1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya kesehatan adalah setiap jenis kegiatan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan, guna mewujudkan derajat kesehatan optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan ini terdiri dari pendekatan pemeliharaan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Konsep kesatuan upaya kesehatan ini merupakan pegangan dan pedoman yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia, termasuk rumah sakit. Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana dan fasilitas kesehatan di Indonesia yang mempunyai fungsi utama kuratif dan rehabilitatif, walaupun akhir-akhir ini banyak rumah sakit yang memasukkan program promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatannya. (Depkes RI, 2004) Pelayanan rumah sakit sekarang ini merupakan pelayanan yang bersifat sosioekonomi, yang artinya mengelola rumah sakit dengan menerapkan bisnis dan ekonomis tanpa menghilangkan fungsi sosialnya. Hal ini bertujuan agar rumah sakit dapat mandiri dalam pembiayaan untuk mengelola langsung dana yang diperoleh dari berbagai sumber di rumah sakit. Dewasa ini pelayanan rumah sakit merupakan usaha yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan yang unik dan penuh tantangan. Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, sosial ekonomi masyarakat, serta semakin mudah di bidang transportasi dan komunikasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah. Akibatnya masyarakat cenderung menuntut pelayanan rumah sakit yang lebih bermutu. (Jacobalis, 2000). Hal ini merupakan tantangan bagi seluruh pelayanan kesehatan, baik di tingkat puskesmas, rumah sakit, atau di institusi pelayanan kesehatan lainnya. Sehingga institusi pelayanan kesehatan mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dengan strategi-strategi khusus. (Yulianthi, 2012) 2 Ada 5 revenue center dalam rumah sakit, yaitu instalasi rawat jalan, instalasi gawat darurat, instalasi laboratorium (patologi klinik dan patologi anatomi), instalasi radiologi, dan instalasi farmasi. Instalasi farmasi merupakan salah satu revenue center utama karena lebih dari 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit memakai perlengkapan farmasi dan menyumbang omzet dapat mencapai 50-60% dari anggaran rumah pendapatan rumah sakit. (Trisnantoro, 2004) Pelayanan di rumah sakit mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah fungsi menjalankan penyelenggaraan pelayanan penunjang klinik dan non klinik. Pelayanan farmasi merupakan salah satu pelayanan penunjang klinik yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan rumah sakit secara keseluruhan, seperti Perawatan Intensif, Pelayanan Darah, Gizi, Sterilisasi Instrument, dan Rekam Medik. (Kemenkes RI, 2010) Pelayanan farmasi merupakan salah satu pelayanan minimal yang wajib diadakan di suatu rumah sakit yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 51 tahun 2009, pelayanan farmasi diartikan sebagai suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan tujuan mencapai hasil pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi di suatu rumah sakit dikelola oleh instalasi farmasi yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit. (Depkes RI, 2009) Tuntutan customer rumah sakit dan masyarakat akan pelayanan farmasi mengharuskan adanya perubahan pola pikir dari drug oriented ke patient oriented. Praktek pelayanan farmasi merupakan kegiatan terpadu dan terkoordinir dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah farmasi dengan masalah yang berhubungan dengan dunia kesehatan. (Depkes RI, 2004) 3 Saat ini pada kenyataanya sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum melaksanakan kegiatan pelayanan farmasi seperti yang diharapkan, mengingat banyaknya kendala, seperi kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya pengetahuan manajemen rumah sakit, kebijakan manajemen rumah