BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upayaupaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perkembangan ekonomi dewasa ini menunjukkan arah yang semakin bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu diperlukan berbagai kebijaksanaan dan penyesuaian dibidang perekonomian termasuk sector Perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional. Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan menunjang system pembayaran merupakan factor yang sangat menentukan. Sehubungan dengan itu diperlukan penyempurnakan terhadap system Perbankan nasional dan merupakan tanggung jawab antara pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank, tangung jawab bersama itu akan memelihara tingkat kesehatan Perbankan, sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional. Perbankan sebagai sektor yang vital dan strategis mendapat kemudahankemudahan yang diberikan oleh pemerintah, antara lain paket 1 kebijaksanaan pemerintah (deregulasi), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan mendirikan bank-bank baru maupun perluasan membuka cabang-cabang di daerah-daerah serta perubahan status dari Bank pemerintah menjadi bentuk perusahaan perseroan. Perubahan yang timbul oleh adanya kemudahan tersebut disatu sisi memang menguntungkan tetapi disisi lain juga menjadikan persaingan antar bank semakin ketat. Dengan adanya tingkat persaingan antar bank mengakibatkan setiap bank saling berlomba untuk memberikan kredit kepada nasabah debiturnya, hal ini akan berdampak semakin tingkat bunga kredit bank semakin kadang-kadang tidak rational dalam memberikan kredit dengan bunga rendah, disamping itu banyak sekali bankbank yang melakukan terobosan tetapi melanggar peraturan Bank Indonesia. Adanya kebijaksanaan tersebut pemerintah menunjuk agar pembinaan dan pengawasan bank dapat terlaksana secara efektif maka Bank Indonesia diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perijinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang tidak memenuhi peraturan Perbankan yang berlaku. Salah satu kebijaksanaan Perbankan yang diterbitkan Pemerintah adalah tentang Bank Perkreditan Rakyat, penyempurnakan system Perbankan di Indonesia ditempuh antara lain dengan menyerderhanakan jenis Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat diharapkan untuk 2 membiayai usaha mikro dan kecil terutama dibidang pertanian dan masyarakat didaerah pedesaan. Bank Perkreditan Rakyat selama ini telah membiayai usaha mikro dan kecil disektor pertanian, perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain termasuk konsumsi.1 Karakteristik kredit Bank Perkreditan Rakyat sebagai lembaga pembiayaan UMKM (Usaha Menengah Kecil Mikro ) antara lain : Plafon kecil, jangka waktu singkat, tingkat bunga relatif tinggi. Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat dijalankan dengan memenuhi tuntutan nasabah antara lain prosedur yang sederhana, waktu pemrosesan yang singkat. Masalah dan tantangan yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat antara lain Permodalan yang terbatas, kualitas SDM yang relaif belum memadai, disamping itu persaingan bank semakin ketat baik antar Bank Perkreditan Rakyat sendiri maupun Bank Umum serta lembaga keuangan lain. Sehingga penyebaran Bank Perkreditan Rakyat terkonsentrasi di Jawa Bali. Kontribusi kredit Bank Perkreditan Rakyat kepada UMKM relatif kecil (4,1 %) sedangkan untuk penyangga dana likuiditas sebagai pengayom Bank Perkreditan Rakyat sangat terbatas, kredit yang tersalur pada sektor pertanian relatif kecil (6,1 %) dari seluruh kredit Bank Perkreditan Rakyat menurut data Bank Indonesia tahun 2010.2 1 2 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 3 Harapan pemerintah terhadap perkembangan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana perubahan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka Bank Perkreditan Rakyat dapat berperan sebagai berikut: 1. Berperan sebagai Ujung Tombak Lembaga Keuangan Mikro, serta Mendukung Pengembangan Ekonomi Pedesaan. Industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan mampu menjadi lembaga pembiayaan yang sehat, kuat dan produktif yaitu Industri Bank Perkreditan Rakyat yang didukung oleh : Permodalan yang kuat, SDM kompeten dan berintegritas tinggi dan wawasan yang luas, operational yang efisien. 2. Bank Perkreditan Rakyat dapat memberikan pelayanan kepada usaha mikro kecil secara merata diseluruh wilayah Indonesia. Salah satu pokok permasalahan dalam Bank Pekreditan Rakyat agar menjadi Bank yang sehat adalah sistem pengawasan dalam pemberian kredit, karena efektifitas pengawasan yang tidak memadai akan menjadikan industri Bank Perkreditan Rakyat mengalami kegagalan baik sistem SDM maupun dalam pengawasan kredit yang diberikan kepada debiturnya. Sehingga menciptakan Bank Perkreditan Rakyat yang tidak sehat.3 3 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 4 Sistem Pengawasan Pemberian Kredit dapat diukur efektivitasnya dan merupakan komponen penting pengawasan dengan hubungan hukum dalam tata kerja managemen Bank Perkreditan Rakyat ( BPR) yang sehat dan aman serta membantu pengurus Bank Perkreditan Rakyat (BPR), menjamin pelaporan keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengurangi resiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehatihatian. Salah satu pihak yang berkepentingan terhadap Sistem Pengendalian Internal adalah Sistem Pengawasan Intern dimana didalamnya terdapat Pengawasan dan Pemeriksaan Intern yang lebih dikenal dengan Internal Control / Audit. Terselenggaranya Sistem Pengendalian Intern yang handal dan efektif menjadi tanggung jawab dari pengurus dan para pejabat Bank Perkreditan Rakyat, selain itu pengurus juga berkewajiban untuk meningkatkan risk culture yang efektif pada organisasi Bank Perkreditan Rakyat dan memastikan hal tersebut melekat di setiap jenjang organisasi. Sistem Pengendalian Intern perlu mendapat perhatian mengingat bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kesulitan usaha Bank Perkreditan Rakyat adalah 5 adanya berbagai kelemahan dalam pelaksanaan Sistem pengawasan dan Pengendalian Intern Bank Perkreditan Rakyat antara lain:4 a. Kurangnya efektifitas mekanisme pengawasan, tidak jelasnya akuntabilitas dari pengurus bank dan kegagalan dalam mengembangkan budaya pengendalian intern pada seluruh jenjang organisasi. b. Kurang memadainya pelaksanaan edentifikasi dan penilaian atas resiko dari kegiatan operasional bank Bank Perkreditan Rakyat.. c. Tidak ada atau gagalnya suatu pengendalian pokok terhadap operasional bank, seperti pemisahan fungsi, otorisasi, verifikasi, dan kaji ulang atas resiko dan kinerja bank. d. Kurangnya komunikasi dan informasi antar jenjang dalam organisasi bank, khususnya informasi di tingkat pengambilan keputuan tentang penurunan kualitas risiko dan penerapan tindakan perbaikan. e. Kurang memadai atau efektifnya program audit intern dan kegiatan pemantauan lainnya. f. Kurangnya komitmen manageman bank untuk melakukan proses pengendalian intend dan penerapkan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran ketentuan yang berlaku, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh Bank Perkreditan Rakyat. 4 PT UKABIMA , 2005.Seminar di Jakarta , internal control/audit proseduresby Ukabima Team 6 Kebijakan Perkreditan Bank adalah aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang disusun untuk menentukan arah operational / bisnis perkreditan Bank selain itu kebijakan juga merupakan:5 1. Sarana mewujudkan budaya kredit yang akan dikembangkan di Bank pada prinsipnya juga mengandung makna-makna filosofis sebagai berikut: a. Sebagai visi yang komprehensif mengenai tata laksana perkreditan bank serta komitmen bersama bahwa keputusan-keputusan di bidang perkreditan harus konsisten dengan kepentingan stake holder dan sasaran strategis Bank secara keseluruhan. b. Sebagai pedoman untuk mengukur dan menilai resiko yang dapat dikomunikasikan, mudah dipahami dan akurat. c. Sebagai sarana menumbuhkan dan membudayakan kebijakan kredit yang konserfativ atau pruden dengan tetap mengacu pada konsep keseimbangan di antara resiko, keuntungan dan peluang. d. Sebagai sarana menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap kualitas analisa kredit, keputusan di bidang perkreditan dan tanggungjawab dalam melakukan monitoring kualitas kreditnya. 2. Sarana informasi bagi seluruh jajaran (pegawai dan direksi) dibidang perkreditan dalam memahami dan melaksanakan keputusan-keputusan kredit dan relationship management. 5 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 7 3. Sarana untuk memberikan dasar ruang lingkup dan alokasi fasilitas kredit, tata cara pemberian kredit, pelayanan kredit, dan penggunaan /penarikan kredit secara umum. Pada pembahasan dimuka telah disimpulkan bahwa perkreditan merupakan salah satu usaha yang penting bagi dunia perbankan serta dari perkreditan akan memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar pula, namun dibalik itu ternyata pengelolaan perkreditan mempunyai berbagai masalah yang cukup rumit pula antara lain dalam:6 1. Pemahaman masing-masing jenis usaha yang akan dibiayai dengan kredit hal ini dapat dimengerti bahwa di masyarakat terdapat ribuan jenis usaha yang mengandung permasalah satu sama lain berbeda, sedangkan di lain pihak perbankan tetap dituntut untuk selalu akrab dengan permasalahanpermasalah para nasabahnya. 2. Masalah perkreditan bersifat “ Kasuasistis “ artinya masalah yang ada pada satu debitur akan berbeda dengan debitur yang lain sehingga aparat perbankan dituntut harus mempunyai daya analis yang cukup tajam dan secara cepat dapat pula mengindentifikasi dari permasalah yang dibadapi para nasabahnya. 3. Pengamanan masalah perkreditan cukup kompleks sehingga untuk penanganannya sering-sering melibatkan kerja sama berbagai disiplin ilmu 6 Teguh Pudjo Mulyono 1987, Management Perkreditan Bagi Bank Komersiil BPFE Yogyakarta Hal.2 8 pengatehuan/berbagai disiplin profesi antara lain : ahli hukum, ahli pemasaran, akuntan, insinyur berbagai bidang lainnya. 4. Untuk dapat melaksanakan kegiatan kredit dengan baik diperlukan sejumlah dana yang besarnya seimbang dengan biaya yang relatip lebih rendah dari rata-rata suku bunga kredit. Biaya akan ditekan pada jumlah paling minim agar jangan terjadi “ idle fund “ 5. Dalam kegiatan perkreditan banyak tersangkut dengan ketentuanketentuan perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun kebijakankebijakan pemerintah yang sering berubah dari suatu periode ke periode yang lannya, bahkan kegiatan perkreditan inipun juga sangat terpengaruh dari arus politik yang sedang berkuasa. 6. Mengingat banyak masalah yang tersangkut dalam kegiatan perkreditan dan juga mengingat prosesnya yang berlangsung untuk jangka waktu yang cukup lama. Maka akan menimbulkan pula masalah “ administrasi “ dan ”pengawasan “ yang cukup rumit. 7. Pihak bank akan dituntut profisional dalam melakukan kebijakan bank, karena tingkat permasalahan yang komplek, harus secara jeli menganalisa terhadap setiap permohonan kredit oleh debitur. Disamping itu mengingat jenis-jenis kredit itu mempunyai aneka ragam yang tak terbatas. Serta lain-lain kesulitan, permasalahan yang masih sangat banyak, yang tidak mungkin untuk dapat diuraikan satu per satu dalam tulisan ini. 9 Selanjutnya di samping adanya berbagai kesulitan/masalah-masalah seperti tersebut diatas. Yang harus dapat diselaikan dengan baik, masih ada pula faktorfaktor yang harus dipertimbangkan serta diperhatikan secara seksama oleh para pengelola perkreditan agar kredit-kredit yang telah diberikan kepada para debiturnya dapat diselesaikan dengan baik, baik pokoknya maupun bunga dari kredit itu sendiri. Adapun faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pemberian kredit antara lain :7 1. Faktor Intern Bank a. Adanya “self dealing“ atau tindak kecurangan dari aparat pengelola kredit. b. Adanya kurang pengetahuan / ketrampilan pengelola kredit. c. Kurang baiknya managemen informasi yang dibangun oleh bank sendiri. d. Lemahnya organisasi dan managemen dan tidak adanya kebijakan perkreditan yang baik pada bank bersangkutan. e. Kurangnya tingkat pengawasan kredit terhadap para debiturnya. f. Adanya sikap yang ceroboh, lalai dan menggampangkan dari pengelola perkreditan. 