MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial : Bahasan Psikologi PSIKOLOGI SOSIAL Fakultas Program Studi Fakultas Ilmu Komunikasi Public Relations Tatap Muka 05 Kode MK Disusun Oleh 85002X Fit Yanuar S.Isip. Abstract Kompetensi Modul ini hendak memperkenalkan mahasiswa tentang konsep-konsep psikologi sosial dan masalah-masalah dalam psikologi sosial. Mahasiswa mengerti akan konsep psikologi sosial dan masalah-masalah dalam psikologi sosial. Psikologi Sosial KONSEP PSIKOLOGI SOSIAL Ilmu yang dikenal dengan sebutan psikologi muncul pada tahun 1879, dan psikologi sosial merupakan cabang termuda dari psikologi itu (Sarwono: 2002). Sebagai ilmu baru, masih belum mudah menemukan rumusan definisi yang tepat bagi psikologi sosial. Bahkan, menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ilmuwan psikologi Indonesia, besar kemungkinan rumusan tunggal tentang psikologi sosial tak akan pernah tercapai, mengingat ruang lingkup psikologi sosial yang sangat luas. Walaupun demikian, baik jika diangkat beberapa definisi psikologi sosial yang pernah disampaikan oleh ahli-ahlinya. Sherif & Muzfer (dalam Ibid.) mendefinisikan psikologi sosial sebagai ilmu tentang pengalaman dan perilaku individu dalam kaitannya dengan stimulus sosial. Stimulus atau rangsangan sosial yang dimaksud di sini bukan hanya berupa orang yang sedang terlibat dalam interaksi sosial dengan pelakunya, melainkan juga dapat berupa benda-benda dan hal-hal lain yang bernilai sosial dan mempengaruhi perilaku orang secara sosial pula. Misalnya, sebuah mesjid. Walaupun mesjid hanya berupa bangunan biasa, namun benda ini mempunyai nilai sosial tertentu sehingga orang selalu membuka sepatu atau sandal jika memasukinya. Mesjid di sini adalah stimulus sosial yang dimaksud. Menyangkut stimulus sosial, Sherif & Muzler menggolongkannya berupa pembagian berikut: 1. Orang lain, yang terdiri dari: a. Orang atau orang lain sebagai stimulus atau stimuli. b. Kelompok orang sebagai stimuli itu. 2. Produk kultural (budaya), berupa: a. Material: gereja, patung, berlian, uang, busana, dan sebagainya. b. Non-material: upacara perkawinan, sistem kekerabatan, organisasi politik, agama, konsep tentang manusia, demokrasi, hak asasi, dan sebagainya. 2013 2 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Terdapat pula definisi psikologi sosial lainnya yang diusung oleh Sarwono (Ibid.: 7). Krech, Cructhfield & Ballachey menyatakan psikologi sosial adalah ilmu tentang peristiwa perilaku hubungan interpersonal. Definisi ini jelas merujuk kepada situasi saat ini (peristiwa). Masa lalu kurang diperhatikan jika menggunakan ukuran ketiga ilmuwan ini. Lalu Watson menyatakan psikologi sosial adalah ilmu tentang interaksi manusia. Dalam hal ini benda tak masuk dalam lingkup perhatian Watson. Dewey & Huber mengatakan pula psikologi sosial adalah studi tentang manusia individual ketika ia berinteraksi, biasanya secara simbolik dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan simbol dalam interaksi simbolik adalah lambang-lambang dalam interaksi manusia, berupa kata-kata, huruf-huruf, tanda lalu lintas, tanda pangkat, dan sebagainya. McDavid & Harari menyatakan psikologi sosial sebagai studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individual dalam kaitan dengan individu lain, kelompok, dan kebudayaan. Pandangan mereka mirip dengan Sherif & Muzler. Ada pula Jones & Gerrard yang mengatakan psikologi sosial adalah subdisiplin dari psikologi yang mengkhususkan diri pada studi ilmiah tentang perilaku individual sebagai fungsi rangsangan (stimulus) sosial. Lalu, Shaw & Costanzo mengatakan psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku individual sebagai fungsi rangsang-rangsang sosial. Perbedaan antara Jones & Gerrard dan Shaw & Costanzo adalah bahwa yang disebut pertama masih merujuk kepada psikologi umum sebagai induk psikologi sosial, sementara Shaw & Costanzo sudah berupaya untuk menonjolkan psikologi sosial sebagai sebuah ilmu tersendiri. Terakhir, Baron & Byrne menyatakan psikologi sosial adalah bidang ilmiah yang mencari pengertian tentang hakikat dan sebab-sebab dari perilaku dan pikiran-pikiran indivisu dalam situasi sosial. Sarwono (Ibid.: 10) menyebut bahwa definisi Baron & Byrne ini sebagai termasuk yang paling maju, sebab tidak hanya mempelajari perilaku, tetapi juga mencari pemahaman dan sebab-sebab dari perilaku itu. PERSPEKTIF PSIKOLOGI TENTANG MASYARAKAT Psikologi dalam tahap-tahap awal berdirinya sebagai sebuah ilmu kiranya sudah mendeteksi bahwa ‘jiwa umat manusia’ berbeda dengan ‘jiwa individual’. Wundt, pendiri laboratorium psikologi pertama di dunia (pada tahun 1879) menyebut psikologi sosial sebagai psikologi rakyat, di mana rakyat yang sedang diungkap di sini merujuk kepada masyarakat dan kelompok orang. Dikatakan Wundt, rakyat mempunyai ‘jiwa’ yang berbeda dengan ‘jiwa’ perorangan. Nantinya pandangan ini