Hampir semua negara Eropa menyatakan bebas FMD, sehingga negara UNI-Eropa telah menghentikan program vaksinasi AE. Tetapi pada tahun 2001, terjadi outbreak FMD serius di Inggris, sehingga banyak hewan ternak harus dimusnahkan, kasus penyakit ini begitu seriusnya sampai menunda pemilihan umum sampai satu bulan, dan banyak menunda kegiatan nasional. Karena begitu ketatnya, pengawasan jual beli ternak dan perlakuan memberian disinfektan orang yang masuk dan keluar peternakan diberlakukan. Pada bulan Agustus 2007, FMD ditemukan pada dua peternakan di Surrey, England. Semua peternakan sapi diremajakan dan daerah peternakan di karantina. Etiologi dan penularan Penyakit mulut dan kuku disebabkan oleh virus FMD, termasuk dalam kelompok Aphtovirus dalam famili Picornaviridae. Anggota virus ini termasuk virus yang kecil ukurannya 25-30 nm, tidak mempunyai amplop bentuk icosahedral yang mempunyai ssRNA (single-strand RNA). Bilamana virus berkontak dengan sel hospes dia akan berikatan dengan reseptor dan memicu untuk menembus dinding sel masuk kedalam sel. Setelah masuk dalam sel, selubung proteinnya melarut. Virus baru dan komponenen protein melapisinya kemudian disintesis dalam jumlah yang banyak dan membentuk lagi virus baru. Proses berikutnya adalah sel hospes rusak pecah membebaskan banyak virus baru. Gambar 4.1 Bentuk dan ukuran virus FMD dilihat dengan elektron mikroskop (kiri), dan virus menempel pacda mukosa, masuk kedalan sel dan bereplikasi (kanan). Penularan FMD dapat terjadi melalui beberapa jalan termasuk kontak antara hewan, penularan jarak jauh terjadi melalui aerosol yang menyebar dari hewan penderita, alat-alat, kendaraan dan sebagainya. Juga terjadi penularan melalui baju pekerja kandang, air, dan bahan makanan yang terkontaminasi, makanan tambahan asal produk hewan penderita juga dapat menularkan virus. Sapi betina dapat juga tertular melalui semen dari sapi jantan yang terinfeksi virus. Pengawasan ketat pada hewan yang menderita perlu dilakukan dengan cara karantina dan pemusnahan hewan penderita, melarang impor hewan dan produk hewan dari negara yang belum bebas FMD/ daerah endemik FMD. Gejala klinis Masa inkubasi virus FMD bervariasi antara 2 sampai 12 hari, gejala terciri dengan timbulnya demam yang menurun setelah dua atau tiga hari. Terjadi tukak terkelupasnya mukosa mulut yang mengakibatkan hipersalivasi, cairan ludah kelur meleleh berbusa. Timbul tukak lecet pada kaki dan kuku yang menyebabkan lamenes, hewan dewasa mengalami penurunan bobot badan sampai terjadi beberapa bulan. Terjadi inflamasi pada testis pada hewan jantan dan penurunan produksi susu pada sapi perah betina. Walaupun kebanyakan hewan akan dapat kembali sembuh, tetapi penyakit FMD dapat berlanjut dan dapat menyebabkan myocarditis (inflamasi jantung) dan menyebabkan kematian, terutama pada anak sapi yang baru lahir. Beberapa hewan kadang tidak menunjukkan gejala, tetapi hewan tersebut dapat bertindak sebagai pembawa penyakit dan dapat menularkan ke hewan lain. Gambar 4.2 Terkelupasnya mukosa mulut kerbau(kiri), dan terkelupasnya kulit kaki dan kuku pada babi penderita FMD(kanan). Gambar 4.3 Virus FMD dilihat dengan Elektro mikroskop (kiri), dan bentuk skema icosahedralnya (kanan). Infeksi pada manusia Orang dapat terinfeksi virus FMD melalui kontak langsung dengan hewan penderita, tetapi kejadian ini sangat jarang, beberapa kasus terjadi karena kecelakaan di laboratorium saja. Hal tersebut disebabkan karena virus sensitif terhadap asam lambung, sehingga tidak terjadi penularan pada manusia melalui konsumsi makanan asal hewan seperti daging yang terinfeksi, kecuali virus menempel pada mulut sebelum daging ditelan. Di Inggris dilaporkan kasus infeksi virus ini terjadi pada tahun 1966, dan hanya beberapa kasus dilaporkan di Eropa, Afrika, dan Amerika Selatan. Gejala FMD pada orang adalah malaise, demam, dan lesi kemerahan pada daerah mulut, dan kadang ada lepuh pada kulit. Menurut laporan yang dimuat di surat kabar setempat, kemungkinan penyakit tersebut menular melalui air susu sapi yang tercemar. Disamping itu ada penyakit viral lainnya yang dapat menginfeksi manusia dan menunjukkan gejala pada tangan, kaki dan mulut mirip FMD. Penyakit ini kejadiannya lebih sering menyerang manusia, terutama pada anak disebabkan oleh virus Coxsackie A, penyebabnya agak berbeda daripada FMD. Virus Coxsackie A termasuk dalam famili Picornaviridae, genus Enterovirus. Gambar 4.4 Penyakit virus tangan,kaki dan mulut pada anak yang disebabkan infeksi virus Coxsackie A FMD sangat jarang menginfeksi manusia, tetapi sangat cepat menyebar diantara hewan, sehingga fokus utama pemberantasannya adalah pada bidang pertanian daripada infeksi penyakit pada manusia. Banyak petani ternak mengalami kerugian yang besar di seluruh dunia karena wabah penyakit FMD. Usaha penanggulangan Karena virus ini sangat menular dengan cepat maka usaha penanggulangan yang paling utama adalah dengan vaksinasi pada hewan yang sehat. Methode vaksinasipun masih banyak ditemukan kendala, karena virus ini ada tujuh tipe virus FMD, disamping itu virus ini sering bermutasi sehingga banyak variasi serotipenya diantara tujuh tipe virus FMD. Tidak ada kros proteksi/reaksi silang, diantara tipe virus ini sehingga satu jenis vaksin tidak dapat memproteksi tipe virus FMD lainnya, bahkan dua strain virus diberikan dapat menyebabkan terjadinya pebedaan gen sampai 30% dari gen yang diberikan, hal tersebut artinya vaksinasi sangat spesifik dari satu tipe virus yang diberikan. Respon imun setelah vaksinasi juga tidak memproteksi dalam waktu yang lama, paling hanya sekitar kurang dari satu tahun. Dewasa ini organisasi kesehatan hewan dunia menyatakan bahwa untuk FMD diberlakukan tiga kategori status, suatu negara dinyatakan bebas atau tidak bebas dari penyakit ini yaitu: a) ada kejadian FMD tanpa atau dilakukan vaksinasi; b) tidak ada kasus FMD/bebas FMD setelah dilakukan vaksinasi; dan c) tidak ada kasus/bebas FMD tanpa dilakukan vaksinasi. Negara dalam kategori c) mempunyai kesempatan paling baik untuk mengeksport produk ternaknya ke pasar dunia. Sehingga untuk hal tersebut negara maju termasuk Kanada, Amerika Serikat, dan Inggris, berusaha keras untuk menjaga kondisi status mereka sebagai negara bebas FMD tanpa vaksinasi. Ada beberapa hal mengapa terjadi pengketatan eksport ternak dari negara yang bebas FMD karena program vaksinasi. Hal tersebut disebabkan karena pada uji secara rutin terhadap sampel darah ternak berdasarkan pada terdeteksinya antibodi, karena hasil uji tersebut tidak dapat membedakan antara hewan terinfeski FMD dengan hewan setelah divaksin FMD. Penyakit diaree ganas pada sapi (BVD) Penyakit penyebab diaree karena infeksi virus pada jenis ruminansia besar disebabkan oleh infeksi virus “bovine viral diarea” (BVD). Penyakit BVD adalah penyakit yang sangat patogen dan menyerang hewan ruminansia terutama pada sapi, penyakit ini hampir ditemukan di seluruh dunia. Infeksi BVDV dapat menyebabkan timbulnya gejala abortus, diaree, dan bahkan kematian ternak yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar pada peternakan sapi pedaging dan sapi perah diseluruh dunia. Virus ini mempunyai prevalensi yangtinggi, dapat menyebabkan aborsi pada hewanbunting, infeksi yang persistem hampir tidak bis diobati dan berpotensi menular ke hewan spesies lain seperti kambing, domba, kerbau dan hewn ruminant liar lainnya. Etiologi Virus BVD termasuk dalam kelompok famili Flaviridae dan genus Pestivirus, genom terciri sebgai virus singgel srand RNA (ssRNA). Biotype yang dijumpai adalah bersifat “cytopathic Effect) yang merusak biakan jaringan (tissue culture), dan tang sering dijumpai adalah bersifat non-cytopathic (NCP). Gejala penyakit disebabkan oleh dua biotipe berbeda terutama pada tingkat keparahan penyakit, yang paling parah terjadinya gejala penyakit adalah yang termasuk biotipe NCP. Virion dari pestivirus mempunyai amplop berbentuk sferik nerukuran sekitar 50 nm diameter. Pada virus yang matang mengandung membran protein yang terkode sebagai Erns, E1 dan E2 pada kapsid protein. Genome ssRNA panjangnya sekitar 12kbp. Virion RNA adalah virus yang infeksius baik genom maupun mRNAnya. . Gambar 4.5 Bentuk morfologi pestivirus penyebab diaree ganas pada sapi (BVD) Virus BVD dibagi menjadi dua genotipe, yaitu BVDV-1 dan BVDV-2 berdasarkan perbedaan antigenik dan genetik, dimana setiap genotipe mengandung bentuk CP(sitopaik efek) dan NCP(non-sitopatik efek). Begitu juga setiap genotipe dibagi menjadi dua yaitu BVDV-1 dan BVD-2, keduanya mempunyai akibat yang sama bila terjadi infeksi prenatal, tetapo pengaruhnya cukup bervariaso pada infeksi postnatal. Terjadi kasus yang menunjukkan gejala yang parah pada infeksi genotipe NCP BVDV-2. Distribusi, prevalensi dan transmisi Penyakit BVD telah menyebar keseluruh dunia dan diperkirakan mencapai 60%-80% terinfeksi pada umur sekitar lebih dari satu tahun menunjukkan positif pada uji antibodi serum netralisasi terhadap virus ini. Ujio tersebut persisten, yang artinya hasil uji positif pada ternak yang terinfeksi secara