Naskah Akademik Penataan Peraturan Perundang-undangan Kemetrologian untuk Mendukung Daya Saing Nasional Husein A. Akil Dede Erawan Donny Purnomo Agustinus Praba Drijarkara Dwi Kirana Yuniasti Dadang Rustandi Sunarya © 2007 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi* Katalog dalam Terbitan Naskah Akademik Penataan Peraturan Perundang-undangan Kemetrologian untuk Mendukung Daya Saing Nasional/Husein A. Akil, Dede Erawan, Donny Purnomo, Agustinus Praba Drijarkara, Dwi Kirana Yuniasti, Dadang Rustandi, Sunarya. – Jakarta: LIPI Press, 2007. vii + 132 hlm.; 17,5 x 23,5 cm ISBN 978-979-799-199-9 1. Metrologi - Perundang-undangan 2. Daya Saing Nasional 389.1 *Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310 Telp.: (021) 7560571, 7560533 Fax. : (021) 7560568 Sampul: Desain: A. Praba Drijarkara Metrologi mempunyai dampak dalam banyak hal yang kita alami sehari-hari, di antaranya pemeriksaan kesehatan, explorasi dan transaksi minyak dan gas, industri elektronika dan permesinan, navigasi, keselamatan transportasi, keselamatan radiasi nuklir, keamanan fasilitas publik dan lain-lain. Foto: gimp-savvy.com, www.public-domain-photos.com, www.publicdomainpictures.net, www.stockvault.net, www.wpclipart.com. ii KATA PENGANTAR Pentingnya metrologi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara terlihat dengan jelas melalui penetapan kebijakan metrologi nasional melalui sebuah undangundang oleh hampir semua negara di dunia. Negara-negara maju seperti Prancis, Kerajaan Inggris, Amerika Serikat dan Jerman telah mengembangkan UU kemetrologian modern sejak masa Revolusi Industri, dan melakukan pengembangan sistem metrologi yang kemudian digunakan sebagai dasar-dasar sistem metrologi internasional dan digunakan secara luas dalam percaturan internasional. Di Indonesia, UU kemetrologian diawali sejak bangsa Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, terus berlanjut hingga bangsa kita menyatakan kemerdekaan hingga akhirnya UU kemetrologian berevolusi menjadi wujudnya yang berlaku di wilayah RI saat ini yaitu UU No. 2 Tahun 1981 dan sampai saat ini belum mengalami perubahan. Dewasa ini diperlukan penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian terutama dalam rangka peningkatan daya saing nasional. Penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian ini dipandang perlu karena sistem metrologi pada saat ini telah menjadi sebuah sistem yang diharmonisasikan secara internasional sebagai infrastruktur dasar untuk memfasilitasi perdagangan global dalam kerangka World Trade Organization Agreement on Technical Barrier to Trade (WTO-TBT). Dalam Naskah Akademik ini dielaborasi secara komprehensif hasil dari identifikasi permasalahan yang timbul dari implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian yang berlaku saat ini di wilayah RI, serta dikemukakan tentang penjelasan atas permasalahan substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian yang menyebabkan kurang efektifnya sistem metrologi nasional dalam mendukung daya saing. Dalam Naskah Akademik ini dikemukakan suatu rekomendasi atau solusi yang perlu dilakukan guna mengatasi permasalahan yang menyebabkan kurang efektifnya fungsi sistem metrologi nasional, khususnya untuk mendukung daya saing nasional dalam pasar global. Tim penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT dengan berhasil diselesaikannya penulisan Naskah Akademik ini. Diharapkan Naskah Akademik ini pada akhirnya dapat digunakan sebagai landasan penulisan pasal demi pasal peraturan perundang-undangan kemetrologian utama yang diperlukan untuk mengatur sistem metrologi nasional secara efektif dan efisien. Tak lupa diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi secara signifikan dalam penyusunan Naskah Akademik ini, terutama kepada mereka yang turut bergabung dalam diskusi subtansi pada Focus Group Discussion (FGD). Tim Penyusun iii RINGKASAN Metrologi adalah sebuah istilah yang mempunyai banyak aspek. Dari sisi ilmiah, metrologi berarti ilmu pengetahuan mengenai tatacara dan sistem pengukuran. Walaupun masyarakat pada umumnya tidak terlalu akrab dengan istilah atau konsep metrologi, implikasi metrologi sangat besar artinya bagi kehidupan mereka sehari-hari. Metrologi bertujuan untuk memberikan hasil pengukuran yang benar. Tanpa metrologi, hasil dari suatu pengukuran tidak dapat dijamin kebenarannya. Kebenaran suatu hasil pengukuran hanya dapat dipastikan jika ada suatu acuan pengukuran yang diakui oleh semua pihak yang berkepentingan dengan hasil pengukuran tersebut. Secara teknis, diperlukan suatu acuan berupa standar fisik, metode-metode baku dan kompetensi untuk melakukan pengukuran pada berbagai tingkat ketelitian. Hal ini disebut sebagai infrastruktur metrologi. Pengukuran dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk banyak keperluan: memastikan jumlah atau ukuran komoditas yang diperdagangkan, guna menentukan nilai transaksinya; memastikan bahwa suatu produk mempunyai karakteristik yang sesuai dengan suatu spesifikasi tertentu, guna memenuhi kebutuhan konsumen yang akan menggunakannya; memastikan bahwa peralatan ukur yang dipergunakan untuk keperluan medis mempunyai akurasi yang memadai, guna melindungi kesehatan masyarakat; memastikan bahwa sarana publik seperti kendaraan umum berada dalam kondisi layak pakai, guna melindungi keselamatan umum, dan lain-lain. Dikaitkan dengan daya saing produk, pengukuran merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian terhadap komoditas yang diperdagangkan. Bagi produk nasional yang akan diekspor, bukti penilaian kesesuaian terhadap standar yang dipersyaratkan oleh negara tujuan adalah syarat mutlak. Sebaliknya, untuk memastikan bahwa produk impor tidak membahayakan konsumen di Indonesia dan tidak menimbulkan persaingan tidak sehat bagi produk lokal, maka harus ada sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian yang handal, yang didukung oleh sistem pengukuran yang dapat dipercaya. Dalam hal ini dapat ditunjukkan bahwa pengukuran mempunyai kaitan langsung terhadap daya saing bangsa. Memperhatikan dampak pengukuran terhadap kepentingan umum, maka negara harus melindungi rakyatnya dengan membuat regulasi yang baik tentang sistem, tatacara, peralatan dan lembaga yang berkaitan dengan metrologi. Naskah ini merupakan suatu hasil kajian mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai metrologi yang berlaku di Indonesia saat ini, mulai dari Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal hingga ke peraturan-peraturan pemerintah dan keputusan-keputusan presiden dan menteri yang mempunyai kaitan dengan pengukuran. Selain mengkaji iv peraturan-peraturan tersebut secara terpisah, dilakukan juga perbandingan dengan praktik dan rekomendasi internasional dalam bidang metrologi. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada saat ini belum mengatur hal ikhwal metrologi secara komprehensif, dan ada beberapa peraturan yang tumpang tindih. Juga masih ada kesenjangan antara praktik internasional dengan kondisi di Indonesia, baik dari segi peraturannya maupun pelaksanaanya. Rekomendasi yang diberikan adalah penataan semua peraturan mengenai metrologi, dimulai dengan revisi Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal, dan kemudian diikuti perangkat peraturan turunannya. Oleh karena itu, Naskah Akademik ini dimaksudkan sebagai landasan dalam menyusun rancangan undang-undang metrologi, sebagai pengganti UU No. 2/1981. v DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii RINGKASAN................................................................................................................... iv I. PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1 1.1.1 Latar Belakang Filosofis................................................................................................ 2 A. Kebutuhan Pengukuran.................................................................................................2 B. Lingkup Kegiatan Kemetrologian.................................................................................7 C. Peran Negara dalam Kegiatan Kemetrologian............................................................11 D. Perlunya Kesesuaian antara Sistem Metrologi Nasional dan Internasional............... 11 1.1.2 Latar Belakang Historis................................................................................................12 1.1.3 Latar Belakang Sosio-Ekonomi................................................................................... 15 A. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat ...................................................................... 15 B. Perlindungan Kepentingan, Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Masyarakat, serta Kelestarian Lingkungan.................................................................................... 17 C. Perlindungan Devisa Negara.......................................................................................18 D. Peningkatan Daya Saing Nasional..............................................................................21 1.1.4 Latar Belakang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi....................................................... 27 1.1.5 Landasan Yuridis..........................................................................................................31 1.2 Cakupan Naskah Akademik.................................................................................. 35 1.3 Proses dan Metodologi Penyusunan Naskah Akademik........................................ 36 II. PENGEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN.................................................................................................. 38 2.1 Latar Belakang dan Lingkup Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian..... 39 2.2 Otoritas Kegiatan Kemetrologian ......................................................................... 41 2.3 Lembaga-Lembaga Kemetrologian....................................................................... 45 2.4 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran......................................................... 51 2.4.1 Satuan Pengukuran....................................................................................................... 51 2.4.2 Standar Pengukuran Nasional ..................................................................................... 54 2.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran ...........................................60 2.5 Metrologi Legal..................................................................................................... 63 2.5.1 Lingkup Kegiatan Metrologi Legal..............................................................................63 2.5.2 Implementasi Kegiatan Metrologi Legal......................................................................67 2.5.3 Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal..........................................75 2.5.4 Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal..................................76 vi III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL...79 3.1 Latar Belakang dan Lingkup Undang-Undang Kemetrologian.............................. 80 3.2 Otoritas Kegiatan Kemetrologian.......................................................................... 82 3.3 Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional........................................................ 84 3.4 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran......................................................... 89 3.4.1 Satuan Pengukuran ...................................................................................................... 89 3.4.2 Standar Pengukuran Nasional...................................................................................... 90 3.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran............................................97 3.5 Metrologi Legal .................................................................................................... 98 IV. PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL.............................................................................................................. 105 4.1 Kelemahan Substansi UU No. 2 Tahun 1981...................................................... 106 4.1.1 Latar Belakang dan Lingkup Kegiatan Kemetrologian..............................................106 4.1.2 Prinsip Dasar Kegiatan Kemetrologian......................................................................107 4.1.3 Otoritas Kegiatan Kemetrologian...............................................................................107 4.1.4 Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional.............................................................109 4.1.5 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran.............................................................110 4.1.6 Metrologi Legal..........................................................................................................111 4.2 Kelemahan Implementasi UU No. 2 Tahun 1981................................................ 112 4.3 Penataan Undang-Undang Kemetrologian sebagai Sebuah Kebutuhan............... 114 V. USULAN PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL........................................................................... 115 5.1 Pokok-Pokok Revisi Undang-Undang Kemetrologian........................................ 115 5.2 Usulan Cakupan Substansi Undang-Undang Metrologi Nasional....................... 116 5.2.1 Lingkup dan Latar Belakang Undang-Undang Kemetrologian................................. 117 5.2.2 Otoritas dan Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional ....................................... 118 5.2.3 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran.............................................................121 A. Satuan Pengukuran................................................................................................... 121 B. Standar Pengukuran Nasional................................................................................... 122 C. Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran........................................ 124 5.2.4 Kegiatan Metrologi Legal.......................................................................................... 125 A. Lingkup Kegiatan Metrologi Legal.......................................................................... 125 B. Implementasi Kegiatan Metrologi Legal.................................................................. 126 C. Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal...................................... 128 D. Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal.............................. 129 5.3 Saran Untuk Implementasi ................................................................................. 129 vii PUSTAKA..................................................................................................................... 133 Lampiran 1. Daftar Peraturan Perundang-undangan Terkait Pengukuran....................... 136 Biografi Penyusun.......................................................................................................... 139 Indeks Alfabetis............................................................................................................. 143 viii I. PENDAHULUAN Daya saing sebuah bangsa dalam konteks globalisasi dapat dipahami secara sederhana sebagai kemampuan sebuah bangsa untuk dapat diterima sebagai pemain dalam rantai produksi dan transaksi global. Dalam konteks ini, sebuah bangsa yang tidak memiliki daya saing yang memadai akan terombang-ambing dalam percaturan internasional. Untuk dapat bersaing dalam rantai produksi dan transaksi global, sebuah bangsa harus mampu memenuhi persyaratan-persyaratan produksi dan transaksi yang ditetapkan oleh para pemain pasar global dan juga mampu menerapkan aturan-aturan dalam pasar dalam negeri untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara. Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi the Agreement on Establishing World Trade Organization (WTO) melalui UU No. 7 Tahun 1994. Ratifikasi terhadap kesepakatan pendirian WTO ini secara otomatis mewajibkan pemerintah RI menerima seluruh kesepakatan internasional dalam kerangka WTO. Salah satu perjanjian di dalam kerangka WTO yang harus dipahami dan dimanfaatkan oleh bangsa ini untuk dapat meningkatkan daya saingnya adalah World Trade Organization Agreement on Technical Barrier to Trade (WTO-TBT) . 1.1 LATAR BELAKANG Dalam konteks globalisasi, setiap negara di dunia menghendaki agar produk nasionalnya, baik berupa barang maupun jasa dapat menjadi komoditas internasional yang dapat bergerak bebas dan dapat diterima di seluruh dunia. Di sisi lain, setiap negara di dunia juga menghendaki agar pasar domestiknya tidak dibanjiri oleh barang maupun jasa yang dapat merugikan kepentingan nasionalnya. WTO-TBT merupakan kesepakatan oleh semua negara anggota WTO dengan tujuan menjaga keadilan pasar internasional. Oleh karena itu di dalam kerangka WTO-TBT, setiap negara diberi kewenangan untuk menetapkan regulasi teknis untuk melindungi pasar domestiknya; regulasi ini harus bersifat transparan bagi seluruh negara anggota lainnya dan sejauh mungkin harus didasarkan pada standar (dokumen) internasional yang ditetapkan oleh organisasi standardisasi internasional. Berdasarkan ketentuan ini, negara-negara lain yang berkehendak untuk menjual produk dan jasanya ke negara lain dapat melakukan berbagai usaha yang diperlukan untuk dapat memenuhi regulasi teknis negara tujuan ekspornya. Kesesuaian terhadap persyaratan di dalam standar internasional yang diadopsi oleh regulasi teknis suatau negara hanya dapat diterima bila pernyataan kesesuaian tersebut diberikan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang kompeten. Proses penilaian kesesuaian merupakan sebuah proses untuk memastikan kesesuaian karakteristik produk terhadap persyaratan yang ditetapkan dalam standar dan regulasi teknis. Dalam kaitannya dengan komoditas perdagangan global, sebagian besar persyaratan dinyatakan secara kuantitatif didasarkan pada berbagai proses yang melibatkan pengukuran. Dalam hal ini, diperlukan acuan pengukuran yang sama antara pihak-pihak yang bertransaksi untuk dapat 1 menciptakan kepercayaan terhadap hasil-hasil penilaian kesesuaian. Infrastruktur dasar untuk menjamin kebenaran, kehandalan dan ketertelusuran hasil pengukuran ke Sistem Internasional Satuan (SI) inilah yang dalam dunia internasional dikenal sebagai infrastruktur metrologi. 1.1.1 Latar Belakang Filosofis Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu infrastruktur dasar yang diperlukan dalam harmonisasi dengan tatanan internasional adalah infrastruktur metrologi, yang memberikan kesetaraan hasil pengukuran domestik dengan hasil-hasil pengukuran di negara-negara lain. Hanya dengan infrastruktur metrologi, syarat mutu dalam standar dokumenter dan penilaian kesesuaiannya dapat berlaku lintas batas dan slogan One Standard–One Test–Accepted Everywhere yang didengungkan oleh organisasi internasional di bidang standardisasi dapat dicapai. Penyediaan infrastruktur metrologi di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah, baik melalui penyediaan kelembagaan maupun peraturan perundang-undangan yang memungkinkan partisipasi aktif warga negara dalam bidang metrologi. A. Kebutuhan Pengukuran Ketika pergaulan dunia berkembang sedemikian rupa seakan tanpa batas, dan produkproduk dari satu belahan dunia dapat melintas ke belahan dunia yang lain, setiap negara mau tidak mau harus memiliki daya saing yang kuat sehingga produk-produk yang dihasilkannya dapat secara bebas melintas ke seluruh belahan dunia, yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Sebaliknya, setiap negara juga akan berupaya melindungi warga negaranya dan juga pelaku usahanya dengan aturanaturan tertentu sedemikian hingga produk-produk yang dapat membahayakan warga negaranya atau dapat menghentikan perjalanan pelaku usahanya dapat dihambat dengan alasan yang logis dan dapat diterima sesuai dengan skema-skema yang telah disepakati secara internasional. Dari sudut pandang ini, daya saing sebuah negara dapat ditingkatkan, bila pemerintah negara tersebut mampu membuat pengaturan yang tepat sehingga di satu sisi dapat mendorong kemampuan produknya menerobos pasar global dan di sisi lain dapat melindungi masyarakat umum dan pelaku usahanya dari serangan produk-produk bermutu rendah yang dapat membahayakan masyarakat, lingkungan, dan juga perkembangan pelaku usahanya. Tuntutan mutu produk berdaya saing tinggi sebagai produk yang mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara pembeli, dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan dari kemampuan negara penjual untuk memastikan bahwa komoditas yang diproduksinya memiliki karakteristik sesuai dengan yang ditetapkan pembeli, dan sebaliknya untuk mencegah produk bermutu rendah membahayakan masyarakatnya termasuk pelaku usahanya, maka keputusan untuk menolak harus juga didasarkan pada cara penentuan karakteristik komoditas yang telah diakui benar secara internasional. 2 Penentuan karakteristik produk, untuk memastikan bahwa komoditas yang diekspor dapat diterima di pasar global atau untuk memutuskan boleh atau tidaknya komoditas dari luar dipasarkan ke pasar domestik, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan mengukur, baik itu pengukuran dengan teknologi sederhana maupun pengukuran yang memerlukan teknologi tinggi. Dalam kaitannya dengan daya saing dan juga melindungi kepentingan umum ini, maka pengukuran yang dimaksud tentunya adalah pengukuran yang benar, yang hasil-hasilnya dapat diakui sesuai dengan kesepakatan di dunia internasional. Infrastruktur untuk menjamin kebenaran pengukuran ini, di tingkat nasional maupun internasional ini, kemudian dikenal dengan infrastruktur metrologi. Menurut International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology (VIM), metrologi adalah bidang pengetahuan mengenai pengukuran, yang mencakup keseluruhan aspek teoritis dan praktis pengukuran, berapa pun ketidakpastian pengukurannya dan apa pun bidang penerapannya. Namun demikian, metrologi bukan sekedar ilmu pengukuran; metrologi adalah kegiatan yang mencakup semua aktivitas yang diperlukan untuk dapat melakukan pengukuran yang benar, tertelusur dan diakui kebenarannya dalam tingkat nasional, regional maupun internasional, sedemikian hingga dapat menciptakan rasa saling percaya di antara pihak-pihak yang melakukan atau berkepentingan dengan pengukuran. Rasa saling percaya inilah yang kemudian dapat menciptakan kohesi sosial dalam masyarakat dan juga memfasilitasi transaksi-transaksi dalam percaturan pasar global. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan mengukur, mulai dari melakukan pengukuran sederhana sampai ke pengukuran yang memerlukan teknologi tinggi. Pengukuran yang salah atau tidak teliti dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah, yang dapat berakibat serius dalam hal pemborosan biaya atau bahkan membahayakan jiwa manusia. Dampak kemanusiaan dan finansial sebagai konsekuensi keputusan yang salah akibat pengukuran yang tidak tepat dapat dikatakan sama pentingnya dengan perubahan lingkungan dan polusi yang hampir tidak dapat dihitung. Oleh karena itu, menjadi penting bagi semua negara di dunia untuk memiliki pengukuran yang handal dan teliti, yang disepakati dan diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengukuran di seluruh dunia. Ketertelusuran pengukuran (traceability of measurement) secara internasional disepakati definisinya sebagai "sifat dari hasil pengukuran atau nilai dari suatu standar yang dapat dihubungkan ke acuan tertentu, yang biasanya berupa standar nasional atau internasional, melalui rantai perbandingan yang tidak terputus beserta ketidakpastiannya" [21]. Konsep ketertelusuran pengukuran inilah yang kemudian dipandang sebagai elemen utama untuk dapat mewujudkan kesetaraan antara hasil penilaian kesesuaian terhadap persyaratan standar, yang diberlakukan sebagai dasar penetapan regulasi teknis yang ditetapkan oleh berbagai negara di dunia sebagaimana dinyatakan dalam WTO-TBT yang kemudian diadopsi dan ditindaklanjuti sebagai rekomendasi berbagai organisasi kerjasama ekonomi regional, termasuk Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). 3 Untuk mengelola hal-hal yang terkait dengan kegiatan Standar dan Kesesuaian, APEC membentuk lima organisasi spesialis regional, yang dua di antaranya adalah organisasi spesialis terkait dengan kegiatan kemetrologian, yaitu: Asia Pacific Metrology Programme (APMP) yang mengoordinasikan kegiatan pengelolaan dan pengembangan standar pengukuran nasional negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Asia Pacific Legal Metrology Forum (APLMF) untuk mengoordinasikan harmonisasi regulasi metrologi legal negara-negara di Asia Pasifik, sedangkan tiga organisasi spesialis regional lainnya adalah: Pacific Area Standard Conference (PASC) terkait dengan kerjasama harmonisasi standard dokumen, Asia Pacific Laboratory Accreditation Cooperation (APLAC) terkait dengan akreditasi laboratorium dan lembaga inspeksi serta Pacific Accreditation Cooperation (PAC) terkait dengan koordinasi sistem akreditasi lembaga sertifikasi. Organisasi ekonomi regional lainnya, termasuk Uni Eropa, juga memiliki organisasi spesialis serupa yang masing-masing juga menjadi fasilitator bagi wilayahnya dalam mengintegrasikan diri ke dalam pasar global. Jembatan ke pasar global adalah skemaskema yang dikembangkan oleh: 4 Bureau Internationale des Poids et Mesures (BIPM) untuk pengelolaan standar pengukuran nasional, Organisation Internationale de Metrologie Legale (OIML) untuk kegiatan metrologi legal, International Laboratory Accreditation Cooperation (ILAC) untuk akreditasi laboratorium termasuk laboratorium kalibrasi, International Organization on Standardization (ISO) dan International Electrotechnical Committe (IEC) untuk standar dokumen, serta International Accreditation Forum (IAF) untuk akreditasi lembaga sertifikasi. CGPM Akreditasi Ketertelusuran Penilaian Kesesuaian WTO/OIML PASAR GLOBAL ILAC/IAF Standar Regulasi ISO/IEC/ Codex Gambar 1. Infrastruktur Perdagangan Global: Aspek-aspek dalam perdagangan global dan lembaga-lembaga internasional yang mewadahinya. Dalam perkembangannya, ketika pengukuran diperlukan untuk mendukung industri dalam memperoleh keberterimaan produk mereka di pasar global, dan juga untuk melindungi kepentingan masyarakat dan pelaku usaha, metrologi berkembang menjadi tiga kategori: metrologi industri, metrologi legal dan metrologi ilmiah. Klasifikasi ini di tingkat internasional mulai diperkenalkan di Masyarakat Eropa melalui European Collaboration in Measurement Standards (EUROMET; kemudian menjadi Euramet). Metrologi industri ditujukan untuk memberikan kepastian akurasi peralatan yang digunakan di dalam proses perancangan, proses produksi dan proses pengujian karakteristik produk industri sedemikian hingga mutu produknya dapat diterima secara internasional, sedangkan metrologi legal ditujukan untuk memastikan kebenaran pengukuran dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan keadilan transaksi, kesehatan masyarakat, pelindungan lingkungan, dan keselamatan. Baik kegiatan metrologi industri maupun metrologi legal pada dasarnya harus dapat diakui kebenarannya secara internasional. Oleh karena itu pula, setiap negara harus mampu menjamin bahwa setiap pihak yang melakukan pengukuran didukung dengan acuan pengukuran nasional yang diakui kebenaran dan kesetaraannya oleh semua negara di dunia. Kebutuhan ini kemudian melahirkan kategori metrologi ilmiah, yang berkaitan dengan pengembangan ilmu metrologi dan standar-standar pengukuran yang kebenaran dan kesetaraannya diterima secara internasional [33]. Kategorisasi kegiatan kemetrologian yang diperkenalkan oleh 5 EUROMET ini nampaknya kemudian diterima secara internasional dalam pengelompokan aplikasi sistem metrologi. Di dalam United Nation Millenium Development Goals and Action Plan yang dihasilkan dari World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesberg tahun 2002 dinyatakan bahwa "Pengembangan yang tepat dan implementasi secara efektif infrastruktur regulasi teknis, metrologi, standar dan penilaian kesesuaian (termasuk akreditasi) yang digunakan oleh masyarakat dunia untuk menyelesaikan isu-isu optimisasi proses produksi, kesehatan, perlindungan konsumen, lingkungan, keamanan dan mutu serta mengendalikan resiko dan area kegagalan pasar, akan mendorong pembangunan yang berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan dan dapat memfasilitasi perdagangan" [34]. Untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang untuk dapat berpartisipasi dan bersaing dalam pasar global kemudian dibentuklah Joint Committee on Coordination of Assisstance to Developing Countries in Metrology, Accreditation and Standardization ( JCDCMAS), yang beranggotakan: Bureau International des Poids et Mesures (BIPM) International Accreditation Forum (IAF) International Electrotechnical Commission (IEC) International Laboratory Accreditation Co-operation (ILAC) International Organization for Standardization (ISO) International Trade Centre – UNCTAD/WTO (ITC) Telecommunication Standardization Bureau of International Telecommunication Union (ITU-T) Organisation Internationale de Métrologie Légale (OIML) United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Mengingat pentingnya harmonisasi infrastruktur teknis antar negara yang diperlukan untuk implementasi aturan perdagangan global secara efektif, berkaitan dengan metrologi, JCDCMAS kemudian merekomendasikan perlunya pedoman bagi negaranegara yang sedang berkembang untuk mengembangkan peraturan perundang-undangan kemetrologian di tingkat nasional. Rekomendasi internasional tentang peraturan perundang-undangan kemetrologian ini kemudian diterbitkan oleh OIML sebagai International Document OIML D1 "Elements for a Law on Metrology". Karena pentingnya kegiatan kemetrologian dalam proses integrasi ekonomi suatur negara ke dalam infrastruktur pasar global, hampir setiap negara di dunia memiliki undangundang metrologi. Berikut ini adalah contoh undang-undang metrologi yang pada saat ini telah ditetapkan dan sedang diimplementasikan oleh negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara maju di dunia: 6 Indonesia: Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal Vietnam: Ordinance on Measurement (No. 16/1999/PL-UBTVQH 10 of October 6, 1999) Jordania: Standards and Metrology Law for the Year 2000 Afrika Selatan: Measurement Units and Measurement Standards Act, 2006 Republik Slovenia: Metrology Act Ur. I. Rs No. 22/00 Thailand: National Metrological System Development Act, B.E. 2540 (1997) Australia: National Measurement Act 1960 (with amendments up to Act No. 27 of 2004) Di samping penetapan UU kemetrologian hampir di seluruh negara di dunia yang menunjukkan pentingnya kegiatan kemetrologian dalam mendukung mutu kehidupan suatu bangsa dan pentingnya kegiatan kemetrologian sebagai prasyarat untuk tercapainya tujuan pembentukan organisasi-organisasi internasional di berbagai sektor, terlihat secara jelas dengan semakin banyaknya kesepakatan dalam bentuk Memorandum of Understanding maupun kesepakatan lain antara Comité International de Poids et Mesure (CIPM) dengan berbagai organisasi internasional, antara lain: Nota Kesepahaman antara World Health Organization (WHO) dan CIPM Nota Kesepahaman antara World Meteorogical Organization (WMO) dan CIPM Bergabungnya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional anggota CIPM Pernyataan bersama antara OIML – ILAC – CIPM Posisi BIPM sebagai pengamat resmi pertemuan Codex Alementarius Commission (joint FAO/WHO Food Standards Programme) Nota Kesepahaman antara ILAC dan CIPM Nota Kesepahaman antara National Conference of Standards Laboratory (NCSLi) dan CIPM Nota Kesepahaman antara ISO dan CIPM. B. Lingkup Kegiatan Kemetrologian Sesuai dengan perkembangan organisasi-organisasi internasional dan regional yang mengembangkan kerjasama kegiatan kemetrologian di tingkat internasional dan regional yang dapat dikelompokkan sebagai kerjasama pengelolaan standar pengukuran nasional yang diorganisasikan oleh BIPM, kerjasama harmonisasi regulasi metrologi legal oleh OIML dan kerjasama harmonisasi kompetensi laboratorium kalibrasi melalui akreditasi sebagai salah satu lingkup kerjasama ILAC, maka penjelasan tentang lingkup kegiatan berikut ini disusun berdasarkan lingkup kegiatan organisasi-organisasi internasional tersebut. 7 Realisasi satuan SI, pemeliharaan dan diseminasi SNSU METROLOGI ILMIAH Ketertelusuran pengukuran Pe ng uk ur an di pro s indus e s pr t r i, o d uk J ap e s i, minn a ngm uujia t un , t unt u t a n pa sa r METROLOGI INDUSTRI m a n, a la g n d a ga n t a n a r k u pe r d s e h a u g i e pa n Pe n s a k s a n k n e ra g n t r a indun a na n m, pe n da nga l n pe r k e a m a n umu a ng-u d da n e nt ing pe run ke p t ura n a pe r METROLOGI LEGAL Gambar 2. Pembagian metrologi menjadi tiga kelompok utama: metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi legal Metrologi legal Metrologi legal mencakup semua kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan persyaratan legal mengenai pengukuran, satuan pengukuran, alat ukur dan metode pengukuran. Kegiatan ini dilakukan oleh atau atas nama otoritas pemerintah untuk menjamin tingkat kredibilitas hasil pengukuran yang layak pada area yang diwajibkan oleh pemerintah. Metrologi legal bukanlah sebuah disiplin di dalam metrologi, melainkan aplikasi ilmu kemetrologian untuk memperoleh ketertelusuran dan acuan yang tepat dan dapat berlaku untuk setiap besaran yang tercakup dalam kegiatan kemetrologian. Metrologi legal tidak hanya berlaku bagi pelaku perdagangan, tetapi juga ditujukan untuk perlindungan setiap warga negara dan masyarakat secara keseluruhan, misalnya penegakan hukum, kesehatan, keselamatan dan perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus pada hasil pengukuran khususnya bila terdapat potensi konflik kepentingan terhadap hasil pengukuran terebut, sehingga memerlukan intervensi wasit yang tidak memihak. Metrologi legal khususnya diperlukan bila kekuatan pasar tidak cukup terorganisir atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang. Metrologi 8 legal umumnya mencakup pengaturan berkaitan dengan satuan pengukuran, hasil pengukuran (misalnya barang dalam keadaan terbungkus) dan terhadap alat ukur. Pengaturan tersebut meliputi kewajiban hukum berkaitan dengan hasil pengukuran dan alat ukur, dan juga pengendalian legal yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah. Membeli atau menjual barang dan jasa seringkali mencakup penimbangan atau pengukuran kuantitas dan/atau mutu produk, dan juga produk dalam keadaan terbungkus yang menyatakan ukuran massa dan volume, serta layanan pengukuran lain seperti waktu atau jarak. Tanggung jawab pemerintah juga mencakup peraturan perundang-undangan terkait dengan kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan. Meskipun fungsifungsi ini pada umumnya tersebar di berbagai kewenangan pemerintah, dalam hal tertentu tercakup kesamaan bila peraturan perundang-undangan tersebut bergantung pada hasil pengukuran. Oleh karena itu proses pengukuran seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah menetapkan peraturan perundang-undangan, mengendalikan pengukuran melalui pengawasan pasar dan mengembangkan serta memelihara infrastruktur yang dapat mendukung akurasi pengukuran tersebut (melalui ketertelusuran) yang sangat mendasar untuk melengkapi peran pemerintah. Karena tujuan akhir dari metrologi legal adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap hasil pengukuran dengan pengaturan legal, kebutuhan dan persyaratan hasil pengukuran harus dipertimbangkan sebelum menetapkan persyaratan terhadap alat ukur. Metrologi legal dapat mencakup empat kegiatan utama: penetapan persyaratan legal; pengendalian atau penilaian kesesuaian produk atau kegiatan yang tercakup dalam regulasi; pengawasan produk dan kegiatan yang tercakup di dalam regulasi; dan pendirian infrastruktur yang memadai untuk memastikan ketertelusuran dari pengukuran atau alat ukur yang tercakup di dalam regulasi Metrologi Industri Telah dijelaskan bahwa metrologi legal diperlukan bila kekuatan pasar tidak cukup terorganisir atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang, sehingga pemerintah harus bertindak sebagai wasit untuk memastikan keadilan dalam kondisi-kondisi tersebut. Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak semua kegiatan mengukur memerlukan keterlibatan pemerintah secara langsung sebagai wasit yang harus menjamin keadilan dalam kegiatan pertukaran atau transaksi yang melibatkan pengukuran. Bagi produsen manufaktur, misalnya produksi suku cadang kendaraan bermotor, kegiatan kemetrologian lebih diperlukan dalam proses perancangan, produksi maupun pengujian dan inspeksinya untuk memastikan bahwa produknya memenuhi keinginan pasar, dalam arti cocok untuk dipasang menggantikan suku cadang aslinya, sehingga produk tersebut dapat diterima oleh pasar dan memberikan keuntungan ekonomis bagi produsen tersebut. 9 Di sisi lain, bagi produsen kendaraan bermotor yang membeli suku cadang dari pihak lain untuk dipasang pada produknya, kegiatan kemetrologian khususnya diperlukan untuk menguji atau menginspeksi suku cadang yang dibelinya sehingga terhindar dari resiko kerugian akibat suku cadang yang telah dibeli dalam jumlah besar sebagian besar tidak dapat dipasang dalam finalisasi produknya. Dapat dikatakan dalam contoh transaksi ini, kedua belah pihak memiliki kemampuan dan kompetensi yang seimbang untuk memastikan dapat memperoleh keuntungan ekonomi yang setimbang dengan investasi yang telah dilakukannya. Demikian pula, bagi lembaga penelitian, kegiatan kemetrologian diperlukan dalam proses penelitian dan pembuatan prototipenya untuk memastikan bahwa produk penelitiannya dapat diterima atau dibeli oleh pasar, sedemikian hingga dalam kasus ini tidak diperlukan pula keterlibatan pemerintah secara langsung sebagai wasit yang menjamin keadilan transaksi antara peneliti dengan pembeli produk penelitian. Secara teknis, kegiatan untuk memastikan ketertelusuran pengukuran ini dapat dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta. Partisipasi pihak swasta sangat diperlukan, karena sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan industri, cakupan besaran yang harus dapat dipastikan ketertelusurannya menjadi semakin banyak, dan perkembangan ini akan terus berjalan. Untuk memastikan bahwa pengukuran yang dilakukan memiliki tingkat kebenaran yang layak, pemerintah perlu untuk mengembangkan sistem pengakuan kompetensi terhadap pihak-pihak yang melakukan kegiatan kemetrologian, sehingga transaksi-transaksi yang dilaksanakan tanpa kehadiran pemerintah secara langsung sebagai wasit, tetap terjamin keadilan dan keterpercayaannya. Metrologi Ilmiah Kegiatan metrologi legal dan kegiatan kemetrologian lainnya pada dasarnya merupakan aplikasi dari metrologi, yang tujuan utamanya untuk mewujudkan kepercayaan terhadap hasil pengukuran melalui penciptaan rantai ketertelusuran ke acuan yang sama. Supaya setiap pihak di suatu negara dapat memiliki tingkat kepercayaan yang sama terhadap hasil pengukuran, tentunya diperlukan acuan pengukuran nasional yang dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan kemetrologian. Lebih jauh lagi, dalam konteks transaksi lintas negara, diperlukan standar pengukuran yang dapat diterima oleh semua negara, sedemikian hingga hasil-hasil pengukuran dari suatu negara dapat diterima dan dipercaya oleh negara-negara lain. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan standar pengukuran yang bersifat universal dan dapat mengakomodasi perkembangan ilmu dan teknologi yang menggerakkan pasar. Dalam sejarahnya, sejak awal telah ditemukan adanya kesulitan untuk mewujudkan prototipe yang seragam, yang kemudian dapat dikelola oleh setiap negara sedemikian hingga setiap negara memiliki acuan yang sama. Kesulitan ini kemudian menggerakkan perubahan definisi standar pengukuran internasional, dari yang semula berupa prototipe internasional, menjadi definisi-definisi berdasarkan tetapan alamiah, yang dapat direalisasikan oleh negara mana pun. Untuk dapat menjamin kesetaraan standar pengukuran suatu negara dengan standar pengukuran negara lain, tentunya diperlukan 10 lembaga yang diberi tanggung jawab untuk mengelola standar pengukuran nasional dan mengupayakan kesetaraan standar pengukuran nasional tersebut dengan standar pengukuran negara-negara lain dan nilai yang disepakati secara internasional. Ilmu pengukuran merupakan ilmu lintas disiplin yang dapat mengintegrasikan berbagai cabang ilmu, oleh karena itu untuk mendukung seluruh aspek kegiatan kemetrologian diperlukan pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengukuran. Lebih jauh lagi, karena kebutuhan kegiatan kemetrologian mencakup lintas negara, diperlukan teori-teori pengukuran yang koheren dan disepakati secara internasional sedemikian sehingga aplikasinya dalam berbagai bidang oleh berbagai negara yang saling bertransaksi dapat dipercaya satu sama lain. Teori-teori pengukuran yang kemudian disepakati oleh masyarakat metrologi internasional ini perlu selalu diikuti perkembangannya oleh setiap negara, dipahami, didiseminasikan dan kemudian diimplementasikan di berbagai sektor kehidupan sehingga sistem metrologi di negara tersebut dapat mencapai tujuannya. Dengan didasarkan pada penguasaan terhadap ilmu pengukuran inilah suatu bangsa dapat mengembangkan standar pengukuran nasionalnya yang setara dengan standar pengukuran negara lain, dan dengan penguasaan ilmu pengukuran yang lebih tinggi, pemerintah negara dapat menetapkan persyaratan-persyaratan teknis yang lebih tinggi untuk memroteksi kepentingan negaranya. C. Peran Negara dalam Kegiatan Kemetrologian Peran negara dalam kegiatan kemetrologian adalah untuk memberikan piranti yang diperlukan dalam menjamin kepercayaan terhadap hasil pengukuran. Hal ini mewajibkan pemerintah melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memromosikan metrologi, mengembangkan infrastruktur kemetrologian yang memadai, mendukung penelitan metrologi untuk melindungi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kecurangankecurangan yang berkaitan dengan pengukuran. Kegiatan ini harus diatur di dalam kebijakan yang komprehensif dan koheren, sehingga diperlukan peraturan perundangundangan kemetrologian. Elemen metrologi modern telah berkembang sedemikian hingga tidak hanya terbatas pada kegiatan tradisional metrologi legal. Pentingnya kegiatan kemetrologian bagi pembangunan sosial ekonomi memerlukan kebijakan metrologi yang komprehensif dan koheren yang mempertimbangkan isu-isu terkait dengan pelanggan, pengusaha, pendidikan, kesehatan, keselamatan dan keamanan warga negara. Dalam mengembangkan sistem metrologi nasional, pemerintah hendaknya menjamin adanya transparansi sehingga setiap pihak yang berkepentingan dengan metrologi dapat membuat keputusan dengan tepat. D. Perlunya Kesesuaian antara Sistem Metrologi Nasional dan Internasional Setiap negara memiliki perspektif sejarahnya masing-masing dalam pengembangan persyaratan kemetrologian. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan perdagangan global yang kerangkanya disepakati secara internasional dalam WTO-TBT terdapat beberapa ketentuan yang harus diikuti oleh negara-negara anggota WTO yang diperlukan 11 untuk memastikan partisipasi aktif dalam perdagangan global dan tentunya mengambil manfaat darinya. Pasal 2.4 WTO-TBT mewajibkan setiap negara untuk mendasarkan regulasi teknisnya pada standar (dokumen) internasional sedemikian hingga untuk mengharmonisasikan persyaratan nasionalnya. Di samping itu, Pasal 6 WTO-TBT penandatangan perjanjian tersebut untuk mempertimbangkan dan berpartisipasi di dalam sistem penilaian kesesuaian dan perjanjian pengakuan timbal-balik internasional. Berkaitan dengan dasar-dasar sistem metrologi internasional, komunitas internasional yang hampir mencakup seluruh negara di dunia telah mengadopsi sistem satuan, standar pengukuran, dan persyaratan alat ukur melalui organisasi perjanjian antar negara, yaitu Konvensi Meter dan OIML. Dan untuk memfasilitasi harmonisasi sistem metrologi secara internasional, telah pula dibentuk organisasi metrologi regional untuk mengharmoniskan persyaratan metrologi antar negara-negara anggotanya. Tujuan dari organisasi-organisasi tersebut adalah untuk memfasilitasi perdagangan melalui kesetaraan hasil pengukuran dan alat ukur. Organisasi-organisasi tersebut kemudian memublikasikan dokumen dan rekomendasi internasional yang ditujukan sebagai acuan utama pengembangan infrastruktur metrologi nasional. Organisasi-organisasi internasional terkait dengan kemetrologian tersebut juga telah mengembangkan sistem saling mengakui keberterimaan dari kesetaraan standar pengukuran, kesetaraan kemampuan pengukuran nasional, kesetaraan kompetensi laboratorium kalibrasi, dan kesetaraan penilaian metrologi legal. Sesuai dengan sifat dokumen dan juga aturan-aturan yang telah disepakati secara internasional, dokumendokumen tersebut berisi persyaratan-persyaratan yang dapat diterapkan sebagai persyaratan dan ketentuan dalam struktur metrologi suatu negara. Adopsi ketentuan di dalam dokumen-dokumen tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk: acuan pada edisi tertetu; mencuplik teks dokumen tersebut ke dalam regulasi; adopsi persyaratan yang identik, tetapi tidak dalam teks yang sama; atau adopsi persyaratan yang tidak identik, tetapi bersesuaian 1.1.2 Latar Belakang Historis Kegiatan kemetrologian merupakan sebuah kegiatan yang telah dilangsungkan dan diatur oleh umat manusia sejak masa lampau, dan bahkan merupakan sebuah kegiatan yang termuat di dalam kitab suci setiap agama-agama di dunia. Pada zaman Fir’aun Mesir Kuno 3000 tahun sebelum Masehi, telah tercatat adanya kegiatan metrologi, yang berupa penetapan standar pengukuran panjang yang digunakan untuk pembangunan piramid. Standar panjang yang disebut dengan "cubit" pada saat itu didefinisikan sebagai panjang lengan bawah dari siku ke ujung jari tengah Fir’aun yang sedang memerintah ditambah dengan lebar telapak tangannya. Standar tersebut kemudian direalisasikan dengan pahatan pada granit hitam. Pekerja di lokasi bangunan diberi salinan granit atau kayu dan tanggung-jawab arsitek adalah memelihara standar panjang tersebut. Bahkan untuk 12 memastikan keinginan Fir’aun mewujudkan piramid sebagai bukti kebesarannya, pada saat tersebut dibuat sanksi hukum bagi "para pekerja yang melalaikan tugasnya untuk mengalibrasi standar panjang yang menjadi tanggung jawabnya pada setiap bulan purnama". Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ilmiah untuk mendefinisikan dan merealisasikan standar pengukuran dan juga pengaturan kegiatan mengalibrasi standar pengukuran yang digunakan untuk keperluan yang diinginkan oleh penguasa (negara) telah dilakukan di masa itu. Pada masa kekaisaran Romawi telah ditetapkan juga standar pengukuran panjang yang digunakan untuk memastikan ukuran lebar roda kereta yang digunakan untuk transportasi tentara kekaisaran. Perkembangan kegiatan kemetrologian modern, yang merupakan awal perkembangan organisasi metrologi internasional saat ini, adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah Prancis pada saat Revolusi Prancis untuk memberikan tanggung jawab standar pengukuran yang sebelumnya ditetapkan dengan kewenangan negara ke tangan para ilmuwan dalam Akademi Sains (Académie des sciences). Salah satu standar pengukuraan pertama yang direkomendasikan oleh Akademi Sains dan didefinisikan dari tetapan alam adalah meter, yang didefinisikan di dalam keputusan Majelis Nasional (Assemblée nationale, 7 April 1795) sama dengan sepersepuluh juta bagian dari seperempat meridian, yang direalisasikan dengan sepersepuluh juta bagian dari jarak antara Dunkerque dan Barcelona. Dengan keputusan yang sama pada saat itu ditetapkan pula definisi kilogram sebagai berat air dalam volume tertentu, dalam bentuk cairan yang dimurnikan. Keputusan Akademi Nasional Prancis ini membuahkan Undang-undang Timbangan dan Ukuran 1795 yang menetapkan Sistem Metrik Desimal, yang tercatat sebagai peraturan perundang-undangan modern pertama yang mengatur kegiatan kemetrologian. Sebagai implementasi dari Undang-undang Timbangan dan Ukuran 1795 dibuatlah prototipe standar meter dan kilogram yang pertama, yang kemudian digunakan untuk seluruh salinan prototipe, disimpan di Arsip Republik Prancis sejak tahun 1799, dan didedikasikan untuk seluruh umat manusia di setiap waktu yang menggunakan Sistem Metrik Desimal. Gambar 3. Prototipe Kilogram dan Meter Karena kesederhanaan dan sifat universalnya, Sistem Metrik Desimal menyebar dengan cepat ke nagara-negara lain. Pembangunan jalan kereta, pertumbuhan industri dan meningkatnya kebutuhan pertukaran sosial dan ekonomi memerlukan satuan pengukuran yang akurat dan handal. Sistem ini kemudian diadopsi pada permulaan abad ke 19 di beberapa propinsi di Italia, diadopsi oleh negeri Belanda sejak 1816 dan dipilih oleh 13 Spanyol pada tahun 1849. Di Prancis sendiri sistem metrik desimal kemudian diadopsi secara eksklusif dengan Undang-Undang pada 4 Juli 1837. Setelah 1860, beberapa negara Amerika Latin menggunakan meter, dan terdapat peningkatan adopsi sistem metrik oleh negara-negara lain selama akhir abad ke 19 (sebagai contoh, AS pada tahun 1866, Kanada pada tahun 1871, dan Jerman pada tahun 1871). Kegiatan kemetrologian pada abad ke-19 juga merupakan faktor pendukung yang sangat diperlukan untuk menjamin mutu dan efisiensi produksi di industri, keadilan dalam perdagangan, perlindungan konsumen, kesehatan dan keselamatan hidup manusia dan binatang serta perlindungan lingkungan. Peran metrologi bagi kalangan industri manufaktur ini dimulai oleh Eli Whitney di AS yang memperkenalkan produksi masal kepada industri di Amerika pada tahun 1820-an, Joseph Withworth di Inggris pada tahun 1830-an yang memperkenalkan gauge dan penggunaan permukaan rata secara sistematis di dalam mesin dan mengajukan proposal untuk menstandardisasikan ulir sekrup; dan pada tahun 1869, Auguste de Rive dan Marc Anthoine Thury mendirikan Société Genevoise D´Instruments de Physique – perusahaan pertama di dunia yang melakukan produksi masal piranti permesinan. Dengan semakin besarnya peran kemetrologian dalam pertukaran produk manufaktur antar negara, berikutnya tampak adanya kesulitan karena negara-negara industri pada saat itu kemudian bergantung pada duplikat prototipe internasional. Dalam hal ini diperlukan keseragaman pembuatan duplikat prototipe internasional, yang ternyata masih memiliki variasi yang cukup tinggi sehingga menjadi penghambat bagi standardisasi sistem pengukuran yang diharapkan oleh masyarakat internasional pada saat itu. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, kemudian BIPM didirikan melalui perjanjian diplomatik yang dikenal dengan Convention du Mètre (Konvensi Meter) pada 20 Mei 1875. Untuk memperingati penandatanganan konvensi tersebut, tanggal 20 Mei kemudian dinyatakan sebaga Hari Metrologi Dunia. Kegiatan kemetrologian di dunia terus berkembang, dan karena penetapan regulasi metrologi di berbagai negara ternyata dapat menjadi hambatan perdagangan antar negara, pada tahun 1955 dibentuklah organisasi metrologi legal, OIML yang lingkup kegiatannya adalah mengharmonisasikan persyaratan-persyaratan untuk peralatan ukur, proses pengukuran, dan juga barang dalam keadaan terbungkus yang diadopsi oleh negara-negara anggotanya. Gambar 4. Perangko yang diterbitkan oleh Prancis untuk memperingati 100 tahun Konvensi Meter Perkembangan metrologi di Indonesia mulai diatur sejak tahun 1923, yaitu dengan diberlakukannya Ordonansi Tera tahun 1923 yang mengalami empat kali perubahan dan 14 terakhir dengan Undang-undang R.I. No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal ( UUML). Dalam Penjelasan atas UU No. 2 Tahun 1981 diterangkan bahwa dengan masa peralihan selama 10 tahun, yang dalam pelaksanaannya 15 tahun, sejak 1 Januari 1938 di Indonesia berlaku secara resmi Satuan Sistem Metrik dalam ukuran, takaran, timbangan dan perlengkapannya yang menggantikan satuan sistem tradisional seperti elo, kati dan lain sebagainya. Ordonansi Tera telah mendasari ditandatanganinya Keppres No. 54/1957 tentang penunjukan Panitia Induk untuk Meter dan Kilogram dan Keppres No. 55/1957 tentang penunjukan meter (X 27) dan kilogram (K 46) sebagai standar nasional. Semua ketentuan ini sudah tidak berlaku dengan diberlakukannya UUML tersebut di atas. Selain mengadopsi Sistem Internasional Satuan (SI) sebagai satu-satunya sistem satuan yang berlaku secara resmi di Indonesia, UU No. 2 Tahun 1981 mengatur tentang standarstandar, peralatan ukur, tera dan tera ulang, barang dalam keadaan terbungkus, perbuatan yang dilarang, ketentuan pidana, pengawasan dan penyidikan. Istilah lembaga metrologi nasional (LMN) tidak dikenal dalam UU No. 2 Tahun 1981 dan semua peraturan atau keputusan di bawahnya yang berlaku saat ini. Walupun demikian, suatu penafsiran terhadap keberadaan LMN dapat dikembangkan dari substansi yang diamanatkan UUML. Setelah penetapan UU No. 2 Tahun 1981 kemudian ditetapkan tentang: pembentukan Dewan Standardisasi Nasional (DSN) melalui Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1989, Standar Nasional Satuan Ukuran (SNSU) melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1989, pembentukan Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melanjutkan tugas Dewan Standardisasi Nasional melalui Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997, dan pembentukan Lembaga Pembina SNSU yang dikenal dengan Komite Standar Nasional Satuan Ukuran (KSNSU) melalui Keputusan Presiden No. 79 Tahun 2001. Dalam Keputusan Presiden yang disebutkan terakhir, pengelolaan teknis ilmiah standar pengukuran nasional diserahkan kepada unit kerja di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bergerak di bidang metrologi. 1.1.3 Latar Belakang Sosio-Ekonomi A. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat Kita semua akhir-akhir ini sangat akrab dengan iklan yang dilakukan oleh Pertamina tentang layanan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di berbagai media televisi, radio maupun media cetak yang intinya ingin membangun kepercayaan masyarakat terhadap layanan SPBU Pertamina, melalui pernyataan "telah diaudit oleh auditor internasional", dengan salah satu fokus pada kebenaran takaran bahan bakar yang diberikan oleh SPBU Pertamina. Bila ditelusuri lebih lanjut, pernyataan tersebut didasarkan pada penggunaan jasa lembaga sertifikasi dan laboratorium berskala internasional, yaitu Bureau Veritas (BV) untuk mengaudit layanan SPBU Pertamina. BV 15 adalah lembaga sertifikasi yang berpusat di Perancis, dan beroperasi di berbagai negara, dan diakui kompetensinya di berbagai negara sebagai lembaga sertifikasi dan juga laboratorium independen melalui akreditasi di negara asalnya maupun melalui akreditasi di negara-negara lokasi operasinya oleh lembaga akreditasi nasional yang telah diakui secara internasional untuk melakukan akreditasi lembaga sertifikasi melalui skema saling mengakui yang dikembangkan oleh IAF, dan untuk laboratorium diakreditasi oleh badan akreditasi yang mendapat pengakuan internasional dalam skema ILAC. Bahan bakar merupakan komponen penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak problem sosial, seperti sering kita lihat dalam berbagai media akhir-akhir ini, disebabkan oleh kelangkaan bahan bakar, ataupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam pengadaan bahan bakar maupun menjamin kebenaran takaran penjualan bahan bakar. Dalam kaitannya dengan kepercayaan masyarakat seperti dicontohkan dalam paragraf di atas, memang tujuan akhir dari Pertamina adalah aspek ekonomi, dalam hal ini agar SPBU-nya tetap laku dalam bersaing dengan SPBU-SPBU milik asing yang telah mendapat ijin operasi di Indonesia. Namun demikian pernyataan "telah diaudit oleh auditor internasional" dalam iklan secara tidak langsung menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap layanan SPBU (termasuk takaran penjualan bahan bakar) menurut Pertamina hanya dapat dibangun melalui penggunaan lembaga sertifikasi asing. Hal ini menunjukkan bahwa secara sosiologis, dalam analisis pemasok, masyarakat tidak cukup percaya atau mungkin tidak tahu bahwa pemerintah telah melakukan pengawasan terhadap kebenaran takaran penjualan bahan bakar di SPBU melalui kegiatan metrologi legal. Kenyataan ini seharusnya menjadi pemacu bagi pemerintah untuk melakukan berbagai usaha yang diperlukan dalam membangun kepercayaan masyarakat bahwa dalam kasus ini, pemerintah telah menjamin kebenaran takaran penjualan bahan bakar di SPBU melalui kegiatan metrologi legalnya, sehingga tidak diperlukan lagi jaminan tambahan dari pihak luar. Dari sisi lain, penggunaan jasa pihak luar oleh pengusaha, apalagi dalam hal Pertamina adalah badan usaha milik negara, menunjukkan bahwa pengusaha pun tidak cukup percaya terhadap pemerintah bahwa kegiatan metrologi legal yang dilakukan oleh pemerintah dapat membawa kepercayaan bagi konsumen SPBU. Porsi kegiatan metrologi dalam kehidupan sosial masyarakat sebagian besar merupakan kontribusi dari kegiatan metrologi legal. Sesuai dengan lingkupnya, metrologi legal merupakan implementasi metrologi dalam kaitannya dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan perlindungan kepentingan umum, perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta perlindungan lingkungan. Peraturan perundang-undangan metrologi legal hendaknya mencakup berbagai jenis alat ukur maupun proses pengukuran yang terkait dengan halhal tersebut dan dilaksanakan secara transparan dan dijamin kompetensinya dengan skema pengakuan kompetensi yang dipercaya oleh masyarakat sedemikian hingga metrologi dapat menjamin rasa saling peercaya baik antar masyarakat, antara masyarakat dengan pelaku usaha, antara masyarakat dengan pemerintah, dan juga antara pelaku usaha 16 dengan pemerintah. Bila mengacu pada filosofi sistem metrologi yang telah dikenal dan diharmonisasikan secara internasional, hal tersebut harus dijamin dengan sebuah sistem yang mampu mengoperasikan sistem metrologi secara utuh. Untuk membangun kepercayaan masyarakat, metrologi legal memerlukan adanya jaminan kompetensi yang memadai, jaminan kompetensi ini memerlukan lembaga independen penilai kompetensi, yang secara internasional dikenal dengan badan akreditasi, dan untuk memastikan kebenaran pengukuran dalam lingkup metrologi legal, maka proses kalibrasi yang terlibat didalamnya harus mengacu pada kegiatan pengelolaan standar pengukuran yang kompetensinya diakui pula. Penerapan sistem metrologi yang harmonis dengan perkembangan sistem metrologi internasional, dari ilustrasi singkat yang sering kita temukan saat ini dalam bentuk iklan SPBU Pertamina, telah berkembang menjadi prasyarat untuk membangun kepercayaan, sebagaimana ditunjukkan bahwa pernyataan ’telah diaudit oleh auditor internasional’ menjadi kata kunci, yang dalam perspektif pengusaha digunakan sebagai pernyataan yang dianggap mampu mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan yang diberikannya. B. Perlindungan Kepentingan, Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Masyarakat, serta Kelestarian Lingkungan Dalam pelayanan dan diagnosis kesehatan terdapat banyak sekali diagnosis yang didasarkan pada hasil pengukuran terhadap gejala-gejala yang terjadi di tubuh manusia. Sebagai contoh sederhana, dalam pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan tekanan darah merupakan salah satu pemeriksaan rutin menggunakan spygnomanometer. Betapa besar resiko yang ditanggung oleh pasien bila misalnya alat ukur mengalami kesalahan sedemikian hingga seorang pasien yang tekanan darahnya terlalu tinggi dinyatakan normal berdasarkan pembacaan alat ukur yang digunakan oleh tenaga medis. Hal serupa dapat terjadi dalam penggunaan electrocardiograph. Kejadian yang sangat fatal juga dapat terjadi pada foto sinar-X, bila pengatur dosis sinar-X yang digunakan oleh tenaga medis ternyata memiliki kesalahan yang cukup besar, sehingga dosis radiasi yang dipancarkannya lebih besar dari ambang batas aman bagi pasien. Betapa besarnya pengaruh negatif yang akan ditanggung oleh pasien. Dalam hal penggunaan layanan kesehatan menggunakan alat ukur, dapat dikatakan terjadi transaksi yang tidak seimbang, karena pasien selaku pembeli layanan tidak mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk memastikan kebenaran proses-proses pengukuran yang dilakukan pada saat transaksi layanan kesehatan tersebut. Oleh karena itu pemerintah wajib untuk menerapkan aturanaturan serta menetapkan batas kesalahan alat ukur untuk suatu layanan medis tertentu sehingga kesehatan, keselamatan dan kepentingan pasien dapat dilindungi. Saat ini, polusi udara telah menjadi sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan karena dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat dan juga lingkungan hidup. Dalam pengendalian polusi udara ini, sudah barang tentu diperlukan alat-alat ukur yang kebenarannya harus selalu diawasi oleh atau atas nama pemerintah sedemikian hingga keputusan-keputusan yang diambil terkait dengan pencemaran udara ini akan benar-benar 17 bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pelestarian lingkungan. Masih berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup, alat-alat ukur yang digunakan untuk memantau pencemaran air yang disebabkan oleh limbah industri yang dibuang ke sungai juga memerlukan proses pengukuran dan alat-alat ukur yang kebenarannya harus dijamin oleh atau atas nama pemerintah. Di negara-negara maju, usaha untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas juga dilakukan dengan pengukuran kandungan alkohol dalam nafas pengendara kendaraan bermotor dengan alcohol breath meter, sebagai bagian dari razia yang dilakukan oleh polisi lalu lintas. Untuk memastikan kebenaran keputusan yang diambil oleh polisi lalu lintas, alcohol breath meter digolongkan sebagai peralatan yang akurasinya diatur dalam regulasi metrologi legal di negara tersebut. Dari hasil evaluasi di beberapa negara maju, termasuk Australia, AS dan Singapura, regulasi ini sangat efektif untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas di negara-negara tersebut. C. Perlindungan Devisa Negara Ilustrasi berikut merupakan sebuah temuan oleh pemerintah Amerika Serikat yang teridentifikasi dalam dokumen "An Assessment on the United States Measurement System" tahun 2006, yang berkaitan dengan perlunya peningkatan ketelitian pengukuran aliran gas yang digunakan sebagai dasar transaksi impor gas Amerika Serikat: "Pada tahun 2004, AS mengimpor gas alam senilai 21 miliar Dollar AS per tahun dari Kanada melalui jaringan pipa gas, dan sekitar 4 miliar Dollar AS per tahun dari negara-negara lain. AS sendiri memiliki cadangan gas alam sebesar 3% dari cadangan gas alam di dunia. Penggunaan gas alam di AS pada tahun 2004 mencapai 100 milliar Dollar AS per tahun. Karena pembangunan pembangkit listrik di AS di masa depan direncanakan akan menggunakan gas alam, maka impor gas AS akan terus meningkat. Saat ini tingkat ketelitian pengukuran aliran gas dalam pipa tekanan tinggi yang mampu dicapai oleh AS adalah sekitar ± 0,5%, yang bila dikonversikan dalam nilai uang ekivalen dengan resiko kerugian dalam bentuk kelebihan pembayaran gas yang diterima senilai 0,5 milliar Dollar AS per tahun, yang kemudian harus ditanggung oleh pengguna gas alam di AS. Besarnya resiko kerugian tersebut hanya akan dapat dikurangi bila AS memiliki kemampuan pengukuran aliran gas dengan tingkat ketelitian yang lebih baik. Sebagai ilustrasi, bila ketelitian pengukuran dapat ditingkatkan manjadi 10 kali lebih baik, maka resiko kerugian yang mungkin dialami oleh AS akan menjadi 10 kali lebih kecil, atau akan berkurang sebesar 0,45 milliar Dollar AS. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut pemerintah AS kemudian menetapkan kerjasama antara National Institute of Standard and Technology (NIST), sebagai lembaga metrologi nasional AS, dengan laboratorium kalibrasi komersial yang memiliki kemampuan pengukuran gas terbaik di AS, yaitu Southwest Research Institute (SwRI) dan Colorado Engineering Experiment Station, Inc (CEESI) untuk meningkatkan ketelitian pengukuran aliran gas alam yang dapat dilakukan oleh AS, 18 sehingga sebagai importir AS dapat menjadi pihak yang mengendalikan transaksi. Pemerintah AS menargetkan kerjasama ini paling tidak dapat mencapai kemampuan pengukuran gas sekitar 0,15%, yang saat ini sudah mampu dicapai oleh Jerman dan Belanda" Dalam hasil penelitian yang dikutip di atas, pemerintah AS bertindak sebagai negara pengimpor dan pemakai gas alam. Sebaliknya, tim peneliti penyusun naskah akademik ini mencoba menggunakan logika yang digunakan oleh pemerintah AS untuk paling tidak memberikan ilustrasi tentang peranan metrologi, dalam hal ini kemampuan untuk melakukan pengukuran aliran gas dalam pipa, terhadap tingkat resiko kerugian yang dapat dialami oleh Indonesia sebagai pengekspor gas alam dan minyak bumi, sebagai berikut: "Pada tahun 2004 ekspor minyak bumi Indonesia sebesar 355 ribu barrel yang bernilai 6,2 miliar Dollar AS, dan eskpor gas alam sebesar 3 juta barrel yang bernilai 72 milliar Dollar AS. Perhitungan volume minyak bumi maupun gas alam tersebut tentunya dilakukan dengan alat-alat ukur yang memiliki ketelitian tertentu, yang seharusnya ditetapkan oleh pemerintah RI, sedemikian hingga resiko kerugian dalam bentuk kekurangan pembayaran oleh pembeli dapat dikendalikan. Bila pemerintah Indonesia hanya mampu memastikan bahwa alat-alat ukur yang digunakan dalam transaksi tersebut memiliki ketelitian ± 1 %, maka dalam resiko kerugian yang mungkin dialami oleh Indonesia dalam transaksi minyak bumi dan gas alam dengan nilai total sekitar 80 miliar Dollar tersebut dapat mencapai 0,8 milliar Dollar AS atau sekitar 7,26 trilliun Rupiah" Nilai resiko kerugian sebesar 7,26 trilliun Rupiah per tahun tersebut tentunya bukan merupakan resiko yang kecil bagi pemerintah RI. Transaksi minyak bumi dan gas alam merupakan sebuah kasus praktis yang dapat memberikan contoh secara jelas tentang peran proses pengukuran komoditas yang diperjualbelikan secara langsung terhadap resiko-resiko ekonomi yang mungkin harus ditanggung oleh sebuah negara. Dalam kasus produksi minyak dan gas di negeri ini, diketahui bahwa mayoritas ladang minyak dan gas kita dikelola oleh kontraktor asing dengan sistem bagi hasil. Dengan demikian nilai bagi hasil yang dapat diterima oleh pemerintah RI tentunya didasarkan transaksi penjualan yang dilakukan oleh kontraktor tersebut. Semua transaksi minyak dan gas, sebagaimana dijelaskan di atas, selalu didasarkan pada hasil pengukuran volume minyak dan gas yang diproduksi. Kemampuan pemerintah untuk memastikan tidak adanya kecurangan proses pengukuran yang dilakukan oleh para kontraktor merupakan tindakan penting yang harus dilakukan oleh pemerintah RI. Bila mengacu pada sistem metrologi, pengawasan terhadap penggunaan alat ukur untuk melindungi kepentingan RI tersebut tentunya menjadi kewajiban institusi metrologi legal, yang dalam hal ini harus menetapkan tingkat ketelitian peralatan ukur yang boleh digunakan sebagai dasar transaksi dan kemudian melakukan pengawasan sedemikian hingga persyaratan ketelitian tersebut selalu dipenuhi oleh para kontraktor dalam melakukan transaksi. 19 Karena transaksi ekspor tentunya melibatkan negara pembeli, maka penetapan persyaratan dan juga pelaksanaan pengawasan saja tentunya tidak cukup, bila pihak-pihak yang mewakili pemerintah RI dalam penetapan persyaratan dan pengawasan peralatan ukur transaksi tersebut belum diakui dalam sistem perdagangan internasional dalam kerangka WTO. Alasannya, karena harmonisasi regulasi dan kompetensi dari lembaga penilai dipersyaratkan dalam WTO-TBT. Dalam hal penetapan persyaratan ketelitian alat ukur, sejauh mungkin pemerintah RI harus mengacu pada rekomendasi pengujian dan karakteristik alat ukur yang diberikan oleh organisasi metrologi legal internasional (OIML) sedangkan penilaian ketelitian alat ukur sudah tentu akan melibatkan kalibrasi. Dalam kerangka WTO, pelaksanaan kalibrasi yang dapat dilakukan sebagai bagian dari transaksi (dan tidak dianggap sebagai penerapan aturan untuk menciptakan hambatan teknis perdagangan) harus dilakukan oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh badan akreditasi yang diakui dalam skema saling mengakui yang dikelola oleh ILAC. Berikutnya, untuk memastikan bahwa hasil kalibrasi yang dilakukan oleh lembaga penilai tersebut setara dengan hasil kalibrasi di negara-negara lain yang berkepentingan dalam kerangka WTO, maka kalibrasi tersebut harus mengacu pada standar pengukuran nasional yang dikelola oleh lembaga metrologi nasional yang telah diakui kompetensinya secara internasional dalam pengaturan saling mengakui antarlembaga metrologi nasional yang dikelola oleh CIPM. Dengan persyaratan yang telah harmonis dengan sistem internasional, proses penilaian yang diakui di tingkat internasional, dan juga standar pengukuran nasional yang dikelola oleh lembaga metrologi nasional yang diakui di tingkat internasional, pemerintah RI juga belum bisa menjadi pengendali utama resiko transaksi yang mungkin dialaminya bila tingkat ketelitian pengukuran yang mampu dicapai oleh infrastruktur metrologi tersebut tidak sama atau tidak lebih baik dari negara pembeli minyak dan gas alam kita. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa dalam transaksi ekspor komoditas utama nasional (minyak dan gas bumi), metrologi menjadi pemegang kunci untuk mengendalikan resiko kerugian yang mungkin disebabkan oleh kesalahan atau bahkan kecurangan proses pengukuran yang dilakukan oleh kontraktor maupun operator. Untuk dapat memastikan bahwa transaksi minyak dan gas bumi tersebut dapat dilakukan sebaik-baiknya untuk kepentingan nasional, diperlukan: 20 otoritas metrologi legal untuk menetapkan persyaratan dan melakukan pengawasan alat ukur yang digunakan oleh operator, kegiatan kalibrasi – yang merupakan bagian dari metrologi industri – untuk menilai karakteristik alat ukur yang dilakukan oleh operator, dan pengelolaan standar pengukuran nasional oleh lembaga metrologi nasional yang kompetensinya diakui, serta pengembangan ilmu metrologi – yang merupakan bagian dari kegiatan metrologi ilmiah – untuk memastikan kesetaraan standar pengukuran nasional RI dengan standar pengukuran nasional negara asal kontraktor dan negara pembeli dan untuk mencapai ketelitian pengukuran yang setara dengan ketelitian pengukuran yang mampu dicapai oleh negara asal operator dan negara pembeli. Bila infrastruktur metrologi nasional dapat dioperasikan secara efektif dan efisien sedemikian hingga prasyarat yang ditetapkan dalam kerangka WTO tersebut dapat dipenuhi, mungkin beberapa permasalahan yang terjadi saat ini seperti dalam kasus ekspor gas melalui jalur pipa dari Natuna ke Malaysia dan Singapura dapat segera diselesaikan dengan solusi yang tidak merugikan negeri ini. D. Peningkatan Daya Saing Nasional (i) Daya Saing Produk dalam Supply-Chain Industri Internasional Diawali dengan revolusi industri pada abad ke-18, industrialisasi di dunia terus berkembang lintas batas, sehingga komponen-komponen yang diperlukan oleh sebuah produk akhir yang akan dipasarkan diproduksi oleh industri di berbagai negara yang berbeda. Produksi otomotif merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya kegiatan kemetrologian untuk mendukung daya saing produk manufaktur nasional. Saat ini, hampir seluruh masyarakat pemakai produk otomotif mengenal suku cadang original sebagai produk suku cadang yang diproduksi oleh industri yang secara langsung menjadi bagian dari supply chain produksi, serta suku cadang yang kemudian dikenal dengan "KW-1", "KW-2" dan seterusnya yang pada umumnya memiliki harga lebih murah yang dapat digunakan untuk mensubstitusi suku cadang original. Sebagai ilustrasi nyata, di dunia otomotif nasional kita mengenal merek Indopart sebagai merek suku cadang lokal yang dapat digunakan untuk mensubstitusi suku cadang produk otomotif bermerek Suzuki, merek Federal yang merupakan merek suku cadang lokal substitusi suku cadang produk motor Honda, serta merek-merek lain yang biasa dijumpai di bengkel otomotif non-ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) untuk memberikan alternatif harga lebih murah kepada pelanggan. Telah menjadi informasi umum pula, bahwa beberapa jenis suku cadang original dari sebuah merek kendaraan bermotor merupakan produksi dari industri lain yang memperoleh pesanan dari pemilik merek untuk memroduksi suku cadang yang kemudian diberi label original. Suku cadang otomotif, khususnya suku cadang mekanik, mensyaratkan pengukuran dengan tingkat kepresisian tertentu yang diperlukan supaya suku cadang tersebut dapat dipasang dengan tepat dan berfungsi dengan baik untuk menggantikan suku cadang yang memerlukan penggantian. Para pengguna produk suku cadang KW-2 yang memiliki harga lebih rendah seringkali mengeluh, karena suku cadangnya cepat rusak, atau tidak dapat dipasang dengan tepat pada dudukan yang tersedia pada kendaraannya. Penggantian lampu utama atau lampu belakang mobil dengan produk non-original seringkali menyulitkan pemasangannya. Di Indonesia, terdapat beberapa produsen lokal yang memperoleh kepercayaan dari pemilik merek kendaraan bermotor untuk memroduksi suku cadang original tersebut, sebagai contoh PT. Inti Ganda 21 Perdana, yang memroduksi bagian dari sistem penggerak (gardan, sumbu roda, dll) dari produk Astra Group dan beberapa merek lain, serta PT. Morita Tjokro Gearindo yang dipercaya untuk memroduksi roda-gigi atau transmisi berbagai merek kendaraan bermotor yang dipasarkan di Indonesia. Untuk memastikan mutu produk, dalam contoh ini roda-gigi serta sistem penggeraknya, tentunya diperlukan ketelitian pengukuran dimensi yang memadai. Untuk memastikan bahwa pencetakan dalam proses produksi dan pengaturan sistem produksi dapat menghasilkan dimensi yang tepat tentunya diperlukan peralatan ukur yang terkalibrasi dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Dalam kasus produksi kendaraan bermotor, tentu saja ukuran-ukuran setiap bagian kendaraan tersebut telah diperhitungkan pada saat perancangannya, misalnya untuk produk-produk Jepang, tentunya ditetapkan oleh para ahli di Jepang dengan alat ukur yang ada di Jepang yang telah dikalibrasi sesuai dengan sistem metrologi yang ada di Jepang. Oleh karena itu untuk memastikan bahwa suku cadang yang diproduksi di Indonesia memiliki ukuran yang sama dengan yang dimaksud oleh ukuran dalam rancangan produksi yang dilakukan di Jepang, maka proses pengukuran yang dilakukan dalam proses produksi di Indonesia harus setara dengan pengukuran dalam sistem metrologi Jepang. Sistem metrologi yang dimaksud dalam hal ini adalah standar pengukuran nasional Indonesia yang harus terbukti setara dan dikelola oleh lembaga yang kompetensinya setara dengan kompetensi pengelola standar pengukuran nasional Jepang. Demikian pula, kalibrasi peralatan produksi yang dilakukan di Indonesia harus dilakukan oleh laboratorium kalibrasi yang kompetensinya setara dengan kompetensi laboratorium kalibrasi di Jepang. Bila sistem metrologi pihak-pihak yang bertransaksi tidak setara, tentu saja resiko ketidaksamaan ukuran yang akan menyebabkan suku cadang tidak terpasang dengan baik menjadi besar, sehingga pemilik merek tidak akan bersedia membeli atau menggunakan produksi Indonesia sebagai suku cadang original produk otomotif yang diproduksinya. Bila sistem metrologi nasional Indonesia belum mampu memberikan hasil pengukuran yang setara dengan hasil pengukuran yang dijamin oleh sistem metrologi nasional di negara pemilik merek, tentu saja produsen kita harus menggunakan jasa kalibrasi dari negara pemilik merek, yang akan menambah biaya produksi dan kemudian akan meningkatkan harga jual produk, sehingga dari sisi harga produk suku cadang nasional tersebut menjadi tidak mampu bersaing dengan produk nasional negara lain yang dalam prosesnya cukup menggunakan jaminan hasil pengukuran dari sistem metrologi nasionalnya sendiri. Dari ilustrasi ini tergambar bahwa ketersediaan sistem metrologi nasional yang memadai dan harmonis dengan sistem internasional diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur tersebut. Dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing dalam supply-chain produk manufaktur ini, peran negara yang diperlukan adalah menyediakan infrastruktur metrologi yang memadai, yang dapat digunakan oleh industri nasional untuk memastikan kesetaraan proses pengukuran dalam proses produksi yang dilakukannya dengan proses pengukuran 22 yang dikehendaki oleh konsumennya, dalam hal ini pemilik merek yang berada di negara lain. Pengaturan yang berlebihan oleh pemerintah, misalnya menjadikan peralatan dalam proses produksi suku cadang ini sebagai jenis peralatan yang diatur dalam regulasi metrologi legal, dapat menyebabkan investasi lebih bagi pemerintah, karena pemerintah harus menetapkan syarat-syarat ketelitian alat ukur di berbagai jenis industri manufaktur, yang tentu saja variasinya sangat luas dan akan membutuhkan investasi sumber daya manusia yang besar. Sedangkan bila pemerintah memaksakan kewenangannya untuk melakukan peneraan terhadap alat ukur dalam proses produksi seperti contoh di atas tanpa mengetahui persyaratan ketelitian yang diperlukan oleh setiap industri manufaktur, maka regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut akan membebani pelaku usaha. Karena, di satu sisi pelaku usaha harus mengeluarkan investasi untuk pemenuhan regulasi. Di sisi lain, akibat ketentuan regulasi yang tidak sesuai dengan persyaratan produk yang diminta oleh konsumennya, pelaku usaha tersebut juga harus mengeluarkan investasi lain untuk mengalibrasikan peralatannya secara sukarela sesuai dengan persyaratan proses produksi yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan mutu yang diminta oleh konsumennya. Dalam ilustrasi di atas, kedua industri suku cadang otomotif yang disebutkan saat ini telah menggunakan infrastruktur nasional yang ada. Dalam hal ini, untuk menekan kontribusi biaya kalibrasi terhadap biaya total produksi, kedua industri tersebut membentuk laboratorium kalibrasi di lingkungannya sendiri dengan fungsi melakukan kalibrasi seluruh peralatan ukur yang terlibat dalam proses produksinya. Kemudian untuk memastikan bahwa laboratorium kalibrasinya memiliki kompetensi yang setara dengan kompetensi laboratorium kalibrasi di negara pemilik merek, industri tersebut mengajukan laboratorium kalibrasinya untuk diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sistem metrologi nasional yang baik, khususnya institusi metrologi ilmiah, seharusnya dapat berperan lebih jauh untuk mendorong industri manufaktur skala kecil dan menengah untuk dapat meningkatkan daya saing produknya melalui pengembangan sistem pengukuran yang murah, yang dapat diterapkan oleh industri kecil dan menengah untuk memenuhi syarat-syarat mutu yang dipersyaratkan oleh produsen utama produk tertentu, khususnya bila syarat-syarat mutu tersebut berupa persyaratan toleransi hasil pengukuran. (ii) Daya Saing Produksi Alat Ukur Daya saing produk alat ukur menjadi satu topik bahasan yang dibahas oleh tim peneliti sebagai bagian dari latar belakang penulisan naskah akademik ini, karena produksi alat ukur, khususunya alat ukur yang kemudian digunakan sebagai penentu ukuran yang mendasari transaksi antara penjual dan pembeli, memiliki situasi yang unik. Jenis alat ukur ini sudah barang tentu menjadi obyek dari ketentuan metrologi legal bila alat ukur tersebut akan digunakan di lokasi produksinya, dan di pihak lain alat ukur tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan kemetrologian suatu negara, bila kemudian alat tersebut akan diekspor ke negara tersebut. 23 Meter air dan meter listrik merupakan jenis alat ukur yang dapat diambil sebagai contoh alat ukur yang menjadi obyek regulasi metrologi legal. Untuk meter air sudah terdapat beberapa produsen dalam negeri yang mampu memroduksinya. Sebagai contoh: PT. Multi Instrumentasi di Bandung dan PT. Barindo Anggun Industri di Surabaya, yang memroduksi meter air untuk keperluan pasokan air minum dari perusahaan air minum di berbagai daerah. Bagi industri nasional seperti ini, kesesuaian antara regulasi metrologi legal nasional dengan rekomendasi internasional tentang klasifikasi meter air akan dapat mendorong daya saingnya di pasar global, karena dengan memenuhi persyaratan kemetrologian yang diterapkan oleh regulasi metrologi legal nasional, perusahaan tersebut telah memperoleh paspor untuk mengekspor produknya. Sebaliknya, bila regulasi metrologi legal nasional tidak harmonis dengan rekomendasi internasional, mungkin bahkan diperlukan rancangan dan jalur produksi yang berbeda antara meter air yang ditujukan untuk pasaran domestik dan ekspor, yang tentu saja pemeliharaan jalur produksi dengan karakteristik yang berbeda ini akan berkontribusi terhadap tambahan beban biaya produksi. Selain industri alat ukur lokal, produsen alat ukur asing juga membutuhkan infrastruktur metrologi yang jelas. Dengan berkembangnya industri multinasional, produsen alat ukur juga menjadi salah satu jenis produsen yang memilih lokasi-lokasi basis produksi baru dengan pertimbangan efisiensi dan daya saing produk bila diproduksi di suat negara. Memang faktor yang memengaruhi pemilihan sebuah negara sebagai lokasi basis produksi bukan hanya faktor-faktor kemetrologian, namun demikian peran kemetrologian dapat diilustrasikan secara nyata dalam kasus ini. Indonesia pada saat ini telah dipilih oleh Actaris Group sebagai basis produksi meter air dan meter listrik bermerek Actaris yang berpusat di Prancis. Produksinya dilakukan oleh PT. Mecoindo yang merupakan joint venture antara pengusaha lokal dengan Actaris Group. Banyak perusahaan air minum di berbagai daerah yang menggunakan meter air merek Actaris untuk dipasang di instalasi pelanggannya. Di samping untuk memenuhi kebutuhan perusahaan air minum di Indonesia, produksi meter air PT. Mecoindo juga diekspor ke Australia dan negara-negara lainnya. Untuk kebutuhan ekspornya di Australia, produk PT. Mecoindo selama ini harus memperoleh sertifikat uji terlebih dahulu dari Actaris, Pty. Australia yang memiliki laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh National Association of Testing Authorities (NATA). Untuk efisiensi biaya produksi, pada tahun 2007 PT. Mecoindo kemudian mengajukan permohonan akreditasi ke KAN untuk laboratorium kalibrasinya. Laboratorium ini bertugas untuk melakukan pengujian akurasi (kalibrasi) dari setiap meter air dan meter listrik yang diproduksinya. 24 Dengan akreditasi laboratoriumnya oleh KAN, produksi PT. Mecoindo tidak lagi memerlukan sertifikat kalibrasi dari Actaris, Pty. Australia, karena KAN adalah badan akreditasi yang telah diakui sebagai penandatangan perjanjian saling mengakui untuk akreditasi laboratorium kalibrasi di Asia Pacific maupun internasional, sebagaimana NATA juga merupakan badan akreditasi yang menjadi penandatangan perjanjian saling mengakui tersebut. Pengakuan kompetensi laboratorium kalibrasi ini tentunya dapat diperoleh setelah KAN dan NATA memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk persyaratan kompetensi badan akreditasi yang ditetapkan oleh organisasi kerjasama akreditasi regional (di Asia Pasifik – APLAC) dan internasional (ILAC). Dengan sertifikat kalibrasi yang dilakukan oleh PT. Mecoindo sendiri, yang telah mendapat pengakuan formal dari KAN, diharapkan pula hasil-hasil kalibrasi tersebut digunakan sebagai basis penentuan kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal negara-negara lain. Namun demikian, untuk penggunaannya di Indonesia sendiri, sertifikat kalibrasi yang diberikan oleh laboratorium kalibrasi PT. Mecoindo (yang telah diakreditasi oleh KAN) belum dapat digunakan sebagai dasar penentuan kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal di Indonesia, karena peraturan perundang-undangan kemetrologian yang sedang berlaku di wilayah RI belum memuat ketentuan yang memungkinkan hal tersebut. Ironisnya dalam kasus ini, hasil kalibrasi yang diberikan oleh PT. Mecoindo dapat digunakan sebagai pendorong daya saing produknya untuk dipasarkan di negara lain. Namun sebaliknya untuk pemasaran produknya di dalam negeri, PT. Mecoindo masih harus melakukan proses tambahan yang tentu saja membutuhkan investasi tambahan untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan regulasi metrologi legal nasional. Karena belum diakuinya proses-proses kalibrasi di dalam peneraan yang dilakukan oleh lembaga metrologi legal nasional, maka sertifikat kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal nasional tersebut belum dapat digunakan sebagai landasan keberterimaan produk untuk diterima di negara lain. Berdasarkan fakta di atas, maka yang perlu menjadi konsiderans penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional adalah permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dari tidak harmonisnya persyaratan dan kompetensi metrologi legal nasional dengan persyaratan metrologi legal negara lain, dan koordinasi antara kegiatan metrologi legal, metrologi industri, metrologi ilmiah, serta standardisasi dan akreditasi. Di samping permasalahan daya saing, saat ini akibat kurangnya koordinasi antara departemen dan lembaga pemerintah yang berkepentingan dengan kemetrologian, untuk meter air, Departemen Pekerjaan Umum juga berencana menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk meter air, yang dalam penerapannya akan menjadi duplikasi dengan kegiatan uji tipe yang dilakukan oleh otoritas metrologi legal nasional. Bila hal ini terjadi, maka produsen meter air nasional yang masih dapat digolongkan sebagai usaha kecil dan menengah akan mendapat beban tambahan lagi untuk melakukan kegiatan 25 sejenis yang diterapkan oleh regulator lain. Dilihat dari sisi pemilihan sebagai lokasi basis produksi hal ini akan menjadi sangat tidak menarik, karena untuk berproduksi di Indonesia harus dilakukan duplikasi investasi untuk memenuhi persyaratan oleh regulator yang berbeda. Lebih parah lagi, bila dua regulator nasional tersebut sama-sama menggunakan skema yang tidak harmonis dengan skema internasional, maka produk yang diproduksi di Indonesia masih memerlukan pengujian tambahan di tiap-tiap negara tujuan ekspor sesuai persyaratan di setiap negara tujuan ekspor tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan ini mutlak diperlukan penataan peraturan perundangundangan kemetrologian yang dapat mengakomodasi dan mengoordinasikan segala aspek kegiatan kemetrologian di Indonesia. (iii) Daya Saing sebagai Lokasi Basis Produksi Data statistik yang diterbitkan oleh IEC menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2004, Indonesia berada dalam 10 besar dalam kategori negara yang dipilih sebagai lokasi pabrik produk elektroteknik di dunia. Dalam tahun 2003 terdapat 1327 lokasi pabrik dan kemudian pada tahun 2004 menurun menjadi 1280. Pada tahun 2005, jumlah pabrik di Indonesia meningkat menjadi 1325, tetapi peningkatan ini tidak cukup untuk mempertahankan posisi Indonesia dalam 10 besar, karena jumlah pabrik produk elektroteknik di negara lain bertambah dengan laju peningkatan yang jauh lebih pesat. Sebagai ilustrasi, di negara tetangga kita Thailand, pada tahun 2003 tercatat 1320 lokasi pabrik, dan 1552 pada tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 1881 pada tahun 2005. Di Malaysia juga tercatat peningkatan jumlah pabrik produk elektroteknik secara konsisten, yaitu 1881 pada tahun 2003, 1923 pada tahun 2004, dan 2117 pada tahun 2005. Data statistik IEC sampai dengan Desember 2006 menunjukkan posisi Malaysia dan Thailand masih bertahan di 10 besar dengan jumlah pabrik 2376 di Malaysia, dan 2261 di Thailand, sedangkan jumlah lokasi pabrik di Indonesia sudah tidak tercatat lagi di posisi 10 besar. Bila kita melihat data statistik tersebut, negara-negara yang tercatat di posisi 10 besar merupakan negara-negara yang tercatat memiliki sistem metrologi yang harmonis dengan sistem metrologi yang dikembangkan di tingkat internasional, yaitu China, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, China Taipei, Thailand, AS, dan Brazil. Harus diakui bahwa pemilihan suatu negara untuk menjadi lokasi pabrik dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk dalam hal ini faktor politik dan keamanan. Namun demikian, terdapat ilustrasi yang menunjukkan bahwa sistem metrologi juga berkontribusi terhadap hal ini, bila secara umum faktor biaya produksi menjadi faktor utama pemilihan lokasi pabrik. Kalibrasi peralatan yang digunakan dalam proses produksi merupakan proses yang berkontribusi secara rutin terhadap biaya produksi, karena kalibrasi merupakan sebuah proses yang harus dilakukan secara rutin dalam interval tertentu untuk menjaga konsistensi mutu produk. Bila infrastruktur metrologi industri di sebuah negara belum mendapat pengakuan internasional (dalam hal ini, bila kompetensi laboratorium kalibrasi di negara tersebut belum memperoleh pengakuan internasional), maka secara rutin pabrik-pabrik tersebut harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mendatangkan 26 pelaksana kalibrasi dari laboratorium kalibrasi negara-negara yang kompetensi laboratorium kalibrasinya telah diakui. Kita tentunya telah mengenal produk-produk elektronik LG dan Samsung yang berbasis di Korea. Sampai dengan tahun 2003 untuk lokasi pabriknya di Indonesia LG dan Samsung harus secara rutin mendatangkan teknisi kalibrasi dari laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh Korean Laboratory Accreditation Scheme (KOLAS) untuk mengalibrasi peralatan yang digunakan di dalam proses produksinya. Bahkan, untuk menjaga konsistensi mutu produk, untuk jenis peralatan tertentu diperlukan kalibrasi dengan interval 2 (dua) kali per tahun. Setelah KAN memperoleh pengakuan dari APLAC dan ILAC untuk memberikan pengakuan formal kompetensi laboratorium kalibrasi pada akhir tahun 2003, LG dan kemudian Samsung membentuk laboratorium kalibrasi untuk lokasi pabriknya di Indonesia yang kemudian mengajukan akreditasi ke KAN, sedemikian hingga kontribusi biaya kalibrasi terhadap biaya produksi dapat ditekan, karena tidak diperlukan lagi proses kalibrasi eksternal yang harus didatangkan dari negara asalnya. Perlu dicatat, bahwa lembaga yang melaksanakan kegiatan metrologi ilmiah (pengelolaan standar pengukuran nasional) tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan internasional yang diperlukan untuk memperoleh pengakuan internasional karena adanya tunggakan iuran tahunan kepada BIPM dari tahun 1993 sampai dengan 2002. Akibatnya, pengakuan terhadap sistem akreditasi laboratorium kalibrasi (pengakuan kompetensi pelaku metrologi industri) tidak dapat dicapai oleh Indonesia. Pada awal tahun 2003, setelah pemerintah RI melunasi kewajibannya, barulah kemudian Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (Puslit KIM) LIPI, yang telah berpartisipasi dalam kegiatan metrologi regional dalam forum APMP, dapat memulai aktivitasnya dalam forum BIPM. Dengan segala keterbatasannya, pada akhir tahun 2003 kegiatan metrologi ilmiah RI dianggap cukup untuk memenuhi persyaratan awal yang diperlukan untuk memperoleh pengakuan sistem akreditasi laboratorium kalibrasi. 1.1.4 Latar Belakang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pada era globalisasi, salah satu faktor penting penentu daya saing bangsa adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Penguasaan iptek itu sendiri baru akan dapat dicapai oleh sebuah bangsa melalaui penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi secara berjenjang dan berkesinambungan. Melalui penguasaan iptek, suatu bangsa akan mampu mengembangakan inovasi-inovasi teknologi untuk memperoleh nilai tambah bagi komoditas nasional yang menyebabkan komoditas nasionalnya memiliki karakteristik yang lebih baik dari komoditas bangsa lain. Dalam sejarah perkembangan iptek, penemuan pesawat terbang oleh Wright bersaudara merupakan salah satu inovasi yang kemudian membawa pengaruh besar ke peradaban dunia. Inovasi berupa penemuan pesawat terbang pada tahun 1903 ini ternyata telah mencatat peran dari kegiatan 27 pengukuran untuk mengatasi hambatan inovasi pada awal abad 20 tersebut, yang kemudian diilustrasikan di pengantar dari laporan Assessment of US Measurement System 2006 sebagai berikut: "Dalam percobaan menerbangkan pesawat terbang rancangannya, Wright bersaudara menemui kenyataan bahwa sayap pesawat terbang yang dirancang berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Otto Liliental, ahli terbang layang paling terkemuka pada saat itu, tidak dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan karena gaya angkat yang dihasilkan oleh rancangan berdasarkan data tersebut hanya 1/3 dari besarnya gaya angkat yang diharapkan, yang menurut Wright bersudara disebabkan oleh kesalahan data-data pengukuran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Wright bersaudara kemudian merancang sebuah timbangan untuk mengukur gaya angkat aerodinamis sayap dengan berbagai profil yang berbeda. Berdasarkan data-data pengukuran gaya angkat yang diperoleh, kemudian Wright bersaudara merancang sayap dan baling-baling pesawat yang kemudian tercatat sebagai pesawat terbang pertama di dunia yang dapat dikendalikan dan terbang dengan mesin, dan lebih berat dari pesawat terbang layang yang sebelumnya ada." Catatan penelitian Wright bersaudara tersebut menggambarkan secara nyata bahwa akibat pengukuran dapat terjadi hambatan inovasi terciptanya pesawat terbang. Di Amerika Serikat, keterbatasan kemampuan pengukuran juga telah dicatat sebagai hambatan inovasi untuk teknologi nano (nano-technology) di luar rangkaian terintegrasi (integrated circuit – IC). Hal ini disampaikan oleh Mark L Schattenburg dari Space Nanotechnology Laboratory – Center for Space Research – Massachusetts Institute of Technology dalam National Nanotechnology Initiative Workshop on Instrumentation and Metrology for Nanoterchnoloty di National Institute of Standards and Technology, Gaithersburg, Maryland 27-29 Januari, 2004. Dalam Workshop tersebut disimpulkan bahwa: "infrastruktur metrologi dan lithografi AS pada saat ini tidak memadai untuk pengembangan nanoteknologi non-IC, sehingga diperlukan pembiayaan dari pemerintah untuk mengembangkan teknologi nano-lithografi dan nano-metrologi untuk teknologi nano non-IC, yang mencakup pengembangan resolusi dan drift mikroskop dengan teknologi berkas atom, sinar-X, holografi elektron atau SW nanotubes, serta pengembangan nanometer scale optical encoders" Pemerintah Amerika Serikat menghabiskan dana yang cukup besar untuk asesmen sistem metrologi nasionalnya pada tahun 2006 karena melihat semakin banyak negara-negara lain yang meningkatkan investasi penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produk inovatif, serta negara-negara pesaing industrinya yang memperkuat posisi sistem metrologi dan standardisasinya dalam percaturan internasional. Jepang telah menetapkan penguatan infrastruktur pengukuran sebagai prioritas rencana strategis pengembangan Iptek tahun 2006-2010. Kerajaan Inggris bahkan telah terlebih dahulu menetapkan program National Measurement System (NMS) sebagai salah satu program utama Iptek tahun 1999-2004, yang kemudian diperpanjang 2004-2009 [41]. China, dalam rangka 28 mendorong peran negaranya dalam pengembangan Iptek nanoteknologi menetapkan program pengembangan standar pengukuran nasional yang diperlukan untuk pengukuran nanoskala. Terkait dengan peran pengukuran dalam inovasi Iptek ini, Masyarakat Eropa pada tahun 2006 telah mempersiapkan pengaturan kelembagaan regional dan ketentuan legalnya untuk pelakanaan projek Implementing Metrology in European Research Area (IMERA), yang fokus pada koordinasi dan pengembangan kekuatan lembaga-lembaga metrologi nasional di kawasan Eropa untuk dapat secara bersama-sama melaksanakan penelitian metrologi yang dapat digunakan untuk mendukung inovasi Iptek Eropa dalam bersaing dalam pasar global [42]. Dengan pertimbangan usaha-usaha yang dilakukan oleh para pesaing industri AS dalam pengembangan sistem metrologi untuk peningkatan inovasi Ipteknya, program Assessment on US Measurement System yang dilaksanakan dalam tahun 2006 berhasil mengidentifikasi sekitar 300 kasus keterbatasan kemampuan sistem pengukuran nasional AS yang menjadi faktor penghambat inovasi-inovasi yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing produk AS di pasar global. Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai disiplin ilmu, dan untuk memberikan solusi penyelesaian kasus pengukuran sebagai penghambat inovasi Iptek ini, NIST sebagai lembaga pengelola standar pengukuran nasional AS ditunjuk sebagai leading institute. Kondisi ini sangat berbeda dengan program pengembangan Iptek di Indonesia. Sementara negara-negara maju memosisikan metrologi sebagai infrastruktur dasar yang harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan inovasi nasional melalui pengembangan Iptek, di dalam Agenda Riset Nasional RI 2006 – 2009 belum terlihat adanya koordinasi kegiatan metrologi secara jelas dan juga belum terlihat adanya agenda penelitian nasional untuk pengembangan standar pengukuran nasional yang diperlukan untuk mendukung produk-produk unggulan Indonesia di pasar global. Beberapa komponen penelitian pengukuran atau metrologi yang termuat dalam Agenda Riset Nasional antara lain sebagai berikut [43]: pengembangan teknologi pengukuran dan pengujian mutu pangan pengembangan instrumen pengukuran langsung bumi dan antariksa dengan teknologi penginderaan jauh kesiapan regulasi, infrastruktur metrologi legal, tata niaga dan iklim investasi dalam pemanfaatan Iptek untuk tujuan komersial peningkatan peran metrologi dan pengujian untuk penerapan SNI Dari butir-butir agenda riset nasional terkait dengan pengukuran dan metrologi tersebut, tampak dengan jelas bahwa peran metrologi secara holistik sebagai infrastruktur dasar Iptek belum dipahami dengan baik oleh berbagai pihak di negeri ini. Agenda riset pengembangan teknologi pengukuran secara sektoral, sebagai contoh pengujian mutu pangan, belum dapat menyelesaikan permasalahan daya saing produk pangan nasional, bila teknologi pengukuran tersebut tidak mampu memberikan hasil pengukuran yang 29 ekivalen dengan pengukuran di negara-negara lain. Hasil-hasil pengukuran baru dapat diakui setara dengan hasil pengukuran negara lain bila hasil pengukuran tersebut tertelusur ke standar pengukuran nasional yang setara dan dikelola oleh lembaga pengelola standar pengukuran nasional yang kompetensinya memenuhi prasyarat pengakuan internasional. Demikian pula, konteks pernyataan peningkatan peran metrologi untuk penerapan SNI seakan-akan menimbulkan kesan bahwa kegunaan metrologi semata-mata adalah untuk penerapan SNI, sedangkan di pihak lain metrologi legal dinyatakan berperan lebih luas dalam pemanfaatan Iptek untuk tujuan komersial. Bila kita kembali ke filosofi sistem metrologi yang saat ini disepakati secara internasional, kegiatan metrologi dimulai dari kegiatan para ilmuwan yang mewakili berbagai bangsa di forum CIPM dan komite konsutatifnya untuk bidang-bidang pengukuran spesifik yang mengelaborasi berbagai penelitian tentang realisasi standar pengukuran dan kemudian menetapkan rekomendasi tentang definisi-definisi satuan dasar dan satuan turunan dalam Sistem Satuan SI. Definisi satuan yang merupakan kesimpulan dari dunia penelitian internasional ini kemudian direalisasikan oleh lembaga-lembaga metrologi nasional di berbagai negara, dan kemudian lembaga-lembaga ini mengadakan kegiatan pembandingan atau uji banding di antara mereka untuk menentukan nilai acuan pengukuran internasional (key comparison reference values – KCRV) yang kemudian digunakan sebagai dasar penilaian kesetaraan antar standar pengukuran nasional dan kompetensi lembaga metrologi nasional. Setelah standar pengukuran dan kompetensi pengelolanya dapat dibuktikan dan diakui setara dengan sistem internasional, kemudian setiap negara membentuk jaringan kalibrasi yang terdiri atas laboratorium-laboratorium kalibrasi di negara tersebut untuk mendiseminasikan nilai dari standar pengukuran dan kompentensi lembaga metrologi nasional ke berbagai pihak yang melakukan pengukuran, baik itu industri, penelitan maupun sektorsektor lain dalam bangsa itu. Di dalam masyarakat tentunya terdapat kegiatan-kegiatan pengukuran yang dapat memengaruhi kepentingan masyarakat, kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Untuk aspek-aspek perlindungan masyarakat dan lingkungan ini, kesepakatan internasional dalam WTOTBT mengijinkan setiap negara menerapkan aturan-aturan tentang ketelitian alat ukur yang boleh digunakan untuk kegunaan tersebut, yang secara internasional, kesetaraan regulasi alat ukur dan proses pengukuran ini dikoordinasikan oleh OIML. Dengan ilustrasi yang dikutip dari penelitian dan laporan kegiatan kemetrologian negara lain, serta agenda riset nasional terkait dengan kemetrologian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan metrologi lainnya belum tercakup dan bahkan belum disadari dalam penyusunan Agenda Riset Nasional, yang ditujukan untuk peningkatan inovasi dalam mendukung daya saing nasional melalui Iptek. Hal ini disebabkan oleh peraturan perundang-undangan tentang kemetrologian di Indonesia yang ada saat ini, terutama UU Metrologi Legal. Padahal, kegiatan metrologi di luar metrologi legal memiliki cakupan lebih luas dan memiliki pemangku kepentingan yang sangat luas, dan merupakan 30 prasyarat dasar untuk keberterimaan sistem pengukuran yang diperlukan dalam integrasi ekonomi nasional dalam pasar global. Peran pengukuran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan pernah dinyatakan oleh Lord Kelvin – ilmuwan besar pada masa lalu yang namanya diabadikan sebagai satuan dasar pengukuran temperatur – dan Steve CHU – pemenang Nobel fisika tahun 1996 dengan pernyataan berikut: "when you can measure what you are speaking about, and express it in numbers, you know something about it; but when you cannot express it in numbers, your knowledge is of a meagre and unsatisfactory kind. It may be the beginning of knowledge, but you have scarcely, in your thoughts, advanced to the stage of science" (Lord Kelvin) "accurate measurement is at the heart of physics, and in my experience new physics begins at the next decimal place" (Steve CHU, Nobel Laureate, 1997) 1.1.5 Landasan Yuridis Di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum" merupakan bagian dari tujuan negara Republik Indonesia. Dalam bagian sebelumnya, telah terdapat berbagai bukti yang dapat menunjukkan bahwa kegiatan kemetrologian memegang peranan penting untuk melindungi kepentingan negara, keselamatan, keamanan dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora fauna dan lingkungan hidup. Di sisi lain kegiatan kemetrologian juga merupakan pondasi untuk membangun daya saing nasional, yang diperlukan untuk memajukan kesejahteraan umum. Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 menyatakan bahwa "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, bewawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Kegiatan kemetrologian diperlukan untuk perlindungan kepentingan umum dan di lain pihak untuk membangun daya saing. Perlindungan kepentingan umum dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan berbagai regulasi metrologi legal, yang bila tidak dianalisis dengan baik dapat menghambat fungsi metrologi untuk membangun daya saing. Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 ini hendaknya digunakan sebagai acuan dalam penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian sedemikian hingga peraturan perundang-undangan kemetrologian yang ditetapkan memberikan takaran yang pas untuk mengembangkan perekonomian nasional berdasarkan UUD 1945 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia – WTO mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization. Dengan adanya undang-undang ini berarti Indonesia telah menyatakan 31 akan menaati semua aturan dan perjanjian yang dikeluarkan oleh WTO, termasuk TBT dan Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). Kesepakatan-kesepakatan di dalam forum WTO ini kemudian mensyaratkan pembentukan infrastruktur mutu nasional (national quality infrastructure) oleh negara-negara yang berkehendak untuk berpartispasi dan mengambil keuntungan dalam pasar global. Salah satu elemen penting dalam infrastruktur mutu nasional tersebut adalah metrologi. Sistem metrologi berfungsi untuk menjamin kehandalan dan ketertelusuran pengukuran ke definisi satuan dalam Sistem Satuan SI yang diperlukan dalam proses produksi, proses pengujian produk, pengembangan mutu produk dan juga sertifikasi. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen antara lain mengatur tentang pengertian barang; kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; larangan bagi pelaku usaha untuk memroduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/ atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, tidak sesuai dengan mutu, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal; Pelaku usaha dilarang menawarkan, memromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu; pelaku usaha dilarang mengelabui konsumen yang berkaitan dengan mutu. Undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen melalui penerapan standar yang ditentukan. Meskipun UU ini tidak menyebutkan secara eksplisit tentang metrologi, mutu yang dimaksud dalam UU ini tidak akan dapat dicapai bila pemerintah tidak mengembangkan kebijakan metrologi nasional yang memadai. Dari sisi produsen, metrologi diperlukan untuk memastikan proses pengukuran dalam produksi barang/jasa dapat memenuhi persyaratan pengukuran yang diperlukan untuk mencapai mutu yang dipersyaratkan oleh regulator. Dari sudut pandang pemerintah, pengukuran diperlukan dalam proses pengujian untuk memastikan bahwa barang/jasa yang dipasarkan di masyarakat secara konsisten memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan untuk perlindungan konsumen. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan mengatur pengamanan makanan dan minuman untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan kesehatan sehingga membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan. Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan persyaratan. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan atau kemanfaatan. Dalam pelaksanaannya masih diperlukan koordinasi antara berbagai departemen terkait, misalnya dalam hal-hal yang terkait dengan pengawasan produk industri makanan dan minuman, produk makanan dan minuman hasil pertanian, pemeliharaan masalah lingkungan, dan lain sebagainya. Terkait dengan kesehatan, kegiatan kemetrologian 32 diperlukan secara langsung untuk memastikan kebenaran diagnosis berdasarkan hasil pengukuran peralatan medis, dan secara tidak langsung untuk memastikan ukuran-ukuran yang diperlukan untuk proses pembuatan produk farmasi baik di pabrik obat-obatan, makanan, maupun peracikan obat di apotik. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran menyebutkan bahwa setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000. Dalam peraturan pemerintah ini dinyatakan bahwa sistem dan komponen sumber radiasi harus dirancang dan dibuat sesuai dengan standar yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Badan Pengawas. Dengan adanya Undangundang Nomor 10 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 maka sudah ada aturan tentang standar yang khusus berkaitan dengan ketenaganukliran. Standar ini pada dasarnya mengadopsi standar internasional yang berlaku di bidang ketenaganukliran. Secara internasional kegiatan ketenaganukliran diatur dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam forum IAEA, yang sepenuhnya memahami pentingnya kegiatan kemetrologian. Ini dapat ditunjukkan dengan adanya Nota Kesepahaman antara IAEA dengan BIPM, posisi IAEA sebagai organisasi internasional anggota BIPM, serta penyelenggaraan uji banding standar-standar acuan dosis dan radiasi pengion antar lembaga-lembaga ketenaganukliran nasional secara rutin. Keterlibatan dalam dan pengakuan IAEA terhadap kegiatan kemetrologian internasional dengan sendirinya mensyaratkan setiap negara anggota IAEA untuk mengembangkan sistem metrologi nasional yang selaras dengan sistem metrologi internasional yang dikembangkan oleh BIPM. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan, penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan peraturan pemerintah. Pelaksanaannya masih memerlukan koordinasi antar instansi mengingat masalah lingkungan hidup mencakup berbagai sektor yang saling terkait, antara lain sektor pertambangan dan energi, sektor kesehatan, sektor industri, dan lain sebagainya. Peran proses pengukuran dalam pengelolaan lingkungan hidup terlihat dengan nyata khususnya di wilayah DKI Jakarta dengan penggunaan gas analyzer oleh bengkel-bengkel uji emisi kendaraan bermotor untuk menjamin mutu udara. Tujuan untuk menjamin mutu udara di wilayah DKI Jakarta sebenarnya tidak dapat dijamin bila tidak terdapat aturan-aturan yang diperlukan untuk memastikan kebenaran hasil pengukuran karakteristik gas buang kendaraan bermotor. Terkait dengan kegiatan kemetrologian, seharusnya pengawasan terhadap penggunaan gas analyzer ini menjadi bagian yang diatur dalam ketentuanketentuan legal metrologi. Dalam pengelolaan lingkungan hidup juga diperlukan berbagai jenis bahan acuan bersertifikat sebagai acuan pengukuran berbagai parameter lingkungan 33 yang seharusnya dapat disediakan oleh pemerintah melalui penataan kelembagaan kemetrologian nasional. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi antara lain menyatakan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip yang salah satunya adalah pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana. Persyaratan teknis perangkat telekomunikasi diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Standar-standar yang disusun pada umumnya merupakan pengadopsian standar internasional oleh pemerintah tanpa melalui proses konsensus di antara pihakpihak yang berkepentingan. Secara umum sebuah standar hanya akan dapat diterapkan dengan baik bila terdapat acuan pengukuran yang sama, dan acuan pengukuran yang sama di sebuah negara perlu dijamin oleh pemerintah dengan sistem metrologi nasional yang memiliki payung hukum yang kuat untuk digunakan sebagai acuan dan berlaku mengikat bagi semua pihak pemangku kepentingan. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Pengawasan Ilmu Pengetahuan (Sinasiptek) menyebutkan bahwa Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk melaksanakannya, Pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional, karena risiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan tersebut sering menjadi perhatian internasional dan baku mutunya dituangkan ke dalam standar. Pengertian standar dalam Undang-undang Sinasiptek ini sudah sejalan dengan pengertian standar konsensus yang memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. UU ini juga tidak memuat secara eksplisit tentang perlunya pengembangan ilmu kemetrologian dalam Sinasiptek, namun demikian, dalam beberapa hal dan telah dinyatakan dalam laporan formal oleh berbagai negara, seringkali kegiatan kemetrologian yang kurang memadai dapat menjadi penghambat inovasi iptek. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan antara lain mengatur tentang keselamatan ketenagalistrikan yang meliputi standardisasi, pengamanan instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaat tenaga listrik. Instalasi tenaga listrik harus didukung oleh peralatan dan lengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang ketenagalistrikan; Setiap pemanfaat tenaga listrik yang diperjualbelikan wajib memiliki tanda keselamatan. Pembinaan dan pengawasan umum meliputi antara lain tercapainya standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan. UU Nomor 20 Tahun 2002 ini menggantikan UU Nomor 15 Tahun 1985. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, telah ditindaklanjuti dengan penyerahan tugas pelaksanaan kegiatan metrologi legal kepada pemerintah daerah. Implementasi proses pendelegasian wewenang ini sampai saat ini belum dapat berjalan 34 dengan baik. Hal ini di antaranya disebabkan UU kemetrologian utama di wilayah RI belum memuat ketentuan-ketentuan yang diperlukan tentang wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi kemetrologian. Uraian dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, yang dimulai dari ketentuanketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan peraturan perundangundangan tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia, dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menunjukkan bahwa implementasi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan tersebut memerlukan kegiatan kemetrologian sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan penetapan peraturan perundang-undangan, meskipun kegiatan kemetrologian tidak disebutkan secara eksplisit. Kebutuhan akan adanya sistem metrologi nasional yang kuat, yang mampu memberikan pondasi bagi implementasi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh berbagai departemen dan lembaga pemerintahan tersebut, dengan sendirinya memerlukan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua pemangku kepentingan, yang dipayungi oleh sebuah UU kemetrologian yang mencakup seluruh aspek kegiatan kemetrologian dan berlaku mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan kegiatan kemetrologian. 1.2 CAKUPAN NASKAH AKADEMIK Naskah akademik ini tidak lain adalah sebuah dokumen perihal perlunya penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian dalam rangka peningkatan daya saing nasional. Penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian ini dipandang perlu karena sistem metrologi pada saat ini telah menjadi sebuah sistem yang diharmonisasikan secara internasional sebagai infrstruktur dasar untuk memfasilitasi perdagangan global dalam kerangka WTO-TBT, yang merupakan salah satu perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemeritah Republik Indonesia dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1994 tentang "Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)". WTO-TBT merupakan sebuah perjanjian dalam kerangka WTO yang mendorong terciptanya aliran komoditas secara bebas dalam pasar global dengan memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Sebagai salah satu negara anggota WTO yang telah meratifikasi WTO-TBT, tentunya Indonesia perlu untuk meningkatkan daya saingnya, sedemikian hingga komoditas dari Indonesia dapat menjadi bagian dari komiditas internasional yang dapat mengalir secara bebas dalam pasar global. Naskah akademik ini memuat identifikasi dan elaborasi permasalahan yang timbul dari implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian yang berlaku saat ini di wilayah RI, penjelasan atas permasalahan substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian yang menyebabkan kurang efektifnya sistem metrologi nasional dalam mendukung daya saing, serta rekomendasi atau solusi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan mengatasi permasalahan yang menyebabkan kurang efektifnya fungsi sistem metrologi nasional, khususnya untuk mendukung daya saing nasional dalam pasar 35 global, yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan penulisan pasal demi pasal peraturan perundang-undangan kemetrologian utama yang diperlukan untuk mengatur sistem metrologi nasional secara efektif dan efisien. Naskah Akademik ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan, yang mencakup latar belakang filosofis, historis, sosio-ekonomi, iptek dan yuridis yang kelak dapat digunakan sebagai acuan konsiderans penyusunan UU kemetrologian utama. Bagian ini juga memuat proses dan metodologi penyusunan naskah akademik ini. 2. Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian: sebuah kajian tentang praktik internasional, mencakup paparan tentang pengembangan peraturan perundang-undangan kemetrologian sesuai dengan rekomendasi internasional dan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional negara lain sebagai pembanding terhadap peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional Indonesia. 3. Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional: analisis kritis tentang substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981, mencakup paparan kekuatan dan kelemahan UU No. 2 Tahun 1981 sebagai peraturan perundang-undangan terkait kemetrologian tertinggi yang saat ini berlaku di wilayah RI, dan analisis terhadap implementasi ketentuan-ketentuan UU No. 2 Tahun 1981 ke dalam peraturan perundangan-undangan di bawahnya. 4. Penataan Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional: sebuah kebutuhan untuk meningkatkan daya saing nasional, mencakup paparan tentang dasar-dasar pemikiran perlunya penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional. 5. Cakupan Usulan Penataan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional, mencakup penjelasan tentang usulan penyempurnaan UU Kemetrologian yang dapat digunakan sebagai landasan Penataan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional secara menyeluruh yang diperlukan dalam penguatan dan penyempurnaan sistem metrologi nasional untuk meningkatkan daya saing bangsa. 6. Pustaka, memuat dokumen-dokumen internasional dan juga berbagai peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar penulisan naskah akademik ini. Daftar singkatan-singkatan dan istilah-istilah ditampilkan di bagian akhir naskah ini. 1.3 PROSES DAN METODOLOGI PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK Kegiatan penyusunan naskah akademik ini merupakan salah satu kegiatan dalam Program Riset Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bidang X Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing. Oleh karena itu latar belakang utama yang disajikan dalam 36 naskah akademik penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian ini adalah kontribusi kegiatan kemetrologian untuk mendorong daya saing nasional, khususnya dalam kerangka perdagangan global sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati secara internasional dalam kerangka WTO-TBT. Aktivitas penelitian ini secara kelembagaan dilaksanakan oleh Puslit KIM-LIPI, dengan peneliti utama Dr. Husein Avicenna Akil, dengan peneliti dan pembantu peneliti dari yang berasal dari Puslit KIMLIPI sendiri, yaitu Drs. Dede Erawan, M.Sc., Agustinus Praba Drijarkara, M.Eng. dan Dwi Kirana Yuniasti, SH., dan Dadang Rustandi, ST, serta peneliti dari BSN, yaitu Dr. Sunarya dan Donny Purnomo, ST. Penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini dimulai dengan kajian awal berupa studi literatur terhadap dokumen-dokumen internasional dan kompilasi pengetahuan dan pengalaman peneliti mengenai sistem metrologi nasional dalam kaitannya dengan perannya untuk memfasilitasi partisipasi Indonesia dalam pasar global melalui peningkatan daya saing produk. Hasil kajian awal ini kemudian digunakan sebagai latar belakang naskah akademik penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian. Setelah itu dilanjutkan dengan identifikasi dan analisis implementasi peraturan perundang-undangan terkait dengan kemetrologian yang diberlakukan di wilayah RI dan analisis terhadap substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian serta pembandingannya dengan rekomendasi internasional tentang peraturan perundangundangan kemetrologian dan peraturan perundang-undangan kemetrologian negara lain. Hasil analisis substansi dan analisis komparatif ini kemudian didiskusikan dalam 2 (dua) kali focus group discussion (FGD). FGD ke-1 dilakukan untuk memverifikasi hasil kajian awal dari tim peneliti serta memperoleh masukan secara langsung dari peserta FGD tentang implementasi peraturan perundang-undangan serta kegiatan kemetrologian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang diwakili oleh peserta FGD. Pada FGD ke-2, tim peneliti menyajikan hasil analisis substansi dan analisis komparatif kepada wakil dari pemangku kepentingan yang diundang dalam FGD serta mengemukakan konsep penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian guna memperoleh masukan dari peserta FGD untuk kemudian dituangkan dalam Naskah Akademik ini. Berkaitan dengan kurang disadarinya peran kegiatan kemetrologian dalam aktivitas pemangku kepentingan metrologi dan juga kurang dikenal dan kurang dipahaminya konsep pengaturan kegiatan kemetrologian yang sejauh ini telah menjadi ketentuanketentuan yang disepakati di tingkat regional maupun internasional, FGD juga digunakan oleh tim peneliti untuk menginformasikan perkembangan sistem metrologi internasional yang telah dipublikasikan dalam berbagai dokumen dan rekomendasi internasional. Penyusunan naskah akademik ini sendiri dimulai setelah pelaksanaan FGD ke-2, setelah tim peneliti memperoleh masukan dari berbagai pihak tentang model penataan perundang-undangan kemetrologian yang akan dituangkan di dalam naskah akademik serta informasi-informasi tambahan tentang kegiatan kemetrologian yang dilakukan atau terkait dengan pemangku kepentingan metrologi yang diwakili oleh para peserta FGD. 37 II. PENGEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN sebuah kajian terhadap praktik-praktik internasional Peran metrologi terhadap mutu dapat dilihat dengan mudah dengan rangkaian pernyataanpernyataan berikut: tidak ada produk "bermutu" tanpa proses "pengendalian mutu" tidak ada proses "pengendalian mutu" tanpa "pengukuran" tidak ada "pengukuran" yang benar tanpa "kalibrasi" tidak ada "kalibrasi" yang diakui tanpa "akreditasi laboratorium kalibrasi" tidak ada "akreditasi laboratorium kalibrasi" tanpa jaminan "ketertelusuran pengukuran" tidak ada "ketertelusuran pengukuran" tanpa realisasi "standar pengukuran" tidak ada realisasi "standar pengukuran" tanpa "metrologi" Produk bermutu dalam rangkaian pernyataan di atas dapat diberi makna sebagai produk yang berdaya saing tinggi dan mampu menembus pasar global maupun sebagai produk yang tidak merugikan atau merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, keselamatan, kesehatan dan keamanan warga negara, fauna, flora, dan lingkungan hidupnya. Dua alternatif makna produk bermutu dari perspektif sebuah bangsa, sejalan dengan logika keterkaitan rangkaian kata-kata di atas, menunjukkan posisi kegiatan kemetrologian sebagai pondasi dalam membangun daya saing dalam pasar global dan juga dalam perlindungan kepentingan negara dan konsumen dalam artian yang luas. Bagian ini akan memberikan pokok-pokok pikiran pengembangan peraturan perundangundangan kemetrologian dengan didasarkan pada rekomendasi internasional tentang peraturan perundang-undangan kemetrologian OIML D 1: “Elements of Law on Metrology”. Beberapa bagian penting dari Undang-Undang Kemetrologian yang berlaku di beberapa negara dibahas secara khusus untuk memberikan gambaran tentang adopsi sistem metrologi internasional ke dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian negara lain yang dapat digunakan sebagai pembanding terhadap peraturan perundangundangan kemetrologian yang saat ini berlaku di wilayah Republik Indonesia. Penjelasan tentang pengembangan peraturan perundang-undangan kemetrologian dalam bagian berikut disusun berdasarkan sistematikan sebuah Undang-Undang Kemetrologian yang terdiri atas: latar belakang dan lingkup peraturan perundangan-undangan kemetro38 logian, otoritas kegiatan kemetrologian, lembaga-lembaga kemetrologian, satuan pengukuran dan standar pengukuran, serta metrologi legal. 2.1 LATAR BELAKANG DAN LINGKUP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN Dari tinjauan lebih jauh terhadap perkembangan sistem perdagangan global sebagaimana dibahas dalam latar belakang naskah akademik ini, tampak bahwa sistem metrologi telah diakui menjadi prasyarat untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam pasar global, dalam arti untuk menjadikan komoditas nasional sebagai komoditas yang mampu bersaing dan juga melindungi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan memanfaatkan peluang yang diberikan oleh WTO-TBT. Oleh karena fungsi infrastruktur metrologi nasional yang harmonis sebagai infrastruktur dasar untuk memfasilitasi implementasi pasar global, sebuah negara perlu untuk mengembangkannya sejalan dengan perkembangan sistem metrologi internasional. Konsiderans WTO-TBT antara lain menyatakan bahwa perjanjian tersebut dibuat untuk: "Menghindarkan hambatan teknis terhadap perdagangan internasional yang mungkin timbul dalam penetapan regulasi teknis dan standar, termasuk yang berkaitan dengan persyaratan penandaan, serta prosedur penilaian kesesuaian dengan regulasi teknis dan standar yang ditetapkan oleh negara anggotanya " Meskipun demikian butir lain dari konsiderans WTO-TBT memberikan hak bagi negara anggotanya untuk menetapkan aturan-aturan yang diperlukan untuk kepentingan nasionalnya dengan pernyataan: "Bahwa sebuah negara tidak dilarang untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam menjamin mutu produk ekspornya, untuk perlindungan kehidupan manusia, fauna, flora, dan lingkungan hidupnya atau untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan negaranya, pada tingkat yang dianggap memadai, yang tidak diterapkan dengan cara yang dapat menyebabkan diskriminasi perlakuan terhadap negara anggota lainnya yang tidak dapat dibenarkan untuk kondisi yang sama untuk menyamarkan hambatan terhadap perdagangan internasional" Berdasarkan konsiderans WTO-TBT tersebut sudah selayaknya penetapan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional dilakukan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan internasional terkait dengan metrologi dan juga harus memastikan bahwa ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak menghilangkan kesempatan bagi negara untuk berpartisipasi dan memperoleh pengakuan secara internasional dalam skema-skema saling mengakui di tingkat regional maupun internasional terkait dengan kegiatan kemetrologian. Dengan mengacu pada rekomendasi internasional OIML D1, sebuah infrastruktur metrologi nasional hendaknya terdiri atas: perangkat hukum yang mencakup undang-undang dan peraturan tentang metrologi 39 suatu otoritas pemerintah yang bertanggungjawab atas kebijakan metrologi nasional dan koordinasi antar departemen/lembaga terkait dengan metrologi (selanjutnya disebut otoritas metrologi nasional) satu atau lebih lembaga yang bertugas dalam tingkat nasional melaksanakan kebijakan metrologi sistem standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan pengukuran sistem sukarela untuk mengakreditasi laboratorium, lembaga sertifikasi dan lembaga inspeksi struktur untuk mendiseminasikan pengetahuan dan kompetensi metrologi pelayanan jasa kepada perindustrian dan perekonomian dalam bidang metrologi Peran penting kegiatan kemetrologian dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, terlihat dengan jelas melalui penetapan kebijakan metrologi nasional melalui sebuah undang-undang oleh hampir semua negara di dunia. Negara-negara maju seperti Prancis, Kerajaan Inggris, Amerika Serikat dan Jerman telah mengembangkan UU kemetrologian modern sejak masa Revolusi Industri, dan melakukan pengembangan sistem metrologi yang kemudian digunakan sebagai dasar-dasar sistem metrologi internasional dan digunakan secara luas dalam percaturan internasional. Hal ini juga telah disadari oleh pemerintah Hindia Belanda, yang telah menetapkan UU kemetrologian yang telah berevolusi menjadi wujudnya yang berlaku di wilayah RI saat ini yaitu UU No. 2 Tahun 1981 dan sampai saat ini belum mengalami perubahan. Semakin menguatnya tekanan bagi negara-negara berkembang untuk dapat bertahan dan mengambil keuntungan dari sistem perdagangan global yang disepakati dalam kerangka WTO, telah mendorong berbagai negara-negara sedang berkembang untuk menyesuaikan UU kemetrologiannya dengan kecenderungan sistem metrologi internasional. Hal ini tempak dari latar belakang penetapan UU kemetrologian ataupun revisi UU kemetrologian di berbagai negara didasarkan pada berbagai aspek kepentingan bangsa, sebagaimana dapat dilihat dari konsiderans revisi UU kemetrologian Vietnam dan Slovenia sebagai berikut: Vietnam – Ordinance on Measurement 1999 40 to make measurement uniform and accurate so as to contribute to ensuring social justice, protecting the legitimate rights and interests of all organizations and individuals, to raise products and goods quality, to thriftily use of natural resources, materials and energy, to ensure safety, to protect people’s health and environment, to enhance state management efficiency and to create favorable conditions for international exchange Slovenia – Metrology Act 2000 to assure accurate and internationally compatible measurements, the system of units of measurement; measurement standards; measuring instruments; the validity of documents and marks of conformity of foreign origin; supervision of quantities and marking of products; and metrological supervision; as well as the competence and responsibilities of the Standards and Metrology Institute of the Republic of Slovenia (hereinafter SMIS). Sebagaimana telah dibahas dalam latar belakang Naskah Akademik ini, cakupan kegiatan kemetrologian yang pada awalnya lebih banyak fokus pada pengaturan alat ukur dalam perdagangan, sejalan dengan perkembangan jaman telah meluas ke berbagai aspek kehidupan, yang bila melihat pada perkembangan sistem metrologi di Uni Eropa kemudian dikelompokkan menjadi metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi legal. Pengaturan ketiga aspek kegiatan kemetrologian tersebut secara sinergis diharapkan mampu memosisikan metrologi sebagai pondasi untuk berbagai tujuan yang melatarbelakangi penetapan kebijakan metrologi nasional. 2.2 OTORITAS KEGIATAN KEMETROLOGIAN Sebuah infrastruktur nasional tentunya memerlukan pengorganisasian kewenangan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin keefektifan dan efisiensi fungsi infrastruktur yang telah dibuat. Sebagaimana infrastruktur negara lainnya, infrastruktur metrologi nasional memerlukan pengaturan administratif oleh pemerintah untuk: menentukan kebijakan metrologi nasional, menetapkan dan memelihara infrastruktur metrologi yang memadai, dan menetapkan regulasi serta penegakan hukumnya Tugas-tugas teknis terkait dengan kegiatan kemetrologian dapat dilakukan oleh lembaga spesialis maupun lembaga-lembaga lainnya baik lembaga pemerintah, semi pemerintah maupun swasta yang tidak secara langsung berada dalam struktur lembaga pemerintah tersebut, yang melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah serta melaporkannya kepada pemerintah. Untuk memastikan bahwa tugas dan kewenangan pemerintah terkait dengan kegiatan kemetrologian dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan sebuah otoritas metrologi nasional (central metrology authority) yang memiliki tugas untuk menangani kebijakan metrologi nasional secara terintegrasi (mencakup kegiatan metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi legal) dengan misi: mempelajari kebutuhan metrologi di tingkat nasional, serta orientasi dan prioritas kebijakan metrologi nasional, sebagai contoh dengan sebuah komite konsultatif yang terdiri dari para ahli yang mewakili berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara; 41 mengelaborasi dan menyiapkan kebijakan metrologi nasional yang perlu ditetapkan oleh pemerintah; mengoordinasikan kegiatan dari berbagai departemen dan lembaga pemerintah yang terkait dengan kemetrologian untuk memastikan konsistensi kebijakan dan tindakan pemerintah; menetapkan regulasi metrologi legal nasional; berkoordinasi dengan sistem akreditasi dan standardisasi nasional; memastikan keterwakilan negara dalam organisasi serta forum-forum metrologi regional dan internasional; memfasilitasi pengakuan internasional terhadap sistem dan kelembagaan metrologi nasional; mengoordinasikan kegiatan seluruh lembaga metrologi legal, termasuk kegiatan metrologi legal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; memberikan informasi secara transparan kepada masyarakat tentang sistem metrologi nasional Otoritas metrologi nasional bertanggung jawab untuk memastikan konsistensi regulasi kemetrologian dan implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian, serta memastikan bahwa fungsi-fungsi berikut dapat dilakukan oleh setiap pihak terkait: 42 penjaminan bahwa alat ukur yang digunakan dalam perdagangan, kesehatan, keselamatan, penegakan hukum dan perlindungan lingkungan sesuai dengan maksud penggunaannya, dipasang dengan tepat, akurat dan dipelihara oleh pemilik atau pemakainya; pencegahan kecurangan dalam penimbangan atau pengukuran berbagai komiditi, dalam iklan layanan, dalam ukuran barang dalam keadaan terbungkus, serta dalam penjualan, pembelian dan penukaran berdasarkan proses pengukuran; peningkatan harmonisasi regulasi kemetrologian yang diterapkan oleh pemerintah daerah peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan konsumen melalui adopsi persyaratan metrologi legal untuk menjamin kompetisi yang adil dan seimbang antara penjual dan pembeli; perlindungan kepentingan masyarakat dengan menetapkan dan menerapkan persyaratan kemetrologian alat ukur yang digunakan dalam pelayanan kesehatan, keselamatan, penegakan hukum dan perlindungan lingkungan; jaminan ketertelusuran hasil pengukuran melalui proses yang diakui dan diterima secara internasional; penyediaan standar pengukuran yang diperlukan oleh berbagai pihak; pembebasan dari ketentuan peraturan perundang-undangan kemetrologian atau rehulasi lainnya bila diperlukan untuk memelihara praktik komersial yang baik. Supaya UU kemetrologian tersebut dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan semua aspek di negaranya, negara-negara tersebut juga menetapkan otoritas metrologi dalam UU kemetrologiannya sebagai pemegang kebijakan metrologi nasional yang mencakup atau mengoordinasikan seluruh kegiatan kemetrologian yang dilakukan di berbagai sektor di negara tersebut. Contoh-contoh penetapan otoritas metrologi di dalam UU kemetrologian dapat diuraikan sebagai berikut. Vietnam Ordinance on Measurement 1999 Chapter VII State Management Over Metrology Article 26: The government shall exercise unified state management over metrology throughout the country. The ministry of science, technology and environment shall be answerable to the government for the state management over metrology. The organization, tasks and power of the state management agency on metrology under the ministry of science, technology and environment shall be defined by the government. Article 27: The ministries, ministrial-agencies and egencies attached to the government shall within the ambit of their tasks and powers, have to coordinate with the ministry of science, technology and environment in exercising the state management over metrology South Africa Measurement Unit and Measurement Standard Act 2006 Chapter 5: Board of National Metrology Institute and its Composition 10.(1) The Board of the National Metrology Institue consists of: (a) not less than seven and not more than 12 members appointed by the minister (of trade and industry) (b) the CEO appointed in terms of section 18 by virtue of his or her office (c) not more than two senior managers of the NMI appointed by the minister as executive members of the board. (2) When Appointing the members of the board the minister must ensure that those members: (a) are broadly representative of the demographics of the country including with regard to gender and disability; and (b) have sufficient knowledge, experience or qualification relating the function of the NMI 43 Slovenia Metrology Act 2000 Article 4: The technical and their related administrative as well as organizational assignments in the field of metrology, which are laid down in this and other acts, shall be performed by the Standards and Metrology Institute of the Republic of Slovenia (hereinafter referred to as "SMIS") Article 5: The minister in charge of metrology shall set up a Metrology Board which shall operate as consulting body for metrolog. Its assignment shall be in particular to: – function as a technical body; – advice in identifying the metrology needs of the Republic of Slovenia; – propose scientific and training activities in the field of metrology. Australia National Measurement Act 1960 – ammendment 2004: Chapter 18 Metrological functions (1) The Secretary (of the Department of Industry, Tourism and Resources) has metrological functions of the Commonwealth. (2) Those functions include, but are not limited to, the following: (a) adopting the International System of Units, and developing and adopting additional units of measurement for use in Australia; (b) realising units of measurement through the development and maintenance of standards of measurement, reference materials and reference techniques; (c) assisting industry, scientific organisations and government to develop and utilise measurement techniques, including by technology transfer; (d) promoting best practice in measurement in industry and the scientific and wider community, including by training; (e) providing measurement services to industry, scientific organisations and government, including by: i.measuring physical, chemical and biological quantities; and ii.providing calibration services; and iii.examining and approving patterns for measuring instruments; (f) providing expertise in support of Australia’s measurement standards and conformance infrastructure; (g) promoting uniformity in national trade measurement policy and practice, including through work with Commonwealth, State and Territory agencies; (h) facilitating international trade to the extent that it is affected by measurement; (i) fulfilling Australia’s international obligations with respect to measurement; (j) conducting research in support of the functions mentioned above 44 (3) The fact that the Secretary has the functions mentioned in this section does not limit the power of the Commonwealth to charge fees for things done in performing those functions. Penetapan ortoritas metrologi di sebuah negara yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa posisi serta bentuk dari otoritas metrologi itu sendiri dapat disesuaikan dengan pengaturan sistem pemerintahan di negara tersebut, sebagai contoh: Vietnam memberikan kewenangan penetapan kebijakan kemetrologian kepada Kementrian Teknologi dan Lingkungan, Australia memberikan kewenangan penetapan kebijakan kemetrologian kepada Kementrian Industri, Pariwisata dan Sumberdaya, Afrika Selatan memberikan kewenangan penetapan kebijakan kemetrologian kepada Menteri Perdagangan dan Industri, dan Slovenia memberikan kewenangan tersebut kepada Standards and Metrology Institute of the Republic of Slovenia. Namun demikian, meskipun setiap negara yang dicontohkan di atas meletakkan kewenangan pada departemen atau lembaga pemerintah yang berbeda-beda, terlihat dengan jelas bahwa fungsi-fungsi otoritas metrologi yang direkomendasikan oleh OIML D1 diadopsi dalam UU kemetrologian di negara-negara tersebut. 2.3 LEMBAGA-LEMBAGA KEMETROLOGIAN Untuk mengimplementasikan kebijakan metrologi nasional yang ditetapkan oleh otoritas metrologi, OIML D 1 merekomendasikan agar pemerintah menetapkan satu lembaga atau lebih dengan misi: menetapkan, memelihara, dan secara berkelanjutan meningkatkan standar pengukuran dan mendiseminasikan satuan pengukuran sesuai dengan kebutuhan negara; bertindak sebagai wakil pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan metrologi (ilmiah) internasional untuk mengusahakan kesetaraan standar pengukuran nasional; memberikan saran dan dukungan yang diperlukan oleh pemerintah, industri, perdagangan dan masyarakat dalam permasalahan terkait pengembangan ilmu dan teknologi metrologi; memberikan dasar kemetrologian yang kuat kepada sistem akreditasi nasional; memberikan pertimbangan teknis dan dukungan yang diperlukan oleh pemerintah, industri, perdagangan dan masyarakan dalam permasalahan terkait metrologi legal; melaksanakan kegiatan teknis dan koordinasi kegiatan metrologi legal, khususnya untuk pengujian dan persetujuan tipe, dan memastikan koordinasi teknis dan dukungan teknis pada peneraan awal, peneraan ulang, inspeksi alat ukur dan pengawasan pasar; 45 bertindak sebagai wakil pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi internasional metrologi legal Misi lembaga-lembaga kemetrologian tersebut memerlukan pelaksanaan tugas-tugas yang secara garis besar dapat dibagi menjadi tugas-tugas kemetrologian umum dan tugas-tugas metrologi legal sebagai berikut. 46 Tugas-tugas umum kemetrologian: menetapkan sistem satuan nasional, sejauh mungkin berdasarkan Sistem Satuan SI, merealisasikan dan memelihara standar pengukuran nasional dan mendiseminasikan satuan ukuran nasional, mengembangkan kompetensi ahli-ahli metrologi untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, serta memberikan pelatihan berkelanjutan kepada ahli-ahli metrologi tersebut untuk memastikan rencana regenerasi yang diperlukan dalam pemeliharaan standar pengukuran nasional, memfasilitasi pendirian laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis kemetrologian, termasuk pengendalian lingkungan dan peralatan yang diperlukan oleh laboratorium kalibrasi, mengarahkan penelitian-penelitian yang diperlukan dalam peningkatan standar pengukuran nasional untuk memenuhi kebutuhan pengukuran nasional, memberikan transfer pengetahuan ilmu kemetrologian yang diperlukan oleh industri, melakukan kajian secara reguler terhadap kebutuhan masyarakat terkait dengan pengembangan standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan ukuran nasional, menjadi acuan nasional untuk sistem akreditasi laboratorium, dalam hal kompetensi teknis kemetrologian dan standar pengukuran, memberikan pertimbangan teknis kepada pemerintah mengenai permasalahan kemetrologian, memastikan partisipasi secara efektif dalam kegiatan kemetrologian internasional, khususnya dalam Konvensi Meter melalui CIPM dan BIPM serta kegiatan metrologi ilmiah regional, memberikan pelayanan kalibrasi untuk menjamin ketertelusuran pengukuran di laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi nasional sesuai dengan persyaratan ILAC, dan ketertelusuran pengukuran di laboratorium metrologi legal sesuai persyaratan OIML, memberikan konsultasi kepada lembaga nasional yang relevan, industri atau masyarakat umum terkait dengan permasalahan-permasalahan kemetrologian dan pentingnya pengukuran, memberikan pelatihan teknis kemetrologian, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kemetrologian. Tugas-tugas metrologi legal: melaksanakan studi dan membuat usulan persyaratan regulasi teknis terhadap berbagai jenis alat ukur, melakukan kajian secara reguler tentang kebutuhan regulasi metrologi legal di masyarakat, memperkerjakan petugas metrologi yang kompeten untuk melaksanakan tugasnya serta mempersiapkan regenerasi petugas metrologi legal dengan baik, menerbitkan sertifikat persetujuan tipe nasional yang memenuhi OIML Certification System for Measuring Instruments dan persyaratan OIML Mutual Acceptance Arrangement. Untuk memastikan tugas-tugas kemetrologian dapat berjalan secara efektif dan efisien, pada prinsipnya diperlukan lembaga yang melaksanakan tugas-tugas kemetrologian secara umum dan lembaga yang melaksanakan tugas-tugas metrologi legal. Dalam perkembangan sistem metrologi internasional, lembaga yang melaksanakan tugas-tugas umum kemetrologian (dengan titik berat kegiatan metrologi ilmiah) dikenal dengan istilah lembaga metrologi nasional atau national metrology institute (NMI), sedangkan yang melaksanakan tugas-tugas metrologi legal dapat disebut sebagai lembaga metrologi legal nasional atau national legal metrology institute (NLMI). Lembaga metrologi nasional merupakan organisasi ilmiah, yang bersama-sama dengan organisasi standardisasi, badan akreditasi dan lembaga penilaian kesesuaian membentuk infrastruktur mutu nasional yang bersifat sukarela, sedangkan lembaga metrologi legal nasional merupakan bagian dari pemegang kewenangan pemerintah untuk mengembangkan dan menetapkan regulasiregulasi teknis yang berkaitan dengan kegiatan kemetrologian. Lembaga metrologi nasional (NMI) dapat terdiri dari satu laboratorium standar atau lebih, yang dapat merupakan bagian dari lembaga ilmiah atau perguruan tinggi, yang bertanggungjawab untuk melaksanakan menetapkan, memelihara, dan secara berkelanjutan meningkatkan standar pengukuran dan mendiseminasikan satuan pengukuran sesuai dengan kebutuhan negara; bertindak sebagai wakil pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan metrologi (ilmiah) internasional untuk mengusahakan kesetaraan standar pengukuran nasional; memberikan saran dan dukungan yang diperlukan oleh pemerintah, industri, perdagangan dan masyarakan dalam permasalahan terkait pengembangan ilmu dan teknologi metrologi; dan memberikan dasar kemetrologian berupa ketertelusuran pengukuan yang kuat kepada sistem akreditasi nasional. Bila kompetensi untuk pelaksanaan tugas pengelolaan standar pengukuran nasional terdistribusi pada beberapa lembaga, pemerintah harus menetapkan satu lembaga metrologi nasional utama untuk mengoordinasikan kegiatan yang diperlukan untuk mengemban tanggung jawab sebuah lembaga metrologi nasional. Lembaga metrologi nasional ini kemudian bertindak untuk mewakili pemerintah dalam organisasi metrologi (ilmiah) internasional, dalam hal ini 47 sebagai anggota CIPM dan di Asia Pasifik mewakili pemerintah dalam keanggotaan di APMP. Pada awalnya, tugas-tugas lembaga metrologi nasional umumnya diberikan kepada lembaga pemerintah. Namun demikian, akhir-akhir ini beberapa negara kemudian menetapkan kebijakan lain dengan memberikan tugas-tugas lembaga metrologi nasional kepada badan usaha milik negara (sebagai contoh, SIRIM Berhad di Malaysia) atau bahkan dikontrakkan secara penuh kepada perusahaan swasta (sebagai contoh, National Physical Laboratory (NPL) – Inggris). Alasannya adalah perlunya tingkat kebebasan manajemen dari sebuah NMI yang memadai untuk pengoperasian lembaga berbasis penelitian secara efektif dan efisien yang juga memberikan layanan kepada masyarakat. Kebijakan ini dilakukan untuk memungkinkan proses manajemen dan finansial dalam kegiatan NMI yang membutuhkan tingkat kebebasan yang mendekati pengoperasian perusahaan swasta. Meskipun tugas lembaga metrologi nasional tidak diberikan kepada lembaga pemerintah, seluruh pembiayaan kegiatannya selalu bersumber dari anggaran pemerintah. Di negara-negara industri maju, kecenderungan yang terjadi adalah menetapkan wewenang, fungsi dan tugas lembaga metrologi nasional ke dalam satu lembaga, khususnya untuk pengelolaan standar pengukuran nasional besaran-besaran dasar. Hal ini disebabkan bahwa dalam pengembangan standar pengukuran nasional untuk besaranbesaran turunan selalu diperlukan penelitian bersama antar pengelola standar pengukuran besaran dasar, sehingga bila pengelolaan standar pengukuran besaran dasar dilakukan oleh lembaga yang berbeda dapat menimbulkan kesulitan terkait dengan hubungan formal antar lembaga. Sebagai contoh, pengembangan standar pengukuran besaran turunan "tekanan" akan memerlukan diseminasi dari standar pengukuran standar besaran dasar "massa" dan "panjang", oleh karena itu pengelolaan standar pengukuran nasional untuk semua besaran dasar di sebuah lembaga dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi pengelolaan dan pengembangan standar pengukuran nasional. Namun demikian, lembaga yang mengembangkan semua besaran dasar ini, yang dapat disebut sebagai lembaga metrologi nasional utama, hendaknya diberi kewenangan untuk mendelegasikan kewenangannya tersebut kepada lembaga lain terkait dengan pengembangan standarstandar pengukuran yang diperlukan untuk sektor tertentu. Pengelolaan standar pengukuran nasional untuk besaran-besaran radiasi pada umumnya dikelola oleh lembaga yang bertanggungjawab dengan pengembangan teknologi nuklir di negara tersebut, demikian pula pengembangan bahan acuan bersertifikat (certified reference material – CRM) untuk bidang-bidang yang berbeda didelegasikan kepada lembaga lain yang memiliki kompetensi yang sesuai dan memadai. Secara umum sebuah lembaga metrologi nasional dapat memiliki beberapa struktur yang mungkin diterapkan, antara lain: 48 sebuah lembaga pemerintah yang memiliki dan menjalankan laboratoriumnya sendiri; sebuah lembaga swasta yang memiliki dan mengoperasikan laboratoriumnya sendiri, di bawah kewenangan pemerintah dengan mempertimbangkan persaingan nasional yang sehat dan keamanan nasional; sebuah lembaga pemerintah yang mengoordinasikan kegiatan lembaga pemerintah dan/atau lembaga swasta lainnya. Untuk memastikan bahwa pemerintah dapat melaksanakan tugas "perlindungan konsumen" terhadap penggunaan alat ukur, diperlukan pengembangan dan penetapan regulasi teknis terhadap pengukuran yang dilaksanakan oleh lembaga metrologi legal nasional. Lembaga metrologi legal nasional bertanggungjawab untuk menetapkan spesifikasi teknis metrologi legal, menerbitkan persetujuan tipe alat ukur, dan melakukan koordinasi teknis kepada departemen atau lembaga pemerintah lainnya yang berkepentingan untuk menetapkan dan mengimplementasikan regulasi metrologi legal yang dapat mencakup regulasi-regulasi tentang pengukuran, alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus yang ditetapkan oleh berbagai departemen atau lembaga pemerintah sesuai dengan cakupan tugas dan wewenangnya. Untuk menjamin harmonisasi regulasi metrologi legal nasional dengan