mempengaruhi pemikiran Emile 2013 3 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Durkheim, sosiolog terkemuka, yang pernah menelurkan teori tentang perilaku masyarakat (ibid.: 11). Apakah Manusia Bersifat Sosial? Psikologi mencatat dua kubu yang bertentangan dalam menjawab pertanyaan di atas (Ibid.: 37). Yang pertama didasarkan pada pendapat sebuah kaum yang disebut kaum Stoic yang berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari keteraturan yang alamiah dan rasional sehingga mempunyai tanggung jawab satu sama lain dan secara bersama-sama mengejar kebahagiaan. Oleh karenanya, manusia bersifat kooperatif, etis, altruis (suka menolong), dan penuh cinta kasih. Pandangan kedua adalah pendapat kaum Epicurean, yang menyatakan manusia pada dasarnya hedonistik, tertarik pada interes atau kepentingannya sendiri. Masyarakat dalam pandangan ini terbentuk karena interes individu untuk bergabung demi keamanan dirinya sendiri dan demi kehidupan ekonomi yang lebih baik. Di sini manusia tergambarkan sebagai mau menang sendiri, kompetitif, hedonistik, dan pencari kesenangan. Kedua pendekatan ini mempunyai kelemahan. Jika manusia dianggap kooperatif, lalu mengapa terjadi juga peperangan? Sebaliknya, jika manusia itu hedonis mengapa masyarakat tetap ada terus? Thomas Hobbes berkata, pada dasarnya ini terjadi karena ketakutan manusia pada kematian. Rasa takut ini membuat manusia hedonis pada dasarnya mau bekerjasama dan memberi celah pada kebebasan diri yang diinginkannya. Dalam kondisi takut pada mati ini lebih baik bagi manusia untuk berkumpul dalam kelompoknya yang disebut masyarakat, sehingga akan ada yang membelanya jika ia hendak dibunuh oleh kelompok lain. Minimal ia membutuhkan keluarganya (Ibid: 38). Hakikat Manusia Ada empat hakikat manusia yang diangkat Sarwono: manusia sebagai hewan, sebagai pencari keuntungan, sebagai salah satu unsur dalam lingkungan fisika, dan sebagai ilmuwan (Ibid.: 39). Manusia sebagai hewan merujuk kepada penggunaan naluri dasar yang mengendalikan dan mengarahkan perilakunya agar dapat bertahan dari segala ancaman. Naluri dasar itu adalah hubungan seksual, makan, pertahanan diri,, dan pertahanan kelompok terhadap serangan dari pihak lain. Menurut Sigmund Freud (1856-1939) ada dua jenis naluri atau insting: yaitu insting seksual atau libido (untuk kelangsungan keturunan dan jenis), dan insting ego (untuk kelangsungan hidup atau preservasi). 2013 4 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Manusia sebagai pencari keuntungan didasarkan pada prinsip hedonistik yang telah disampaikan di atas. Dalam konteks berlakunya hubungan antar manusia yang terlihat di dalam masyarakat, maka berlaku teori timbal-balik (exchange theory). Di sini hubungan itu terjadi karena prinsip untung-rugi (reward-cost ratio). Hanya jika ada keuntungan dari hubungan itulah manusia mau berinteraksi. Jika tidak ada keuntungan, manusia pun menarik diri dari hubungan antarmanusia tersebut. Hakikat manusia sebagai salah satu unsur dalam lingkungan fisika dilihat dari pandangan Thomas Hobbes yang terpengaruh oleh pemikiran fisikawan Galileo dan Newton. Menurut pandangan ini, setiap gerak tubuh manusia merupakan refleksi dari operasi gabungan berbagai daya yang ada di alam ini. Ini disebut sebagai sumber dari motivasi manusia. Motivasi manusia, kata Hobbes, tak lain dari gerak miniatur (miniature motion) di dalam tubuh (Ibid.: 42). Model ala Newton ini digunakan dalam menerangkan hubungan antarmanusia. Seorang anak yang meraih kue di atas meja disebabkan karena kue itu mempunyai daya tarik yang kuat bagi anak. Demikian juga pemuda yang mengejarngejar seorang gadis yang disukainya, adalah karena gadis itu mempunyai daya tarik bagi si pemuda. Adapun hakikat manusia sebagai ilmuwan maksudnya karena manusia punya kecenderungan untuk mengerti lingkungan fisik dan sosialnya. Selain itu, ia pun ingin mengontrol lingkungannya itu. Dalam hal ini manusia menggunakan daya pikirnya, bagaikan seorang ilmuwan. Di dalam psikologi, terdapat sebuah aliran yang mengkaji tentang fenomena ini, bernama psikologi kognitif. Jika terdapat sebuah fenomena sosial yang hubungan antara variabelnya tidak ‘nyangkut’ dalam pikiran si ‘manusia ilmuwan’ tadi maka terjadilah sesuatu yang disebut sebagai disonansi kognitif. Misalnya melihat seseorang melihat orang lain membawa payung dan dalam keadaan basah kuyup padahal cuaca sedang cerah, maka terjadilah disonansi kognitif itu. DASAR-DASAR PERILAKU SOSIAL Kelahiran perilaku sosial ditandai dengan terbitnya dua buah buku berjudul sama, yaitu Psikologi Sosial (Social Psikologi) pada tahun 1908 yang ditulis oleh dua ilmuwan dari dua displin ilmu yang berbeda, yaitu W.McDougall dari displin psikologi, dan Ross dari disiplin sosiologi (Ibid.: 11). McDougall menerangkan perilaku sosial dengan teori-teori insting, bahwa manusia berperilaku sosial adalah karena nalurinya. Sementara