alamiah maupun infeksi buatan (program vaksinasi), yang secara persisten terinfeksi (PI) yang jumlahnya sekitar 1-2%. Tetapi jumlah tersebut sangat bervariasi bergantung pada geogarafik lokasi dan program vaksinasi yang dilakukan. Hewan PI adalah sangat besar potensinya sebagai sumber penularan penyakit dan merupakan tantangan besar untuk mengontrol dan mencegah terjadinya outbreak penyakit ke hewan yangh sehat. Penularan BVDV dapat langsung melalui kontak maupun secara tidak langsung melalui cairan saliva, feces, urin, semen, bulu dan air susu dari hewan PI. Kondisi viremia dari hewan PI adalah merupakan sumber penularan yang utama, walaupun hewan penderita terlihat normal tanpa terlihat gejala klinis dan penularan berlangsung terus menerus sampai beberapa tahun melalui cairan tubuh hewan penderita. Transmisi melalui transplacental (dari induk ke fetus yang dikandungnya) dapat terjadi bilamana induknya berstatus PI. Infeksi dari induk PI kepada fetus hanya dapat terjadi pada saat pertengahan pertama masa kebuntingan (5 bulan masa bunting). Pathogenesis dan gejala Patogenesis (jalannya penyakit) pada infeksi virus BVD bergantung pada interaksi antara hospes, agen patogen dan lingkungan. Dari tiga faktor tersebut gejala klinis yang ditemukan sangat bervariasi berdasarkan pada hospes dan virulensi dari bentuk partikel virus BVD yang menginfeksi. Pada umumnya infeksi virus BVD komplek menimbulkan gejala sub-klinis benigna bovine viral diaree, mukosal disease yang fatal, diaree fatal yang perakut, hambatan sistem imun, trombositopenia dan hemoragek, kegagalan reproduksi, dan abnormal kongenital pada janin yang dikandungnya. Gejala yang timbul pada infeksi BVD bergantung pada faktor hewan yaitu: umur hewan pada saat terinfeksi, umur dari fetus pada saat terjadi infeksi transplasental, status imunitas (secara pasive melalui kolostrum), aktiv melalui vaksinasi, dan adanya stress. Patogenesis dari penyakit dapat digambarkan melalui dua jalan, yaitu imunokompetent dari sapi tidak bunting (non-pregnanta) dan sapi bunting (pregnant). Imunokompetent pada sapi tidak buntung Gejala subklinis infeksi virus BVD adalah tipe infeksi BVD yang sering terjadi karena penurunan kandungan antibodi maternal (yang diturunkan dari induknya). Gejala terjadi dalam beberapa hari setelah infeksi yaitu kurang nafsu makan, depresi, diaree ringan dan leukopenia. Penyakit BVD perakut adalah penyakit BVD yang parah yang menyebabkan fatal, disebabkan oleh infeksi NCP BVD-2, tetapi hal ini jarang terjadi. Tipe penyakit BVD ini dapat menyebabkan thrombositopenia (kekurangan trombosit) dan terjadi gejala hemoraghek (perdarahan) pada siliaris mata, epistaxis (perdarahan dari hidung) dan perdarahan abnormal dari daerah unjeksi. Bentuk infeksi virus yang sama dapat menyebabkan meningoencephalitis (peradangan pada otak dan selaput otak), tetapi gejala ini sangat jarang. Penghambatan sistem kekebalan dapat menyebabkan anak sapi post natal (baru dilahirkan) yang terinfeksi BVD dapat terinfeksi oleh penyakit lain. Sapi yang terinfeksi BVD menjadi sangat peka terhadap penyakit “bovine rhino tracheitis” (IBR), “bovine respiratory disease” dan enteritis. Infeksi BVDV juga dapat berpotensi menuruknan jumlah sel limfosit B dan T. Imunokompeten pada sapi buntuing Infeksi BVDV dapat menyebabkan kegagalan fertilisasi (pembuahan), kematian embrio, abortus, atau anak sapi yang dilahirkan menjadi terinfeksi secara persisten (PI) bergantung pada fase kebuntingan dimana infekssi terjadi. Bila infeksi terjadi pada saat estrus sebelum inseminasi akan menurunkan kejadian konsepsi karena terjadi penundan atau penurunan ovulasi. Infeksi BVDV pada sapi sehat dengan melalui semen yang positiv BVD dapat menurunkan laju konsepsi (pembuahan). Infeksi yang terjadi pada hari 0-45 kebuntungan tidak terpengaruh pada embrio. Infeksi pada hari ke 45-125 masa kebuntingan dapat menyebabkan aborsi/keguguran, mumifikasi (embrio mati dan mengeras dalam kandungan), gangguan kongenital, atau anak sapi yang dilahirkan terinfeksi persisten dan berkembang menjadi penyakit mukosal disease. Pada umumnya infeksi persisten pada anak sapi menyebabkan sulit birahi, hal tersebut menyebabkan terjadinya mukosal disease disebabkan karena bentuk virus NCP bermutasi menjadi bentuk virus CP. Bi;a infeksi terjadi pada hari ke 125-175 terjadi gangguan kongenital yang parah. Infeksi setelah hari ke 175 masa kebuntingan fetus bereaksi merespon dengan sistem imun sehingga virus dapat dieliminasi dan tidak terjadi efek apapun pada fetus. Gejala klinis dan lesi yang terlihat Infeksi sub-klinis adalah bentuk yang dominan dari penyaki, terjadi angka pesakitabn yang tinggi (high morbidity), tetapi angka kematian rendah. Hal tersebut terciri dengan adanya demam ringan, diaree ringan, leukopenia dan kehilangan nafsu makan. Bentuk infeksi BVD ini kadang kurang diperhatikan dan tidak terdiagnosis karena gejala yang tidak kelihatan trersebut dan dapat sembuh dengan cepat setelah beberapa hari. Mukosal disease akut dapat terjadi pada BVDV positiv dalam suatu kelompok sapi sekitar 5-25% sapi yang berumur 6-24 bulan, dengan morbiditas 45% sampai menjadi 100% mortalitas. Hewan yang terinfeksi terlihat depresim anoreksia, diaree profus, nafas cepat, berak terlihat tegang dan berbau, berak sangat encer dan mengandung lendir, darah, dan berfibrin. Erosi muksa mulut dan ulcer ditemukan pada 80% kasus dan berkembang sampai seluruh rongga mulut dan akhirnya terjadi kematian. Cairan seperti nanah terlihat pada daerah hidung disebabkan karena erosi pada mukosa hidung terlihat pada hampir semua hewan penderita Kematian karena dehidrasi dapat terjadi terutama pada hari ke 5-7 sejak gejala timbul. Mukosal disease kronis dapat berkembang dari gejala akut, dimana hewan dapat selamat dari kematian tetapi menunjukkan gejala yang cukup serius yaitu: diaree, tidak nafsu makan, kekurusan, kembung, salah bentuk kuku, dan lesi erosi dalam rongga mulut dan kulit. Lesi lecet-lecet pada daerah genital dan anus, begitu juga pada kulit diantara kedua kaki, juga disekitar kuku. Hewan penderita kronik mucosal disease dapat tahan hidup sekitar 18 bulan. Perakut BVD, merupakan penyakit paling fatal pada penderita BVD, dilaporkan wabah yang progresif dapat berlangsung selama beberapa minggu. Hewan penderita akan mengalami depresi yang parah, anoreksia, demam tinggi, penurunan drastis produksi susu pada hewan yang sedang laktasi. Hewam bunting akan mengalami keguguran, penyakit dapat menyerang sapi semua umur, tetapi mortality banyak terjadi pada hewan muda dan kematian terjadi dalam waktu beberapa hari setelah timbulnya gejala. Thrombositopenik dan hemorhagik disease, terciri dengan diaree berdarah perdarahan terlokalisir atau perdarahan mkenyeluruh pada mukosa dan mata, perdarahan pada hidung (epistaxis), perdarahan yang lama pada lokasi injeksi atau bekas gigitan serangga. Hewan terlihat demam, dehydrasi berhenti megunyah (berhenti ruminasi). Mortalitas terjadi sekitar 25% Gangguan reproduksi, Sapi betina yang terinfeksi BVDV akan terjadi kegagalan konsepsi, fetal mengalami aborsi, dan mumifikasi, lahir prematur, kelainan kongenital, anak sapi yang dilahirkan lemah, dan anak sapi yang baru lahir akan mengalami infeksi BVDV persisten. Laju infeksi pada fetus dapat mencapai 21% pada suatu kelompok sapi. Anak sapi yang menderita infeksi persisten (PI) tidak dapat berdiri tegak, pedet lebih kecil dari normal, dan bulunya kusam. Pengobatan dan pencegahan Paling efektif dalam pencegahan infeksi BVDV adalah mengeliminasi sapi PI secara individual dan sapi yang berpotensi untuk melahirkan pedet PI. Untuk melakukan hal tersebut maka perlu dilakukan vaksinasi secara serentak, memonitor program biosecurity dan biokontaminan. Sedangkan pengobatan hewan yang sakit oleh BVD tidak begitu efektif, sedangkan kontrol untuk pencegahan dan usaha eradikasi/pembrantasan penyakit perlu diprogramkan oleh suatu usaha peternakan sapi dan pemerintah terkait. Program biosecurity BVDV bertujuan untuk mencegah masuknya infeksi visrus BVD kedalam kelompok sapi yang sehat belum mengenal penyakit BVD dan mengontrolnya. Menurut Dr. Brock dari Universitas Auburn menyatakan bahwa ada 10 cara mencegah infeksi BVD yaitu: 1. Menjaga dengan disiplin ketat mengenai biosecurity 2. memasukkn hewan baru dalam peternakan harus negatif test BVD 3. Isolasi terlebih dahulu hewan baru yang akan dimasukkan dalam kelompok hewan selama 30 hari 4. Hewan baru yang diisolasi per;u diuji serologik BVD dan kemudian di vaksinasi 5. menjaga sanitasi secara rutin dengan pemberian desinfektan, mencegah kontaminasi dari luar, dengan cara desinfeksi 6. Mencegah kontak dengan peternakan sapi di dekatnya yang tidak diketahui statusnya 7. Memproteksi hewan bunting dari sumber penularan pada kebuntingan trisemester pertama 8. Hindarkan mencampurkan kelompok hewan sebelum breeding/kawin dan selama trisemester pertama. 