sistem metrologi legal internasional pemerintah perlu menetapkan sebuah lembaga metrologi legal nasional utama sebagai wakil Indonesia di dalam organisasi metrologi legal internasional (OIML) dan regional (APLMF), yang kemudian mengoordinasikan kegiatan metrologi legal di tingkat nasional. Terkait dengan kegiatan legal metrologi, OIML D1 juga telah mengidentifikasi sistem pemerintahan federal atau sistem pemerintahan sejenis yang memberikan kewenangan kepada negara bagian atau pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan yang berlaku di negara bagian atau daerah dalam kerangka kebijakan pemerintahan nasional. Oleh karena itu OIML D1 juga memperkenalkan konsep local metrology authorities (otoritas metrologi lokal). Di dalam OIML D1, konsep local metrology authorities ini dapat berwujud implementasi kegiatan kemetrologian oleh: kantor daerah dari pemerintah pusat; negara bagian dalam negara federal; organisasi di tingkat daerah atau provinsi, atau pemerintah daerah yang ditetapkan melalui hasil pemilihan umum. Negara-negara kecil mungkin tidak memerlukan otoritas metrologi lokal ini karena implementasi kegiatan kemetrologian di seluruh wilayah negara dapat ditangani oleh otoritas metrologi pusat (central metrology authorities). Namun demikian untuk negara yang memiliki wilayah luas dan pemerintahannya dibagi-bagi ke dalam pemerintahan negara bagian, atau propinsi, maka kegiatan pengujian dan persetujuan tipe, peneraan awal alat ukur, peneraan ulang alat ukur, dan pengendalian barang dalam keadaan terbungkus dapat dilakukan oleh otoritas metrologi lokal atau lembaga yang ditunjuk oleh otoritas metrologi lokal. Untuk memastikan harmonisasi regulasi metrologi legal di seluruh wilayah negara, misi dari otoritas metrologi lokal hendaknya mencakup: mengimplementasikan peraturan perundang-undangan kemetrologian di wilayah pemerintahannya; 49 mengidentifikasi cakupan regulasi metrologi legal yang diimplementasikan di wilayah pemerintahannya; mengarahkan dan mengimplementasikan sistem pengendalian legal kemetrologian di wilayah pemerintahannya; mendukung pengembangan infrastruktur kemetrologian di wilayah pemerintahannya; melaksanakan investigasi untuk memastikan kesesuaian regulasi metrologi legal yang diberlakukan di wilayah pemerintahannya dengan kebijakan metrologi nasional Kebijakan serta implementasi kebijakan oleh lembaga metrologi lokal harus dikoordinasikan dengan baik oleh otoritas metrologi untuk menjamin harmonisasi implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian di seluruh wilayah negara. Karena pada umumnya, dalam sistem pemerintah negara bagian atau otonomi daerah, lembaga metrologi lokal tidak secara langsung berada di dalam kewenangan otoritas metrologi nasional maupun lembaga metrologi legal nasional, peraturan perundangundangan kemetrologian harus mencakup ketentuan tentang koordinasi kegiatan otoritas metrologi lokal, yang sebagai contoh dapat mencakup: sertifikasi yang dapat diterima oleh otoritas metrologi nasional atau lembaga metrologi legal nasional harus diterima oleh otoritas metrologi lokal; peralatan ukur, prosedur pengukuran dah hasil pengukuran yang dapat diterima oleh sebuah otoritas metrologi lokal harus dapat diterima oleh otoritas metrologi lokal lainnya; tidak terdapat perbedaan persyaratan atau interpretasi persyaratan antar otoritas metrologi lokal, otoritas metrologi nasional atau lembaga metrologi legal nasional dapat meminta otoritas metrologi lokal untuk merevisi persyaratan atau interpretasi persyaratan bila terdapat bukti penyimpangan persyaratan atau interpretasi persyaratan dengan yang berlaku secara umum di seluruh wilayah pemerintahan nasional otoritas metrologi lokal harus terwakili dalam forum otoritas metrologi nasional dan harus menerima kesepakatan yang dicapai dalam forum otoritas metrologi nasional. Pengalaman dari berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa terkait dengan kegiatan kemetrologian, fungsi esensial pemerintahan dalam menetapkan kebijakan ekonomi dan sosial, mendukung industri dan menetapkan regulasi sangat bergantung pada kompetensi teknis kemetrologian. Kompetensi teknis kemetrologian yang diperlukan ini dapat diperkuat bila kebijakan kemetrologian di sebuah negara dapat mengintegrasikan atau paling tidak mengoordinasikan kegiatan teknis dengan kegiatan yang diwajibkan oleh regulasi dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengalaman ini, direkomendasikan untuk membangun sinergi antara metrologi ilmiah dan metrologi legal, khususnya dalam proses penetapan persyaratan teknis untuk regulasi baru, serta untuk pengujian dan persetujuan tipe. 50 Untuk mengimplementasikan rekomendasi ini beberapa negara maju kemudian menggabungkan metrologi legal dan metrologi ilmiah dalam satu lembaga. Namun demikian praktik penggabungan sebagaimana diterapkan oleh negara-negara maju tersebut akan sulit dilakukan oleh negara-negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu paling tidak peraturan perundang-undangan kemetrologian seyogyanya menetapkan koordinasi yang baik antara lembaga metrologi nasional (yang bertanggungjawab untuk kegiatan metrologi ilmiah) dan lembaga metrologi legal. Beberapa alasan utama perlunya sinergi antara metrologi ilmiah dan metrologi legal adalah: lingkup baru metrologi legal dan teknologi baru yang berkembang pada alat-alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal memerlukan penguasaan pengetahuan ilmiah kemetrologian yang lebih baik; di sisi lain perkembangan persyaratan dalam regulasi metrologi legal dapat menuntut pengembangan standar pengukuran nasional yang lebih baik dan modern oleh lembaga metrologi nasional. Oleh karena itu menggabungkan lembaga metrologi ilmiah dan metrologi legal, atau paling tidak mengoordinasikan kegiatan tersebut melalui otoritas metrologi nasional, dapat menciptakan manajemen sumber daya dan memfasilitasi kebijakan metrologi nasional yang lebih koheren 2.4 SATUAN PENGUKURAN DAN STANDAR PENGUKURAN 2.4.1 Satuan Pengukuran Dalam kerangka integrasi ekonomi nasional ke dalam sebuah sistem global, yang ketentuan-ketentuannya disepakati secara internasional dalam kerangka WTO agreement, kesesuaian antarinfrastruktur standar, metrologi, akreditasi dan mutu dengan sendirinya menjadi prasyarat yang tidak dapat ditolak oleh setiap negara yang menghendaki untuk dapat mengambil manfaat dari ratifikasinya terhadap pembentukan WTO. Harmonisasi dan integrasi sistem metrologi dalam sejarahnya merupakan sistem pertama yang diorganisasikan secara internasional dalam peradaban modern, melalui Konvensi Meter dan pembentukan BIPM pada tahun 1875. Kebutuhan harmonisasi satuan pengukuran di tingkat internasional tersebut digerakkan oleh keperluan industri massal yang mulai berkembang sejak revolusi industri pada tahun 1790. Adopsi satuan yang harmonis di tingkat internasional menjadi semakin kuat setelah Konferensi Umum Ukuran dan Timbangan (CGPM) melakukan adopsi Sistem Internasional untuk satuan, yang merupakan sistem satuan yang konvergen dan diterima oleh negara-negara penandatangan konvensi meter, yang didasarkan pada tujuh satuan dasar beserta definisinya seperti dalam tabel di bawah ini. Besaran Massa (mass) Satuan Dasar kilogram Simbol kg Definisi adalah satuan massa; yang sama dengan massa international prototype of the kilogram 51 Besaran Satuan Dasar Simbol Definisi Panjang (length) meter (metre) m adalah panjang lintasan yang dilalui oleh cahaya di dalam vakum dalam interval waktu (1/299 792 458) sekon Waktu (time) sekon (second) s adalah lamanya 9 192 631 770 periode radiasi yang berhubungan denga transisi antara dua hyperfine levels dari ground state atom caesium-133 (Cs133) Arus listrik (electric current) ampere A adalah arus konstan, yang bila dipelihara dalam dua konduktor lurus paralel dengan panjang tak hingga, dan diameter yang bisa diabaikan, dan diletakkan berjarak 1 meter (antar dua konduktor tersebut) di dalam vakum, akan menghasilkan gaya sebesar (2 x 10-7) newton per meter panjang di antara dua konduktor tersebut Suhu termodinamik (thermodynamic temperature) kelvin K satuan temperatur termodinamik, adalah 1/273,16 bagian dari temperatur termodinamik titik tripel air Jumlah zat (amount of substance) mol (mole) mol adalah jumlah zat dari sebuah sistem yang terdiri dari unsur dasar sebanyak jumlah atom yang terdapat dalam 0,0012 kg karbon 12 (C12). Bila mol digunakan, unsur dasar harus dinyatakan dan dapat berupa atom, molekul, ion, elektron, partikel lain, atau kelompok tertentu dari partikel tersebut. Intensitas cahaya (luminous intensity) kandela (candela) cd adalah intensitas cahaya, pada arah tertentu, dari sebuah sumber yang memancarkan radiasi monokromatis dengan frekuensi (540 × 1012) Hz dan yang memiliki intensitas radiasi sebesar (1/683) watt per steradian pada arah tersebut Untuk memenuhi kebutuhan pengukuran di berbagai sektor, ketujuh besaran dasar tersebut kemudian nilainya dihubungkan ke berbagai besaran turunan yang merupakan fungsi dari besaran-besaran dasar tersebut. Untuk memastikan bahwa adopsi sistem satuan SI tersebut tidak menjadi penghambat bagi berbagai kegiatan pengukuran di saat itu, CGPM menetapkan beberapa jenis satuan turunan, yang terdiri dari: Satuan turunan yang dinyatakan sebagai fungsi dari satuan dasar; Satuan turunan yang dinyatakan dengan nama khusus; Satuan di luar sistem satuan SI yang dapat digunakan bersama dengan satuan-satuan di dalam sistem satuan SI Satuan di luar sistem satuan SI yang dapat diterima untuk digunakan dalam bidang tertentu dan nilainya ditentukan melalui eksperimen Dengan sistem satuan dasar dan satuan turunan sebagaimana dijelaskan di atas, untuk satuan-satuan di luar sistem satuan SI, CGPM kemudian menetapkan faktor konversi untuk setiap satuan tersebut, sehingga satuan-satuan tersebut kemudian dapat digunakan secara harmonis dan konvergen dengan sistem satuan SI. Dengan ketentuan CGPM 52 tersebut, sampai saat ini satuan-satuan di luar sistem satuan SI, seperti knot, feet, psi, bar, inch, dan satuan-satuan lainnya masih tetap dapat digunakan dalam sektor-sektor yang memerlukannya, namun demikian semua satuan tersebut dapat dikonversikan ke dalam satuan SI, baik satuan dasar maupun satuan turunan melalui konstanta yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan internasional. Pada awalnya di dalam sistem satuan SI dikenal adanya satuan tambahan yang terdiri dari sudut bidang (radian) dan sudut ruang (steradian), tetapi klasifikasi satuan tambahan ini kemudian berdasarkan ketetapan CGPM dihilangkan dari sistem satuan SI, dan dimasukkan ke dalam besaran turunan, karena satuan-satuan ini dapat diturunkan dari satuan dasar meter. Definisi-definisi satuan di dalam sistem ini juga beberapa kali mengalami revisi karena dorongan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan industri yang menyebabkan definisi yang ditetapkan sebelumnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan penelitian yang makin meningkat. Satuan Dasar Satuan Turunan Satuan Turunan dengan nama dan simbol spesifik Gambar 5. Hubungan antara satuan dasar SI dan satuan turunannya Untuk dapat mengintegrasikan ekonominya, dalam arti membuat kondisi yang memungkinkan hasil-hasil pengukuran yang telah terintegrasi dalam suatu komoditas dapat diterima dalam pasar global, sebuah negara harus mengadopsi sistem satuan SI, sedemikian hingga setiap pihak pelaku pengukuran dan para pemangku kepentingan kegiatan pengukuran mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam sistem satuan SI. Di dalam kerangka pasar global telah ditetapkan definisi-definisi terkait dengan satuan 53 pengukuran, yang ditetapkan di dalam International Vocabulary of Standard and General Terms in Metrology (VIM), yang antara lain memuat definisi berikut: satuan ukuran (unit of measurement): besaran tertentu yang ditetapkan dan diadopsi melalui konvensi, di mana besaran lain dari jenis yang sama dibandingkan untuk menyatakan besarnya secara relatif terhadap besaran tersebut [VIM 1.7], satuan dasar pengukuran (base unit of measurement): satuan ukuran dari besaran dasar di dalam sistem besaran tertentu [VIM 1.13], besaran dasar (base quantity): suatu jenis besaran, di dalam sistem besaran, yang secara konvensional dianggap secara fungsional saling bebas satu sama lain [VIM 1.3], satuan turunan (derived unit of measurement): satuan dari besaran turunan di dalam sistem satuan tertentu [VIM 1.14], besaran turunan (derived quantity): besaran, yang dapat dinyatakan dalam bentuk atau fungsi dari besaran turunan [VIM 1.4]. Pada saat pemerintah suatu negara mengadopsi sistem satuan SI sebagai sistem satuan di negaranya, maka adopsi sistem tersebut perlu mempertimbangkan definisi-definisi yang telah disepakati secara interanasional dan juga mempertimbangkan sifat dinamis dari sistem itu sendiri yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini, masih terdapat satu satuan dasar yang didefinisikan sebagai sebuah barang yang dikelola di BIPM, Prancis yaitu massa, yang dari hasil analisis para ilmuwan di dunia telah menjadi hambatan dari berbagai proses penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu CGPM merekomendasikan penelitian-penelitan tentang perubahan definisi massa menjadi definisi yang terkait dengan konstanta alam, sehingga definisi tersebut dapat direproduksi oleh siapa pun dan di mana pun di dunia ini, dan tingkat ketelitian yang dapat dicapai oleh definisi tersebut secara otomatis akan semakin meningkat dengan semakin telitinya kemampuan pengukuran yang dapat dicapai dalam perkembangan ilmu pengukuran. 2.4.2 Standar Pengukuran Nasional Karena tujuan dari adopsi sistem satuan SI adalah untuk mengharmoniskan hasil-hasil pengukuran di seluruh dunia, maka definisi-definisi satuan tersebut harus direalisasikan dalam bentuk fisik, yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengukuran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Definisi-definisi satuan yang didasarkan pada konstanta alam memungkinkan realisasi definisi tersebut oleh lembaga pengelola standar pengukuran nasional setiap negara Konvensi Meter, sedemikian hingga pencapaian tingkat ketelitian dari definisi satuan tersebut dapat menjadi penelitian internasional yang dilakukan oleh berbagai negara. Sejalan dengan pengembangan sistem metrologi internasional, maka definisi-definisi terkait dengan standar pengukuran juga telah menjadi kesepakatan internasional, sedemikian hingga definisi yang harmonis ini dapat memfasilitasi penelitian lintas negara dan juga pertukaran hasil-hasil pengukuran secara 54 langsung maupun hasil pengukuran yang telah terintegrasi dalam komoditas yang diperdagangkan dalam pasar global. Definisi-definisi utama terkait dengan standar pengukuran yang telah disepakati oleh berbagai organisasi internasional dan dimuat di dalam VIM antara lain adalah sebagai berikut: Standar Ukuran (standard of measurement): bahan ukur, alat ukur atau sistem pengukuran yang ditujukan untuk menetapkan, merealisasikan, menyimpan atau mereproduksi sebuah satuan atau lebih nilai dari sebuah besaran yang digunakan sebagai acuan [VIM 6.1] Standar pengukuran primer (primary standard of measurement): standar yang ditunjuk atau diterima secara luas memiliki mutu kemetrologian tertinggi yang nilainya diterima tanpa acuan ke standar lain dari besaran yang sama [VIM 6.4] Standar pengukuran sekunder (secondary standard of measurement): standar pengukuran yang nilai dan ketidakpastiannya ditetapkan melalui kalibrasi terhadap standar pengukuran primer dari jenis besaran yang sama [VIM 6.5] Standar pengukuran nasional (national standard of measurement): standar pengukuran yang berdasarkan keputusan nasional sebagai acuan pengukuran di negara tersebut [VIM 6.3] Definisi-definisi ini kemudian digunakan secara luas dan diadopsi oleh berbagai negara sedemikian hingga infrastruktur metrologi di negara tersebut dapat berintegrasi dengan sistem metrologi internasional dan dimanfaatkan untuk kepentingan nasionalnya. Sesuai dengan kebutuhan pengukuran di sebuah negara, setelah melakukan adopsi sistem satuan SI, negara itu perlu menetapkan standar pengukuran nasionalnya sebagai acuan untuk berbagai proses pengukuran yang dilakukan di negara tersebut. Standar pengukuran yang diperlukan oleh suatu negara tentunya tidak hanya mencakup standar pengukuran untuk besaran-besaran dasar, tetapi juga standar-standar untuk besaran turunan. Tingkat ketelitian standar pengukuran nasional tentunya dapat berbeda-beda sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pengukuran di negara tersebut. Negara-negara maju yang memiliki penguasaan Iptek sangat tinggi dan memiliki infrastruktur industri yang memerlukan pengukuran dengan tingkat ketelitian tinggi, pada umumnya menetapkan standar pengukuran primer sesuai dengan definisinya dalam sistem satuan SI sebagai standar nasionalnya. Sedangkan negara-negara sedang berkembang, yang belum memerlukan tingkat ketelitian pengukuran yang tinggi, dapat menetapkan standar pengukuran sekunder sebagai standar nasionalnya yang secara rutin dikalibrasikan ke pengelola standar pengukuran nasional negara lain yang memiliki standar primer. Pada awal harmonisasi satuan pengukuran yang terjadi di abad ke-19, standar pengukuran didefinisikan sebagai barang yang dibuat oleh atau atas nama BIPM dan dikelola oleh BIPM. Standar pengukuran internasional yang pertama kali dibuat adalah prototipe kilogram internasional dan prototipe meter internasional. Prototipe kilogram internasional sampai saat ini masih menjadi definisi satuan kilogram, sedangkan prototipe meter 55 internasional saat ini telah ditinggalkan karena mengacu pada barang yang bersifat makro; hal ini tidak memungkinkan dilakukannya pengkuran di tingkat nano (misalnya dalam pembuatan nano-IC yang diperlukan dalam industri elektronik). Upaya untuk memberikan jaminan kepada semua pelaku dan pemangku kepentingan metrologi di sebuah negara, dan untuk memastikan bahwa standar pengukuran nasional yang dimiliki oleh negara tersebut selalu dapat dimutakhirkan sesuai dengan kebutuhan ketelitian pengukuran di negara tersebut, tentu saja memerlukan biaya. Maka itu, penetapan standar pengukuran nasional ini memerlukan ketetapan hukum dari pemerintah. Namun demikian, dalam proses tersebut hendaknya diperhatikan perlunya penyesuaian-penyesuaian jenis standar pengukuran yang diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan negara tersebut. Oleh karena itu ketentuan hukum tentang standar pengukuran nasional hendaknya ditetapkan sedemikian hingga proses penyesuaian terhadapnya dapat dilakukan dengan cepat untuk mengantisipasi kebutuhan. Ketentuan tentang penetapan standar pengukuran nasional dalam suatu peraturan perundang-undangan yang proses revisinya memerlukan investasi biaya dan waktu yang signifikan akan dapat menjadi faktor penghambat daya saing, karena semua tindakan di luar ketentuan hukum yang telah berlaku adalah pelanggaran UU. Hal ini dapat menimpa sebuah standar baru dengan tingkat ketelitian yang dibutuhkan, tetapi belum dapat digunakan untuk melayani kebutuhan nasional, karena peraturan perundang-undangan yang ada masih menetapkan standar lain, yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan industri di negara tersebut. Kepastian hukum dari standar pengukuran nasional juga tidak hanya mencakup standar pengukuran nasional untuk besaran-besaran dasar saja. Sesuai dengan definisinya di dalam sistem satuan SI, meskipun secara matematis satuan turunan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari satuan dasar, realisasi definisi satuan turunan akan memerlukan realisasi dalam bentuk sebuah standar yang spesifik yang tidak bisa dilakukan hanya dengan menghubungkan standar-standar satuan dasar yang telah ada. Standar primer pengukuran yang dimaksud dalam definisinya di VIM bukan hanya merupakan realisasi satuan dasar, tetapi setiap besaran turunan juga mempunyai standar primer, dan sebuah negara harus mampu mengidentifikasi kebutuhan pengukuran di negaranya sedemikian hingga standar-standar yang diinvestasikan oleh negara tersebut akan bermanfaat bagi kebutuhan berbagai pihak di negara tersebut. Telah menjadi praktik umum secara internasional bahwa pengadaan standar pengukuran nasional dilakukan oleh negara, namun demikian untuk memastikan kebenaran pengukuran di seluruh tingkat ketelitian sesuai dengan kebutuhan di negara itu tidak dapat hanya dicukupi dengan standar pengukuran nasional saja. Untuk memastikan kebenaran pengukuran di semua tingkatan tersebut, diperlukan laboratorium-laboratorium kalibrasi yang memiliki standar-standar pengukuran sekunder maupun standar-standar kerja yang diperlukan untuk mendiseminasikan nilai standar pengukuran nasional ke seluruh kegiatan pengukuran di negara tersebut. Tentu saja kompetensi laboratoriumlaboratorium ini harus dijamin melalui akreditasi laboratorium kalibrasi yang telah 56 mendapatkan pengakuan internasional melalui skema saling mengakui di organisasi kerjasama akreditasi regional/internasional. Telah menjadi keniscayaan bahwa untuk dapat mengintegrasikan suatu sistem pengukuran nasional sebagai bagian dari sistem pengukuran global yang menjadi prasyarat untuk mengintegrasikan perekonomian negara ke dalam perdagangan global, maka standar-standar pengukuran yang telah direalisasikan oleh lembaga pengelola standar pengukuran nasional setiap negara harus dapat dijamin kesetaraannya di tingkat regional maupun internasional. Dengan kata lain, bagi sebuah negara tidak cukup hanya memiliki standar pengukuran nasional yang jenisnya sama dengan standar pengukuran nasional yang dimiliki oleh negara lain. Di dalam sistem pengukuran global, untuk menjamin ekivalensi atau kesetaraan antarstandar pengukuran nasional telah dikembangkan skema saling mengakui yang dikenal dengan CIPM MRA, yang bertujuan untuk: (1) menetapkan kesetaraan standar pengukuran nasional yang dipelihara lembaga metrologi nasional; (2) membangun pengakuan timbal balik terhadap sertifikat kalibrasi dan pengukuran yang diterbitkan oleh lembaga metrologi nasional; dan (3) karena itu, menciptakan landasan teknis yang mantap bagi pemerintah dan pihakpihak lain untuk menjalin kesepakatan yang lebih luas berkaitan dengan perdagangan internasional dan regulasi. Tujuan-tujuan dari CIPM MRA diharapkan dapat dicapai melalui berbagai proses yang harus dilalui oleh lembaga metrologi nasional setiap negara, yang meliputi: (1) perbandingan utama internasional (international key comparisons) dalam pengukuran antarlembaga pengelola standar pengukuran nasional, atau program serupa di tingkat regional (regional key comparisons) yang terkait dengan perbandingan utama internasional; di kawasan Asia-Pasifik, program tersebut dikoordinasikan oleh APMP. (2) perbandingan pelengkap internasional (international supplementary comparisons) dalam pengukuran antarlembaga pengelola standa pengukuran nasional; dan (3) pembuktian penerapan sistem mutu laboratorium dan kompetensi teknis lembaga pengelola standa pengukuran nasional; untuk anggota APMP, proses ini dapat ditempuh dengan pilihan: (a) akreditasi pihak ketiga (third-party accreditation) untuk sistem mutu berdasarkan ISO/IEC 17025 (atau ekivalen) dengan menggunakan badan akreditasi yang telah menerapkan ISO Guide 58 dan telah diterima dalam ILAC MRA atau APLAC MRA, serta menggunakan asesor teknis yang disetujui Panitia Teknis APMP; atau (b) sertifikasi ISO 9001 dan penilaian oleh technical peers yang disetujui Panitia Teknis APMP; atau 57 (c) penilaian oleh suatu tim yang terdiri atas pakar sistem mutu dan technical peers, yang diorganisasikan melalui APLAC atau suatu badan akreditasi yang diakui. Tujuan CIPM MRA dan juga proses untuk mencapai tujuan CIPM MRA yang telah disepakati secara internasional tersebut menunjukkan bahwa setelah memiliki standar pengukuran yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi standar pengukuran nasional, masih harus ditempuh proses-proses lain. Proses ini bisa jadi lebih berat dari proses pembelian standar itu sendiri, sebelum standar pengukuran nasional tersebut diakui setara dengan standar pengukuran nasional negara lain dan dapat menjadi bagian yang terintegrasi ke dalam sistem metrologi internasional. Untuk memperoleh pengakuan bahwa standar pengukuran nasionalnya ekivalen, sebuah lembaga pengelola standar pengukuran nasional harus mengikuti proses uji banding yang diorganisasikan dan dievaluasi oleh organisasi metrologi regional dan internasional sehingga terdapat bukti kuantitatif yang menunjukkan bahwa standar pengukuran nasional yang dikelolanya mampu menghasilkan nilai yang ekivalen dengan yang dihasilkan oleh negara lain atau ekivalen dengan hasil pengukuran yang disepakati sebagai acuan internasional. Uji Banding SIM Uji Banding Euramet BIPM Uji Banding Komite Konsultatif CIPM Uji Banding APMP Uji Banding Regional Lain Uji Banding Regional Lain NMI yang ikut uji banding BIPM atau Komite Konsultatif NMI yang ikut uji banding BIPM atau Komite Konsultatif dan regional NMI yang ikut uji banding regional saja NMI yang tidak ikut uji banding BIPM, Komite Konsultatif maupun regional, tetapi melakukan uji banding bilateral Gambar 6. Skema uji banding antarlembaga metrologi nasional di dunia. SIM = Sistema Interamericano de Metrologia, organisasi metrologi regional di Benua Amerika. 58 Pengakuan terhadap ekivalensi standar pengukuran nasional di atas kemudian masih harus dilanjutkan lagi dengan suatu proses untuk membuktikan bahwa lembaga pengelola standar pengukuran nasional ini memiliki kompetensi yang setara dengan lembaga pengelola standar pengukuran negara lain, sehingga mampu memberikan hasil pengukuran yang kebenarannya setara dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh negara lain. Pengakuan terhadap kesetaraan hasil pengukuran yang dilakukan oleh lembaga pengelola standar pengukuran nasional inilah yang dalam kerangka WTO-TBT baru dapat dianggap sebagai kegiatan metrologi ilmiah yang dapat digunakan sebagai sumber kebenaran pengukuran yang dapat dipercaya oleh negara-negara anggota WTO lainnya. Dalam proses pembandingan standar pengukuran nasional tersebut, bisa saja suatu standar pengukuran nasional di suatu lembaga pengelola standar pengukuran nasional dinilai belum ekivalen dengan standar pengukuran nasional negara lain, menurut para ahli metrologi yang disepakati secara internasional bahwa. Dalam kasus tersebut, lembaga pengelola standar tersebut harus melakukan berbagai proses penelitian dan proses peningkatan kompetensi personel, sedemikian hingga lembaga tersebut mampu merealisasikan nilai standar pengukuran nasional yang ekivalen dengan negara lain berdasarkan standar pengukuran yang dimilikinya. Penelitian-penelitian ini tentunya dapat berimplikasi perubahan tata-cara pengelolaan dan kalibrasi standar pengukuran nasional yang dinamis. Oleh karena itu sebuah lembaga pengelola standar pengukuran nasional haruslah sebuah lembaga yang memiliki kemampuan penelitian yang tinggi, sedemikian hingga faktor-faktor penyebab perbedaan yang diidentifikasi dari hasil perbandingan internasional dapat diidentifikasi dan ditentukan solusinya. Proses untuk memperoleh pengakuan antarstandar pengukuran nasional dan kompetensi lembaga pengelola standar pengukuran nasional, yang dikoordinasikan oleh CIPM, mutlak harus dipenuhi oleh setiap negara yang berkehendak mengintegrasikan dan mengambil manfaat dari pasar global. Bahkan, partisipasi dalam skema pengakuan timbal-balik CIPM MRA merupakan salah satu rekomendasi yang ditetapkan oleh APEC kepada negara-negara anggotanya sebagai proses yang harus ditempuh dalam rangka mempersiapkan implementasi pasar bebas di kawasan Asia Pasifik. Pentingnya posisi standar pengukuran nasional dan juga lembaga pengelola standar pengukuran nasional ini tentunya menjadi alasan yang kuat untuk memasukkannya ke dalam ketentuan peraturan perundang-undangan kemetrologian, sehingga negara tersebut memiliki lembaga yang menjadi pusat pengembangan ilmu kemetrologian yang dapat dimanfaatkan untuk semua sektor kehidupan termasuk dalam rangka pengembangan daya saing nasional. Sebuah lembaga pengelola standar pengukuran nasional, atau dalam praktik internasional sering disebut sebagai lembaga metrologi nasional menurut rekomendasi internasional OIML D1 hendaknya memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: menetapkan, memelihara dan secara berkelanjutan meningkatkan standar pengukuran nasionalnya dan mendiseminasikan satuan pengukuran sesuai dengan kebutuhan negara dan memastikan partisipasinya dalam kegiatan internasional yang berkaitan dengan pengelolaan standar pengukuran nasionalnya 59 memberikan masukan dan dukungan kepada pemerintah, industri, perdagangan dan masyarakat mengenai masalah-masalah kemetrologian memberikan dasar kemetrologian yang kuat untuk mendukung sistem standardisasi dan akreditasi nasional memberikan masukan dan dukungan teknis sepada pemerintah, industri, perdagangan dan masyarakat mengenai pengembangan ilmu kemetrologian yang diperlukan di seluruh sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengusahakan keberterimaan standar pengukuran nasional yang dikelolanya serta kompetensinya dalam mengelola standar pengukuran nasional sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh organisasi metrologi ilmiah internasional maupun regional. Tugas dan fungsi yang harus dijalankan oleh lembaga metrologi nasional di atas dapat dijalankan oleh satu atau lebih laboratorium standar, yang dapat menjadi bagian dari universitas atau lembaga penelitian. Di negara-negara sedang berkembang, karena lingkup ilmu metrologi yang demikian luasnya, tanggung jawab pengelolaan standar pengukuran nasional untuk besaran/satuan yang berbeda dapat dibagi kepada lembagalembaga yang memiliki kompetensi relevan dengan standar pengukuran yang dikelolanya yang kemudian dikoordinasikan oleh sebuah lembaga metrologi utama. Di negara maju, pengelolaan standar pengukuran nasional dipusatkan di sebuah lembaga, misalnya National Institute of Standards and Technology (NIST) di AS. Hal ini diikuti juga oleh beberapa negara industri baru seperti Korea Selatan yang memusatkan pengelolaan standar pengukuran untuk semua besaran di Korea Research Institute of Standards and Sciences (KRISS). Di Jerman, Physikalisch-Technische Bundesanstalt (PTB) yang memiliki kompetensi untuk mengelola sebagian besar standar pengukuran nasional menjadi lembaga metrologi nasional utama, sedangkan untuk standar-standar kimia PTB memberikan kontrak kepada Bundesanstalt für Materialforschung und -prüfung (BAM). Di Inggris, UK Department of Trade and Industry menyerahkan tanggung jawab pengelolaan standar pengukuran nasional melalui kontrak dengan National Physical Laboratory yang merupakan lembaga swasta sebagai laboratorium metrologi nasional utama yang kemudian berkoordinasi dengan LGC Ltd. untuk pengelolaan standar kimia dan TUV NEL khusus untuk bidang pengukuran aliran. 2.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran Pengembangan sistem pengukuran global pada dasarnya ditujukan untuk mencapai ketertelusuran pengukuran di seluruh dunia, sedemikian hingga hasil-hasil pengukuran langsung, maupun hasil-hasil pengukuran yang terintegrasi ke dalam karakteristik komoditas, dapat diterima oleh seluruh negara di dunia yang melakukan pertukaran komoditas maupun bertransaksi langsung antarnegara berdasarkan hasil-hasil pengukuran. Oleh karena itu kesetaraan standar pengukuran nasional dan kompetensi lembaga pengelola standar pengukuran nasional baru memberikan jaminan bahwa standar pengukuran nasional negara tersebut setara dengan standar pengukuran negara-negara 60 lain, dan kompetensi lembaga pengelola standar pengukuran nasionalnya dalam memelihara dan mendiseminasikan nilai-nilai dari standar pengukuran nasional setara dengan kompetensi lembaga serupa di negara-negara lain. Di dalam suatu negara, kebutuhan pengukuran yang tertelusur merupakan kebutuhan yang sangat besar, mulai dari kegiatan pengukuran dalam penelitian yang membutuhkan akurasi sangat tinggi, kegiatan pengukuran di industri, sampai kepada kegiatan pengukuran sederhana yang dilakukan dalam pembelian beras dan buah-buahan di pasar tradisional, sehingga lembaga pengelola standar pengukuran nasional tidak akan mampu untuk melayani seluruh kebutuhan ketertelusuran pengukuran tersebut. Untuk dapat memastikan ketertelusuran pengukuran di semua tingkat ketelitian pengukuran dan di semua sektor kehidupan berbangsa dan negara diperlukan sistem diseminasi satuan pengukuran dan standar pengukuran nasional. Untuk menjalankan proses diseminasi nilai standar nasional, melalui rantai kalibrasi standar alat ukur sampai dengan proses pengukuran yang dilakukan di tingkat produksi maupun transaksi di pasar tradisional, diperlukan kompetensi di bidang metrologi. Kompetensi metrologi nasional untuk memastikan ketertelusuran pengukuran nasional tentunya memerlukan penguasaan ilmu metrologi, yang mencakup ilmu-ilmu pengukuran dan ilmu-ilmu pendukungnya serta proses yang diperlukan untuk menjamin ketertelusuran pengukuran tersebut. Telah dijelaskan di dalam pendahuluan bahwa akumulasi pengembangan ilmu metrologi, karena pentingnya peran ilmu ini dalam integrasi ekonomi global, pada umumnya setelah mencapai tahapan tertentu yang disepakati akan didokumentasikan dalam bentuk pedoman atau standar yang perlu diacu untuk memastikan keberterimaan hasil pengukuran tersebut di pasar global. Lembaga pengelola standar pengukuran nasional tentunya merupakan lembaga yang akan selalu melakukan penelitian-penelitian tentang pengelolaan dan diseminasi pengukuran dan selalu berkomunikasi dengan lembagalembaga pengelola standar pengukuran nasional negara lain serta komite-komite konsultatif yang beranggotakan ahli-ahli metrologi yang diakui di tingkat internasional. Oleh karena itu, lembaga pengelola standar pengukuran nasional ini dapat dikatakan sebagai pusat kompetensi dan penguasaan ilmu-ilmu kemetrologian. Diseminasi satuan dan standar pengukuran dilakukan oleh laboratorium kalibrasi, sedangkan kalibrasi di dalam VIM didefinisikan sebagai berikut: Kalibrasi: serangkaian kegiatan untuk menghubungkan, dalam kondisi tertentu, antara nilai suatu besaran yang ditunjukan oleh alat ukur, sistem pengukuran atau nilai yang dinyatakan oleh bahan ukuran atau bahan acuan dengan nilai terkait yang direalisasikan dengan standar pengukuran [VIM 6.11] Kalibrasi merupakan kegiatan yang diperlukan untuk membentuk rantai perbandingan tidak terputus yang diawali dari standar pengukuran nasional sampai ke seluruh proses pengukuran di semua tingkatan dan semua bidang. Kompetensi laboratorium kalibrasi dapat diakui secara formal melalui proses akreditasi, dan dalam kerangka WTO-TBT, pengakuran kompetensi laboratorium kalibrasi dapat digunakan untuk memfasilitasi 61 integrasi dalam perdagangan global bila laboratorium kalibrasi tersebut diakreditasi oleh badan akreditasi yang telah diakui kesetaraan kompetensinya dalam skema saling mengakui antarlaboratorium kalibrasi regional (APLAC – di lingkungan Asia Pasifik) dan internasional (ILAC). Kegiatan kalibrasi perlu dilakukan baik untuk alat ukur maupun peralatan lain yang memiliki fungsi pengukuran yang digunakan di industri, di dalam layanan kesehatan, di dalam transaksi perdagangan, di dalam penelitian dan berbagai bidang lainnya. Kegiatan tera atau verifikasi untuk memastikan kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal pun hanya dapat dilakukan dengan baik bila karakteristik kemetrologian alat ukur yang dibandingkan dengan persyaratan metrologi legal bersumber dari proses kalibrasi yang dilakukan secara kompeten. BIPM - CGPM Realisasi definisi satuan lembaga metrologi nasional – pada umumnya negara maju Lembaga Metrologi Nasional (negara berkembang – termasuk Indonesia) Definisi Kelvin Fixed P oint: Zn, Al (Australia) Fixed P oint H2O, Sn, Zn (INA) Standard Thermoresistance Thermometer (4 0 0 0 C ~ 1 0 0 0 0C ) Laboratorium kalibrasi Standar industri/perusahaan Pengguna akhir alat ukur Industrial Thermoresistance Thermometer (4 0 0 0C ~ 1 0 0 0 0C ) Termocouple Thermometer (4 0 0 0 C ~ 1 0 0 0 0C ) ketidakpastian pengukuran Gambar 7: Contoh hirarki standar satuan ukuran untuk besaran suhu. Kalibrasi pada dasarnya merupakan kegiatan sukarela, yang perlu dilakukan oleh pemilik atau pengguna peralatan untuk memastikan kebenaran alat ukur yang digunakannya. Berdasarkan hasil kalibrasi tersebut, pemilik atau pengguna alat ukur dapat memutuskan kelayakan alat ukur tersebut untuk digunakan sesuai tujuannya, atau memastikan bahwa alat ukur yang digunakan tersebut memenuhi persyaratan kemetrologian yang ditetapkan oleh regulasi metrologi legal tentang alat ukur atau pengukuran. Oleh karena itu kegiatankegiatan kemetrologian yang secara internasional untuk pengelolaan standar pengukuran nasional dikelola oleh BIPM, untuk metrologi legal oleh OIML dan untuk akreditasi laboratorium kalibrasi oleh ILAC harus dikoordinasikan dengan baik, sehingga ketertelusuran pengukuran dapat dijamin di semua tingkatan dan bidang pengukuran yang 62 diperlukan oleh suatu negara. Seperti diketahui, lingkup kegiatan dari ketiga organisasi internasional tersebut dan juga organisasi regional yang relevan dengannya tidak tumpang tindih, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian, untuk memastikan ketertelusuran pengukuran, maka organisasi atau lembaga-lembaga di tingkat nasional yang terlibat di dalam proses diseminasi tersebut (yang masing-masing berafiliasi kepada tiga organisasi internasional dan regional terkait) sudah seharusnya diatur sedemikian hingga tidak tumpang tindih, melainkan bersifat saling melengkapi untuk menjalankan fungsi-fungsi yang relevan dengan kewenangannya. 2.5 METROLOGI LEGAL 2.5.1 Lingkup Kegiatan Metrologi Legal Metrologi legal mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan persyaratan legal terhadap pengukuran, satuan pengukuran, alat ukur dan metode pengukuran. Kegiatan ini dilakukan oleh atau atas nama otoritas pemerintah untuk menjamin tingkat kredibilitas hasil pengukuran yang layak pada area yang diwajibkan oleh pemerintah. Metrologi legal bukanlah sebuah disiplin di dalam metrologi, melainkan merupakan aplikasi ilmu kemetrologian untuk memperoleh ketertelusuran dan acuan yang tepat dan dapat berlaku untuk setiap besaran yang tercakup dalam kegiatan kemetrologian yang diatur dengan perundangan-undangan dan regulasi. Pada saat ini cakupan kegiatan metrologi legal dapat dilihat secara komprehensif dalam penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Organisasi Internasional Metrologi Legal (OIML) maupun organisasi metrologi legal regional atau nasional, yang antara lain memberikan penjelasan sebagai berikut: Metrologi Legal: bagian dari metrologi berkaitan dengan persyaratan berdasarkan undang-undang dan pengukuran tertentu, satuan pengukuran, alat ukur dan metode pengukuran yang dilakukan oleh lembaga yang kompeten (International Vocabulary of Terms in Legal Metrology/VML 1.2) Metrologi Legal: cabang metrologi yang terkait dengan implementasi regulasi untuk memastikan tingkat kredibilitas hasil pengukuran yang tepat bila terdapat konflik kepentingan atau bila hasil pengukuran yang salah dapat berpengaruh negatif terhadap individu atau masyarakat [44] Regulasi Metrologi Legal perlu diterapkan oleh pemerintah, khususnya bila terdapat konflik kepentingan terhadap hasil pengukuran sehingga memerlukan campur tangan wasit yang netral, metrologi legal diperlukan bila kekuatan di pasar tidak teratur dan/atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang, sehingga diperlukan pengaturan tentang satuan ukuran, tentang hasil pengukuran maupun tentang alat ukur [OIML D1] Penjelasan-penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa ketentuan metrologi legal merupakan bagian dari regulasi teknis, dalam hal ini regulasi teknis terhadap alat ukur, proses pengukuran, hasil pengukuran atau ukuran barang dalam keadaan terbungkus. 63 Karena merupakan bagian dari regulasi teknis, maka penetapan regulasi metrologi legal harus memenuhi kerangka penetapan regulasi teknis yang diatur dalam Article 2.2 WTOTBT sebagai berikut: Para anggota harus menjamin bahwa regulasi teknis tidak disiapkan, diadopsi atau diterapkan dengan suatu pandangan atau dengan pengaruh menciptakan hambatan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. Untuk maksud ini, regulasi teknis tidak boleh lebih membatasi daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang dapat dilegitimasi dengan mempertimbangkan resiko yang diakibatkannya bila tidak dipenuhi. Tujuan-tujuan penetapan regulasi teknis yang dapat dilegitimasi adalah, atas nama persyaratan keamanan negara, perlindungan dari praktik curang, perlindungan kesehatan manusia, perlindungan kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan. Dalam menilai resiko-resiko tersebut, elemen-elemen pertimbangan tersebut mencakup informasi ilmiah dan teknis yang tersedia, teknologi proses terkait atau tujuan akhir penggunaan produk. [WTO agreement on TBT article 2.2] Definisi metrologi legal dalam VML dan juga penjelasan-penjelasan tentang praktik metrologi legal internasional, sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa kegiatan metrologi legal dapat mencakup berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Cakupan kegiatan metrologi legal itu sendiri, yang diawali dengan metrologi perdagangan (trade metrology), sejalan dengan perkembangan peradaban telah berkembang ke berbagai sektor lain, yang ditujukan untuk perlindungan setiap warga negara dan masyarakat secara keseluruhan, misalnya penegakan hukum, kesehatan, keselamatan dan perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus pada hasil pengukuran khususnya bila terdapat potensi konflik kepentingan terhadap hasil pengukuran terebut, sehingga memerlukan intervensi wasit yang tidak memihak. Metrologi legal khususnya diperlukan bila kekuatan pasar tidak cukup terorganisir atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang. Metrologi legal umumnya mencakup pengaturan berkaitan dengan satuan pengukuran, hasil pengukuran (misalnya barang dalam keadaan terbungkus) dan terhadap alat ukur. Pengaturan tersebut meliputi kewajiban hukum berkaitan dengan hasil pengukuran dan alat ukur, dan juga pengendalian legal yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah. Secara umum, kegiatan metrologi legal ditujukan untuk memberikan jaminan kemetrologian (metrological assurance), dengan definisi sebagai berikut: jaminan kemetrologian (metrological assurance): semua regulasi, piranti teknis dan kegiatan yang diperlukan yang digunakan untuk memastikan kredibilitas hasil pengukuran di dalam lingkup metrologi legal (VML 1.3) Sesuai dengan tujuannya, kegiatan metrologi legal yang dilaksanakan oleh pemerintah dan mencakup berbagai kegiatan yang dalam praktik internasional metrologi legal disebut dengan pengendalian legal kemetrologian, dengan definisi sebagai berikut: 64 pengendalian legal kemetrologian (legal metrological control): keseluruhan kegiatan metrologi legal yang berkontribusi terhadap jaminan kemetrologian, yang terdiri dari pengendalian legal terhadap alat ukur, pengawasan kemetrologian dan keahlian kemetrologian (VML 2.1) Definisi dalam VML 2.1 di atas, memberikan gambaran bahwa, berdasarkan kesepakatan dalam forum OIML, jaminan kemetrologian dalam penggunaan alat ukur baru dapat diberikan oleh pemerintah suatu negara bila pengendalian legal kegiatan kemetrologian yang dilakukan telah mencakup: pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments), pengawasan kemetrologian (metrological supervision), dan keahlian kemetrologian (metrological expertise) yang masing-masing memiliki definisi yang telah disepakati oleh masyarakat metrologi legal internasional, sebagai berikut: pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments): istilah generik yang digunakan secara global untuk menetapkan kegiatan legal dimana alat ukur dapat menjadi obyek kegiatan tersebut, sebagai contoh: persetujuan tipe (type approval), verifikasi (verification) (VML 2.2) pengawasan kemetrologian (metrological supervision): kegiatan pengendalian terhadap pembuatan, impor, instalasi, penggunaan, pemeliharaan dan perbaikan alat ukur, yang dilakukan untuk memeriksa bahwa peralatan tersebut digunakan dengan benar sesuai dengan undang-undang dan regulasi kemetrologian (VML 2.3) keahlian kemetrologian (metrological expertise): semua kegiatan dengan fungsi untuk memeriksa dan menunjukkan, sebagai contoh untuk menyatakan di dalam pengadilan bahwa kondisi alat ukur dan untuk menentukan sifat-sifat kemetrologiannya, di antara yang lain dengan mengacu pada persyaratan perundang-undangan yang relevan (VML 2.4) Karena tujuan akhir dari metrologi legal adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap hasil pengukuran dengan pengaturan legal, kebutuhan dan persyaratan hasil pengukuran harus dipertimbangkan sebelum menetapkan persyaratan terhadap alat ukur. Metrologi legal dapat mencakup empat kegiatan utama: menetapkan persyaratan legal; pengendalian atau penilaian kesesuaian produk atau kegiatan yang tercakup dalam regulasi; pengawasan produk dan kegiatan yang tercakup di dalam regulasi; dan memberikan infrastruktur yang memadai untuk memastikan ketertelusuran dari pengukuran atau alat ukur yang tercakup di dalam regulasi 65 Regulasi metrologi legal dapat ditetapkan terhadap proses pengukuran, terhadap alat ukur, dan terhadap ukuran barang dalam keadaan terbungkus yang perlu dikendalikan dan diawasi oleh negara untuk kepentingan persyaratan keamanan negara, perlindungan dari praktik curang, perlindungan kesehatan manusia, perlindungan kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan. Sejalan dengan perkembangan peradaban dan pengetahuan umat manusia, metrologi legal dan juga OIML yang pada awalnya hanya mencakup kegiatan metrologi dalam transaksi perdagangan berdasarkan alat ukur (trade metrology) kemudian berkembang pada transaksi-transaksi lain, yang bergantung pada alat ukur, dengan kondisi transaksi yang tidak seimbang, sebagai contoh: perhitungan waktu untuk pulsa telepon, mengingat pelanggan tidak mempunyai kapasitas untuk memastikan kebenaran perhitungan pulsa telepon yang harus dibayarnya; penggunaan alat-alat ukur dalam diagnosis kesehatan dalam pelayanan kesehatan, karena pasien tidak mempunyai kapasitas untuk memastikan kebenaran penunjukan alat ukur yang digunakan sebagai dasar diagnosis kesehatannya; penggunaan gas analyzer untuk memeriksa kandungan zat beracun dalam gas buang kendaraan bermotor untuk memastikan mutu udara yang tidak membahayakan kehidupan; penggunaan alat-alat ukur untuk inspeksi kelaikan terbang pesawat udara untuk menjamin keselamatan masyarakat pengguna pesawat terbang; penggunaan alat-alat ukur untuk memastikan kebenaran alat ukur volume minyak bumi dan gas alam yang digunakan oleh operator minyak asing untuk memastikan bahwa negara memperoleh bagi hasil yang sesuai dengan volume minyak bumi dan gas alam yang dihasilkan; penggunaan alcohol breath analyzer oleh kepolisian untuk memeriksa kondisi pengemudi kendaraan bermotor untuk meningkatkan jaminan keselamatan di jalan raya; penggunaan argometer (taxi-meter) yang digunakan sebagai dasar transaksi pembayaran oleh pengguna jasa transportasi taksi; penggunaan jembatan timbang untuk memastikan bahwa bobot mati kendaraan angkutan yang melewati jalan raya tidak melebihi kapasitas bobot yang mampu ditanggung oleh struktur jalan yang ada; penggunaan timbangan dalam peracikan obat di apotik, yang bila terdapat kesalahan dapat membahayakan kesehatan bahkan nyawa konsumen, dan masih banyak proses-proses pengukuran lain yang perlu diatur dalam regulasi metrologi legal nasional sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Di samping perkembangan cakupan proses pengukuran, perkembangan teknologi menyebabkan perlunya pengembangan keahlian kemetrologian (metrological expertise) yang diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi alat ukur, yang bila tidak mampu diadaptasi oleh 66 regulasi metrologi legal yang ada dapat menyebabkan lemahnya fungsi pemerintah dalam kegiatan metrologi legal. Contohnya: perkembangan teknologi perekaman dan adjustment meter air dan meter bahan bakar yang saat ini dapat dilakukan dari jarak jauh baik dengan memanfaatkan sinyal radio maupun sinyal telepon selular; perkembangan teknologi kedokteran, yang membutuhkan penguasaan ilmu yang melandasi pengoperasian peralatan tersebut untuk memastikan kebenaran ukuran, baik ukuran dosis (sebagai contoh, sinar-X) yang akan diberikan kepada pasien, maupun ukuran gejala tubuh (sebagai contoh, electrocardiograph, electromyograph) yang digunakan untuk mendiagnosis kesehatan pasien. Perkembangan cakupan kegiatan metrologi legal, sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa kegiatan metrologi legal dalam implementasinya dapat menjadi bagian dari lingkup kegiatan regulator yang berasal dari beberapa departemen atau lembaga pemerintah yang berbeda sesuai dengan tugas dan fungsi departemen atau lembaga pemerintah tersebut. Demikian juga, semakin luasnya cakupan dan kebutuhan kegiatan metrologi legal ini mendorong otoritas metrologi legal di berbagai negara untuk menetapkan kebijakan yang memungkinkan pendelegasian wewenang ke pihak-pihak swasta. Secara umum kerangka kerja sistem pengendalian legal kemetrologian yang dapat digunakan dalam berbagai situasi yang ada pada saat ini hendaknya mencakup pengendalian terhadap: alat ukur yang dipasarkan (at the market stage); alat ukur pada saat digunakan dalam pelayanan (in service); karakteristik kemetrologian barang dalam keadaan terbungkus; dan kegiatan komplementer lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan jaminan kemetrologian 2.5.2 Implementasi Kegiatan Metrologi Legal Dalam rekomendasi internasional OIML D 9: Principles of Metrological Supervision, struktur pengendalian legal kemetrologian dapat digambarkan secara skematik seperti