Ross menerangkan teori struktur sosial, bahwa manusia berperilaku sosial karena adanya tata aturan dalam masyarakat yang harus diikuti oleh manusia itu. 2013 5 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pada tahun 1924, F.Allport menerbitkan buku dengan judul yang sama, dalam pandangan yang lebih modern. Ia sudah menggunakan pendekatan individual dalam menerangkan perilaku sosial. Allport mengatakan perilaku sosial bukan hanya disebabkan oleh insting atau naluri, dan juga tidak semata-mata dipengaruhi oleh struktur sosial. Menurutnya perilaku sosial terjadi pada individu karena berbagai faktor yang majemuk yang secara bersama-sama mempengaruhi individu tersebut (Ibid.: 12). Pada tahun 1935, Sherif melakukan penelitian tentang psikologi sosial. Dari hasil eksperimennya, Sherif menyimpulkan bahwa individu berperilaku dengan berpatokan pada norma sosial (Ibid.). Ia juga menjelaskan bagaimana interaksi timbal balik antara perilaku individu dan norma sosial, sesuatu yang merupakan dasar penting dari pengembangan teori psikologi sosial setelahnya. Berdasarkan pemikiran-pemikiran dari ahli psikologi sosial, diketahui ruang lingkup dari psikologi sosial adalah (Ibid.: 20): 1. Pengaruh sosial terhadap proses individual. 2. Proses-proses individual bersama, yang menyangkut bahasa, sikap sosial, kepercayaan, prasangka, dan sebagainya. 3. Studi tentang interaksi kelompok. Motivasi Sebagai Sumber Perilaku Manusia Motif adalah sumber perilaku manusia. Motif pada manusia sudah terlihat ketika manusia itu masih bayi. Bayi sudah bisa membedakan antara ibunya atau orang yang terbiasa mengasuhnya dengan orang yang tak ia kenal. Pada ibunya, atau orang yang terbiasa mengasuhnya, bayi langsung lengket. Terdapat beberapa teori tentang motif, sebagai berikut: 1. Teori insting Untuk menerangkan perilaku manusia, pada awalnya para pakar merujuk kepada insting. Pada tahun 1924 saja, terdapat 400 teori tentang insting, dan hampir 6000 jenis aktivitas manusia yang disebut sebagai insting. Aktivitas itu mulai dari aktivitas seksual, sampai kepada aktivitas mengumpulkan perangko. Teori ini semakin ditinggalkan, karena motivasi manusia tidak dapat dijelaskan hanya karena insting lagi. 2. Konsep dorongan (drive) 2013 6 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Setelah meninggalkan konsep insting, pakar psikologi mencari penyebab perilaku pada ‘ketegangan’ (tension) yang terjadi pada otot dan kelenjar tubuh manusia kala haus, lapar, dan sebagainya. Ketegangan ini menimbulkan dorongan berperilaku, seperti mencari minuman, makan, dan lain-lain. Umumnya dorongan menyangkut perilaku yang bersifat biologis dan fisiologis, seperti makan, minum, tidur, seks, dorongan bermain, dan lain-lain. 3. Teori Libido dan Ketidaksadaran Ini adalah teorinya Freud yang sangat berorientasi biologik. Motif manusia bersumber pada stress internal, yang terdiri atas insting dan dorongan yang bekerja dalam alam ketidaksadaran manusia. Menurut Freud, semua insting dan dorongan pada manusia bermuara kepada libido sexualis (dorongan seks) yang sebagian besar tidak dapat dikendalikan oleh manusianya (karena bekerjanya dalam alam ketidaksadaran). 4. Perilaku Purposif dan Konflik Di sini dikatakan bahwa perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh rangsangan atau stimuli dari luar diri manusia, akan tetapi juga ditentukan oleh organisme atau orang itu sendiri. Perilaku menurut cara pandang ini selalu memiliki tujuan. Adapun stimuli tak hanya berupa stimuli yang positif, juga negatif. Ini bergantung kepada nilai-nilai yang dianut oleh manusianya. Jika stimulinya tidak sesuai nilai seseorang maka ia akan menilainya secara negatif, menolaknya, bahkan bisa jadi ia akan melawannya, sehingga terjadilah konflik. 5. Otonomi Fungsional Motivasi manusia di sini berkembang, tidak harus sama dengan motivasi awalnya. Misalnya seseorang yang menjual soto untuk mendapatkan nafkah. Setelah penjualan sotonya berkembang, katakanlah punya cabang di mana-mana, tetap saja pelakunya berjualan soto terus. Padahal kalau ia tak berjualan soto pun nafkahnya sudah terpenuhi. Sekarang tujuan orang ini bukan lagi mencari nafkah (motif awal), melainkan mencari kepuasan tersendiri (otonomi fungsional). 6. Motif Sentral Banyak pakar psikologi yang meragukan adanya satu motif sentral yang bisa merangkum semua jenis motof manusia. Akan tetapi tetap saja beberapa peneliti mencari motif sentral itu. Goldstein misalnya, pada tahun 1939 mengemukan “aktualisasi diri” sebagai motif tunggal pada manusia. Menurut Goldstein, setiap perilaku manusia didasarkan pada kebutuhan untuk melindungi diri (self) dan mengurangi kecemasan serta mencari 2013 7 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kemapanan bagi dirinya sendiri. Motif seperti ini terlihat pada paham-paham keagamaan seperti Yahudi, Kristen, Islam, dan Buddha. Pengembangan dari motif aktualisasi diri terdapat pada teori A.H.Maslow yang dikenal luas sejak 1959, yang menempatkan aktualisasi diri sebagai motif tertinggi manusia di atas empat empat motif lain yang tersusun secara hierarkhis, yaitu motif primer atau fisiologis, motif rasa aman, motif rasa memiliki, dan motif harga diri. Tentang Kebutuhan dan Keinginan Manusia memiliki kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan merupakan hal mendasar yang melekat pada diri manusia, baik secara fisiologis maupun kejiwaan. Soerjono Soekanto (2003: 359) berkata, secara biologis, manusia mempunyai dua kebutuhan yang fundamental, yaitu kebutuhan pada makanan dan hidup. Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang berdasarkan pada kebutuhan biologis, berkembang pula kebutuhan– kebutuhan lain yang sifatnya sosial, misalnya kedudukan sosial, peran sosial, dan sebagainya. Apabila individu tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis dan sosialnya maka hidupnya akan tertekan. Dia akan merasa hidupnya tak berguna. Keinginan merupakan ekspresi dari kebutuhan yang sifatnya kejiwaan. Sehingga keinginan dapat pula disebut sebagai hasrat. Dalam hal ini dikenal yang namanya hasrat seksual, hasrat makan yang berlebihan (melebihi kebutuhan biologisnya), hasrat berkuasa, dan lain-lain. Dalam konteks hubungan antarmanusia, dikenal dua hasrat pokok manusia: a. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat), dan b. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya. Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan di atas, manusia pun menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Manusia yang dianggap normal secara sosial adalah yang berhasil mengendalikan kebutuhan vs keinginan, dengan mengkombinasikan penggunaan pikiran, perasaan, dan kehendak (motivasi) yang dimilikinya. Teori-Teori dan Penelitian Perilaku Sosial Konsep-konsep perilaku sosial mengenal pandangan psikoanalisis dari Sigmund Freud. Menurut Freud, dasar perilaku adalah insting (inborn motives) yang bertempat dalam alam ketidaksadaran. Ketidaksadaran adalah ciri utama psikoanalisis. Ada dua jenis insting, yaitu eros (naluri kehidupan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan individu atau 2013 8 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id spesies) dan tanatos (naluri kematian, dorongan untuk menghancurkan yang ada pada setiap manusia, dan dinyatakan dalam perkelahian, pembunuhan, perang, sadisme, dan sebagainya). Freud menjelaskan tidak semua naluri tercetus menjadi perilaku. Naluri yang bersifat seksual dan agresivitas akan selalu bertentangan dengan norma-norma. Oleh karena itu ada mekanisme dalam jiwa atau kepribadian manusia yang mengendalikan naluri itu (Sarwono: 58). Menurut Freud, ada tiga komponen dalam kepribadian, yaitu Id yang selalu berprinsip mau memenuhi kesenangannya sendiri (pleasure principle), termasuk di dalamnya naluri seks dan agresivitas. Lalu ada ego yang selalu berorientasi pada kenyataan (reality principle), dan terakhir ada super-ego yang selalu berpatokan pada norma-norma yang baku (moral standard). Dinamika kepribadian dalam teori ini adalah ‘pertempuran’ antara ketiga komponen kepribadian tersebut. Id yang hanya mencari kesenangan itu merengek dan meminta terus agar hasrat-hasratnya selalu dipenuhi, tetapi ego melihat realitas terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Id, dan akan mempertimbangkan pendapat super-ego yang pada gilirannya selalu mempertimbangkan norma-norma masyarakat yang sudah diserap sebagai nilai-nilai diri sendiri. Carl Gustav Jung (1875-1961), yang adalah murid Freud, mengembangkan teorinya sendiri karena ketidaksetujuannya pada pendekatan Freud yang terlalu berorientasi pada seks. Jung menekankan teori psikoanalisisnya pada ketidaksadaran kolektif dan pribadi yang masing-masing menyimpan pengalaman dari masa sebelum dilahirkan dan masa kanak-kanak. Termasuk di sini adalah tabu-tabu dan takhayul-takhayul yang menjadi melekat pada individu dan kolektif. Jung berteori ada tiga macam kepribadian, yakni introvert (cenderung menyendiri), ekstrovert (terbuka dan mudah bergaul), dan ambivert ambivalen (yang berada di antara kedua golongan tadi). Di samping itu Jung membagi tipe reaksi manusia ke dalam empat jenis, yaitu rasional (yang mendasarkan perilaku pada akalnya), intuisi (perkiraan), emosi (perasaan), dan sensasi (penginderaan). Dalam konteks perilaku sosial di Indonesia, ada beberapa hasil penelitian yang menarik untuk dikemukakan. Semuanya diangkat dari Sarwono (Ibid.: 87). Veeneklaas melakukan penelitian tentang perilaku orang Jawa, dengan hasil: manusia Jawa tidak melihat pembedaan dirinya dengan lingkungannya. Orang Jawa membuat kesatuan diri dengan berbagai segi kehidupan, seperti agama, ekonomi, seni, ilmu, permainan, dan lainlain. Ada pula penelitian Anderson (1990) yang melihat orang Jawa yang menyatukan dirinya dengan seluruh aspek kehidupan