9. Melakukan survei mengenai BVD dengan melakukan bedah bangkai hewan yang mati dan mengambil sampel darah dari pedet yang tidak birahi dan pedet yang menderita penyakit pernafasan 10. Lakukan vaksinasi kelompok hewan setiap tahun. Pastikan sapi muda yang belum pernak beranak (heifer) di vaksin pada umur 6 bulan dan divaksin ulang (booster) sebelum dikawinkan Bovine malignant catharal fever (BMCF) BMCF adalah penyakit “lymphoproliferative” yang fatal yang disebabkan oleh infeksi virus dalam kelompok “rumunant gamma herpes viruses” termasuk Alcelaphine Herpes Virus 1 (AlHV-1) dan Ovine Herpes Virus 2 (OvHV-2) virus tersebut menyebabkan infeksi pada domba (OvHV-2) dan wildbeest/sapi liar (AIHV-1), tetapi tidak menimbulkan efek pada hewan tersebut (sebagai reservoire), tetapi dapat menimbulkan penyakit yang fatal pada sapi dan hewan berkuku genap lainnya, seperti kerbau, kijang dan antelop. Penyakit MCF sangat penting terutama bila hewn reservoire (domba) berdekatan dengan sapi yang peka terhadap penyakit ini. Penyakit ini merupakan masalah yang besar pada sapi Bali (Indonesia), bison (Amerika) dan bangsa sapi di Afrika bagian Timur dan Selatan. Wabah penyakit pada sapi biasanya terjadi secara sporadis, walaupun angka infeksi dapat mencapai 40%. Beberapa spesies ruminan sangat peka terhadap penyakit MCF yaitu sapi Bali, kijang dan bison. Kijang mengalami banyak kematian pada sekitar 48 jam setelah menunjukkan gejala dan bison setelah tiga hari. Pada sapi (yang tidak peka) setelah terjadi infeksi biasanya dapat sembuh kembali setelah satu minggu atau lebih. Gejala klinis dan diagnosis Gejala yang paling sering dari penyakit ini adalah lesi pada kepala dan mata, gejala yang paling utama adalah demam, depresi, leleran cairan pada mata dan hidung, lesi pada rongga mulut dan pipi, pembengkakan kelenjar limfe, kornea memutih yang berlanjut menjadi buta, hilang nafsu makan dan diaree. Beberapa hewan menunjukkan gejala syaraf yaitu ataksia, nystagmus dan kepala menunduk. Gejala per-akut terlihat adanya lesi pada kulit dan kematian terjadi dalam waktu 10 hari. Angka kematian sekitar 90-100%, sedangkan pengobatan hanya dilakukan secara obat supportif saja. Diagnosis dilakukan berdasarkan sejarah penyakit dan gejala yang terlihat, deteksi penyakit dilakukan berdasar gambaran histopatologi dan uji antibodi virus dalam darah dengan metoda ELISA atau DNA virus dengan PCR. Gejala penyakit yang mirip dengan MCF adalah mukosal disease, FMD, bluetonge, sehingga uji laboratorium untuk memastikan jenis penyakit sangat penting, sedangkan pemeriksaan histopatologi merupakan diagnhosis definitif. Belum ada vaksin untuk mencegah penyakit BMCF ini. Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) Infeksi virus IBR sangat menular (contagius) Infeksi penyakit ini disebabkan oleh Bovine herpes virus-1 (BHV-1). Disamping dapat menyebabkan penyakit pernafasan, infeksi virus IBR juga dapat menyebabkan radang pada mata, keguguran, radang otak dan gejala umum lainnya. Penyakit IBR pertama ditemukan pada tahun 1950an pada peternakan sapi di Amerika Serikat bagian Barat. Virus yang menginfeksi hewan tidak aktive bila hospes kondisinya baik, tetapi akan menjadi aktiv pada saat hewan mengalami stress. Virus berada dalam kelenjar sekresi mata, hidung dan genitalia, gejala klinis yang timbul dibagi menjadi beberpa kelompok yaitu: 1) infeksi saluran pernafasan, 2) infeksi pada mata, 3) abortus, 4) infeksi genital, 5) infeksi otak, 6) infeksi secara umum pada pedet yang baru dilahirkan. Etiologi, transmisi dan distribusi Virus IBR termasuk dalam famili Herpesviridae, sub-famili Alpha herpesvirinae, genus Vericellovirus, terdiri dari tiga sub-tipe yaitu: BHV 1.1 (IBR), BHV 1.2, BHV 1.2a, dan BHV 1.3). Seperti pada herpes virus lainnya, virus ini berukuran cukup besar, terdiri dari doble strand linear DNA (dsDNA) dikode sekitar 100-200 gen dikelilingi kapsid protein icosahedral dan mempunyai amplop lipida bilayer. Gambar 4.6 Virus IBR dilihat dengan elektro mikroskop (kiri), skema virus herpes (kanan). Penyakit terjadi pertama di Amerika Utara yang kemudian menyebar keseluruh dunia. Virus IBR merupakan virus yang cukup unik karena keberadaannya dalam tubuh hospes yang mengalami fase laten, dan hanya akan bereplikasi pada waktu hewan mengalami stress. Penyakit ditularkan dari satu hewan yang terinfeksi ke hewan lainnya melalui udara atau langsung lewat cairan ingus dari hidung. Pada peternakan pembibitan, IBR dapat ditularkan melalui perkawinan, walaupun tidak terlihat adanya lesi, penularan pada peternakan sapi bibit masih dapat terjadi. Disamping itu penggunaan inseminasi buatan (AI) dapat juga menularkan penyakit bila semen yang diberikan dari sapi pejantan penderita IBR subklinis. Metoda dengan teknik “embryo transplant” dapat mencegah penularan sapi betina donor yang terinfeksi kepada sapi betina penerima dengan cara mencuci embryo dengan trypsin. Gejala klinis dan lesi yang terlihat Masa inkubasi dari penyakit IBR hanya beberapa hari sampai sekitar satu minggu. Setelah waktu inkubasi, beberapa gejala yang terlihat cukup bervariasi. Virus akan menjadi periode laten pada individu sapi yang kadang tidak menimbulkan gejala atau gejala ringan saja, sampai hewan mwngalami stres atau hewan menjadi peka karena hal lain. Begitu gejala timbul penderita akan mengalami demam tinggi, batuk, nafas terengah, hidung basah berlendir, conjunctivitis, abortus (pada betina bunting tiga bulan terakhir). Semua gejala tersebut terlihat tiga bulan setelah infeksi. Penyakit Infeksi BHV-1 erat hubungannya dengan pengangkutan hewan dari daerah lain atau impor hewan dari negara lain (shiping fever) yang disebabkan oleh infeksi M. haemolytica. Infeksi BHV-1 menyebabkan hewan menjadi peka terhadap infeksi penyakit lain yaitu bakteri M. Haemolytica. Kedua agen penyakit tersebut dapat menyebabkan penyakit gangguan pernafasan yang dihubungkan dengan “shiping fever”. Infeksi IBR bentuk genital disebabkan adanya transmisi penyakit melalui urine ke vagina. . Gambar 4.7 Memperlihatkan lesi daerah hidung (kiri) dan rongga mulut (kanan) Pada dasarnya infeksi IBR dari sub tipe yang berbeda menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda pula yaitu: BHV-1.1 menyebabkan IBR, BHV 1.2 menyebabkan infeksi pustular vulvovagina(IPV), BHV 1.2a menyebabkan abortus, BHV 1.3 menyebabkan ensephalitis. Infeksi BHC 1.1 mungkin juga dapat menyebabkan perdarahan pada mukosa rongga hidung laryng atau trachea. Pencegahan dan pengobatan Hampir semua penyakit karena infeksi virus tidak ada pengobatannya, pemberian antibiotk ditujukan untuk mencegah terjadunya infeksi sekunder oleh bakteri. Untuk mencegah penyakit IBR, vaksinasi adalah jalan yang terbaik. Modifikasi vaksin hidup dapat diberikan melalui intramuskuler atau intra nasal. Vaksin intramuskuler sering digunakan pada peternakan sapi pedaging atau sapi yang tidak bunting, sedangkan vaksin intranasal digunakan untuk memperoleh kekebalan secara cepat untuk sapi bunting. Vaksin hidup modifikasi (virus yang dilemahkan) intra-muskuler tidak boleh diberikan pada sapi bunting karena dapat memberikan efek seperti virus ganas yang menginfeksi. Di rekomendasikan pemberian vaksin pada sapi dara dilakukan pada umur 6-8 bulan dan diberikan booster (vaksin ulang) berikutnya. Penyakit orf Penyakit orf adalah penyakit “exantemous” disebabkan oleh infeksi virus parapox terutama menyerang domba dan kambing. Penyakit ini sangat infeksius sehingga disebut “contagious pustular dermatitis, infectious labial dermatitis, ecthyma contagiosum, thistle disease”dan juga dapat menginfeksi orang (zoonosis). Kejadian penyakit telah dilaporkan sejak akhir abad 19, menyerang domba dan kambing di Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat, Afrika, Asia termasuk Indonesia, Amerika Selatan, Kanada, New Zealang dan Australia. Penyebaran melalui kontak langsung atau serpihan keropeng dari hewam penderita Etiologi dan gejala Virion Orf termasuk dalam kelompok doble strand DNA (dsDNA), famili: Poxviridae, genus Parapoxvirus, spesies virus ORF. Gejala terciri dengan timbulnya papula dan fustula pada bibir dan hidung. Lesi tersebut berkembang menebal bentuk kerak dan dapat terjadi perdarahan pada lokkasi lesi. Orf yang timbul pada daerah mulu cempe (anak domba) menyebabkan kesulitan untuk menyusu, sehingga cempe menjadi kurus dan dapat menginfeksi ambing induknya yang dapat menyebabkan radang (mastitis). Gambar 4.8 Virus dilihat sengan elektron mikroskop (kiri), virus pox yang masih di dalam sel dan sudah diluar sel (kanan) Pada domba dan kambing lesi terlihat pada perbatasan rambut dan kulit dan daerah disekitar bibir dan mulut. Pada beberapa kasus lesi terjadi pada sekitar hidung, sekeliling mata, sekitar paha, vulva dan ketiak. Pada cempe, lesi terlihat pada lidah, gusi, langit-langit mulut, dan oesophagus, dan kadang juga pada rumen Gambar 4.9 Lesi orf di sekitar mulut pada domba (kiri) dan pada anak kambing (kanan) Orf biasanya akan sembuh setelah gejala penyakit mereda, pemberian antibiotik disekira lesi sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Anak domba/kambing harus mendapatkan susu yang cukup sepanjang cempe tersebut kesulitan dalam memperoleh susu sendiri dari induknya