etika dalam kitab suci dan relevansinya

advertisement
ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA
DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI
Oleh Komaruddin Hidayat
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang
mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku
manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun
teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas
seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis.
Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam
level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam
kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. [1]
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan
manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan
bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu
sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam
etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya,
atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme
universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama
pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam --pada batas tertentu-ialah aliran Muitazilah. [2]
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu
tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu.
Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja
subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari
etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah.
Menurut faham Asy’ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada
obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah
berpandangan bahwa menusia itu bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing
oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana
yang buruk.
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan
yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam kitab suci? sedangkan telah
disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham
rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh
Asy’ariyah.
Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke
dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya
perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyaratisyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia. [3]
ETIKA DAN KEBEBASAN
Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana
tindakan itu produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu
pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam
keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengamsumsikan
kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawaban
moralnya.
Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariah yang
berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan,gerak
wayang, yang ditentukan oleh ‘dalang’ tak ada tempat bagi konsep etika voluntarisme
rasional Kantianisme.
Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan
terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa
suatu pandangan positif bahwa manusia memang pantas mendapatkan julukan ahsan-u
‘l-taq wim, puncak ciptaan Tuhan meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus
diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Barangkali saja dalam perspektif
yang demikian ini kita bisa memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasulNya
telah diakhiri, sementara kehidupan menusia kian hari kian berkembang sedemikian
kompleknya.
Sebelum kerasulan Muhammad problema kehidupan manusia tidak sekomplek pascaMuhammad, namun justeru pada masa-masa itu Allah sering mengirimkan rasulrasulNya. Mengapa demikian, biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan Allah
yang diturunkan kepada manusia. Kedua, manusia dengan kemampuan rasionalitasnya
telah mampu mengevaluasi kehidupan kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.
Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna tersirat
pada surat al-Maidah ayat 3 dan surat alAnbiya ayat 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam adalah
nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah
agama rahmat bagi seluruh alam. Secara dogmatis theologis kedua
klaim di atas memang sudah lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan
empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali kebenarannya dalam perjalanan
sejarahnya.
Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan
dalam wacana yang memiliki sifat lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa
al-Qur’an disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa mau tidak mau bersifat budaya, ia terikat dengan kaidah-kaidah sosial dan konsensus
budaya. Jadi, universalitas pesan al-Qur’an akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga
memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan
substansi bahasalah yang secara jelas merupakan dimensi universal yang melekat pada
manusia. Manusia dibedakan dari
binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal symbolicum, yaitu makluk
yang hidup dengan symbol-symbol. [4] Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir
tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus berbicara ataupun
menulis.
Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu masyarakat tercipta,
komunikasi antar mereka berlangsung, dan
dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan
oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 dimana Allah telah mengajar ‘nama-nama’ pada Adam.
Karena rasionalitas dan sistem symbol yang dimiliki manusia maka realitas masa lampau bisa
direkontruksi, diceritakan dan dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah.
Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa diwariskan kepada generasi ke
generasi lantaran adanya sistem simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Qur’an yang secara
eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas dan sistem
simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa membuat suatu pengandaian, kalau saja
al-Qur’an bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah
terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam
kehidupan modern.
Dengan kata lain, al-Qur’an dan pesan-pesannya kini telah menjadi bagian integral dari
realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan
Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat pandangan positif al-Qur’an tentang
manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat al-Qur’an segera kelihatan bahwa etika al-Qur’an amat
humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Qur’an seperti
halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja
keras, cinta ilmu, dan lain sebagainya, semuanya amat sejalan dengan prestasi rasionalitas
manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam
tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai
perbandingan baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern.
Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles
membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan
menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metodemetode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat;
kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu
yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar
untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang
dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi;
dan keyakinan pada keadilan yang bisa diratakan. [5]
Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan
Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Qur’an.
Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali
muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam
perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal.
Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan
direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan
moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan
menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai.
Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran.
Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi
amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam
kerangka nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan
lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya
otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati
tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan ‘kematian Tuhan’ sebagaimana diproklamasikan
oleh Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung
dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan
serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan
kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya,
menusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bukannya pada Tuhan. Lebih
dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan
dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya.
Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari
konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah pemikiran Barat kita
mencatat bahwa untuk mencapai derajat filsuf biasanya mereka mesti bentrok dengan
doktrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam justru ketika tindakan
kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Bebas, maka kita tidak akan
terjebak dalam relativisme dunia dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere
Yang Maha Otonom.
Pengakuan bahwa kita bukan makluk sempurna yang sudah jadi,
dan kemudian diikuti dengan usaha kontinyu menuju Yang Maha Sempurna, di sanalah
terletak makna keimanan yang dinamis.
Menurut Kant, puncak rasionalitas pada akhirnya akan mengantarkan pada pintu
keimanan yang bersifat supra-rasional.
Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah obyek ilmu pengetahuan.
Semua berada di luar jangkauan rasio, namun
puncak rasionalitas mengantarkan menusia untuk melakukan loncatan ke arah sana. [6]
ETIKA ISLAM: PENGAMATAN DI TURKI
Islam di Turki mempunyai sejarah panjang, bisa ditelusuri ke belakang sejak abad ke-19
sampai hari ini. Bangsa Turki yang sekarang berpusat di
wilayah Balkan dan Anatolia itu pada mulanya pendatang dari daerah Turkestan, terletak
antara Rusia dan Cina.
Untuk menyederhanakan diskusi kita, saya akan membagi periodisasi Islam di Turki,
yaitu Islam di masa Ottoman dan Islam semasa Republik, yang berlangsung sejak 1924 hingga
hari ini. Ada tiga pertanyaan pokok yang hendak diangkat dalam uraian berikut ini.
Pertama, bagaimanakah pergumulan antara nilainilai keislaman dan tradisi bangsa Turki di masa Ottoman? Kedua apakah dampak
gerakan Kemal Ataturk terhadap kelanjutan Islam di Turki? Ketiga, bagaimana
perkembangan Islam di Turki dewasa ini dalam etika Islam?
ISLAM DI MASA OTTOMAN
Dinasti Ottoman yang berdiri pada abad ke 14 dan berakhir pada awal abad-20 tentu saja
merupakan lahan kajian sejarah yang amat kaya sehingga
tidak mungkin makalah singkat ini bisa manyajikan potret global yang memadai. Namun
begitu bisa saja kita membuat karakterisasi keislaman bangsa Turki pada masa
Ottoman, meskipun bahaya simplifikasi dan reduksi tidak bisa dielakkan.
Secara antropologis bangsa Turki kadangkala disebut ‘war
nation’ ataupun ‘war machine.’ Hal ini terlihat dari karir
mereka dalam perluasan wilayah kekuasaan Ottoman yang terbentang sejak dari Afrika,
India, Persia dan bahkan sampai Eropa. Sejak mulanya ideologi Ottomanisme dan Islamisme
saling kait berkait sedemikian rupa, keduanya didukung oleh ethos dan keunggulan militer yang
sulit dicari tandingnya. Baik semasa Abasid maupun Seljuk bangsa Turki ini telah dikenal
sebagai pasukan berkuda yang handal. Militansi kemiliteran ini ditopang oleh spirit jihad
melawan orang kafir Eropa sehingga dengan begitu semangat penaklukan semakin berkobar.
Abad-16 merupakan masa puncak kejayaannya, yang diikuti
kemudian oleh berbagai krisis, dan berakhirlah dinasti ini setelah mengalami kekalahan dalam
Perang Dunia I. Krisis ini datang dari dua jurusan dari dalam dan dari luar.
Massa rakyat di bawah kekuasaan Ottoman adalah kaum petani
yang tidak mendapat pendidikan secara baik. Dengan mengandalkan kontrol secara
militer dan doktrin ketaatan pada Sultan sebagai
pemimpin agama, pada mulanya rakyat secara mudah bisa dikuasai. Tetapi situasi demikian
tidak bertahan selamanya. Berbagai kelompok agama, suku, dan bangsa yang bernaung di
bawahnya lama kelamaan berkembang sebagai ancaman, terutama setelah meletusnya Revolusi
Perancis dimana semangat nasionalisme menggulir dan menggerogoti kekuasaan Ottoman.
