BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Manajemen operasional Manajemen operasional adalah serangkaian aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan manajemen operasional berfokus pada proses produksi baik barang maupun jasa (Heizer & Render, 2009), dengan pengertian Manajemen menurut Richard L. Daft yang menyatakan bahwa manajemen merupakan kegiatan perencanaan pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif, maka penting untuk memastikan operasi bisnis berlangsung secara efektif dan efesien. Menurut Stevenson Manajemen Operasional adalah sistem manajemen atau serangkaian proses dalam pembuatan prosuk atau penyediaan jasa (J.Stevenson, 2009). Sedangkan Menurut Richard B. Chase, “Operations management is defined as the design, operation, and improvement of the system that create and deliver the firm’s primary product and services” (Chase, 2004) dari pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa manajemen operasional mencakup kegiatan mendesain suatu sistem, mengoperasikan sistem dan kemudian mengembangkan sistem untuk menghasilkan dan mendistribusikan produk perusahaan yang dapat berupa barang ataupun jasa. Sedangkan menurut James Evan dan David Collie , manajemen operasional adalah ilmu dan seni untuk memastikan bahwa barang dan jasa diciptakan dan berhasil dikirim ke pelanggan (Evans & Collier, 2007). 2.1.2 Pengertian SCM Oliver & Weber pertama kali mengemukakan Istilah Supply Chain Management pada tahun 1982 dimana dikatakan bahwa Supply Chain adalah jaringan fisik, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun 9 mengirimkannya ke pemakai akhir 10 (Crimi, 2002) “Supply chain management encompasses the planning and management of all activities involved in sourcing and procurement, conversion, and all logistics management activities. Importantly, it also includes coordination and collaboration with channel partners, which can be suppliers, intermediaries, third party service providers, and customers. In essence, supply chain management integrates supply and demand management within and across companies.” (Council of Supply Chain Management Professionals, 2013). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa supply chain management merupakan suatu bentuk koordinasi antar sebuah perusahaan dengan perusahaan lain yang bertujuan untuk mengingkatkan performa antar perusahaan sehingga terbentuk suatu kesatuan kinerja Adapun pengertian Supply Chain Management menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut : 1. Supply Chain Management adalah sebuah sistem pendekatan total untuk mengantarkan produk ke konsumen akhir dengan menggunakan teknologi informasi untuk mengkoordinasikan semua elemen supply chain dari mulai pemasok ke pengecer, lalu mencapai tingkat berikutnya yang merupakan keunggulan kompetitif yang tidak tersedia di sistem logistik tradisional (A.Fitzsimmons & J.Fitzsimmons, 2006). 2. Supply Chain Management terdiri dari setiap mata rantai persediaan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi permintaan pelanggan (Chopra & Meindl, 2007). 3. Supply Chain Management mencakup kegiatan mengelola arus informasi, produk dan pelayanan di seluruh jaringan baik itu pelanggan, perusahaan hingga pemasok (S.Russell & W.Taylor, 2009) Supply Chain Management (SCM) adalah sebuah pendekatan untuk integrasi yang effisien antara pemasok (supplier), pabrik (manufactur), pusat distribusi, wholesaler, pengecer (retailer) dan konsumen akhir, dimnana produk diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang benar/tepat, lokasi yang tepat dan waktu yang tepat dalam rangka meminimalkan sistem biaya dan meningkatkan tingkat keuasan pelayanan. (Putri, 2012) Menurut Stevenson, supply chain management adalah suatu koordinasi strategis dari rantai pasokan dengan tujuan untuk mengintegrasikan manajemen penawaran dan permintaan (J.Stevenson, 2009). 11 Dari pengertian para ahli diatas, dapat dipahami bahwa Supply Chain Management merupakan suatu perancangan atau desain arus aliran barang baik itu bahang mentah dari pemasok yang kemudian diolah menjadi barang jadi oleh perusahaan dan barang tersebut pada akhirnya sampai pada konsumen akhir baik melalui distributor atau secara langsung. 