dan perlu dipisahkan dengan hewan yang sehat. Penyakit bluetongue (BTV) Penyakit bluetongue atau disebut “catarrhal fever” adalah penyakit yang non contagious, ditularkan melalui gigitan serangga, terutama menyerang domba dan kadang pada sapi, kambing, kerbau, kijang dan antelope, disebabkan oleh infeksi bluetongue virus (BTV). Virus ditularkan oleh lalat kecil Colicoides imicola dan beberapa spesies Colicoides lainnya . Pada domba BTV dapat menyebabkan penyakit yang akut dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. BTV juga dapat menginfeksi hewan ruminan lainnya seperti kambing, sapi dan juga hewan ruminansia liar seperti kijang antelope dan sebagainya. Gejala utama yang terlihat adalah demam tinggi, hipersalivasi, pembengkakan kepala dan lidah, cyanosis pada lidah (membiru). Pembengkakan bibir dan lidah sangat khas dan memberikan kesan warna biru, walaupun gejala tersebut hanya terjadi pada beberapa hewan saja. Gejala pada hidung adalah gejala yang menciri yaitu berlendir dan sesak bernafas. Beberpa hewan mengalami radang pada ceracak kaki dan pincang, pada domba halini menyebabkan domba berjalan dengan lututnya. Etiologi Partikel virus terdiri dari sepuluh pita/strand dobel strand RNA, dari famili reoviridae, genus arbovirus, species Bluetongue virus. Partikel virus berukuran diameter 86 nm, dengan dilapisi dua kapsid protein VP2 dan VP5, yang merupakan media untuk penempelan dan penetrasi untuk masuk kedalam sel. Kontak pertamaviruspada permukaan sel adalah dengan VP2 pada reseptor endositosis dari virus. Pada kondisi pH rendah dalam endosom memicu VP5 berpenetrasi kedalam sel. Uncating kapsid melepaskan core protein yang terdiri dari VP7 dan VP3, dan tiga protein minor VP1, VP4 dan VP6 juga dsRNA genom. Gambar 4.10 Virus BT dibawah mikroskopelektron (kiri) dan skema virus yang menunjukkaqn sepuluh dsRNA didalam core genomnya Gejala penyakit Masa inkubasi sekitar 5-20 hari, dan semua gejala berkembang dalam waktu satu bulan. Angka kematian biasanya rendah, tetapi hewan yang paling peka adalah domba. Gejala utama yang terlihat adalah demam tinggi, hipersalivasi, pembengkakan kepala dan lidah, cyanosis pada lidah (membiru). Pembengkakan bibir dan lidah sangat khas dan memberikan kesan warna biru, walaupun gejala tersebut hanya terjadi pada beberapa hewan saja. Gejala pada hidung adalah gejala yang menciri yaitu berlendir dan sesak bernafas. Beberpa hewan mengalami radang pada ceracak kaki dan pincang, pada domba hal ini menyebabkan domba berjalan dengan lututnya. Gambar 4.11 pembengkakan keoala (kiri dan tengah) dan lidah membiru (kanan) Tidak semua hewan penderita mengalami gejala tersebut, tetpai yang menunjukkan gejala akan sangat menurun kondisinya dan akan mati dalam waktu satu minggu, sedangkan yang dapat sembuh pemulihan kondisinya berjalan sangat lambat. Pengobatan dan pencegahan Penyakit infeksi BTV tidak ada cara pengobatannya. Pencegahan dilakukan dengan meng-karantina hewan yang sakit, melakukan vaksinasi dengan vaksin hidup modifikasi dan mengontrol vektor sebagai pembawa penyakit. Pada suatu peternakan domba kontrol terhadap lalat sebagai vektor penyakit dapat mencegah terjadinya wabah. Kontroltersebut dapat dilakukan dengan memasang kasa mencegah lalat Culicoides masuk kedalam kandang. Lalat kecil (midges) Culicoides biasanya berkembang biak dalam kotoren hewan atau tanah yang basah, kadang juga dalam timbunan rumput basah. Untuk dapat menangkap lalat vektor perlu dipasang “light traped” dan membuang atau mengubur semua barang yang dapat berpotensi untuk berkembang biaknya lalat. Vaksin BTV telah dikembangkan di Eropa untuk mengatasi wabah di benua tersebut yang ditujukan untu nenerapa BTV serotipe tertentu yaitu serotpe 2, 4 dan 8, sedangkan kasus BTV ini di Indonesia masih sangat jarang atau belum pernah dilaporkan. Penyakit virus pada unggas Nuwcatle disease (NDV) Penyakit tetelo (ND) adalah penyakit pada unggas peliharaan dan unggas liar yang sangat kontagius. Penyakit ini pertama ditemukan di “Newcasle upon tyne”, Inggris pada tahun 1926, kemudian ditemukan di Australia tahun 1943 oleh Burnet. NDV ditularkan mealui kontak langsung dengan hewan penderita ke hewan yang sehat dan juga melalui kotoran dan sekresi ingus dari hidung, mulut dan mata. NDV menyebar dengan cepat diantara unggas dalam satu kandang. Konsentrasi yang tinggi dari virus terdapat dalam cairan/lendir tubuh unggas penderita, tetapi penularan yanag mudaha adalah kontak Materal yang melekat pada material seperti sepatu kandang, pakaian pekerja kandang, terbawa dang menginfeksi kepada unggas yang sehat. Virus ND dapat hidup beberapa minggu dalam kondisi lingkungan suhu yang hangat dan lembab pada bulu dan feces serta material lain. Virus juga dapat hidup lama pada suhu yang beku. Tetapi virus dapat segera mati pada tempat yang kering dan dibawah sinar ultraviolet. Virion dan strain virus Virus ND adalah virus strand negatif, singel strand genome yang terkode dalam sebuah RNA-direct, RNA-polymerase, hemaglutinin-neuraminidase,protein, fusion protein, matrix protein, phospho-protein dan nucleoprotein dalam arah 5’ ke 3’ sequen. Strain virus ND dapat dikategorikan sebagai “velogenic” (sangat virulen), “mesogenic” (virulensi sedang) dan “lentogenic” (tidak virulen). Strain velogenik dapat menyebabkan gejala yang parah pada saraf dan pernafasan, menyebar sangat cepat dan menyebabkan kematian sampai 90%. Strain mesogenik menyebabkan kematian hanya 10%, menurunkan produksi dan kualitas telur, dan menyebabkan gejala batuk. Sedangkan strain lentogenik hanya menyebabkan gejala ringan dan hampir tidak ada kematian. ND berpengaruh sangat hebat pada unggas domestik karena unggas (ayam) sangat peka terhadap infeksi NDV dan berpotensi terhadap penyakit yang enzootik dan sangat merugikan pada industri peternakan ayam serta dapat menjadi endemik di banyak negara. Virus juga dapat menular ke manusia yang menyebabkan penyakit ringan pada mata seperti conjunctivitis dan gejala influenza terutama pada pekerja kandang dan pemotongan ayam. Gejala dan patologi Infeksi virus ND pada peternakan ayam petelur, produksi telur menurun secara drastis, walaupun gejala belum terlihat. Gejala yang timbul sangat bervariasi bergantung pada beberpa faktor seperti strain dari virus, kondisi kesehatan ayam, umur, dan spesies. Masa inkubasi penyakit berkisar antara dua sampai 15 hari. Unggas yang terinfeksi akan menunjukkan gejala yang parah, seperti gangguan pernafasan (terengah dan batuk), gejala syaraf terlihat depresi, tidak nafsu makan, tremor pada otot, sayap menggantung, kepala dan leher memutar, bergerak memutar mutar, paralysis, pembengkakan jaringan sekitar mata dan leher, berak berair dan berwarna kehijau, produksi telur menurun dan kulit telus tipis. Pada kasus yang akut kematian terjadi sangat mendadak pada awal terjadinya wabah, sedangkan hewan lain tidak menunjukkan gejala. Dalam kandang yang kondisinya baik dan ayamnya mempunyai daya imunitas, bila terserang wabah gejala penyakit yang timbul adalah gejala respirasi dan digesti, gejalanya ringan tetapi kemudian menjadi progresif, dalam wakti satu minggu gejala terlihat pada syaraf terutama terlihat kepalanya memutar. Gambar 4.12 Gejala tortikolis (leherdan kepala berputar) pada ayam (kiri dan tengah) dan gambaran patologi perdarahan pada saluran cerna (kanan) Pada bedah bangkai (post mortum) ayam yang mati karena penyakit ND terlihat adanya petechiae (titik-titik perdarahan) dalam proventrikulus dan pada sub-mukosa tembolok yang merupakan ciri khas adanya enteritis yang parah pada duodenum. Pada infeksi hiper-akut lesi yang terlihat tersebut tidak begitu jelas karena ayam keburu mati. Pencegahan Setiap ayam yang memperlihatkan gejala penyakit dalam satu kandang harus segera di isolasi/karantina. Vaksinasi ND harus rutin dilaksanakan, terutama saat pergantian musim, vaksin inaktif telah tersedia dipasaran. Infectious bronchitis (IBV) Avian infectious bronchitis termasuk dalam kelompok coronavirus yang mebginfeksi ayam yang menyeabkan penyakit bronchitis infeksius (IB). Penyakit ini sangat menular dan patogenik pada saluran pernafasan , usus, ginjal dan organ reproduksi pada ayam. Etiologi dan patogenesis Virus IB termasuk dalam kelompok IV, positif singel strand RNA, ordo Nidovirales, famili Coronaviridae, genus Gammacoronavirus, spesies Avian infectious bronchitis virus. Bila virus terhisap kedalam saluran pernafasan, virus menempel –pada reseptor glikoprotein yang mengendung asam sialic yang terdapat dalam sel epithel cilia dari epitel saluran pernafasan. Replikasi virus dalam sel mengakibatkan aktivitas/gerakan silia terhenti, cairan mukus tertimbun, terjadi nekrosis dan desquamasi epithel, sistem pernafasan tersumbat dan menyebabkan sesak nafas. Replikasi virus pada jaringan terinfeksi menyebabkan terjadinya viremia (virus dalam peredaran darah) dan menyebarkan virus kedalam jaringan lain. Penyakit saluran pernafasan lain yang mirip dengan IB adalah Mycoplasma gallisepticum, avian infectious laryngotracheitis Gallid herpesvirus 1, Newcastle