2. Faktor Extern Bank a. Kegiatan perekonomian makro / kegiatan politik kebijaksanaan pemerintah yang di luar jangkauan bank untuk diperkirakan. 7 Teguh Pudjo Mulyono, 1987. Managemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, BPFE,Yogyakarta Hal. 6. 10 b. Adanya itikad baik dari nasabah debitur yang diragukan. c. Adanya persaingan yang cukup tajam di antara perbankan itu sendiri sehingga bank bersangkutan tidak mampu untuk melakukan seleksi resiko usahanya di bidang perkreditan. d. Adanya tekanan-tekanan dari berbagai kekuatan politik di luar bank sehingga menimbulkan kompromi terhadap prinsip-prinsip yang sehat. e. Adanya kesulitan / kegagalan dalam proses likuidasi dari perjanjian kredit yang telah disepakati antara nasabah dengan baik. Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pemberian kredit dan agar pengawasan berjalan secara efektif, maka kami terdorong untuk mengadakan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS HUKUM PENGAWASAN INTERNAL BANK TERHADAP PEMBERIAN KREDIT KEPADA NASABAH DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP”. Penelitian ini dilakukan pada BPR di kota Cilacap salah satu BPR yang cukup berkembang dan pengawasan cukup baik. 11 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank terhadap Pemberian Kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. 2. Bagaimanakah pengaruh faktor Motivasi Pengawasan, Kepatuhan Hukum dan Kerjasama Bank dengan Nasabah terhadap Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank terhadap Pemberian Kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui efektivitas hukum pengawasan internal Bank terhadap pemberian kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. 2. Untuk mengetahui faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum, dan kerjasama bank dengan nasabah terhadap efektivitas hukum pengawasan internal bank dalam pemberian kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. D. Kegunaan Penelitian. 1. Kegunaan Teoritis 12 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang Hukum Perdata, khususnya Hukum Perbankan sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan internal pada Bank Perkreditan Rakyat khususnya terhadap PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP. 2. Kegunaan Praktis 2.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan untuk evaluasi terhadap undang-undang perbankan dan undang-undang Bank Indonesia khususnya Bank Perkreditan Rakyat serta memberikan informasi bagi pemerintah dan masyarakat pentingnya sistem fungsi pengawasan yang dilakukan oleh internal bank dan external Audit dari BPKP dan Bank Indonesia. 2.2. Bagi peneliti, hasil penelitian merupakan sarana untuk menambah dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan dalam pemberian kredit di Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta menambah perbendaharaan teorisasi dan aplikasi dalam praktek Perbankan dalam statusnya peneliti sebagai pengawas pada Bank Perkreditan Rakyat. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM BANK 1. Pengertian Bank Pengertian Bank dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Apabila kita menelusuri sejarah dan termohologi “ bank “ kata bank berasal dari bahasa Italy “banca“ yang berarti bence yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku dihalaman pasar ( Abdulrrachman A, 1991 :80). 14 Dalam suatu kamus, kata “bank“ diartikan sebagai : (webster, Noah 1972 : 146)8 1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fundfund tertentu dengan cek, notes, dan lain-lain, dan juga bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga. 2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut. 3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat beroperasinya perusahaan perbankan. Fungsi dan tujuan perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan : 1. Adalah fungsi utama Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat. 2. Perbankan bertujuan menunjang pelaksanakan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah kesesjahteraan masyarakat banyak. Menurut pendapat Muhamad Djumhana dalam bukunya hukum Perbankan Di Indonesia, Bank berfungsi : 8 Munir Fuady, 1999. Hukum Perbankan Modern, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 13 15 a. Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara effektif dan effisien. Bank menjadi tempat untuk menitipkan, dan penyimpanan uang yang dalam prakteknya sebagai tanda penitipan dan penyimpanan uang tersebut, maka kepada penitip dan penyimpan diberikan selembar kertu tanda bukti. Sedangkan dalam fungsinya sebagai penyalur dana, maka bank memberikan kredit, atau membelikannya kedalam surat-surat berharga. b. Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang Bank bertindak sebagai penghubung antara nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak langsung melakukan pembayaran tetapi cukup memerintahkan pada bank untuk menyelesaikan 9 Oleh karena itu bank dalam melaksanakan fungsinya harus menghindari halhal berikut : 1) Sistem free fight liberalisme (kebebasan yang menimbulkan eksploitasi (terhadap manusia dan bangsa). 2) Sistem etatisme (pemerintah bersifat dominant, mendesak dan mematikan poyrmsi dan daya kreasi unit-unit ekonomi luar sector Negara). 3) Persaingan tidak sehat serta memusatkan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli atau mohopsoni :10 2. Jenis-Jenis Bank Didalam Undang-undang Perbankan No.10 Tahun 1998 telah diatur beberapa jenis Perbankan, dimana setiap jenis bank dapat dilihat dari fungsinya, serta kepemilikannya juga luasnya kegiatan operasionalnya. 1) Bank Sentral Yang menjadi Bank Sentral adalah Bank Indonesia, yang mengatur lebih lanjut terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 jo 9 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Banti, Bandung, 2000, hal xi. 10 Ibid, Hal 5. 16 Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam pasal 8 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 ditentukan bahwa Bank Indonesia bertugas untuk : a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. b. Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran. c. Mengatur dan mengawasi bank. Tugas Bank Indonesia sesuai Pasal 24 sampai dengan 35 UU No. 23 tahun 1999, tugas Bank Indonesia sebagai pengawas Perbankan hanya sampai pada tahun 2002, yang kemudian tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh Lembaga Pengawas Sector Jasa Keuangan ( LPJK ) berdasarkan Undang-undang No. 21 tahun 2011 tentang otoritas Jasa Keuangan atau Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang pelaksanaannya untuk perbankan dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 1013. 2) Bank Umum Adalah bank yng dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, dimana dalam pelaksanakan kegiatan usahanya dapat secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah Pendirian Bank Umum dapat dilakukan oleh: a. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. 17 b. WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.11 3) Bank Campuran Adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga Negara Indonesia, dengan satu atau lebih yang berkedudukan di luar negeri. 4) Bank Devisa Adalah Bank yang melayani lalu lintas pembayaran baik dalam dan luar negeri misalnya melayani pembukaan dan pembayaran L/C.sebagian besar transaksi dalam bentuk valuta asing. 5) Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah ini diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang dilatarbelakangi adanya suatu keyakinan dalam agama Islam yang berdasar pada prinsip syariah, yaitu : 1. Prinsip bagi hasil (Mudharabah ). 11 Ibid, Hal.37. 18 2. Prinsip penyertaan modal ( Musharakah ). 3. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasar sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari bank oleh pihak lain (Ijarah Iqtina ). 6) Bank Perkreditan Rakyat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (UU No.10 Tahun 1998 tertang perbankan ). Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat menurut Sukmadi (1994:17 ) adalah bank sekunder yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito berjangka atau tabungan serta pemberian kredit. 3. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dengan tujuan untuk melaksanakan Pembangunan Nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ke arah peningkatan kesesjahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR adalah melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan 19 untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan usaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidal jatuh ke tangan renternir atau pelepas uang. 3.1. Tujuan BPR BPR dalam rangka ikut membantu meningkatkan produktivitas dan penghasilan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mempunyai beberapa tujuan dalam menjalankan usaha diantaranya : a. Menunjang kelancaran penyediaan sarana produksi terutama permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya dan pembangunan desa pada khususnya. b. Menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha segolongan ekonomi lemah di pedesaan dan menciptakan lapangan kerja secara langsung. c. Meningkatkan produktifitas usaha pertanian dan perdagangan di pedesaan. d. Meningkatkan pendapatan didesa secara nyata karena usaha kecil dan menengah. e. Meningkatkan taraf hidup dengan jalan memberikan kredit kepada pedagang kecil usaha mikro. 3.2. Fungsi BPR 20 Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan untuk mencapai tujuan tersebut diatas BPR juga menjalankan fungsinya sebagai : a. Memberikan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah murah dan mengarah pada masyarakat pedesaan. b. Menyediakan kelancaran penyediaan sarana permodalan untuk kegiatan produktif. c. Meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama masyarakat pedesaan, dan meningkatkan untuk gemar menabung. d. Melindungi masyarakat pedesaan dari lintah darat. e. Untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah Dari beberapa difinisi dan penggolongan Bank, dapat diketahui bahwa bank memegang peranan penting dalam kehidupan perekonomian yang merupakan pelaksanaan kegiatan moneter dan menjadi penghimpun dana dalam jumlah yang besar dalam masyarakat. Dari uraian tersebut diatas agar tidak terjadi pelanggaran dalam pelaksanakan pemberian kredit pada Bank Perkreditan Rakyat, maka perlu adanya tindakan efektif terhadap pengawasan dalam pemberian kredit kepada para nasabah debitur, dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia secara teratur setiap tahunnya dilakukan juga audit dari lembaga yang 21 berkompeten, begitu juga audit dari pihak intern bank sendiri dimana hasilnya akan dipakai sebagai pegangan oleh bank itu sendiri. Untuk mengetahui apakah prosedur Bank Indonesia telah dilaksanakan atau dilanggar. Apakah efektivitas pengawasan yang dilakukan selama ini sudah tepat dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas sistem pengawasan dalam pemberian kredit kepada nasabah apabila belum efektiv maka sistem apa yang akan diterapkan sehingga menjamin kinerja kesehatan Bank dan tidak melanggar aturan dan ketentuan Bank Indonesia. Disamping itu apabila terjadi pelanggaran, maka tindakan apa yang segera (represif /prefentif ) dilakukan oleh menegemen untuk menyelamatkan Bank dari kerugian dan pelanggaran. Bank harus mengawasi juga hubungan hukum atas pengajuan kredit sehingga kredit itu disetujui dan kredit itu lunas tepat pada waktunya. Dalam hal ini Bank Perkreditan Rakyat perlu menerapkan sistem pengawasan atau prinsip-prinsip fungsi pengawasan kredit dari permohonan kredit sampai dengan pelunasan kreditnya dan bersifat menyeluruh sehingga kredit tersebut lunas sesuai dengan jangka waktunya. 