17 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka

advertisement
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional merupakan teori yang digunakan untuk
mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang
diperoleh dari kegiatan tersebut. Perdagangan internasional terjadi karena adanya
perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap
negara. Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan
negara lain apabila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat
diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor
komoditas yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut).
Smith dengan teorinya mengenai keunggulan absolut menyatakan bahwa
sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan dalam
memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun
perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang
kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada
komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang lebih kecil. Sebaliknya, negara
tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih
besar (Salvatore 1997). Dengan demikian, hubungan saling ketergantungan dan
peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan
menjadi penting.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara 1) akan mengekspor suatu
komoditas (komoditas x) ke negara lain (misal negara 2) apabila harga domestik
di negara 1 (sebelum terjadi perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan harga
domestik di negara 2. Kurva perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar
1. Kondisi awal di negara 1 misalnya berada dalam kondisi keseimbangan dan
harga berada pada P1. Pada kondisi ini tidak terjadi ekspor dari negara 1. Ketika
harga berada pada posisi P2, struktur harga yang relatif lebih tinggi ini
menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran (excess supply) di negara 1 yaitu
sebesar QA’QA”. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif berlimpah,
dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan
produksinya ke negara lain.
17
Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P 2, negara ini terjadi
kekurangan supply karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik
(excess demand) sebesar QB’QB” sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada
keadaan ini, negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditas dari negara lain
dengan harga yang relatif lebih murah. Apabila kemudian terjadi komunikasi
antara negara 1 dan 2, maka terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut.
Supply di pasar internasional akan terjadi jika harga lebih besar dari P1, sedangkan
permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih
rendah dari P3. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditas perdagangan
akan sama besarnya dengan besarnya impor komoditas tersebut.
Panel A
Pasar di negara 1
untuk komoditas x
Panel B
Hubungan Perdagangan Internasional
untuk komoditas x
Px/Py
Px/Py
Ekspor
A*
P2
B*
E
P1
Px/Py
S
Sx
Sx
P3
B
Panel C
Pasar di negara 2
untuk komoditas x
A’
P3
E*
P2
B’
E’
C*
A
Dx
QA’
QA
QA”
D
Q
QP1
Impor
Q
QB’
QB
Dx
Q
QB”
Gambar 1. Kurva Perdagangan Internasional
(Sumber : Salvatore 1997)
Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan
antara permintaan dan penawaran dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan
memengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan
memengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan pada akhirnya akan
memengaruhi harga dunia.
Baga et al. (2009) mengungkapkan bahwa terdapat lima manfaat
dibukanya liberalisasi perdagangan atau aktivitas perdagangan internasional.
Pertama, akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan adanya efisiensi
yang berasal dari kegiatan yang berskala besar (economic of scale). Hal ini terjadi
karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru
yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan menunjang,
18
sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, liberalisasi perdagangan
menciptakan iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang
bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas
dan efisiensi, bukan mengharapkan untuk mendapat fasilitas dari pemerintah.
Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses
alih teknologi yang akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Empat,
perdagangan yang lebih luas memberikan signal harga yang “benar” sehingga
meningkatkan efisiensi investasi. Lima, dalam perdagangan yang lebih bebas
kesejahteraan konsumen meningkat karena terbukanya pilihan-pilihan baru.
Namun untuk berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan
perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang pratik
monopoli.
Kebijakan perdagangan internasional (ekspor dan impor) diartikan sebagai
tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang akan memengaruhi struktur, komposisi dan arah
perdagangan internasional dari/ke negara tersebut. Menurut Hady (2004),
kebijakan perdagangan internasional yang dijalankan oleh suatu negara bertujuan
untuk : (1) melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau
negatif dan dari kondisi ekonomi/perdagangan internasional yang tidak baik atau
tidak menguntungkan; (2) melindungi kepentingan industri dalam negeri; (3)
melindungi lapangan kerja (employment); (4) menjaga keseimbangan dan
stabilitas balance of payment (BOP) atau neraca perdagangan internasional; (5)
menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil; dan (6)
menjaga stabilitas nilai tukar/kurs valas.
3.1.2
Konsep Dayasaing
Dayasaing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu
produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan
biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di
pasar, komoditas tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan
memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan
biaya produksinya (Simanjutak 1992). Pendekatan yang sering digunakan untuk
mengukur dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan
19
dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat
dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu,
efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif.
Kajian tentang dayasaing berawal dari pemikiran Adam Smith mengenai
konsep penting tentang “spesialisasi” dan “perdagangan bebas” melalui teori
keunggulan absolut (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan
bahwa sebuah negara dapat melakukan perdagangan jika relatif lebih efisien
(memiliki keunggulan absolut) dibanding negara lain, keuntungan akan diperoleh
jika negara tersebut melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang
memiliki keunggulan absolut tersebut. Selanjutnya pada tahun 1817, David
Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut dengan teori keunggulan
komparatif melalui bukunya yang berjudul “Principles of Political Economic and
Taxation” (Salvatore 1997).