disease. Virus IB yang menginfeksi ginjal adalah strain nephrotropic menyebabkan kerusakan pada ginjal pada epithel dan tubulus ginjal. Pada pemeriksaan patologi terlihat ginjal membengkak dan pucat dan ada endapan asam urat pada ureternya. Fase viremia pada IBV juga dapat mencapai organ reproduksi menbyebabkan lesi pada kelenjar yang memproduksi puth telur dan uterus yang memproduksi kulit telur, menyebabkan penurunan drastis produksi telur. Bila IBV menginfeksi ayam masa puber, waktu fase terjadinya perkembangan oviduct, akan mempengaruhi bentuk oviduct dan merusak kapasitas produksi telur. Disqamping itu embrio yang terjadi akan mengalami kekerdilan. Gambar 4.13 Perbandingan ukuran embrio ayam normal (kanan) dan 2 embrio ayam yang induknya terinfeksi IBV (kiri) pada embrio umur 18 hari Infectious bursal disease (IBDV) Penyakit IBD juga diseut penyakit Gumboro adalah sangat menular (contagious) pada ayam muda yang disebabkan oleh infeksi virus IBD, yang terciri dengan terhambatnya sistem imunitas dan terjadinya mortalitas sekitar atam umur 3 sampai 6 minggu. Penyakit ditemukan pertama kali di daerah Gumboro, Delaware pada tahun 1962. Penyakit gumboro sangat merugikan industri peternakan, karena ayam menjadi sangat peka terhadap infeksi penyakit lain dan ayam sangat kurang merespon terhadap vaksinasi. Beberapa tahun belakangan ini timbul wabah strain IBD yang sangat virulen (very virulent strain/vvIBDV), menyebabkan angka kematian ayam yang tinggi di Eropa, Amerika Latin, Asia Tenggara, Afrika dan Timur Tengah. Infeksi terjadi melalui feses, sehingga ayam mengekskresikan virus dalam jumlah yang banyak setelah masa infeksi 2 minggu. Etiologi Virus IBD adalah virus tidak beramplop dobel strand RNA mempunyai bi-segmen genom termasuk dalam famili Birnaviridae, genus avibinavirus. Ada dua serotipe virus yang berbeda pada virus ini, tetapi virus seritipe 1 yang menyebabkan penyakit pada ayam. Dalam serotipe 1, ada sekitar enam antigen yang telah teridentifikasi dengan uji “in vivo cross metralization”. Beberapa virus yang termasuk dalam subtipe antigeninik disebut varian, yang diketahui sangat mengambat antibodi maternal pada ayam komersial, yang menyebabkan peningkatan angka kematian mencapai 60-100%. Dengan dikembangkannya teknik deteksi “reverse transcriptae chain reaction (RT-PCR) dan “restriction length polymorphism (RFLP) , strain vvIBDV dapat terdeteksi dan dapat digunakan untuk penelitian epidemiologi dari virus yang bersangkutan. Genome irua BVD terirdiri dua segmen yaitu A dan B yang terletak didalam kapsid icosahedral. Genom segmen B (29Kb) terkode VP1. Genom segmen yang besar A (3m2Kb)terkode viral protein VP2, VP3, VP4 dan VP5. Protein VP2 adalah lokasi antigenik netralisasi yang penting dan bersifat protektiv terhadap respon sistem imun. Gambar 4.14 Virus IBD yang temasuk famili Birnaviridae yang meunjukkan kapsid protein yang tekode sebagaiVP 1-5 dan genome dsRNA-A dan B Disamping itu VP2 juga beperan dalam perrtukaran asam amino antigenik diantara strain virus IBD lainnya yang merupakan kluster dalam lokasi hipervariabel dari VP2. Dari hal tersebut maka daerah hipervarabel VP2 adalah target yang sangat baik untuk penelitian teknik molekuler biologi untuk mendeteksi strain varian dari IBDV. Patogenesis, gejala dan diagnosis Yang merupakan target infeksi IBDV adalah bursa fabricius dimana sel limfosit B mengalami kematangan dan memproduksi Ig-M. Gejala timbul pada ayam umur 3 dan 6 minggu dimana umur tersebut kondisi bursa fabrisiusnya bekerja sangat aktif, sehimgga ayam tersebut sangat peka terhadap infeksi penyakit. Ayam umur drlapan minggu resisten terhadao infeksi virus IBD kecuali bila yang mengifeksi strain virus yang ganas/virulen. Gejala subklinis terjadi pada ayam umur sebelum tiga minggu, pada umur tersebut jumlah limfosit sel B masih sedilit sehingga sistem kekebalan belum berkembang untuk merespon dan menunjukkan gejala klinis. Tetapi kerusakan sel B menjadi lebih parah, terjadi pada lokasi kematangan dari sel B (dalam bursa fabrisius). Begitu virus masuk kedalam tubuh ayam, IBDV langsung merusak kelenjar limfoid dalam bursa fabrisius dan sel-B yang sedang bersirkulasi juga kelenjar limfe sekunder seperti dalam usus “gut ascociated lymphoid tissue” (GALT), conjuntiva (CALT), bronchial (BALT), ceca tonsil dan lainnya. Penyakit akut dan kematian disebabkan karena efek nekrosis dari virus pada jaringan hospes. Kegagalan ginjal juga sering menyebabkan terjadinya kematian. Bila ayam selamat dari penyakit dan dapat sembuh dari fase ini ayam mengalami apa yang disebut “immunocompromised”, yang artinya akan lebih sensitif terhadap penyakit lain. Gejala penyakit dapat terjadi dengan tiba-tiba dan morbiditasnya dapat mencapai 100%. Pada fase yang akut ayam terlihat tertunduk, lemah, dehidrasi dan diaree cair. Sebagian besar ayam dalam satu kandang terbaring dengan bulu yang kusut. Angka kematian cukup bervariasi bergantung pada strain virus yang menginfeksi. Gejala hambatan sistem imun pada ayam muda berumur kurang dari tiga minggu, tidak menunjukkan gejala (subklins). Sedangkan infeksi IBDV yang tidak virulen juga tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi pada ayam yang menunjukkan atrofi pada bursa dan terdapat benjolan cista dengan gambaran limfositopenia, akan sangat sensitif terhadap infeksi penyakit lain dan akan mati oleh infeksi penyakit yang tidak patogen. Gambar 4.15 Bursa yang mengalami pembengkakan (kiri), dan eksufat pada bursa fabrisius (kanan) Gambar 4.16 Lesi pada ginjal (kiri) dan hemoragik pada proventriculus dan gizard (kanan). Diagnosis penyakit dilakukan berdasarkan sejarah penyakit yang pernah timbul, melihat gejala klinis yang ada dan berdasarkan perubahan patologi dari gambaran nekropsi terhadap ayam yang mati. Tetapi diagnosis pasti dari penyakit IBD dilakukan di laboratorium dengan metoda “immunofluoresence” atau “immunohistochemistry” dengan melabel complementary DNA (cDNA) sequence probe. Metode ini sangat berguna untuk mendeteksi IBD spesifik IBDV yang berada dalam jaringan. RT-PCR dapat digunakan untuk mendeteksi genome IBDV, seperti VP1 gen coding. Uji serologi seperti agar gel presipitasi dan uji ELISA untuk mendeteksi antibodi digunakan untuk memonitor respon vaksin dan juga untuk memonitor hewan yang terinfeksi secara alami. Pencegahan Vaksinasi pasif bisa melindungi terhadap infeksi IBDV homolog (strain sejenis), seperti pada infeksi sebelumnya dengan strain virus yang non-virulen. Ayam dalam kandang pembibitan mungkin perlu divaksinasi terhadap IBD, sehingga sistem imun dari ayam yang bersangkutan dapat mentransfer antibodi yang protektif pada keturunannya, seperti pada ayam broiler atau petelur. Vaksin dari strain yang dilemahkan mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada bursa favrisius dan menyebabkan imunosupresi terhadap ayam yang peka. Virus avian influenza (AIV) Influenza atau disebut sebagai penyakit flu adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus RNA yang termasuk dalam famili Orthomyxoviridae (virus influenza) yang menginfeksi pada unggas dan mamalia. Gejala yang sering terlihat adalah demam, sakit tenggorokan, nyeri otot, sakit kepala, batuk, lemah dan rasa tidak nyaman. Sakit tenggorokan, demam dan batuk adalah gejala yang paling sering ditemukan. Pada kasus yang paling parah inflenza dapat menyebabkan pneumonia, yang dapat menyebabkan fatal, terutama pada individu muda atau tua. Walaupun dapat dikelirukan dengan penyakit yang menyerupai flu lainnya, terutama ”common cold”, influenza adalah penyakit yang lebih parah daripada common cold dan disebabkan oleh tipe virus yang berbeda. Influenza dapat menyebabkan mual, muntah terutama pada anak, tetapi gejala tersebut tidak ada hubungannya dengan “penyakit gastroenteritis”, dan kadang penyakit tersebut dinamakan flu “perit” atau flu 24 jam. Influenza ditularkan melalui udara melalui batuk dan bersin, bahan aeorosol yang mengandung virus. Influenza juga dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan kotoran ayan atau ingus dari ayam atau melalui kontak dengan barang yang terkontaminasi. Virus influenza akan menjadi tidak aktiv melalui pemaparan sinar matahari, disinfeltan, dan detergen, sehingga sering mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi resiko penularan. Dalam klasifikasi virus, influenza adalah virus RNA yang dibagi menjadi tiga genera dari famili Orthomyxovirus, yaitu Influenza A, B dan C. Virus tersebut jauh berbeda hubungannya denga virus parainfluenza pada orang, yang termasuk dalam famili RNA paramyxovirus yang menyebabkan infeksi pada saluran respirasi pada anak, tetapi juga menyebabkan penyakit influenza seperti pada orang dewasa. Spesies virus influenza A, menginfeksi burung laut liar adalah hospes alami dari mayoritas strain influenza A. Kadang virus ditularkan pada spesies lain dan kemudian dapat menyebabkan wabah pada ayam peliharaan atau menular kepada manusia sebagai influenza orang yang menyebabkan pandemik. Virus tipe A adalah virus influenza yang paling virulen pada orang dan dapat