dalam Gambar 8. Metrological assurance sebagai tujuan utama kegiatan metrologi legal hanya dapat dicapai bila pemerintah mengimplementasikan legal metrological control secara efektif dan efisien. Implementasi legal metrological control di suatu negara diawali dengan pengendalian kemetrologian terhadap alat ukur yang dipasarkan (measuring instruments at the market stage), yang mencakup: evaluasi tipe dan persetujuan tipe alat ukur; persyaratan instalasi alat ukur; 67 verifikasi (peneraan) awal di lokasi pembuatan alat ukur; verifikasi (peneraan) awal di lokasi penggunaan alat ukur; dan persyaratan kondisi lingkungan dalam penggunaan alat ukur. P engawas an Sis tem M utu P enges ahan Sis tem M utu Sistem Mutu Pengawasan legal UTTP dan BDKT Uji tipe Tera awal dan tera ulang Pengawas an ukuran BKDT Pros edur penilaian kes es uaian Kontrol Metrologi Legal Pengawasan Kemetrologian Keahlian Kemetrologian P engawas an P as ar P engawas an Lapangan A lat U T T P dan BDKT di pas ar A lat U T T P yang digunakan Fungs i P engawas an Fungs i P enyeliaan Bidang P enyeliaan Gambar 8: Skema pengendalian legal kemetrologian. UTTP: Alat Ukur, Timbang, Takar dan Perlengkapannya. BDKT: Barang Dalam Keadaan Terbungkus. Dalam sistem metrologi legal tradisional, kegiatan-kegiatan di atas dilakukan oleh petugas metrologi legal pemerintah dan pihak pembuat atau pengguna alat ukur tersebut dibebani biaya pelaksanaan kegiatan. Sistem ini, dalam praktik internasional metrologi legal disebut dengan restrictive system, yaitu pemerintah memegang tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal dan peralatan ukur yang digunakan di dalam proses tersebut memenuhi persyaratanpersyaratan kemetrologian yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bila strategi intervensi 68 pemerintah dilakukan dengan restrictive system, sebagian besar tanggung jawab untuk memenuhi persyaratan legal dari pabrik pembuat diambil alih oleh petugas metrologi legal yang melakukan kegiatan penilaian dan membuat keputusan yang diperlukan dalam proses pengendalian. Dari sudut pandang konsumen sistem ini ideal, tetapi membebani pabrik pembuat dari sisi keuangan maupun logistik. Pemilihan strategi juga bergantung pada besarnya tanggung jawab dari keseluruhan proses yang dapat ditanggung oleh petugas metrologi legal. Bila sumber daya kemetrologian terbatas, yang tampak menjadi kasus di seluruh dunia, strategi intervensi terbatas oleh pemerintah dalam proses penggunaan alat ukur hendaknya dipilih oleh pemerintah. Dalam mengimplementasikan regulasi metrologi legal, hendaknya pabrik pembuat peralatan dan juga pengguna peralatan diposisikan untuk memegang salah satu penanggung-jawab dalam mencapai tujuan kegiatan metrologi legal. Sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi dunia, kemudian berkembang sistem baru yang dikenal dengan balanced system untuk mengimplementasikan kegiatan metrologi legal di berbagai negara. Sistem ini didasarkan pada dan memanfaatkan berbagai skema penilaian kesesuaian yang berkembang sejalan dengan perkembangan berbagai kesepakatan antar negara dalam forum WTO dan berbagai organisasi pendukungnya: evaluasi tipe dan persetujuan tipe dilakukan oleh lembaga yang kompeten (lembaga penilaian kesesuaian yang diakreditasi atau di-peer-review) dengan pengakuan timbal balik yang luas terhadap sertifikat persetujuan tipe atau laporan pengujian di tingkat internasional maupun regional (sebagai contoh OIML Mutual Acceptance Arrangement, European Union Global Approach, ILAC Mutual Recognition Arrangement, dan sebagainya); verifikasi awal dilakukan oleh pembuatnya (di pabrik) didasarkan pada asesmen terhadap sistem manajemen mutunya oleh lembaga yang kompeten (lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu yang telah diakreditasi dengan lingkup yang sesuai dengan jenis alat ukur yang diverifikasi), dengan proses asesmen yang dipusatkan pada kesesuaian setiap alat ukur yang diproduksi; bila alat ukur tertentu memerlukan verifikasi awal di lokasi penggunaannya, verifikasi awal dilakukan oleh lembaga pihak ketiga yang kompeten (diakreditasi untuk lingkup yang relevan); bila persetujuan tipe tidak dapat dilakukan atau tidak berkontribusi besar terhadap perlindungan kepentingan umum, regulasi metrologi legal hanya mempersyaratkan verifikasi (peneraan) awal. Bila pemerintah suatu negara memilih untuk menerapkan balanced system, kegiatan metrologi legal harus dilengkapi dengan kegiatan pengawasan pasar, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, khususnya bila sistem pemerintahan di negara tersebut yang memungkinkan persaingan antar lembaga penilaian kesesuaian. Dengan melibatkan pembuat atau pengguna alat dalam verifikasi alat ukur, maka tanggung-jawab terhadap segala kerugian yang terjadi sebagai akibat alat ukur yang telah diverifikasi tersebut, 69 melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat diberikan kepada pembuat atau pengguna alat ukur. Kegiatan evaluasi dan persetujuan tipe (type approval), merupakan bentuk kegiatan prapasar (pre-market) terhadap alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal. Kegiatan ini dilakukan terhadap sampel dari tipe yang sama – yang diajukan untuk memperoleh persetujuan tipe – yang diberikan oleh pembuatnya. Dalam mengembangkan regulasi tentang type aprroval, pemerintah perlu mempertimbangkan kelemahankelemahan dari sistem ini, antara lain: terdapat kemungkinan bahwa pabrik mengirimkan peralatan yang telah diuji secara ekstensif di laboratoriumnya sendiri (yang biasa disebut sampel "gold-plated"), yang bila praktik ini tersebar luas, peralatan yang diuji oleh otoritas metrologi legal untuk memperoleh persetujuan tipe mungkin kurang mewakili peralatan yang sedang dipasarkan; pabrik pembuat peralatan dapat memberikan tekanan kepada lembaga metrologi legal untuk melakukan pengujian dalam waktu yang sesingkat mungkin. Demikian pula bila verifikasi (peneraan) awal dilakukan oleh pabrik, keabsahannya dapat dikompromikan dengan perjalanan logistik yang panjang (seperti transportasi atau pengiriman ke luar negeri) atau perubahan sifat yang disebabkan pengaruh eksternal selama transportasi (seperti interferensi elektromagnet, kondisi lingkungan, dan sebagainya). Dengan mempertimbangkan kelemahan dari kegiatan pre-market, beberapa negara menerapkan sebuah sistem yang meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan premarket. Dalam hal ini, pemerintah dapat menerima hasil verifikasi (peneraan) awal yang dilakukan oleh pabrik, sampai tindakan pengawasan pasca-pasar (post-market) yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah terhadap produk alat ukur tersebut dengan jelas dapat menunjukkan unjuk kerja yang tidak dapat memenuhi persyaratan kemetrologian dalam regulasi metrologi legal. Strategi pengendalian pasca pasar ini didasarkan pada gagasan bahwa peran metrologi legal adalah untuk menjamin akurasi proses pengukuran bagi penggunanya dengan lebih memberikan penekankan pada pengawasan daripada pemberian layanan langsung. Bahkan bila pengawasan tersebut hanya dilakukan di lokasi penggunaan alat ukur, hal ini dapat menempatkan tanggung jawab penjaminan akurasi alat pada pengguna dan pembuatnya yang dianggap memiliki keuntungan yang cukup untuk memelihara akurasi pengukuran. Untuk memperkuat implementasi metrologi legal dalam mencapai tujuannya, peraturan perundang-undangan kemetrologian harus memuat ketentuan tentang penerapan sanksi hukum kepada pembuat atau pengguna alat ukur bila ditemukan alat ukur yang dinyatakan memenuhi persyaratan ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Strategi post-market surveillance di titik-titik penggunaan alat ukur dipandang akan dapat memberikan proteksi yang kuat kepada masyarakat, sebagai pihak yang paling lemah dalam proses pengukuran tersebut. 70 Di dalam implementasi kegiatan metrologi legal, pengawasan pasca-pasar terhadap alat ukur digolongkan dalam kegiatan pengawasan kemetrologian (metrological supervision). Sesuai dengan definisinya, kegiatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa peralatan ukur yang digunakan dalam proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal yang ditetapkan oleh pemerintah dengan alasan kepentingan persyaratan keamanan negara, perlindungan dari praktik curang, perlindungan kesehatan manusia, perlindungan kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan digunakan dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan regulasi kemetrologian yang berlaku di negara tersebut. Kegiatan metrological supervision difokuskan pada pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap alat-alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal, pada saat alat tersebut digunakan dalam proses-proses pengukuran yang diatur oleh pemerintah. Karena bagian yang paling berpengaruh terhadap kepentingan umum dalam penggunaan alat ukur adalah proses pengukuran pada saat alat ukur tersebut dalam pelayanan, maka memberikan perhatian lebih terhadap penggunaan alat ukur dipandang merupakan strategi metrologi legal yang paling efektif untuk mencapai tujuannya. Salah satu bentuk pengawasan kemetrologian terhadap alat ukur yang dikendalikan secara legal adalah tera ulang (subsequent verifications) yang dilakukan oleh lembaga yang berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kemetrologian. Di Amerika Serikat, kegiatan metrologi legal difokuskan pada peneraan ulang (subsequent verification). Peralatan ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal diverifikasi (atau diinspeksi) dengan periode tertentu yang ditentukan oleh otoritas pemerintah di tingkat nasional (federal government) atau pemerintah daerah (state government). Untuk pelaksanaan peneraan ini, pemilik atau pengguna peralatan tidak dibebani biaya dengan alasan bahwa pemilik atau pengguna alat hendaknya tidak mensubsidi kegiatan pemerintah yang dilaksanakan untuk melindungi kepentingan umum, termasuk di dalamnya terkait dengan kegiatan kemetrologian. Dengan mengimplementasikan strategi ini, pemilik atau pengguna peralatan sepenuhnya bertanggungjawab untuk memelihara kesesuaian peralatannya dengan regulasi metrologi legal. Istilah subsequent verification dalam implementasi regulasi metrologi legal di Amerika merupakan kombinasi dari kegiatan peneraan dan pengawasan. Kelemahan dari sistem yang diimplementasikan di Amerika ini adalah kebergantungan pembiayaan terhadap anggaran pemerintah, sehingga keefektifan kegiatan metrologi legal dapat terpengaruh bila terjadi pemotongan anggaran. Kelebihan yang dapat diperoleh dari model Amerika ini adalah terjaminnya imparsialitas petugas dalam membuat keputusan. Negara-negara maju Eropa, yang dipelopori oleh Jerman dan negara-negara Eropa berbahasa Jerman, menerapkan sistem metrologi legal yang serupa dengan sistem Amerika. Beberapa perbedaannya antara lain mencakup penetapan interval peneraan ulang yang tidak ditetapkan dalam regulasi teknis, melainkan direncanakan berdasarkan hasil analisis otoritas metrologi legal terhadap kondisi yang ada di lapangan. Otoritas 71 metrologi legal dalam sistem ini dapat berupa lembaga pemerintah atau pihak swasta yang ditunjuk oleh pemerintah. Tidak terdapat ketentuan yang menetapkan periode inspeksi untuk setiap alat ukur; periode inspeksi atau peneraan ulang alat ukur bergantung pada hasil inspeksi tahunan dan analisis resiko penggunaan alat ukur. Pemilik atau pengguna peralatan sepenuhnya bertanggungjawah untuk memastikan kesesuaian peralatannya dengan regulasi metrologi legal dan bebas untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk memelihara kesesuaian dengan regulasi metrologi legal. Kegiatan lain yang sangat penting dalam lingkup metrologi legal adalah pengendalian kemetrologian terhadap barang dalam keadaan terbungkus (BDKT). Hal ini didorong oleh kecenderungan penjualan barang yang semakin banyak menggunakan kemasan dengan ukuran tertentu. Harga yang harus dibayar oleh pembeli BDKT sangat dipengaruhi oleh ukuran barang dalam setiap kemasan, dan transaksi tersebut dapat dianggap tidak seimbang, karena pembeli secara umum tidak memiliki sistem maupun piranti untuk memastikan kebenaran ukuran BDKT. Sesuai dengan tujuan kegiatan metrologi legal, diperlukan kegiatan pengendalian BDKT oleh otoritas metrologi legal yang bertindak atas nama pemerintah untuk melindungi kepentingan umum. Pengendalian kemetrologian terhadap BDKT hendaknya dilakukan berdasarkan penilaian terhadap sistem manajemen mutu pihak yang melakukan pengemasan yang secara khusus ditujukan pada kesesuaian sistem dengan persyaratan regulasi pengemasan. Selain asesmen terhadap sistem manajemen mutu pada saat pengemasan, diperlukan kegiatan pengawasan pasar terhadap ukuran BDKT. Contohnya dapat dilihat Uni Eropa (EU), sebagai salah satu wilayah pasar bebas yang akan segera disusul dengan ASEAN single market pada tahun 2015 dengan tujuan utama memperlancar aliran komoditas di seluruh negara dalam cakupan wilayah pasar bebas tersebut. Di EU, pengawasan BDKT menggunakan tanda "e-mark" yang didasarkan pada sistem sukarela sebagai tanda bahwa BDKT tersebut telah memenuhi regulasi BDKT di Uni Eropa. Dari sudut pandang pembeli BDKT, sistem yang dikembangkan oleh EU ini dianggap dapat dimanfaatkan oleh pembuat untuk mengatur satu jalur produksi yang memenuhi regulasi BDKT untuk ekspor, tetapi di lain pihak, jalur produksi lain yang ditujukan untuk pasaran domestik ukurannya dikurangi. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan oleh pabrik karena perkembangan instrumentasi pengemasan yang memungkinkan pengaturan ukuran secara halus, terlebih bila regulasi BDKT hanya didasarkan pada kekurangan terbesar yang diijinkan. Dalam menerapkan regulasi kemetrologian untuk BDKT pemerintah harus mempertimbangkan regulasi-regulasi lain yang berlaku untuk isi BDKT tersebut; sebagai contoh, regulasi tentang batas kandungan zat berbahaya untuk produk makanan, regulasi tentang obat-obatan, dan regulasi lainnya yang mungkin telah diterapkan oleh departemen atau lembaga pemerintah lainnya terhadap karakteristik barang yang dikemas. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya lembaga metrologi legal nasional melakukan koordinasi dengan departemen atau lembaga pemerintah terkait lainnya sehingga pengendalian kemetrologian terhadap BDKT dapat dimasukkan menjadi salah satu ketentuan dalam 72 regulasi yang berlaku untuk karakteristik barang yang dikemas. Dalam hal penerapan pengendalian dan pengawasan ukuran produk dalam keadaan terbungkus ini, pemerintah federal Amerika Serikat memberikan contoh yang sangat baik dengan mendelegasikan kewenangan pengendalian pengawasan ukuran dan kegiatan metrologi legal lainnya kepada regulator terkait, sebagai contoh: US Department on Agriculture untuk kegiatan metrologi legal terkait dengan ekspor produk pertanian dan peternakan, US Food and Drugs Administration untuk keselamatan dan pelabelan produk farmasi, dan US Trade Commission untuk pengawasan pernyataan terkait dengan ukuran dalam label dan iklan. Setiap wilayah hukum harus menetapkan cara untuk melakukan pengukuran yang dapat digunakan di pengadilan atau untuk memutuskan silang pendapat yang menjadi hak berbagai lembaga. Proses pengukuran secara keseluruhan harus dicakup dalam ketentuan ini, bukan hanya alat ukur itu sendiri. Hal ini dapat dipandang sebagai perluasan dari keahlian kemetrologian. Kompetensi teknis dari lembaga-lembaga yang melakukan pengukuran resmi dapat ditunjukkan dengan akreditasi atau asesmen pada bagian dari otoritas metrologi. Meskipun bidang-bidang yang tercakup dalam kegiatan metrologi legal ini dapat diatur secara terpisah oleh berbagai departemen atau lembaga pemerintah, hendaknya hubungan antara lembaga metrologi legal nasional dengan departement atau lembaga pemerintah lain yang melakukan kegiatan metrologi legal diatur dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian. Sebagaimana dinyatakan dalam bagian sebelumnya, sistem pengendalian kemetrologian terhadap alat ukur dalam penggunaannya sangat bergantung pada verifikasi (tera) ulang secara periodik. Oleh karena itu penetapan periode tera untuk alat ukur yang dicakup dalam regulasi mutlak diperlukan dalam penerapan regulasi metrologi legal. Penetapan interval peneraan ini pada umumnya ditetapkan berdasarkan pengalaman sebelumnya atau saran berdasarkan pengalaman negara lain, tidak didasarkan pada pengujian jangka panjang terhadap alat ukur. Lebih jauh lagi, hampir semua pemangku kepentingan lebih menyukai periode yang lebih panjang dan dapat berusaha keras untuk memperolehnya. Hal ini meningkatkan kebutuhan untuk memverifikasi keabsahan interval tersebut dan juga membuat regulasi metrologi legal menjadi lebih ketat bila terdapat banyak kasus pelanggaran dalam penggunaan alat ukur tertentu. Pembahasan kebijakan metrologi nasional dalam naskah akademik ini telah memberikan penjelasan tentang kemungkinan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab pemerintah dalam bidang kemetrologian kepada pemerintah daerah atau pemerintah negara bagian, sesuai dengan konsep central metrology authority – local metrology authorities serta pembagian sentralisasi dan desentralisasi kewenangan dalam bidang kemetrologian. Dalam implementasinya, sesuai dengan kerangka integrasi ekonomi global WTO-TBT, pemerintah sangat berkepentingan dengan penetapan regulasi 73 metrologi legal, dan sebagian besar tugas, kewenangan maupun tanggungjawab pemerintah yang didelegasikan kepada pemerintah daerah atau negara bagian dalam bidang metrologi adalah untuk mengimplementasikan kegiatan metrologi legal. Dalam sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat, laboratorium metrologi (legal) milik pemerintah negara bagian merupakan tulang punggung infrastruktur pengukuran metrologi legal di Amerika. Di Amerika, NIST merupakan sebuah lembaga yang mengintegrasikan fungsi lembaga metrologi nasional dan lembaga metrologi legal nasional. Metode-metode primer yang digunakan dalam pengelolaan standar pengukuran nasional di NIST dapat didiseminasikan dengan baik sampai ke peralatan yang digunakan dalam peneraan, inspeksi dan pengawasan melalui laboratorium-laboratorium metrologi (legal) milik pemerintah negara bagian. Setiap negara bagian di Amerika Serikat mengembangkan laboratorium metrologi legal, khususnya untuk massa, panjang dan volume. Untuk memastikan kompetensi laboratorium metrologi legal tersebut dalam mendiseminasikan standar-standar yang dipeliharanya ke dalam standar-standar kerja yang digunakan dalam peneraan dan inspeksi atau pengawasan, laboratorium metrologi legal milik pemerintah negara bagian diakreditasi untuk melakukan kalibrasi sederhana (uji toleransi) dan/atau kalibrasi oleh NIST melalui National Voluntary Laboratory Accreditation Programme (NVLAP). Pelatihan dan kualifikasi petugas metrologi legal setiap negara bagian dilakukan oleh NIST, dalam kegiatan yang dikoordinasikan oleh Office of Weight and Measures (OWM). Melalui pengembangan sistem kemetrologian yang dipusatkan di NIST ini, meskipun kegiatan metrologi legal didelegasikan kepada pemerintah negara bagian, sistem metrologi legal di Amerika Serikat mampu untuk beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam berbagai proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal. Karena regulasi-regulasi metrologi legal ditetapkan oleh pemerintah negara bagian, pada awal implementasinya timbul permasalahan antarnegara bagian karena ketidakseragaman persyaratan kemetrologian terhadap proses pengukuran, alat ukur maupun barang dalam keadaan terbungkus. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kemudian dibentuklah National Conference of Weight and Measures (NCWM) yang dikelola oleh NIST yang merupakan konferensi nasional wakil-wakil otoritas metrologi lokal negara bagian dan wakil-wakil industri untuk mendiskusikan permasalahan dan perkembangan kegiatan metrologi legal di seluruh wilayah Amerika Serikat. Konsep integrasi lembaga metrologi legal ke dalam lembaga metrologi nasional yang telah digunakan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1905 ini, pada saat ini diterapkan juga oleh: – 74 Jepang melalui National Metrology Institute of Japan-Advance Institute of Science and Technology (NMIJ-AIST); – Australia sejak tahun 2004 dengan mengintegrasikan National Measurement Laboratory – Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation ( NML-CSIRO), National Analytical Reference Laboratory (NARL), Australian Government Analytical Laboratory (AGAL) dan National Standard Commission ( NSC) ke dalam National Measurement Institute of Australia (NMIA) – Ministry of Industry, Tourism and Resources; – Singapura melalui National Measurement Centre dan Office of Weight and Measures dalam SPRING; – Malaysia yang mengintegrasikannya ke dalam badan usaha milik negara yang melakukan tugas-tugas sertifikasi, perumusan standar, pengembangan standar pengukuran nasional, dan metrologi legal, yaitu SIRIM Berhad. 2.5.3 Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal Petugas metrologi legal adalah personel yang ditunjuk oleh negara atau pemerintah daerah, atau dengan status legal setara, yang bertanggungjawab untuk melaksanakan berbagai tugas yang ditetapkan dalam kerangka kerja penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan metrologi legal. Sesuai dengan lingkup kegiatan metrologi legal, diperlukan kualifikasi khusus untuk petugas metrologi legal yang melaksanakan peneraan (verifikasi), inspeksi dan pengawasan di bidang metrologi. Petugas metrologi legal hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang: regulasi metrologi legal yang berlaku prinsip-prinsip metrologi secara umum, termasuk di dalamnya piranti lunak yang digunakan sebagai bagian dari sistem pengukuran; prinsip-prinsip konstruksi dan pengoperasian berbagai instrumen dimana petugas metrologi legal tersebut dinyatakan kompeten untuk melakukan peneraan prinsip-prinsip sistem manajemen mutu, akreditasi dan sertifikasi yang terkait dengan kegiatan metrologi legal Berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dikuasainya, seorang petugas legal metrologi hendaknya kompeten untuk: mengidentifikasi cabang-cabang regulasi legal metrologi; melaksanakan pengukuran kondisi lingkungan pada tingkat akurasi yang diperlukan; melakukan analisis statistik terhadap data-data pengukuran berdasarkan pengambilan sampel dan dapat memberikan kesimpulan yang benar; melakukan kalibrasi dengan mempertimbangkan kondisi eksternal yang memengaruhi alat ukur dan akurasi yang diperlukan mengidentifikasi jenis pengukuran atau alat ukur yang tidak tercakup dalam regulasi metrologi legal; 75 mampu mengidentifikasi jenis-jenis produk akhir yang tidak menjadi obyek regulasi teknis tentang karakteristik produk dan komponen-komponen yang memengaruhi proses produksinya. Untuk memastikan bahwa semua petugas metrologi legal memiliki pengetahuan dan kompetensi yang diperlukan, Dokumen Internasional OIML D 14: Training and qualification of legal metrology personnel memberikan rekomendasi tentang modulmodul yang hendaknya diberikan dalam pelatihan petugas metrologi legal, yang meliputi: prinsip-prinsip legal dan administratif kegiatan metrologi legal; prinsip-prinisip metrologi umum; pengujian dan verifikasi berbagai jenis alat ukur yang menjadi obyek regulasi metrologi legal, termasuk di dalamnya evaluasi ukuran-ukuran barang dalam keadaan terbungkus; manajemen mutu, akreditasi dan sertifikasi. 2.5.4 Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal Sesuai dengan definisinya, kegiatan metrologi legal dapat didefinisikan secara sederhana sebagai aspek kegiatan kemetrologian yang didasarkan pada regulasi teknis yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pengukuran, alat ukur dan/atau barang dalam keadaan terbungkus dengan pertimbangan perlindungan kepentingan negara, keselamatan, kesehatan dan keamanan warga negara serta perlindungang lingkungan hidup termasuk kelestarian flora dan fauna. Oleh karena itu, harus terdapat penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran regulasi metrologi legal. Terkait dengan peraturan perundang-undangan kemetrologian, harus terdapat larangan-larangan dan sanksi hukum yang disebabkan oleh: menjual, menawarkan atau memamerkan untuk dijual barang-barang yang memiliki ukuran atau jumlah lebih kecil dari yang dinyatakan, sesuai dengan batasan-batasan di dalam regulasi teknis, tentunya dengan mempertimbangkan variasi statistiknya; mengambil lebih dari jumlah atau ukuran yang dinyatakan bila, sebagai pembeli, memiliki piranti untuk mengukur jumlah atau ukuran yang diterimanya; menyatakan ukuran atau jumlah dengan berbagai cara yang dihitung atau dimaksudkan untuk memberikan kesalahan pemahaman atau merugikan orang lain; memberikan pernyataan menyesatkan tentang harga dari berbagai komoditas atau jasa yang dijual, ditawarkan atau dipamerkan atau diiklankan berdasarkan ukuran atau jumlah, atau menyatakan harga dengan berbagai cara dengan maksud menipu orang lain; memberikan pernyataan menyesatkan tentang mutu produk yang digunakan untuk menentukan harga produk; tidak memenuhi persyaratan registrasi untuk impor alat ukur atau barang dalam keadaan terbungkus yang tercakup dalam regulasi metrologi legal; 76 tidak memenuhi persyaratan kemetrologian yang ditetapkan untuk sistem pengukuran pada saat pemasangan, penjustiran atau pemeliharaannya; tidak dapat menunjukkan rekaman-rekaman karakteristik kemetrologian yang diberikan oleh pabrik atau importir alat ukur atau barang dalam keadaan terbungkur yang dapat membuktikan pemenuhan terhadap karakteristik kemetrologian yang ditetapkan dalam regulasi metrologi legal; tidak dapat memenuhi tindakan perbaikan yang diminta atau diinstruksikan oleh petugas metrologi legal; melarang atau menghalangi petugas metrologi legal dalam menjalankan tugasnya untuk memastikan kesesuaian alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus dengan persyaratan kemetrologian yang telah ditetapkan memberikan tanda atau segel kesesuaian pada alat ukur atau barang dalam keadaan terbungkus yang tidak memenuhi persyaratan; menolak atau tidak dapat memberikan justifikasi terhadap hasil pengukuran yang dipublikasikan dalam iklan atau bentuk komunikasi publik lainnya; memberikan hasil pengukuran yang menyesatkan dalam iklan atau bentuk komunikasi publik lainnya; menggunakan satuan-satuan atau simbol-simbol ukuran yang tidak sesuai dengan satuan pengukuran yang ditetapkan; tidak melakukan atau mendokumentasikan pengukuran yang dipersyaratkan oleh regulasi metrologi legal; tidak memenuhi persyaratan kemetrologian (termasuk ketertelusuran) dalam proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal; menawarkan atau menjual atau memasang peralatan yang tidak memenuhi regulasi metrologi legal pada proses-proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal; menggunakan peralalatan yang belum melalui proses pengendalian legal pada prosesproses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal; melepas atau merusak segel atau tanda dari berbagai alat ukur atau hasil pengukuran tanpa memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam regulasi metrologi legal. Dalam melaksanakan kegiatan metrologi legal, lembaga metrologi legal dapat menerima biaya pelayanan untuk kegiatan yang dilakukan. Dalam kondisi seperti ini hendaknya ditetapkan prosedur pembayaran dan juga jumlah biaya yang harus dibayarkan oleh pemilik, pengguna atau pembuat alat. Biaya yang diperoleh dari kegiatan metrologi legal tersebut hendaknya dapat digunakan oleh lembaga metrologi legal untuk mengembangkan fasilitas dan sumber daya manusia serta sumber daya lain yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatannya. Ketentuan-ketentuan tentang pembiayaan ini harus ditaati oleh semua lembaga, baik lembaga metrologi legal nasional, lembaga metrologi legal lokal di bawah otoritas metrologi lokal, maupun lembaga-lembaga swasta 77 maupun pemerintah pihak ketiga yang menerima delegasi tugas dan kewenangan untuk melaksanakan kegiatan yang tercakup dalam regulasi metrologi legal. Untuk dapat menegakkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap pelanggaran regulasi kemetrologian dan juga meminta kontribusi finansial dalam bentuk pembayaran biaya kegiatan metrologi legal dari pengguna, pemilik, atau pembuat alat, pemerintah harus dapat memberikan informasi secara transparan tentang ketentuan-ketentuan di dalam regulasi metrologi legal, termasuk di dalamya jenis proses pengukuran, jenis alat ukur dan atau barang dalam keadaan terbungkus, persyaratan kemetrologiannya, dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan dalam regulasi metrologi legal. Lembaga metrologi legal memiliki tanggungjawab untuk memublikasikan informasi yang diperlukan untuk memberikan justifikasi tentang relevansi dan kehandalan hasil pengukuran kepada publik. Warga negara atau pemangku kepentingan lainnya hendaknya diberi kesempatan untuk mengakses hasil pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah atau diberikan kepada pemerintah, yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan umum, lingkungan dan ekonomi negara, sejauh publikasi informasi ini tidak menyebabkan praduga kepada warga negara, perusahaan atau organisasi lainnya. Dalam kaitannya dengan konsekuensi hukum dan pembiayaan dalam implementasi kegiatan metrologi legal ini, pemerintah harus mampu memberikan sumber yang independen dan imparsial yang dapat memberikan pertimbangan tentang keabsahan, kredibilitas dan kehandalan informasi kemetrologian yang diberikan oleh pemerintah, yang hendaknya sejauh mungkin mendayagunakan infrastruktur metrologi lain yang telah dikembangkan dalam sistem metrologi nasional 78 III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL analisis kritis terhadap substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981 Hasil identifikasi terhadap peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia yang berkaitan dengan kegiatan kemetrologian diberikan dalam daftar peraturan perundangundangan terkait kemetrologian pada Lampiran 1 dari Naskah Akademik ini. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, peraturan perundang-undangan kemetrologian dengan kekuatan hukum tertinggi di wilayah RI adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal. Undang-undang merupakan ketentuan hukum tertinggi di Republik Indonesia setelah Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR. Dalam implementasinya undang-undang harus diacu dalam pembentukan sebuah sistem yang diperlukan di wilayah Republik Indonesia dan memerlukan berbagai peraturan perundang-undangan dengan kekuatan hukum di bawah UU, termasuk peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, dan peraturan lain di bawahnya. Kajian tentang peraturan perundang-undangan kemetrologian yang dituangkan dalam Naskah Akademik ini didasarkan pada hipotesis bahwa "lemahnya institutional framework metrologi yang kemudian menyebabkan lemahnya government efficiency— sebagai faktor pendorong utama penguatan state capacity untuk memacu daya saing nasional—disebabkan oleh peraturan perundangan di bidang metrologi yang belum sejalan dengan perkembangan metrologi global". Sistem metrologi nasional merupakan sebuah sistem yang diharapkan dapat memberikan pondasi untuk membangun daya saing nasional sesuai dengan posisi sistem metrologi sebagai salah satu pilar utama untuk menembus pasar global. Sistem metrologi nasional tentunya didasarkan pada sekumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan kemetrologian. UU kemetrologian seharusnya menjadi landasan tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR untuk mengimplementasikan sistem metrologi nasional. Karena pada saat ini telah terdapat UU yang secara khusus mengatur salah satu kegiatan kemetrologian, yaitu UU No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal, maka UU tersebut digunakan sebagai fokus analisis peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional. UU No. 2 Tahun 1981 memuat beberapa ketentuan yang telah ditindaklanjuti melalui peraturan pemerintah, keputusan presiden, maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya untuk mengimplementasikannya. UU No. 2 Tahun 1981 disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I: Ketentuan Umum; 79 Bab II: Satuan-Satuan; Bab III: Standar-Standar Satuan; Bab IV: Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya; Bab V: Tanda Tera; Bab VI: Barang Dalam Keadaan Terbungkus; Bab VII: Perbuatan Yang Dilarang; Bab VIII: Ketentuan Pidana; Bab IX: Pengawasan dan Penyidikan; Bab X: Aturan Peralihan; Bab XI: Ketentuan Penutup Ketentuan Umum UU No. 2 Tahun 1981 memberikan definisi-definisi terkait dengan kegiatan kemetrologian yang digunakan dalam UU. UU ini secara singkat juga telah memberikan pengaturan tentang kegiatan METROLOGI ILMIAH, yaitu pada Bab II tentang Satuan-Satuan dan Bab III tentang Standar-Standar Satuan. Sedangkan ketentuan lain di dalam UU No. 2 Tahun 1981, mulai dari Bab IV sampai dengan Bab IX memuat ketentuan-ketentuan yang rinci tentang kegiatan METROLOGI LEGAL. Bagian ini akan memberikan paparan tentang hasil analisis terhadap substansi dari ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981. Untuk memudahkan pembandingan antara substansi UU No. 2 Tahun 1981 dengan praktik internasional pengembangan peraturan perundang-undangan kemetrologian, sistematika bagian ini disusun sesuai dengan sistematika bagian II dari Naskah Akademik ini, yang terdiri dari latar belakang dan lingkup peraturan perundangan-undangan kemetrologian, otoritas kegiatan kemetrologian, lembaga-lembaga kemetrologian, satuan pengukuran dan standar Pengukuran, serta metrologi legal. Analisis terhadap implementasi atau aturan pelaksanaan dari ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981, dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden diberikan dalam pembahasan pasal-pasal UU No. 2 Tahun 1981 yang terkait dengan aturan pelaksanaannya 3.1 LATAR BELAKANG DAN LINGKUP UNDANG-UNDANG KEMETROLOGIAN Peraturan perundang-undangan tertinggi yang berlaku di Indonesia pada saat ini yang terkait dengan kemetrologian adalah UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. Dengan mengacu pada cakupan kegiatan kemetrologian di tingkat internasional, secara eksplisit tampak bahwa peraturan undang-undang kemetrologian yang berlaku di wilayah RI baru mencakup salah satu aspek implementasi kegiatan kemetrologian yang berkembang dalam sistem metrologi internasional. Metrologi legal, bila dikaitkan dengan organisasi spesialis regional yang dikembangkan dalam lingkup APEC, baru mencakup partisipasi Indonesia dalam kegiatan APLMF dan di tingkat internasional baru mencakup partisipasi Indonesia dalam kegiatan OIML. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dalam praktiknya Indonesia diwakili oleh Puslit KIMLIPI di forum APMP dan BIPM, peraturan perundang-undangan yang ada belum memayungi partisipasi Indonesia dalam forum APMP dan BIPM tersebut. 80 Hal lain yang menunjukkan bahwa UU No. 2 Tahun 1981 dikembangkan hanya untuk memayungi aspek metrologi legal juga termuat di dalam konsideransnya, yang secara eksplisit memuat pertimbangan sebagai berikut sebagai latar belakang penyusunan UU: Menimbang: bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya; bahwa pengaturan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya sebagaimana ditetapkan, dalam Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175 perlu diganti, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan teknologi, serta sesuai dengan Sistem Internasional untuk satuan (SI); bahwa untuk mencapai tujuan sebagai dimaksud di atas perlu mengaturnya dalam suatu Undang-undang tentang Metrologi Legal. Mengingat: Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Dari konsiderans menimbang (a) UU No. 2 Tahun 1981, terlihat bahwa landasan filosofis penyusunan UU No. 2 Tahun 1981 adalah: jaminan kebenaran pengukuran, ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metode pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya. Bila perlindungan kepentingan umum yang dimaksud dalam konsiderans ini adalah "mencegah kerugian", maka konsiderans penetapan UU ini secara tidak langsung telah ditujukan secara spesifik kepada definisi "metrologi legal". Karena bila pihak yang bertransaksi memiliki kemampuan yang setara untuk memastikan kebenaran "produk" yang dijual dan di pihak lain mampu memastikan kebenaran "produk" yang dibeli, dan "produk" tersebut memang hanya digunakan oleh "pembeli", haruskah "perlindungan" kepada pembeli seperti ini menjadi suatu kegiatan yang "diwajibkan" oleh pemerintah terhadap "pembeli" untuk menerakan alat ukur yang digunakan untuk memastikan "produk" yang dibeli? Dalam konteks ini, dapat dipandang bahwa secara menyeluruh, pasal-pasal di dalam UU ini lebih menekankan "kewajiban" yang harus dipenuhi oleh pemilik alat ukur, dapat dikatakan bahwa regulasi yang diberikan "kurang berimbang", bila dikaitkan dengan kebutuhan pengukuran di masa sekarang dan akan datang. Ketentuan lain di dalam UU, yang menegaskan bahwa sesuai judulnya, cakupan UU No. 2 Tahun 1981 adalah hanya kegiatan metrologi legal, adalah definisi metrologi dan metrologi legal yang dicantumkan dalam ketentuan umum UU, sebagai berikut: 81 Pasal 1(a) Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas; Pasal 1 (b) Metrologi Legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metodametoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan berdasarkan Undang-Undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran; Pembedaan definsi metrologi dan metrologi legal yang diberikan dalam Pasal 1(a) dan Pasal 1(b) UU No. 2 Tahun 1981 mempertegas bahwa cakupan UU No. 2 Tahun 1981 adalah kegiatan metrologi legal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1(b). 3.2 OTORITAS KEGIATAN KEMETROLOGIAN Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1981 dinyatakan bahwa menteri yang bertanggung jawab adalah Menteri Perdagangan, dan sesuai dengan judul UU, hal ini mengandung makna bahwa Menteri Perdagangan adalah otoritas metrologi legal sesuai dengan ketentuan di dalam UU. Di sisi lain, kegiatan metrologi lainnya, yang di Indonesia dikenal sebagai Metrologi Teknik, sesuai dengan Peraturan Pemeritah RI No. 102 Tahun 2000 merupakan salah satu lingkup dalam kegiatan Standardisasi Nasional, yang merupakan tanggung jawab dari Badan Standardisasi Nasional, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997, yang kemudian diperbaharui dengan Keppres No. 166 Tahun 2000 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen yang kemudian diperbaharui dengan Keppres 103 Tahun 2001. Untuk membantu tugas dan fungsi BSN terkait dengan Standar Nasional Satuan Ukuran, kemudian dibentuklah Komite Standar Nasional Satuan Ukuran (KSNSU) dengan Keppres No. 79 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi sebagai sebuah komite yang bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada Kepala BSN terkait dengan Standar Nasional Satuan Ukuran yang beranggotakan para pakar teknis yang membidangi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan standar untuk satuan ukuran. Berdasarkan 2 (dua) ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981, kemudian PP No. 102 Tahun 2000 dan Keppres 79 Tahun 2001, pada dasarnya di Indonesia telah dikenal kegiatan metrologi legal dan kegiatan metrologi teknik, dan keduanya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian ketentuan yang ada belum cukup memayungi kegiatan kemetrologian sebagaimana direkomendasikan dalam praktik internasional, dan juga otoritas kemetrologian yang diperlukan sebagai penentu kebijakan metrologi nasional secara komprehensif sebagaimana direkomendasikan dalam praktik internasional belum ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di wilayah RI. Dengan mengacu pada tugas dan keanggotaan KSNSU sebagaimana dinyatakan dalam Keppres No. 79 Tahun 2001, dan juga konsiderans penetapan Keppres yang acuan utamanya adalah amanah dalam PP 102 Tahun 2000, terlihat jelas bahwa KSNSU adalah 82 komite di dalam lingkup "metrologi teknik" yang secara khusus memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada BSN mengenai pengelolaan Standar Nasional Satuan Ukuran, atau sebagai Lembaga Pembina Standar Nasional Satuan Ukuran yang diamanahkan oleh UU No. 2 Tahun 1981 yang kemudian tugasnya diberikan kepada Dewan Standardisasi Nasional melalui Keppres 7 Tahun 1989 dan berubah menjadi Badan Standardisasi Nasional melalui Keppres 13 Tahun 1997. Tetapi di dalam Keppres tentang DSN maupun BSN tersebut, Pengelolaan Teknis Ilmiah SNSU dilimpahkan lagi kepada unit kerja di lingkungan LIPI yang bergerak di bidang metrologi. Berdasarkan urutan ini, maka otoritas metrologi, sebagaimana direkomendasikan di dalam OIML D1, di Indonesia belum ditetapkan, karena dari urutan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang ada: KSNSU merupakan bagian dari Pengelolaan Standar Pengukuran Nasional, bukan komite konsultatif penentu kebijakan metrologi nasional. Demikian pula DSN, yang kemudian tugasnya dilanjutkan oleh BSN, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada juga merupakan bagian dari pengelolaan SNSU, sebagaimana dijelaskan dalam tugas dan fungsinya sesuai dengan Keppres pendiriannya, bukan merupakan otoritas metrologi yang berwenang menentukan arah dan tujuan sistem metrologi nasional secara komprehensif. Menteri Perdagangan, yang dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1981 ditetapkan sebagai menteri yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan UU tersebut, dengan sendirinya juga merupakan menteri yang bertanggungjawab untuk lingkup kegiatan metrologi legal, sesuai dengan konsiderans, cakupan dan judul UU tersebut. Di luar kegiatan metrologi legal (UU No. 2 Tahun 1981) dan metrologi teknik (PP No. 102 Tahun 2000), di Indonesia dikenal pula metrologi radiasi yang menjadi bagian dari kegiatan ketenaganukliran yang diatur dengan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, dengan kewenangan pengawasan pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional (Bapeten). Ketentuan-ketentuan lain menyangkut kegiatan kemetrologian terkait dengan penggunaan alat ukur untuk keperluan medis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 363/PER/IV/1998 tentang wajib kalibrasi peralatan medis, yang bila dilihat dari landasan yuridis di dalam peraturan menteri tersebut tidak mengacu pada UU No. 2 Tahun 1981, meskipun kegiatan tersebut bila ditinjau dari praktik internasional kemetrologian merupakan bagian dari kegiatan metrologi legal. Dengan mengacu pada cakupan kegiatan metrologi legal dalam praktik internasional, yang secara eksplisist mencakup jaminan keselamatan, maka kalibrasi alat ukur yang digunakan dalam inspeksi dan sertifikasi kelaikan terbang secara filosofis juga merupakan kegiatan metrologi legal, yang kewenangan dan tanggung jawabnya ada pada Departemen Perhubungan RI c.q. Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU). Terkait dengan peningkatan jaminan keselamatan dalam penerbangan, DSKU telah menerbitkan surat edaran No. DSKU/341/STD/2006 tentang kalibrasi alat ukur dan peralatan produksi/kerja terkait dengan sertifikasi kelaikan udara, untuk memastikan kebenaran dari proses inspeksi dan sertifikasi kelaikan udara. DSKU mewajibkan bengkel sertifikasi dan 83 perbaikan pesawat untuk mengalibrasi alat ukur dan alat produksinya di laboratorium yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. Hal ini merupakan kebijakan yang sangat positif karena Departemen Perhubungan menggunakan sumber daya yang kemampuannya dalam melakukan akreditasi diakui di tingkat internasional (dalam hal ini KAN) untuk menjamin kompetensi laboratorium kalibrasi alat ukur dan alat kerja terkait dengan sertifikasi dan kelaikan udara. Namun demikian, karena ketiadaaan payung hukum yang memayungi koordinasi antar pemangku kepentingan metrologi, maka kebutuhan ini belum dapat dicukupi oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi maupun lembaga pengelola standar pengukuran nasional yang ada, karena selama ini belum pernah dilakukan identifikasi terhadap kebutuhan kalibrasi terkait dengan sertifikasi kelaikan udara. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi dengan ketentuan wajib kalibrasi peralatan medis yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan yang sampai saat ini belum dapat dilaksanakan secara efektif karena ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan aturan tersebut belum diidentifikasi sebelum penetapannya, dan bahkan sampai saat ini, 9 tahun setelah penetapan Peraturan Menteri Kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan juga penyedia layanan kesehatan lainnya masih kebingungan mencari laboratorium kalibrasi yang memiliki kemampuan untuk mengalibrasi semua jenis peralatan yang dicakup dalam Peraturan Menteri Kesehatan. 3.3 LEMBAGA-LEMBAGA KEMETROLOGIAN NASIONAL Lembaga kemetrologian yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah Lembaga Pembina Standar (Pengukuran) Nasional, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 sebagai berikut: [1] Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini dibina oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu. [2] Susunan organisasi dan tata kerja lembaga tersebut dalam Ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sebagaimana dijelaskan dalam analisis pada Pasal 8 di atas, ketentuan dalam Pasal 11 ini merupakan ketentuan yang sangat positif dan sangat relevan bila dikaitkan dengan perkembangan kebutuhan pengukuran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengukuran, satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam ketentuan pasal ini adalah maksud dari pernyataan "dibina". Secara praktik, standar nasional perlu untuk direalisasikan, dipelihara ketertelusurannya dan ekivalensinya dengan standar nasional negara-negara lain, serta didiseminasikan secara kompeten untuk memastikan kebenaran pengukuran di seluruh sektor kehidupan bernegara. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10 UU ini sebenarnya telah diimplementasikan dengan penerbitan beberapa peraturan pemerintah dan keputusan presiden, yaitu: 84 PP No. 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional Satuan Ukuran yang memberikan ketentuan sebagai berikut: Pasal 2 Ayat 2: Penetapan susunan Standar-standar untuk satuan ukuran dilakukan oleh Dewan Standardisasi Nasional Pasal 3: Penetapan, pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Dewan Standardisasi Nasional Pasal 4: Standar Nasional untuk Satuan Ukuran harus ditempatkan dalam ruangan khusus yang memenuhi persyaratan teknis tertentu dan dikelola oleh para tenaga ahli yang berhak, dengan bidangnya Pasal 6: Dewan Standardisasi Nasional adalah Dewan yang dibentuk dengan Keppres untuk mengoordinasi, mensinkronisasi dan membina kegiatan Standardisasi di Indonesia, termasuk lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat 2 UUML Pasal 7: Ketentuan lebih lanjut mengenai Metrologi Legal yang merupakan pelaksana Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang metrologi legal setelah mendengan pertimbangan Dewan Standardisasi Nasional. Keppres 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional memberikan ketentuan sebagai berikut: menimbang: a. bahwa berdasarkan UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal diperlukan suatu Lembaga yang berfungsi membina standar nasional untuk satuan ukurannya BAB II KEDUDUKAN, TUGAS POKOK dan FUNGSI Pasal 4: tugas pokok dewan ialah: b. menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai kebijaksanaan nasional di bidang standardisasi dan pembinaan standar nasional untuk satuan ukuran Pasal 5:....................., Dewan mempunyai fungsi: b. menyusun dan menetapkan kebijakan tentang pembinaan standar nasional untuk satuan ukuran e. membina kegiatan dan kerjasama antar instansi teknis di bidang standardisasi termasuk standar nasional untuk satuan ukuran k. menetapkan susunan turunan-turunan dari standar nasional untuk satuan ukuran l. menetapkan, mengurus, memelihara dan membina standar nasional untuk satuan ukuran m. menetapkan tata cara kalibrasi standar nasional untuk satuan ukuran BAB III SUSUNAN ORGANISASI 85 Pasal 14 Ayat 3: Pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan oleh salah satu pusat di lingkungan LIPI yang bertugas di bidang metrologi Keberadaan Dewan Standardisasi Nasional ini kemudian digantikan oleh Badan Standardisasi Nasional melalui Keppres 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional yang memberikan ketentuan sebagai berikut terkait dengan Standar Nasional Satuan Ukuran Bagian Keempat – Deputi Penerapan Akreditasi dan Kerjasama Internasional Pasal 12 g. Penetapan dan koordinasi laboratorium laboratorium uji standar dan laboratorium metrologi selaku laboratorium acuan h. Penyiapan, penetapan, pengurusan, pemeliharaan dan pembinaan standar nasional untuk satuan ukuran i. Penyiapan penetapan susunan turunan dari standar nasional untuk satuan ukuran j. Peyiapan tata cara kalibrasi standar nasional untuk satuan ukuran Pasal 22: Ayat 1: untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi BSN, Kepala BSN dibantu oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran, yang selanjutnya disebut KSNSU Ayat 2: tugas KSNSU adalah memberikan pertimbangan dan saran kepada kepala BSN dalam standar nasional untuk satuan ukuran Pasal 24: pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bertugas di bidang Metrologi sebagai salah satu Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Landasan hukum Badan Standardisasi Nasional ini diperbaharui lagi sebagai bagian dari Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang tidak memuat ketentuan yang eksplisit mengenai Standar Nasional Satuan Ukuran. Pada saat ini peraturan perundang-undangan yang memayungi kegiatan standardisasi nasional adalah: PP No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional yang memuat ketentuan berikut terkait dengan Standar Nasional Satuan Ukuran: 86 Pasal 4: Ayat 4: Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran Ayat 5: Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada Badan Standardisasi Nasional mengenai Standar Nasional untuk Satuan Ukuran Ayat 6: Badan Standardisasi Nasional, Komite Akreditasi Nasional dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), (2) dan (4) dibentuk dengan Keputusan Presiden Untuk menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 4 PP 102 Tahun 2000, kemudian dibentuk Komite Standar Nasional (KSNSU). Keppres 79 Tahun 2001 tentang Komite Standar Nasional Satuan Ukuran memuat ketentuan sebagai berikut: BAB III: PENGELOLAAN TEKNIS ILMIAH STANDAR NASIONAL UNTUK SATUAN UKURAN Pasal 6: Ayat 1: Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi KSNSU, diadakan pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran Ayat 2: Pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dilaksanakan oleh unit kerja di lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bertugas di bidang metrologi. Perkembangan peraturan perundang-undangan terkait dengan Lembaga "Pembina" Standar Nasional Satuan Ukuran sebagaimana dijelaskan di atas memperlihatkan sebuah perkembangan yang kemudian tidak cukup untuk memayungi kegiatan sebuah lembaga pengelola standar (ukuran) nasional, yang dalam terminologi modern dikenal dengan National Metrology Institute (NMI) dengan beberapa pertimbangan berikut. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam PP 2 Tahun 1989, Keppres 7 Tahun 1989, dan Keppres 13 Tahun 1997, lembaga yang dimaksud sebagai pembina Standar Nasional Satuan Ukuran yang dinyatakan dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 adalah Dewan Standardisasi Nasional, yang kemudian ditransformasikan menjadi Badan Standardisasi Nasional (BSN). Di dalam PP dan Keppres tersebut, dinyatakan dengan jelas bahwa DSN dan kemudian BSN adalah lembaga yang salah satu fungsinya adalah pelaksana amanah Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981, namun demikian hal dalam Keppres 103 Tahun 2001 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen, pada bagian yang mengatur BSN tidak dapat ditemukan secara eksplisit tugas BSN sebagai "pembina SNSU" sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 87 Namun demikian, di dalam PP 102 Tahun 2000 masih dinyatakan bahwa "tugas BSN terkait SNSU dilaksanakan oleh KSNSU", dan kemudian diamanahkan supaya KSNSU dibentuk melalui Keputusan Presiden. Artinya, sesuai dengan Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 yang mengamanahkan "pembina SNSU dibentuk melalui Keppres" kemudian berdasarkan ketentuan dalam PP 102 dibentuklah KSNSU melalui Keppres 79 Tahun 2001. Kemudian dapat dijelaskan di sini bahwa bila diperhatikan di dalam peraturan perundang-undangan yang dijelaskan di atas, baik DSN, BSN maupun KSNSU kemudian menyerahkan lagi tugas pengelola SNSU ini kepada pihak lain melalui pernyataan "pengelolaan teknis ilmiah SNSU dilakukan oleh unit kerja di lingkungan LIPI yang bergerak di bidang metrologi". Dari rincian kronologis di atas, tampak bahwa "pembina SNSU" telah disempitkan artinya sebagai penentu kebijakan, bukanlah sebuah national metrology institute sebagaimana dimaksud dalam kaidah sistem metrologi modern. Dan "pembina SNSU" ini kemudian melimpahkan tugas pengelolaan teknis SNSU kepada lembaga lain yaitu: "unit kerja di bawah LIPI yang bergerak di bidang metrologi". Bila dihubungkan dengan tugas pokok dan fungsi LIPI, maka tidak terdapat tugas pokok dan fungsi terkait dengan pengelolaan teknis ilmiah SNSU ini, yang seharusnya meliputi realisasi, pemeliharaan, diseminasi dan pemeliharaan pengakuan internasional terhadap SNSU. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi LIPI, maka Puslit KIM-LIPI sebagai unit kerja di bawah LIPI yang bergerak di bidang metrologi memiliki beberapa fungsi yang salah satu di antaranya adalah penelitian di bidang metrologi. Hal inilah yang kemudian menyulitkan terwujudnya sebuah national metrology institute yang dapat berfungsi dengan baik di Indonesia, karena sebagai sebuah national metrology institute, penelitan dan pengembangan ilmu pengukuran hanyalah salah satu tugas pokok dan fungsi dari sebuah national metrology institute . Di dalam Naskah Akademik tentang Lembaga Metrologi Nasional Indonesia yang disusun oleh tim yang dibentuk oleh KSNSU, Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 direkomendasikan untuk ditindaklanjuti dengan pembentukan sebuah lembaga metrologi nasional melalui keputusan presiden dengan tanggung jawab, tugas pokok dan fungsi yang memadai untuk menjalankan fungsi national metrology institute sesuai dengan kaidah sistem metrologi modern, yaitu sebuah lembaga yang menjadi pusat pengembangan metrologi nasional yang dapat memberikan jaminan kebenaran pengukuran nasional di segala sektor yang memperoleh pengakuan secara internasional. Pengelolaan SNSU oleh berbagi lembaga yang kemudian dikoordinasikan oleh sebuah lembaga "pembina SNSU" oleh tim penyusun naskah akademik lembaga metrologi nasional dianggap tidak efektif, karena dalam perkembangannya realisasi dari tujuh besaran dasar dalam Sistem Internasional satuan menjadi saling berkaitan satu sama lain, demikian juga perkembangan realisasi besaran turunannya menjadi tidak dapat dipisahkan antar turunan dari setiap besaran dasar. Sebagai contoh, tekanan merupakan besaran turunan yang direalisasikan sebagai fungsi dari massa dan panjang, dan lain sebagainya. Terlebih lagi bila KSNSU yang ada pada saat ini difungsikan sebagai 88 lembaga pembina SNSU yang bertugas mengoordinasikan kegiatan metrologi, akan menjadi tidak efektif karena KSNU dalam Keppres 79 Tahun 2001 adalah sebuah komite yang bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada kepala BSN terkait dengan KSNSU, bukan sebuah komite yang ditugaskan untuk mengoordinasikan kegiatan metrologi nasional atau pengelolaan SNSU. Satu hal penting yang perlu dicatat dalam peraturan perundangan yang ada adalah lingkup dari setiap peraturan itu sendiri. Keppres 79 Tahun 2001 ditetapkan sebagai aturan pelaksanaan PP 102 Tahun 2000, yaitu bagian dari implementasi kegiatan Standardisasi Nasional. Di dalam PP 102 Tahun 2000 sendiri, secara eksplisit dinyatakan bahwa lingkup kegiatan "standardisasi" adalah "metrologi teknik", standar, pengujian dan mutu. Dengan kata lain "metrologi legal" bukan merupakan kegiatan yang terkait dengan "standardisasi", atau "metrologi teknik" dan "metrologi legal" merupakan kegiatan yang dipisah oleh peraturan perundang-undangan yang ada, yang potensial menimbulkan ketidakharmonisan atau bahkan konflik antara kegiatan "metrologi legal" dan "metrologi teknik" di lapangan. 3.4 SATUAN PENGUKURAN DAN STANDAR PENGUKURAN 3.4.1 Satuan Pengukuran UU No. 2 Tahun 1981 memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang satuan pengukuran. Beberapa pasal yang dipandang dapat menimbulkan permasalahan dalam implementasi ketentuan UU untuk mengharmoniskan satuan pengukuran nasional dengan penggunaan sistem satuan SI oleh berbagai pihak adalah Pasal 1(g), Pasal 2 dan Pasal 7 (a,b,c). Pasal 1 (g) satuan dasar ialah satuan yang merupakan dasar dari satuan-satuan suatu besaran yang dapat diturunkan menjadi satuan turunan; Dari penjelasan terhadap definisi terkait di dalam VIM 1993 (yang dijelaskan dalam pendahuluan bagian ini), terlihat bahwa definisi di dalam UU No. 2 1981 Pasal 1 (g) tidak konsisten dengan definisi yang telah disepakati oleh masyarakat metrologi internasional yang didokumentasikan di dalam VIM. Pasal 2 Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan satuan-satuan SI. Pasal 7 Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan: a) satuan-satuan turunan dari satuan-satuan dasar baik mengenai besaranbesaran, satuan-satuan maupun lambang-lambang satuannya; 89 b) satuan-satuan tambahan baik mengenai besaran-besaran, satuan-satuan maupun lambang-lambang satuannya; c) satuan-satuan lain yang berlaku dengan ketentuan-ketentuan dalam pemakaiannya. Bila diinterpretasikan sesuai teks, Pasal 2 bisa menyebabkan penggunaan satuan non-SI, yang secara internasional disepakati digunakan untuk sektor tertentu (sebagai contoh: nautical mile, knot, feet, dll. yang sering digunakan dalam navigasi laut dan udara) menjadi pelanggaran terhadap UU ini. Istilah satuan tambahan yang dinyatakan dalam Pasal 7 (b) sudah tidak digunakan lagi dalam sistem SI. Di dalam ketentuan dari CGPM yang dinyatakan di dalam SI Brochure edisi ke-8 tahun 2006, dan juga pada SI Brochure edisi ke-7 tahun 1998, tidak terdapat lagi klasifikasi "satuan tambahan". Satuan "radian" dan "steradian" yang pada awalnya diklasifikasikan sebagai "satuan tambahan" telah diputuskan oleh CGPM menjadi bagian dari "satuan turunan", karena "radian" dapat dinyatakan sebagai turunan dari satuan panjang, yaitu m/m, demikian juga "steradian" dapat dinyatakan sebagai turunan dari satuan panjang m2/m2. Dengan adanya amanah dari UU ini, bahwa satuan tambahan ditetapkan dengan peraturan pemerintah, maka bila pemerintah tidak menetapkan hal-hal terkait satuan tambahan artinya pemerintah telah melanggar hukum karena tidak melaksanakan amanah yang diberikan dalam UU ini. Namun, bila pemerintah menetapkan hal-hal terkait dengan satuan tambahan dengan peraturan pemerintah, artinya pemerintah menetapkan sebuah ketentuan yang tidak sejalan dengan perkembangan sistem metrologi yang telah disepakati secara internasional dan digunakan sebagai landasan dalam berbagai kegiatan internasional di sektor perdagangan, penelitian, ilmu pengetahuan, teknologi,dan sebagainya Ketentuan dalam Pasal 7 (c) membuka kemungkinan penggunaan satuan-satuan lain di luar SI, namun hal ini sebenarnya sudah tertutup dengan Pasal 2, yang menyatakan "Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan satuan-satuan SI" artinya bila PP menetapkan penggunaan satuan di luar SI, akan terjadi pelanggaran terhadap Pasal 2 UU ini, dengan kata lain terjadi inkonsistensi pengaturan tentang penggunaan satuan. 3.4.2 Standar Pengukuran Nasional UU No. 2 Tahun 1981 memuat ketentuan-ketentuan berikut yang mengatur tentang standar pengukuran. Beberapa pasal yang dipandang dapat menimbulkan permasalahan dalam implementasi ketentuan UU untuk mengharmoniskan satuan pengukuran nasional dengan penggunaan sistem satuan SI oleh berbagai pihak adalah ketentuan-ketentuan berikut dan masalah yang dapat timbul dari ketentuan tersebut diberikan dalam penjelasan di bawah kutipan setiap ketentuan. Pasal 1 (i) 90 standar satuan: suatu ukuran yang sah dipakai sebagai dasar pembanding; Di dalam kamus istilah metrologi yang telah disepakati oleh masyarakat metrologi internasional (VIM) tidak dikenal istilah "standar satuan (standard of units)" sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 (i) UU No. 2 Tahun 1981. Definisi dari istilah-istilah terkait dengan satuan pengukuran yang disepakati dalam VIM telah dijelaskan dalam pendahuluan dari bagian ini. Pasal 1 (j) standar induk satuan dasar: standar satuan yang diterima dari Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai Standar Nasional atau Standar Tingkat Satu Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada saat ini dari ketujuh satuan dasar yang dikenal, hanya terdapat satu standar internasional yang dipelihara oleh BIPM dalam bentuk sebuah artifak (benda) dan pengadaannya dilakukan oleh BIPM, yaitu International Prototype of Kilogram yang dipelihara oleh BIPM. Salinan dari Standar Internasional tersebut yang dimiliki oleh setiap anggota Konvensi Meter dikalibrasi ulang secara periodik oleh BIPM. Untuk satuan lainnya, CGPM menetapkan definisi satuan yang kemudian direalisasikan oleh lembaga metrologi nasional yang mempunyai kemampuan memadai. Realisasi definisi satuan dalam sistem satuan SI ini dikenal dengan "Standar Pengukuran Primer (Primary Standard of Measurement)" yang digunakan sebagai "Standar Nasional" oleh negara-negara yang mampu merealisasikannya. Bagi negara-negara yang tidak mampu merealisasikan definisi satuan (standar primer), "Standar Nasional" tersebut ditetapkan sesuai dengan kebutuhan ketelitian pengukuran di negara tersebut, dan kemudian "Standar Nasional" tersebut kemudian dikalibrasikan ke lembaga metrologi nasional negara lain yang memiliki standar primer. Oleh karena itu, istilah "Standar Induk Satuan Dasar" yang digunakan dalam Pasal 1 (j) UU No. 2 Tahun 1981 ini sudah tidak relevan dengan perkembangan metrologi saat ini. Demikian pula definisinya sebagai "standar satuan yang diterima dari Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai Standar Nasional atau Standar Tingkat Satu" juga menjadi tidak relevan lagi, karena pada saat ini BIPM hanya mengelola standar satuan massa, sedangkan untuk standar lainnya, setiap negara dapat merealisasikan sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh CGPM. Kemudian, kesetaraan antara standar-standar yang direalisasikan oleh setiap negara tersebut dipelihara melalui "international key comparison" antarlembaga pengelola standar nasional (yaitu lembaga metrologi nasional). Istilah "Standar Induk Satuan Dasar" juga tidak dikenal di dalam VIM. Di dalam acuan istilah dan definisi ini, tingkatan standar pengukuran tertinggi yang diterima secara internasional dinyatakan dengan "standar pengukuran primer (primary standard of measurement)", yang didefinisikan sebagai: 91 standar yang ditunjuk atau diterima secara luas memiliki mutu kemetrologian tertinggi yang nilainya diterima tanpa acuan ke standar lain dari besaran yang sama. Pernyataan istilah Standar Induk Satuan Dasar beserta definisinya di dalam UU No. 2 Tahun 1981 merupakan ketentuan umum yang tidak dapat diimplementasikan sejalan dengan perkembangan saat ini, karena BIPM tidak lagi bertindak sebagai penyedia standar primer pengukuran. Ketentuan dan istilah tersebut masih berlaku hanya dalam kasus standar massa, yang pada saat ini juga telah direkomendasikan oleh CGPM untuk didefinisikan ulang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pasal 8 Standar-standar induk untuk satuan-satuan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang ini disebut Standar Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pernyataan dalam Pasal 8 ini dapat mengandung pengertian bahwa "standar nasional (ukuran)" yang diatur atau ditetapkan oleh pemerintah hanya "standar ukuran" untuk tujuh satuan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3, yaitu meter, kilogram, sekon, amper, kelvin, kandela, mol. Sistem Internasional satuan sebenarnya terdiri atas "satuan dasar" dan "satuan turunan"; "satuan dasar" adalah satuan untuk "besaran dasar" dan "satuan turunan" adalah satuan untuk "besaran turunan". Istilah-istilah satuan dasar, satuan turunan, besaran dasar dan besaran turunan telah didefinisikan di dalam VIM 1993 sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan dari bagian ini. Untuk menjamin ketertelusuran pengukuran yang diperlukan oleh berbagai sektor kehidupan bernegara, termasuk perdagangan, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun sektor lainnya, sebuah negara perlu untuk dapat menyediakan "standar (ukuran) nasional" sesuai kebutuhannya baik berupa standar (ukuran) primer maupun standar (ukuran) dengan tingkat ketelitian di bawahnya untuk satuan dasar maupun satuan turunan yang diperlukan untuk mendukung kebutuhan nasional. Dengan demikian, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan variasi produk nasional, maupun kebutuhan perdagangan, standar (ukuran) nasional yang dibutuhkan oleh sebuah negara juga bersifat dinamis baik dari sisi jenis, maupun tingkat ketelitiannya. Dengan kondisi seperti ini, pengaturan yang terlalu mengikat, seperti penetapan atau penunjukan standar (ukuran) untuk satuan dasar, dan bahkan penetapan satuan turunan melalui Peraturan Pemerintah dapat menghambat perkembangan sistem metrologi nasional untuk merespons perkembangan kebutuhan metrologi. Sebagai ilustrasi nyata, dalam kasus besaran turunan "energi listrik" yang diukur dengan kWh meter, Direktorat Metrologi sebagai otoritas tertinggi legal metrologi memiliki sebuah kWh meter dengan tingkat ketelitian tertentu, yang bila dihubungkan dengan Pasal 9 UU ini merupakan acuan legal berdasarkan 92 hukum untuk pengukuran "energi listrik" di bidang metrologi legal. Namun demikian dalam perkembangannya, Balai Diklat Metrologi memiliki "kWh meter" dengan tingkat ketelitian lebih baik daripada kWh meter yang dimiliki oleh Direktorat Metrologi. Bahkan kemudian sebuah pabrik kWh meter multinasional yang memiliki basis produksi di Indonesia bahkan memiliki kWh meter standar yang tingkat ketelitiannya lebih tinggi dibanding yang dimiliki oleh Balai Diklat Metrologi. Dengan kondisi ini, untuk memenuhi "hukum" yang ditetapkan dengan UU maka kWh meter yang dimiliki oleh Balai Diklat Metrologi maupun oleh pabrik kWh meter tersebut harus mengacu pada kWh meter di Direktorat Metrologi. Namun, karena pengadaan kWh meter, khususnya di pabrik kWh meter tersebut dibeli untuk memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh pembelinya di luar negeri, maka kalibrasi atau tera yang dilakukan oleh Direktorat Metrologi tentunya tidak akan dapat memenuhi kebutuhan pabrik untuk mencapai tingkat mutu produksi yang dikehendaki. Bila hal ini terjadi maka pabrik harus mengeluarkan duplikasi investasi yang diperlukan untuk "mematuhi UU" dan di pihak lain untuk "memenuhi mutu produk yang akan diekspor". Bila hal ini terjadi dalam skala besar, maka sebuah industri multinasional akan berpikir ulang untuk memutuskan menanamkan investasi di Indonesia. Di satu pihak, bila ternyata pabrik tersebut hanyalah satusatunya pabrik yang membutuhkan ketelitian setinggi kWh meter standarnya, maka akan merupakan pemborosan bagi negara bila harus melakukan investasi "kWh meter" standar dengan ketelitian yang lebih tinggi dari standar pabrik tersebut. Pertimbangan lain yang perlu dikaji tentang ketentuan Pasal 8 ini adalah sifat dari definisi satuan dalam Sistem Internasional satuan: karena definisi yang ditetapkan oleh CGPM tersebut tidak bersifat kekal, definisi dapat berubah sesuai kebutuhan pengukuran internasional. Sebagai contoh, pada masa penetapan UU ini, standar primer panjang adalah prototipe meter platinum 1 meter yang disimpan di BIPM yang salinannya diberikan kepada negara-negara anggota Konvensi Meter sebagai standar nasional. Kemudian ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan pengukuran berubah sedemikian rupa sehingga definisi panjang dihubungkan dengan panjang gelombang stabilized helium neon laser. Bahkan, saat ini di dalam diskusi Consultative Committe on Length di BIPM dengan kebutuhan nano-length measurement, telah diteliti kemungkinan untuk meredefinisi meter dengan besaran optik. Bila Standar (ukuran) Nasional ditetapkan dengan PP, maka setiap perubahan definisi satuan akan memerlukan perubahan PP – yang di negara kita ini memerlukan waktu dan investasi yang tidak kecil – dan dengan amanah penetapan PP melalui UU, maka kegiatan penelitian di Indonesia yang bertujuan menyesuaikan diri dengan ilmu dan teknologi serta merespons kebutuhan pengukuran dan kemudian menggunakannya sebagai acuan pengukuran nasional dapat menjadi sebuah pelanggaran hukum terhadap persyaratan yang ditetapkan dengan UU. 93 Isu yang paling mutakhir di dalam masyarakat metrologi internasional adalah redefinisi kilogram, yang kemudian setelah dianalisis oleh Consultative Committee di BIPM akan memengaruhi definisi satuan dasar lainnya yang dalam realisasinya terhubung dengan definisi kilogram, yaitu ampere, mol dan kandela, serta realisasi dari besaran turunan massa seperti gaya, densitas, tekanan, dan sebagainya. Dalam UU yang saat ini berlaku, ketetapan mengenai "standar (ukuran) nasional" ini ditetapkan melalui sebuah PP yang menunjuk pada sebuah "benda/artifak" yang dimiliki oleh Indonesia (demikian juga tata cara pengurusan, pemakaian, pemeliharaan "benda/artifak" tersebut ditetapkan dengan PP sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8). Maka, bila terjadi perubahan definisi atau perubahan standar (ukuran) nasional karena kebutuhan ketelitian pengukuran di tingkat nasional, PP tersebut harus diubah supaya pengukuran yang dilakukan tidak melanggar hukum. Hal ini menjadi tidak efisien karena tentunya kebutuhan ketelitian pengukuran di industri yang berhubungan erat dengan daya saingnya tidak dapat menunggu proses perubahan PP tersebut. Ketentuan lain di dalam UU ini, yaitu: Pasal 3 Ayat (2): Definisi yang berlaku bagi satuan-satuan dasar seperti tersebut pada Ayat (1) pasal ini adalah definisi terbaru yang ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan Pasal 11 Ayat (1) Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini dibina oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu. Kedua ayat di atas merupakan ketentuan UU yang sangat baik untuk dapat merespons kebutuhan tanpa melalui pengaturan yang sangat ketat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU ini. Dengan mengacu pada Pasal 3 Ayat 1, maka dalam kegiatan metrologi nasional, definisi satuan dasar (bahkan satuan turunan) secara otomatis berubah bila terdapat ketetapan CGPM mengenai definisi satuan, dan secara otomatis pula setiap pihak yang membutuhkan ketelitian tertentu didasarkan pada definisi terbaru mendapat kebebasan untuk memperoleh ketertelusuran pengukurannya sesuai dengan definisi terbaru yang ditetapkan oleh CGPM, bila perlu dengan memanfaatkan standar (ukuran) yang dimiliki dan diacu oleh infrastruktur metrologi nasional negara lain. Kemudian dengan mengacu pada Pasal 11 Ayat (1), yaitu dengan menyerahkan tugas "membina" kepada sebuah lembaga pemerintah yang kuat, yang dibentuk dengan keputusan presiden, maka kebutuhan pengukuran nasional harus dianalisis oleh lembaga tersebut, dan kemudian lembaga tersebut yang bertanggung jawab untuk menyiapkan segala sesuatu tentang standar (ukuran) nasional yang dibutuhkan untuk mendukung daya saing bangsa, tentunya sesuai dengan kebutuhan pengukuran di negeri ini. Hal ini merupakan cara yang sangat efektif untuk memberikan dukungan ketertelusuran pengukuran untuk semua sektor kehidupan, dan perkembangan teknologi pengukuran, dengan ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) 94 akan dapat bergerak lebih dinamis untuk meresponse kebutuhan ketelitian pengukuran yang dibutuhkan secara nasional. Pasal 9 Tatacara pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian Standar Nasional yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. "Standar Ukuran Nasional (national measurement standard)", di dalam VIM didefinisikan sebagai "standar yang diakui melalui keputusan nasional untuk bertindak, di dalam sebuah negara, sebagai basis untuk menetapkan nilai dari standar lain dari besaran terkait. Karena fungsinya sebagai basis penetapan nilai besaran terkait, standar nasional merupakan standar yang nilainya harus dapat didiseminasikan ke standar-standar lain yang tingkat ketelitiannya lebih rendah. Dalam perkembangannya, standar nasional, terutama bagi negara-negara maju, merupakan realisasi dari definisi satuan yang ditetapkan oleh CGPM sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digerakkan oleh perkembangan kebutuhan ketelitian pengukuran untuk besaranbesaran tertentu. Dengan demikian tatacara pengurusan, pemeliharaan, pemakaian dan tentunya diseminasi standar nasional ke standar dengan tingkat ketelitian lebih rendah merupakan sebuah proses yang dinamis, yang terus berubah dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan ketelitian pengukuran di berbagai sektor kehidupan. Hal ini akan sulit dilakukan bila hal-hal tersebut harus diikat dengan ketentuan atau ketetapan pemerintah dalam PP yang secara ketat mengatur tatacara pengurusan, pemeliharaan, pemakaian dan tentunya diseminasi standar nasional. Penjelasan di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut: pada saat ini pengakuan terhadap kesetaraan standar nasional antarnegara diperoleh melalui proses uji banding antar pengelola standar nasional. Bila dalam sebuah proses uji banding, ternyata hasil pengukuran yang dilakukan oleh pengelola standar nasional ternyata menunjukkan hasil yang berbeda dengan hasil pengukuran yang menjadi kesepakatan dalam proses uji banding, tentunya diperlukan perubahan tatacara pengurusan, pemeliharaan, pemakaian dan tentunya diseminasi standar nasional. Bila tata-cara yang dijalankan oleh pengelola standar nasional telah ditetapkan di dalam PP, maka perubahan tersebut, yang dilakukan untuk menjamin kesetaraan dengan kesepakatan internasional, akan menjadi sebuah pekerjaan yang melanggar hukum, dalam hal ini pelanggaran terhadap PP yang menjadi amanah UU ini. Namun demikian bila perubahan tersebut tidak dilakukan, maka standar nasional menjadi tidak dapat diakui setara dengan kesepakatan internasional. Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa implementasi Pasal 9 UU ini dapat menjadi hambatan bagi pengelola standar nasional untuk memperoleh pengakuan internasional yang merupakan dasar partisipasi negara di dalam pasar global, mengingat proses revisi peraturan perundang-undangan termasuk PP di negara kita ini adalah sebuah proses yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak singkat. 95 Pasal 10 Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan dari UU ini memberikan informasi sebagai berikut: "Turunan-turunan langsung dari standar satuan ditujukan untuk menghindari pemakaian tidak terbatas atas Standar Nasional dan sekurang-kurangnya satu dari Meter Standar dan Kilogram Standar yang setingkat lebih rendah, dari Standar Nasional diserahkan kepada instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan Metrologi Legal untuk kepentingan umum." yang dapat diinterpretasikan bahwa Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 10 UU ini mengatur standar ukuran yang memiliki ketelitian satu tingkat lebih rendah dari standar nasional. Ketentuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1989 Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, yang di dalamnya menetapkan tingkatan standar ukuran sebagai berikut: Pasal 2 Ayat 1: Standar-standar untuk satuan ukuran mempunyai susunan sebagai berikut: Standar Tingkat I atau Standar Nasional Standar Tingkat II Standar Tingkat III Standar Tingkat IV Standar Kerja Ayat 2: Penetapan susunan Standar-standar untuk satuan ukuran dilakukan oleh Dewan Standardisasi Nasional Pengaturan ini menyebabkan pemerintah harus menetapkan hirarki standar ukuran mulai dari standar nasional sampai dengan standar kerja yang digunakan oleh berbagai pihak, karena di dalam UU ini maupun PP 2 Tahun 1989 tidak dijelaskan lingkup penerapan ketentuan ini. Hal ini tentunya dapat dikatakan tidak akan dapat dilaksanakan, dengan kata lain ketentuan dalam UU ini akan selalu dilanggar oleh pemerintah maupun pihak mana pun karena kebutuhan tiap pelaku metrologi tentunya berbeda-beda, demikian juga jenis standar juga akan selalu berkembang mengikuti kebutuhan ketelitian pengukuran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila kemudian pemerintah menetapkan jenis-jenis standar tertentu sebagai standar tingkat II, tingkat III, tingkat IV dan standar kerja, hal ini akan sangat menyulitkan bila pada suatu saat karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuat sebuah standar yang memiliki ketelitian di antara standar tingkat I dan tingkat II. Dengan pengaturan hal ini di dalam UU, maka penggunaan standar baru yang seharusnya dibutuhkan oleh penggunanya menjadi perbuatan melanggar hukum. 96 Demikian pula mengenai standar kerja: alat ukur yang memiliki ketelitian berbeda tentunya membutuhkan standar dengan ketelitian yang berbeda untuk pelaksanaan kalibrasinya. Bila jenis standar kerja ditetapkan oleh pemerintah, maka hal ini akan menutup kemungkinan bagi berbagai pihak untuk menggunakan standar kerja sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini bila jenis standar kerja yang ditetapkan oleh pemerintah jauh lebih teliti dari ketelitian yang seharusnya dibutuhkan oleh pemakainya, maka pengadaan standar kerja sesuai dengan ketetapan pemerintah akan merupakan pemborosan bagi penggunanya. Sebaliknya, bila jenis standar kerja yang ditetapkan oleh pemerintah memiliki tingkat ketelitian yang lebih rendah dari kebutuhan penggunanya maka ketentuan ini akan menutup kemungkinan bagi pengguna alat ukur untuk menggunakan standar kerja sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu pengaturan mengenai tingkatan standar semestinya tidak perlu diatur oleh pemerintah, karena penjelasan di atas. Dalam hal ini diperlukan pengaturan yang lebih fleksibel, sedemikian hingga setiap pihak yang membutuhkan standar ukuran dalam berbagai tingkatan sesuai dengan kebutuhannya dapat memberikan jaminan kebenaran pengukuran dengan tetap sesuai dengan ketentuan hukum yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada. 3.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran Dalam UU No. 2 Tahun 1981, ketentuan tentang Standar Pengukuran hanya mencakup ketentuan-ketentuan terkait dengan Standar Pengukuran Nasional (dinyatakan sebagai Standar Nasional Satuan Ukuran dalam UU). Di dalam UU No. 2 Tahun 1981, ketentuan tentang standar pengukuran nasional baru terbatas pada ketentuan-ketentuan tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, dan bahkan lebih terbatas lagi, standar nasional satuan ukuran untuk tujuh besaran dasar. Meskipun Pasal 9 UU No. 2 Tahun 1981 menyatakan bahwa Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, penjelasan pasal ini tidak mencerminkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mendiseminasikan satuan pengukuran dan standar pengukuran. Ketentuan selanjutnya dalam UU No. 2 Tahun 1981 sepenuhnya mengatur tentang metrologi legal. Ketentuan UU yang hanya memberikan penjelasan tentang metrologi legal, yang disepakati secara internasional melalui regulasi teknis untuk pengukuran, alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus tentu saja tidak dapat memayungi berbagai kegiatan kemetrologian yang tumbuh karena tuntutan kebutuhan pasar secara sukarela, seperti dalam proses produksi, penelitian, penilaian kesesuaian, akreditasi laboratorium dan berbagai keperluan lainnya. Terdapat bukti pula yang disampaikan oleh beberapa pengusaha swasta maupun BUMN, bahwa hasil-hasil kalibrasi oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi, yang secara internasional diakui, tidak dapat diterima oleh otoritas metrologi legal nasional karena kegiatan kalibrasi tersebut tidak ada ketentuannya di dalam UU. Kembali memperhatikan landasan filosofis kegiatan kemetrologian, yang tidak hanya ditujukan untuk penerapan regulasi teknis metrologi legal, tetapi juga ke semua aktivitas 97 pengukuran yang dilakukan secara sukarela, khususnya bila hasil-hasil pengukuran tersebut digunakan sebagai dasar keberterimaan dalam percaturan internasional, dapat dikatakan di sini bahwa UU No. 2 Tahun 1981 tidak memuat ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk memastikan terwujudnya ketertelusuran pengukuran bagi seluruh pemangku kepentingan kemetrologian. Lebih jauh lagi, dengan memperhatikan perlunya penguasaan ilmu-ilmu kemetrologian yang telah disepakati secara internasional dan didokumentasikan dalam bentuk rekomendasi, standar atau pedoman internasional, untuk mendiseminasikan satuan pengukuran dan standar pengukuran, terlihat dengan jelas bahwa perundang-undangan kemetrologian yang berlaku di wilayah RI di semua tingkatannya belum mencakup pentingnya pengembangan ilmu kemetrologian, termasuk di dalamnya pengembangan dan pengelolaan standar pengukuran nasional dan ilmu-ilmu pendukungnya. 3.5 METROLOGI LEGAL UU No. 2 Tahun 1981 telah memiliki pengaturan yang komprehensif tentang sebagian kegiatan metrologi legal, yaitu peneraan alat ukur, alat takar dan perlengkapannya, yang diatur dalam Bab IV: "Alat Ukur, Takar Timbang dan Perlengkapannya", Bab V: "Tanda Tera" serta Bab VI: "Barang Dalam Keadaan Terbungkus". Pengaturan kegiatan metrologi legal ini juga telah dilengkapi dengan ketentuan tentang Penegakan Hukum yang diatur dalam Bab VII: "Perbuatan yang Dilarang", Bab VIII: "Ketentuan Pidana" dan Bab IX: "Pengawasan dan Penyidikan". Dalam hal ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan metrologi legal, diperlukan perhatian khusus terhadap ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981 untuk meningkatkan keefektifan kegiatan metrologi legal dalam melindungi kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha, tentunya dengan cara yang tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing produknya di pasar global. Ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981 yang memerlukan perhatian khusus tersebut adalah: BAB IV: Alat Ukur, Takar Timbang dan Perlengkapannya Pasal 12 Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang: (a) Wajib ditera dan ditera ulang; (b) dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya; syaratsyaratnya harus dipenuhi. Pasal 13 Menteri mengatur tentang: (a) pengujian dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya; (b) pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang; (c) tempat-tempat dan daerah-daerah dimana dilaksanakan tera dan tera ulang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis-jenis tertentu. 98 BAB VII: Perbuatan yang Dilarang Pasal 25 Dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai: (a) .... (b) alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain daripada yang dimaksud dalam atau berdasarkan Undang-undang ini;di tempat usaha; di tempat untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk kepentingan umum; di tempat melakukan penyerahan-penyerahan; di tempat menentukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran atau timbangan. Dalam Naskah Akademik ini, ketentuan tersebut di atas dianalisis secara khusus, karena di dalam implementasinya melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya serta dalam praktik terdapat bukti bahwa ketentuan tersebut tidak mampu memosisikan kegiatan metrologi legal sesuai dengan definisinya maupun kaidah internasional praktik kegiatan metrologi legal. Pasal 12 dari UU No. 2 Tahun 1981 merupakan ketentuan pertama yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai ketentuan tentang lingkup kegiatan metrologi legal yang berkaitan dengan peralatan ukur – yang diatur dalam Undang-Undang. Secara eksplisit Pasal 12 hanya memberikan ketentuan bahwa jenis alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang "wajib tera/tera ulang" dan dapat dibebaskan dari "tera/tera ulang" ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pernyataan ini dengan sendirinya memiliki implikasi bahwa yang dimaksud kegiatan metrologi legal terhadap peralatan ukur yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah hanya mencakup tera dan tera ulang. Dengan mengacu pada cakupan kegiatan metrologi legal, dalam hal ini tentang jaminan kemetrologian yang seharusnya mencakup hal-hal yang telah didefinisikan di dalam VML sebagaimana dijelaskan di atas, terlihat jelas bahwa tera dan tera ulang yang dinyatakan pada Pasal 12 UU No. 2 1981 baru mencakup satu bagian kecil dari "pengendalian legal terhadap alat ukur" yaitu verifikasi (verification), yang di dalam VML didefinisikan sebagai: Verifikasi alat ukur (verification of measuring instruments): didefinisikan sebagai prosedur (selain persetujuan tipe) yang mencakup pemeriksaan dan penandaan dan/atau penerbitan sertifikat verifikasi, yang menyatakan dan memberikan konfirmasi bahwa alat ukur yang diperiksa sesuai dengan persyaratan yang dinyatakan di dalam perundang-undangan (VML 2.13) Bila "tera" di dalam UUML dimaksudkan sebagai kegiatan "verifikasi (menurut OIML VML)", sedangkan di dalam definisi verifikasi dinyatakan secara eksplisit bahwa verifikasi adalah "prosedur, selain type approval", kita bisa melihat bahwa di dalam UUML belum terdapat pengaturan tentang "uji tipe", yang setara dengan kegiatan "sertifikasi produk untuk alat ukur". 99 Terkait dengan peran metrologi untuk meningkatkan daya saing, metrologi legal seharusnya dapat berkontribusi dalam hal penerapan regulasi teknis untuk mencegah alat ukur yang memiliki mutu rendah atau membahayakan pemakainya, serta menyiapkan infrastruktur teknis yang setara dengan infrastruktur teknis metrologi legal negara lain. Dengan demikian, pemenuhan terhadap persyaratan metrologi legal yang ditetapkan oleh pemerintah sekaligus dapat menjadi paspor bagi produk alat ukur dalam negeri untuk dapat diperdagangkan di pasar global. Dalam hal ini, kegiatan metrologi legal yang perlu untuk dikembangkan adalah persetujuan tipe (type approval), yang secara teoritis maupun praktis belum diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981. Ketentuan dalam Pasal 12 UU No. 2 Tahun 1981 ini dalam penerapannya diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 Tentang Wajib dan Pembebasan untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP). Dari analisis terhadap isi PP No. 2 Tahun 1985 ini diperlukan perhatian terhadap beberapa ketentuan berikut, karena ketentuanketentuan tersebut pada saat diimplementasikan menyebabkan kurang efektifnya peran kegiatan metrologi legal dalam melindungi kepentingan umum maupun dalam mendukung daya saing produk nasional, yang tentunya diharapkan akan mendorong kemajuan ekonomi nasional. BAB II UTTP YANG WAJIB DITERA DAN DITERA ULANG Pasal 2 UTTP yang secara langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan untuk: (a) kepentingan umum; (b) usaha; (c) menyerahkan atau menerima barang; (d) menentukan pungutan atau upah; (e) menentukan produk akhir dalam perusahaan; (f) melaksanakan peraturan perundang-undangan; wajib ditera dan ditera ulang. Ketentuan tentang wajib tera dan tera untuk peralatan ukur yang ditetapkan dalam Butir (a) sampai dengan (f) Pasal 2 PP No. 2 Tahun 1985 tersebut di atas secara eksplisit mewajibkan semua alat ukur dalam semua kegiatan diverifikasi oleh lembaga yang bertanggung jawab dalam kegiatan metrologi legal. Cakupan jenis peralatan yang wajib tera dan tera ulang ini jauh lebih luas daripada cakupan kegiatan metrologi legal yang direkomendasikan dalam berbagai dokumen internasional, yang oleh OIML dinyatakan bahwa kegiatan metrologi legal seharusnya ditujukan untuk memastikan mutu dan kredibilitas pengukuran yang berkaitan dengan pengendalian oleh pemerintah, pengukuran dalam perdagangan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan. 100 Dengan kata lain, metrologi legal diperlukan sebagai penengah atau wasit dalam transaksi business to customer: bila pelanggan atau masyarakat tidak punya cukup piranti atau kekuatan untuk memastikan ukuran dari sesuatu yang diterimanya, maka pemerintah harus campur tangan untuk melindungi pelanggan atau masyarakat. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kondisi transaksi busines to business, dalam hal kedua belah pihak memiliki piranti untuk memastikan, baik kebenaran ukuran yang dijual maupun kebenaran ukuran yang diterima. Dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan berbangsa dan negara, mutlak diperlukan pertumbuhan ekonomi yang memadai, dan kata kunci yang diperlukan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi adalah daya saing produk nasional dalam pasar global, dalam cakupan definisi produk yang luas baik produk barang, jasa maupun sumber daya manusia yang dapat diterima dalam pasar global. Peran metrologi dalam mendorong daya saing dapat diilustrasikan dengan baik dengan mengambil contoh produk barang atau komoditas ekspor. Telah diketahui secara umum bahwa untuk dapat menghasilkan komoditas ekspor yang dapat diterima oleh negara pembeli, komoditas tersebut harus memenuhi syarat-syarat mutu yang ditetapkan oleh negara pembeli dan tidak dimungkiri bahwa syarat-syarat mutu tersebut pada umumnya didasarkan pada hasil pengukuran terhadap karakteristik komoditas. Komoditas tentunya dihasilkan oleh suatu tempat usaha, dalam hal ini pabrik, dan untuk memastikan bahwa produk akhir dapat diterima oleh calon pembeli, pengusaha atau produsen pasti memiliki mekanisme penilaian produk akhir. Mengacu pada Pasal 12 PP No. 2 Tahun 1985, alat ukur yang digunakan di tempat usaha dan penentuan produk akhir wajib untuk ditera dan ditera ulang. Maka, pemerintah atau lembaga yang ditunjuk untuk bertindak atas nama pemerintah melakukan proses peneraan yang bermuara pada keputusan alat ukur layak dipakai atau tidak. Penentuan oleh atau atas nama pemerintah bahwa alat ukur layak pakai atau tidak layak pakai untuk produksi atau proses penentuan karakteristik produk akhir mengandung konsekuensi bahwa pemerintah mengambil tanggung jawab tentang kebenaran alat ukur di berbagai proses produksi. Hal ini menjadi pengaturan yang tidak efektif atau tidak efisien mengingat bila ternyata komoditas yang diproduksi dengan melibatkan peralatan ukur yang dinyatakan layak pakai dan karakteristik akhirnya telah ditentukan menggunakan alat ukur yang dinyatakan layak pakai oleh pemerintah, tetapi kemudian ternyata produk tersebut ditolak oleh negara pembeli, dan ternyata penyebabnya adalah kesalahan pada alat ukur yang dinyatakan layak pakai tersebut, maka pengusaha dapat menuntut pemerintah karena kesalahan dalam penentuan layak pakai atau tidaknya peralatan. Dalam proses produksi, pemilihan alat ukur yang diperlukan dalam proses produksi dan juga alat ukur yang diperlukan dalam penentuan karakteristik akhir produk tentunya sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk yang diinginkan atau ditetapkan oleh calon pembeli. Jenis dan macam komoditas yang potensial sangat bervariasi mulai dari produk agro, produk mekanik, produk kimia, farmasi, dan berbagai macam lainnya. Dengan sendirinya, karakteristik alat ukur yang diperlukan juga sangat bervariasi, yang menjadi 101 sangat tidak efektif bila karakteritik alat ukur yang digunakan untuk setiap jenis produk harus ditetapkan dan dinilai kelayakannya oleh negara. European Directive on NonAutomatic Weighing Instruments, yang menjadi dokumen wajib yang harus diacu oleh semua negara anggota Uni Europa, memberikan contoh yang baik tentang cakupan alat ukur yang harus dikendalikan oleh pemerintah, sebagai berikut: Article 1 (2): Dalam directive ini timbangan non-otomatis dibedakan menjadi 2 (dua) kategori: (a) untuk penentuan massa dalam transaksi komersial; untuk penentuan massa dalam perhitungan tarif, pajak, bonus, penalti, upah, ganti rugi, atau jenis pembayaran lainnya; untuk penentuan massa dalam penerapan perundangan, regulasi atau pendapat tenaga ahli dalam pengadilan; untuk penentuan massa dalam penimbangan pasien, racikan obat di apotik, pemeriksaan kesehatan, laboratorium farmasi; untuk penentuan harga berdasarkan massa dalam penjualan langsung atau pengemasan barang dalam keadaan terbungkus; (b) timbangan selain yang digunakan untuk kategori (a) Article 2 (2): negara anggota harus menjamin bahwa alat ukur tidak boleh digunakan untuk fungsi-fungsi termasuk kategori yang dinyatakan dalam Article 1 (2) (a) kecuali telah memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam directive ini. Ketentuan dalam EU directive ini memberikan kewajiban bagi pemerintah negara-negara Eropa untuk mengendalikan penggunaan timbangan non-otomatis yang digunakan dalam kegiatan yang dinyatakan pada Article 1(2) Point (a), sedangkan untuk yang tidak tercakup dalam Point (a) maka pengendaliannya menjadi domain sukarela atau menjadi tanggung jawab pemakainya sendiri. Artinya sebuah timbangan jenis tertentu, bila digunakan untuk kegiatan peracikan obat di apotik harus dikendalikan oleh pemerintah dan dalam hal ini harus ditera dan ditera ulang. Sebaliknya, bila timbangan dari jenis yang sama digunakan dalam penimbangan komponen kendaraan bermotor untuk keperluan ekspor yang harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemilik merek kendaraan bermotor, hal itu menjadi tanggung jawab pemiliknya sendiri untuk memastikan bahwa timbangan tersebut akan mampu memastikan persyaratan massa komponen yang ditetapkan oleh pemilik merek. PP No. 2 Tahun 1985 sebenarnya telah mengatur juga tentang jenis-jenis alat yang dapat dibebaskan dari tera ulang atau dibebaskan dari tera dan tera ulang dengan ketentuan sebagai berikut: BAB III UTTP YANG DIBEBASKAN DARI TERA ULANG Pasal 5 (1) UTTP yang digunakan untuk pengawasan (kontrol) di dalam perusahaan atau tempat-tempat yang ditetapkan oleh Menteri, dapat dibebaskan dari tera ulang. 102 (2) Untuk memperoleh pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pemilik atau pemakai UTTP yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya. BAB IV UTTP YANG DIBEBASKAN DARI TERA DAN TERA ULANG Pasal 8 UTTP yang khusus diperuntukkan atau dipakai untuk keperluan rumah tangga dibebaskan dari tera dan tera ulang. Bila ketentuan ini diterapkan, khususnya Pasal 5, maka ketentuan ini dapat memberikan beban tambahan yang tidak perlu bagi pemilik alat ukur, yang seharusnya bisa dihindari bila cakupan tentang jenis alat ukur yang harus dikendalikan oleh pemerintah telah ditetapkan dengan jelas sebagaimana dicontohkan dalam EU Directive, sedemikian hingga tidak diperlukan proses-proses tertentu yang justru menyebabkan proses tambahan yang tidak membawa nilai tambah dari produk yang diharapkan memiliki daya saing yang memadai. Barang Dalam Keadaan Terbungkus (pre-packaged goods) diatur dalam BAB VI UU No. 2 Tahun 1981 dengan ketentuan sebagai berikut: BAB VI BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS Pasal 22 (1) Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual, ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai: (a) nama barang dalam bungkusan itu; (b) ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-undang ini; (c) jumlah barang dalam bungkusan itu jika barang itu dijual dengan hitungan (2) Tulisan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini harus dengan angka Arab dan huruf latin disamping huruf lainnya dan mudah dibaca. Pasal 23 (1) Pada tiap bungkus atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undangundang ini wajib dicantumkan nama dan tempat perusahaan yang membungkus. (2) Semua barang yang dibuat atau dihasilkan oleh perusahaan yang dalam keadaan tidak terbungkus dan diedarkan dalam keadaan terbungkus, maka perusahaan yang melakukan pembungkusan diwajibkan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang ini serta menyebutkan nama dan tempat kerjanya. Pasal 24 103 Pengaturan mengenai barang-barang dalam keadaan terbungkus sesuai Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Sebagai ketentuan umum di dalam peraturan perundang-undangan utama, ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981 yang mengatur tentang barang dalam keadaan terbungkus dapat dipandang cukup memadai. Namun demikian dalam implementasinya perlu untuk mempertimbangkan pelaksana pengendalian maupun pengawasan dari BDKT ini, karena sebuah barang dapat menjadi obyek dari berbagai macam regulasi yang diatur oleh regulator yang berbeda. Sebagai contoh, makanan atau bahan makanan dalam keadaan terbungkus tentunya selain harus menjamin ukuran (massa atau volume) juga harus memenuhi regulasi yang terkait dengan kandungan zat-zat atau bahan tertentu yang bila berlebih dapat membahayakan masyarakat yang mengonsumsinya. Regulasi tentang kandungan zat-zat kima dalam makanan di Indonesia saat ini menjadi tanggung jawab Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM), sehingga para produsen wajib untuk memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh BPOM melalui proses administratif dan teknis tertentu. Dalam praktik, proses sertifikasi dan perijinan tentunya memerlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen, bila kemudian terkait dengan implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian. Pengendalian dan pengawasan ukuran dari produk yang sama tersebut diterapkan secara kaku untuk harus dilakukan oleh regulator yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pengawasan ukuran barang dalam keadaan terbungkus dan hal ini dapat memberikan beban biaya tambahan bagi produsen, yang bila terkait dengan produk ekspor dapat menambah komponen biaya yang kemudian diperhitungkan sebagai harga jualnya. Dalam kaitannya dengan daya saing, tentunya harga yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh penerapan regulasi oleh pemerintah ini, dapat menyebabkan turunnya daya saing produk barang dalam keadaan terbungkus. 