sakit, terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait pelayanan farmasi rumah sakit. Hal ini mengakibatkan pelayanan farmasi rumah sakit masih berorientasi pada drug oriented yang sebatas pada penyediaan dan pendistribusian obat saja. Tidak melihat pada customer oriented. (Depkes RI, 2004) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 129/Menkes/SK/II/2008, indikator SPM pelayanan farmasi rumah sakit meliputi waktu tunggu untuk pelayanan obat jadi maksimal 30 menit sedangkan obat racikan maksimal 60 menit, tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat, kepuasan pelanggan minimal 80% dan penulisan resep secara keseluruhan harus mengacu pada formularium. (Depkes RI, 2008) Dengan semakin banyaknya permintaan obat di rumah sakit, baik yang berasal dari rawat inap dan rawat jalan, tentunya akan berdampak pada meningkatnya waktu pelayanan, waktu tunggu pasien, dan pada akhirnya akan membentuk antrian yang panjang. Hal ini bisa mengakibatkan orang menjadi malas membeli di farmasi rumah sakit. Selain itu, banyaknya pekerjaan dan jumlah tenaga kerja yang kurang di bagian farmasi, seperti mencari, mengambil, mengetiketi, mengemas obat, dan menyerahkan obat kepada pasien akan membuat 1 orang pekerja pada saat yang sama melakukan 2 pekerjaan. Yang akhirnya bisa menimbulkan human error dan meningkatnya waktu tunggu pelayanan farmasi.Sama juga hal nya pada bagian kasir yang mempunyai kendala lama dalam membaca resep untuk menghitung berapa yang harus dibayar oleh customer juga dapat menimbulkan antrian. (Widiasari, 2009) Hal ini akan menuntut kepada pelayanan farmasi supaya bisa menyediakan pelayanan yang cepat, tepat, ramah, harga kompetitif dan terjangkau, dan adanya kerjasama dengan bagian lain di rumah sakit. Faktor lingkungan dan lokasi 4 farmasi juga bisa berpengaruh terhadap kenyamanan pasien dalam menunggu obat. (Aditama, 2000) Ada beberapa metodologi yang dapat digunakan untuk memperbaiki proses pelayanan dalam manajemen operasional, antara lain: Total Quality Management (TQM), Lean Management, dan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA). TQM mencakup skala operasional organisasi (unit bisnis dan manufaktur), namun tidak dapat memenuhi skala strategis dan taktis (jejaring dan inti organisasi). Lean Management dapat memenuhi semua skala operasional, strategis, dan taktis, juga dapat mencakup unit bisnis, manufaktur, jejaring, dan inti organisasi. FMEA sama seperti Lean Management yang dapat mencakup semua hal tersebut. (Bozdogan, 2010) Lean Management merupakan suatu metode yang mengutamakan alur proses, karena kepuasan pasien dapat tercapai apabila semua pelayanan pasien dapat berjalan baik sesuai dengan alur prosesnya. Oleh sebab itu, hal-hal yang menghambat alur proses (waste) harus dihilangkan, karena dapat mengganggu kelancaran proses pelayanan. Pelayanan kesehatan berdasarkan Lean Management adalah pelayanan kesehatan yang memperhitungkan dengan cermat pengeluaran sumber daya untuk segala sesuatu dan menghilangkan semua pemborosan. Lean berarti menggunakan sedikit waktu, uang, persediaan, dan ruang untuk meningkatkan nilai perspektif bagi pasien (Graban, 2009). Tujuan penggunaan Lean Management ini adalah meniadakan semua pemborosan dari suatu proses untuk meningkatkan nilai dari perspektif pasien. Pasien diharapkan tidak menunggu terlalu lama, tidak membayar terlalu lebih untuk penggunaan sumber daya tetapi tidak memberi nilai tambah bagi pasien itu sendiri. Bagi pasien dengan waktu tunggu yang lama akan menimbulkan ketidakpuasan. Sehingga banyak kerugian jangka panjang yang akan dialami oleh rumah sakit tersebut. Misalnya memperkecil kemungkinan pasien akan kembali ke rumah sakit yang sama di masa yang akan datang, pasien akan menceritakan ketidakpuasan dengan rumah sakit kepada orang lain, menurunkan system perawatan kesehatan yang kompetitif, dan menurunkan kepercayaan