itu menjadi malas karena kerja yang dapat terhenti 2013 9 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id demi agama dan jadi tidak berdaya, karena ia bergantung kepada kekuasaan orang lain. Yang menarik, hasil penelitian ini memberitahu bahwa orang yang mencari dan mendapat kekuasaan justru akan mempertahankannya mati-matian, mengingat sekali kekuasaan itu berpindah tangan ia akan sulit merebutnya kembali. Penelitian Howee (1980) memperlihatkan bahwa orang Jawa juga cenderung mencari penyelesaian persoalan pada perkumpulan-perkumpulan kebatinan, karena agama, Tuhan, ekonomi, jabatan, dan sebagainya, dianggap menjadi satu dalam sistem yang hanya dapat dikuasai melalui pelatihan kebatinan. Dalam bidang gangguan jiwa, struktur kognisi yang tidak terkategorisasikan dengan jelas ini menyebabkan gejala yang khas Jawa (mungkin juga Indonesia), yaitu “latah” (mengulangi kata-kata atau gerak tanpa kendali) pada wanita, dan “amuk” (agresi yang sangat intens dan akut, tetapi hanya berlangsung beberapa saat) pada pria. Kedua gejala tersebut pada umumnya terjadi pada orang dari lapisan masyarakat bawah yang pengetahuannya terbatas dan secara tiba-tiba harus berhadapan dengan stres. KEPEMIMPINAN, KELOMPOK, PERAN KELOMPOK KEPEMIMPINAN Anda, mahasiswa komunikasi, menurut pendapat saya wajib mempelajari kepemimpinan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama. Kepemimpinannya sungguh mempesona. Bangsa Indonesia takluk dengan kharismanya. Bangsa ini memberikan anugerah Presiden Seumur Hidup kepadanya. Carilah rekaman-rekaman videonya. Perhatikan retorikanya ketika ia berbicara, perhatikan sorot matanya, gerakan tangan dan telunjuknya, gerakan tubuh (body language)-nya. Sungguh luar biasa. Perempuan-perempuan pada jatuh cinta kepadanya. Beberapa bersedia menjadi istrinya, padahal tahu dia sudah beristri, lebih dari satu pula. Ada anak gadis yang belum terlalu mengerti dunia yang bersedia menjadi istrinya. Ada perempuan asing dari bangsa yang katanya lebih unggul daripada bangsa Indonesia mau masuk ke dalam haremnya. Ada istri seseorang yang bersedia meninggalkan suaminya, demi hidup bersama Soekarno yang mempesona. Kajian psikologi sosial juga membahas kepemimpinan dan contoh Soekarno ini. Apakah manusia seperti Soekarno ialah manusia super (superman)? Jawabannya, tidak. Terlepas dari keluarbiasaannya dalam memimpin, ia pun juga seorang manusia biasa saja, 2013 10 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id bagaikan kita-kita ini. Lalu, mengapa Soekarno dapat menjadi demikian? Faktor apa yang menyebabkan Soekarno luar biasa sebagai pemimpin? Faktor bakat, atau lingkungan? Bahasan ini akan mencoba mengulasnya. Kita awali dengan definisi kepemimpinan. Sebagaimana lazimnya dalam ilmu sosial, mendefinisikan kepemimpinan pun ternyata tidak mudah. Sarwono (2001: 38) mengangkat pandangan Stogdill (1974) yang menyatakan bahwa jumlah definisi tentang kepemimpinan sebanyak orang yang memberikan definisi. Artinya, jumlahnya sangatlah banyak. Dalam hal ini, mari kita angkat beberapa definisi saja yang dikutip dari Sarwono (Ibid.): - Hemphill & Coons (1957) menyatakan kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama; - Tannenbaum, Weschler & Massarik (1961): kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu; - Jacobs (1970): kepemimpinan adalah interaksi antarmanusia di mana salah satunya menyajikan satu jenis informasi tertentu sedemikian rupa sehingga yang lain yakin hasilnya akan lebih baik jika ia berperilaku sesuai dengan cara-cara yang dianjurkan atau diharapkan; - Stogdil (1974): kepemimpinan adalah pengawalan dan pemeliharaan suatu struktur dalam harapan dan interaksi. - Roach & Behling (1984): kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah kelompok yang terorganisir menuju pencapaian suatu tujuan. Sarwono menarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku, atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau secara bekerjasama atau sesuai dengan aturan atau sesuai dengan tujuan bersama. Adapun pemimpin ialah orang yang melaksanakan proses, perilaku, atau hubungan tersebut. Teori-teori tentang kepemimpinan sama banyaknya dengan definisi kepemimpinan. Masing-masing memiliki teorinya sendiri. Walaupun demikian menurut Sarwono (Ibid.: 40) terdapat empat kategori besar teori-teori tentang kepemimpinan, yaitu yang menggunakan pendekatan (1) pengaruh kekuasaan, (2) bakat, (3) perilaku, dan (4) situasi. 