3.1.2.1 Keunggulan Komparatif
Istilah comparative advantage (keunggulan komparatif) mula-mula
dikemukan oleh David Ricardo sewaktu membahas perdagangan antar kedua
negara. Ricardo menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien
dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi kedua komoditas, namun masih dapat melakukan perdagangan yang
saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan
spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai
harga relatif yang lebih murah (kerugian absolut lebih kecil) dan mengimpor
komoditas yang memiliki harga relatif lebih mahal (kerugian absolut lebih besar)
(Salvatore 1997). Negara atau wilayah yang dapat menghasilkan barang yang
memiliki harga relatif yang lebih murah dari negara atau wilayah lain disebut
memiliki keunggulan komparatif. Konsep keunggulan komparatif ini bukan saja
bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting
diperhatikan dalam ekonomi regional.
Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatif pada sejumlah
asumsi yang disederhanakan, yaitu :
1. Hanya terdapat dua negara dan dua komoditas
20
2. Perdagangan bersifat bebas
3. Terdapat mobilitas tenaga kerja
4. Biaya produksi konstan
5. Tidak terdapat biaya transportasi
6. Tidak ada perubahan teknologi
7. Menggunakan teori nilai tenaga kerja
Keenam asumsi di atas dapat diterima, namum asumsi ketujuh tidak
berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan
komparatif karena teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga
sebuah komoditas tergantung dari jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk
memproduksi. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan kelemahan dari model
Ricardo karena tenaga kerja bukan satu-satunya faktor produksi dan
penggunaannya juga tidak sama untuk setiap komoditas serta tenaga kerja tidak
bersifat homogen karena adanya perbedaan pendidikan, produktivitas dan upah
yang diterima. Keunggulan komparatif yang dikemukan oleh Ricardo hanya
berdasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja tanpa menjelaskan
alasan timbulnya perbedaan produktivitas tenaga kerja di antara berbagai negara.
Teori ini juga tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional
terhadap pendapatan yang diperoleh faktor produksi. Hal ini menyebabkan konsep
keunggulan komparatif yang dikemukan oleh David Ricardo disempurnakan oleh
Heckscher dan Ohlin pada tahun 1933 (Salvatore 1997).
Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan
komparatif yang dikemukan oleh David Ricardo. Teori Heckscher dan Ohlin atau
teori kelimpahan yang diekspresikan kedalam dua teorema yang saling
berhubungan, yaitu teorema Heckscher dan Ohlin serta teorema penyamaan harga
faktor. Menurut teorema Heckscher dan Ohlin, sebuah negara akan mengekspor
komoditas yang padat faktor produksi yang ketersediaannya di negara tersebut
melimpah dan murah, sedangkan disisi lain negara tersebut akan mengimpor
komoditas yang padat dengan faktor produksi yang langka dan mahal. Menurut
teorema penyamaan harga faktor produksi atau teorema Heckscher-OhlinSamuelson, perdagangan internasional cenderung menyamakan harga-harga baik
itu secara relatif maupun secara absolut dari berbagai faktor produksi yang
21
homogen atau sejenis di antara negara-negara yang terlibat dalam hubungan
dagang. Pada intinya teori perdagangan Heckscher dan Ohlin menjelaskan bahwa
perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang
berbeda dari masing-masing negara (Salvatore 1997).
Dayasaing suatu komoditas ditentukan oleh keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif dalam produksi dan perdagangan. Ada pendapat dari
beberapa kelompok teknokrat mengenai keunggulan komparatif yaitu suatu
wilayah dapat memiliki keunggulan komparatif jika kekayaan alam melimpah,
tenaga kerja banyak (padat karya), muatan teknologi yang rendah sehingga faktor
produksi murah, dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan
maupun terhadap masuknya barang-barang sejenis dari luar negeri dalam jangka
pendek. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keunggulan komparatif dibagi dua, yaitu
keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan
(terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim
yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam.
Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah
disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti teknologi, permintaan skala
ekonomi dan struktur pasar.
Keunggulan komparatif suatu komoditas diukur berdasarkan harga
bayangan (shadow price) atau berdasarkan analisis ekonomi yang akan
menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi sesungguhnya dari unsur biaya
maupun hasil. Analisis ekonomi suatu proyek atau aktivitas ekonomi atas manfaat
bagi
masyarakat
secara
keseluruhan
tanpa
memperhatikan
siapa
yang
menyumbang dan menerima manfaat tersebut. Maka, suatu komoditas yang
mempunyai keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing yang akan
dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali.
Asumsi perekonomian yang tidak mengalami distorsi atau hambatan sama
sekali sulit ditemukan pada dunia nyata. Oleh karena itu, konsep keunggulan
komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur dayasaing suatu kegiatan produksi
pada kondisi perekonomian aktual. Dari sudut badan atau orang yang
berkepentingan langsung dalam suatu proyek, konsep yang lebih cocok digunakan
untuk mengukur kelayakan secara finansial adalah keunggulan kompetitif.
22
3.1.2.2 Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk
mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian
aktual atau harga pasar, dimana harga yang terjadi telah dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan
oleh suatu negara atau daerah dalam dayasaing produk yang dihasilkan
dibandingkan dengan atau negara lain. Misalnya, suatu daerah mempunyai
kelebihan dalam komoditas tertentu (mempunyai keunggulan komparatif) namun
tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditas tersebut
tidak mampu bersaing di pasar dunia (tidak memiliki keunggulan kompetitif).
Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari keunggulan komparatif
yang diajukan oleh Micheal Porter sebagai kesuksesan suatu perusahaan dalam
beroperasi pasar. Keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur
dayasaing komoditas suatu wilayah dengan wilayah lain. Keunggulan ini dapat
dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan
analisis finansial, sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu
konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubstitusi terhadap konsep
keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling
melengkapi.
Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang
harus dimiliki suatu negara agar mampu bersaing. Keempat faktor tersebut adalah
kondisi faktor sumberdaya (factor condition), kondisi permintaan (demand
condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting
industry), persaingan, struktur dan strategi perusahaan (firm strategy, structure
and rivalry). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang
terdiri atas peran pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance
events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk suatu sistem yang
berguna dalam peningkatan keunggulan dayasaing, sistem tersebut dikenal dengan
“The National Diamond”.
Keunggulan kompetitif dapat diciptakan antara lain melalui implementasi
kebijakan pemerintah sehingga dapat tercipta efisiensi penggunaan sumberdaya.
Suatu komoditas dapat mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif
23
sekaligus, yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi atau
diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi apabila
komoditas yang diproduksi hanya mempunyai keunggulan komparatif namun
tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka dapat diasumsikan telah terjadi
distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan
produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan
dan lain-lain. Hal sebaliknya juga dapat terjadi bila suatu komoditas hanya
memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif.
Kondisi ini akan terjadi apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap
komoditas tersebut seperti misalnya melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan
dan kemudahan berbagai fasilitas lainnya.
Keunggulan kompetitif suatu komoditas diukur berdasarkan harga aktual
(harga yang sebenarnya terjadi di pasar) atau berdasarkan analisis finansial yang
akan menggambarkan manfaat suatu aktivitas dari sudut lembaga atau individu
yang melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas ekonomi tersebut.
3.1.3
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan
pemerintah
diharapkan
dapat
meningkatkan
dayasaing
komoditas pertanian termasuk produk buah seperti belimbing baik di pasar
regional, domestik maupun pasar internasional. Kebijakan pemerintah ditetapkan
dengan tujuan untuk melindungi produk dalam negeri. Kebijakan diberlakukan
terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga antara
harga input dan output yang diterima produsen (harga aktual) dengan harga yang
sebenarnya terjadi jika dalam kondisi persaingan sempurna (harga sosial).
Terdapat dua bentuk kebijakan yang bisa ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu
kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari
subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan
berupa tarif dan kuota.
Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari
pemerintah disebut subsidi dan pembayaran untuk pemerintah disebut pajak. Pada
dasarnya kebijakan subsidi dan pajak bertujuan untuk melindungi konsumen atau
produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga
internasional. Subsidi yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan
24
membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan menjadi lebih
rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum
adanya kebijakan subsidi. Sedangkan, penerapan pajak akan membuat harga yang
diterima produsen lebih rendah dan jika diterapkan pada konsumen akan
menyebabkan harga menjadi lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan
konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum
diterapkannya pajak.
Adapun kebijakan perdagangan merupakan salah satu bentuk pembatasan
yang diterapkan pemerintah pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan
tersebut dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan
(dengan suatu pajak perdagangan) maupun terhadap jumlah komoditas (dengan
kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara
internasional dan mengendalikan harga internasional (harga dunia) dan harga
domestik (harga dalam negeri). Kebijakan pajak impor (bea masuk) maupun
pembatasan kuantitas diberlakukan untuk membatasi kuantitas yang diimpor
(kuota impor), sementara pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor
dimaksudkan untuk membatasi jumlah ekspor.
Menurut Monke dan Pearson (1989), tiga aspek yang membedakan
kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan antara lain pada anggaran
pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan dan tingkat kemampuan
penerapan
kebijakannya.
Kebijakan
subsidi
akan
mengurangi
anggaran
pemerintah dan pajak akan menambah anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan
perdagangan tidak memengaruhi anggaran pemerintah. Implementasi dari
kebijakan tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk
memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditas. Delapan tipe alternatif kebijakan
harga komoditas untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor dan
barang substitusi impor dapat dilihat pada Tabel 4.
25
Tabel 4. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditas
Dampak pada
Dampak pada
Instrumen
Produsen
Konsumen
1. Kebijakan Subsidi
Subsidi pada Produsen
Subsidi pada Konsumen
a. Tidak merubah harga a. Pada barang-barang a. Pada barang-barang
pasar dalam negeri
substitusi
impor
substitusi
impor
b. Merubah harga pasar
(S+PI; S-PI)
(S+CI; S-CI)
dalam negeri
b. Pada barang-barang b. Pada barang-barang
orientasi
ekspor
orientasi
ekspor
(S+PE; S-PE)
(S+CE; S-CE)
2. Kebijakan perdagangan
Hambatan pada barang Hambatan pada barang
(merubah
harga
pasar impor (TPI)
ekspor (TCE)
dalam negeri)
Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Keterangan :
S+
SPE
PI
: Subsidi
: Pajak
: Produsen Barang Orientasi Ekspor
: Produsen Barang Substitusi Impor
CE: Konsumen Barang Orientasi Ekspor
CI: Konsumen Barang Substitusi Impor
TCE
: Hambatan Barang Ekspor
TPI
: Hambatan Barang Impor
3.1.3.1 Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Output
Kebijakan terhadap harga output baik berupa pajak maupun subsidi, dapat
diterapkan pada produsen barang impor dan barang ekspor. Kebijakan subsidi
pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen
dan surplus konsumen berubah. Diberlakukan subsidi positif pada produsen
barang impor dan konsumen barang-barang impor dapat dilihat secara grafis pada
Gambar 2.