pasien 5 kepada farmasi rumah sakit yang menyebabkan kekurangpatuhan pasien terhadap informasi yang diberikan oleh pihak farmasi rumah sakit. (Afolabi dan Erhun, 2005). Oleh karena itu sekarang ini, menurunkan waktu tunggu pasien sudah dianggap penting dan menjadi tujuan bagi sebuah rumah sakit. (Slowiak et al, 2008) Metode Lean Management ini telah digunakan di rumah sakit seluruh dunia dan mendapatkan hasil yang positif. Beberapa contoh di antaranya adalah mengurangi waktu pelayanan labroratorium klinik sebesar 60% tanpa menambah peralatan baru atau petugas laboratorium baru di Alegent Health, Nebraska. Mengurangi waktu sterilisasi alat medis sebesar lebih dari 70% di Kingston General Hospital, Ontario. Mengurangi jumlah kematian pasien yang berhubungan dengan infeksi melalui pembuluh darah sebesar 95% di Allegberry Hospital, Pennsylvania. Mengurangi waktu tunggu pasien untuk operasi orthopedic dari 14 minggu menjadi 31 jam (dari pertama kali datang sampai operasi) di ThedaCare, Wisconsin. Meningkatkan pendapatan dari pembedahan sebesar $808.000 per tahun di Ohio Health, Ohio. (Graban, 2009) Dari hasil penerapan Lean Management di rumah sakit di atas, maka dapat diketahui bahwa metode ini dapat digunakan untuk mencari solusi dari permasalahan di bagian farmasi, misalnya seperti mengurangi waktu tunggu, mengurangi biaya pengelolaan obat, mengurangi terapi yang tidak diperlukan, sehingga dapat berdampak pada kepuasan pasien dan peningkatan penghasilan rumah sakit. Pelayanan Kesehatan St. Carolus merupakan institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanannya melalui Rumah Sakit St. Carolus dan balkesmasbalkesmas yang berada di Jakarta. Dalam pelayanannya PKSC mengutamakan keselamatan pasien dan selalu berusaha memberikan pelayanan dengan penuh kasih. Rumah Sakit St Carolus berdiri pada tanggal 21 Januari 1919 oleh Perhimpunan Carolus dengan kapasitas 40 tempat tidur. Berdirinya PKSC diawali oleh kedatangan 10 suster CB ke Batavia, yang membaktikan dirinya dalam karya kesehatan di Indonesia. Pelayanan Kesehatan St. Carolus terletak di jalan Salemba 6 Raya 41 merupakan rumah sakit swasta non profit milik Perhimpunan St. Carolus, di bawah Keuskupan Agung Jakarta. Rumah Sakit St. Carolus ini termasuk rumah sakit Tipe B berkapasitas 386 tempat tidur. Sedangkan Balai Kesehatan Masyarakat yang berada di 5 wilayah DKI berada di Paseban, Tanjung Priok, Klender, Cijantung, dan Cengkareng, merupakan pelayanan kesehatan yang melayani langsung kepada semua tingkat sosial masyarakat secara paripurna dan terpadu. (http://rscarolus.or.id/profil/tentang-pksc/,2014) Pelayanan farmasi di Pelayanan Kesehatan St Carolus dilayani oleh Farmasi Satelit yang tersebar di 4 lokasi yaitu farmasi satelit URJ Utara, Farmasi Satelit URJ Selatan, Farmasi Satelit 24 jam dan Farmasi Satelit Anak, dengan suasana baru ruang tunggu yang nyaman dan harga obat kompetitif. (http://rscarolus.or.id/pelayanan-penunjang/farmasi/,2014). Farmasi 24 jam terletak di dekat Unit Gawat Darurat dan ruang perawatan. Farmasi anak hanya melayani resep yang berasal dari poli anak. Farmasi URJ Utara dan URJ Selatan seperti namanya berada di Unit Rawat Jalan Utara dan Selatan. Pelayanan Kesehatan St Carolus memiliki 2 Unit Rawat Jalan, yaitu URJ Utara dan URJ Selatan. Poliklinik spesialis dan subspesialis memberikan pelayanan kesehatan setiap hari Senin sampai dengan Jumat dari jam 08.00 – 21.00 dan hari Sabtu pada pukul 08.00 – 14.00. Unit Rawat Jalan Utara terdapat PJPK (Pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan), poliklinik spesialis bedah, obstetri dan gynekologi, mata, dan THT. Sedangkan di Unit Rawat Jalan Selatan terdapat poliklinik penyakit dalam, jiwa, dan anak. Di mana Farmasi URJ Selatan lebih sibuk dan ramai dikarenakan lebih banyak nya obat racikan dibanding non racikannya. Sedangkan di URJ Utara tidak terlalu ramai dibandingkan dengan Selatan, tetapi resep dr poliklinik spesialis yang terdapat di URJ Utara lebih banyak ditebus pasien di Farmasi URJ Selatan. Menurut wawancara dengan petugas farmasi, hal ini disebabkan letak farmasi URJ Utara di tengah-tengah Unit Rawat Jalan Utara, dibandingkan dengan Farmasi Unit Rawat Jalan Selatan yang terletak bersebelahan dengan pendaftaran. 