22 Tujuan pengawasan adalah mengamati pelaksanakan tugas apakah telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan undangundang Bank Indonesia, apakah pelaksanakan tugas direksi staf dan karyawan telah melampaui kewenangannya, atau sesuai dengan laporan yang telah disusun sebagai laporan rencana kerja tahunan ke Bank Indonesia sesuai target, apakah pemberian kreditnya melampaui Batas Minimum Pemberian Kredit ( BMPK ), bagaimana jaminan bank, sektor apa yang tidak boleh dibiayai dan peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan yang harus dilaksanakan oleh Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) antara lain: 1. Peraturan BI No.8/18/PBI/2006: Tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum BPR. 2. Peraturan BI No.8/19/PBI/2006: Tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif BPR. 3. Peraturan BI No.8/20/PBI/2006: Tentang Transparasi Kondisi Keuangan BPR. 4. Peraturan BI No.8/26/PBI/2006: Tentang Bank Pekreditan Rakyat. 5. Peraturan BI No.13/1/PBI/2011: Tentang Tingkat Kesehatan Bank Umum. 23 TINJAUAN UMUM KREDIT 1. Pengertian Kredit Sebelum membahas seluk beluk manajemen perkreditan, maka harus mengerti kredit itu sendiri yang mempunyai demensi beraneka ragam, Dimulai dari kata “ Kredit “ yang berasal dari bahasa Yunani “ Credere “ yang berarti “ Kepercayaan “ atau dalam bahasa latin “ Creditum “ yang berarti keperyayaan dan kebenaran12 dalam praktek sehari-hari pengertian ini selanjutnya berkembang lebih luas lagi antara lain : 1) Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang telah disepakati. 2) Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di Indonesia, yang telah dirumuskan dalam bab.1, pasal 1.2 Undangundang Pokok Perbankan No.7 tahun 1992 jo Undang-undang Npo. 10 tahun 1998 yang merumuskan : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara Bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban Dana F.Kellerman “ The New Grolier Wester International Dictionary “ Grorier, New York,1971, hal.237 12 24 melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditentukan “. Dalam praktek sehari-hari persetujuan kredit dinyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis baik dibawah tangan maupoun secara notariil, dan sebagai pengaman pihak peminjam akan memenuhi kewajibannya akan menyerahkan suatu jaminan baik yang bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan. 2. Syarat-Syarat Kredit Untuk kredit telah dikenal adanya prinsip 5 C atau the five crediet analisis ada yang menyebut proinsip 6 C atau the six crediet analisis. kelima prinsip yang klasik ini meliputi 13: 1) Character Kehidupan moral salah satu factor utama satu kepercayaan yaitu suatu kepercayaan yang mendasari keperyayaan yang positip, menilai sampai sejauh mana integritas dari debitur tersebut untuk menyelesaikan utangnya. 2) Capacity Yaitu menilai kepada calon debituir mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya. Pendekatan historical, yaitu usahanya 13 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 11 – 17 25 selalu mengalami kegagalan, atau malahan berkembang dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain : a. Pendekatan historis, apakah bersangkutan usahanya banyak mengalami kegagalan, atau selalu menunjukan perkembangan yang semakin maju dari waktu ke waktu. b. Pendekatan finansiil, yaitu dari posisi neraca dan laporan keuangan Rugi-Laba beberapa periode terakhir. c. Pendekatan edukasional, yaitu pendidikan para pengurus perusahaan calon debitur. d. Pedekatan yuridis, apakah calon debitur secara yuridis mempunyai kapasitas untuk mewakili dirinya ataupun badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank. e. Pendekatan managerial, yaitu sampai sejauh manakah tingkat ketrampilan dan kemampuan nasabah dalam melaksanakan fungsi managemen dalam memimpin perusahaannya. f. Pendekatan tehnis, yaitu penilaian sampai sejauh kemampuan calon debitur mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan kerja/mesin-mesin administrasi dan keuangan, bahkan sampai merebut market share. 26 3) Capital Yaitu jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Hal ini dapat berupa barang-barang bergerak dan tidak bergerak. Biasanya calon debitur yang telah menanamkan dananya dalam proporsi yang besar dibandingkan dengan kredit yang diperolehnya dari Bank tentu akan melakukan usahanya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab biasanya akan berhasil. 4) Collateral Yaitu barang jaminan yang diserahkan oleh debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Biasanya secara yuridis cukup sempurna bila jaminan tersebut marketable artinya mudah dijual atau dicairkan. 5) Condition of economy Yaitu situasi dan kodisi politik, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk suatu kurun waktu tertentu yang memungkinkan akan mempengaruhi kelancaran usaha dan perusahaan yang memperoleh kredit. 6) Constraint Yaitu kondisi yang tidak mungkin untuk melakukan usaha ditempat itu walaupun unsur 5 C cukup baik (contoh usaha ternak babi didaerah mayoritas penduduknya beragama islam). 27 3. Kebijaksanaan dan Asas-Asas Kredit Untuk mengatasi berbagai kerumitan serta dalam upaya agar kegiatan perkreditan tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu baik secara tertulis ataupun tidak tertulis sebelum pelaksanakan perkreditan itu berlangsung. Rangkaian peraturan tersebut disebut sebagai kebijaksanaan kredit (Credit policy). Keputusan kredit tersebut harus bersifat tehnis dan mengandung keputusan-keputusan politis.14 Azas pokok yaitu:15 1) Azas likwiditas, yaitu suatu azas yang mengharuskan bank untuk tetap dapat menjaga tingkat likwiditasnya, karena satu bank yang tidak likwid akibatnya sangat parah atau hilangnya kepercayaan dari para nasabahnya atau masyarakat luas. Bank dikatakan likwid apabila memenuhi beberapa kriteria antara lain: a. Bank tersebut memiliki “cash assets“ sebesar kebutuhan akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya. b. Bank tersebut memiliki assets lainnya yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarannya 14 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 17 15 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 17-22 28 Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cas assets baru melalui berbagai bentuk hutang. 2) Azas solvabilitas, usaha pokok perbankan yaitu menerima simpanan dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit. Sehingga bank harus pandai-pandai mengatur kebijaksanaan, surat-surat berharga, dan mengatur tingkat kegagalan sekecil mungkin. 3) Azas rentabilitas, setiap usaha tentu mencari keuntungan baik untuk eksistensinya maupun pengembangan usahanya. Berupa selisih antara biaya dana dengan pendapatan bunga yang diterima dari para debiturnya. Keberhasilan bank untuk mengumpulkan penerimaan bunga merupakan sumbangan yang besar bagi suksesnya bank itu sendiri. Disamping bank harus memperhatikan azas tersebut ia harus pula memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi kebijakan perkreditan yaitu keadaan perekonominan, perkembangan politik: a. Peraturan-peraturan penguasa moneter yang ada. b. Kemampuan bank yang bersangkutan dalam mengumpulkan dana biaya yang relatip murah. c. Volume permintaan kredit dari masyarakat business. d. Tingkat (besarnya) laba yang diharapkan. e. Kemampuan managemen bank itu sendiri. 29 f. Para saingan dari bank-bank/lembaga keuangan lainnya yang memasarkan jasa perkreditan. 4. Jenis-Jenis Kredit Dalam klasifikasi ini bentuk perkreditan dapat dilihat dari obyek yang dibiayai dengan kredit tersebut antara lain:16 a. Kredit untuk Modal Kerja, yaitu kredit yang diberikan kepada debiturnya untuk kebutuhan modal kerjanya. Kriteria bahwa kredit itu akan habis dalam satu cycle usahanya. b. Kredit investasi, yaitu kredit-kredit yang diberikan oleh perbankan untuk membeli barang-barang modal yang tidak habis dalam satu cycle usahanya, maksudnya proses dari pengeluaran uang kas dan kembali menjadi uang kas akan memakan jangka waktu yang cukup panjang setelah melalui beberapa kali perputaran. c. Personal loan, adalah kredit yang diberikan kepada perorangan untuk kebutuhan konsumtip. d. Non Cash Loan, adalah kredit yang diberikan, kredit sejenis yang belum efektif dapat ditarik secara tunai ataupun secara pemindah bukuan, tetapi didalamnya telah terkandung adanya suatu kesanggupan untuk melakukan pembayaran di kemudian hari. 4.1. Bank Garansi 16 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 24-30 30 a. Jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh Bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin melakukan cidera janji atau ingkar janji; b. Jaminan dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti avalis dan endosemen yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila yang dijamin cidera janji. 4.2. Fasilitas Pembukaan L/C Import Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk penjual atas permintaan dan sesuai dengan instruksi pembeli, dimana bank memberikan jaminan atau memberikan kuasa kepada bank bank lain untuk melakukan pembayaran akseptasi atau negaosiasi wesel-wesel berdasarkan penyerahan dokumen yang ditentukan sesuai syarat dan kondisi dalam L/C yang bersangkutan. Masih banyak kredit-kredit, Kredit kelolaan, Kredit Investasi Kecil, Kredit Modal Kerja Permanen, di samping kredit kelayakan, kredit mahasiswa. Pembagian kredit menurut sifatnya:17 17 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 39-47 31 a. Berulang ( revolving credit) Yaitu kredit yang dapat ditarik sesuai dengan kebutuhan dana dari pihak debitur. Jangka waktunya kreditnya juga dapat diperpanjang selama kegiatan usahanya masih ada. b. Kredit sekali tarik (einmalig kredit/self liquidating credit ) Kredit sekali tarik untuk suatu jangka waktu kemudian harus dilunasi sekaligus pada saat transaksi kredit yang dibiayai telah selesai (ciri kas kredit antara lain: untuk jasa pemborong kontrak kerja. Kredit ekspor dan seterusnya). c. Kredit dengan plafond menurun/Kredit Investasi Kredit tersebut diberikan sesuai jatwal sesuai dengan plafond angsuran yang telah disepakati bersama. A. PENGAWASAN KREDIT 1. Pengertian Pengawasan Kredit Salah satu fungsi managemen yang penting dalam setiap kegiatan usaha yaitu tahap “ Pengawasan “, begitu juga di dalam perkreditan, karena kegiatan pengawasan akan merupakan penjagaan dan pengamanan terhadap kekayaan bank yang disalurkan (diinvestasikan) di bidang perkreditan. Kegiatan pengawasan ini akan menjadi lebih penting lagi manakala diingat 32 bahwa “kredit“ merupakan “risk assets” bagi bank., karena assets tersebut dikuasai oleh pihak di luar bank yaitu nasabah. Untuk peningkatan effisiensi dan penjagaan/pengamanan terhadap harta bank tersebut tentu “adminitrasi perkreditan“ harus dapat diandalkan.18 Pengawasan kredit yaitu salah satu fungsi managemen dalam usahanya untuk menjaga pengamanan dan pengelolaan kekayaan bank dalam bentuk perkreditan yang lebih baik dan efisien, guna menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dengan cara mendorong dipenuhinya kebijakan-kebijakan perkreditan yang telah ditetapkan dan mengusahakan penyusunan administrasi kredit yang benar. Jadi pengawasan kredit ini merupakan upaya dalam penjagaan dan pengamanan harta bank dalam bentuk kredit. Ini bersifat preventif. Pengertian dari pengawasan bersifat represif, untuk menyelamatkan kemungkinankemungkinan kerugian yang potensiil akan timbul lebih besar, atau untuk mecegah kerugian tersebut sama sekali, minimal harus mampu untuk meminimisir kerugian yang akan timbul. 