Sejak itu secara diam-diam muncul tiga ideologi, yaitu
Ottomanisme, Islamisme, dan Turkisme. Karena kekuasaan
cenderung berpihak pada ambisi pribadi bukannya akal sehat, Rajaraja Osmani (Ottoman) tetap mempertahankan ideologi
Ottomanisme, sementara Islam cenderung diperalat sebagai ideologi
pendukungnya. Dengan kata lain, keislaman semasa Ottoman adalah keislaman yang berciri
ideologi untuk ambisi kekuasaan, bukannya keislaman yang melahirkan ethos keilmuan dan
peradaban modern.
Krisis Ottoman semakin terlihat di permukaan ketika apa yang disebut ‘millet
system’ semakin otonom dari kontrol pusat sementara Eropa sudah bangkit dari
keterbelakangannya. [7] Millet system dan capitulation adalah suatu bentuk perjanjian
antara Ottoman dan kekuasaan asing untuk menjalin kerjasama ekonomi
berdasarkan pengelompokan agama. Sebagai akibatnya kelompok-kelompok agama nonMuslim yang berada di bawah kekuasaan Ottoman lamalama berubah manjadi perpanjangan tangan dari kekuatan Kristen Eropa untuk
menghancurkan Ottoman dari dalam, melalui jalur penguasaan ekonomi oleh kelompok
minoritas non-muslim. [8] Krisis yang melanda Libanon hari ini akar penyebabuya bisa
ditelusuri pada millet system ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh Don Peretz, "The general decay of
Ottoman governmental institutions coincided with the rise of more powerful European nation
states”. [9] Berbagai cara untuk mengantisipasi kemerosotan Ottoman telah dicoba, misalnya
saja oleh gerakan Tanzimat, Turki Muda, dan Sultan Mahmud II (1808). Di antara ciriciri gerakan yang ditawarkan ialah berusaha untuk mengenalkan mesin percetakan, ilmu
kemiliteran, dan semacamnya yang dipandang sebagai gerakan baru di Eropa.
Namun berbagai usaha itu gagal, antara lain disebabkan oleh
fanastisme teologis yang menimbulkan keyakinan kuat di kalangan Sultan bahwa Tuhan
mesti berpihak pada dirinya, dan orang kafir Eropa tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan
Islam. Lebih dari itu, sistem pembagian kekuasaan secara rasional dengan melibatkan
partisipasi massa sama sekali di luar jangkauan para sultan. Pendeknya Sultan adalah pusat
kekuasaan, sedangkan gagasan-gagasan baru yang dikenalkan dari Eropa yang tengah bangkit
itu dicurigai sebagai kekuatan yang merongrong wibawa
Sultan serta dicap sebagai budaya kafir Eropa.
Demikianlah, Islam yang pada mulanya telah mengantarkan
kejayaan Ottoman, pada akhirnya Islam di ideologisasikan
sebagai kekuatan penyangga Ottoman yang nampak besar tetapi sangat rapuh. Tampaknya
perjumpaan antara Islam dan bangsa Turki Usmani lebih menonjol dalam melahirkan ethos
jihad dan ketaatan pada uli al-amri ketimbang ethos kerja dan ethos
keilmuan. Oleh karenanya kita akan kecewa kalau mencari tokoh-tokoh pemikir Islam yang
brilian yang dilahirkan oleh bangsa Turki Usmani.
GERAKAN KEMAL ATATURK: MASALAH PENAFSIRAN
Mengawali uraian saya mengenai Islam pasca-Ottoman saya akan mengutip tiga pendapat
sarjana ahli tentang Turki:
After a century of Westernization, Turkey has undergone immense changes-greater than any
outside observe had thought possible. But the deepest Islamic roots of Turkish life and
culture are still alive, and the ultimate identity of Turk and Muslim in Turkey is
still unchallenged. (Bernard Lewis, 1961)
It has often been thought that this secularism signified the separation of state and
religion somewhat along the lines of French laicism and the involved and anti-religious
policy seeking to eliminate Islamic faith. These assumptions are no correct. In fact, the new
Turkish Republican regime tried to implement its constitutional mandate of freedom of
concience by setting up goverment agencies charged with helping citizens to approach
Islam through reason rather than tradition. (Howard A. Reed, 1981)
The revitalization of Islam in this country is partly due to the success of the campaign to
universalize education which was the foundation stone of the secular Turkish Republic and
partly to economic achievements in the period 1950-1980. Syerif Mardin, 1989)
Pada 29 Oktober 1923 secara resmi Republik Turki
diproklamirkan oleh sidang parlemen dimana Mustafa Kemal terpilih
sebagai Presiden pada umurnya yang ke-42 tahun. Gerakan republiken ini sekaligus
menghadapi dua musuh, yaitu kekuatan Sekutu yang hendak menguasai Turki, dan kekuatan
tradisional yang berpihak pada ideologi teokratik Osmani.
