TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan tanah yang bertekstur relatif berat, berwarna merah atau kuning dengan struktur gumpal mempunyai agregat yang kurang stabil dan permeabilitas rendah. Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Ciri Ultisol memiliki solum tanah agak tebal yaitu 90-180 cm dengan batas horizon yang datar. Kandungan bahan organik pada lapisan olah adalah kurang dari 9 % umumnya sekitar 5%. Kandungan unsur hara seperti N, P, K dan Ca umumnya rendah dan pH sangat rendah 4-5,5 (Darmawijaya, 1997 dalam Frisandi, 2009). Ultisol merupakan salah satu jenis tanah mineral masam (acid soil) yang merupakan potensi besar untuk perluasan dan peningkatan produksi pertanian di Indonesia. Hampir semua tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini. Pemanfaatan Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan umumnya terkendala oleh sifat-sifat kimia yang dirasakan berat bagi para petani untuk mengatasinya, karena kondisi ekonomi dan pengetahuan yang umumnya lemah. Kendala utama yang dijumpai didalam kaitannya dengan pengembangan Ultisol untuk lahan pertanian terutama karena termasuk tanah yang mempunyai harkat keharaan yang rendah (Prahastuti, 2005) Dari hasil analisis tanah Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam. Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8 – 12 cm), umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5 – 10). Kandungan P-potensial yang rendah dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar rendah, kandungan K-dd hanya berkisar 0-0,1 me/100 g tanah (Subagyo dkk 2000). Menurut Munir (1996) komponen kimia tanah berperan penting dalam menentukan kesuburan tanah. Ultisol merupakan tanah yang mengalami proses pencucian yang sangat intensif yang menyebabkan tanah ini miskin secara kimia dan fisik. Ultisol merupakan tanah mineral yang bersifat masam dengan kejenuhan basa rendah dan memiliki kadar Al yang tinggi yang dapat menjadi racun bagi tanaman. Disamping itu Ultisol memiliki kandungan bahan organik dan KTK yang rendah. Ultisol mempunyai derajat kemasaman yang tinggi, serta ketersediaan unsur hara N, P dan K yang rendah. Reaksi tanah yang masam disebabkan oleh curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci. Disamping itu diketahui pula bahwa hasil dekomposisi minearl aluminium silikat akan membebaskan ion aluminium (Al3+). Ion tersebut dapat dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbangkan ion H+, akibatnya tanah menjadi masam (Nyakpa, dkk 1988). Sedangkan sifat kimia pada tanah Ultisol yang berperan dalam menentukan sifat, ciri dan kesuburan tanah yakni kemasaman kurang dari 5,5, kandungan bahan organik rendah sampai sedang, kejenuhan basa kurang dari 35%, serta Kapasitas Tukar Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat. Tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat pada daerah-daerah yang beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan yang tinggi (seperti halnya Indonesia), ini berarti Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pencucian sangat intensif, hal ini yang menyebabkan Ultisol memiliki kejenuhan basa rendah. Selain itu, Ultisol juga memiliki kandungan Al-dd tinggi (Munir, 1996). Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan bahan organiknya rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Ultisol merupakan tanah yang mengalami proses pencucian yang intensif yang menyebabkan Ultisol miskin secara kimia dan fisik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Reaksi tanah Ultisol umumnya masam hingga sangat masam (pH 5 – 3, 10). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol tergolong rendah yaitu berkisar 6,10 – 6, 80 cmol/kg. Pada ph rendah (< 5.0) ketersedian P bermasalah dari bentuk tersedia menjadi tidak tersedia. Pada tanah masam kelarutan logam seperti Al, Fe, dan Mn sangat tinggi. Permasalahan kemasaman tanah pada tanah Ultisol menyebabkan unsur hara makro seperti Fosfor (P) menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Damanik, dkk 2010). Pada tanah Ultisol, Al hanya berasal dari pelapukan batuan bahan induknya. Kondisi ini juga masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan induk yang bersifat basa, pelepasan Al tidak sebanyak pada batuan masam, karena pH tanah yang tinggi dapat mengurangi kelarutan hidroksida Al (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (>60%). Kejenuhan Al berhubungan erat dengan pH tanah. Tanah Ultisol mempunyai reaksi agak masam sampai masam dengan kandungnan basa-basa rendah yang di ukur dengan kejenuhan basa pH 7 < 50% pada kedalaman 125 cm dibawah atas horizon argilik atau 180 cm dari permukaan tanah (USDA , 2010). Peran Al dapat ditukar pada tanah Ultisol sangat penting, karena pada tanah-tanah tersebut sering ditemukan kejenuhan Al nisbi yang tinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Ultisol mempunyai kejenuhan Al yang lebih tinggi daripada tanah-tanah yang lain, bahkan bisa mencapai lebih dari 85 %. Di dalam tanah Al-dd akan mengendap pada ph antara 5,5 sampai 6,0 sehingga pada tanah-tanah yang mempunyai ph lebih besar dari 6,0 kandungan Al-dd dan kejenuhan Al nisbi rendah bahkan peranannya dapat diabaikan (Munthe, 1997). Kapur dan Reaksinya di dalam Tanah Kapur adalah bahan yang mengandung unsur Ca yang dapat meningkatkan pH tanah (Hardjowigeno, 1992). Pemberian kapur dapat meningkatkan ketersediaan unsur fosfor (P) dan molibdenum (Mo). Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah, sehingga pemberian kapur pada tanah masam akan merangsang pembentukan struktur remah, mempengaruhi pelapukan bahan organik dan pembentukan humus (Buckman dan Brady, 1964). Secara umum pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi dari tanah. Di wilayah-wilayah subtropik pengapuran sering bertujuan untuk menaikkan pH hingga 6,5-7. Alasan mereka, karena pada kisaran pH tersebut adalah paling cocok untuk ketersediaan unsur hara dan pertumbuhan tanaman umumnya. Ternyata konsep ini tidak cocok untuk wilayah-wilayah tropik. Pemberian kapur untuk mencapai pH tersebut di tropik, sering menurunkan produksi karena terjadi kelebihan kapur (over liming). Berkaitan dengan jumlah Al yang tinggi dan merupakan masalah utama pada tanah masam di tropik, maka pengapuran sebaiknya ditujukan untuk meniadakan pengaruh meracun Al tersebut. Sejalan dengan itu, pengapuran juga bertujuan untuk menyediakan hara Ca bagi tanaman (Nyakpa dkk , 1998). Soepardi (1983) menyatakan bahwa pengapuran menetralkan senyawasenyawa beracun dan menekan penyakit tanaman. Aminisasi, amonifikasi dan oksidasi belerang nyata dipercepat oleh meningkatnya pH yang diakibatkan oleh pengapuran. Dengan meningkatnya pH tanah, maka akan menjadikan tersedianya unsur N, P dan S serta unsur mikro bagi tanaman. Kapur yang banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk kalsit (CaCO3) dan dolomite (CaMg(CO3)2). Pengapuran dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan dengan unsur lain. Pada kebanyakan tanaman tingkat tinggi, penjagaan ph 6-7 menjamin ketersediaan hara. Tingginya konsentrasi ion hidrogen yang terdapat dalam larutan tanah akan menimbulkan reaksi tanah yang besifat masam, dengnan pengapuran konsentransi ion hidrogen yang tinggi dapat diturunkan, sehingga derajat kemasaman tanahnya dikehendaki oleh tanaman tertentu yang hendak ditanam. Dengan adanya pengapuran pada tanah masam, absorbsi unsur-unsur Mo, P dan Mg akan meningkat pada dan pada waktu yang bersamaan akan menurunkan secara nyata konsentrassi Fe, Al dan Mn yang dalam keadaan masam unsur-unsur ini dapat mencapai konsentrasi yang bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian, pengapuran tidak boleh dilakukan secara sembarangan, karena kelebihan kapur pada tanah mengakibatkan tanaman kerdil, Mn dan P menjadi tidak tersedia (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002). Pengapuran pada tanah masam