P
A
P
d
Pw
P
S
Pw
C
P
B
Q1
Q2
D
Q3
(a) Kurva Subsidi untuk Produsen
Barang Impor
Keterangan : P = Harga di dalam negeri
Pw = Harga dunia
Gambar 2.
S
A
F
E
G
H
B
D
d
Q
Q2
Q1
Q3
Q4
Q
(b) Kurva Subsidi untuk Konsumen
Barang Impor
S = Suplai
D = Demand
Q = Kuota
Dampak Subsidi pada Produsen dan Konsumen Barang Impor
(Sumber : Monke dan Pearson 1989)
26
Gambar 2(a) adalah subsidi untuk produsen barang impor dimana harga
yang diterima produsen lebih tinggi dari harga di pasaran dunia (Pw ke Pd).
Perubahan harga tersebut menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat
dari Q1 ke Q2, sementara konsumsi tetap di Q3. Harga yang diterima konsumen
tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi dapat dilakukan jika produsen
dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dari
kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen (karena
diberi subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi.
Subsidi ini menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2.
Tingkat subsidi per output sebesar (Pd - Pw) pada output Q2, maka transfer total
dari pemerintah ke produsen sebesar Pd AB Pw. Subsidi yang menyebabkan barang
yang tadinya diimpor diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan sebesar
Q1CBQ2, sehingga efisien yang hilang sebesar CAB.
Gambar 2(b) menunjukkan subsidi pada konsumen untuk output yang
diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pd - Pw yang menyebabkan produksi turun dari
Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4. Impor meningkat dari Q3 – Q1 menjadi
Q4 – Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua yaitu transfer darti pemerintah ke
konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar P wA
Pd. Di sisi produksi terjadi penurunan output dari Q2 ke Q1 dan terjadi kehilangan
pendapatan sebesar Q2AFQ1, sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar
AFB. Dari sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah
sebesar Q1EGQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EGQ4
sehingga efisiensi yang hilang sebesar EGH.
Selain kebijakan subsidi, kebijakan hambatan perdagangan pun dapat
diterapkan pada output. Contoh dari diterapkannya kebijakan hambatan terhadap
output adalah hambatan perdagangan terhadap barang impor. Secara grafis dapat
dilihat pada Gambar 3.
27
P
S
E
Pd
Pw
A
C
G
F
B
D
Q
Q1
Q2
Keterangan : Pd = Harga di dalam negeri
Pw = Harga dunia
Q4
Q3
S = Suplai
D = Demand
Q = Kuota
Gambar 3. Hambatan Perdagangan Pada Produsen untuk Barang Impor
(Sumber : Monke dan Pearson 1989)
Gambar 3 menunjukkan adanya hambatan pada barang impor dimana
terdapat tarif sebesar (Pd – Pw) sehingga meningkatkan harga di dalam negeri baik
untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan
konsumsi turun dari Q3 ke Q4, sehingga impor turun dari Q3 – Q1 menjadi Q4 – Q2.
Terjadi transfer pendapatan dari konsumen kepada produsen sebesar PdEFPw dan
terjadi transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen sebesar FEAB.
Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah perbedaan antara
opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan willingness to pay
Q4ACQ3, sehingga efisiensi yang hilang pada konsumen adalah sebesar daerah
ABC dan pada produsen sebesar EFG.
3.1.3.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Input
Kebijakan pemerintah bisa diterapkan pada input, baik input yang dapat
diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan (nontradable). Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak akan tampak
pada input non-tradable, karena dalam input non-tradable hanya diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri saja.
Kebijakan subsidi (positif atau negatif) dan kebijakan hambatan
perdagangan dapat diaplikasikan pada input tradable. Kedua kebijakan ini dapat
diterapkan karena input tradable yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri
28
maupun di luar negeri. Dampak diterapkannya kebijakan pajak dan kebijakan
subsidi dapat dilihat pada Gambar 4.
P
P
S’
S
S
Pw
A
C
B
C
Pw
A
B
Q1
Q2
S’
D
Q1
Q2
Q
(a)
Keterangan : Pw = Harga dunia S = Supply
Q
(b)
D = Demand
Q = Kuota
Gambar 4. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Tradable
(Sumber : Monke dan Pearson 1989)
Pada Gambar 4(a), menunjukkan efek pajak terhadap input tradable. Pajak
menyebabkan biaya produksi meningkat menyebabkan kurva supply bergeser ke
kiri atas, sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun
dari Q2 ke Q1. ABC adalah besarnya efisiensi ekonomi yang hilang, yang
merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1CAQ2) dengan biaya
produksi output (Q2BC Q1).
Dampak dari subsidi input tradable dapat dilihat pada Gambar 4(b).
Kebijakan subsidi menyebabkan harga input menjadi murah yang berdampak pada
penurunan biaya produksi. Penurunan biaya produksi tersebut menyebabkan kurva
supply bergeser ke bawah, sehingga output yang dihasilkan akan meningkat dari
Q1 ke Q2. Besarnya efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, yang merupakan
perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1ACQ2) dengan biaya produksi
output (Q1ABQ2).
Kebijakan input non-tradable dapat berupa kebijakan pajak dan subsidi.
Dampak kebijakan pajak dan subsidi pada input non-tradable dapat dilihat pada
Gambar 5. Pada Gambar 5(a), harga yang berlaku sebelum diberlakukannya pajak
pada input non-tradable berada pada Pd dengan tingkat output Q1. Adanya pajak
29
sebesar Pc-Pp menyebabkan produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga
ditingkat produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik
menjadi Pc. Besaran efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BDA
dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA.
