Metrologi kimia: Peningkatan Kualitas dan Keamanan

advertisement
Metrologi kimia: Peningkatan Kualitas dan Keamanan Pangan
Rosi Ketrin
Pusat Penelitian Kimia – LIPI
Jl. Cisitu – Sangkuriang, Bandung – 40135 Indonesia
Abstrak
Perdagangan global memungkinkan produk dengan berbagai kualitas masuk ke
dalam suatu negara. Diperlukan infrastruktur metrologi kimia yang kuat dan kokoh
yang didukung oleh laboratorium-laboratorium kompeten yang menerapkan sistem
jaminan mutu yang sistematis berlandaskan metrologi kimia untuk dapat mencegah
masuknya produk-produk pangan berkualitas rendah.
Abstract
Global trade enables all of kind of products with different quality to enter such
country. Strong and stable metrology in chemistry infrastructure that supported by
competent laboratories which apply systematic quality assurance is needed to
restrain the entering of low quality of the products.
Pendahuluan
Dengan adanya perdagangan global, maka produk-produk makanan dari berbagai
negara diperdagangkan ke seluruh dunia secara bebas. Produk yang ditawarkan
harus dapat memenuhi semua persyaratan dan regulasi sebelum dapat dilepaskan
ke pasar. Ada berbagai produk makanan dengan berbagai kualitas ditawarkan di
pasar dan bisa saja produk berkualitas rendah masuk ke suatu negara bila negara
tersebut tidak memiliki sistem keamanan pangan yang kuat. Sistem ini sangat
bergantung pada data hasil pengujian yang valid, komparabel dan dapat dipercaya
oleh semua pihak. Selain itu, peningkatan kualitas produk yang berarti daya saing di
pasaran internasional juga membutuhkan data uji kualitas yang akurat. Data
tersebut sangat diperlukan sebagai penunjang penting perdagangan.
Produk makanan untuk konsumsi manusia dikategorikan sebagai produk kompleks.
Data dari produk inilah yang seringkali menimbulkan masalah dalam perdagangan
ekspor-impor karena adanya perbedaan data hasil pengujian laboratorium antara
negara pengekspor dan negara pengimpor. Inilah yang disebut sebagai hambatan
teknis perdagangan atau technical barrier to trade (TBT). Untuk mengatasi hal ini
dan juga untuk menghindari dilakukannya duplikasi pengujian laboratorium
diperlukan adanya saling pengakuan akan hasil pengujian laboratorium baik dari
pihak pengekspor maupun dari pihak pengimpor. Saling pengakuan akan hasil
pengujian
ini
merupakan
faktor
penting
untuk
memfasilitasi
perdagangan
internasional, khususnya untuk produk makanan. Saling pengakuan ini hanya bisa
didapatkan bila hasil pengujian dari laboratorium yang terbukti kompeten dapat
memenuhi kriteria yang berlaku secara internasional. Di sinilah peranan metrologi
kimia diperlukan.
Saat ini, salah satu program dari Consultative Committee for Amount of Substance
(CCQM)
-
Badan
Metrologi
Dunia
(BIPM)
adalah
memperkenalkan
dan
mengharmonisasikan kegiatan badan metrologi nasional (NMI) di setiap negara
untuk dapat mengembangkan metrologi kimia agar setiap hasil pengujian kimia
dapat tertelusur ke standar yang sama yang diakui secara internasional (satuan
Sistem Internasional, SI). Dengan demikian, diharapkan setiap hasil pengujian kimia
dapat diperbandingkan satu sama lain, tidak terbatas waktu dan tempat di negara
manapun pengujian tersebut dilakukan [1]. Bila suatu negara A mengakui
kemampuan pengujian dari negara B, maka negara A akan menerima hasil
pengujian negara B apa adanya, tanpa perlu dilakukan pengecekan ulang. Hal ini
akan menghindari dilakukannya pengujian ganda atau berulang, sehingga dapat
mengurangi biaya pengujian dan meningkatkan efisiensi analisis, menghindari
terjadinya
penolakan
export/import
karena
perbedaan
hasil
pengujian,
meningkatkan produkifitas dan tentu saja akan berpengaruh pada kestabilan
ekonomi dari suatu negara.
