NAMA : NIA ADE HARIATIN KELAS : AKUNTANSI A 2015 NIM : 15-160-0060 1. Kurva Lorenz adalah kurva yang menggambarkan mengenai hasil analisis distribusi pendapatan perorangan. Pada kurva Lorenz, jumlah penerimaan pendapatan digambarkan pada sumbu horizontal tidak dalam angka mutlak tetapi dalam presentase kumulatif. Sedangkan sumbu vertical menunjukkan pangsa pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah penduduk. Jumlah ini juga komulatif sampai 100 persen. Setiap titik pada garis diagonal tersebut menunjukkan bahwa persentase pendapatan yang diterima sama persis dengan persentase penerima pendapatan tersebut. Garis diagonal tersebut menunjukkan distribusi pendapatan dalam keadaan ketidakmerataan sempurna.Kurva Lorenz menunjukkan hubungan kuantitatif antara persentase penduduk dan persentase pendapatan yang mereka terima. Semakin jauh kurva Lorenz tersebut dari garis diagonal semakin tinggi derajat ketidakmerataan sempurna. Oleh karena itu tidak ada satu Negarapun yang mengalami ketidakmerataan sempurna dalam distribusi pendapatannya, maka kurva-kurva Lorenz untuk setiap Negara akan terletak di sebelah kanan kurva diagonal tersebut. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz itu akan semakin melengkung dan semakin mendekati sumbu horizontak sebelah kanan bawah. Penjelasan : Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional dikalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini terletak didalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri “ditempatkan” pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata. 2. Diketahui : W = Wage = upah dan gaji = Rp 15.000.000,- R = Rent = Sewa Tanah = Rp 9.250.000,- C = Consumption = Rp 18.000.000,- G = Government expenditure = Pengeluaran pemerintah = Rp 14.000.000,- I = Interest = Bunga modal = Rp 3.500.00,- (I untuk pendekatan pendapatan) P = Profit = Keuntungan = Rp 12.000.000,- I = Investment = Rp 4.500.000,- (I untuk pendekatan pengeluaran) X = Ekspor = Rp 12.500.000,- M = Impor = Rp 7.250.000,- Ditanya : a. Pendapatan nasional melalui pendekatan pendapatan = ………? b. Pendapatan nasional melalui pendekatan pengeluaran = ………? Jawab : a. Pendapatan nasional melalui pendekatan pendapatan = Y = R+W+I+P = Rp 9.250.000 + Rp 15.000.000 + Rp 3.500.000 + Rp 12.000.000 = Rp 39. 750.000,- b. Pendapatan nasional melalui pendekatan pengeluaran = Y = C+G+I+(X–M) = Rp 18.000.000 + Rp 14.000.000 + Rp 4.500.000 + ( Rp 12.500.000 – Rp 7.250.000 ) = Rp 41. 750.000,- Jadi, besarnya pendapatan nasional melalui pendekatan pendapatan adalah Rp 39.750.000,- sedangkan besarnya pendapatan nasional melalui pendekatan pengeluaran sebesar Rp 41.750.000,- 3.ANALISIS PERILAKU INVESTOR SURABAYA DALAM ALOKASI ASET INVESTASINYA MENGGUNAKAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Garina Irmayanti | Puput Tri Komalasari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Investor individu biasanya menggunakan pendekatan yang terstruktur dalam manajemen uangnya, tapi mereka biasanya juga memprioritaskan urusan alokasi yang lebih luas, hal itu sering diibaratkan tidak menaruh telur dalam satu keranjang tetapi ke beberapa keranjang untuk mengurangi risiko. Pendekatan perilaku investor pada saat penyeleksian informasi jenis-jenis investasi yang akan dipilihnya dan menentukan alternatif investasi yang dipilihnya dapat mengevaluasi risiko berdasarkan persepsi investor terhadap risiko. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar preferensi dari investor berdasarkan investasi alternatif yang dapat dipilih di antara saham (stock), reksa dana (mutual fund), obligasi (bond), pasar uang (money market), atau derivative stock option berdasarkan lingkungan pasar (market environment), kebutuhan investasi (investment need), tujuan investasi (investment goal). Penelitian ini dilakukan di Surabaya dengan mengambil data dari 57 sampel investor di Surabaya. Teknik analisis yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika dilihat dari informasi mengenai identitas responden (investor) diketahui bahwa mayoritas responden memilih saham sebagai alternatif investasinya sedangkan pada kenyataannya melalui kriteria dan sub kriteria alternatif investasi yang diajukan oleh peneliti untuk mengkaji alokasi aset yang dibutuhkan investor, obligasi adalah pilihan alternatif utama investor jika dibandingkan derivatif stock option, reksa dana, pasar uang dan saham. Selain itu diketahui bahwa tidak ada kerterkaitan antara jenis investasi yang dilakukan oleh para investor dengan jenis kelamin, usia, status pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah pendapatan, jumlah anggota keluarga yang ditanggung, lama pengalaman investasi, dan tingkat pendidikan terkahir investor sehingga identitas responden (investor) tidak dapat menjadi acuan untuk alternatif pilihan alokasi aset yang dilakukan oleh investor di Surabaya. 4. Di tengah kondisi perlambatan ekonomi yang mendera saat ini, Indonesia kini disebutsebut negara yang kurang menarik minat investor untuk berinvestasi. Pasalnya, faktor utama tinggi rendahnya pertumbuhan investasi sangat ditentukan oleh faktor kepastian hukum di samping faktor stabilitas keamanan.Indikator utama kepastian hukum itu sendiri sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara maka semakin rendah pula tingkat investasi ke negara yang bersangkutan. Karena korupsi membuat para pengusaha asing menjadi ketakutan menanamkan investasinya di Indonesia.Patut disadari bahwa, kalangan pengusaha asing telah terikat dengan kode etik Kamar Dagang Internasional yang sejak Maret 1996 tidak bisa berbuat seenaknya. Lembaga internasional itu telah merekomendasikan kode etik kepada anggotanya untuk tidak melakukan korupsi dalam bisnis internasionalnya. Tidak hanya itu para pengusaha multinasional sendiri kini sangat menyadari bahwa investasi di negara yang korup sangat merugikan dirinya. Banyak kasus yang memperlihatkan bahwa investasi mereka di negara yang korup, dengan dalih nasionalisme, dijarah oleh pejabat yang korup untuk kepentingan pribadi dan kepentingan politiknya. Karena itu, kini, para pengusaha asing sejak awal sudah terdorong untuk tidak menanamkan investasi di negara yang korup.berkesimpulan bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia, menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanamkannya. Di Indonesia sendiri memang belum ada penelitian yang menghubungkan antara korupsi dengan pertumbuhan investasi. Namun, dapat dipastikan menurunnya pertumbuhan investasi belakangan ini penyebab utamanya adalah makin parahnya korupsi di Indonesia. Yang jelas terdapat korelasi antara peringkat korupsi Indonesia dengan menurunnya realisasi investasi asing ke Indonesia.Selain itu, kita tidak boleh berpuas diri karena masih ada kelemahan lain yang menjadi penghambat dan berpotensi menurunkan daya saing Indonesia. Selain tingkat korupsi yang tinggi, infrastruktur yang minim dan kepastian hukum yang lemah juga membuat calon investor kurang berminat untuk berinvestasi di negeri ini. Pada ilustrasi tersebut salah satu ciri umum negara terbelakang adalah kelangkaan modal. Sebab utama kelangkaan modal adalah kecilnya tabungan atau lebih tepat kurangnya investassi didalam sarana produksi yang mampu menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Maka bila dibandingkan dengan Indonesia, keadaan tersebutlah yang terjadi pada saat ini, hal ini dapat dilihat dari sejumlah fakta seperti tertundanya keinginan pemerintah untuk membangun sejumlah infrastruktur akibat kurangnya dana yang dimiliki oleh pemerintah, tingkat produktivitas dan kemampuan individual masyarakat juga rendah, ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah, serta kurangnya sarana produksi yang dimiliki masyarakat dan sector swasta. Akibatnya adalah derajat ekonomi, kesehatan, serta tingkat pengangguran yang tinggi.