menyebabkan penyakit yang parah. Virus influenza A dapat dibagi menjadi beberpa serotipe berdasarkan atas respon antibodi. Serotipe yang telah dikonfirmasi menginfeksi pada orang dan yang telah menimbulkan pandemik dan kematian adalah: H1N1, yang menyebabkan “Spanish flu” pada tahun 1918 dan menyebar keseluruh dunia pada tahun 2009; H2N2, yang menyebabkan “Asian flu” tahun 1957; H3,N2, yang menyebabkan “Hong Kong flu” tahun 1968; H5N1, yang menyebabkan pandemik dewasa ini; H7N7, yang menyebabkan kasus zoonotik; H1N2, endemik pada orang dan babi; H9N2, H7N2, H7N3, H10N7. Sedangkan influenza B, genus dari kelompok virus ini hanya mempunyai satu spesies yaitu influenza B, virus ini hanya menginfeksi manusia dan jarang dijumpai daripada influenz A. Hewan yang paling peka terhadap infeksi influenza B adalah anjing laut dan musang. Laju mutasi dari infeksi influenza B dua sampai tiga kali lebih lambat daripada influenza A, sehingga perubahan genetiknya kurang dan hanya mempunyai satu serotipe influenza B. Sebagai akibat dari kurangnya variasi antigenik, derajat respon imunitas terhadap infeksi pada manusia oleh influenza B biasanya diperoleh pada usia muda. Virus influenza C juga hanya mempunyai satu spesies yang menginfeksi manusia, kadang juga pada anjing dan babi, kadang juga dapat menimbulkan epidemik lokal. Influenza C sangat kurang dijumpai daripada influenza lainnya dan biasanya hanya menyebabkan penyakit flu yang ringan. Pada unggas termasuk ayam gejala yang terlihat sangat bervariasi dan tidak spesifik. Flu burung atau avian influenza (AI) adalah sama dengan flu babi, flu kuda, atau juga flu manusia (human flu), hanya nama hospes yang terinfeksi yang disebabkan oleh banyak strain virus influenza yang beradaptasi terhadap hospes yang bersngkutan. Strain yang sangat virulen pada unggas dari H5N1 disebut “high pathogen avian influenza” (HPAI A(H5N1)) atau "highly pathogenic avian influenza virus of type A dari subtype H5N1”. Flu burung H5N1 telah menjadi endemik pada peternakan ayam terutama di daerah Asia Tenggara, strain HPAI A(H5N1) menyebar keseluruh dunia, merupakan penyakit yang epizootic (epidemik pada hewan) dan panzootic (penyakit yang menyebar pada banyak spesies, sampai daerah yang luas). Dewasa ini HPAI A(H5N1) pada unggas, tidak meyereng manusia atau penularan dari mansia ke manusia, Pada hampir semua kasus yang terjadi, penularan secara ekstensif terjadai melalui kontak fisik dengan unggas penderita. Diperkirakan di kemudian hari, H5N1 dapat bermutasi menjadi strain yang dapat menginfeksi dan menular dari manusia ke manusia. Etiologi dan replikasi virus Partikel virus influenza mempunyai ukuran diameter sekitar 80-120 nm bentuk spherik dan kadang filamentous. Virus influenza mempunyai sub-tipe A, B dan C, yang berbentuk filamentus kebanyakan pada sub-tipe C, Influenza C dapat berbentuk seperti core-nya, dengan panjang sampai 500 µm pada permukaan sel yang terinfeksi. Walauoun bentuknya bervariasi, semua virus influenza mempunyai komposisi yang sama. Virus dikelilingi oleh protein amplop yang mirip pada semua sub-tipe yang mengandung dua tipe glikoprotein. Pada bagian tengah virus yang disebut “central core” terdapat genome viral RNA dan protein lainnya yang melindungi RNA tersebut. RNA nya berbentuk singel strand RNA dan pada kasus yang khusus berbentuk dobel strand RNA. Yang menciri pada genome virus RNA adalah dia mempunyai delapan segmented negatif-sense strand RNA, setiap segmen RNA mengandung satu atau dua gen. Misalnya, genom influenza mengandung 11 gen pada setiap delapan segmen RNA, yang terkode untuk 11 protein: hemaglutinasi (HA), neuraminidase (NA), nucleoprotein (NP), M1, M2, NS1, NS2(NEP),PA, PB1, PB1-F2, dan PB2. HA dan NA adalah dua glikoprotein yang besar yang berada diluar partikel virus (pada amplop). HA adalah “lectin” yang menjadi media untuk melekatkan virus pada permukaan sel target, sedangkan NA bertindak sebagai pembebasan progeni kedalam sel yang terinfeksi. Virus influenza A diklasifikasi berdasarkan pada respon antibodi terhadap HA dan NA. Perbedaan tipe HA dan NA adalah perbedaan H dan N pada virus H5N1. Ada subtipe 16 H dan 9 N yang telah diketahui, tetapi yang paling sering ditemukan menginfeksi pada orang adalah H 1,2 dan 3; serta N 1 dan 2. Gambar 4.17 Virus influenza A dilihat dengan eletron mikroskop (kiri) dan skema dari virus yang menunjukkan delapan segmen genom (tengah), serta proses replikasi virus (kanan).. Virus hanya dapat bereplikasi dalam sel hidup dan melalui proses beberapa tahapan. Virus melekat pada permukaan sel melalui HA pada gula asam sialat pada permukaan sel epithel. Pada mamalia termasuk manusia pada sel epithel hidung, tenggorokan, dan paru., sedangkan pada unggas pada sel epitel usus. Setelah HA terelarut oleh enzim protease, kemudian virus masuk kedalam sel melalui proses endositosis. Begitu virus berada di dalam sel, virus berada dalam endosome yang berkondisi asam, protein HA berfusi dalam amplop protein dengan membran vakuola, kemudian protein M2 yang merupakan saluran ion, memudahkan proton bergerak kedalam amplop virus sehingga protein core menjadi bersifat asam dan membebaskan viral RNA (vRNA) dan protein core melepaskan diri. Kemudian molekul viral RNA, protein lain dan “RNA dependent RNA polymerase” terbebaskan dalam sitoplasma. Bentuk komplek vRNA dan protein core masuk kedalam nukleus, dimana RNA dependent RNA polimerase mentranskrip positif-sense vRNA. Molekul vRNA kemudian diekskresikan lagi kedalam sitoplasma dan di translasi atau tetap berada di dalam nukleus. Viral protein yang baru di sintesis disekresikan melalui aparatus golgi menuju permukaan sel atau di kembalikan ke dalam nukleus untuk mengikat vRNA dan membentuk partikel genom viral baru. Viral protein lainnya bermultiplkasi dalam sel hospes mendegradasi seluler mRNA dan menggunakan nukleotida untuk sintesis vRNA dan juga menghambat mRNA sel hospes untuk melakukan translasi. Genom yang terbentuk dari beberapa molekul ss(-) sense RNA, RNA-dependent RNA polimerase dan protein viral lainnya, bergabung untuk membentuk virion. Kluster molekul HA dan NA membentuk tonjolan pada membran sel. Virion keluar dari sel membentuk “bud” dari dinding sel hospes menjadi virion matang dan memperoleh fosfolipida membran dari sel hospes untuk membentuk selubung HA dan NA. Virus influenza tidak mempunyai enzin “RNA proofreading”, sehingga RNAdependent-RNA polimerase yang bertindak untuk mengkopi genom mengalami kesalahan secara acak pada setiap 10.000 nukleotida, yang ukurannya hampir sepanjang vRNA. Sebagai akibatnya kebanyakan dari virion baru yang terbentuk mengalami mutasi sehingga terbentuk virus influenza mutan. Hal ini menyebabkan terjadinya antigen “drift”, sehingga terjadi perubahan secara lambat dari antigen pada permukaan viral setiap waktu. Pemisahan genom kedalam delapan segmen dari vRNA menyebabkan tercampurnya atau disebut “reassortment” dari vRNA, bilamana terjadi infeksi lebih dari satu strain virus yang menginfeksi satu sel. Sebagai akibatnya terjadi perubahan secara cepat antigen satu ke antigen lainnya. Perubahan yang terjadi secara cepat tersebut menyebabkan virus yang menginfeksi hospes dapat menginfeksi spesies hospes lainnya dan dapat menghambat proses respon imun dari hospes yang bersangkjutan. Kejadianini sangat penting pada penyakit yang berbahaya dan menyebabkan terjadinya pandemik. Gambar 4.18 Antigen drift membuat virus influenza sedikit memodifikasi antigen, sedangkan antigen shift membuat virus influenza berubah bentuk sama sekali (kiri), antigen shift atau reasortment dapat menyebabkan terbentuknya strain baru yang sangat patogen terhadap influenza pada manusia (kanan) Virus influenza yang baru selalu terjadi karena mutasi atau karena reasortmrnt, mutasi dapat menyebabkan perubahan kecil pada antigen hemaglutinin dan neuraminidase pada pertukaran gen virus. Hal tersebut dinamakan “antigen drift”, yang secara perlahan membentuk bermacam variasi dari strain sampai timbul strain yang menginfeksi manusia yang tadinya sudah kebal terhadap infeksi strain virus sebelumnya, variant virus yang baru kemudian mengganti strain virus yang lama didalam tubun, sehingga daya imun terhadap virus yang lama tidak bekerja, sehingga menyebabkan penyakit yang meluas pada manusia dan menyebabkan epidemik. Tetapi selama strain yang diproduksi oleh drift, sistem imun akan mirip dengan strain yang lama, beberapa orang akan masih mempunyai kekebalan terhadap virus baru. Tetapi sebaliknaya bila virus mengalami reasort, mereka mmendapatkan infeksi antigen yang baru sama sekali. Misalnya reasortmen antara strain avian dengan strain human, hal ini disebut antigenik shift. Pencegahan Orang yang jarang berkontak dengan unggas tidak termasuk pada kelompok orang yang beresiko tinggi terinfeksi HPAI. Orang yang berhati hati dan bertindak benar dalam menjaga kebersihan, kemungkinan terinfeksi juga lebih kecil diantara petugas kandang atau pemilik ternak ayam. Usahakan menghindari infeksi flu dalam kondisi dan situasi apapun misalnya: melindungi mata, hidung