Metrologi kimia
Metrologi kimia merupakan ilmu tentang pengukuran, yang merupakan landasan
untuk setiap pengujian kimia. Metrologi kimia menjadi sangat penting karena
berhubungan dengan hampir semua aspek kehidupan kita. Khususnya di bidang
makanan, metrologi kimia memegang peranan penting untuk menjamin bahwa
produk yang ada adalah aman untuk dikonsumsi. Bukan hanya itu saja, ada banyak
keputusan-keputusan yang menyangkut regulasi yang berkaitan dengan kualitas dan
keamanan
pangan
sangat
bergantung pada pengujian
secara kimia yang
berlandaskan metrologi untuk menjamin validitas data yang dihasilkan.
Konsep utama dari metrologi kimia adalah ketertelusuran hasil pengukuran atau
pengujian yang dilengkapi dengan nilai ketidakpastian hasil pengujiannya. Seluruh
pengujian kimia harus tertelusur satuan SI untuk pengujian kimia. Ketertelusuran
pengujian kimia diberikan pada Gambar 1 [2].
Satuan SI
(1 mol = 0.012 kg atom
12C)
Standard Internasional
(misalnya standard massa)
Bahan Acuan Murni
(misalnya KIO3, Ag murni)
Metode Primer
(misalnya gravimetri, titrimetri)
Bahan Acuan Bermatriks Primer
(misalnya CRM dari NIST, IRRM)
Metode dan Bahan Acuan Sekuncer
(misalnya AAS, Na2S2O3)
Metode dan Bahan Acuan Kerja
(misalnya metode untuk pengujian in-house RM)
Gambar 1
Ketertelusuran pengujian kimia.
Berbeda dengan ketertelusuran fisika ke SI yang lebih transparan dan langsung,
ketertelusuran kimia ke satuan SI adalah lebih sulit. Satuan SI untuk pengukuran
kimia (amount of substance) adalah mol, yaitu jumlah atom atau molekul yang
setara dengan 0.012 kilogram atom karbon-12. Penerapan dari satuan mol ini untuk
menggambarkan ketertelusuran kimia masih membingungkan, karena itu masalah
ketertelusuran pengukuran kimia dipecahkan dengan perantaraan metode primer
dan bahan acuan [Error! Reference source not found.].
Metode primer adalah metode yang terkait langsung ke satuan-satuan SI. Beberapa
contoh metode primer dalam pengujian kimia adalah Spektrometri Massa
Pengenceran Isotop (Isotop Dilution Mass Spectrometry-IDMS), kulometri, gravimetri,
titrimetri, kalorimetri, dan analisis aktivasi neutron (NAA). Semua metode ini dapat
tertelusur secara langsung ke SI. Karakteristik dari metode primer adalah sebagai
berikut:
1. “standard-free” sehingga tidak membutuhkan kalibrasi ataupun koreksi
apapun.
2. Semua tahapannya dapat diidentifikasi dan diterangkan secara mendetail,
lengkap dengan sumber-sumber kesalahan untuk dapat dihitung nilai
ketidakpastiannya.
Nilai
ketidakpastian
ini
dapat
dituliskan
dengan
menggunakan satuan SI.
3. Senyawa murni yang digunakan dapat diuji kemurniannya secara transparan.
Terdapat dua kategori metode primer, yaitu metode absolute atau langsung dan
metode relative. Untuk pengukuran kimia, hanya ditemukan beberapa metode
primer saja, karena sebagian besar metode analisis instrumental bukanlah metode
primer. Contoh metode primer absolute adalah gravimetri, titrimetri, koulometri, di
mana metode ini tidak
memerlukan
standar ukur. Isotope dilution
mass
spectrometry (IDMS) adalah salah satu contoh dari metode primer relative yang
mengukur rasio dua analit (isotop) yang berhubungan. Konversi rasio ke hasil ukur
memerlukan suatu standar, misalnya spike dari suatu komposisi yang diketahui [4].