P
P
S
C
Pc
A
B
Pd
Pp
C
Pp
Pd
A
Pc
D
S
B
D
Pp’
D
D
Q3
Q2
Q1
Q
(a)
Q2
Q1
Q
(b)
Keterangan :
Pd
: Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi
Pc
: Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi
Pp
: Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak
Gambar 5. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Non-Tradable
(Sumber : Monke and Pearson 1989)
Dampak subsidi pada input non-tradable dapat dilihat pada Gambar 5(b).
Sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi, tingkat harga keseimbangan yang
terjadi adalah pada Pd dengan tingkat output keseimbangan Q1. Subsidi
menyebabkan terjadinya perubahan harga di tingkat produsen menjadi Pp,
sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu Pc.
Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar
ABD.
3.1.4
Teori Matrik Kebijakan (Policy Analysis Matrix)
Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung
maupun menilai tingkat dayasaing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed
Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter dan Policy Analysis Matrix
(PAM). Indeks RCA digunakan untuk melihat keunggulan komparatif suatu
komoditas. Kelemahan indeks RCA adalah tidak dapat membedakan antara
30
peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan
serta lemah dalam mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dan
mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik dan
perkembangannya. Suatu negara tidak dapat lagi hanya menggantungkan
keunggulannya pada keunggulan komparatif yang dimiliki sebagai endowment
factors, tapi juga harus didukung adanya keunggulan kompetitif yang kuat. Teori
Berlian Porter menganalisis faktor internal dan eksternal yang memengaruhi
keunggulan kompetitif suatu komoditas. Faktor internal mencakup faktor fisik dan
manusia, sedangkan faktor eksternal mencakup peluang yang terjadi pada pasar
dalam negeri maupun internasional.
Policy Analysis Matrix (PAM) atau matrik kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas,
yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan, pengolahan
maupun pemasaran (Monke dan Pearson, 1989). Metode PAM merupakan suatu
analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu keuntungan privat dan
keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah yang
memengaruhi sistem komoditas. Sehingga PAM dinilai sebagai metode analisis
yang paling efisien karena dalam satu metode dapat mengidentifikasi tiga analisis
sekaligus. Namun, kelemahan PAM yaitu bersifat statis (hanya dapat menghitung
pada satu tingkat harga), sedangkan dalam kenyataannya harga dapat bervariasi.
Metode PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai
wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Matrik ini terdiri dari tiga baris dan empat
kolom, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan harga privat atau harga
aktual untuk mengestimasi keuntungan privat. Keuntungan privat dihitung
berdasarkan selisih antara pendapatan dan biaya berdasarkan harga aktual yang
mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan
pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio merupakan indikator
keuntungan atau dayasaing (keunggulan kompetitif) dari usahatani berdasarkan
teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.
31
Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan
harga sosial atau harga bayangan yaitu harga yang menggambarkan divergensi.
Divergensi akan menggambarkan penyebab perbedaan hasil perhitungan antara
perhitungan berdasarkan harga privat dan perhitungan berdasarkan harga sosial,
divergensi dapat disebabkan oleh adanya kegagalan pasar atau kebijakan
pemerintah. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu
competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah
monopoli, externality dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna.
Kebijakan pemerintah adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga
pasar berbeda dengan harga efisiensinya. Kebijakan pemerintah yang dapat
menyebabkan divergensi antara lain pajak/subsidi, hambatan perdagangan atau
regulasi harga, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya
kebijakan pemerintah (Pearson et al 2005).
Matrik PAM memiliki empat kolom, kolom pertama merupakan kolom
penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable), kolom
ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non-tradable) dan kolom keempat
merupakan kolom keuntungan dari selisih antara penerimaan dan biaya.
Penggunakan harga privat dan sosial dalam analisis PAM menggambarkan bahwa
metode tersebut mengandung analisis finansial dan ekonomi. Dalam analisis
ekonomi akan meninjau aktivitas dilihat dari sudut masayarakat secara
keseluruhan. Sedangkan analisis finansial dilihat dari individu yang terlibat
langsung dalam kegiatan ekonomi yaitu petani.
3.1.5
Harga Bayangan (Harga Sosial)
Menurut Pearson et al. (2005), penentuan harga bayangan (sosial) hanya
bisa dilakukan dengan pendugaan (approximation). Harga bayangan (harga sosial)
untuk input maupun output tradable adalah harga internasional untuk barang yang
sejenis (comparable), yakni harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor
untuk komoditas ekspor. Harga bayangan (sosial opportunity cost) untuk
memproduksi satu komoditas impor adalah sama dengan jumlah devisa yang
dihemat karena tidak mengimpor komoditas tersebut. Sedangkan harga bayangan
(sosial opportunity cost) untuk memproduksi satu komoditas ekspor adalah
jumlah devisa yang dapat diperoleh dengan mengekspor komoditas tersebut.