2013 11 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Teori dengan pengaruh kekuasaan merujuk kepada French & Raven (1959) yang berpendapat bahwa kepemimpinan bersumber pada kekuasaan dalam kelompok atau organisasi. Jika orang memiliki akses terhadap sumber kekuasaan dalam kelompok atau organisasi itu maka ia akan mengendalikan atau memimpin kelompok atau organisasi itu. Sumber kekuasaan sendiri adalah kedudukan, kepribadian, dan politik. Teori bakat dinamakan juga teori sifat (trait), teori karismatik, atau teori transformasi. Inti dari teori ini adalah bahwa kepemimpinan terjadi karena sifat-sifat atau bakat yang khas yang terdapat dalam diri pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan. Sifat atau bakat itu dinamakan karisma atau wibawa. Contoh orang-orangnya ialah Bung Karno tadi, Adolf Hitler, Fidel Castro, Mahatma Gandhi, Ibu Theresa, Martin Luther King. Banyak pemimpin lain yang ada di muka bumi ini, dan dapat disebut sebagai pemimpin besar, akan tetapi kepemimpinan mereka tidaklah sama dengan enam orang yang ditulis di sini. Teori perilaku memusatkan perhatiannya pada perilaku pemimpin dalam kaitannya dengan struktur dan organisasi kelompok. Oleh karena itu, teori perilaku ini lebih sesuai untuk kepemimpinan dalam organisasi atau perusahaan karena peran pemimpin digariskan dengan jelas. Teori situasional berintikan hubungan antara perilaku pemimpin dan situasi di lingkungan pemimpin itu. Dalam hal ini ada dua macam hubungan, yaitu (1) perilaku pemimpin merupakan hasil atau akibat dari situasi, dan (2) perilaku pemimpin merupakan penentu atau penyebab situasi. Dengan kata lain, pada jenis hubungan yang pertama, perilaku pemimpin merupakan variabel ikutan (dependent variable), sedangkan dalam jenis hubungan kedua, perilaku pemimpin merupakan variabel bebas (independent variable). KELOMPOK, dan PERAN KELOMPOK Definisi Kelompok Sarwono (Ibid.: 4) mengangkat pendapat Johnson & Johnson (1987) yang mengidentifikasi sedikitnya terdapat tujuh jenis definisi kelompok yang penekanannya berbeda-beda, sebagai berikut: 1. Kumpulan individu yang saling berinteraksi (Bonner, 1959; Stogdill, 1959). 2. Satuan (unit) sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok itu (Bales, 1950; Smith 1945). 2013 12 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 3. Sekumpulan individu yang saling tergantung (Cartwright & Zander, 1968; Fiedler, 1967; Lewin, 1951). 4. Kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959; Mills, 1967). 5. Kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka [joint association] (Bass, 1960; Cattell, 1951). 6. Kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma (McDavid & Harari, 1968; Sherif, 1956). 7. Kumpulan individu yang saling mempengaruhi (Shaw, 1976). Berdasarkan kumpulan berbagai definisi itu, Johnson & Johnson berdua lalu merumuskan definisi kelompok sebagai berikut: sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Jenis Kelompok Jenis kelompok sangatlah beragam. Begitu beragamnya, kata Sarwono (Ibid.: 6) sehingga sulit dibuat satu penggolongan yang baku. Penggolongan jenis kelompok jadinya sangat tergantung pada tujuan penggolongan itu sendiri, antara lain kelompok formal (organisasi militer, perusahaan, kantor kecamatan) dan kelompok non-formal (arisan, geng, kelompok belajar, teman-teman bermain golf); kelompok kecil (dua sahabat, keluarga, kelas) dan kelompok besar (divisi tentara, suku bangsa, bangsa); kelompok jangka pendek (panitia, penumpang sebuah kendaraan umum, orang-orang yang membantu memadamkan kebakaran) dan kelompok jangka panjang (bangsa, keluarga, tentara, sekolah); dan lainlain. Terjadinya kelompok dapat ditinjau dari orientasi psikologis maupun sosiologis. Tinjauan psikologis melihat kelompok merupakan kelanjutan dari proses individu. Yang kedua melihat perilaku kelompok tidak identik dan juga merupakan kelanjutan dari perilaku individual. 2013 13 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Psikologi Bennis & Sheppard (1956, terdapat dalam Ibid.: 10) yang dipengaruhi oleh aliran psikoanalisis berpendapat bahwa masuknya seseorang ke dalam kelompok diiringi dengan keraguan siapa di dalam kelompok itu yang menjadi otoritas, dan ketika ia menemukannya ia bimbang antara ingin mengikuti otoritas atau melepaskan diri dari otoritas itu. Oleh karenanya, tahap-tahap perkembangan kelompok di sini terdiri dari dua tahap, (1) Tahap Otoritas Pribadi, yang terdiri lagi atas: a. Ketergantungan kepada otoritas, b. Pemberontakan, dan c. Pencairan; (2) Tahap Pribadi, yang terdiri lagi atas: a. Tahap harmoni, b. Tahap identitas pribadi, dan c. Tahap pencairan masalah pribadi. Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Sosiologi Di antara yang terkenal dalam orientasi ini ialah teori identitas kelompok oleh Horowitz (1985, terdapat dalam Ibid.: 25). Teori ini menggunakan ciri-ciri etnik untuk menentukan identitas berbagai kelompok, seperi suku, bangsa, keluarga, perusahaan, organisasi, partai politik, dan sebagainya. Menurut Horowitz, indikator pertama dari identitas etnik adalah warna kulit. Warna kulit mudah menjadi identitas kelompok, walaupun tidaklah mutlak mendapat persepsi kelompok oleh anggota kelompok lain. Misal, walaupun sama-sama berwarna kulit hitam antara orang India yang berkulit hitam legam dengan Afrika yang memang berkulit hitam, namun belumlah tentu mereka berbagai kelompok sosial yang sama. Dalam hal ini pantas dipahami akan ciri-ciri fisik. Terdapat tiga ciri fisik: (1) bawaan sejak lahir, berupa warna kulit, raut wajah, warna dan bentuk rambut, postur tubuh, dan seterusnya; (2) yang bukan bawaan, seperti ada yang dikhitan, ada yang ditindik, ada yang ditato; (3) perilaku, seperti busana, memelihara jenggot, gaya duduk atau berdiri. Indikator identitas etnik yang lain adalah yang terlihat dalam wujud fisik, seperti (1) bahasa, (2) budaya, nama, kebiasaan, makanan, penguasaan ritual-ritual budaya tertentu, dan (3) agama. Interaksi dalam Kelompok Interaksi dalam kelompok mengenal dua bentuk yang menonjol, yaitu: - Kerjasama, dan - Konflik. Kerja sama terjadi karena setiap kelompok saling menemukan persamaan dari interaksi yang tersedia. Bahasan kerja sama dapat mengacu kembali kepada berbagai 2013 14 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pembahasan yang terdapat di dalam modul psikologi bagian pertama. Adapun konflik, mendapat pembahasannya pada bagian akhir dari modul psikologi yang kedua ini. PENGARUH MEDIA TERHADAP PERILAKU SOSIAL Sebelum masuk kepada topik pengaruh media kepada perilaku sosial, baiknya kita mengikuti cara pandang Abu Ahmadi dkk (2002: 255), bahwa masyarakat mempunyai pengaruh luar biasa atas perilaku individu. Dimulai dari keluarga. Keluargalah yang berperan paling besar dalam membentuk pribadi dan seterusnya perilaku pribadi dan perilaku sosial. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, di mana seorang anak belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam interaksi dengan kelompoknya. Di dalam keluargalah seseorang belajar mengenai norma, kepentingankepentingan pribadi, cara berinteraksi, dan lain-lain. Setelah keluarga, secara formil, datanglah pengaruh kedua, yaitu sekolah. Namun, pada saat yang tak jauh berbeda, lingkungan sosial seorang anak (lingkungan bermain, lingkungan tetangga, lingkungan keluaga besara) juga ikut membentuk pribadi dan perilakunya. Berikutnya, datang pulalah pengaruh lingkungan kerja, yaitu ketika seseorang itu telah meninggalkan dunia pendidikan dan masuk ke dalam dunia kerja. Dalam perkembangan kehidupan seorang manusia modern, ia tak bisa lari dari media. Mulai bangun dari tidurnya, manusia sudah mendapat terpaan media tersebut. Media ini dapat berbentuk cetakan (surat kabar, majalah, tabloid), elektronik (radio, televisi), dan media jenis baru berbasis internet yang dapat diakses lewat komputer maupun telepon seluler. Ada orang yang begitu bangun dari tidurnya, hal pertama yang dilakukannya ialah memperhatikan hal-hal yang terdapat di ponselnya itu, apakah mengecek sms, email, internet, dan seterusnya. Ada yang langsung menyalakan radio atau tivi maupun laptopnya. Ada yang langsung membaca koran. Jadi, media merupakan hal yang sangat berarti bagi manusia modern. Yang menarik perhatian para peneliti ialah pengaruh dari media ini kepada orang dan seterusnya menciptakan perilaku sosial tertentu. Penelitian pada tahun 1950-an di Jerman Barat menunjukkan hasil yang mengejutkan, bahwa pada anak-anak yang menjadi kriminal, ternyata frekuensi mereka menonton di bioskop empat kali lebih sering daripada anak-anak pada umumnya. Anak-anak kebanyakan menonton di bioskop rata-rata satu kali dalam dua minggu. Sementara anak-anak yang berperilaku kriminal rata-rata menonton dua kali dalam seminggu (Ibid.: 273). 2013 15 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Masih dari penelitian tahun 1950-an, namun kali ini terkait dengan media televisi. Ternyata sepertiga dari anak-anak yang menonton televisi mengalami kegelisahan dalam kesehariannya. Dan, pada tingkat yang lebih ekstrim, anak-anak yang menonton televisi lebih dari 11-15 jam per minggu mengalami penurunan prestasi di sekolah mereka (Ibid.: 274). Namun penelitian yang lebih mendalam menunjukkan bahwa ternyata bukanlah frekuensi yang menentukan adanya pengaruh media terhadap seseorang, melainkan justru isi dari yang ditampilkan media tersebut. Isi film, buku, dan ceramah itulah yang lebih mempengaruhi perkembangan sosial manusia (Ibid.). PERILAKU SOSIAL MENYIMPANG Perilaku sosial menyimpang terkait dengan pengabaian seseorang terhadap normanorma sosial dan aturan hukum. Secara sosiologis sudah dijelaskan (dalam perkuliahan dan modul-modul sosiologi) bahwa masyarakat ternyata membuat aturan-aturan sosial. Aturan ini dapat bersifat terbatas pada sekelompok orang tertentu, dan dapat pula menjadi mendunia. Salah satu aturan sosial yang berperan di tingkat dunia (mondial) ialah ajaranajaran agama. Dapat kita lihat bahwa ajaran agama bersifat lintas sektoral, ia mampu menjelajah ke seluruh pelosok dunia, walaupun tidaklah secara rata ia berada di seluruh tempat di muka bumi ini. Aturan-aturan sosial ini kemudian menjadi pegangan bagi masyarakat dalam bertindak. Di tingkat negara disebut sebagai