Namun tidak semua parameter uji kimia dapat dilakukan dengan menggunakan
metode-metode tersebut diatas, misalnya pengujian protein atau serat tidak akan
mudah diketahui ketertelusurannya [3]. Untuk metode yang bukan metode primer,
masalah ketertelusuran ini dipecahkan dengan menggunakan bahan acuan
bersertifikat, di mana nilai acuannya telah diketahui dengan pasti. Bahan acuan ini
terdiri dari bahan acuan murni yang biasanya disebut sebagai standard reference
materials dan bahan acuan bermatriks. Bahan acuan murni biasanya dipakai untuk
pembuatan larutan standard kerja dan juga untuk mengkalibrasi peralatan,
sedangkan bahan acuan bermatriks dipakai sebagai quality assurance (QA) dan
quality control (QC) dari suatu metode analisis [5]. Ketertelusuran dari suatu
pengujian kimia dengan menggunakan CRM ini diberikan pada Gambar 2.
Laboratorium
kalibrasi
terakreditasi
Pembuat bahan
acuan bersertifikat
(CRM)
Laboratorium Pengujian
Anaktimbangyang
terkalibrasi
neraca
Gambar 2
Certified
Reference Material
(CRM)
Instrumenanalitik
Ketertelusuran pengujian kimia menggunakan CRM.
Bahan acuan sangat diperlukan di dalam sistem jaminan mutu yang sistematis,
seperti dijelaskan pada Gambar 3. Penerapan sistem ini meliputi kontrol dan
monitoring terhadap mutu data secara internal dan eksternal QC. Yang termasuk
pengujian dengan Internal QC yaitu analisis RM, pengujian standar, blanko dan
sampel, replikasi analisis, serta pembuatan control chart. Analisis RM untuk internal
QC biasanya dilakukan untuk pengembangan metode dan melakukan validasi pada
metode metode baru. Tetapi dapat juga dipakai untuk memeriksa kualifikasi atau
melakukan verifikasi pada instrumentasi analisis dan metode yang digunakan [3].
Penggunaan RM ini hanya dapat dievaluasi bila didapatkan hasil pengujian yang
benar dengan estimasi ketidakpastian yang dapat dipercaya. Melakukan pengujian
RM bersamaan dengan sampel yang tidak diketahui dengan menggunakan metode
dan peralatan yang sama, dan dilakukan pada hari yang sama pula dapat
memberikan keterkaitan hasil pengujian sampel tersebut, sehingga dapat tertelusur
ke nilai yang dapat diterima secara internasional.
Perumusan Masalah
Pengambilan Sampel (Contoh Uji)
Proses dan Pengawetan
Preparasi Sampel
Q
B
A
/
M
P
b
Identifikasi Analit
Pengujian Secara Kuantitatif
Evaluasi
Kesimpulan
Gambar 3
Penggunaan bahan acuan di dalam sistem jaminan
mutu yang sistematis.
Eksternal QC salah satunya dilaksanakan melalui program uji profisiensi untuk
membuktikan kemampuan laboratorium. Untuk pelaksanaan uji profisiensi ini, tidak
perlu digunakan CRM, tetapi cukup dengan menggunakan QC sample saja [5]. Agar
kemampuan laboratorium dapat diterima secara internasional, laboratorium perlu
mengikuti program uji banding secara internasional (international intercomparison).
BIPM menggunakan istilah Pilot Study dan Key Comparison untuk uji banding
tersebut, di mana pada uji banding ini nilai benar yang digunakan sebagai tolok ukur
adalah nilai acuan, dan bukan nilai konsensus (nilai berdasarkan hasil pengujian dari
lab-lab peserta). Penggunaan nilai acuan memberikan kepercayaan diri pada
kebenaran dan akurasi hasil uji banding tersebut [6]. Untuk wilayah Asia Pasifik, uji
banding ini dikoordinasi oleh Asia Pacific Metrology Program (APMP).