32
Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga
internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga
paritas ekspor atau Free on Board (FOB) untuk barang exportable dan harga
paritas impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) untuk barang yang
importable. FOB merupakan syarat penyerahan barang dimana penjual hanya
menanggung biaya pengangkutan sampai pelabuhan muat penjual, sisanya
ditanggung oleh pembeli. Sedangkan CIF adalah syarat penyerahan barang
dimana penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu
komoditas. Monke dan Pearson (1989) juga mengemukakan bahwa ada empat
cara dalam menentukan harga paritas (harga internasional) dari suatu barang
(input/output) yang tradable, yaitu : (1) nilai FOB atau CIF yang implisit, yakni
dengan membagi total nilai ekspor/impor dengan total kuantitas. Tetapi nilai ini
bias karena perusahaan umumnya tidak akan melaporkan yang sebenarnya untuk
meminimalisir pajak; (2) nilai FOB atau CIF di negara tetangga yang sudah
diketahui secara jelas; (3) nilai FOB atau CIF berdasarkan informasi yang
diperoleh dari industri, agensi pemerintah atau organisasi internasional; dan (4)
world price indirectly yakni dengan mengurangkan efek dari kebijakan
pemerintah (menambahkan subsidi atau mengurangkan pajak).
Sedangkan
untuk
barang-barang
non-tradable,
penentuan
harga
bayangannya ditentukan berdasarkan langkah-langkah berikut (Monke dan
Pearson 1989) : (1) mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan
oleh adanya kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar, (2) apabila dampak
divergensi tidak dapat diestimasi maka gunakan harga substitusinya, (3) jika
langkah
tersebut
juga
sulit
untuk
dilakukan
maka
gunakan
harga
barang/substitusinya di negara tetangga, (4) mendekomposisikan biaya produksi
input non-tradable tersebut kedalam unsur input tradable dan non-tradable, (5)
menggunakan matriks input-output pendapatan nasional untuk mengalokasikan
pangsa tenaga kerja dan modal dari input non-tradable pada tingkat harga privat.
Sesuaikan biaya privat untuk mendapatkan nilai sosial, dan (6) apabila tabel input
output tidak tersedia maka alokasikan sepertiga biaya non-tradable kedalam biaya
modal, tenaga kerja dan input tradable.
33
1) Harga Bayangan Tenaga Kerja
Menurut Pearson et al. (2005), dalam mengestimasi harga bayangan
tenaga kerja adalah dengan melihat apakah ada kegagalan pasar maupun distorsi
kebijakan yang terjadi pada pasar tenaga kerja. Ada dua jenis kegagalan pasar
yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang, yaitu
monopsoni atau oligopsoni (dimana satu atau beberapa pengguna tenaga kerja
berkolusi untuk menekan upah) dan kekuatan serikat buruh (ketika kelompok
serikat buruh memberikan tekanan yang menyebabkan naiknya upah). Apabila
buruh mudah untuk masuk dan keluar dari pasar tenaga kerja, maka hal itu
merupakan bukti tidak efektinya kekuatan yang memengaruhi pasar, baik yang
dimiliki oleh pengguna tenaga kerja (perusahaan) maupun serikat buruh.
Dua jenis distorsi kebijakan yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja
pedesaan di negara berkembang adalah peraturan upah minimum serta tunjangan
(pajak) pensiun dan kesehatan (dimana pemerintah mengharuskan perusahaan
atau pengguna tenaga kerja untuk berkontribusi pada program kesehatan dan
pensiun yang dengan sendirinya akan meningkatkan biaya upah tenaga kerja).
Kebijakan seperti ini berkembang baik di negara berkembang maupun negara
maju, namun umumnya tidak bisa diterapkan di pasar tenaga kerja pertanian
kecuali di perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil pertanian. Kebijakan
yang tidak memengaruhi biaya tenaga kerja, karena tidak bisa diterapkan adalah
kebijakan yang tidak efektif dan dengan sendirinya bisa diabaikan pada analisis
PAM.
2) Harga Bayangan Bunga Modal
Sebelum mengestimasi harga bayangan bunga modal, terlebih dahulu
harus mengetahui mengenai sumber kredit atau sumber modal serta tingkat bunga
yang harus dibayar untuk setiap sumber kredit atau sumber modal yang digunakan
oleh pelaku usaha dalam sistem komoditas yang diteliti. Menurut Pearson et al.
(2005), ada empat sumber kredit dan tingkat bunga yang umum ditemukan di
negara berkembang, yaitu :
a. Tabungan keluarga, baik yang bersumber dari kegiatan usaha pertanian
maupun nonpertanian, umumnya merupakan sumber modal yang paling
banyak digunakan karena paling murah biayanya. Tabungan bisa diartikan
34
sebagai
hilangnya
kesempatan
untuk
mengkonsumsi
atau
investasi.
Opportunity cost yang membiayai sendiri kegiatan usahatani dengan sumber
tabungan keluarga adalah bunga tabungan yang hilang.
b. Lembaga perkreditan formal, seperti bank pemerintah, bank komersial atau
lembaga keuangan lainnya, umumnya menyalurkan kredit kepada petani,
usaha kecil dan pedagang dengan tingkat bunga yang moderat. Lembaga
seperti ini masih belum banyak berkiprah di pedesaan, serta memerlukan
agunan yang besar dan mahal.
c. Pemilik kios/toko/warung serta pedagang yang menjual pupuk dan sarana
produksi pertanian lainnya seringkali merupakan sumber kredit yang amat
penting bagi petani meskipun dengan tingkat bunga yang cukup tingi.
d. Pelepas uang (rentenir) umumnya merupakan sumber kredit dengan tingkat
bunga tertinggi. Karena tingkat bunga yang dibebankan bisa diatas 10 persen
per bulan, petani umumnya menghindari sumber kredit seperti ini kecuali
untuk kebutuhan keluarga yang mendesak.