2.1.3 Komponen SCM Komponen dari supply chain management terdiri dari tiga komponen utama yaitu (Turban, Rainer, & Potter, 2004): 1. Upstream Supply Chain Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi aktivitas dari suatu perusahaan manufacturing dengan para penyalurnya (yang mana dapat manufacturers, assemblers, atau kedua-duanya) dan koneksi mereka kepada para penyalur mereka (para penyalur second-tier). Hubungan para penyalur dapat diperluas kepada beberapa strata, semua jalan dari asal material (contohnya bijih tambang, pertumbuhan tanaman). Di dalam upstream supply chain, aktivitas yang utama adalah pengadaan. 2. Internal Supply Chain Bagian dari internal supply chain meliputi semua proses inhouse yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam keluaran organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu masukan ke dalam organisasi. Di dalam internal supply chain, perhatian yang utama adalah manajemen produksi, pabrikasi dan pengendalian persediaan. 3. Downstream supply chain Downstream (hilir) supply chain meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream supply chain, perhatian diarahkan pada distribusi, pergudangan transportasi dan after-sale service. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan Supply Chain Management (SCM) merupakan sebuah alur yang meliputi kegiatan pengadaan bahan baku dari pemasok, kemudian hingga proses produksi dimana bahan baku dijadikan input untuk menghasilkan output, hingga output didistribusikan sampai kepada pelanggan akhir 12 2.1.4 Pengertian Pemasok Pemasok atau yang biasa disebut sebagai supplier adalah pihak-pihak yang berkepentingan, lebih relevan terhadap keberhasilan manufaktur/produsen dibandingkan bisnis lainnya, semua perusahaan mengandalkan tingkat produk dan jasa dari bisnis lain untuk mendukung kemampuan mereka untuk melayani pelanggan mereka. Supplier secara intensif mendukung proses manufacturing; bentuk kualitas mereka dari kualitas produk akhir yang menjual bisnis ke pelanggan mereka, harga supplier akan berpengaruh terhadap biaya manufacturing produk. Dan supplier harus mampu mengantisipasi para pesaing berusaha meniru, menduplikasi atau mengalahkan saingan di berbagai variable diferensiasi yang menghasilkan keuntungan yang kompetitif (David, 2011). Dalam konsep rantai pemasok, supplier merupakan salah satu bagian supply chain yang sangat penting dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu pabrik dimana supplier menjadi pihak yang memasok bahan mentah (raw material) bagi pabrik. Apabila supplier kurang bertanggung jawab dalam merespon terhadap pemenuhan permintaan bahan mentah pabrik, maka akan menimbulkan masalahmasalah yang cukup serius salah satunya stockout ataupun lead time yang tentunya akan merugikan pabrik. Untuk itu perusahaan yang memiliki banyak pemasok harus selektif dalam memilih supplier-nya (Suciadi, 2013) Perkembangan terhadap segmentasi konsumen dan peluang saluran distribusi menghadapkan perusahaan untuk menentukan sistem distribusi lebih dari satu supplier. Akan tetapi, semakin banyak supplier yang digunakan oleh perusahaan maka akan semakin sulit untuk dikontrol dan dapat tercipta konflik akibat bersaing memperebutkan pelanggan dan penjualan. (Hardianti, 2011) Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa pemasok memang merupakan elemen yang penting bagi perusahaan dan memiliki pengaruh yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Dalam memenuhi kebutuhan pabrik terkadang perusahaan memiliki lebih dari satu pemasok dan hal tersebut akan menimbulkan konflik sehingga perusahaan harus selektif dalam memilih pemasok dan bisa menjalin kerjasama dengan para pemasok. 13 2.1.5 Perkembangan ilmu pemasok Desakan bagi perusahaan untuk menemukan cara-cara baru dalam memenangkan persaingan dan memberikan nilai tambah bagi konsumennya semakin kuat. Perusahaan dituntut untuk dapat menyampaikan produknya dengan efektif, lebih cepat dan lebih efisien. Salah satunya dengan mengintegrasikan mata rantai pasokan (Suplly Chain) dan wawasan serta pengetahuan terkini tentang manajemen rantai pasokan diakui dapat meningkatkan kompetensi tersebut (Deitiana, 2009). Sejalan dengan praktek manajemen rantai pasokan dalam dunia bisnis yang berkembang pesat, ilmu Supply Chain Management atau biasa disingkat dengan SCM mengalami perkembangan yang signifikan. Hubungan baik dengan pemasok ini dikembangkan dengan tidak hanya melibatkan pemasok saja akan tetapi seluruh rantai yang terlibat dalam pergerakan bakal bahan baku sampai dengan pihak yang membuat produk jadi diterima konsumen akhir (anggota supply chain). (Syarif, 2012). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemasok bukan satu satunya pihak yang berperan penting dalam Supply Chain Management, karena terdapat banyak pihak yang berhubungan dengan pergerakan bahan baku sampai barang jadi diterima oleh konsumen 2.1.6 Pengambilan Keputusan Definisi Pengambilan keputusan menurut G.R.Terry adalah sebagai suatu pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternatif yang mungkin (Terry, 2006) . Berikut pengertian Pengambilan Keputusan menurut beberapa ahli (Hasan, 2004): 1. Ralph C. Davis memberikan definisi atau pengertian keputusan sebagai hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan.Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula 2. Sedangkan menurut Claude S.George,Jr proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan di antara sejumlah alternatif. 14 Selain itu Pengambilan keputusan juga didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistematis terhadap fakta dan dana, penelitian yang matang atas alternatif dan tindakan (P.Siagian, 2004) Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan kebanyakan dilakukan oleh manajer dengan melakukan pemilihan diantara beberapa alternatif dimana pemilihan alternatif tersebut dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan dan penilaian terhadap alternatif yang ada. 2.1.7 Pemilihan Pemasok Pemilihan pemasok merupakan sebuah permasalahan dimana supplier harus dipilih dari sejumlah alternatif yang ada berdasarkan kriteria yang ditentukan. Pemilihan supplier merupakan sebuah masalah multi-kriteria yang didalamnya termasuk faktor kualitas dan kuantitas. Pada dasarnya, terdapat 2 jenis masalah pemilihan supplier yaitu (Hardianti, 2011): 1. Pemilihan supplier tanpa kendala. Supplier dapat memenuhi permintaan, kualitas dan pengiriman yang diinginkan perusahaan (single sourcing). Manajemen hanya perlu membuat satu keputusan mana supplier yang baik. 2. Pemilihan supplier dengan batas limit yang dimiliki supplier.supplier tidak dapat memenuhi semua kebutuhan perusahaan. Dalam hal ini manajemen memutuskan sebuah kebutuhan perusahaan. Dalam hal ini manejemen memutuskan untuk mempertimbangkan lebih dari satu supplier. Dalam keadaan ini manajemen perlu membuat dua keputusan mengenai mana supplier terbaik dan berapa banyak item yang dapat dibeli dari masing-masing supplier. Supplier akan dipilih berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditentukan perusahaan 2.1.8 Kriteria Pemilihan Pemasok Terdapat 23 kriteria yang telah didefinisikan dalam literatur penelitian sebagai rating kriteria yang dapat digunakan sebagai panduan mengambil keputusan untuk menurutkan kepentingan kriteria. Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah (Shah & Gorty, 2011, pp. 283-291) 1. Biaya bersih (net price) termasuk potongan dan tagihan pengangkutan, yang ditawarkan oleh masing-masing supplier. 15 2. Kemampuan masing-masing supplier untuk memenuhi spesifikasi kualitas (quality) secara konsisten. 3. Pelayan perbaikan (repair service) yang diberikan oleh masing masing supplier. 4. Kemampuan masing-masing supplier untuk memenuhi jadwal pengiriman (delivery) tertentu. 5. Lokasi geografis (geographical location) dari masing-masing supplier. 6. Posisi keuangan (financial position) dan tingkat kredit dari masing masing supplier. 7. Fasilitas dan kapasitas produksi (production facilities and capacity) dari masingmasing supplier. 8. Jumlah bisnis masa lalu (amount of past business) yang dilakukan dengan masing-masing supplier. 9. Kemampuan teknis (technical capability), termasuk fasilitas riset dan pengembangan dari masing-masing supplier. 10. Manajemen dan organisasi (management and organization) dari masing-masing supplier. 11. Perusahaan yang akan dilakukan (future purchase) oleh masingmasing dari perusahaan. 12. Sistem komunikasi (communication system) dari masing-masing supplier. 