aturan hukum. Perilaku sosial yang disebut menyimpang pada akhirnya menuju kepada sesuatu yang di mata hukum disebut sebagai kriminalitas. Biasanya yang terjadi di sini ialah seseorang mengambil atau melakukan sesuatu yang tak diperkenankan oleh lingkungan masyarakatnya. Dalam hal ini, kriminalitas di suatu tempat dapat saja bukan berarti kriminalitas di tempat lain. Walaupun demikian, dasarnya tetap sama: ada aturan perlarangan hal-hal yang disepakati bersama. Maka bagi yang melakukannya di dalam konteks psikologi ia pun disebut sebagai pelaku perilaku menyimpang. Yang pantas dicermati dari kajian psikologi ialah bahwa sebagian besar dari anak-anak yang mengalami delikuensi (perilaku tak wajar) sosial berasal dari keluarga yang tak utuh. Menurut Ahmadi (Ibid: 271) di Indonesia pun begitu, bahwa terdapat hubungan antara rumah tangga tak utuh (keadaan broken home) dengan gejala-gejala delikuensi anak. Keluarga yang utuh, dalam arti berkehidupan keluarga yang memenuhi kebutuhan anggota keluarga ternyata mampu menjadikan seluruh anggota keluarga, khususnya anak-anak yang 2013 16 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sedang belajar menjalani hidup yang dimulai dari keluarga, berjalan dengan normal. Penyimpangan pada perilaku sosial pun dapat diminimalkan. KONFLIK SOSIAL DAN SOLUSINYA Konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih. Dapat terjadi karena dilema sosial, kompetisi, dan kesalahan persepsi. Dilema sosial menyangkut hukum untung-rugi. Manusia maunya mendapatkan untung saja (ingat dengan insting yang diangkat Freud?). Kompetisi jelas melahirkan suasana konflik, karena dalam kompetisi terjadi persaingan memperebutkan sesuatu, yang mampu mempengaruhi jiwa pelakunya. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok kecil, bahkan antarbangsa dan negara. Dampak konflik pada umumnya negatif, walaupun pada situasi kompetisi terlihat ada manfaatnya, di mana pihak masing-masing pihak memacu dirinya untuk lebih maju dari sebelumnya. Semula dikira sumber konflik adalah ras, jenis kelamin, kebudayaan, dan lainlain. Akan tetapi, penelitian membuktikan bahwa hubungan antarindividu atau antarkelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting (Sarwono: 130). Konflik dapat terjadi karena adanya sejarah persaingan di antara perilaku, terjadinya prasangka, dan rasa benci yang menjadi latar belakang. Begitupun akibat persepsi. Misal merasa diperlakukan tidak adil. Persepsi sendir adalah anggapan. Prasangka sosial muncul akibat pikiran negatif terhadap orang (kelompok) lain. Ada enam faktor menurut Ahmadi (hal. 210) yang menyebabkan timbulnya prasangka: 1. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam (pihak yang dipersalahkan). 2. Orang berprasangka karena sudah dipersiapkan di dalam kelompok sosialnya untuk berprasangka. 3. Prasangka timbul karena adanya perbedaan, di mana perbedaan ini menimbulkan perasaan superior. Perbedaan di sini meliputi: a. Perbedaan fisik, biologis, ras. b. Perbedaan lingkungan/geografis. c. Perbedaan kekayaan. d. Perbedaan status sosial. 2013 17 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id e. Perbedaan kepercayaan/agama. f. Perbedaan norma sosial. 4. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tak menyenangkan. 5. Prasangka timbul karena adanya anggapan umum. Misal: ibu tiri dipersepsikan berperilaku tidak baik. Konflik tak akan terhindarkan, mudah dan akan selalu terjadi. Manusia selalu hidup dengan persepsi dan keinginan. Persepsi ini meningkat menjadi prasangka, dan bukan tak mungkin berlanjut kepada tahap konflik. Keinginan untuk memperoleh yang lebih dan lebih lagi bagi seseorang atau kelompok orang dapat meluas pada konflik sosial. Konflik sosial terbesar ialah perang antarnegara. Perang Dunia yang terakhir di muka bumi ini (Perang Dunia II) telah menghancurkan hampir semua benua Eropa dan sebagian benua Asia. Namun konflik dapat dicegah. Mengatasi konflik dapat menggunakan teknik mengatasi dilema sosial berikut (Sarwono: 144): 1. Adakan pengaturan 2. Miliki prinsip kecil itu indah (small is beautiful). 3. Komunikasi. 4. Pembalikan manfaat. 5. Lakukan himbauan untuk berbuat baik atau imbauan altruisme (moralizing). 6. Terbuka dan transparan. Lebih lanjut, bacalah buku referensinya. Dosen hanya memberi sebagian yang paling penting untuk diketahui dan dipelajari mahasiswa. Sisanya terdapat dalam buku. Fit Yanuar, S.ISIP., Oktober 2013. 2013 18 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Sosial (Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002). Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial – Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan (Balai Pustaka, Jakarta, 2001). Soerjono Soekanto, Sosiologi - Suatu Pengantar (Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2003). 2013 19 KSIS-Sosiologi Fit Yanuar, S. Isip. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id