7 Di PKSC, pada tahun 2011 menerapkan standar pelayanan minimal untuk waktu tunggu resep racikan kurang dari 30 menit dan non racikan kurang dari 15 menit. Dari penelitian sebelumnya pada tahun 2011, rata-rata waktu tunggu untuk resep non racikan 21,90 menit dan racikan 39.49 menit, rata-rata waktu tunggu yang melebihi standar untuk resep non racikan 69,74% dan racikan 70% di farmasi URJ Selatan. Sedangkan di farmasi URJ Utara sampai saat ini belum pernah diteliti. Hal ini dikarenakan URJ Utara lebih banyak melayani karyawan melalui klinik PJKP. Tetapi dari wawancara dengan bagian farmasi URJ Utara masih kurang lebih 60% dari total resep yang masuk masih melebihi SPM rumah sakit. Catatan waktu tunggu di Pelayanan Kesehatan St Carolus 21 Juli 2012- 27 Juli 2012 di Unit Rawat Jalan Selatan adalah : TABEL 1.1. Waktu Tunggu di URJ Selatan PKSC 21 Juli 2012 – 27 Juli 2012 Rata-rata Waktu Pelayanan Jumlah Resep yang Pelayanannya Melebihi Standard Waktu yang Telah Ditetapkan Resep Non Racikan Resep Racikan 21.7 Menit 37.6 Menit 256 Lembar 52 Lembar (68.9%) (69.8%) Di PKSC terjadi perubahan standar pelayanan minimal untuk waktu tunggu resep racikan kurang dari 60 menit dan non racikan kurang dari 30 menit. Perubahan ini disebabkan karena PKSC mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal di RS sejak bulan November 2014. Hal ini disebabkan untuk mengevaluasi terus menerus kinerja pelayanan farmasi. Jika pelayanan meningkat maka standar juga akan semakin ditingkatkan. Farmasi Unit Rawat Jalan Utara dan Selatan mempunyai alur kerja yang sama yaitu petugas menerima resep obat dari pasien, kemudian petugas 8 menetapkan harga untuk pasien. Jika pasien setuju baru obat disiapkan dan diracik untuk obat racikan. Setelah itu obat diberi etiket dan dikemas. Kemudian obat diserahkan kepada pasien. Penelitian ini akan dilakukan di farmasi Unit Rawat Jalan Utara dan Selatan PKSC, di mana jumlah waktu tunggu farmasi pasien sudah melebihi standard yang seharusnya. Bahkan, apotek dan PKSC bisa kehilangan pelanggan karena ketidakpuasan dengan waktu menunggu. Akan tetapi data obyektif sehubungan dengan waktu tunggu belum diperiksa secara rutin dan berkesinambungan, hanya diperiksa bila ada momen tertentu. (Slowiak et al, 2008) Berdasarkan perbedaan karakteristik yang dimiliki kedua farmasi tersebut, penulis terdorong untuk menganalisis karakteristik dan proses bisnis yang dapat memenuhi standar waktu pelayanan resep pasien rawat jalan di unit rawat jalan Pelayanan Kesehatan St Carolus Jakarta dari mulai resep diserahkan pasien sampai dengan obat diterima pasien. Masalah waktu tunggu farmasi yang efektif erat hubungannya dengan proses pelayanan farmasi yang efektif. Oleh sebab itu, pemborosan-pemborosan yang terjadi di proses pelayanan farmasi harus diidentifikasi jenis dan penyebabnya satu per satu, sehingga proses dapat diperbaiki dan dapat dilakukan pencegahan agar hal tersebut tidak muncul lagi. B. Perumusan Masalah Dari perbedaan karakteristik di atas, penulis merumuskan masalah – masalah waktu tunggu yang dimiliki oleh PKSC adalah : 1. Farmasi URJ Selatan masih memiliki waktu tunggu dan jumlah resep yang melebihi standar yang telah ditentukan, sedangkan farmasi URJ Utara belum pernah diteliti. 9 2. Jenis dan penyebab pemborosan (waste) dalam proses pelayanan farmasi yang dapat mempengaruhi waktu tunggu farmasi di Farmasi Unit Rawat Jalan Utara dan Selatan. C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum 1. Mengetahui proses pelayanan farmasi di Farmasi URJ Utara dan Selatan di PKSC. 2. Mengukur rata-rata waktu tunggu di Farmasi URJ Utara dan Selatan di PKSC. Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan antara jumlah jenis obat per lembar resep dengan waktu tunggu farmasi di Farmasi URJ Utara dan Selatan di PKSC Jakarta. 2. Mengetahui hubungan antara jumlah petugas farmasi dengan waktu tunggu farmasi di Farmasi URJ Utara dan Selatan di PKSC Jakarta. 3. Mengetahui hubungan antara shift petugas dengan waktu tunggu farmasi.di Farmasi URJ Utara dan Selatan di PKSC Jakarta. 4. Mendeskripsikan jenis dan penyebab pemborosan (waste) dalam proses pelayanan pelayanan farmasi yang mempengaruhi waktu tunggu di Farmasi URJ Utara dan Selatan di PKSC jakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi PKSC Jakarta :. • Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan manajemen farmasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas 10 pelayanan resep di Instalasi Farmasi PKSC Jakarta pada umumnya dan Unit Rawat Jalan Utara serta Selatan pada khususnya. 2. Bagi Peneliti : • Menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan serta mendapatkan pengetahuan dan pengalaman saat melakukan penelitian, • Memperkaya wawasan dalam bidang kesehatan masyarakat pada umumnya terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu pelayanan resep, • Hasil penelitian dapat dijadikan bahan atau acuan dalam penelitian selanjutnya. 3. Bagi Masyarakat : • Mendapatkan pelayanan farmasi dengan cepat, tepat, ramah, dan harga terjangkau. E. Keaslian Penelitian Daftar penelitian sejenis yang pernah dilakukan: 1. Tahun 2012, penulis Renni Septini dengan judul Analisis Waktu Tunggu Pelayanan Resep Pasien Askes Rawat Jalan di Yanmasum Farmasi RSPAD Gatot Soebroto tahun 2011. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung dengan kualitatif dengan sampel berjumlah 124 resep ASKES. Hasil dari penelitian adanya ketidaksesuaian antara waktu tunggu resep non racikan dan racikan pasien ASKES dengan standar. 2. Tahun 2011, penulis Yulianthi dengan judul Analisis Waktu Tunggu Pelayanan Resep Pasien Umum di Farmasi URJ Selatan Pelayanan Kesehatan St Carolus tahun 2011. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross Sectional dan jenis penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan sampel berjumlah 106 lembar resep umum. Hasil dari penelitian ini adanya 11 ketidaksesuaian antara waktu tunggu resep non racikan dan racikan pasien umum dengan standar. 3. Tahun 2009, penulis Erni Widiasari dengan judul Analisis Waktu Pelayanan Resep Pasien Rawat Jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Tugu Ibu Depok Tahun 2009. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross Sectional dan jenis penelitian kuantitatif dengan sampel 399 lembar resep. Hasil dari penelitian ini adanya kesesuaian antara waktu tunggu resep racikan dengan standar dan ketidaksesuaian antara waktu tunggu resep non racikan dengan standar. 4. Tahun 2012, penulis Jenkins dan Eckel dengan judul Application of lean methods to compounding services in hospital pharmacy. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Action Research Project. Hasil dari penelitian ini adalah meningkatkan penggunaan Value Added waktu pelayanan farmasi dalam proses dispensing. Perbedaan penelitian ini dengan keempat penelitian di atas adalah dilihat dari lokasi penelitian di Unit Rawat Jalan Utara dan Selatan PKSC Jakarta (Renni Septini di RSPAD Gatot Subroto, Yulianthi di Unit Rawat Jalan Selatan PKSC Jakarta, dan Erni Widiasari di RS Tugu Ibu Depok) dan pada penelitian ini penulis akan lebih melihat dari proses pelayanan farmasi, jumlah jenis obat per lembar resep, jumlah petugas farmasi,dan shift petugas,. Selain itu penulis juga akan mengidentifikasikan jenis dan penyebab pemborosan (waste) dalam proses pelayanan farmasi yang dapat mempengaruhi waktu tunggu farmasi di Farmasi Unit Rawat Jalan Utara dan Selatan.