Pentingnya Metrologi Kimia untuk Peningkatan Kualitas dan Keamanan
Pangan
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya September 2008, dunia digemparkan dengan
berita tentang melamine (C3H6N6), yaitu suatu senyawa kimia yang biasanya
digunakan dalam industri pupuk, plastik dan lem, yang ternyata ditemukan dalam
serbuk susu bayi (SanLu Milk Powder, China). Melamin bukan protein, melainkan
trimer dari cyanamida (yang sangat beracun), yang banyak mengandung gugus
amino. Melamin ini sengaja ditambahkan untuk mengelabui kadar protein dari susu.
Kadar protein dalam susu seakan-akan tinggi padahal sesungguhnya kadar N-total
yang merupakan dasar penetapan protein tersebut sebagian berasal dari N-melanin.
Ternyata, bayi yang meminum susu tersebut mendapatkan berbagai masalah serius
dengan ginjalnya; ditemukan ada lebih dari 54 ribu anak mengalami masalah
kesehatan serius hingga 4 bayi meninggal di China [7].
Penggunaan zat aditif pada makanan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Selain
berfungsi sebagai pengawet, penguat citarasa, perbaikan penampilan, perbaikan
tekstur, maupun pencegah pengerasan, juga dapat berfungsi sebagai fortifikasi gizi
seperti vitamin, mineral, dan zat gizi lain untuk program perbaikan gizi masyarakat.
Namun, banyak ditemukan industri-industri makanan yang mencantumkan label
yang tidak sesuai, sehingga didapatkan beberapa penggunaan zat aditif yang
melebihi ambang batas. Di sini terlihat perlunya kontrol dan monitoring yang bukan
hanya ketat tetapi juga harus berkualitas, yang dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan melindungi masyarakat dengan menyediakan makanan yang aman
untuk dikonsumsi.
Selama tahun 2004 terjadi 70 kasus penolakan ekspor perikanan dari Uni Eropa dan
pada tahun 2005 masih ditemukan sebanyak 49 kasus, yang meliputi baik karena
kontaminasi mikrobiologi (seperti ikan kaleng yang terkontaminasi Salmonella),
cemaran logam berat, maupun karena mengandung residu antibiotik. Cemaran
tersebut umumnya disebabkan oleh adanya kontaminasi yang berasal dari tambak,
tanah, dan air yang sudah tercemari limbah industri maupun domestik. Indonesia
merupakan salah satu negara pemasok yang mendapat sorotan tajam dari Komisi
Eropa karena kasus yang dialami merupakan kasus terbanyak dibanding negara
pemasok yang lain. Tentu saja kasus ini sangatlah merugikan negara, bukan hanya
karena menurunkan devisa negara, tetapi juga dapat meningkatkan angka
pengangguran. Pasar Uni Eropa merupakan pasar ekspor ketiga terbesar bagi
Indonesia, setelah AS dan Jepang; pada tahun 2006 saja, volume ekspor Indonesia
ke Uni Eropa mencapai 80 ribu ton dengan nilai ekspor US$ 249,95 juta atau 14,02
persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia [8]. Bisa dibayangkan kerugian
negara karena masalah penolakan ini, yang sebetulnya bersumber pada lemahnya
kontrol, monitoring dan pengujian, serta tidak adanya infrastruktur metrologi kimia
di Indonesia. Kendati embargo impor tuna dan udang Indonesia telah dihapuskan
pada tahun 2010, komisi Eropa tetap memperketat pengawasan prosedur ekspor
ikan asal Indonesia. Pengawasan ini meliputi kontrol terhadap kualitas dan
standardisasi
kesehatan
pengolahan
ikan
yang
akan
dikonsumsi,
dengan
menerbitkan approval number dan sertifikat sehat untuk ekspor ikan ke Uni Eropa,
termasuk prosedur verifikasi yang dilakukan DKP (Departemen Kelautan dan
Perikanan) terhadap tambak dan instalasi pengolahannya [9].