Biaya modal dalam analisis PAM diklasifikasikan dalam dua kategori,
yaitu modal kerja dan modal investasi. Modal kerja adalah biaya produksi (tunai)
yang harus dibayar petani seperti pembelian input, upah tenaga kerja dan
penyimpanan dalam kurun waktu satu tahun produksi. Modal investasi adalah
pengeluaran atas aset yang memberikan kegunaan lebih dari satu tahun.
Kegagalan pasar finansial atau perkreditan kerap terjadi di negara-negara
berkembang dan biasanya karena kurang tersedianya lembaga keuangan
(perkreditan) di pedesaan. Pada prinsipnya, pendapatan sosial untuk modal (social
return to capital) adalah pendapatan atas investasi public atau privat yang akan
dilakukan seandainya ada dana untuk melakukan investasi tersebut. Pada
pratiknya, untuk mengestimasi tingkat bunga sosial modal kerja dan modal
investasi dapat dilakukan dengan menggunakan pengalaman dari negara
berkembang atau negara maju lainnya pada saat negara tersebut berada pada
tingkat pembangunan yang sama dengan negara yang sedang menjadi fokus
penelitian.
35
3) Harga Bayangan Lahan
Lahan merupakan faktor produksi atau aset tak bergerak (fixed factor)
dalam proses produksi pertanian. Berbeda dengan tenaga kerja dan modal yang
bersifat bergerak (mobile) dan bisa berpindah kepada aktivitas lainnya, lahan
bersifat tetap atau tak bergerak (immobile). Kecuali lahan tersebut terletak di
dekat pusat kota, menjadi pusat perumahan atau perindustrian. Opportunity cost
dari lahan yang ditanami satu komoditas adalah pendapatan yang diperoleh dari
komoditas alternatif terbaiknya. Nilai lahan di pasar lahan (baik jual lepas maupun
sewa-menyewa) bergantung kepada tingkat produktivitas lahan tersebut dan
dengan sendirinya juga tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani pembeli
atau penyewa lahan tersebut.
Menurut Pearson et al. (2005), penentuan harga bayangan (sosial) dari
lahan mengikuti prinsip-prinsip social opportunity cost. Dilihat dari sudut
pandang perekonomian nasional, nilai sosial dari sewa lahan adalah sama dengan
keuntungan sosial lahan yang diperoleh dari komoditas alternatif terbaik sebelum
dikurangi sewa lahan. Bila cara ini ternyata tidak praktis atau malah mengalihkan
perhatian dari komoditas yang semula diteliti, cara lain yang bisa ditempuh adalah
dengan memasukan balas jasa atau pendapatan untuk lahan (return to land).
Dengan
demikian,
keuntungan
didefinisikan
sebagai
pendapatan
untuk
manajemen dan lahan (return to management and land), bukan hanya pendapatan
untuk manajemen. Dengan demikian, biaya lahan dikeluarkan dari harga
bayangan (sosial). Karena rumit dan juga mahalnya menganalisis komoditas
alternatif terbaik, belum lagi untuk menentukan alternatif komoditas itupun
memerlukan penelitian lebih dari satu komoditas, maka banyak peneliti
mengadopsi pendekatan ini. Namun, “korbanan” yang harus dilakukan dengan
mengambil cara ini amat besar, karena dugaan nilai (sewa) sosial lahan amat
diperlukan
dalam
menentukan
efisiensi.
Dengan
kata
lain,
dengan
“menggabungkan” biaya sosial lahan ke dalam keuntungan (return to
management and land), kita kehilangan dasar untuk menentukan apakah sistem
usahatani yang sedang diteliti menggunakan sumberdaya yang langka ini secara
efisien atau tidak.
36
3.1.6
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil
analisis suatu kegiatan ekonomi, bila ada suatu kesalahan dalam perhitungan biaya
atau manfaat. Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik analisa untuk menguji
perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis, bila
terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam
perencanaan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara :
1.
Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah
atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan
seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan
tersebut.
2.
Menentukan dengan berapa suatu harus berubah sampai hasil perhitungan
yang membuat proyek tidak dapat diterima.
Analisa sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang
berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis kepekaan dilakukan
dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur, kemudian menentukan
pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan analisis
sensitivitas adalah :
1.
Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena
merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu
saat tertentu.
2.
Analisis sensitivitas hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel
berubah-ubah dan bukan menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
Dalam kaitannya dengan PAM, analisis sensitivitas akan mereduksi
kelemahan dari metode analisis PAM tersebut. PAM bersifat statis dan tidak
dimungkinkannya dilakukan simulasi untuk melihat pengaruh perubahan dari
faktor-faktor penting dalam suatu proyek, kaitannya dengan penelitian ini adalah
usahatani.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Indonesia memiliki potensi dan peluang yang sangat baik untuk menjadi
salah satu negara eksportir buah-buahan tropis di dunia. Salah satu jenis buah
tropis yang sedang dikembangkan dan memiliki prospek yang cukup bagus adalah
37
belimbing. Kota Depok merupakan salah satu wilayah sentra produksi belimbing
di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Belimbing di Kota Depok
lebih dikenal dengan sebutan belimbing dewa. Dalam rangka mengembangkan
agribisnis belimbing di Kota Depok serta memanfaatkan peluang pasar yang
tercipta karena adanya era perdagangan bebas maka belimbing dewa di Kota
Depok mulai dipersiapkan untuk dapat menembus pasar internasional. Namun,
untuk dapat menembus pasar internasional maka komoditas belimbing dewa di
Kota Depok dituntut untuk memiliki dayasaing agar mampu bertahan dan
bersaing dengan produk sejenis yang terdapat di mancanegara.