2. Obyek dan Fungsi Pengawasan Kredit Obyek pengawasan kredit meliputi semua aspek perkreditan dan semua obyek pengawasan tanpa melakukan pengecualian, yaitu : 18 Perbarindo pendidikan di Jakarta 2008, Sistem pengawasan BPR. 33 1) Pengawasan terhadap semua pejabat, pegawai bank maupun pihak ke tiga yang terkait dengan perkreditan. 2) Pengawasan terhadap semua jenis kredit, termasuk kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan Bank dan debitur besar. Pengawasan terhadap pihak-pihak terkait dengan Bank dan debitur-debitur besar tertentu dilakukan secara lebih intensif. Fungsi pengawasan (built in control) merupakan fungsi dari tanggung jawab dari setiap tingkatan managemen sesuai wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. 1) Fungsi pengawasan kredit harus dua arah dari upaya yang bersifat pencegahan sedini mungkin atas terjadinya hal-hal yang dapat merugikan bank dalam perkreditan atau timbulnya praktek pemberian kredit yang tidak sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian. Fungsi tersebut tercermin dalam struktur pengendalian intern/menejemen Bank yang terkait dengan perkreditan (Pecegahan Preventif ). 2) Pengawasi kredit harus dilakukan sehari-hari oleh menegemen Bank atas setiap pelaksanakan pemberian kredit atau yang lazim dikenal pengawasan melekat. 34 3) Mengawasi apakah pemberian kredit telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Perkreditan Bank, Pedoman Pelaksanakan Kredit dan ketentuan intern Bank yang berlaku. 4) Memantau perkembangan kegiatan debitur dan memberikan peringatan sedini mungkin mengenai penurunan kualitas kredit-kredit yang diperkirakan mengandung resiko bagi Bank melalui/ kepada unit bisnis terkait. 5) Mengawasi apakah penilaian kolektibitas kredit telah sesuai dengan ketentuan berlaku yang ditetapkan oleh Bank. 6) Memantau dan mengawasi secara khusus apakah pemberian kredit kepada pihak terkait dengan Bank dan debitur-dibitur besar tertentu telah sesuai dengan kebijakan Perkreditan Bank dan tidak melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). 7) Memantau kecukupan jumlah Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). 3. Tujuan dan Ruang Lingkup Pengawasan Perkreditan Tujuan Pengawasan perkreditan sebagai berikut:19 1) Agar pengawasan/penjagaan dalam pengelolaan kekayaan bank di bidang perkreditan dapat dilakukan dengan baik untuk 19 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 424-425 35 menghindarkan penyelewengan baik dari oknum-oknum ekstern/intern bank. 2) Untuk memastikan ketelitian dan kebenaran data administrasi di bidang perkreditan serta penyusunan perkreditan yang lebih baik. 3) Untuk memajukan effisiensi di dalam pengelolaan dan tata laksana usaha di bidang perkreditan dan mendorong tercapainya rencana yang ada. 4) Untuk memajukan agar kebijakan yang telah ditetapkan seperti tersebut diatas dipatuhi dengan baik. Ruang lingkup pengawasan tersebut diatas akan dapat dibedakan lagi secara lebih mendetail yaitu:20 1. Pengawasan dalam arti sempit yaitu berupa pengawasan administratif yang mempunyai ruang lingkup untuk mengetahui kebenaran datadata admnistratif. 2. Pengawasan dalam arti luas yaitu merupakan kegiatan pengendalian dalam suatu perusahaan yang kita kenal dengan managemen control yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu di bidang : - Financial di dalam pelaksanakannya sering kita sebut Financial audit. 20 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 425 36 - Operational – Sering kita sebut Operational Audit performance audit. - Management/Policy – sering kita sebut management audit. Apabila dilihat tingkat/pola pengawasan berbeda-beda satu sama lainnya sesuai situasi dan kondisi dari pada debitur sendiri. Salah satu bentuk / pola pengawasan yang dituntut bagi bank sebagai “Agent Development“ (dalam mengembangkan para pengusaha golongan ekonomi lemah) adalah bidang pembinaan, baik pembinaan di bidang management, pembinaan tehnik produksi. Untuk pengawasan setiap pejabat harus dapat melakukan atau memilih sesuai dengan keadaan debiturnya. Disamping pengawasan tersebut diatas tujuan dan kegunakan bank juga melaksanakan Struktur Pengedalian Intern Perkreditan. ( SPIP). Struktur Pengendalian Intern/pengendalian managemen yang memadai dalam perkreditan diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya penyalahgunakan wewenang dan praktek pemberian kredit yang tidak sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian oleh berbagai pihak yang dapat merugikan bank. Struktur pengendalian intern bank meliputi: a. Pengawasan Intern 1. engawasan Melekat 2. Pengawasan Fungsional b. Pengawasan Ekstern 37 Pengawasan ekstern instansi, yairu dilakukan oleh BPKP dan BI. 4. Cara-Cara Pengawasan Kredit a. Cara pelaksanaannya: 1. Pengawasan langsung adalah pengawasan dilaksanakan ditempat kegiatan berlangsung, yaitu dengan inspeksi dan pemeriksaan secara mendadak. 2. Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan berdasarkan pemantauan dari laporan baik bulanan triwulanan, dan pemantauan dari kinerja dari bank yang bersangkutan. b. Menurut waktu pelaksanaan pengawasan: 1. Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan di mulai sampai dengan persetujuan kredit dengan mengadakan pemeriksaan dan persetujuan rencana kerja dan rencana anggarannya. Pengawasan ini bersifat preventif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan, penyimpangan dan pemborosan. 2. Pengawasan dilakukan selama pekerjaan berlangsung, untuk memonitoring pelaksanakan kerja apakah sesuai dengan rencana kerja sesuai arahan yang benar. 38 3. Pengawasan yang dilakukan represif terhadap rencana kerja dibanding dengan hasilnya apakah tidak terjadi kebocoran sehingga merugikan Bank. 4. Pengawasan terhadap kesalahan kerja bagaimana tindak lanjutnya untuk mengatasinya. c. Pengembangan Sistem Pengawasan Untuk mengembangkan system pengawasan yang efisien dan efektif, maka pejabat atau pihak Bank harus segera merespon akibat yang akan timbul sehingga dengan segera membenahi atau meluruskan, mengkoreksi agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat kerugian Bank. Atau melaporkan sesuai aturan Bank Indonesia. d. Struktur Pengendalian Intern Perkreditan Struktur pengedalian intern/pengedalian managemen yang memadai dalam perkreditan diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang dan praktek pemberian kredit yang tidak sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian oleh berbagai pihak yang dapat merugikan Bank, Kebijakan struktur pengendalian intern bank meliputi : 1. Penerapam Struktur Pengendalian Intern 39 Struktur pengendalian intern dalam perkreditan harus diterapkan pada semua tahapan, yaitu mulai dari permohonan kredit sampai dengan pelunasan kredit. 2. Cakupan Struktur Pengendalian Intern Perkreditan Struktur pengendalian Intern dibidang perkreditan sekurang kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Pengawasan ganda dalam pengambilan keputusan kredit dilakukan melalui mekanisme prinsip four-eye. b. Pengawasan harus diterapkan pada setiap tahap proses pemberian kredit yang mengandung unsur kerawanan terhadap penyalah gunakan atau dapat menimbulkan kerugian keuangan Bank. Pengawasan yang bersifat review secara komprehensif atas kredit dimaksud dilakukan oleh Satuan Kerja Audit Intern (SKAI). Temuan-temuan audit oleh SKAI tersebut diinformasikan (secara tertulis) kepada Unit Business, unit risk Management dan unit credit Restructuring untuk ditindak lanjuti, guna mendektesi dan mengantisipasi segala resiko perkreditan secara lebih dini sehingga kerugian dapat dihindari dan diminimalisir. c. Adanya mekanisme bahwa setiap pelanggaran terhadap Kebijakan Perkreditan Bank dan Pedoman Pelaksanakan 40 Kredit dapat segera diketahui dan dilaporkan kepada pejabat atau Direksi yang berwenang. e. Kajian Berkala Atas Efektivitas Sistem Pengendalian Intern Perkreditan 1. Guna menjamin efektivitas system pengendalian intern secara berkesinambungan, Bank wajib melakukan kajian berkala atas system pengendalian intern perkreditan. 2. Kajian berkala dimaksud dilaksanakan secara periodik berdasarkan perkembangan factor intern dan ekstern Bank. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka bagaimanakah efektivitas hukum keperdataan (hukum perbankan) terhadap sistem pengawasan kredit apakah dapat mencegah atau mengurangi tingkat pelanggaran didalam mekanisme pemberian kredit di Bank D. EFEKTIVITAS HUKUM 1. Pengertian Efektivitas Hukum Berkaitan dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang sering menjadi masalah urgensi adalah masalah hukum. Kata Efektifitas berasal dari kata dasar efektif yang kemudian mendapat akhiran itas. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata efektivitas berarti : 41 Efektivias adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya): manjur atau mujarab (tentang obat, obat itu ternyata cukup efektif mengurangi rasa sakit); dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan).21 Menurut A. Emerson, efektivitas ialah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelas bila sasaran atau tujuan tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah efektif.22 Kata efektivitas juga banyak dilontarkan oleh para ahli hukum khususnya aliran sosiologi, baik dalam negeri maupun diluar negeri. Istilah tersebut didasarkan atas pemikiran para ahli yang memang mempunyai dasar tersendiri yang tumbuh menjadi teori, yang kemudian teori-teori akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas suatu permasalahan. Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris “effective” yang telah mengintervensi dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Sedangkan efektivitas hakum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum 21 Pusat Bahasa,Dep.Pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 Jakarta 2003hal.284. Astuti Ajie Probo Retno,Pengaruh Iklim Organisasi dam Pembinaan Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan Umum di KanorKec.Banyumas,PurwokertoFISIP UNSOED.2006, hal 17. 22 42 itu sendiri. Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto23 berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa : “Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsi-nya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”. Dengan demikian efektivitas sebuah hukum dalam masyarakat adalah kemampuan hukum untuk menciptakan keadaan yang dikehendaki oleh hukum. Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum. Dalam tulisan yang lain Soerjono juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar 23 Soerjono Soekanto, Factor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarta Rajawali,1983, hal 62 43 hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan filosofis. 