13. Pengendalian operasional (operational controls), termasuk pelaporan, pengendalian kualitas, dan sistem pengendalian persediaan masingmasing supplier. 14. Posisi dalam industri (position in the industry), termasuk kepemimpinan barang (product leadership) dan reputasi dari masingmasing supplier. 15. Catatan hubungan dengan karyawan(labor relations record) dari masing-masing supplier. 16. Sikap (atitude) masing-masing supplier terhadap perusahaan. 17. Tujuan usaha (desire of business) yang ditunjukkan oleh masingmasing supplier. 18. Jaminan dan kebijakan klaim (waranty and claim policies) dari masing-masing supplier. 19. Kemampuan dari masing-masing supplier utuk memenuhi pembungkusan (packaging). 20. Kesan (impression) dari masing-masing supplier dalam pertemuan. persyaratan 16 21. Upaya-upaya pelatihan (training aids) mengenai penggunaan barang dari masing-masing supplier. 22. Kepatuhan terhadap prosedur perusahaan (compliance with company procedure) termasuk penawaran dan pelaksanaan dari masing-masing supplier. 23. Sejarah performansi (history performance) masing-masing supplier. Namun tidak semua dari kriteria-krieria diatas dipakai seluruhnya, hanya beberapa kriteria umum yang biasanya dipakai oleh perusahaan, dan perusahaan juga boleh menambahkan kriteria lain yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan bisnis. 2.1.9 Pengertian Analisis Faktor Metode analisis faktor pertama kali digunakan oleh Charles Spearman untuk memecahkan persoalan psikologi dalam tulisannya pada American Journal of Psychology pada tahun 1904 mengenai pengukuran intelektual. Menurut (J. Supranto, 2010) Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel yang banyak diubah menjadi variabel yang sedikit, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian informasi yang terkandung dalam varibel asli (original variable). Jadi kesimpulannya analisis faktor adalah alat analisis statistik yang digunakan untuk mereduksi atau mengurangi variabel yang banyak jumlahnya dan mengubahnya menjadi hanya beberapa faktor, karena variabel-variabel tersebut dibagi dan dikelompokkan menjadi beberapa faktor saja namun tetap dapat mewakili variabel awal yang banyak jumlahnya. Tujuan utama analisis faktor adalah untuk menjelaskan struktur hubungan di antara banyak variabel dalam bentuk faktor atau variabel laten atau variabel bentukan. Faktor yang terbentuk merupakan besaran acak (random quantities) yang sebelumnya tidak dapat diamati atau diukur atau ditentukan secara langsung. Selain tujuan utama analisis faktor tersebut, terdapat tujuan lainnya adalah (Rachman, 2013): 1. Tujuan pertama untuk mereduksi sejumlah variabel asal yang jumlahnya banyak menjadi sejumlah variabel baru yang jumlahnya lebih sedikit dari 17 variabel asal, dan variabel baru tersebut dinamakan faktor atau variabel laten atau konstruk atau variabel bentukan. 2. Tujuan kedua adalah untuk mengidentifikasi adanya hubungan antarvariabel penyusun faktor atau dimensi dengan faktor yang terbentuk, dengan menggunakan pengujian koefisien korelasi antarfaktor dengan komponen pembentuknya. Analisis faktor ini disebut analisis faktor kofirmatori. 3. Tujuan ketiga adalah untuk menguji valisitas dan reliabilitas instrumen dengan analisis faktor konfirmatori. 4. Tujuan keempat salah satu tujuan analisis faktor adalah validasi data untuk mengetahui apakah hasil analisis faktor tersebut dapat digeralisasi ke dalam populasinya, sehingga setelah terbentuk faktor, maka peneliti sudah mempunyai suatu hipotesis baru berdasarkan hasil analisis faktor. 2.1.10 Pengetian AHP Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu metode dari Multi Criteria Decision Making (MCDM) yang dikembangkan oleh Prof. Thomas Lorie Saaty dari Wharton Business School di awal tahun 1970. Menurut Saaty “The Analytic Hierarchy Process is a general theory of measurement. It is used to derive ratio scales from both discrete and continuous paired comparisons in multilevel hierarchic structures” (Saaty, 2012) yang berarti bahwa AHP adalah suatu teori tentang pengukuran, yang digunakan untuk menemukan skala rasio, baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu. AHP memiliki keuntungan tersendiri dimana keuntungan