Adanya penetapan pajak impor (bea masuk) sebesar lima persen atas
bahan baku pupuk anorganik dan obat-obatan dan pajak pertambahan nilai (PPN)
sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan
obat-obatan serta adanya kebijakan terhadap suku bunga dapat membuat harga
yang diterima petani berbeda dengan harga pada kondisi pasar persaingan
sempurna (tidak ada distorsi pasar maupun intervensi pemerintah). Disamping itu,
pemerintah juga telah memberikan insentif input produksi kepada para petani
belimbing dewa di Kota Depok. Hal-hal tersebut diduga akan memengaruhi
tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani belimbing dewa di Kota Depok.
Terdapat banyak metode pendekatan dan teori untuk mengestimasi
dayasaing komoditas, dimana semua cara pendekatan dan teori tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang memerlukan pemecahan. Salah
satu cara pendekatan yang dipandang efisien untuk memecahkan permasalahan
yang diangkat pada penelitian ini adalah metode Policy Analysis Matrix (PAM).
Hal ini dikarenakan selain dapat digunakan untuk menganalisis dayasaing
komoditas belimbing dewa, PAM juga dapat digunakan sekaligus untuk
menganalisis dampak/pengaruh dari penerapan kebijakan pemerintah terhadap
sistem komoditas belimbing dewa.
Dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok dianalisis melalui
keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki oleh komoditas tersebut.
Keunggulan komparatif diidentifikasi melalui nilai keuntungan sosial dan nilai
rasio biaya sumberdaya domestik atau domestic resources cost (DRC) yang
dihasilkan. Keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan nilai keuntungan privat
38
dan nilai rasio biaya privat atau private cost ratio (PCR) yang dihasilkan. Dampak
dari kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok
dianalisis melalui tiga pendekatan yaitu dampak kebijakan terhadap output,
kebijakan terhadap input serta kebijakan terhadap input dan output. Dampak
kebijakan terhadap output dianalisis berdasarkan nilai output transfer (TO) dan
nominal protection coefficient on output (NPCO) yang dihasilkan. Dampak
kebijakan input dianalisis berdasarkan nilai transfer input (IT), nominal protection
coefficient on input (NPCI) dan factor transfer (TF) yang dihasilkan. Sedangkan
dampak kebijakan terhadap input dan output dianalisis berdasarkan nilai effective
protection coefficient (EPC), net transfer (TB), profitability coefficient (PC), dan
subsidy ratio to produsers (SRP).
Sebagai pereduksi kelemahan dari PAM yang bersifat statis, maka setelah
melakukan analisis PAM selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk
mengetahui dayasaing komoditas belimbing dewa apabila terjadi perubahan harga
input dan output. Perubahan yang dianggap penting dalam penelitian ini dan dapat
memengaruhi tingkat keuntungan serta efisiensi usahatani belimbing dewa di Kota
Depok adalah penurunan jumlah produksi dan harga output belimbing dewa serta
peningkatan upah tenaga kerja dan harga pupuk anorganik. Setelah memperoleh
gambaran hasil analisis maka langkah terakhir adalah memberikan rekomendasi
kebijakan kepada petani dan pemerintah yang dapat dijadikan sebagai masukan
ataupun bahan pertimbangan bagi penetapan kebijakan selanjutnya. Skema
kerangka pemikiran yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 6.
39
1. Indonesia memiliki potensi sebagai negara eksportir buah-buahan tropis.
2. Potensi Kota Depok sebagai sentra produksi belimbing.
3. Pengembangan agribisnis belimbing dan peluang ekspor.
4. Insentif produksi kepada petani belimbing, adanya bea masuk 5 persen
atas bahan baku pupuk anorganik dan obat-obatan, PPN 10 persen atas
input produksi serta kebijakan suku bunga
1. Apakah komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok memiliki
dayasaing?
2. Bagaimana Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap dayasaing
komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok?
3. Bagaimana pengaruh perubahan harga buah belimbing, harga tenaga
kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan
terhadap dayasaing Belimbing Dewa di Kota Depok?
Policy Analysis Matrix (PAM)
Analisis Dayasaing Komoditas
Belimbing Dewa di Kota Depok:
1. Keunggulan Komparatif
2. Keunggulan Kompetitif
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Dayasaing Belimbing Dewa di Kota Depok:
1. Dampak Kebijakan terhadap Output
2. Dampak Kebijakan terhadap Input
3. Dampak Kebijakan terhadap Input-Ouput
Analisis Sensitivitas
1.
2.
3.
4.
Penurunan Jumlah Poduksi
Peningkatan Upah Tenaga Kerja
Peningkatan Harga Pupuk Anorganik
Penurunan Harga Output
1. Gambaran dayasaing komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok
2. Gambaran dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas
Belimbing Dewa di Kota Depok.
3. Gambaran pengaruh perubahan jumlah produksi, harga tenaga kerja, harga pupuk
anorganik, dan harga output terhadap dayasaing Belimbing Dewa di Kota Depok.
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian “Analisis Dayasaing
dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas
Belimbing Dewa di Kota Depok”
40
Download