dan pada waktu yang bersamaan akan menurunkan dengan nyata konsentrasi Fe, Al dan Mn dalam keadaan sangat masam dapat mencapai konsentrasi yang bersifat racun bagi tanaman. Menurut penelitian, pemberian kapur setara 1,5 x Aldd (1,5 ton CaCO3/ha setiap 1 me Aldd/100 g tanah) dapat meningkatkan produksi tanaman (Sarief, 1993). Secara umum semua jenis kapur bagi pertanian untuk mengurangi kemasaman tanah dan menambah Ca sebagai unsur hara tanaman. Kapur dolomit menyediakan unsur Mg. Batuan kapur tesusun oleh kalsium karbonat (CaCO3), dan magnesium karbonat (MgCO3). Suasana masam dalam tanah dapat ditanggulangi dengan pemberian kapur. Mekanisme reaksi dari bahan kapur pada komplek tanah masam dapat dilukiskan sebagai berikut (Buckman and Brady, 1982). H+ + CaCO3 Ca++ + CO2 + H2O H+ Ca++ misel Dari reaksi tersebut, bahwa begitu reaksi kekanan, kelihatan pengaruh netralisasi ion H oleh kapur dan peningkatan jumlah kalsium yang dapat dipertukarkan. Sehingga kejenuhan basa dan pH tanah meningkat. CaCO3 + CO2 + H2O 3Ca2+ + HCO3- + 3 OH Al3+ + 3OH- Al(OH) 3 Pengapuran juga bertujuan untuk mengurangi resiko keracunan aluminium, dalam tanah masam banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam, karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan ion H+. Oleh karena itu ion H+ harus dikeluatkan dari larutan tanah dengan ion Al3+ harus dinetralkan. Jadi tujuan pengapuran adalah supaya koloid tanah menjadi netral, aluminium dinonaktifkan dan hidrogen dioksidasi menjadi air (Kuswandi, 1993). Kapur banyak mengandung unsur Ca tetapi pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karna itu pH tanah perlu dinaikkan agar unsur-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan (Hardjowigeno, 1995). Ada beberapa keuntungan bila tanah masam diberi kapur, yaitu sebagai berilut : 1. Struktur tanahnya menjadi baik dan kehidupan mikroorganisme dalam tanah lebih tinggi. Akibatnya daya melapuk bahan organik menjadi humus berjalan lebih cepat. 2. Kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang. 3. Di tempat yang diberi kapur akan lebih leluasa di tanami berbagai jenis tanaman (Lingga dan Marsono, 1999). Thithonia diversifolia Beberapa manfaat pupuk organik adalah dapat menyediakan unsur hara makro dan mikro, mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, meningkatkan aktivitas bahan mikroorganisme tanah, pada tanah masam penambahan bahan organik dapat membantu meningkatkan pH tanah, dan penggunaan pupuk organik tidak menyebabkan polusi tanah dan polusi air (Novizan, 2007). Hasil penelitian Supriyadi (2002) Tithonia diversifolia mampu menghasilkan biomassa dalam jumlah besar (275 ton bahan hijauan setara 55 ton berat kering per hektar), nisbah C/P kurang dari 200, daun-daun kering Tithonia diversifolia mempunyai kandungan N (3,15%), P (0,32 %), K (3,1 %), polifenol larut (2,9 %). Lignin (9,8 %) serta menurunkan jerapan P oleh Al-Fe oksida dalam tanah. Tithonia diversifolia merupakan sejenis gulma yang dapat tumbuh di sembarang tanah, namun menggandung unsur hara yang tinggi terutama N, P, K, yaitu 3,5% N ; 0,38% P ; dan 4,1% K yang berfungsi untuk meningkatkan pH tanah (dengan reaksi menurut Hakim (2006), R-NH2 + H2O 2NH4 + CO32-, ditambahkan Hakim, dkk (1986), ion CO32- mempunyai kemampuan dalam menarik ion H+ dari koloid tanah dan merupakan bahan penting dari kapur dalam menetralkan tanah) menurunkan Al-dd serta meningkatkan kandungan P, Ca dan Mg tanah (Hartatik, 2007). Menurut Hakim (2006), dari pelapukan bahan organik akan dihasilkan asam humat, asam vulvat, serta asam-asam organik lainnya. Asam-asam itu dapat mengikat logam seperti Al dan Fe, sehingga mengurangi kemasaman serta pengikatan P dan P akan lebih tersedia. Anion-anion organik seperti sitrat, asetat, tartrat dan oksalat yang dibentuk selama pelapukan bahan organik dapat membantu pelepasan P yang diikat oleh hidroksida-hidroksida Al, Fe, dan Ca dengan jalan bereaksi dengannya, membentuk