104 IV. PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL sebuah kebutuhan untuk meningkatkan daya saing bangsa Pada saat ini, peran metrologi sebagai dasar sistem standar dan penilaian kesesuaian terlihat tidak optimal, bahkan dalam beberapa aspek sering terjadi duplikasi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan metrologi. Penyebab utama lemahnya institutional framework metrologi disebabkan oleh kurang sinerginya aturan-aturan terkait dengan metrologi – yang merupakan kegiatan lintas disiplin dan lintas lembaga – yang diterapkan oleh regulator. Sebab utama dari lemahnya institutional framework metrologi yang kemudian menyebabkan lemahnya governement efficiency - sebagai faktor pendorong utama penguatan state capacity untuk memacu daya saing nasional - adalah peraturan perundangan di bidang metrologi yang belum sejalan dengan perkembangan metrologi global, sehingga secara otomatis menghambat keberterimaan internasional terhadap sektor-sektor lain yang mendasarkan diri pada metrologi. OIML D 1: Elements of Law on Metrology memberikan rekomendasi tentang infrastruktur metrologi nasional, yang terdiri dari: (a) perangkat hukum yang mencakup undang-undang dan peraturan tentang metrologi (b) suatu otoritas pemerintah yang bertanggungjawab atas kebijakan metrologi nasional dan koordinasi antar departemen/lembaga terkait dengan metrologi (selanjutnya disebut otoritas metrologi nasional) (c) satu atau lebih lembaga yang bertugas dalam tingkat nasional melaksanakan kebijakan metrologi (d) sistem standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan pengukuran (e) sistem sukarela untuk mengakreditasi laboratorium, lembaga sertifikasi dan lembaga inspeksi (f) struktur untuk mendiseminasikan pengetahuan dan kompetensi metrologi (g) pelayanan jasa kepada perindustrian dan perekonomian dalam bidang metrologi Elemen pertama dari sebuah infrastruktur metrologi nasional adalah seperangkat peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk memberikan payung hukum dan landasan pengoperasian sistem metrologi nasional. Sejalan dengan rekomendasi dari OIML D 1 dan hipotesis penelitian yang mendasari penyusunan Naskah Akademik ini, pada Bagian II dan III telah dijelaskan secara berturut-turut tentang praktik internasional pengembangan peraturan perundang-undangan kemetrologian dan kajian terhadap substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981 yang sampai saat ini masih merupakan 105 satu-satunya peraturan perundang-undangan utama yang memuat ketentuan tentang kegiatan kemetrologian. Hasil kajian terhadap UU No. 2 Tahun 1981 menunjukkan bahwa meskipun judul dan latar belakang UU ini adalah METROLOGI LEGAL, UU ini telah memberikan amanah yang harus ditindaklanjuti tentang pelaksanaan kegiatan METROLOGI ILMIAH yang mencakup satuan pengukuran dan standar pengukuran termasuk lembaga pengelola standar pengukuran nasional melalui ketentuan yang diberikan dalam Bab II tentang Satuan-Satuan dan Bab III tentang Standar-Standar Satuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat penetapannya UU No. 2 Tahun 1981 merupakan sebuah UU yang cukup lengkap sebagai landasan bagi pemerintah untuk melaksanakan kewenangannya terkait dengan kegiatan metrologi, yaitu untuk menetapkan regulasi-regulasi teknis terkait dengan proses pengukuran dan alat ukur yang diperlukan untuk mengatur ketertiban umum. Namun demikian sejalan dengan pergeseran sistem ekonomi nasional yang mengarah ke dalam sebuah sistem ekonomi pasar, yang dipertegas dengan ratifikasi the Agreement on Establishing WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994, terdapat beberapa kelemahan sistem metrologi nasional yang bersumber dari: kelemahan substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian utama yang sedang berlaku di wilayah RI, yaitu UU No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal; dan kelemahan implementasi UU No. 2 Tahun 1981, yang bersumber dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan UU ke dalam aturan pelaksanaannya. 4.1 KELEMAHAN SUBSTANSI UU NO. 2 TAHUN 1981 Berdasarkan analisis kritis terhadap substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981 yang telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, terdapat beberapa kelemahan substansi UU No. 2 Tahun 1981 yang dapat menyebabkan kurang efektifnya sistem metrologi nasional untuk bertindak sesuai dengan posisinya sebagai pondasi untuk membangun daya saing bangsa. Kelemahan-kelemahan substansi dari UU tersebut dapat diuraikan sebagaimana penjelasan di bawah ini 4.1.1 Latar Belakang dan Lingkup Kegiatan Kemetrologian Latar belakang penyusunan UU No. 2 Tahun 1981, sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans menimbang UU tersebut, hanya mencakup pertimbangan yang diperlukan oleh negara untuk mengatur kegiatan metrologi legal. Hal ini diperkuat juga dengan pembedaan definisi metrologi pada Ketentuan Umum UU Pasal 1 (a) dengan definisi metrologi legal pada Pasal 1 (b). Meskipun Bab II tentang Satuan-Satuan dan Bab III tentang Standar-Standar Satuan memuat ketentuan yang berkait dengan kegiatan METROLOGI ILMIAH, ketentuan yang ada hanya menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan standar pengukuran nasional diatur oleh ketentuan lain di luar pengelolaan kegiatan METROLOGI LEGAL di wilayah RI. Ketentuan lain dalam UU No. 2 Tahun 1981, mulai Bab IV sampai dengan Bab XI sepenuhnya mengatur tentang dua aspek 106 kegiatan METROLOGI LEGAL, yaitu peneraan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya, dan pengendalian barang dalam keadaan terbungkus serta ketentuanketentuan penegakkan hukum untuk kegiatan metrologi legal. Secara substansial, UU ini belum mencakup kegiatan yang METROLOGI INDUSTRI/TERAPAN yang diperlukan untuk membangun rantai ketertelusuran pengukuran bagi seluruh pelaku dan pengguna hasil pengukuran di wilayah RI, serta persyaratan yang diperlukan untuk menjamin kompetensi lembaga-lembaga kemetrologian. 4.1.2 Prinsip Dasar Kegiatan Kemetrologian Ketentuan umum dari sebuah UU memuat definisi-definisi yang diperlukan untuk melaksanakan UU tersebut. Ketentuan umum dari UU No. 2 Tahun 1981 Pasal 1 (a) sampai dengan (t) memberikan definisi-definisi terkait dengan kegiatan kemetrologian yang diperlukan untuk menginterpretasikan dan mengimplementasikan UU No. 2 Tahun 1981. Beberapa definisi yang diberikan di dalam ketentuan umum UU No. 2 Tahun 1981 secara substansial telah tidak sesuai lagi dengan definisi-definisi yang pada saat ini digunakan oleh masyarakat kemetrologian internasional. Definisi-definisi tersebut meliputi: Pasal 1 (b) tentang metrologi legal memberikan definisi yang telah tidak sesuai dengan Vocabulary of Legal Metrology (VML), Pasal 1 (f) tentang satuan sistem internasional, Pasal 1 (g) tentang satuan dasar, Pasal 1 (i) tentang standar satuan memberikan definisi yang tidak sesuai dengan definisi yang diberikan dalam International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology (VIM), Pasal 1 (j) tentang standar induk satuan dasar memuat istilah yang tidak digunakan lagi dalam Sistem Internasional Satuan, dan definisinya "sebagai standar satuan yang diterima dari Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai Standar Nasional atau Standar Tingkat Satu" merupakan ketentuan yang tidak dapat diimplementasikan lagi, kecuali untuk standar ukuran massa, karena saat ini BIPM tidak lagi bertindak sebagai penyedia standar pengukuran nasional, melainkan pada kegiatan yang diperlukan untuk menjamin realisasi standar pengukuran nasional yang dilakukan oleh lembaga metrologi nasional dari berbagai negara, Pasal 1 (p) tentang tempat usaha memberikan definisi yang dapat menyebabkan kesalahan implementasi kegiatan metrologi legal, dan ketentuan inilah yang saat ini dalam implementasinya seringkali menjadi penyebab konflik antara laboratorium kalibrasi dengan pelaksana kegiatan metrologi legal serta penyebab duplikasi investasi pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan menjamin ketertelusuran pengukurannya dengan kewajiban berdasarkan UU No. 2 Tahun 1981. 4.1.3 Otoritas Kegiatan Kemetrologian Penjelasan UU no. 2 Tahun 1981 menyatakan bahwa "menteri yang bertanggungjawab terhadap implementasi UU ini adalah Menteri yang bertanggung-jawab dalam bidang 107 perdagangan". Hal ini sejalan dengan perkembangan kegiatan metrologi legal pada saat penyusunan UU ini, dimana regulasi teknis terhadap proses pengukuran dan alat ukur, serta fokus kegiatan OIML bertitik berat pada penyusunan rekomendasi-rekomendasi untuk proses pengukuran dan alat ukur dalam perdagangan. Sejalan dengan perkembangan kegiatan metrologi legal dan juga fokus kegiatan OIML yang semakin meluas tentunya diperlukan keterlibatan dari berbagai departemen dan lembaga pemerintah lainnya yang berkepentingan dengan kegiatan kemetrologian sebagai bagian dari otoritas kemetrologian nasional untuk menetapkan berbagai kebijakan kemetrologian di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, ketentuan dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 tentang lembaga pembina standar nasional satuan ukuran, telah ditindaklanjuti dengan PP No. 2 Tahun 1989 Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, Keppres No. 7 Tahun 1989 Tentang Dewan Standardisasi Nasional, Keppres No. 13 Tahun 1997 Tentang Badan Standardisasi Nasional, PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional, dan Keppres No. 79 Tahun 2001 Tentang Komite Standar Nasional Satuan Ukuran, yang bertugas untuk memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, sedangkan pengelolaan teknis ilmiah standar nasional satuan ukuran, berdasarkan Keppres 79 Tahun 2001 didelegasikan kepada unit kerja di bawah LIPI yang bergerak di bidang metrologi. Kegiatan untuk mengimplementasikan Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 ini di Indonesia dikenal dengan kegiatan METROLOGI TEKNIK. Disamping otoritas kemetrologian yang secara langsung terkait dengan implementasi ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 di atas, terdapat pula kegiatan METROLOGI RADIASI yang pengawasannya menjadi tanggung-jawab Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1997 dan pengelolaan standar pengukuran radiasi yang menjadi tanggung jawab Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) c.q Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR). Otoritas lain terkait dengan kemetrologian adalah Departemen Kesehatan yang melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 363/MENKES/PER/IV/1998 menetapkan pengujian dan kalibrasi alat kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan yang sampai saat ini belum bisa diimplementasikan secara efektif untuk memastikan kebenaran pengukuran yang diperlukan dalam pelayanan kesehatan. Demikian pula dengan kegiatan pengukuran cuaca dan geofisika yang dilaksanakan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), serta pengukuran untuk keperluan inspeksi dan perawatan pesawat di bawah kewenangan Departemen Perhubungan c.q Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU). Sampai saat ini, BMG sebagai penanggungjawab pengukuran cuaca di wilayah RI dan juga lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bergerak di bidang penerbagan seringkali masih harus mengalibrasikan peralatannya secara langsung ke laboratorium kalibrasi di luar negeri, sebagai akibat belum tersedianya standar-standar pengukuran nasional terkait dengan bidang tersebut. Perkembangan kegiatan kemetrologian di wilayah RI saat ini tampak kurang terkoordinasi dengan baik, baik dari sisi ketersediaan standar pengukuran nasional, 108 ketersediaan laboratorium kalibrasi yang kompeten, serta penetapan regulasi teknis tentang proses pengukuran dan alat ukur untuk berbagai bidang aplikasi kemetrologian. Hal ini dapat disebabkan oleh cakupan Otoritas Kemetrologian sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1981 yang baru mencakup Otoritas untuk kegiatan metrologi legal. Kurangnya koordinasi antara kegiatan metrologi yang bersifat sukarela, yang dilakukan oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh KAN dengan pelaksana kegiatan metrologi legal seringkali menyebabkan konflik dan bahkan menyebabkan kerugian bagi pelaku usaha. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan kegiatan metrologi legal sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Penyusunan dan penetapan UU No. 2 Tahun 1981 ini dilakukan jauh sebelum munculnya wacana otonomi daerah, sehingga belum mengakomodasi hubungan antara pusat dan daerah dalam kegiatan kemetrologian. Hal ini menyebabkan kegiatan metrologi legal di daerah, meskipun telah diatur melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 731/MPP/Kep/10/2002 tentang Pengelolaan Kemetrologian dan Pengelolaan Laboratorium Kemetrologian, kemudian Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 633/MPP/Kep/10/2004 tentang Pedoman Penilaian Laboratorium Metrologi Legal, serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 634/MPP/Kep/10/2004 tentang Pedoman Pengelolaan Laboratorium Metrologi Legal, belum dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan kegiatan metrologi legal. 4.1.4 Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional Lembaga Kemetrologian yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah Lembaga Pembina Standar Nasional Satuan Ukuran sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) dan (2). Ketentuan ini bila tidak dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8, 9 dan 10 merupakan ketentuan yang sejalan dengan perkembangan sistem metrologi internasional, di mana setiap negara membentuk Lembaga Metrologi Nasional yang sepenuhnya bertanggungjawab untuk mengelola standar pengukuran nasional. Namun demikian bila dikaitkan dengan tugas lembaga ini untuk mengelola standar induk satuan dasar sesuai dengan Pasal 8, dan definisi standar induk satuan dasar dalam Pasal 1 (j) maka ketentuan dalam Pasal 11 ini menjadi tidak dapat diimplementasikan, kecuali untuk standar pengukuran massa, karena BIPM saat ini bukan lagi bertindak sebagai penyedia standar pengukuran nasional bagi negara-negara anggota Konvensi Meter. Bila ketentuan ini tetap digunakan untuk pembinaan standar pengukuran massa, hal ini dapat menjadi penghambat dari proses yang diperlukan bila definisi standar massa diubah sesuai dengan kesepakatan CGPM diharapkan dapat terlaksana pada tahun 2011. Lebih jauh lagi bila dihubungkan dengan Pasal 9 yang menyatakan bahwa prosedur (tatacara) pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian standar nasional satuan ukuran ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah, maka lembaga ini menjadi tidak berwenang untuk melakukan dan mengembangkan prosedur dan metode yang diperlukan untuk menjamin 109 kesetaraan dan pengakuan masyarakat internasional terhadap standar pengukuran nasional RI. Sedangkan pemegang wewenang dan tanggung-jawab kegiatan Metrologi Legal, sesuai dengan lingkup dan penanggung-jawab UU No. 2 Tahun 1981, adalah Departemen Perdagangan, sebagai departemen yang pada saat ini bertanggung-jawab dalam kegiatan perdagangan. Untuk melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya terkait dengan kegiatan metrologi legal, di dalam struktur Departemen Perdagangan dibentuk Direktorat Metrologi yang selama ini mewakili keanggotaan RI dalam forum APLMF dan OIML 4.1.5 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran Ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 terkait dengan adopsi satuan ukuran, sebagaimana analisis dalam bagian sebelumnya, bersifat terlalu mengikat dan dapat menghambat proses-proses yang diperlukan untuk beradaptasi dengan perkembangan Sistem Internasional Satuan. Ketentuan-ketentuan tentang satuan pengukuran yang secara substansial tidak sesuai lagi dengan perkembangan Sistem Internasional Satuan, atau menghambat penggunaan satuan pengukuran yang diperlukan oleh sektor tertentu atau kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain: ketentuan dalam Pasal 2 yang membatasi penggunaan satuan legal sesuai Sistem Internasional Satuan menjadi penggunaan satuan SI, ketentuan dalam Pasal 7 (b) tentang satuan tambahan yang sudah tidak digunakan lagi dalam klasifikasi satuan berdasarkan Sistem Internasional Satuan, ketentuan dalam Pasal 5 yang menyebutkan secara rinci perkalian atau pembagian dalam Sistem Internasional Satuan yang dapat menyebabkan pembatasan perkalian atau pembagian satuan yang dapat digunakan di wilayah RI, Ketentuan dalam Pasal 7 (c) membuka kemungkinan penggunaan satuan-satuan lain di luar SI, merupakan ketentuan yang inkonsisten dengan ketentuan dalam Pasal 2, yang menyatakan "Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan satuan-satuan SI" artinya bila PP menetapkan penggunaan satuan di luar SI, akan terjadi pelanggaran terhadap Pasal 2 UU ini, dengan kata lain terjadi inkonsistensi pengaturan tentang penggunaan satuan. Sedangkan berkaitan dengan standar pengukuran, khususnya standar pengukuran nasional, ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981 memiliki kelemahan sebagai berikut: 110 istilah Standar Induk Satuan Dasar dalam Pasal 1 (j) merupakan istilah yang tidak pernah digunakan dalam sistem pengukuran global, definisi Standar Induk Satuan Dasar dalam Pasal 1 (j) sudah tidak relevan lagi dengan fungsi BIPM pada saat ini, karena kecuali untuk massa standar pengukuran primer sebagai realisasi definisi satuan dalam Sistem Internasional Satuan pada saat ini dapat dikembangkan oleh tiap-tiap lembaga pengelola standar pengukuran nasional, dan definisi standar massa sebagai realisasi kilogram pun pada saat ini direkomendasikan oleh CGPM untuk diubah menjadi definisi berdasarkan tetapan alamiah, ketentuan dalam Pasal 8 yang mengamanahkan penetapan standar induk satuan dasar melalui Peraturan Pemerintah dapat menghambat pengembagan standar pengukuran nasional yang diperlukan untuk mengantisipasi kebutuhan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, ketentuan dalam Pasal 8 yang hanya mengatur pengelolaan standar induk satuan dasar dapat menyebabkan pembatasan kegiatan pengelolaan standar pengukuran nasional hanya pada tingkat standar pengukuran untuk besaran dasar, ketentuan dalam Pasal 9 yang mengamanahkan penetapan tata cara pengurusan dan pemeliharaan standar pengukuran nasional melalui peraturan pemerintah akan membatasi riset pengembangan metode realisasi dan diseminasi standar pengukuran nasional oleh lembaga metrologi nasional, dan tidak relevan lagi dengan pengembangan sistem pengukuran global yang didasarkan pada kemampuan lembaga metrologi nasional untuk merealisasikan dan mendiseminasikan standar pengukuran nasional, ketentuan dalam Pasal 10 yang mengamanahkan penetapan susunan turunan dari standar induk satuan dasar melalui peraturan pemerintah telah tidak relevan lagi, karena diseminasi standar pengukuran nasional baik untuk besaran dasar maupun besaran turunan dalam sistem metrologi modern didasarkan pada kompetensi lembaga metrologi nasional dan kompetensi laboratorium kalibrasi yang diakreditasi, ketentuan dalam Pasal 11 merupakan ketentuan yang sangat relevan dengan sistem pengukuran global namun demikian ketentuan dalam Pasal 11 ini dapat menjadi tidak efektif karena ketentuan-ketentuan lain yang diberikan dalam Pasal 8, 9 dan 10. 4.1.6 Metrologi Legal Secara eksplisit, UU No. 2 Tahun 1981 hanya mengatur salah satu aspek kegiatan metrologi legal, yaitu kegiatan tera awal, tera ulang dan pengendalian barang dalam keadaan terbungkus. Bila "tera" di dalam UU No. 2 Tahun 1981 dimaksudkan sebagai kegiatan "verifikasi (menurut OIML VML)", sedangkan di dalam definisi verifikasi dinyatakan secara eksplisit bahwa verifikasi adalah "prosedur, selain type approval", kita bisa melihat bahwa di dalam UU No. 2 Tahun 1981 belum terdapat pengaturan tentang "uji tipe", yang setara dengan kegiatan "sertifikasi produk untuk alat ukur". Terkait dengan peran metrologi untuk meningkatkan daya saing, metrologi legal seharusnya dapat berkontribusi dalam hal penerapan regulasi teknis untuk mencegah alat ukur yang memiliki mutu rendah atau membahayakan pemakainya, serta menyiapkan infrastruktur teknis yang setara dengan infrastruktur teknis metrologi legal negara lain. Dengan demikian, pemenuhan terhadap persyaratan metrologi legal yang ditetapkan oleh pemerintah sekaligus dapat menjadi paspor bagi produk alat ukur dalam negeri untuk dapat diperdagangkan di pasar global. Dalam hal ini, kegiatan metrologi legal yang perlu 111 untuk dikembangkan adalah persetujuan tipe (type approval), yang secara teoritis maupun praktis belum diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981. Ketentuan lain tentang metrologi legal yang diberikan dalam UU No. 2 Tahun 1981 pada saat ini menjadi tidak dapat diimplementasikan secara efektif karena perubahan sistem pemerintahan desentralisasi dan dekonsentrasi yang dianut pada saat perumusan UU tersebut saat ini telah berubah dengan sistem otonomi daerah. Dengan implementasi otonomi daerah, pada saat ini kegiatan metrologi legal di daerah menjadi kurang terkoordinasi dan dalam beberapa hal tidak konsisten antara derah satu dengan yang lain karena perbedaan kepentingan antar daerah. Hal ini disebabkan dalam UU No. 2 Tahun 1981 belum dimuat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan koordinasi dan harmonisasi implementasi kegiatan metrologi legal oleh setiap pemerintah daerah didasarkan pada ketentuan metrologi legal nasional 4.2 KELEMAHAN IMPLEMENTASI UU NO. 2 TAHUN 1981 Beberapa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden yang dapat dipandang sebagai implementasi langsung dari UU No. 2 Tahun 1981 adalah: Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP), sebagai tindak lanjut dari Pasal 12 UU No. 2 Tahun 1981, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1987 tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan dan Satuan Lain yang Berlaku, sebagai tindak lanjut dari Pasal 7 UU No. 2 Tahun 1981, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, sebagai tindak lanjut dari Pasal 8, 9 dan 10 UU No. 2 Tahun 1981, Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, berkaitan dengan KSNSU sebagai lembaga pembina Standar Nasional Satuan Ukuran, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional (DSN), sebagai tindak lanjut dari Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981, Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional (BSN), sebagai lembaga yang menggantikan DSN yang melaksanakan amanat Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981, Keputusan Presiden No. 79 Tahun 2001 tentang Komite Standar Nasional Satuan Ukuran (KSNSU), sebagai Komite yang memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN terkait dengan tugas-tugas untuk melaksanakan amanah Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981. Dalam Bagian 3 dari Naskah Akademik ini telah diuraikan secara rinci tentang kelemahan implementasi UU No. 2 Tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden tersebut di atas. Ketentuan-ketentuan di dalam PP No. 2 Tahun 1985 secara umum mengatur masalah regulasi pengukuran secara kaku, sehingga implementasi dari PP ini dalam beberapa hal dapat menyebabkan proses administratif yang cukup 112 panjang. PP No. 10 Tahun 1987 secara eksplisit dari judulnya menyatakan tentang Satuan Tambahan, yang sudah tidak digunakan lagi sebagai katogori satuan dalam Sistem Internasional Satuan. PP No. 2 Tahun 1989 memberikan hirarki Standar Nasional Satuan Ukuran sebagai Standar tingkat I sampai dengan Standar tingkat IV, yang mewajibkan pemerintah untuk menetapkan dan mendeifinisikan setiap standar pengukuran di wilayah RI sesuai dengan ketentuan di dalam PP, sedangkan perkembangan mutakhir tentang ketertelusuran pengukuran lebih menekankan kepada kompetensi lembaga yang melakukan diseminasi standar sedangkat tingkat ketelitian dari setiap standar bergantung pada kebutuhan pelaku atau pengguna hasil pengukuran. PP No. 102 Tahun 2000, Keppres No. 7 Tahun 1989, Keppres No. 13 Tahun 1997 dan Keppres No. 79 Tahun 2001 yang merupakan implementasi dari Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 memuat ketentuan yang mempersempit istilah Lembaga Pembina Standar Nasional Satuan Ukuran sebagai sebuah Komite Standar Nasional Satuan Ukuran yang bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, sedangkan tugas-tugas BSN terkait dengan pengelolaan standar nasional satuan ukuran itu sendiri didelegasikan lagi kepada unit kerja di bawah LIPI yang bergerak di bidang metrologi. Ketentuan bertingkat di dalam Keppres ini dapat dipandang sebagai ketentuan yang kurang dapat memberikan wewenang bagi pengelola teknis ilmiah standar nasional satuan ukuran untuk mengembangkan standar-standar pengukuran nasional sesuai dengan kebutuhan ketertelusuran pengukuran nasional. Namun demikian, meskipun peraturan pemerintah dan keputusan presiden terkait dengan lembaga pembina standar nasional satuan ukuran ini dikembalikan lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU no. 2 Tahun 1981, hal ini masih belum bisa menjadi landasan pengembangan standar pengukuran nasional yang dinamis sesuai dengan kebutuhan nasional, karena di dalam UU No. 2 Tahun 1981 sendiri tanggung jawab lembaga pembina standar pengukuran nasional hanya terbatas pada pembinaan terhadap standar induk satuan dasar, sedangkan perkembangan perdagangan, industri maupun iptek memerlukan standar-standar pengukuran untuk satuan dasar, satuan turunan maupun bahan acuan bersertifikat sebagai standar pengujian produk. Lebih jauh lagi sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 sendiri, lembaga pembina standar nasional satuan ukuran harus menerapkan PP tentang tata cara pengurusan standar pengukuran nasional, yang tentunya tidak efektif dan efisien mengingat tata cara tersebut bersifat dinamis dan memerlukan perubahanperubahan sesuai kebutuhan untuk mencapai kesetaraan dengan standar pengukuran nasional lain di seluruh dunia maupun untuk mencapai tingkat ketelitian yang lebih baik untuk merespon kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di luar ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan implementasi langsung untuk melaksanakan amanah UU No. 2 Tahun 1981, masih terdapat berbagai ketentuan lain sebagaimana dinyatakan dalam daftar di Lampiran 1 dari Naskah Akademik ini, yang implementasinya tidak bisa dilaksanakan dengan baik karena belum memperoleh payung hukum yang kuat mengenai keterkaitannya dengan sistem metrologi nasional. 113 4.3 PENATAAN UNDANG-UNDANG KEMETROLOGIAN SEBAGAI SEBUAH KEBUTUHAN Dapat dipahami bahwa kurang efektifnya fungsi sistem metrologi nasional dapat disebabkan oleh kelemahan peraturan perundang-undangan maupun oleh implementasi dari peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam kaitannya dengan tata urutan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional, terdapat pula kemungkinan bahwa kurang efektifnya sistem tidak disebabkan oleh Undang-Undang, tetapi disebabkan oleh penetapan aturan-aturan di bawah UndangUndang yang kurang atau tidak sesuai dengan amanah yang diberikan dalam UndangUndang. Namun demikian uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat kelemahankelemahan substansi di dalam UU No. 2 Tahun 1981 sebagai satu-satunya UU kemetrologian yang saat ini berlaku di wilayah RI, sedemikian hingga dapat disimpulkan bahwa penataan sistem metrologi nasional hanya dapat dilakukan bila dilakukan perubahan terhadap UU kemetrologian utama yang diharapkan dapat memberikan payung hukum untuk pengoperasian sebuah sistem metrologi nasional yang sejalan dengan sistem pengukuran global. Terlebih lagi dengan perkembangan sistem ekonomi pasar, tentunya diperlukan sebuah sistem metrologi nasional yang fleksibel dan adaptif terhadap berbagai kebutuhan pengukuran nasional, khususnya untuk meningkatkan daya saing nasional, yang harus didasarkan pada UU Metrologi Nasional yang sesuai dengan rekomendasi internasional tentang Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian. 114 V. USULAN PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL cakupan substansi Undang-Undang Metrologi Nasional dan pertimbangan implementasi penataan Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa revisi UU No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal menjadi UU Tentang Metrologi dipandang sebagai prasyarat penataan sistem metrologi nasional. Hal ini disebabkan, secara de-facto beberapa elemen sistem metrologi nasional telah melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kerangka sistem metrologi internasional, tetapi elemen-elemen tersebut masih belum dapat digerakkan secara efektif dan efisien untuk membentuk sebuah sistem metrologi nasional yang dapat digunakan sebagai pondasi pengembangan daya saing bangsa. 5.1 POKOK-POKOK REVISI UNDANG-UNDANG KEMETROLOGIAN Cakupan UU Metrologi Nasional yang diharapkan menjadi pengganti UU No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal dapat dipandang sebagai revisi terhadap isi UU tersebut, dengan pokok-pokok revisi yang diuraikan di bawah ini. Dengan memasukkan pokokpokok revisi yang didasarkan pada isi UU No. 2 Tahun 1981 ini diharapkan akan dapat disusun sebuah UU Metrologi Nasional yang lengkap sejalan dengan perkembangan sistem pengukuran global. Pokok-pokok tersebut adalah: mengubah lingkup dan latar belakang penyusunan peraturan perundang-undangan kemetrologian; menambahkan ketentuan tentang otoritas kemetrologian nasional yang mewakili berbagai departemen dan lembaga pemerintah pemangku kepentingan kegiatan kemetrologian; memperjelas ketentuan tentang lembaga-lembaga kemetrologian nasional yang meliputi lembaga metrologi nasional untuk melaksanakan kegiatan metrologi ilmiah pengembangan standar pengukuran nasional dan pengembangan ilmu kemetrologian, memungkinkan partisipasi laboratorium kalibrasi untuk melaksanakan kegiatan metrologi industri/terapan yang telah diakui kompetensinya untuk membentuk rantai ketertelusuran pengukuran nasional, serta lembaga metrologi legal nasional yang bertanggungjawab menetapkan dan mengharmonisasikan regulasi teknis tentang pengukuran dan alat ukur; 115 memuat ketentuan-ketentuan metrologi ilmiah tentang adopsi satuan pengukuran dan pengembangan standar pengukuran nasional yang fleksibel sesuai dengan normanorma yang ditetapkan oleh BIPM, yang memungkinkan pengembangan standar pengukuran nasional dan ilmu kemetrologian untuk menjadi pondasi bagi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara; menambahkan ketentuan-ketentuan yang memberikan kesempatan kepada pihak swasta yang memenuhi persyaratan kompetensi tertentu untuk melaksanakan kegiatan metrologi industri yang berperan untuk menciptakan rantai ketertelusuran pengukuran ke seluruh pihak pelaku dan pengguna hasil pengukuran bagi prosesproses pengukuran dan jenis-jenis alat ukur yang tidak diatur dalam regulasi teknis metrologi legal; memperluas ketentuan-ketentuan tentang metrologi legal sesuai dengan perkembangan kegiatan metrologi legal yang diharmonisasikan oleh OIML, yang mencakup kegiatan pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments), pengawasan kemetrologian (metrological supervision), dan pengembangan keahlian kemetrologian (metrological expertise) bagi petugas pelaksana kegiatan metrologi legal; menambahkan ketentuan-ketentuan tentang metrologi legal yang memungkinkan partisipasi pihak ketiga, baik pemerintah maupun swasta untuk bertindak sebagai pelaksana kegiatan metrologi legal setelah memenuhi persyaratan-persyaratan kompetensi tertentu dan ditunjuk oleh otoritas atau lembaga yang memiliki wewenang dalam kegiatan metrologi legal, sesuai dengan konsep balanced system; memperjelas hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kegiatan metrologi legal sesuai dengan kerangka otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan; menambah ketentuan-ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk menetapkan regulasi metrologi legal secara transparan dan melaksanakan penegakan hukum secara imparsial. 5.2 USULAN CAKUPAN SUBSTANSI UNDANG-UNDANG METROLOGI NASIONAL Berdasarkan uraian dalam bagian sebelumnya, direkomendasikan bahwa UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal direvisi menjadi sebuah Undang-Undang Metrologi Nasional yang mencakup semua aspek kegiatan kemetrologian sejalan dengan perkembangan sistem pengukuran global dengan pokok-pokok revisi sebagaimana diuraikan di atas. Untuk mewujudkan revisi atau penggantian payung hukum kegiatan kemetrologian nasional, dalam bagian ini akan diuraikan tentang cakupan substansi Undang-Undang Metrologi Nasional yang diharapkan mampu menggerakkan sistem metrologi nasional sebagai pondasi pengembangan daya saing bangsa. Usulan cakupan 116 substansi dalam Naskah Akademik ini didasarkan pada Rekomendasi Internasional tentang UU kemetrologian, perkembangan sistem pengukuran global dan pengalamanpengalaman negara lain dalam merumuskan UU metrologi nasionalnya untuk dapat mengintegrasikan diri ke dalam percaturan global. 5.2.1 Lingkup dan Latar Belakang Undang-Undang Kemetrologian Mengacu kepada pemahaman tentang metrologi secara filosofis pada seluruh aspeknya, dan juga perkembangan sistem metrologi yang direkomendasikan oleh berbagai organisasi internasional serta kebijakan metrologi negara-negara lain, maka kegiatan kemetrologian adalah infrastruktur dasar yang diperlukan untuk: menjamin keadilan sosial, melindungi hak dan kepentingan seluruh lembaga dan masyarakat, meningkatkan mutu produk nasional, menghemat penggunaan sumber daya alam, material dan energi, menjamin keselamatan dan keamanan, melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan, meningkatkan efisiensi pemerintah, dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk pertukaran internasional. Lembaga Metrologi Pengguna metrologi Jaringan kalibrasi Industri manufaktur dan lainnya Realisasi satuan Laboratorium kalibrasi Perdagangan Pengadaan dan pemeliharaan standar nasional satuan ukuran Akreditasi laboratorium Diseminasi Pusat kepakaran dalam bidang pengukuran Regulasi dan spesifikasi Peraturan Pemerintah Metrologi Legal Kesehatan dan Keselamatan Perlindungan Lingkungan Ilmu Pengetahuan Komunikasi Transportasi Penerapan peraturan pemerintah Pembangkitan dan penyaluran energi Jasa survei dan navigasi Dinas Militer Gambar 9. Hubungan antara lembaga metrologi nasional dengan penggunanya 117 Oleh karena itu faktor-faktor tersebut hendaknya menjadi pertimbangan dalam penataan sistem metrologi nasional, dan untuk memastikan bahwa pengaturan tentang metrologi yang ditetapkan oleh pemerintah mampu memberikan landasan bagi perkembangan daya saing bangsa di seluruh aspeknya, maka konsideran pembuatan peraturan perundangundangan kemetrologian perlu diperluas, sedemikian hingga pada saat penyusunan, pasalpasal konsiderans di luar pemberian "perlindungan" juga dipertimbangkan, terutama berkaitan dengan "efisiensi", "keefektifan" dan "peningkatan daya saing", yang diharapkan dapat memberikan multiplication effect dari penetapan UU kemetrologian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam penetapan peraturan perundang-undangan telah menjadi good practice untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang lebih umum pada peraturan perundang-undangan dengan kekuatan hukum yang lebih tinggi, dan kemudian rincian pelaksanaan UU ini diturunkan ke dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan kekuatan hukum di bawahnya. Berkaitan dengan kegiatan kemetrologian ini tentunya diperlukan sebuah UU yang mengatur aspek-aspek umum kegiatan kemetrologian (dalam hal ini mencakup metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi legal) sebagai peraturan perundangundangan tertinggi berkaitan dengan kemetrologian, yang tentu saja dalam penyusunannya telah mempertimbangkan seluruh aspek yang diharapkan dari sebuah ketentuan tentang kegiatan kemetrologian. Perluasan cakupan UU tentang kemetrologian ini dapat dilakukan dengan memperluas cakupan UU kemetrologian yang ada. Dalam hal ini, UU No. 2 Tahun 1981 diperluas cakupannya dan disesuaikan dengan latar belakang penataan sistem metrologi nasional menjadi sebuah UU Metrologi. Cakupan yang diatur adalah semua aspek kegiatan kemetrologian yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan dalam penyusunannya harus mempertimbangkan peran kegiatan kemetrologian yang selain untuk melindungi kepentingan umum, juga memiliki peranperan lain yang sangat penting, terutama dalam peningkatan daya saing nasional dalam integrasi ekonomi nasional ke dalam sistem pasar global yang tentunya diharapkan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Sejalan dengan perkembangan aspek-aspek kemetrologian dalam kelompok metrologi ilmiah (pengembangan standar pengukuran dan ilmu kemetrologian), metrologi industri (praktik kemetrologian dalam sektor sukarela atas dasar kebutuhan konsumen dan proses produksi barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumen) dan metrologi legal (penetapan dan implementasi regulasi kemetrologian terkait dengan kepentingan umum, perlindungan kesehatan, keamanan dan keselamatan negara, warga negara, dan lingkungan hidup), maka peraturan perundang-undangan kemetrologian tertinggi di wilayah RI hendaknya mencakup ketentuan-ketentuan yang diperlukan sebagai landasan hukum ketiga aspek kegiatan kemetrologian tersebut. 118 5.2.2 Otoritas dan Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional Untuk memastikan bahwa UU yang mengatur kegiatan kemetrologian tersebut dapat menjawab seluruh permasalahan yang melatarbelakangi penyusunannya, tentunya penerapan UU tersebut harus diorganisasikan oleh sebuah lembaga yang atas nama pemerintah berwewenang untuk menetapkan kebijakan metrologi nasional. Dengan mempertimbangkan filosofi kegiatan kemetrologian sebagai kegiatan dasar yang melandasi berbagai kegiatan yang mungkin dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan yang dapat berasal dari berbagai departemen atau lembaga pemerintah dan juga masyarakat konsumen maupun pelaku usaha, maka penentu kebijakan metrologi nasional ini hendaknya dapat mewakili berbagai pemangku kepentingan kegiatan kemetrologian dan memiliki wewenang berdasarkan UU untuk menjalankan misi dan fungsi sebuah otoritas metrologi nasional sebagaimana direkomendasikan oleh OIML D1. Contoh-contoh dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian negara lain yang dikutip di atas menunjukkan dengan jelas bahwa di dalam UU metrologi mereka, negaranegara tersebut menetapkan sebuah otoritas metrologi (central metrology authority – berdasarkan OIML D1), yang diberi kewenangan untuk menetapkan kebijakan metrologi nasional dan juga mengoordinasikan kegiatan metrologi nasional. Bila mengacu pada praktik di Eropa yang diadopsi oleh banyak negara di dunia, hal ini mencakup kegiatan metrologi ilmiah (pengelolaan standar pengukuran nasional), metrologi industri (pelaksanaan kalibrasi untuk mendukung industri, Iptek dan sektor sukarela lainnya), dan metrologi legal. Sesuai dengan rekomendasi di dalam OIML D1 dan juga contoh ketentuan tentang otoritas metrologi di negara-negara lain, maka dalam UU kemetrologian diperlukan ketetapan tentang pemberian wewenang kepada otoritas metrologi nasional untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana direkomendasikan dalam OIML D1. Secara spesifik, otoritas metrologi nasional tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk sebuah Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) yang dapat diberi nama Badan Metrologi Nasional (BMN). Berkaitan dengan telah adanya KSNSU, maka BMN sebagai perwujudan otoritas metrologi (yang diusulkan sebagai solusi dari permasalahan sistem metrologi nasional yang ada) dapat dikembangkan dengan merevisi kewenangan tugas, fungsi dan keanggotaan KSNSU. Dengan adanya otoritas metrologi yang menjadi sentral penentuan kebijakan metrologi nasional, diharapkan aset-aset kemetrologian yang telah dimiliki oleh negara kita pada saat ini dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk menggerakkan kegiatan kemetrologian yang dapat mendukung daya saing dan juga dapat melindungi kepentingan Indonesia dalam integrasi ekonomi global. Ketentuan dan penetapan central metrology authority perlu dituangkan ke dalam UU kemetrologian yang merupakan revisi dari UU kemetrologian yang ada saat ini. Untuk memastikan implementasi kegiatan kemetrologian nasional secara efisien, peraturan perundang-undangan kemetrologian harus memuat ketentuan-ketentuan tentang lembaga-lembaga yang kemudian memegang wewenang dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan metrologi nasional yang ditetapkan oleh otoritas metrologi. Sesuai 119 dengan rekomendasi di dalam OIML D1, lembaga-lembaga utama pelaksana kegiatan kemetrologian dikenal dengan nama lembaga metrologi nasional dan lembaga metrologi legal nasional. Dalam praktik yang dilakukan di beberapa negara yang telah merevisi sistem metrologi nasionalnya, fungsi lembaga metrologi nasional dan lembaga metrologi legal nasional ini disatukan ke dalam lembaga yang menjadi otoritas metrologi nasional. Maka, dalam revisi UU kemetrologian ini, kedua fungsi tersebut dapat dimasukkan sebagai bagian dari Badan Metrologi Nasional yang diusulkan. Dengan mempertimbangkan konvergensi antara kegiatan metrologi ilmiah dan metrologi industri, penggabungan fungsi-fungsi lembaga metrologi nasional sebagai pelaksana kegiatan metrologi ilmiah dan fungsi-fungsi lembaga metrologi legal nasional ke dalam sebuah lembaga atau badan dapat dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengharmoniskan kegiatan kemetrologian nasional dan untuk menghindari duplikasi investasi terkait dengan pengembangan standar-standar pengukuran nasional. Ketentuan tentang kelembagaan ini hendaknya menetapkan lembaga tersebut lengkap dengan wewenang, tugas dan tanggung jawabnya yang diperlukan untuk mengimplementasikan sistem metrologi nasional yang selaras dengan sistem metrologi di tingkat internasional. Pengembangan standar pengukuran nasional oleh lembaga metrologi nasional merupakan kegiatan yang memerlukan investasi negara dalam jumlah besar. Oleh karena itu ketentuan dalam UU kemetrologian harus dapat memastikan bahwa investasi standar pengukuran nasional hanya dilakukan melalui lembaga tersebut, dan dapat digunakan oleh semua pihak untuk memastikan ketertelusuran hasil pengukuran di tingkat nasional. Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari duplikasi investasi pemerintah yang dapat membebani anggaran belanja secara tidak beralasan. Terkait dengan perkembangan cakupan ilmu metrologi yang tidak pernah berhenti berkembang, lembaga atau badan metrologi ini hendaknya diberikan kewenangan juga untuk mendelegasikan tugas dan tanggung-jawabnya untuk mengembangkan standar pengukuran untuk keperluan spesifik seperti pengembangan bahan acuan bersertifikat kepada lembaga lain yang memiliki kompetensi dan memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh lembaga atau badan metrologi tersebut. UU Metrologi Nasional hendaknya juga memuat ketentuan yang mendorong partisipasi pihak swasta dalam menjamin ketertelusuran pengukuran. Khususnya, di sektor metrologi industri, yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan kalibrasi sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang dikembangkan oleh organisasi kerjasama akreditasi laboratorium di tingkat regional (APLAC) dan tingkat internasional (ILAC). Laboratorium kalibrasi yang diakreditasi ini dalam sistem metrologi nasional dapat dipandang sebagai salah satu elemen kelembagaan yang dapat dikembangkan oleh berbagai pihak dengan memenuhi persyaratan-persyaratan kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional. Elemen kelembagaan ini pada saat ini telah ada dan secara defacto telah dilaksanakan oleh laboratorium-laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). 120 Terkait dengan perkembangan cakupan kegiatan metrologi legal, yang akan memerlukan investasi pemerintah dalam jumlah besar bila seluruhnya dilaksanakan oleh pemerintah, ketentuan mengenai metrologi legal di dalam UU kemetrologian hendaknya memungkinkan pendelegasian wewenang pemerintah sampai dengan tingkatan tertentu kepada laboratorium-laboratorium kalibrasi yang kompeten dan telah diakreditasi oleh badan akreditasi yang diakui oleh APLAC maupun ILAC. Mengenai jaminan kompetensi ini, badan akreditasi Indonesia, yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN) telah diakui kompetensinya oleh APLAC maupun ILAC untuk melaksanakan akreditasi laboratorium kalibrasi, sehingga laboratorium kalibrasi yang pada saat ini telah diakreditasi oleh KAN dapat dipandang sebagai salah satu aset kelembagaan yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan kemetrologian di Indonesia. 5.2.3 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran A. Satuan Pengukuran Kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai satuan pengukuran merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat dinamis, yang secara nyata tampak dengan penerbitan The SI Brochure oleh BIPM secara periodik. Oleh karena itu proses adopsi Sistem Internasional satuan di dalam UU kemetrologian hendaknya ditetapkan secara generik bahwa Indonesia me ngadopsi segala ketentuan dalam Sistem Internasional satuan. Ketentuan-ketentuan rinci mengenai Sistem Internasional satuan kemudian dapat ditetapkan dalam bentuk adopsi The SI Brochure sebagai standar (dokumen) nasional, dalam hal ini SNI, yang kemudian ditetapkan oleh central metrology authority sebagai landasan regulasi satuan pengukuran yang legal digunakan di Indonesia. Ketentuan generik untuk mengadopsi Sistem Internasional Satuan ini banyak dilakukan di dalam UU kemetrologian di berbagai negara, sebagai contoh: "The State of the Socialist Republic of Vietnam accepted the International System of Units (abbreviated as the SI system of units according to international practices)" [Vietnam Ordinance on Measurement 1999: article 5] Legal Measuring Unit is The unit of the International System (the SI system of unit) used for the purposes of measurement [Jordan Standard and Metrology Law 2002] The only units of measurement to be used throughout Malaysia shall be the units known as the International System of Units, comprises base units, derived units, units may be used in conjunction with the base and derived units... [Malaysia Weight and Measure Act] The SI system of Units shall be used in the Republic of Slovenia [Slovenia Metrology Act 2000] Adopsi Sistem Internasional Satuan di dalam UU beberapa negara lain seperti dalam contoh di atas, yang juga digunakan oleh berbagai negara lainnya, mengandung makna 121 bahwa negara-negara tersebut menerima penggunaan segala ketentuan yang ada dalam Sistem Internasional Satuan, yang secara periodik dipublikasikan di dalam The SI Brochure. Ketentuan-ketentuan teknis, yang terlalu rinci seperti SI-prefixes yang dimuat dalam UU No. 2 Tahun 1981, hendaknya dikeluarkan dari ketentuan-ketentuan dalam UU kemetrologian. Untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam UU kemetrologian yang terkait dengan satuan pengukuran dapat diimplementasikan dengan benar sesuai dengan yang diperlukan, diperlukan penjelasan tentang definisi-definisi terkait satuan pengukuran yang selaras dengan definisi-definisi yang telah disepakati secara internasional. Oleh karena itu dalam perumusan UU kemetrologian yang diperlukan sebagai dasar penataan sistem metrologi nasional, diperlukan kajian istilah dan definisi berdasarkan VIM edisi termutakhir. B. Standar Pengukuran Nasional Tingkat ketelitian pengukuran sangat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikian hingga sebagaimana dijelaskan di pendahuluan dan analisis permasalahan mengenai standar pengukuran nasional, definisi standar pengukuran dapat berubah, demikian juga realisasi dari definisi standar pengukuran yang sama dapat berubah, bila dipandang realisasi yang sebelumnya sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan ketelitian pengukuran. Dalam hal ini ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (2) UU No. 2 Tahun 1981: "Definisi yang berlaku bagi satuan-satuan dasar seperti tersebut pada Ayat (1) pasal ini adalah definisi terbaru yang ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan" dapat dipandang sebagai ketentuan yang sangat baik untuk tetap diadopsi di dalam UU kemetrologian, dan dengan sendirinya mewajibkan otoritas metrologi nasional dan lembaga metrologi nasional untuk selalu memonitor perkembangan ilmiah definisidefinisi satuan dalam Sistem Internasional satuan. Demikian juga dengan ketentuan dalam Pasal 11 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 1981: "Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini dibina oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu." yang mengamanahkan perlu ditetapkannya lembaga pengelola standar pengukuran nasional, juga merupakan ketentuan yang tetap harus diadopsi dalam UU kemetrologian. Namun demikian hendaknya ketentuan ini dimodifikasi, sehingga ketentuan di dalam UU kemetrologian secara eksplisit mengarah pada perlunya suatu lembaga metrologi nasional, sebagai lembaga utama yang memiliki tanggung jawab ilmiah terhadap pengembangan standar pengukuran nasional. Karena sifat dinamis dari definisi dan realisasi standar pengukuran, maka lembaga metrologi nasional sebagaimana dimaksud dalam UU kemetrologian hendaknya memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk mengembangkan realisasi standar pengukuran nasional dan juga mengembangkan prosedur-prosedur pengelolaan teknis yang diperlukan untuk memperoleh pengakuan 122 kesetaraan terhadap standar pengukuran yang dikelolanya dan juga pengakuan kesetaraan kompetensinya di tingkat regional dan internasional. Lembaga metrologi nasional hendaknya memiliki wewenang juga untuk merekomendasikan daftar standar pengukuran nasional untuk ditetapkan oleh Otoritas Metrologi Nasional. Terkait dengan hal ini, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8, 9 dan 10 UU No. 2 Tahun 1981 yang mengamanahkan penetapan standar pengukuran nasional, tata cara penggurusan, pemeliharaan dan pemakaian standar pengukuran nasional, dan susunan turunan standar pengukuran nasional melalui peraturan pemerintah, dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan dalam analisis permasalahan, hendaknya tidak dimuat lagi di dalam UU kemetrologian. Ketentuan-ketentuan generik tentang standar pengukuran nasional dan pengelolaannya yang hendaknya dimuat di dalam UU kemetrologian adalah: Standar pengukuran nasional adalah standar pengukuran yang memiliki tingkat ketelitian tertinggi di wilayah RI yang digunakan sebagai acuan untuk menjamin ketertelusuran pengukuran di seluruh wilayan RI; Standar pengukuran nasional dikelola oleh sebuah lembaga metrologi nasional yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk: menetapkan sistem satuan nasional, sejauh mungkin berdasarkan Sistem Internasional Satuan, merealisasikan dan memelihara standar pengukuran nasional dan mendiseminasikan satuan ukuran nasional, mengembangkan kompetensi ahli-ahli metrologi untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, serta memberikan pelatihan berkelanjutan kepada ahli-ahli metrologi tersebut untuk memastikan rencana regenerasi yang diperlukan dalam pemeliharaan standar pengukuran nasional, memfasilitasi pendirian laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis kemetrologian, termasuk pengendalian lingkungan dan peralatan yang diperlukan oleh laboratorium kalibrasi, mengarahkan penelitian-penelitian yang diperlukan dalam peningkatan standar pengukuran nasional untuk memenuhi kebutuhan pengukuran nasional, memberikan transfer of knowledge ilmu kemetrologian yang diperlukan oleh industri, melakukan kajian secara reguler terhadap kebutuhan masyarakat terkait dengan pengembangan standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan ukuran nasional, menjadi acuan nasional untuk sistem akreditasi laboratorium, dalam hal kompetensi teknis kemetrologian dan standar pengukuran, memberikan pertimbangan teknis kepada pemerintah mengenai permasalahan kemetrologian, 123 memastikan partisipasi secara efektif dalam kegiatan kemetrologian internasional, khususnya dalam Konvensi Meter melalui CIPM dan BIPM serta kegiatan metrologi ilmiah regional, memberikan pelayanan kalibrasi untuk menjamin ketertelusuran pengukuran di laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi nasional sesuai dengan persyaratan ILAC, dan ketertelusuran pengukuran di laboratorium metrologi legal sesuai persyaratan OIML, memberikan konsultasi kepada lembaga nasional yang relevan, industri atau masyarakat umum terkait dengan permasalahan-permasalahan kemetrologian dan pentingnya pengukuran, memberikan pelatihan teknis kemetrologian, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kemetrologian. Bila diperlukan, lembaga metrologi nasional dapat mendelegasikan tugasnya dalam mengembangkan standar pengukuran nasional kepada lembaga yang memiliki kompetensi dan fasilitas yang memadai, dan mendaftarkan lembaga tersebut sebagai Designated Institute (DI) dalam skema CIPM MRA. C. Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran Pada bagian analisis permasalahan, telah dijelaskan bahwa UU No. 2 Tahun 1981 sama sekali tidak memuat ketentuan tentang diseminasi satuan pengukuran dan standar pengukuran. Satu ketentuan yang terkait dengan diseminasi standar pengukuran adalah ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 1981: "Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah" yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 2 Tahun 1989 Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran. Ketentuan ini secara eksplisit memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk menetapkan standar pengukuran sampai di tingkat pelaksanaan dan menetapkan hirarki standar pengukuran secara kaku yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan sistem pengukuran global. Sesuai dengan skema sistem pengukuran global, diseminasi satuan pengukuran dan standar pengukuran pada dasarnya ditujukan untuk membentuk rantai ketertelusuran pengukuran. Rantai ketertelusuran pengukuran dapat dibentuk untuk menghubungkan hasil-hasil pengukuran dengan definisi satuan dalam Sistem Internasional Satuan melalui kegiatan kalibrasi alat-alat ukur dan standar mulai dari kegiatan kalibrasi oleh lembaga metrologi nasional, secara berurutan sampai dengan kalibrasi peralatan produksi dan peneraan alat ukur sesuai dengan regulasi metrologi legal. Untuk memperoleh pengakuan dalam sistem pengukuran global, kompetensi pelaksana kalibrasi (yang dikenal sebagai laboratorium kalibrasi) harus diakreditasi oleh badan akreditasi yang telah memperoleh pengakuan internasional setelah melalui berbagai proses yang diperlukan sebagai persyaratan untuk menandatangani APLAC/ILAC MRA. 124 Dalam tingkat implementasi, Komite Akreditasi Nasional (KAN) telah memperoleh pengakuan dalam APLAC/ILAC MRA dalam sistem akreditasi laboratorium kalibrasi di tingkat regional/internasional. Namun demikian belum terdapat ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengintegrasikan sistem akreditasi laboratorium kalibrasi KAN dan sistem metrologi nasional. Karena kompetensi laboratorium kalibrasi sangat menentukan kehandalan sistem metrologi nasional, maka UU kemetrologian yang akan digunakan sebagai dasar penataan sistem metrologi nasional harus memuat ketentuan-ketentuan yang menghubungkan antara pelaksana kegiatan kemetrologian dengan sistem akreditasi laboratorium kalibrasi yang dilaksanakan oleh KAN. 5.2.4 Kegiatan Metrologi Legal Sesuai dengan berbagai definisi metrologi legal yang disepakati dalam forum internasional, kegiatan metrologi legal merupakan kegiatan penetapan regulasi teknis terhadap proses pengukuran, alat ukur dan ukuran barang dalam keadaan terbungkus yang ditujukan untuk perlindungan kepentingan dan keamanan negara, keselamatan, keamanan dan kesehatan warga negara, serta kelestarian lingkungan hidup. Penetapan regulasi teknis terhadap proses pengukuran, alat ukur serta ukuran barang dalam keadaan terbungkus ini tentunya harus sejalan dengan batasan-batasan penetapan regulasi teknis lain yang disepakati dalam forum WTO. A. Lingkup Kegiatan Metrologi Legal Hasil studi terhadap rekomendasi internasional dan ketentuan-ketentuan terkait dengan kegiatan metrologi legal serta analisis terhadap isi UU 2 Tahun 1981 menunjukkan bahwa sejalan dengan berbagai kesepakatan internasional dan perkembangan sistem metrologi legal di tingkat internasional diperlukan berbagai penyesuaian terhadap ketentuanketentuan metrologi legal dalam UU No. 2 Tahun 1981. Penyesuaian ketentuan tersebut harus dimulai dari ketentuan tentang definisi metrologi legal, karena definisi yang digunakan dalam UU No. 2 Tahun 1981 telah tidak sesuai lagi dengan definisi metrologi legal yang disepakati secara internasional. Selanjutnya, untuk memastikan kesesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati internasional dalam WTO-TBT, yang mencakup regulasi metrologi legal sebagai komponen regulasi teknis dalam kerangka WTO, UU kemetrologian harus memastikan bahwa regulasi metrologi legal ditetapkan oleh pemerintah, melalui sebuah lembaga metrologi legal nasional, untuk keperluan: persyaratan keamanan negara, perlindungan dari praktik curang, perlindungan kesehatan dan keamananmanusia, perlindungan kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan. 125 Kesesuaian dengan batasan-batasan regulasi teknis tersebut di atas memerlukan revisi terhadap ketentuan jenis alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal, di mana ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 dan PP No. 2 Tahun 1985 memberikan implementasi yang terlalu luas, terutama terkait dengan definisi tempat usaha dalam ketentuan umum UU No. 2 Tahun 1981. Ketentuan tentang jenis alat ukur yang perlu dimasukkan di dalam UU kemetrologian hendaknya merupakan ketentuan generik yang sejalan dengan kerangka WTO-TBT dan dapat digunakan sebagai dasar penetapan regulasi metrologi legal oleh lembaga metrologi legal nasional. Proses pengukuran dan jenis alat ukur lain yang digunakan di luar untuk keperluan tersebut di atas hendaknya merupakan kegiatan kemetrologian sukarela yang kesesuaiannya dengan persyaratan menjadi tanggung jawab dan wewenang dari pemilik atau pengguna alat ukur terkait. Regulasi metrologi legal, yang menjadi ketentuan pelaksanaan UU kemetrologian, hendaknya memberikan ketentuan yang jelas berdasarkan jenis alat ukur yang digunakan untuk proses-proses pengukuran yang perlu diatur dengan alasan yang sesuai dengan landasan penetapan regulasi teknis dalam WTO-TBT dan rekomendasi internasional OIML D1. Perlu diperhatikan bahwa penetapan regulasi metrologi legal hanya dengan pernyataan jenis alat ukur harus dihindari karena satu jenis alat yang sama dengan karakteristik sama dalam proses tertentu dapat digolongkan dalam domain sukarela, tetapi dalam proses lain harus tercakup dalam regulasi metrologi legal. Contoh penetapan cakupan alat ukur yang diregulasi sesuai dengan EU Directive telah dijelaskan dalam analisis permasalahan metrologi legal pada Naskah Akademik ini. B. Implementasi Kegiatan Metrologi Legal Untuk menjamin bahwa kegiatan metrologi legal di tingkat nasional dapat mencapai tujuan-tujuan kegiatan metrologi legal yang telah disepakati secara internasional, UU kemetrologian harus menetapkan cakupan kegiatan metrologi legal yang meliputi: pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments): evaluasi dan persetujuan tipe alat ukur, verifikasi (peneraan) awal dan ulang, pengendalian kemetrologian terhadap BDKT, pengawasan kemetrologian (metrological supervision): pengawasan terhadap alat ukur dan BDKT (di pasaran), pengawasan alat ukur yang sedang digunakan dalam proses pengukuran, dan keahlian kemetrologian (metrological expertise). Sejalan dengan ketentuan-ketentuan di dalam WTO-TBT dan juga rekomendasi internasional OIML D1, maka kegiatan penilaian kesesuaian yang diperlukan dalam kegiatan metrologi legal harus dapat dijamin kompetensinya sesuai dengan persyaratan kompetensi yang ditetapkan oleh organisasi kerjasama akreditasi regional maupun internasional. Tindak lanjut dari persyaratan kompetensi pelaksana penilaian kesesuaian ini, pada saat ini diperlukan kesesuaian dengan: 126 ISO/IEC 17025 untuk pengujian dan kalibrasi, ISO/IEC Guide 65 (yang segera direvisi menjadi ISO/IEC 17065) untuk lembaga sertifikasi produk, dan ISO/IEC 17020 untuk lembaga inspeksi. Sebagaimana diuraikan dalam bagian Kebijakan Metrologi Nasional dari Naskah Akademik ini, kegiatan metrologi legal di Indonesia harus dikoordinasikan oleh lembaga atau badan metrologi yang dimaksud dalam bagian otorita dan lembaga-lembaga kemetrologian naskah akademik ini, yang diberi tugas berdasarkan UU untuk: melaksanakan studi dan membuat usulan persyaratan regulasi teknis terhadap berbagai jenis alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus; melakukan kajian secara reguler tentang kebutuhan regulasi metrologi legal di masyarakat; mempekerjakan petugas metrologi yang kompeten untuk melaksanakan tugasnya serta mempersiapkan regenerasi petugas metrologi legal dengan baik; menerbitkan sertifikat persetujuan tipe nasional yang memenuhi OIML Certification System for Measuring Instruments dan persyaratan OIML Mutual Acceptance Arrangement; mengoordinasikan dan memastikan kesesuaian kegiatan metrologi legal yang dilaksanakan oleh lembaga metrologi lokal dengan regulasi metrologi legal nasional. Kegiatan metrologi legal dalam implementasinya akan selalu berkembang dan terdapat kemungkinan bahwa regulasi metrologi legal diperlukan oleh berbagai departemen atau lembaga pemerintah di luar lembaga atau badan metrologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga akan memengaruhi teknologi pengukuran yang diadopsi oleh pemakai alat ukur (yang diregulasi) akan memerlukan pemutakhiran regulasi metrologi legal dan juga pemutakhiran sistem yang diperlukan untuk memastikan kesesuaian dengan regulasi metrologi legal. Oleh karena itu UU kemetrologian hendaknya memberikan kesempatan yang luas bagi lembaga atau badan metrologi untuk menjalankan fungsi-fungsi metrologi legal yang memberikan kemungkinan untuk: mendelegasikan tugasnya kepada lembaga pihak ketiga, baik lembaga pemerintah, swasta maupun pemerintah daerah melalui penunjukan yang didasarkan pada kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas kemetrologian yang didelegasikan kepada pihak lain, dengan bukti kompetensi yang sejalan dengan sistem penilaian kesesuaian internasional yang telah mengembangkan sistem pengakuan timbal-balik untuk akreditasi lembaga penilaian kesesuaian, mengoordinasikan berbagai departemen dan/atau lembaga pemerintah lainnya dalam penyusunan atau penetapan regulasi teknis terkait dengan pengukuran, alat ukur, maupun barang dalam keadaan terbungkus, menetapkan regulasi metrologi legal yang diperlukan oleh dan berlaku mengikat bagi berbagai departemen atau lembaga pemerintah lainnya. 127 Dalam implementasi kegiatan metrologi legal, UU kemetrologian hendaknya menganut balanced system untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi pemerintah yang memiliki keterbatasan anggaran. Balanced system yang dimaksud di sini adalah sistem metrologi legal yang memungkinkan: evaluasi tipe dan persetujuan tipe dilakukan oleh lembaga yang kompeten (lembaga penilaian kesesuaian yang diakreditasi atau di-peer-review) dengan pengakuan timbal-balik yang luas terhadap sertifikat persetujuan tipe atau laporan pengujian di tingkat internasional maupun regional (sebagai contoh OIML Mutual Acceptance Arrangement, European Union Global Approach, ILAC Mutual Recognition Arrangement, dan sebagainya); verifikasi awal dilakukan oleh pembuatnya (di pabrik) didasarkan pada asesmen terhadap sistem manajemen mutunya oleh lembaga yang kompeten (lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu yang telah diakreditasi dengan lingkup yang sesuai dengan jenis alat ukur yang diverifikasi), dengan proses asesmen yang dipusatkan pada kesesuaian setiap alat ukur yang diproduksi; bila alat ukur tertentu memerlukan verifikasi awal di lokasi penggunaannya, verifikasi awal dilakukan oleh lembaga pihak ketiga yang kompeten (diakreditasi untuk lingkup yang relevan); bila persetujuan tipe tidak dapat dilakukan atau tidak berkontribusi besar terhadap perlindungan kepentingan umum, regulasi metrologi legal hanya mempersyaratkan verifikasi (peneraan) awal. Peran pemerintah dalam kegiatan metrologi legal hendaknya lebih difokuskan pada kegiatan metrological supervision yang mencakup inspeksi dan pengawasan alat ukur pada saat digunakan dalam proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal, serta pengawasan pasar terhadap barang dalam keadaan terbungkus. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan hak bagi daerah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan (termasuk metrologi legal) yang diberlakukan di daerahnya. Hal ini harus menjadi perhatian dalam perumusan UU kemetrologian, karena penetapan regulasi metrologi legal yang tidak selaras antara daerah satu dan daerah lainnya dapat menjadi penghambat aliran barang antar daerah, yang tentunya tidak dikehendaki dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu UU kemetrologian harus memberikan batasan-batasan yang seseuai dengan konsep otoritas metrologi lokal (local metrology authorities) yang diberikan dalam rekomendasi internasional OIML D1, yang telah dibahas pada bagian Kebijakan Metrologi Nasional dari Naskah Akademik ini.Untuk memastikan implementasi regulasi metrologi legal secara harmonis di seluruh wilayah RI, penetapan kebijakan dan koordinasi pelaksanaannya harus tetap menjadi kewenangan lembaga metrologi legal nasional yang diorganisasikan oleh pemerintah pusat. 128 C. Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal Untuk memastikan kompetensi personel pelaksana kegiatan metrologi legal, peraturan perundang-undangan kemetrologian perlu memberikan tugas dan kewenangan kepada lembaga metrologi legal nasional untuk mengembangkan program pendidikan petugas metrologi legal. Kualifikasi personel pelaksana kegiatan metrologi legal ini harus berlaku secara nasional dan mewajibkan pemerintah daerah untuk mengikutsertakan petugas metrologi legalnya dalam program pendidikan petugas metrologi legal yang dilaksanakan oleh lembaga metrologi legal nasional. Harmonisasi kualifikasi dan tingkat kompetensi petugas metrologi legal di tingkat nasional mutlak diperlukan untuk memastikan keseragaman implementasi metrologi legal di seluruh wilayah RI. Perkembangan teknologi pengukuran yang diaplikasikan pada alat-alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal tentunya menuntut penguasaan ilmu-ilmu pengukuran yang mutakhir oleh para petugas metrologi legal. Lembaga metrologi nasional, sebagai representasi negara dalam berbagai forum ilmiah kemetrologian, hendaknya berkontribusi secara aktif dalam pengembangan kompetensi petugas metrologi legal melalui keterlibatannya dalam pengembangan kurikulum pendidikan petugas metrologi legal. Koordinasi antara lembaga metrologi legal nasional dan lembaga metrologi nasional dalam pengembangan kualifikasi dan program pendidikan petugas metrologi legal ini hendaknya diakomodasi dan diatur dengan baik dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian. Secara umum rekomendasi yang diberikan dalam OIML D14 hendaknya digunakan sebagai acuan dalam pengembangan kompetensi dan kualifikasi petugas metrologi legal nasional. D. Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal Sebagai bagian dari regulasi teknis, kegiatan metrologi legal tentunya memerlukan pengawasan dan penegakan hukum. Sanksi-sanksi yang mungkin timbul akibat pelanggaran terhadap regulasi metrologi legal dapat membawa konsekuensi finansial bagi pembuat atau pengguna alat ukur yang melakukan pelanggaran terhadap regulasi tersebut. Untuk memastikan implementasi regulasi metrologi legal secara efektif dan efisien, peraturan perundang-undangan kemetrologian harus memberikan batasan-batasan yang jelas tentang cakupan kegiatan metrologi legal. Regulasi-regulasi tersebut hendaknya dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat, sehingga semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan segala usaha yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan di dalam regulasi. Kewajiban bagi lembaga metrologi legal nasional untuk memublikasikan regulasi-regulasi yang ditetapkan dan juga informasi-informasi terkait dengan kegiatan metrologi legal secara transparan hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan. 5.3 SARAN UNTUK IMPLEMENTASI Dalam mengimplementasikan penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian yang diusulkan dalam Naskah Akademik ini ke dalam proses penataan sistem metrologi 129 nasional diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu, khususnya terkait dengan berbagai aset nasional yang secara de facto telah melaksanakan kegiatan kemetrologian di tingkat nasional dan juga telah mewakili Indonesia dalam berbagai forum metrologi regional dan internasional. Investasi negara yang telah dilakukan, baik dalam bentuk kelembagaan maupun investasi peralatan maupun sumber daya manusia yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam pengembangan sistem metrologi selama ini hendaknya didayagunakan sebaik-baiknya dalam proses penataan sistem metrologi nasional. Oleh karena itu tim penyusun Naskah Akademik ini menyampaikan beberapa butir penting tentang aset nasional dan investasi nasional yang hendaknya digunakan untuk mengimplementasikan penataan perundang-undangan kemetrologian nasional, yang antara lain meliputi butir-butir di bawah ini. Pemerintah Indonesia, melalui Keputusan Presiden Republiki Indonesia No. 79 Tahun 2001, telah menetapkan pembentukan Komite Standar Nasional Satuan Ukuran (KSNSU). Lembaga ini dapat digunakan sebagai embrio pembentukan otoritas metrologi nasional, dengan melakukan berbagai penyesuaian wewenang, tugas, tanggung jawab dan keanggotaan dari komite ini. Partisipasi Republik Indonesia dalam forum metrologi ilmiah regional APMP telah diwakili oleh Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit KIM-LIPI) sejak tahun 1980-an, termasuk partisipasinya dalam berbagai uji banding di tingkat Asia Pasifik. Hal ini hendaknya dipertimbangkan pula oleh pemerintah dalam penetapan lembaga metrologi nasional. Republik Indonesia telah menjadi anggota tetap Konvensi Meter sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, bahkan Indonesia telah memiliki salinan prototipe internasional meter dan kilogram yang pada waktu itu dikelola oleh lembaga yang saat ini adalah Direktorat Metrologi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan. Prototipe meter pada saat ini memang telah tidak digunakan lagi sebagai definisi meter, sedangkan prototipe kilogram saat ini masih digunakan sebagai definisi kilogram, yang saat ini di tingkat internasional sedang diupayakan redefinisinya menjadi definisi yang berdasarkan konstanta alam. Namun demikian aset nasional, khususnya prototipe kilogram ini hendaknya tetap dipertimbangkan dalam pengembangan standar pengukuran nasional. Implementasi Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 telah dilakukan oleh pemerintah dengan pembentukan Dewan Standardisasi Nasional melalui Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1989 yang kemudian berubah menjadi Badan Standardisasi Nasional melalui Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997, yang merupakan lembaga pemerintah dengan tugas membantu presiden dalam pengembangan kebijakan Standardisasi Nasional, yang mencakup Metrologi Teknik, Standar, Pengujian dan Mutu sesuai dengan PP No. 102 Tahun 2000. Meskipun cakupan Standardisasi Nasional dalam PP 102 Tahun 2000 khususnya metrologi teknik dapat dipandang tidak sejalan dengan perkembangan infrastruktur Standardization, Quality, Accreditation and Metrology, yang mencakup kegiatan metrologi secara keseluruhan, infrastruktur dan 130 kelembagaan standardisasi yang ada hendaknya tetap dipergunakan dalam menetapkan hubungan antara kegiatan kemetrologian, standardisasi dan akreditasi. Sebagai tindak lanjut pembentukan DSN, BSN, dan KSNSU di mana ketentuan dalam Keppres 7 Tahun 1989, Keppres 13 Tahun 1997 dan Keppres 79 Tahun 2001 memberikan amanah kepada unit kerja di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang bergerak di bidang metrologi untuk melakukan Pengelolaan Teknis Ilmiah Standar Pengukuran Nasional; dalam hal ini, unit kerja tersebut adalah Puslit KIM-LIPI. Pada tahun 2004 Puslit KIM-LIPI telah menandatangani CIPM MRA, dan sejak 2004 secara terus menerus berpartisipasi dalam berbagai proses yang diperlukan untuk memperoleh pengakuan kesetaraan standar-standar pengukuran yang dikelolanya dalam skema CIPM MRA. Pada saat ini proses-proses tersebut telah menghasilkan pengakuan melalui publikasi dalam Lampiran C – CIPM MRA untuk standar-standar pengukuran kelistrikan (tegangan, arus dan tahanan DC), massa dan besaran turunannya (tekanan hidrolik dan standar massa), dan temperatur (termokopel dan platinum resistance). Pengakuan yang telah diperoleh ini hendaknya tetap dapat dipertahankan dalam penetapan lembaga metrologi nasional melalui ketentuan dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian karena proses untuk memperoleh pengakuan tersebut merupakan proses yang panjang dan tidak mudah. Gambar 10: Sampul dokumen CIPM MRA. Indonesia yang diwakili Puslit KIM-LIPI telah menjadi penandatangan dokumen ini sejak 2004. Pada tahun 2005, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan investasi berupa pembelian standar pengukuran primer untuk besaran dasar dan turunan yang berdasarkan analisis dibutuhkan secara nasional dengan menggunakan dana pinjaman 131 dari Islamic Development Bank (IDB). Peralatan-peralatan tersebut direalisasikan pengadaannya di Puslit KIM-LIPI pada tahun 2007 – 2008. Standar-standar tersebut, beserta seluruh pendukung material maupun sumber daya manusia yang mengelolanya, hendaknya menjadi pertimbangan utama pada saat merealisasikan tugas-tugas lembaga metrologi nasional melalui UU kemetrologian utama. Perlu menjadi perhatian bahwa di negeri ini masih sedikit para ilmuwan yang berkecimpung di bidang metrologi, oleh karena itu para pengelola standar pengukuran yang telah dimiliki bangsa ini yang telah memperoleh berbagai pelatihan dan pengalaman dalam kegiatan kemetrologian internasional merupakan aset utama yang harus didayagunakan sebagai sumber daya utama dalam pengembangan lembaga metrologi nasional. Direktorat Metrologi–Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri–Departemen Perdagangan sampai saat ini telah berperan sebagai wakil Indonesia dalam kegiatankegiatan metrologi legal regional (APLMF) dan internasional (OIML). Peran Direktorat Metrologi ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan lembaga metrologi legal nasional yang juga memiliki fungsi dan kewenangan untuk menetapkan regulasi metrologi legal nasional dan mengoordinasikan kegiatan metrologi legal yang diregulasikan oleh berbagai departemen atau lembaga pemerintah lainnya. Karena Puslit KIM-LIPI tidak mempunyai kompetensi dalam bidang metrologi kimia dan metrologi radiasi, selama ini bidang-bidang tersebut ditangani oleh Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K-LIPI) untuk metrologi kimia, dan Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTKMR-Batan) untuk metrologi radiasi. Kedua unit kerja tersebut telah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan uji banding antarlaboratorium di AsiaPasifik, namun secara formal belum mempunyai status resmi sebagai lembaga yang ditunjuk untuk bidang-bidang pengukuran tersebut. Kompetensi ini hendaknya dipertahankan dan dimanfaatkan dalam pembentukan Badan Metrologi Nasional yang diusulkan. 132 PUSTAKA [1] Undang-Undang Dasar 1945 dalam Satu Naskah (perubahan 4), Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2002 [2] Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal, 1981 [3] Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan [4] Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia – WTO [5] Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran [6] Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup [7] Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen [8] Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi [9] Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Pengawasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinasiptek) [10] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan [11] Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah [12] Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 1985 Tentang Wajib dan Pembebasan untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya [13] Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1987 Tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan dan Satuan Lain yang Berlaku [14] Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran [15] Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional [16] Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional [17] Keputusan Presiden RI Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional [18] Keputusan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2001 tentang Komite Akreditasi Nasional [19] Keputusan Presiden RI Nomor 79 Tahun 2001 tentang Komite Standar Nasional Satuan Ukuran [20] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IV/1998 Tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat Kesahatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan [21] International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology, ISO, BIPM, IEC, IUPAP, IUPAC, OIML, 1993 [22] Vocabulary of Legal Metrology, OIML, 2001 [23] CIPM-MRA: "International Committee on Weight and Measure-Mutual Recognition Arrangement", 133 [24] The SI Brochure, 7th edition, 2006 [25] OIML-B10.1 International Organization on Metrology Legal – Mutual Acceptance Arrangement, OIML 2004 [26] OIML D1: Element of Law on Metrology, OIML,2004 [27] OIML D9: Principles of Metrological Supervision, OIML 2004 [28] OIML D 14: Qualification of Legal Metrology Personnel, OIML [29] National Measurement Act 1960, Government of Australia, 2004 [30] Naskah Akademik tentang Lembaga Metrologi Nasional di Indonesia, KSNSU, BSN, Puslit KIM-LIPI, Direktorat Metrologi, Puslit Kimia LIPI, Puslitbang KRBiN BATAN, 2005 [31] An Agreement on Technical Barrier to Trade, World Trade Organization, 2004 [32] International Organization on Legal Metrology – Metre Convention – International Laboratory Accreditation Press Release, OIML-BIPM-ILAC, 2003 [33] Metrology in Short, Euromet Project No. 595, EU, October 2001 [34] Building Corresponding Technical Infrastructures to Support Sustainable Development and Trade in Developing Countries and Countries in Transition, Joint Committee on Coordination of Assisstance to Developing Countries in Metrology Accreditation and Standardization – JCDCMAS, 2004 [35] Evolving Needs for Metrology in Trade, Industry and Society and the Role of BIPM, Bureau Internationale des Poids et Mesures - BIPM, 2007 [36] Standard, Conformity Assessment and Developing Countries, Sherry M Stephenson, Trade Unit of Organization of American States, May 1997 [37] The Answer to Global Quality Challange: A National Quality Infrastructure, Clemens Sanetra, Rocio M Marban, Physikalisch Technische Bundesantalt (PTB), Organization of the American States, Sistema Interamericano De Metrologia, 2006 [38] An Assessment of United States Measurement System, NIST, 2006 [39] For Good Measure: The Making of Australia’s Measurement System, Jan Todd, Allen & Unwin Publishing, Australia, 2004 [40] Vietnam Ordinance on Measurement, Government of Socialist Republic of Vietnam, 1999 [41] National Measurement System Project, UK Departement of Trade and Industry, 2004 [42] Implementing metrology in Euroean research area, National Conference of Standard Laboratory International – NCSLI 2005 [43] Agenda riset nasional – Dewan Riset Nasional 2006 [44] Regional Workshop for Latin American Countries on the agreement on technical barriers to trade, Panama City 20-22 July 2004 [45] Jordania: Standards and Metrology Law for the Year 2000 [46] Afrika Selatan: Measurement Units and Measurement Standards Act, 2006 [47] Republik Slovenia: Metrology Act Ur. I. Rs No. 22/00 [48] Thailand: National Metrological System Development Act, B.E. 2540 (1997) 134 [49] Australia: National Measurement Act 1960 (with amendments up to Act No. 27 of 2004) [50] Surat Edaran Direktur Sertifikasi dan Kelaikan Udara No. DSKU/0141/STD/2006 tentang Kalibrasi Alat Ukur dan Peralatan Produksi atau Kerja terkait dengan Fasilitas Perawatan Pesawat Udara [51] Agreement on Technical Barrier to Trade, World Trade Organization, 1995 [52] Agreement on Establishing the World Trade Organization, 1995 [53] Revision of International Document No. 16: Principles of Assurance of Metrological Control, First Committee Draft, OIML, 2007 [54] Memorandum of Understanding between the CIPM and the ILAC, 2001 [55] Memorandum of Understanding between the OIML and the ILAC, 2006 135 Lampiran 1. Daftar Peraturan Perundang-undangan Terkait Pengukuran I. Peraturan Perundang-undangan Utama UU No. 2/1981 Tentang Metrologi Legal II. Umum 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 136 UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen UU No. 10/1961 Tentang Barang UU No. 2/1966 Tentang Higiene UU No. 3/1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan UU No. 3/1984 Tentang Perindustrian UU No. 15/1985 Tentang Ketenagalistrikan UU No. 23/1992 Tentang Kesehatan UU No. 7/1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia UU No. 9/1995 Tentang Usaha Kecil UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 10/1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 Tentang Perbankan UU No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah PP No. 10/1987 Tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan dan Satuan Lain yang Berlaku PP No. 120/2001 Tentang Satuan Ukuran SK 61/MPP/Kep/2/1998 Tentang Penyelenggaraan Kemetrologian SK 251/MPP/Kep/6/99 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 61/MPP/Kep/2/1998 Tentang Penyelenggaraan Kemetrologian SK 29/DJPDN/Kp/XII/98 Tentang Rincian dan Syarat-syarat Teknis Khusus UTTP Metrologi Legal SK 753/MPP/Kep/11/2002 Tentang Standardisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia SK 635/MPP/Kep/10/2004 Tentang Tanda Tera SK 636/MPP/Kep/10/2004 Tentang Ketentuan Izin Perbaikan UTTP SK 637/MPP/Kep/10/2004 Tentang Ketentuan UTTP Asal Impor SK 638/MPP/Kep/10/2004 Tentang UTTP yang Memerlukan Penanganan Khusus 24. SK 640/MPP/Kep/10/2004 Tentang Pegawai yang Berhak Menera dan Menera Ulang UTTP III. Pemisahan Peranan Direktorat Metrologi dan Lembaga Tera Daerah 1. SK 731/MPP/Kep/10/2002 Tentang Pengelolaan Kemetrologian dan Pengelolaan Laboratorium Kemetrologian 2. SK 30/DJPDN/Kp/XI/99 Tentang Pedoman Pengelolaan Standar dan Laboratorium Metrologi Legal 3. SK 01/M-DAG/Per/3/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perdagangan 4. SK 27/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium Standar Nasional Satuan Ukuran 5. SK 28/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengujian UTTP 6. SK 29/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Standardisasi Metrologi Legal 7. SK B/2039/M.PAN/10.2005 Perihal Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Direktorat Metrologi IV. Syarat-syarat Teknis Khusus (SSTK) SK 920/Dimet-1/III/1997 Tentang SSTK Meter Air Tentang SSTK Meter Arus Minyak Tentang SSTK Meter Arus Gas Tentang SSTK Truk Tanki Tentang SSTK Kereta Tanki Tentang SSTK Tanki Penyimpanan Tetap Tentang SSTK Meter Arus LPG V. W-H Meter SK 34A/KPB/II/1988 dan 0147/A.K/098M.PE/1988 Tentang Peneraan Alat-alat Ukur dan Perlengkapannya yang Dipergunakan pada Usaha Ketenagalistrikan VI. Truk Tanki SK 639/MPP/Kep/10/2004 Tentang KST Tanki Ukur Mobil VII. Barang Dalam Keadaan Terbungkus 1. UU No. 7/1996 Tentang Pangan 137 2. PP No. 69/1999 Tentang Label dan Iklan Pangan 3. SK 705/MPP/Kep/11/2003 Tentang Persyaratan Teknis Industri Air Minum dalam Kemasan dan Perdagangannya 4. SK 31/DJPN/Kp/XI/99 Tentang Pedoman Pengawasan Barang dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) 5. SK 634/MPP/Kep/9/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa yang Beredar di Pasar VIII. Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. SK 482/MPP/Kep/11/2000 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Penera di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2. SK 34/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan Metrologi 3. SK B/2004/M.PAN/10/2005 Perihal Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Departemen Perdagangan IX. Lembaga Tera Daerah 1. SK 32/DJPDN/Kep/XI/99 Tentang Pedoman Pembinaan Pos Ukur Ulang 2. SK 633/MPP/Kep/10/2004 Tentang Pedoman Penilaian Laboratorium Metrologi Legal 3. sSK 634/MPP/Kep/10/2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Laboratorium Metrologi Legal 138 Biografi Penyusun Dr. Husein A. Akil Lahir pada tanggal 11 April tahun 1956 di Garut, lulus dari Fisika Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) akhir tahun 1983 dan langsung bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi (Puslit KIM) yang saat itu masih bernama Lembaga Instrumentasi Nasional (LIN). Tahun 1988-1990 melanjutkan studi Master of Science (M.Sc) di bidang Acoustical Engineering dari University of Salford (Manchester, UK). Tahun 1991-1996 melanjutkan studi PhD di University of Liverpool dengan mengambil bidang keahlian Sound Propagation in Large Industrial Buildings. Kembali ke Puslit KIM-LIPI, sejak tahun 1997 hingga tahun 2000 menjabat Kepala Laboratorium Akustik dan Vibrasi. Sejak tahun 2001 hingga akhir tahun 2003 menjabat Kepala Bidang Instrumentasi. Kemudian sejak akhir tahun 2003 tersebut sampai sekarang menjabat Kepala Pusat. Jabatan fungsional saat ini adalah Peneliti Utama IVD (d/h Ahli Peneliti Madya) pada bidang kepakaran Metrologi Akustik. Kegiatan dalam organisasi profesi antara lain adalah Pendiri Himpunan Akustik dan Vibrasi Indonesia (HAVI). Sekretaris Himpunan Instrumentasi Indonesia (HimII) dan anggota dewan editor majalah ilmiah Instrumentasi serta menjadi salah satu yang merintis majalah ilmiah tersebut terakreditasi baik oleh DIKNAS maupun oleh LIPI. Sejak tahun 2004 hingga 2007 menjadi anggota Dewan Pengurus Masyarakat Standardisasi Nasional (Mastan). Sejak tahun 2005 hingga 2007 menjadi anggota Komisi Manajemen Teknis Perumusan Standar (MTPS)-BSN (Badan Standardisasi Nasional), dan sejak tahun 2007 hingga sekarang menjadi anggota Komisi Manajemen Teknis Penilaian Kesesuian (MTPK)-BSN. Di tingkat internasional, sejak tahun 2006 sampai sekarang terpilih menjadi anggota Executive Committee (EC) di APMP. 139 Drs. Dede Erawan, M.Sc. Lahir di Tasikmalaya, 22 Agustus 1957. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh di Tasikmalaya dan Singaparna, sebelum melanjutkan ke ITB dalam bidang fisika. Pendidikan pascasarjana diperoleh di Western Illinois University dengan gelar M.Sc. Memulai karir di Puslit KIM-LIPI sebagai staf di Laboratorium Suhu, hingga kemudian menjadi Kepala Balai Pengembangan Sistem Kalibrasi dan Metrologi (yang kemudian berubah menjadi Bidang Metrologi) dari tahun 1998 hingga 2007, dan saat ini menjadi Kepala Bidang Kalibrasi. Mempunyai banyak pengalaman sebagai anggota delegasi Puslit KIM-LIPI dalam pertemuan antarlembaga metrologi di APMP maupun di BIPM. Selain di Puslit KIM-LIPI, juga aktif di KAN sebagai asesor laboratorium kalibrasi. Juga pernah menjadi asesor untuk laboratorium yang diakreditasi oleh NATA, Australia. Donny Purnomo, ST. Lahir pada tanggal 15 Januari 1975 di Bojonegoro, menempuh pendidikan sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Fisika tahun 1993 s.d 1998. Setelah terlibat dalam beberapa kegiatan terkait dengan pemrograman dan instrumentasi medik, kegiatan kemetrologian dikenal pada saat mulai bekerja di Laboratorium Gaya dan Massa, Puslit KIM-LIPI pada tahun 2000. Pada pertengahan tahun 2001 mulai bekerja dalam kegiatan standardisasi dan akreditasi di Pusat Akreditasi Laboratorium dan Lembaga Inspeksi BSN, khususnya terlibat dalam kegiatan sekretariat KAN bidang Akreditasi Laboratorium Kalibrasi. Sejak tahun 2003 mulai berpartisipasi dalam Asia Pacific Laboratory Accreditation Cooperation (APLAC) Technical Meeting. Menjadi anggota APLAC Proficiency Testing Committee sejak tahun 2004 sampai sekarang, dan dipercaya sebagai koordinator program Uji Banding Antar Laboratorium Kalibrasi Regional yang diselenggarakan oleh APLAC untuk bidang pengukuran massa pada tahun 2006 dan bidang pengukuran volume pada tahun 2007. Dalam APLAC Technical Meeting 2007, mulai aktif sebagai anggota APLAC Technical Committee. Sampai saat ini secara aktif terlibat dalam penyusunan berbagai kebijakan dan pedoman KAN, khususnya terkait dengan kalibrasi dan metrologi, nara sumber dalam workshop maupun seminar tentang laboratorium kalibrasi, metrologi legal, serta sistem metrologi, dan sebagai instruktur dalam pelatihan-pelatihan sistem manajemen mutu laboratorium dan ketidakpastian pengukuran untuk laboratorium kalibrasi dan laboratorium uji di BSN maupun lembaga lainnya. 140 Agustinus Praba Drijarkara, M.Eng. Lahir di Bogor, 7 Desember 1971. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Sekolah Regina Pacis Bogor. Melanjutkan pendidikan tinggi dalam bidang electrical engineering di Universitas Wollongong, Australia dengan beasiswa dari pemerintah Indonesia dalam program STAID-BPPT. Setelah tamat pada tahun 1995, mulai bekerja di Puslit KIM-LIPI sebagai staf peneliti di Laboratorium Metrologi Dimensi. Pada tahun 1997-1999 melanjutkan studi di universitas yang sama dan mendapatkan gelar M.Eng (Hons). Tahun 2001 ditunjuk menjadi Kepala Subbidang Dimensi, yang kemudian berubah nama menjadi Subbidang Metrologi Panjang hingga saat ini. Beberapa pelatihan di bidang metrologi dijalani di Australia, Thailand, Taiwan dan Turki. Menjadi contact person untuk Puslit KIM-LIPI di Technical Committee for Length di APMP. Selain menjadi peneliti juga menjadi pengajar dalam kursus-kursus, antara lain metrologi dimensi, ketidakpastian pengukuran dan sistem mutu laboratorium. Selain di Puslit KIM-LIPI, aktivitasnya yang lain adalah sebagai asesor teknis (sejak 2002) dan kemudian sebagai asesor kepala (sejak 2007) untuk akreditasi laboratorium kalibrasi yang diselenggarakan KAN. Dwi Kirana Yuniasti, SH. Lahir pada tanggal 13 Juni 1981 di Jakarta, lulus sebagai Sarjana Hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 2003. Semasa kuliah, aktif di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Peranan Wanita, Universitas Padjadjaran, Bandung. Semakin mendalami dunia hukum ketika pada tahun 2003 tidak lama setelah lulus, bergabung di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sampai dengan tahun 2005. Pada pertengahan tahun 2006, mulai aktif bekerja di Puslit KIM-LIPI dengan jabatan fungsional Kandidat Perancang Peraturan Perundang-undangan. Berbagai dokumen kontrak, dokumen hukum maupun opini hukum telah dihasilkan sebagai bagian dari pekerjaannya. Selain mengurusi masalah hukum, juga mengurusi hubungan internasional Puslit KIM-LIPI dengan negara lain sebagai International Relationship Officer Puslit KIM-LIPI yang membuatnya mengenal lebih jauh mengenai metrologi. Sampai saat ini, masih aktif dalam berbagai seminar mengenai ilmu hukum dan perundangan-undangan dan berbagai kegiatan perancangan peraturan perundang-undangan, baik yang diprakarsai oleh LIPI maupun pihak lain. 141 Dadang Rustandi, ST. Lahir di Garut, 11 November 1960. Tamat dari STM Pembangunan Bandung. Bergabung dengan Lembaga Instrumentasi Nasional (kemudian menjadi Puslit KIM-LIPI) tahun 1985. Kemudian meneruskan studi S1 di Universitas Nasional Jakarta. Bidang keahliannya adalah instrumentasi dan kontrol dan mempunyai banyak pengalaman dalam proyek-proyek perekayasaan. Pada saat penyusunan buku ini, menjabat Kepala Subbidang Instrumentasi Industri. Dr. Sunarya Lahir pada tanggal 24 November tahun 1949 di Boyolali, menyelesaikan pendidikan sarjana Farmasi dari UGM pada tahun 1974 dan pendidikan Apoteker di UGM bulan Januari 1976. Pendidikan Post Graduate diselesaikan di UK pada tahun 1984 dan Ph.D pada tahun 1987 dalam bidang Food Science. Memulai karir di Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP), sampai menjabat sebagai Kepala BBPMHP tahun 1987 s.d 1998. Sejak tahun 1998 menjabat Direktur Penerapan Standar dan Akreditasi Laboratorium Badan Standardisasi Nasional sampai dengan tahun 2002. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Deputi Penerapan Standar dan Akreditasi Badan Standardisasi Nasional dan Sekretaris Komite Akreditasi Nasional. Tahun 2004 sampai sekarang sebagai Sekretaris Jenderal Masyarakat Standardisasi. Dalam CODEX Alementarius Commission secara aktif berpartisipasi sebagai anggota Executive Committee. Pada saat ini aktif menghadiri berbagai workshop atau seminar di bidang standardisasi baik sebagai nara sumber, pembicara ataupun peserta di tingkat Nasional maupun internasional. Sejak tahun 2005 hingga sekarang menjadi anggota Komisi Manajemen Teknis Perumusan Standar (MTPS)-Badan Standardisasi Nasional, dan sejak tahun 2007 hingga sekarang menjadi Ketua Komisi Manajemen Teknis Penilaian Kesesuian (MTPK)-Badan Standardisasi Nasional. 142 Indeks Alfabetis AGAL, Australian Government Analytical Laboratory................................................... 74 APEC, Asia Pacific Economic Cooperation..... 3 APLAC, Asia Pacific Laboratory Accreditation Cooperation................................................... 4 APLMF, Asia Pacific Legal Metrology Forum 4 APMP, Asia Pacific Metrology Programme.....4 Bapeten, Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional....................................................... 83 BDKT, barang dalam keadaan terbungkus..... 72 BIPM, Bureau International des Poids et Mesures..........................................................6 BIPM, Bureau Internationale des Poids et Mesures..........................................................4 BMN, Badan Metrologi Nasional................. 119 BPOM, Badan Pemeriksa Obat dan Makanan ................................................................... 104 BSN, Badan Standardisasi Nasional............... 15 BV, Bureau Veritas......................................... 15 CGPM, Conférence Générale des Poids et Mesures........................................................51 CIPM, Comité International de Poids et Mesure ....................................................................... 7 CRM, certified reference material.................. 48 Cubit................................................................12 DSKU, Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara83 DSN, Dewan Standardisasi Nasional..............15 E-mark.............................................................72 EUROMET, European Community melalui European Collaboration in Measurement Standards; sekarang menjadi Euramet...........5 European Directive on Non-Automatic Weighing Instruments................................102 Hari Metrologi Dunia......................................14 IAEA, International Atomic Energy Agency....7 IAF, International Accreditation Forum....... 4, 6 IEC, International Electrotechnical Committe..4 ILAC, International Laboratory Accreditation Cooperation................................................... 4 IMERA, Implementing Metrology in European Research Area..............................................29 Infrastruktur metrologi..................................2, 3 Infrastruktur mutu nasional.............................31 ISO, International Organization on Standardization.............................................. 4 ITC, International Trade Centre........................6 ITU-T, Telecommunication Standardization Bureau of International Telecommunication Union............................................................. 6 JCDCMAS, Joint Committee on Coordination of Assisstance to Developing Countries in Metrology, Accreditation and Standardization ....................................................................... 6 K 46.................................................................15 Kalibrasi.......................................................... 20 KAN, Komite Akreditasi Nasional................. 23 Kesetaraan.........................................................3 Ketertelusuran pengukuran............................... 3 KOLAS, Korean Laboratory Accreditation Scheme.........................................................27 KSNSU, Komite Standar Nasional Satuan Ukuran......................................................... 15 Lembaga Pembina SNSU................................15 LG................................................................... 27 LIPI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia..15 LMN, lembaga metrologi nasional........... 15, 20 Lord Kelvin..................................................... 31 LPND, Lembaga Pemerintah Nondepartemen ................................................................... 119 Metrik, Satuan Sistem Metrik......................... 15 Metrologi...........................................................3 Metrologi ilmiah......................................... 5, 10 143 Metrologi industri......................................... 5, 9 Metrologi legal..............................................5, 8 NARL, National Analytical Reference Laboratory................................................... 74 NATA, National Association of Testing Authorities................................................... 24 NCSLi, National Conference of Standards Laboratory..................................................... 7 NCWM, National Conference of Weight and Measures......................................................74 NIST, National Institute of Standard and Technology.................................................. 18 NLMI, national legal metrology institute....... 47 NMI, national metrology institute...................47 NMIA, National Measurement Institute of Australia – Ministry of Industry, Tourism and Resources.....................................................74 NMIJ-AIST, National Metrology Institute of Japan – Advance Institute of Science and Technology.................................................. 74 NML-CSIRO, National Measurement Laboratory – Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation.................74 NSC, National Standard Commission.............74 NVLAP, National Voluntary Laboratory Accreditation Programme............................74 OIML D1, International Document OIML D1. 6 OIML, Organisation Internationale de Metrologie Legale..........................................4 Ordonansi Tera................................................14 Otoritas metrologi legal.................................. 20 Otoritas metrologi nasional.............................40 OWM, Office of Weight and Measures.......... 74 P2K-LIPI, Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia......................132 PAC, Pacific Accreditation Cooperation.......... 4 Panitia Induk untuk Meter dan Kilogram....... 15 PASC, Pacific Area Standard Conference........ 4 Pengelolaan standar pengukuran nasional...... 20 Naskah Akademik 20080211b.odt 144 Pengelolaan teknis ilmiah standar pengukuran nasional........................................................ 15 Pertamina........................................................ 15 PTKMR-Batan, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional..................................................... 132 Puslit KIM, Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi........................27 Samsung.......................................................... 27 Satuan non-SI..................................................90 Satuan tambahan............................................. 90 SI Brochure..................................................... 90 SI, Sistem Internasional Satuan.................. 2, 15 SIM, Sistema Interamericano de Metrologia.. 58 Sinasiptek, Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Pengawasan Ilmu Pengetahuan.................................................34 SNSU, Standar Nasional Satuan Ukuran........ 15 SPBU, stasiun pengisian bahan bakar umum..15 Undang-undang metrologi di dunia.................. 6 UNIDO, United Nations Industrial Development Organization............................6 UTTP, Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya........................................100 UUML, Undang-Undang Metrologi Legal atau UU No. 2 Tahun 1981................................. 15 VIM, International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology......................... 3 VML, International Vocabulary of Terms in Legal Metrology/......................................... 63 WHO, World Health Organization................... 7 WMO, World Meteorogical Organization........ 7 WSSD, World Summit on Sustainable Development..................................................6 WTO-TBT, World Trade Organization Agreement on Technical Barrier to Trade1, iii WTO, World Trade Organization..................... 1 X 27.................................................................15 145