dan tangan dari kontak dengan partikel virus Penyakit virus pada hewan lain Hog cholera/classical swinw fever (CSF) Hog cholera adalah penyakit virus pada babi yang sangat kontagius yang menyebabkan gejala akut, sub akut dan kronis atau bentuk persisten. Pada bentuk akut gejala penyakit terciri dengan demam yang tinggi, depresi, hemoragik pada bagian luar atau dalam tubuh dan angka kematian yang tinggi. Pada kondisi kronis, gejala yang terlihat adalah depresi, anoreksia dan demam dan babi kadang dapat sembuh terutama pada hewan dewasa. Infeksi virus transplasental (dari induk ke anak yang dikandungnya) dari virus kurang virulen sering menyebabkan infeksi persisten pada anak babi dan berpotensi menyebarkan penyakit. Hog cholera berpotensi untuk menyebabkan penyakit epidemik, terutama pada daerah atau negara yang bebas dari penyakit tersebut, sedangkan program vaksinasi dari suatu negara biasanya diperbolehkan pada kasus yang darurat. Pada kasus terjadinya wabah baru, pengaturan yang ketat sangat diperlukan untuk pencegahan penyebaran penyakit, misalnya elimunasi hewan yang sakit dan yang diduga terinfeksi serta perpindahan babi diantara daearah harus diperketat. Hal tersebut menyebabkan terjadinya beberapa konsekuensi bagi industri peternakan babi terutama dalam pengurangan jumlah dan kepadatan babi yang dipelihara dalam suatu lokasi. Misanya pada saat terjadinya epidemik di Belanda tahun 1997-1998 total sekitar 429 peternakan babi telah terinfeksi hog cholera dan sekitar 700.000 ekor babi dimusnahkan. Untuk melakukan kontrol berikatnya sekitar 12 juta ekor babi di sembelih, begitu terjadi wabah terdeteksi lebih awal, segera cepat dilakukan kontrol untuk mencegah penyebaran penyakit. Selama periode wabah yang beresiko periode antara virus mulai menginfeksi sampai terdeteksinya wabah, harus segeta dilakukan pengontrolan dan pencegahan yang efisien. Etiologi dan epidemiologi Penyakit hog cholera atau “classical swine fever” disebabkan oleh infeksi virus RNA beramplop dalam genera pestivirus dari famili Flaviridae. Virus ini sifat antigeniknya sangat mirip dengan pestivirus lainnya, seperti virus BVD pada sapi dan infeksi pestivirus pada domba. Virus hog cholera hanya menginfeksi babi atau babi hutan, walaupun dalam laboratorium percobaan dapat di induse untuk menginfeksi hewan/spesies lainnya. Virus dapat di biakkan pada biakan jaringan porcine/babi (porcine cell culture), begitu juga pada sel line PK15, tetapi tidak jelas memperlihatkan efek sitopatiknya. Virus hanya memiliki satu serotipe, walaupun beberapa sifat variabel antigenik ditemukan diantara strain sedikit terlihat. Pemetaan tipe strain untuk tujuan penelitian epidemiologik dilakukan dengan jalan mebuat sequencing genom dari viral atau dikombinasikan dengan analisis filogenik virus. Virus dapat tahan hidup pada kondisi lembab dalam media jaringan dan cairan tubuh, terutama pada kondisi dingin atau beku. Virus dapat tahan hidup dalam waktu beberapa tahun dalam daging babi beku, atau beberapa bulan dalam daging dingin. Gambar 4.19 Virion dari virus hog cholera yang termasuk dalam genus pestivirus Penyakit hog cholera telah menyebar keseluruh dunia, terjadi endemik di sebagaian Amerika latin, beberapa negara Caribea dan beberapa negara produsen daging babi di Asia. Pada tahun 2005 Afrika Selatan melaporka adanya kasus hog cholera sejak tahun 1918. Australia, New zealand dan Amerika dinyatakan bebas dari hog cholera, begitu juga pada hampir semua negara Eropa Tengah, walaupun terjadi wabah sporadik pada beberapa negara Eropa Timur. Gejala klinis Gejala klinis terlihat berdasarkan penyakit akut atau kronis, disamping itu virulensi virus dari yang parah dengan angka kematian yang tinggi, sampai gejala yang ringan yang gejalanya kurang jelas/gejala sub-klinis. Diagnosis agak sulit dilakukan bila infeksi oleh virus yang kurang virulen, yang terlihat hanya daya reproduksi yang rendah, anak babi yang dilahirkan mengalami gejala neurologi seperti tremor kongenital dan gejala lain yang kurang jelas seperti kelemahan anak babi dan sebagainya. Gejala yang akut terciri dengan demam, lemah dan depresi. Masa inkubasi sekitar 3-7 hari, kemudian terjadi kematian sekitar 10-20 hari kemudian setelah infeksi. Suhu tubuh waktu demam sekitar 41oC persisten sampai akhir dari penyakit (kematian), dimana suhu tubuh akan menjadi sub-norma. Gejala konstipasi terlihat, kemudian diikuti dengan diaree. Lesi yang khas adalah vaskulitis secara umum, pada hewan yang masih hidup terlihat kulit mengalami hemoragik dan cyanosis (membiru) dan juga pada anggota geraknya, disamping itu juga timbul erithema pada kulit. Vaskulitus pada saraf pusat mengakibatkan terjadinya inkoordinasi dan konvulsi. Pada pemeriksaan post mortum terlihat ada petechiae dan echymose hemoragik, terutama pada kelenjar limfe, ginjal, limpa, kantung kemih dan laryng. Pada penyakit kronis, babi sering dapat sembuh kembali dalam waktu sekitar 3 bulan, sedangkan pada penyaki akut, babi juga dapat membaik, tetapi kemudian kambuh lagi, dengan gejala anoreksia, depresi, demam dan dengan cepat kondisinya memburuk. Pemeriksaan histologik terlihat adanya atrofi pada tymus dan limfoid. Timbul borok/ulcer pada intestinum, terutama dekat persambungan ileocecal. Diagnosis dan kontrol Diagnosis awal dilihat dengan adanya gejala yang terlihat yang kemudian diikuti dengan uji laboratoriium. Dari gejala perlu dilihat kemungkinan adanya penyebab lain seperti salmonelosis, erysipelas oleh infekdsi bakteri. Uji virologi perlu dilakukan untuk kepastian diagnosis. Jaringan yang diambil untuk uji serologik adalah tonsil, kelenjar limfe maxila dan mandibula, mesenterika, limpa, ileum dan ginjal. Pengambilan darah dengan antikoagulan EDTA dari hewan yang masih hidup dapat dilakukan untuk isolasi virus pada kasus penyakit akut, atau untuk deteksi antigen atau deteksi asam nukleat. Uji serologi untuk deteksi antibodi juga dapat dilakukan dari serum darah hewan penderita. Deteksi antigen dapat juga dilakukan dari sampel jatingan beku, terutama organ tonsil dengan menggunakan metode direk immunofluorescence. Deteksi antigen dapat juga dengan menggunakan metoda ELISA, tetapi uji tersebut mempunyai sensistivitas rendah dan hanya digunaan untuk uji skreening pada babi di peternakan. Yang paling sering dilakukan adalah uji deteksi asam nukleat dengan menggunakan “reverse transcriptase “ (RT-PCR). Dengan uji RT-PCR dapat mendeteksi perbedaan virus yang menginfeksi sapi dengan babi, dan sangat berguna untuk uji skreening waktu terjadi wabah. Untuk uji serologi dapat dilakukan uji ELISA dan virus netralisasi. Untuk kontrol penyakit hog cholera perlu dilakukan secara ketat dengan menggunakan aturan undang-undang kesehatan hewan. Hewan yang terinfeksi harus segera dimusnahkan dan bangkai harus dikubur atau di bakar. Pada suatu daerah dimana terjadi penyakit endemik, hewan yang terinfeksi harus segara dimusnahkan dan untuk mencegah penularan perlu dilakukan program vaksinasi. Penyakit rabies/anjing gila Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit asal virus yang menyebabkan encephalitis/radang otak pada hewan berdarah panas termasuk manusia. Penyakit ini bersifat zoonosis, yang artinya penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, atau dari spesies satu ke spesies lainnya. Penularan sering terjadi karena gigitan hewan yang terinfeksi ke hewan atau manusia. Pada manusia rabies sangat fatal bila segera setelah gigitan tidak ditangani atau sebelum terjadinya timbul gejala. Virus rabies menginfeksi saraf otak dan menyebabkan penyakit yang berakibat dengan kematian. Virus rabies merambat dari saraf tepi menuju saraf pusat, masa inkubasi berjalan sekitar beberapa bulan bergantung pada jarak perjalanan virus dari gigitan sampai ke otak. Sekali virus sudah mencapai otak dan gejala mulai timbul biasanya tidak dapat diobati lagi dan berakibat fatal dalam waktu beberapa hari. Gejala awal adalah rasa tidak menentu, sakit kepala, dan demam, berlanjut dengan rasa nyeri yang akut, pergerakan yang tidak terkontrol, gerak tidak terarah, eksitasi, depresi dan hydrofobia. Akhirnya penderita menjadi mania, lemah, berkembang menjadi koma, awal terjadinya kematian biasanya terjadi kegagalan pernfasan. Menurut WHO rabies menyebabkan kematian pada orang sekitar 55.000 per tahun diseluruh dunia. Sekirar 95% orang yang terinfeksi rabies meninggal dilaporkan di Asia dan Afrika, sekitar 97% kasus infeksi rabies disebabkan karena gigitan anjing. Di Amerika kontrol rabies dilakukan dengan program vaksinsi terhadap anjing peliharaan dapat efektif mencegah terjadinya kasus rabies. Pada beberapa negara, termasuk Australia dan Jepang, rabies dibawa oleh hewan liar yang terinfeksi telah dimusnahkan semua, sedngkan di Inggris hewan seperti kelelawar yang terinfeksi rabies juga telah dimusnahkan. Etiologi dan replikasi virus Virus rabies termasuk dalam genus Lysavirus, famili Rhabdoviridae ordo Mononegavirus. Bentuk virus heliks simetrik, dengan panjang sekitar 189nm dan diameter sekitar 75nm. Virus beramplop dengan genom