Pada umumnya kelemahan dari laboratorium pengujian pangan disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan pengujian dalam suatu matriks yang kompleks. Produk
pangan mempunyai matriks yang sangat beragam dan kompleks bergantung pada
jenis bahan baku dan proses pembuatannya. Keterbatasan ini dapat diatasi bila
laboratorium menerapkan sistem jaminan mutu yang sistematis seperti dijelaskan di
atas.
Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan di bidang eksport-import, dukungan
dari laboratorium yang berkualitas tidaklah cukup, tetapi diperlukan suatu
infrastruktur metrologi kimia yang stabil. Infrastruktur metrologi kimia ini meliputi
NMI yang sudah menandatangani CIPM-MRA (perjanjian saling pengakuan untuk
hasil pengujian dan pengukuran antar negara anggota CIPM), beserta satu atau
beberapa Designated Institute (DI) yang terlibat aktif dalam kegiatan metrologi
internasional dan kompetensinya sudah diakui secara internasional, serta terdaftar di
dalam website BIPM.
Infrastruktur metrologi kimia di Indonesia
Indonesia sudah memiliki lebih dari 400 laboratorium terakreditasi dengan lebih dari
80 laboratorium pangan. Di Indonesia belum berkembang laboratorium pangan yang
mengkhususkan diri pada bidang spesialisasi tertentu, seperti pangujian residu
pestisida, residu antibiotic dalam hewan, kandungan logam berbahaya, dll.
Laboratorium spesialis seperti itu berpotensi dikembangkan sebagai laboratorium
rujukan yang dibutuhkan oleh laboratorium-laboratorium pengujian lain sebagai
pembanding.
Laboratorium rujukan dapat memperluas fungsinya seperti menyediakan contohcontoh uji profisiensi yang memiliki nilai acuan, menyediakan in house reference
materials bahkan pada tingkat nasional dengan mensertifikasi bahan acuan. Semua
ini digunakan laboratorium pengujian untuk menjamin validitas hasil pengujian yang
tertelusur ke SI. Laboratorium rujukan memperoleh ketertelusuran tersebut dari NMI.
Dapat pula Laboratorium rujukan ditingkatkan kapabilitasnya setara dengan NMI
yang memiliki ases ke program-program uji banding internasional termasuk yang
regional seperti APMP dan CCQM Key Comparison.
Di bawah CIPM-MRA, suatu NMI dapat menominasikan institusi lain sebagai DI yang
dapat melaksanakan fungsi NMI untuk bidang pengujian spesialisasi yang penting
secara nasional. DI adalah laboratorium atau lembaga yang ditunjuk oleh badan
pemerintah
yang
berwenang
sebagai
laboratorium
rujukan
dengan
fungsi
mendiseminasikan ketertelusuran pengukuran yang diakui internasional di bidang
kepakarannya langsung kepada laboratorium-laboratorium penguji rutin yang
melakukan pengujian di bidang yang sama. Maka DI harus memiliki kapabilitas dan
kompetensi pada bidang yang spesifik saja, misalkan saja laboratorium medis,
laboratorium pangan, lingkungan, bioteknologi, dsb.
Ada
beberapa
model
yang
dapat
dipakai
oleh
NMI
untuk
menerapkan
dan
mengembangkan infrastruktur metrologi kimia; biasanya model yang dianut disesuaikan
dengan kebijakan dan kondisi dari suatu negara. Pada beberapa negara, NMI memiliki
kekuasaan dan tanggung jawab penuh untuk mengembangkan metrologi di negara tersebut.
Tetapi ada banyak pula negara yang NMI-nya sama sekali tidak didukung secara hukum.
Pada dasarnya terdapat dua model yang ekstrim, yaitu model sentralisasi dan desentralisasi.
Variasi dari model sentralisasi adalah yang disebut dengan model partnership. Model
partnership ini tepat bila NMI memiliki kemampuan pengukuran yang terbatas, sehingga
perlu menjalin kerjasama dengan beberapa organisasi yang memiliki bidang pengujian
spesifik [9].