Bila kita telaah bunyi ke-6 sila ideologi Kemalisme, akan terlihat begitu jelas bahwa
setiap silanya merupakan kritik dan sekaligus anti-thesis terhadap paradigma Ottomanisme.
[10] Sila yang dianggap kontroversial tentu saja dengan dinyatakannya bahwa Turki
menganut faham sekuler. Pernyataan ini dinilai oleh dunia Islam lainnya sebagai tindakan
‘murtad’ dalam pemikiran politik Islam.
Tetapi kalau gerakan Ataturk kita tempatkan dalam perspektif sejarah, akan terlihat bahwa
gerakannya merupakan mata rantai
yang berkesinambungan dengan gerakan sebelumnya. Apa yang dilakukan Ataturk
merupakan pengejawantahan ide-ide gerakan
modernisasi dan westernisasi yang pernah dicanangkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya,
terutama Ziya Gokalp.
Zia Gokalp, starting with Durkheim, formulated his own concept of community and society,
which he defined as culture group and cilivization group. Turkism, according to Gokalp,
aimed at synthesis of Turkish nationalism, islam, and modernization, althouh its formula was
very different from that of the Islamic modernist.” [11]
Apa yang dirumuskan Gokalp di atas sampai kini hampir tidak
pernah ditentang oleh para intelektual Turki. Hal ini mengisyaratkan bahwa
secara cultural dan intelektual Islam tetap bertahan dan bahkan sebagai identitas bangsa
Turki sampai hari ini. Bila semasa Ottoman Islam telah mengalami ideologisasi untuk
mendukung ambisi kekuasaan, kini keislaman bangsa Turki lebih bersifat
individual dan cultural. Dengan ungkapan lain, Ataturk, sebagaimana Gokalp, akan
sependapat untuk mengatakan “Islam-Yes, Negara Islam-No”.
Yang secara tegas-tegas ditentang oleh gerakan Ataturk adalah Ideologi Klerikisme, bukannya
nilai-nilai Islam. Bahkan dalam prateknya sikap Ataturk begitu ekstrim mengikis warisan
klerikisme Ottoman, hal ini tidak bisa diingkari. Namun begitu,
adakah cukup sah untuk menghukum Ataturk sebagai pengkianat dan telah membuat
‘blunder’ bagi perkembangan Islam di Turki ataukah justeru Ia
telah tampil sebagai penyelamat eksistensi Islam bagi bangsa Turki, kita dihadapkan pada
masalah interpretasi sejarah.
Ketika Turki Usmani berada di ambang kehancuran, terutama
setelah kekalahannya dalam Perang Dunia I, Ataturk melihat bahwa satu-satunya
ideologi gerakan yang bisa memobilisasi massa dan kaum intelektual Turki waktu itu tak
ada lain kecuali ideologi nasionalisme. Sedangkan model pembaharuan dan alternatif satusatunya ialah meniru Barat.
Ideologi kekhalifahan tidak lagi memiliki daya panggil untuk
berjihad melawan kekuatan Sekutu. Bahkan sejak sebelum meletusnya Perang Dunia ke-I
beberapa wilayah Ottoman telah menunjukkan usahanya
untuk memberontak dan melepaskan diri dari pusat simbol nasionalisme. Di sini sosok
‘nasionalisme’ menampilkan dua fungsinya yang berlawanan.
Ketika Ottoman pada puncak kejayaan, Eropa menggunakan isu
nasionalisme untuk memobilisasi massa melawan Eropa.
Demikianlah, sebagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia, ideologi nasionalisme dan
Islamisme secara simbolik digunakan Ottoman.