senyawa kompleks. Analisa laboratorium menunjukkan bahwa tithonia segar terdiri dari 20% bahan kering dan mengandung nitrogen 4,6%. Konsentrasi fosfor di daun tithonia sangat tinggi (0,27-0,38% P). Jumlah P di daun tithonia lebih tinggi daripada tingkat yang ditemukan di tumbuhan polong yang biasanya digunakan di pertanian maupun pada hutan dan perkebunan, yang hanya sebesar 0,15-0,20% fosfor (Wanjau, dkk, 2002). Pemberian tithonia pada tanah Ultisol untuk mensubstitusi N dan K pupuk buatan dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd, serta meningkatkan kandungan hara P, Ca, dan Mg tanah (Hartatik,2007). Dari penelitian yang telah dilakukan Hakim, dkk, (2008) kompos tithonia dapat menggantikan 50% pupuk buatan. Selain itu pemberian tithonia dapat meningkatkan kesuburan tanah/produktivitas lahan (menurunkan Al, serta meningkatkan pH tanah, bahan.organik, kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg tanah, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman. Bahan organik sangat berperan dalam memperbaiki sifat kimia tanah dan juga dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Bahan organik juga sangat berperan dalam pembebasab P-fiksasi oleh senyawa Al dan Fe. Asam organik yang dilepaskan mampu mengikat ion logam seperti ion Al dan ion Fe di dalam tanah., kemudian mebentuk senyawa kompleks yang sukar larut. Senyawasenyawa termasuk asam humat dan fulvat mampu mebentuk kompleks dengan ion-ion logam (Tan, 1991). Pemberian kompos pada tanah masam cukup efisien untuk menetralkan sebahagian efek meracun Al dalam larutan tanah dan juga meningkatkan KTK tanah. Bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation dua sampai tiga puluh kali lebih besar daripada koloid mineral yang meliputi 30 sampai 90% dari tenaga jerap suatu tanah mineral. Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Kedelai merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting karena gizinya, aman dikonsumsi dan harganya yang relatif murah dibandingkan dengan sumber protein hewani. Di Indonesia, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk pangan olahan seperti tempe, susu kedelai dan berbagai bentuk makanan ringan (Damardjati dkk, 2005). Toleransi pH yang baik sebagai syarat tumbuh yaitu antara 5,8-7, namun pada tanah dengan ph 4,5 pun kedelai dapat tumbuh baik. Tanah-tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol, grumosol, latosol dan andosol. Pada tanah podzolik merak kuningg dan tanah yang mengandung banyak pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (Andrianto dan Indarto, 2004). Pengembangan kedelai pada lahan kering masam dihadapkan kepada kondisi tanah yang kurang subur karena pH rendah (4,3-5,5), kandungan Al tinggi, kandungan bahan organik rendah, ketersediaan hara N, P, K, Ca dan Mg rendah, dan kemampuan tanah mengikat air juga rendah. Kondisi tanah yang kurang subur dapat diperbaiki dengan inovasi teknologi ameliorasi, di antaranya penggunaan kapur (kalsit atau dolomit) dan bahan organik, serta pemupukan berdasarkan kondisi tanah setempat (Litbang, 2008). Kandungan Al yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai. Toksisitas pada tanaman kedelai ditandai dengan rusaknya sistem perakaran. Pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah masam akibat cekaman abiotik dan biotik. Pertumbuhan vegetatif terhambat akibat keracunan Al. Tingginya kandungan unsul aluminium reaktif (Al3+) dapat meracuni akar tanaman dan menghambat pembentukan bintil akar tanaman legum (Sumarno, 2005). Batas kritis kejenuhan Al di tanah masam ultisol bervariasi antar spesies yaitu 70 % untuk padi, 55 % untuk kacang uci, 29 % untuk jagung, 28 % untuk kacang tanah, 20 % untuk kedelai dan 5 % untuk kacang hijau. Tingginya kandungan Al berpengaruh buruk terutama terhadap sistem perakaran yang meliputi pertumbuhan akar terhambat, percabangan tidak normal serta ukuran daun lebih kecil dan berwarna hijau gelap (Hadiatmi, 2002).