2. Teori Efektivitas Hukum Berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Tujuan hukum24 tersebut tercermin dalam tujuan dibentuknya suatu produk hukum yaitu dilihat dari tiga aspek yaitu : a. Kepastian Hukum (reshtssicherhit) Maksud dari kepastian hukum ialah hukum yang berlaku tidak boleh menyimpang. Ada sebuah istilah “fiat justitia et pereat mundus” yang artinya ialah meskipun langit akan runtuh hukum harus tetap detegakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Tujuan dari kepastian hukum ialah mencipkan ketertiban masyarkat. 24 Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan kedua, Purwokerto, UNSOED 2003,hal 167-168. 44 b. Kemanfaatan (zweckmassigkeot) Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat. c. Keadilan (gerechtihkeit) Hukum harus memenuhi rasa keadilan masyarakat, artinya bahwa setiap orang adalah sama dihadapan hukum, mendapat perilaku yang sama, mendapat kesempatan yang sama, dan sebagainya dalam hukum. Agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat secara benarbenar, harus memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Namun dalam realisasinya tidak semudah itu, karena untuk mengejar berfungsinya hukum yang benar-benar merefleksi dalam kehidupan masyarakat sangat bergantung pada usahausaha menanamkan hukum, reaksi masyarakat dan jangka waktu menanamkan ketentuan hukum secara efektif. Kajian mengenai proses penegakaan hukum itu sendiri akan bersinggungan dengan banyak aspek lain yang melingkupinya. Suatu hal 45 yang pasti bahwa, usaha untuk mewujudkan ide atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh faktor lainnya. Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berdiri diantara berbagai faktor, atau dengan kata lain titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar suatu rumusan hitam diatas putih yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sejala yang dapat diamati didalam masyarakat antara lain tingkah laku warga masyarakat. Hal ini berarti bahwa, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faaktor non hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat.25 Pendekatan yang diungkapkan oleh Julius Stone diatas, antara lain dapat dijumpai penerapannya diadalam hukum pada pendekatan yang dilakukan oleh Robert B. Seidmen. Siedmen mencontoh untuk menerapkan pandangan tersebut didalam analisanya mengenai “Bekerjanya Hukum didalam Masyarakat”. Menurut Robert B. Siedmen menyatakan bahwa, bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga) unsur dasar, yakni : pembuat hukum, pelaksana hukum dan pemegang peran. 25 Ibid.hal 31. 46 Secara lebih lengkap model bekerjanya hukum model Robert B. Seidmen ini dilukiskan dalam bagan berikut: MODEL BEKERJANYA HUKUM DALAM MASYARAKAT KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA UMPAN BALIK LEMBAGA PEMBUAT HUKUM NORMA LEMBAGA PENERAP HUKUM UMPAN BALIK NORMA AKTIFITAS PENERAPAN PEMEGANG PERAN KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA Gambar 1. Bekerjanya Hukum Menurut Robert B. Seidmen 47 Dari bagan diatas oleh R.Seidmen diuraikan ke dalam dalili-dalil yang dikutip oleh Sacipto Rahardjo26 sebagai berikut: a. Setiap peraturan hukum memberi tahu tentang bagaimana seorang pemegang peran (role occutant) itu diharapkan bertindak ; b. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepadanya , sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga pelaksana hukum serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya; c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai serpons terhadap peraturan hukum merupakan funfsi peraturanperaturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peran; d. Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik, ediologi dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpanumpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi. 26 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalamanpengalaman di Indonesia, Alumni,Bandung, 1986, hal 161. 48 Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang dimainkan baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan diluar hukum. Disamping itu, dari badan diatas tampak pula peranan dari kekuatan-kekuatan personal dan sosial, yang tidak hanya berpengaruh terhadap masyarakat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum, dalam kekuatan personal dan sosial ini termasuk kompleks suatu tatanan lainnya. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum semata akan tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan personal dan sosial lainnya.27 Berkenaan dengan “ peran atau peranan “ dan “ status “ sebagai tempat individu dalam hubungan sosial, Maurce Duveger28 menjelaskan sebagai berikut : “ Setiap manusia memegang banyak sekali posisi sosial “. Setiap posisi ini menampilkan kesempatan bagi suatu seri hubunganhubungan sosial. Bidang hubungan sosial ini adalah pada prinsipnya sesuatu yang bisa dibanyangkan orang sama sekali terlepas dari indifidu yang menduduki posisi tersebut. Kedudukan sosial yang demikian ini dinamakan “ status “. Bagi setiap status ada sejumlah tingkahlaku yang 27 Satjipto Raharjo,op,cit.hal 36. Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dakhidae, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998. hal.101-102. 28 49 diharapkan dari individu, yang memegang posisi dan serentak atributatribut tertentu yang seharusnya dimiliki. Diartikan sebagai “ peranan “ adalah atribut sebagai akibat dari status dan perilaku (tindakan) yang diharapkan oleh anggota-anggota lain dari masyarakat terhadap pemegang status. Singkatnya “ peranan “ hanyalah sebuah aspek dari status. Stoetzel mengatakan bahwa “ Status “ adalah pola tindakan (perilaku) kolektif yang secara normal bisa diharapkan individu dari orang-orang lain. Sedangkan “peranan” adalah pola tindakan (perilaku) kolektif yang diharapkan oleh orang lain terhadap individu. Setiap orang adalah pelaku di dalam masyarakat dimana ia hidup yang harus memainkan beberapa peran dalam hubungan sosialnya. Merdasarkan pada teori di atas, maka secara obyektif dapat diinterprestasikan bahwa, tindakan individual dalam situasi tertentu merupakan suatu kumpulan dari peranan-peranan yang dilakukan oleh seorang individu. Tindakan yang merupakan konsekkuensi dari suatu peran dapat dimotivasi melalui proses sosialisasi, yakni suatu dorongan untuk mendapatkan pengakuan. Dalam masyarakat, manusia dipandang dari peran yang dimilikinya, dengan konsep peran yang sesungguhnya adalah berkaitan dengan konsep manusia. Setiap individu dalam masyarakat memegang suatu peran dan ia akan berperilaku sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dari peran yang dimilikinya, yang mana 50 peran tersebut dibentuk melalui kedudukannya di dalam struktur normatif tata sosial dan oleh sistem kultur yang berlaku, sehingga peran tersebut dibatasi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam sistem sosial tersebut.29 Setiap peran mengandung sejumlah kewajiban dan menjelaskan kewajiban sesuai dengan peran yang dimiliki, berarti ikut membangun, memelihara dan menjaga eksistensi sistem sosial secara keseluruhan. Sistem sosial dilihat fungsional, mengandung sanksi-sanksi atas kewajiban yang merupakan konsekuensi peran yang dimiliki individuindividu serta memberikan berbagai imbalan yang merupakan pendorong bagi individu yang menjadi pelaku dari suatu peran. Dengan demikian peranan merupakan aspek yang dinamis dari status (kedudukan). Apabila seeorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka maka dia menjalankan peranan. Peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatankesempatan apa yang dihentikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah mengatur perikelakuan seseorang dan juga bahwa peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain.Sehingga dengan demikian orang yang 29 Michael Rush dan Philip Althof, Pengantar Sosiologi Politik,Penterjemah Kartini Kartono. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1987, Hal.234. 51 bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya.30 Status dapat diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok yang lebih besar lagi. Status sosial artinya adalah tempat seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok yang lebih besar lagi. Status sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehingga dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestesinya, hak-hak dan kewajibannya. Secara abstrak status berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa status, oleh karena seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.31 Apabila konsep “ peran, norma dan status “ di atas, diaplikasikan ke dalam permasalahan proses pembatasan kewenangan pejabat dalam pelayanan perbankan, maka secara yuridis sosiologis seorang pejabat/pelaksana yang melakukan hubungan transaksi dengan nasabah, masing-masing mempunyai kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan merupakan wadah atau tempat hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan peranan merupakan proses pelaksana hak-hak dan kewajiban 30 31 Soerjono Soekanto,op.cit.hal 238. Ibid,hal.233-234. 52 tersebut, Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pejabat/pelaksana mana timbul berdasarkan peranan hukum dan transaksi perbankan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas yang harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila hak-hak dan kewajiban-kewajiban dapat dilaksanakan maka akan timbul kewenangan Pejabat dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan upaya pemberian kredit kepada masyarakat. Paksaan di dalam hukum modern pada akhirnya didasarkan pada wewenang rationil-legal. Akan tetapi penggunaan paksaan dapat mengurangi kewibawaan wewenang tersebut didalam kenyataanya. Masalahnya kemudian berkisar pada sejauh mana warga-warga masyarakat mematuhi hukum dan apakah akibat-akibat penerapan sanksisanksi sebagai pembenaran terhadap kaedah-kaedah, untuk kepentingan mana kemudian dijatuhkan hukuman-hukuman. Terlalu banyak sanksi, sanksi yang tidak tepat, sanksi yang tidak adil, sanksi yang sewenangwenang dapat mengurangi kewibawaan penegakan hukum maupun dasar pembenaran sanksi-sanksi tersebut. 53 Hukum sebagaimana diterima dan dijalani di Indonesia termasuk ke dalam katagori hukum yang modern. Modernitas tersebut tampak dalam ciri-ciri yang berikut :32 1. Dikehendaki adanya bentuk yang tertulis, seperti tampak pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia hendaknya disusun suatu UndangUndang Dasar. 2. Hukum berlaku untuk seluruh wilayah negara, suatu pernyataan dapat juga disimpulkan dari kata-kata dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar tersebut disusun untuk “ Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia “. Pernyataan tersebut sesuai dengan salah satu karakteristik hukum modern yang dibuat oleh Marc Galanter, yaitu bahwa hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat uniform serta diterapkan tanpa mengenal variasi. Peraturan-peraturan tersebut lebih bersifat teritorial dari pada pribadi, artinya peraturan yang sama diterapkan terhadap anggota-anggota dari semua agama, suku, kelas daerah dan kelamin. Apabila diakui adanya perbedaan-perbedaan maka hukum bukan sesuatu yang disebabkan oleh kualitas yang interistik, seperti antara bangsawan dan budak atau antara kaum 32 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.31-32. 54 Brahmana dan kelas-kelas yang lebih rendah, melainkan disebabkan oleh fungsi, kondisi dan hasil-hasil karya yang didapat oleh seseorang dalam kehidupan keduniaan. 