utama AHP adalah bahwa AHP tidak memerlukan ukuran sampel yang signifikan secara statistik. Pendekatan AHP tidak membutuhkan desain survei yang kompleks sehingga dengan demikian pendekatan ini dapat diterapkan walau hanya dengan satu responden (Baby, 2013) Dalam metode AHP, ada 3 prinsip pokok yang harus diperhatikan, yaitu (Saaty, 2012): 1. Prinsip Penyusunan Hirarki Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah untuk mendefinisikan masalah rumit dan kompleks sehingga menjadi lebih jelas dan detail. Untuk mempermudah penelitian sehingga menjadi lebih jelas maka peneliti akan 18 terlebih dahulu membuat model hirarki. Berikut contoh Model Hirarki pada penelitian AHP: Gambar 2. 1 Hirarki Keputusan Sumber: (Saaty, 2012) 2. Prinsip Menentukan Prioritas Menurut Saaty prioritas dari elemen-elemen kriteria dapat dipandang sebagai bobot atau kontribusi sebagai elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antara 2 elemen sehingga semua elemen yang tercakup. 3. Prinsip Konsistensi Logis Konsistensi jawaban para responden dalam menentukan prioritas elemen merupakan prinsip pokok yang akan menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan Adapun responden akan memberikan skala penilaian yang sering digunakan dalam metode AHP, yakni skala Saaty. Berikut tabel skala penilaian perbandingan Saaty: 19 Tabel 2. 1 Tabel Skala Perbandingan Saaty Nilai Keterangan 9 Elemen A mutlak lebih penting dibandingkan Elemen B 8 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 7 Elemen A sangat lebih penting dibandingkan Elemen B 6 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 5 Elemen A lebih penting dibandingkan Elemen B 4 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 3 Elemen A sedikit lebih penting dibandingkan Elemen B 2 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 1 Elemen A sama pentingnya dengan Elemen B 1/2 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 1/3 Elemen B sedikit lebih penting dibandingkan Elemen A 1/4 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 1/5 Elemen B lebih penting dibandingkan Elemen A 1/6 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 1/7 Elemen B sangat lebih penting dibandingkan Elemen A 1/8 Perbandingan antar elemen memiliki nilai yang berdekatan 1/9 Elemen B mutlak lebih penting dibandingkan Elemen A Sumber: (Saaty, 2012) 2.1.11 Langkah Perhitungan AHP Langkah – langkah dalam Metode AHP adalah sebagai berikut (Setyaningsih, 2011): 1. Menentukan jenis-jenis kriteria yang digunakan Penulis akan melakukan diskusi dengan pihak pengelolah terutama yang pihak yang memutuskan keputusan pembelian 2. Menyusun kriteria-kriteria tersebut dalam bentuk matriks berpasangan aij wi , i, j 1, 2,..., n wj Dimana n menyatakan jumlah kriteria yang dibandingkan, wi bobot untuk kriteria ke-i, dan aij perbandingan bobot kriteria ke-i dan j. 3. Menormalkan setiap kolom dengan cara membagi setiap nilai pada kolom ke-i dan baris ke-j dengan nilai terbesar pada kolom i. 20 aij aij max aij 4. Menjumlahkan nilai pada setiap kolom ke-i yaitu: aij i aij 5. Menentukan bobot prioritas setiap kriteria ke-i, dengan membagi setiap nilai a dengan jumlah kriteria yang dibandingkan (n), yaitu: wi ai n 6. Menghitung nilai lamda max (eigen value) dengan rumus: max a n 7. Menghitung konsistensi Index (CI) Perhitungan konsistensi adalah menghitung peyimpangan dari konsistensi nilai, dari penyimpangan ini disebut indeks Konsistensi dengan persamaan: CI max n n 1 Dimana : max =eigen value n = ukuran matriks Indeks konsistensi (CI); matriks random dengan skala penilaian 9 (1 sampai 9) beserta kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Berdasarkan perhitungan Saaty dengan menggunakan 500 sampel, jika “judgement” numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, ... , 1, 2, ... , 9, akan diperoleh rata-rata konsisten untuk matriks dengan ukuran yang berbeda, pada tabel berikut. Tabel 2. 2 Nilai Index Random (RI) 3 0.5 RI 0 0 8 N 1 2 4 0.9 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.48 1.56 1.57 1.59 Sumber: (Setyaningsih, 2011) Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai rasio konsistensi, CR 15 CI RI Matriks Perbandingan dapat diterima jika nilai rasio konsistensi (CR) < 0,1