Kemudian, bagaimana kita mesti merumuskan peran Ataturk dan
gerakan revolusinya dalam perspektif perjalanan Islam di
Turki? Ada kemiripan antara Ottoman dan gerakan Ataturk
melihat Islam. Yaitu Islam didekati secara amat pragmatik
untuk tujuan politik. Sebagai pengagum Durkheim, Ataturk melihat Islam sebagai refleksi
sosial masyarakat Turki yang telah berakar sedemikian rupa yang memiliki kekuatan
integratif bagi pertumbuhan bangsa Turki. Dengan demikian, sejak semula tokoh-tokoh
gerakan modernisasi dan westernisasi di Turki tidak pernah menyatakan anti-agama, melainkan
ingin mengadakan rasionalisasi agama, agar agama menjadi kekuatan penopang bagi kemajuan
bangsa Turki.
Jadi, kalaupun Ataturk bisa dianggap penyelamat bagi kelangsungan
Islam di Turki dari ancaman Eropa dan dari penetrasi para missionaris Kristen, jasanya
terhadap Islam merupakan implikasi tidak langsung dari dedikasinya dalam
membela bangsa Turki dengan semangat nasionalismenya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Syerif Mardin, sistem pendidikan Barat yang dipaksakan oleh Ataturk ternyata telah
berjasa besar bagi peningkatan intelektual 'kaum santri.' Sistem pendidikan Barat yang sejak
awal abed-19 hendak diterapkan di Turki oleh kalangan intelektual muda dan selalu ditentang
oleh jajaran Sultan, baru berhasil direalisir pada awal abad-20
dengan cara paksa dan setelah Ottoman berada diujung kehancuran. Dengan demikian,
kalau saja Revolusi Ataturk ini berlangsung seabad sebelumnya, mungkin sekali nasib dunia
Islam tidak akan tertinggal sedemikian jauhnya dari Barat dalam bidang iptek dan sosial
kemasyarakatan.
Bagaimana ketertutupan Ottoman dari pengaruh gerakan
modernisme Eropa waktu itu diungkapkan oleh Bernad Lewis sebagai berikut:
... the scientific awakening, humanism, liberalism, rationalism, the enlightenment - all great
European adventures and confilcts of ideas passed unnoticed and unreflected in society to
which they were profoundly alien and irrelevant. The same is true of the great social, economic,
and political changes. The rise and fall of the baronage, the rise of the new middle class, the
struggle of money and land, of city-state, and Empire all the swift yet complex evolution of
European life and society, have no parallel in the Islamic and Middle Eastern civilization of
the Ottomans. [12]
EKSPERIMEN SEJARAH YANG MONUMENTAL
Suatu hal yang sudah pasti amat berharga bagi dunia Islam pada umumnya ialah bahwa Turki
telah melakukan eksperimen sejarah, secara terang-terangan menyatakan sebagai negara sekuler
serta mengambil Barat sebagai model modernisasinya.
Tidak lama setelah meletusnya Revolusi Iran (1979), beberapa wartawan asing berdatangan ke
Turki dengan perhitungan bahwa negara yang akan mudah tersulut oleh Revolusi itu ialah
Turki. Dugaan itu tidaklah terlalu salah. Pertama, pemeluk Syiah di
sana diperkirakan sekitar 10 juta, meskipun angka ini tidak
pernah terungkap secara resmi. Kedua, walaupun Turki
dinyatakan sebagai negara sekuler, Islam tetap berakar kuat pada masyarakat Turki, sementara
agama selain Islam tak ada hak hukum untuk menyebar-luaskan missinya.
Republik Turki yang berjumlah sekitar 55 juta itu sebanyak 99% adalah muslim dan
antara ‘keislaman' dan 'keturkian' telah menyatu sebagai identitas diri setiap orang Turki,
betapapun kadar dan corak keislaman mereka. Sebutan 'sekuler' bagi
negara Turki sejak mulanya sesungguhnya tidak tepat kalau istilah sekuler itu difahami dalam
konteks negara Barat.
Di Barat paham sekularisme muncul antara lain sebagai akibat
logis dari doktrin gereja dan akibat pertumbuhan sains,
teknologi dan ekonomi, dimana etika Kristiani secara
epistemologis tidak sanggup menghubungkan antara faham
modernisme dan keyakinan agama. Sedangkan di Turki, sebagaimana dikemukakan
Syerif Mardin, hasil westernisasi dan modernisasi sistem pendidikan
yang diimport Ataturk justeru pada gilirannya telah memberikannya peluang dan fasilitas bagi
umat Islam Turki untuk beradaptasi dengan dunia Barat tanpa harus terserabut keyakinan
agamanya.