singel-srand RNA dan sense negativ. Informasi genetiknya di pakced erat sebagai viral ribonukleoprotein, genom RNA dikode menjadi lima gen yaitu nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glikoprotein (G) dan viral RNA polimerase (L). Gambar 4.21 Bentuk morfologi virus rabies penampang membujur (kiri) dan melintang (kanan) Begitu virus masuk kedalam jaringan (daging/saraf), Duri trimetrik virus menempel pada membran sel saraf pada reseptor yang spesifik, yang menyerupai reseptor acetyl cholin. Membran sel ditusuk oleh duri, kemudian virus masuk secara pinositosis kedalam sel melalui endosome. Pada kondisi asam dalam endosom, virus membebaskan lima protein gennya dan RNA masuk dalam sitoplasma sel. Protein L kemudian mentraskrip mRNA negativ strand dan positiv strand yang semuanya berasal dari negativ strand dengan menggunakan asam nukleat hospes dalam sitoplasma. Lima strand mRNA kemudian di translasi pada ribosoma bebas dalam sitoplasma, dimana beberapa protein memerlukan modifikasi post-ranslasi. Misalnya protein G bergerak kedalam retikulum endoplasmik dan kemudian di transport ke aparatus golgi dimana dia menerima glikoprotein. Bilamana mereka telah mendapatkan cukup protein, viral polimerase mulai mensintesis negativ strand RNA baru dari contoh positiv RNA. Negativ strand kemudian membentuk komplek protein N, P, L dan M yang kemudian bergerak ke bagian dalam sel, dimana protein G telah melekat sendiri pada membran. Protein G kemudian membentuk koil disekeliling protein N-P-L-M komplek dengan mengambil protein dari hospes, dan membentuk amplop baru partikel virus, kemudian virus budding dari sel hospes. Gambar 4.22 Proses replikasi virus (kiri), dan gambaran virion rabies serta benda negri dalam sel dilihat dengan elektron mikroskop(kanan) Dari awal masuknya, virus bersifat neurotrophic dan bergerak sepanjang jalur saraf menuju ke sistem saraf pusat, dan kemudian ke jaringan lain. Kelenjar liur menerima virus yang paling banyak, dan dari lokasi tersebut virus berkesempatan untuk menular. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan setelah terjadinya infeksi/gigitan anjing gila hasilnya cukup baik, pengobatan diberikan paling lama 10 hari setelah infeksi. Yang penting adalah segera membersihkan luka gigitan, dengan sabun dan air bersih segera sekitar 5 menit setelah digigit, sangat efektif untuk mengurangi jumlah partikel virus. Pemberian antiseptik/virocidal seperti providon-iodin, iodine tincture, larutan iodine, atau ethanol harus digunakan setelah pembersihan luka. Hindarkan kontak dengan virus pada lapisan mukosa seperti mata, mulut dan hidung, bila terjadi harus dicuci dengan air. Lembaga pusat kontrol dan pencegaha penyakit di Amerika merekomendasikan penderita diberikan satu dosis rabies “human immunogklobulin” (HRIG) dan empat dosis vaksin rabies sekitar 14 hari berturut-turut. Dosis immunoglobulin tidak melebihi 20 unit per Kg berat badan. Harga HIRG cukup mahal karena biaya produsinya, harganya sekitar beberapa ribu dolar Amerika. Dosis pertama kali vaksin rabies yang diberikan segera setelah infeksi, dengan dosis tambahan sekitar hari ketiga, ke tujuh dan ke 14. Pasien yang telah diberi vaksin sebelum infeksi tidak perlu diberi immunoglobulin dan hanya diberi vaksinasi pada hari ke 0 dan 2 setelah infeksi/gigitan anjing. Semua kasus rabies pada orang berakibat fatal, sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pasteur dan Emile roux pada tahun 1885. Vaksin yang pertama dibuat ialah dari kelinci yang diinfeksi virus, dari hewan tersbut virus diambil dari dalam jaringan saraf kemudian dilemahkan dikeringkan sekitar 10 hari. Vaksin dari jaringan saraf masih dibuat sepanjang pembuatannya hanya memerlukan dana yang murah pada beberapa negara, dan harganya jauh lebih murah daripada vaksin moderen yang menggunakan kultur jaringan. Vaksin “human diploid cell rabies” mulai digunakan pada tahun 1967, disamping itu vaksin yang dipurifikasi dalam embrio ayam dan dipurifikasi dalam sel vero sekarang sudah tersedia. Vaksin rekombinan yang dinamakan V-RG telah sukses digunakan di Belgia, Perancis, Jerman dan Amerika untuk mencegah wabah rabies pada hewan liar. Kasus rabies yang disebabkan oleh gigitan kelelawar di Amerika sangat menurun semenjak di gunakan vaksin rabies dan imunoglobulin sebelum terjadinya infeksi. Pada tahun 2007 Departemen Kesehatan negara bagian Missouri memberikan rekomendasi untuk mencegah resiko terjadinya kasus rabies yaitu: - Program vaksinasi terhadap anjing, kucing, kelinci dan musang terhadap rabies Jaga hewan peliharaan dibawah supervisi kesehatan hewan Jangan memegang atau memelihara hewan liar Bila di gigit oleh hewan (anjing, kucing dsb) segera cuci luka gigitan dengan sabun selama 10 sampai 15 menit Tanggal 28 September adalah hari rabies sedunia bertujuan untuk mempromosikan mengenai pencegahan dan eliminasi penyakit rabies. Penyakit distemper/canine distemper (CDV) Distemper adalah penyakit virus yang menginfeksi hewan dalam famili Canidae, Mustelidae, Mephitidae, Hyaenidae, Ailuridae, Procyonidae, Pinnipedia, Viverridae dan Felidae. Yang paling sering adalah menyerang hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar musang. Virus adalah singel strand RNA dalam famili Paramyxovirus, yang mirip penyakit campak dan rinderpeat, tetapi penyakit ini sering menyerang hewa anjing. Virus ini pertama dilaporkan pada tahun 1905 oleh dokter hewan asal Perancis Heri Carre. Pertama ditemukan diduga sebagai penyakit plague atau typus, atau infeksi dari spesies bakteri. Pertama kali vaksin dibuat untuk melawan distemper dikembangkan pada tahun 1923-1924 oleh orang Italia bernama Puntoni. Walaupun dia menggunakan percobaan pada anjing yang jumlahnya sedikit, tetapi hewan yang divaksinasi menunjukkan adanya kekebalan yang baik. Vaksin komersial telah dikembangkan pada tahun 1950an, karena penggunaannya terbatas, virus menjadi prevalen pada banyak populasi anjing. Anjing peliharaan paling banyak ditemukan kasus distemper dan sekarang banyak ditemukan pada hewan carnivora lainnya. Pada tahun 1991 jumlah populasi singa di Senegal dan Tanzania mengalami penurunan sampai 20% disebabkan karena penyakit distemper. Etiologi, penularan, pathogenesis dan gejala Canine distemper disebabkan oleh infeksi virus dalam famili Paramyxoviridae, genus Morbillivirus, mirip dengan virus campak, Rinderpest, Pest, dan virus Nipah. Genom CDV adalah singel strand negativ sense RNA, dikelilingi proten kapsid dan amplop lipoprotein. Penularan biasanya melalui cairan dari saluran nafas/ingus dan virus sangat sensitive terhadap pemanasan, kekeringan dan disinfektant. Gambar 4.23 Skema bentuk virus canin distemper (kiri), gambaran histopatologi lesi pada paru (A) dan virus inklusion bodies (B) (kanan) Infeksi virus dapat menyebabkan gejala yang sistemik pada hewan karnivora. Anak anjing dari umur tiga sampai enam bulan sangat sensitif terhadap infeksi virus distemper. Virus dapat menular melalui udara dari ingus hewan penderita dan melalui kontak dengan cairan tubuh, seperti cairan hidung dan sekresi air mata, feses dan urine, setelah infeksi tiga sampai 22 hari. Penularan juga dapat terjadi pada pakan dan air yang terkontaminasi dari cairan hewan penderita tersebut. Masa inkubasi sejak hewan terinfeksi sampai menunjukkan gejala sekitar 14 sampai 18 hari, tetapi demam sudah terlihat sejak tiga sampai enam hari setelah infeksi. Virus pertama bereplikasi dalam jaringan limfatik pada saluran pernafasan, kemudian masuk kedalam sirkulasi darah dan menginfeksi saluran nafas, saluran cerna, epithel saluran kencing dan kelamin, serta sistem saraf pusat dan saraf optik. Disamping itu infeksi dalam limfoid menyebabkan imuno depresi dan berakibat terjadinya infeksi sekunder oleh agen infeksi penyakit lain. Gejala yang timbul adalah pnemunia interstitialis, ensefalitis, hiperkeratosis pada hidung dan telapak kaki. Gambar 4.24 Penyakit distemper menunjukkan gejala ingus pada hidung, hiperkeratosis pada hidung dan telapak kaki Hidung terlihat basah dan kusam, muntah dan diaree, dehydrasi, hipersalivasi, batuk dan sesak nafas, hilang nafsu makan dan bobot badan turun. Angka kematian cukup besar dan bergantung pada status imun dari anjing yang terinfeksi, mortalitas pada anak anjing paling tinggi bila terjadi komplikasi dengan pneumonia dan ensefalitis. Pencegahan dan penanganan Sejumlah produk vaksin komersial telah banyak digunakan untuk vaksinasi distemper. Hewan yang terinfeksi harus di karantina dipisah dari yang sehat selama beberapa bulan untuk mencegah kontak dengan sekresi yang dikeluarkan penderita. Penggunaan disinfektans dan detergen untuk kebersihan kandang sekitar atau dikeringkan. Sampai sekrang pengobatan penyakit yang disebabkan infeksi virus masih sulit dilakukan, pemberian obat supurativ (peningkatan kondisi) dan dengan antibiotik untuk infeksi sekunder oleh bakteri biasa dilakukan. Pengobatan dengan pemberian vitamin A dan ribavirin untuk penyakit distemper masih dalam evaluasi. Beberapa percobaan pemberian vitamin A dan ribavirin cukup efektif.