Bila melihat model yang dapat dipakai oleh NMI untuk menerapkan dan
mengembangkan infrastruktur metrologi kimia, maka model yang paling tepat untuk
diterapkan di Indonesia adalah partnership model, di mana NMI dan DI bersamasama merupakan satu kesatuan, dengan NMI sebagai koordinator. Untuk itu, NMI
harus memiliki kapabititas untuk mengembangkan CRM primer dari bahan murni,
menyediakan CRM yang tertelusur ke SI, memberi nilai acuan kepada bahan acuan
sekunder, memberi nilai acuan in-house RM, memberi nilai acuan kepada
penyelenggara uji profisiensi melalui contoh uji profisiensi.
Saat
ini, Pusat Penelitian
Kimia-LIPI
bersama-sama dengan
Pusat Sarana
Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal), Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Nasional (PPOMN), Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan
(BBP2HP), Balai Besar Industri Agro (BBIA), Balai Pengujian Mutu Barang (BPMB),
dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta
sedang mencoba
membangun kompetensi yang spesifik untuk setiap pengujian kimia, khususnya di
bidang pangan dan lingkungan. Diharapkan laboratorium-laboratorium inilah yang
dapat menjadi penopang untuk berdirinya infrastruktur pengujian kimia di Indonesia.
Dengan terbentuknya infrastruktur ini kita tidak hanya dapat mencegah masuknya
produk-produk pangan berkualitas rendah ke negara kita, tetapi juga dapat
meningkatkan kualitas dan keamanan pangan kita.
Kesimpulan
Dari masalah yang diungkapkan di sini terlihat bahwa kontrol, monitoring dan
pengujian yang berkualitas sangat diperlukan untuk peningkatkan kualitas dan
keamanan pangan. Kontrol, monitoring dan pengujian pangan yang berkualitas
hanya bisa diperoleh bila laboratorium menerapkan sistem jaminan mutu yang
sistematis dengan berlandaskan metrologi kimia.
Selain itu, NMI yang kompeten sangat dibutuhkan sebagai landasan terbentuknya
infrastruktur metrologi kimia nasional yang kuat dan kokoh. Dengan adanya
infrastruktur metrologi kimia yang kuat dan kokoh, maka masalah-masalah nasional
yang bermuara dari tidak akuratnya data hasil pengujian, khususnya di bidang
keamanan pangan dapat teratasi. Selain itu, berbagai masalah teknis perdagangan
yang biasanya timbul karena perbedaan standar dan hasil pengujian, dapat
dihilangkan
dan
ditanggulangi
sehingga
dapat
meningkatkan
perekonomian
Indonesia.
Pustaka
1. G. Dube, Accred Qual Assur 6-2001-3, Metrology in chemistry – a public task.
2. C. Cherdchu, APMP 2008-Technical Meeting Jakarta, The experience about development
of metrology in chemistry in Thailand.
3. R. Kaarls, Accred Qual Assur 11-2006-162, Metrology in chemistry: Rapid
developments in the global metrological infrastructure, the CIPM MRA and its
economic and social impact.
4. M. Valcarcel, B Lendl, Trends in Analytical Chemistry 23-2004-527, Analytical
chemistry at the interface between metrology and problem solving.
5. H. Emons, A. Held, F. Ulberth, Pure Appl Chem 78-2006-135, Reference
materials as crucial tools for quality assurance and control in food analysis.
6. A. Baldan, A. M. V. Veen, D. Praub, A. Recknagel, N. Boley, S. Evans, D. Woods,
AQA 6-2001-164, Economy of proficiency testing: reference value consensus
values.
7. FAO newsroom, tanggal 26 Sep 2008, Melamine milk crisis.
8. Tempo interaktif, 24 Juli 2008, Pemerintah awasi produk perikanan.
9. Bali Post online, 7 Juni 2004, Komisi Eropa perketat pengawasan kualitas dan
standardisasi Ikan.
10. APMP-PTB, Guide No 3/2009, A guide to Creating or Improving a National
Metrology in Chemistry Infrastructure.
Download