Jadi, corak keislaman yang muncul dewasa ini bisa dikatakan sebagai keislaman pascaOttoman dan pasca-Kemalisme. Terutama sejak 1O tahun terakhir ini, secara ideologis antara
Kemalisme dan Pancasila hanya berbeda dalam teorinya saja, namun pada praktek kenegaraan
tidak jauh berbeda, yaitu baik Turki maupun
Indonesia bukanlah negara teokratis, bukan pula sekuler. Negara bertanggungjawab bagi
pembinaan dan pengembangan Islam bagi masyarakat Turki. Hal ini
antara lain termanifestasikan dalam pembinaan sekolah-sekolah agama, sejak dari tingkat SD
sampai Perguruan Tinggi, sejak dari pengangkatan para imam atau khatib sebagai pegawai
negeri sampai pengangkatan Atase Agama pada kedutaan
Turki untuk memberikan pelayanan agama pada masyarakat Turki di negeri orang.
Secara sosiologi, barangkali saja keislaman model Turki akan juga
dilalui oleh masyarakat Islam lainnya ketika mereka
memasuki kehidupan modern. Salah satu cirinya ialah agama
cenderung sebagai urusan pribadi, sebagai tuntutan etis
terjadinya depolotisasi dan deideologisasi agama, praktek ibadah yang cenderung “longgar"
meningkatnya minat orang pada tasawuf.
Semua ini begitu menyolok menggejala di Turki atau bahkan telah menjadi corak
keberagamaan mereka. Satu hal yang mereka tidak miliki, dibanding Indonesia, ialah rasa
‘persaingan’ dengan agama lain di dalam negeri sendiri. Lebih dari itu, baru akhirakhir ini saja mulai muncul generasi baru yang merepresentasikan generasi Islam pascaOttoman dan pasca-Kemalis, yaitu generasi yang tetap konsisten dan memiliki wawasan
keislaman dan sekaligus juga wawasan sikap kemodernan sebagaimana yang dilihat Gokalp
ataupun Ataturk pada masyarakat Barat.
PENUTUP
Dari eksperimen sejarah yang dilakukan Turki, hasilnya
memperkuat teori yang mengatakan bahwa konsep sekularisme Barat tidak akan tumbuh
ketika ditabur atau diterapkan dalam masyarakat muslim. Kedua, semakin modern dan semakin
rasional seseorang atau masyarakat, keislaman mereka cenderung
terefleksikan dalam etika pribadi dan sosial, sedangkan hubungannya dengan Tuhan
cenderung pada pendekatan sufistik.
Ketiga, meskipun pada level praksis dan ideologi Islam
senantiasa dipengaruhi oleh tradisi lokal serta kepentingan-kepentingan subyektif,
secara epistemologis Islam tetap memiliki vitalitas yang bersifat rasional, sehingga dengan
demikian modernisasi tidak akan menjadikan ancaman bagi Islam.
-------------------------------------------CATATAN
1. Taylor, Paul W., Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson Publishing Compant
Inc., p. 3
2. Hourani, George F., Reason and Traditon in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge
University Press, p. 25
3. Ayat al-Qur’an berulangkali menuntut pembacanya agar berjihad dengan menggunakan
akalnya untuk menangkap pesan-pesan etis yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya
adalah hal yang logis saja bahwa dalam sejarah Islam selalu terjadi perbedaan dan konflik
intelektual yang dinamis antara sesama ahli pikir.
4. Lihat Erns Cassirer, An Essay on Man, Yale University Press,
5. Weiner, Myron., Modernisasi, Dinamika Pertumbuhan, Gajah Mada University Press, 1980, p.
xii
6. Lihat karya-karya Immanuel Kant, terutama Critique Pure Reason dan Religion within the
Limit of Reason Alone.
7. Peretz, Don, The Middle East Today, New York, 1986, p. 59
8. Ibid, loc. cit.
9. Ibid, p. fi2
10. Ke-6 sila dalam ideologi Kemalisme ialah: republikanisme, nasionalisme, populisame,
sekularisme, etistisme, revolusionisme. semua sila di atas secara konotatif merupakan kritik
frontal terhadap ideologi Ottomanisme.
11. Lihat Ergun Ozbodun (ed)., Ataturk, Founder of Modern State, London, 1981. Juga dalam
Modern Turkey: Continuity and Change, Opladen, 1984
12. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey, London, 1967, p. 482
Download