3. Hukum merupakan sarana yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada rumusan dari Repelita-repelita terdahulu. Berbicara tentang penerapan hukum, maka kita harus melihat hukum sebagai suatu sistem, yang selalu berinteraksi dengan sistem yang lain. Lawrence M. Freidman mengemukakan adanya komponenkomponen yang terkandung dalam hukum yaitu :33 a) Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur. b) Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. c) Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture yakni hukumnya, lawyers dan judged’s dan external legal cultural yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan. 33 Esmi Warassih,Op.Cit, hal 82. 55 Menurut Weber yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, kecenderungan umum dalam perkembangan hukum modern adalah untuk menjadi makin rasional. Secara teoritis, perkembangan tersebut melalui tahap-tahap sebagai berikut :34 1. Pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara kharismatik. Dalam istilah Weber, pengadaan hukum tersebut terjadi melalui apa yang disebut dengan law propets, Weber berpendapat bahwa cara pengadaan hukum seperti inilah, yaitu melalui yaitu melalui law propets, yang benar-benar dapat disebut sebagai pengadaan hukum yang kreatif, yaitu menciptakan sesuatu dari nol. Pengadaan hukum dilakukan seperti dilakukan oleh ahli hukum, bagaimana orisionilnya, tetaplah bertolak dari kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya. 2. Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para Legal honoratioris, yaitu penciptaan hukum oleh para Kautelarjuristen (cauelary yurisprudence). Cara tersebut mengandung suatu seni dan ketrampilan untuk menciptakan dan melakukan inovasi hukum. Terlihat pada tahap ini, Weber hendak menunjukkan pada pengadaan hukum yang tidak begitu saja jatuh dari keadaan entah berentah, seperti pada tahap terdahulu, melainkan hukum yang 34 Ibid, hal 41-42. 56 tercipta melalui teknik-teknik dan keterampilan tersendiri. Dalam pencapaian ini, hukum terkait pada preseden. 3. Pembebanan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekular dan teokratis. 4. Tahap yang terakhir adalah penggarapan hukum secara sistimatis dan penyelenggaraan hukum secara profisional oleh orang-orang yang mendapat pendidikan hukum dengan cara-cara ilmiah dan logisformal. Teori-teori selanjutnya berkisar pada penerapan sanksi-sanksi sebagai faktor yang menyebabkan kepatuhan hukum yang oleh Barku dianggap mempunyai kelemahanyaitu “It also has been asserted that sanction real of threted, have adeterrent effect although this is one of the great unexamined premises of legal theory“35 Sanksi pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah kelompok. Sanksi tersebut dapat berwujud sebagai sanksi positif dan sanksi negative. Sanksi-sanksi positif adalah unsur-unsur ysng mendorong terjadinya kepatuhan dan peikelakuan yang sesuai dengan kaedah-kaedah. Sebaliknya sanksi-sanksi negative menjatuhkan hukuman kepada pelanggar-pelanggar kaedah-kaedah kelompok. Dengan demikian maka proses pemberian sanksi-sanksi, mencakup semua sistem imbalan dan hukuman, yang akibatnya adalah suatu dukungan yang efektif untuk 35 Ibid. hal.232. 57 mematuhi kaedak-kaedah. Perihal sanksi-sanksi tersebut Hoefnagels mengemukakan pendapat bahwa ;36 “ It may be assumed in principle and in view of human experience that censure and encouragement are both useful for influencing behavior to conform with the law. It is known that an inner willingness in the person concerned to cooperate in the influencing process isit primary aid for influencing behavoir. It may be assumed in view of human axperience that such willingness is created more easily by encouragement than by discouragement, or censure as the case may be “ Selanjutnya Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:37 1. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang. 2. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaedah-kaedah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa. 36 37 Ibid. hal 233. Ibid, Hal 234. 58 4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang. 5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak atuh pada hukum (melakukan protes). Sehubungan dengan efektivitas sanksi-sanksi tersebut, terutama sanksi-sanksi negatif Shwartz dan Orleans pernah mengadakan suatu penelitian yang menghasilkan beberapa hipotesa sebagai berikut: 38 1. Sanksi negatif (c.q.hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya. 2. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajat efektifitasnya. 3. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugian. 4. Kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai suatu alternatif yang sederajat dengan penerapan sanksi negatif. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum Sistem hukum dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan hukum itu sendiri. Suatu sistem hukum yang tidak efektif akan 38 Ibid. hal 234. 59 menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia didalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan didalam aturanaturan hukum yang berlaku. Paul dan Diaz, seperti yang dikutip oleh Esmi Warassih, mengajukan lima syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum yaitu: 39 1) Mudah tidaknya makna aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. 2) Luas tidaknya kalangan masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan. 3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum. 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. 5) Anggapan dan perlakuan dikalangan warga masyarakat bahwaaturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. Pernyataan diatas sangat menarik untuk dikaji dalam hubungan dengan pembicaraan dalam budaya hukum. Hukum yang dipakai sebagai 39 Ibid, hal 105-106. 60 sarana untuk mengubah tingkah laku tentunya mengandung nilai-nilai yang berbeda dengan nilai yang telah dikenal oleh masyarakat sehingga diperlukan komunikasi hukum agar hukum berlaku efektif. Untuk menanamkan nilai-nilai baru sehingga dapat melembaga sebagai pola tingkah laku yang baru di masyarakat, maka perlu adanya proses pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat, Proses pelembagaan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut: 40 Proses pelembagaan = efektifitas menanamkan unsur-unsur baru – (dikurangi) kekuatan yang menentang dalam masyarakat / (dibagi) kecepatan menanam unsur-unsur baru. Efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan lembaga baru didalam masyarakat. Semakin besar tenaga manusia, makin ampuh alat-alat yang digunakan, makin rapi dan teratur organisasinya dan makin sesuai sestem penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat, makin besar hasil yang dapat dicapai dalam usaha lembaga penanaman itu. Setiap usaha untuk menanamkan sesuatu yang baru pasti akan mendapat reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang merasa dirugikan. Kekuatan yang menentang tersebut akan berpengaruh negatif 40 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers 2009 hal 127-129. 61 terhadap berhasilnya proses pelembagaan. Dengan demikian maka jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan menentang dari masyarakat besar, maka kemungkinan terjadinya sukses dalam kelembagaan yang terkecil atau bahkan hilang sama sekali. Demikian pula sebaliknya. Apabila efektivitas penanaman itu besar dan kekuatan menentang dari masyarakat kecil maka jalannya proses kelembagaan menjadi lancar. Bekerjanya hukum masyarakat menurut Donald Black, seperti yang disampaikan oleh Saryono Hanadi, dipengaruhi oleh faktor personal (diantaranya adalah pengalaman, pengetahuan, sikap, perilaku, persepsi, opini, kecerdasan, kepatuhan, kepemimpinan, dan lain-lain, faktor pemegang peran, faktor pelaksana hukum dan faktor sosial. 41 Faktorfaktor sosial yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum dalam masyarakat adalah: 1. Stratifikasi masyarakat, adalah kelas sosial masyarakat secara vertikal, berhubungan dengan harta kekayaan/sosial ekonomi, kesolehan dalam agama, kekuasaan, keturunan keluarga ningrat dan sebagainya. Masyarakat dengan stratifikasi tinggi cenderung memiliki kemudahan hukum dan sebaliknya. Hukum lebih banyak 41 Saryono Hanadi, Sosiologi Hukum, Bahan kuliah, Purwokerto, FH Unsoed, 2008.hal 5-8. 62 berpihak pada stratifikasi yang tinggi dan banyak dikenakan pada pihak yang berada pada posisi bawah. 2. Morfologi, yaitu hubungan horisontal dalam kehidupan sosial. Dalam hubungannya dengan bekerjanya hukum adalah bahwa masyarakat yang berada dalam pusat kehidupan sosial lebih banyak memiliki hukum dan kemudahan-kemudahan hukum daripada masyarakat yang jauh dari pusat lokasi kehidupan sosial, sehingga jika terjadi pelanggaran maka penangannya cenderung kurang serius pada masyarakat yang dekat dengan pusat kehidupan sosial dibanding dengan masyarakat yang jauh. 3. Organisasi, yaitu kerjasama untuk mencapai tujuan. Hubungan organisasi dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat adalah bahwa organisasi yang sudah baik dan mapan akan lebih banyak memiliki hukum dari pada organisasi yang belum mapan. Akibatnya, pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang lebih baik cenderung tidak ditangani dengan serius. 4. Budaya, yaitu simbol dari kehidupan sosial seperti agama, nilainilai, tanda kebesaran, kebiasaan dan lain-lain. Hubungan budaya dengan bekerjanya hukum adalah bahwa kemampuan untuk menempatkan pranata hukum di tengah-tengah sistem budaya masyarakat. Hukum merupakan simbol dari sistem budaya yakni 63 adanya kesesuaian antara hukum dan sistem budaya yang ada dalam masyarakat sebagai nilai-nilaidan sikap hukum. Dengan demikian perubahan pada sistem budaya harus diikuti dengan perubahan sistem hukumnya. 5. Kontrol sosial, yaitu suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan harapan. Hubungannya dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat adalah bahwa kontrol sosial dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai lembaga yang terorganisir secara politik. Dengan demikian hukum bertugas untuk memecahkan masalah melalui pengaturan hubungan sosial dan mempertahankan pola-pola hubungan sosial dan kaidah-kaidah yang berlaku. Term efektivitas secara umum Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan 64 melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.42Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umunya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya suatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum, Soedjono Soekanto 43 berpendapat bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukumnyam faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas berlakunya hukum. a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang) Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang- Undang mungkin disebabkan karena: 1. Tidak diikutinya berlakunya azas-azas Undang-Undang. 2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang. 3. Ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang .mengakibatkan penafsiran serta penerapannya. 42 43 Soerjono Sukanto, 1983, op.cit. Hal 62. Soejono Sukanto, 1983, op.cit.hal 62. 65 kesimpangsiuran didalam b. Faktor penegak hukum Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan- kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Penegak hukum harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau menjalankan peranannya. Selain itu, sebagai panutan, penegak hukum juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat didalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik. Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut adalah: 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi; kegairahan yang sanga terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk 66 membuat suatu proyeksi; 3. Belum adanya kemampuan untuk menunda kepuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material; 4. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, melatih, dan membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap sebagai berikut: 1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalamann maupun penemuan-penemuan baru. Artinya, sebanyak mungkin menghilangkan prasangka terhadap hal-hal yang baru atau yang berasal dari luar sebelum dicoba manfaatnya; 2. Senantiasa siap untuk setelah menerima perubahan-perubahan menilai kekurangan-kekurangan yang ada pada saat itu; 3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi sekitarnya dengan dilandasi suatu kesabaran, bahwa persoalanpersoalan tersebut berkaitan dengan dirinya; 4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya; 67 5. Orientasi kemasa kini dan masa depan sebenarnya merupakan suatu urutan; 6. Menyadari akan potensi-potensi yang ada dalam dirinya, dan percaya bahwa potensi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan; 7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib (yang buruk); 8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. 9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri sendiri maupun pihak-pihak lain; 10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap44. c. Faktor Sarana dan Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar, Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. 44 Ibid hal 34-36 68 Adanya hambatan penyelesaian perkara bukanlah sematamata disebabkan diselesaikan, karena sedangkan banyaknya waktu untuk perkara yang mengadilinya harus atau menyelesaikannya adalah terbatas. Penambahan jumlah hakim untuk menyelesaikan perkara, hanya mempunyai dampak yang sangat kecil di dalam usaha untuk mengatasi hambatan-hambatan pada penyelesaian perkara, terutama dalam jangka panjang. Selain itu, masalah lain yang erat hubunganya dengan penyelesaian perkara dan sarana atau fasilitasnya, adalah soal efektivitas dan sanksi negatif yang ancamkan terhadap peristiwaperistiwa pidana tertentu. Tujuan sanki-sanksi tersebut dapat mempunyai efek yang menakutkan terhadap pelanggaranpelanggaran potensial, maupun yang pernah dijatuhi hukuman karena pernah melanggar (agar tidak mengulanginya). Sanki negatif yang relatif berat atau diperberat, bukan merupakan sarana yang efektif untuk dapat mengendalikan kejahatan maupun penyimpangan-penyimpangan lainnya. Sarana ekonomi ataupun biaya daripada pelaksanaan sanksi-sanksi negatif diperhitungkan, dengan berpegang pada cara yang lebih efektif dan efisien, sehingga biaya dapat ditekan di dalam program-program pemberantasan kejhatan jangka panjang. 69 Kepastian didalam penanganan perkara maupun kecepatannya, mempunyai dampak yang lebih nyata, apabila dibandingkan dengan peningkatan sanksi negatif belaka. Kalau tingkat kepastian dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksisanksi negatif akan mempunyi efek menakuti yang lebih tinggi pula, sehingga akan dapat mencegah peningkatan kejahatan maupun residivisme. d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Pada dasarnya masyarakat cenderung untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikanhukum sebagai petugas atau pejabat. Salah satu akibatnya adalah baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses. Adanya hal itu, mengakibatkan tidak terbentuknya kompetensi hukum dalam masyarakat. Sedangkan kompetensi hukum tidak mungkin ada apabila warga masyarakat: 70 1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka dilanggar atau terganggu. 2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. 3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik. 4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. 5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan pelbagai unsur kalangan formal. e. Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan sesuatu yang mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan hukum yang berlaku dikalangan rakyat banyak. Disamping itu, berlaku hukum tertulis (Perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. 71 Perubahan-perubahan sosial yang besar dan fundamental selalu diikuti dengan penyesuaian pada segi kehidupan hukumnya. Namun jika hukum sama sekali atau bahkan tidak dapat memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi, maka hukum sulit diharapkan untuk menjadi instrument dalam menata kehidupan sosial yang semakin besar dan komplek.45 45 Esmi Warassih, Op,cit.,hal 9. 72 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan pendekatan Yuridis Sosiologis. Digunakannya metode pendekatan ini didasarkan pada alasan bahwa, dalam penelitian ini Hukum diartikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Asumsi ini searah dengan pendapat Ronny Hanitiyo Soemitro46 yang menyatakan bahwa, dalam studi hukum yang empirik, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom, tetapi sebagai suatu pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabelvariabel sosial lainnya. 2. Metode Penelitian Dalam Penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian, yakni : a. Metode Survei, yaitu suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, guna membedah dan mengenal masalah-masalah serta 46 Ronny Hanitiyo Soemitro, 1985. Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, hal. 123. 73 mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.47 Hasil dari survei berupa data primer, yaitu data yang bersumber dari individu maupun kelompok masyarakat, dalam hal ini Individu Nasabah penerima kredit dari PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap dan bilamana diperlukan beberapa Pejabat Bank tersebut. b. Metode Kepustakaan, yaitu suatu cara penelitian dengan menelusuri literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun guna memperoleh informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.48 Metode ini digunakan bertujuan untuk mecari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian ini. Hasil dari penelusuran kepustakaan berupa data sekunder, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan internal dalam pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. c. Metode Dokumenter, yakni sutau penelitian dengan cara menelursuri dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang sedang 47 48 Moh. Nasir, 1999. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 65. Sumadi Suryabrata, 1989. Metodologi Penelitian Sosial, CV. Rajawali, Jakarta, hal 72. 74 diteliti pada institusi-institusi terkait.49 Hasil dari penelusuran dokumentasi berupa data sekunder, terutama yang bersumber pada dokumen-dokumen resmi dari PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. 3. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini terfokus pada penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.50 Dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit kepada Nasabah dan faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap efektivitas hukum pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah tersebut di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. 49 50 Sanapiah Faesal, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang, hal 158. Moh. Nasir, Op.Cit., hal 63. 75 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di PT. Bank Perkreditas Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Intensitas pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap tergolong tinggi yang mencakup Nasabah dari segala lapisan masyarakat dengan berbagai jenis kredit yang diberikan; b. PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap merupakan salah satu bank yang relatif cepat berkembang jika dilihat dari segi usahanya, tercatat tidak kurang dari 500 Nasabah penerima kredit dalam periode tahun 2011/2012; c. Secara kebetulan Peneliti berposisi sebagai pengurus Yayasan PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap dan menempati posisi cukup strategis, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam hal pengumpulan data; d. Secara kebetulan Peneliti bertempat tinggal di wilayah kota Cilacap, sehingga penelitian dapat dilakukan lebih efektif dan efisien terutama mengenai tenaga, waktu dan biaya. 76 5. Populasi Penelitian Populasi adalah kumpulan atau himpunan dari individu dengan kualitas serta ciriciri yang telah ditetapkan.51 Dalam penelitian ini populasi mencakup seluruh individu Nasabah penerima kredit dan beberapa Pejabat bank tersebut , dengan populasi sasaran adalah Nasabah penerima kredit yang bermasalah dan Pejabat di bagian Perkreditan pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cilacap. 6. Metode Pengambilan Sampel Untuk memperoleh jumlah sampel yang cukup representatif, pengambilan sampel dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Simple Random Sampling (sampel acak sederhana) dari seluruh populasi yang ada di lokasi penelitian. Simple Random Sampling adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.52 Berdasarkan penelitian pendahuluan diperoleh data bahwa, Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap 51 Moh. Nasir, Ibid., hal 325 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 2008. Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES, Jakarta, hal. 155-156. 52 77 sampai periode April 2012, tercatat kurang lebih sebanyak 600 (Enam ratus) Nasabah Penerima Kredit dari segala lapisan masyarakat. Dari sebanyak 600 (Enam ratus) Nasabah Penerima Kredit tersebut, diambil sampel sebanyak 5% (Lima presen) dengan cara Acak, sehingga jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini sebanyak 30 (Tiga puluh) Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Pengambilan sampel tersebut di atas didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan mengenai karakteristik (ciri-ciri umum) homoginitas masing-masing populasi, antara lain : (1) Semua populasi adalah Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap (2) Semua populasi dalam mengembalikan kredit kepada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap, dilakukan dengan cara mengangsur pada setiap bulan; (3) Semua populasi secara geografis berdomisili secara tetap di wilayah Kabupaten Cilacap dengan adat-istiadat yang sama; (4) Semua populasi dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan gaya dan dialeg banyumasan. Berdasarkan pada ciri-ciri homoginitas populasi tersebut di atas, maka dapat diasumsikan bahwa jumlah sampel sebanyak 30 (Tiga puluh) Nasabah Penerima Kredit yang diambil dalam penelitian ini cukup mewakili (representan), sehingga 78 akurasi data yang diperolehpun cukup valid dan mempunyai reliabilitas yang memadai untuk memecahkan masalah yang dirumuskan dalam bab sebelumnya. 7. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini memerlukan 2 (dua) jenis data, yakni : a. Data Primer, yakni data utama yang bersumber dari individu responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini yang meliputi data hasil angket maupun wawancara; b. Data Sekunder, yakni data penunjang data primer yang bersumber dari buku-buku referensi, laporan penelitian, jurnal ilmiah, majalah ilmiah, makalah seminar, hasil-hasil pertemuan ilmiah, internet dan dokumendokumen resmi pada sistem informasi dan dokumentasi resmi yang ada pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. 8. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, dalam penelitian ini digunakan beberapa metode dan instrumen penelitian sebagai berikut : 79 a. Metode Angket, dengan instrumen penelitian berupa Angket (kuesioner), yang berisi pertanyaan-pertanyaan baik yang bersifat tertutup maupun yang terbuka, yang telah disiapkan lebih dahulu untuk diisi oleh semua responden. Angket (kuesioner) adalah suatu alat penelitian yang dilakukan dengan jalan mengedarkan suatu daftar pertanyaan berupa formulir-formulir yang diajukan secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan (respons) tertulis seperlunya.53 b. Metode Interview (wawancara), dengan instrumen penelitian yang berupa Out Line Interview atau pedoman wawancara yang berisi pertanyaan- pertanyaan pokok yang disampaikan kepada individu responden tertentu guna melengkapi data yang tidak bisa dikumpulkan dengan metode Angket. Interview (Wawancara) adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, yang berupa tanya jawab secara lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.54 c. Metode Dokumenter, dengan instrumen penelitian yang berupa Form Dokumentasi dalam wujud matriks yang berisi informasi narasi yang diperoleh dari sumber-sumber data sekunder. 53 54 Kartini Kartono, 1986. Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, hal 200. Kartini Kartono, Ibid., hal 171. 80 9. Metode Pengolahan Data Data yang terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan cara-cara sebagai berikut :55 a. Mengkode Data, yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mempelajari jawaban responden, memutuskan perlu tidaknya jawaban responden dan memberikan simbol berupa angka pada jawaban responden; b. Mentabulasi Data, yakni suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mengelompokkan jawaban responden dan memasukannya ke dalam tabel-tabel, baik tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang pada tiaptiap tally atau kolom tabel tersebut; c. Mengedit Data, yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mengadakan evaluasi atau mencek jawaban-jawaban semua responden dengan menekankan pada konsistensi jawaban satu dengan yang lain, terutama untuk pertanyaan-pertanyaan yang saling berhubungan guna menghilangkan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul. 55 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Op.Cit., hal 219 – 220. 81 10. Metode Penyajian Data Dalam penelitian ini data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel-tabel, terutama tabel distribusi frekuensi dan tabel silang. Di samping itu, data akan disajikan pula dalam bentuk “Teks Naratif”, yakni suatu uraian pernyataanpernyataan yang disusun secara sistematis, logis, konsisten dan rasional. Penyajian data dalam bentuk Teks Naratif ini digunakan untuk menjelaskan data yang berupa angka-angka dalam tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang. 11. Definisi Operasional Variabel a. Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank adalah kemampuan suatu regulasi pengawasan dari diri bank untuk menciptakan keadaan atau situasi kesehatan bank sebagaimana yang diharapkan, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran efektif, kurang efektif dan tidak efektif. b. Pemberian Kredit Bank adalah suatu kegiatan bank untuk memberikan pinjaman sejumlah dana kepada Nasabah dengan suku bunga tertentu sesuai dengan kontrak kreditnya, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran sesuai regulasi, kurang sesuai regulasi dan tidak sesuai regulasi. c. Motivasi Pengawasan adalah serangkaian pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan pengawasan dalam pemberian kredit bank guna mencapai tujuan yang diinginkan lembaga perbankan, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran motivasi tinggi, sedang dan rendah. 82 d. Kepatuhan Hukum adalah tingkat kedisiplinan setiap pegawai perbankan terhadap segala tata tertib atau regulasi yang berlaku dalam pemberian kredit bank tersebut, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran kepatuhan tinggi, sedang dan rendah. e. Intensitas Pengawasan adalah jumlah suatu kegiatan melakukan kontrol dan pemeriksaan dalam satuan bulan terhadap pemberian kredit kepada nasabah, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran intensitas tinggi, sedang dan rendah. f. Kerjasama adalah suatu tindakan bersama-sama antara pihak Bank dengan Nasabah, dimana secara bersama-sama untuk menyumbangkan tenaga dan pemikirannya secara sukarela dan kesadarannya untuk saling membantu guna mencapai tujuan bersama dalam pemberian kredit, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran kerjasama tinggi, sedang dan rendah. 12. Metode Analisis Data Untuk membahas permasalahan yang diungkapkan di muka, data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode “Kuantitatif dan Kualitatatif”. Dalam analisis Kuantitatif dipilih model analisis statistik sederhana, yang menekankan pada 83 penggunaan metode Distribusi Frekuensi Analisis dan Silang Analisis,56, sedangkan dalam analisis Kualitatif akan digunakan metode Analisis Isi (Content Analysis) dan Analisis Perbandingan (Comparative Analysis).57 Untuk mengupas lebih mendalam dalam analisis di atas, akan digunakan metode Interpretasi dan diskusi, yakni suatu model interpretasi dengan cara mendiskusikan atau mendialogkan antara data di satu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan norma hukum di lain pihak. Dengan model Interpretasi dan diskusi ini, diharapkan pengambilan keputusan sebagai kesimpulan akhir yang menyimpang sekecil mungkin dapat dihindari. 56 57 Supranto J., 1995. Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 48. Lexy J. Moleong, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 207. 84 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian merupakan keseluruhan data hasil survey di lapangan yang dikumpulkan dengan menggunakan Quisioner (angket), berisi pertanyaan-pertanyaan yang disebarkan kepada 30 nasabah PT. Bank Prekrditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap, yang bertindak sebagai sampel responden dan diambil berdasarkan metode acak sederhana dalam penelitian ini. Angket yang diajukan kepada responden berisi 55 buah pertanyaan-pertanyaan yang terbagi dalam 4 variabel dan 4 indikator, dimana variabel Efektivitas hukum pengawasan internal bank (∑X) terdapat 25 pertanyaan, yang terdiri dari indikatorindikator ; (a) pemeriksaan terhadap kepribadian nasabah (X1) sebanyak 5 buah pertanyaan; (b) pemeriksaan terhadap jaminan kredit (X2) sebanyak 7 buah pertanyaan; (c) pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit (X3) sebanyak 7 buah pertanyaan; dan (d) pemeriksaan terhadap pengembalian kredit (X4) sebanyak 6 buah pertanyaan. Kemudian variabel motivasi pengawasan (Y1) jumlah pertanyaan sebanyak 10 buah, variabel kepatuhan hukum (Y2) sebanyak 10 buah pertanyaan dan variabel kerjasama Bank dan Nasabah (Y3) sebanyak 10 buah pertanyaan. 85 Adapun distribusi nilai (skor) masing-masing vaiabel dan indikator menurut 30 responden adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Distribusi Nilai (Skor) Masing-masing Variabel dan Indikator Menurut 30 Responden No. Faktor-Faktor Efektivitas Hukum Pengawasan Resp Y1 Y2 Y3 X1 X2 X3 X4 ∑X 01 29 30 21 15 18 21 16 70 02 20 23 15 8 12 18 17 55 03 28 30 24 14 21 20 17 72 04 17 20 25 10 12 16 18 56 05 29 27 22 15 17 21 18 71 06 18 18 13 7 15 19 18 59 07 29 28 25 14 18 21 18 71 08 22 20 14 13 10 19 16 58 09 28 30 23 15 16 21 16 68 10 30 29 28 15 20 21 17 73 11 23 19 16 15 21 21 8 65 12 28 30 20 15 11 21 16 63 13 29 30 19 15 15 21 16 67 14 19 24 14 12 20 12 16 60 15 30 30 18 14 16 20 16 66 16 25 26 20 15 18 21 16 70 17 21 20 17 13 21 20 9 63 18 17 18 15 9 19 18 15 61 19 26 28 26 13 20 20 17 70 20 24 29 27 14 18 13 11 56 86 21 29 30 20 15 17 21 16 69 22 27 30 27 15 16 21 16 68 23 29 27 21 15 19 21 15 71 24 30 30 20 15 19 20 18 73 25 29 29 21 15 20 21 14 69 No. Resp 26 Faktor-Faktor Y1 Y2 Y3 28 30 20 Efektivitas Hukum Pengawasan X1 X2 X3 X4 ∑X 15 18 21 14 68 27 18 24 26 13 19 20 17 69 28 22 26 18 15 21 18 16 70 29 27 30 28 12 20 21 15 68 30 28 25 21 15 18 20 16 69 Sumber : Data Primer yang diolah. Di mana : ∑X = Efektivitas Hukum Pengawasan, merupakan jumlah keseluruhan nilai masing-masing indikator; X1 = Pemeriksaan terhadap kepribadian nasabah; X2 = Pemeriksaan terhadap jaminan kredit; X3 = Pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit; X4 = Pemeriksaan terhadap pengembalian kredit. Y1 = Motivasi Pengawasan; Y2 = Kepatuhan Hukum Nasabah; Y3 = Kerjasama Bank dan Nasabah. 87 Selanjutnya, dalam setiap pertanyaan, diberikan 3 alternatif jawaban, dimana pada jawaban yang benar diberikan skor 3, jawaban yang kurang benar diberikan skor 2 dan pada jawaban yang tidak benar diberikan skor 1. Untuk menghitung interval kelas pada masing-masing variabel dan indikator, dipergunakan metode sebagai berikut : (a) Menentukan batas interval kelas menjadi 3 tingkatan pada masing-masing variabel dan indikator, dengan cara ; (1) Menetapkan besarnya Range (R) dari jumlah skor masing-masing variabel dan indokator, dengan rumus : R = Skor tertinggi – Skor terendah; (2) Menghitung besarnya interval kelas masing-masing variabel dan indikator, dengan rumus : R i = -----K Di mana : i = besarnya interval kelas; R = Range; K = jumlah kelas yang dikehendaki. (b) Membagi masing-masing variabel dan indikator menjadi 3 (tiga) tingkatan dalam bentuk tabel Distribusi Frekuensi dan tabel Silang Berdasarkan perhitungan Interval Kelas dengan menggunakan rumus di atas, maka diperoleh gambaran interval kelas masing-masing variabel dan indikator sebagai berikut : 88 (1) Varibabel Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank (∑X) : ● Nilai 55 – 60, adalah rendah; ● Nilai 61 – 67, adalah sedang; ● Nilai 68 – 73, adalah tinggi. (2) Indikator Pemeriksaan Kepribadian Nasabah (X1) : ● Nilai 7 – 9, adalah rendah; ● Nilai 10 – 12, adalah sedang; ● Nilai 13 – 15, adalah tinggi. (3) Indikator Pemeriksaan Jaminan Kredit (X2) : ● Nilai 10 – 13, adalah rendah. ● Nilai 14 – 17, adalah sedang; ● Nilai 18 – 21, adalah tinggi. (4) Indikator Pemeriksaan Pengelolaan Kredit (X3) : ● Nilai 12 – 14, adalah rendah; ● Nilai 15 – 17, adalah sedang; ● Nilai 18 – 21, adalah tinggi. (5) Indikator Pemeriksaan Pengembalian Kredit (X4) : ● Nilai 8 – 10, adalah rendah; ● Nilai 11 – 14, adalah sedang; ● Nilai 15 – 18, adalah tinggi. (6) Variabel Motivasi Pengawasan (Y1) : ● Nilai 17 – 20, adalah rendah; ● Nilai 21 – 25, adalah sedang; ● Nilai 26 – 30, adalah tinggi. (7) Variabel Kepatuhan Hukum Nasabah (Y2) : ● Nilai 18 – 21, adalah rendah; ● Nilai 22 – 25, adalah sedang; ● Nilai 26 – 30, adalah tinggi. 89 (8) Variabel Kerjasama Bank dan Nasabah (Y3) : ● Nilai 13 – 17, adalah rendah; ● Nilai 18 – 22, adalah sedang; ● Nilai 23 – 28, adalah tinggi 90 B. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank Terhadap Pemberian Kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat UKABIMA SEJAHTERA Cilacap Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, pengawasan terhadap lembaga perbankan di Indonesia merupakan tugas Bank Indonesia. Hal ini ditentukan secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa tugas Bank Indonesia mencakup antara laian : (a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (c) mengatur dan mengawasi bank. Dalam hubungannya dengan tugas Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi bank, mendapat penjabaran lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, pelaksanaan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan disebutkan bahwa : (1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indoensia; 91 (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian; (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank; (4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank; (5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dari ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia dan Pasal 29 UndangUndang Perbankan tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa tugas mengatur, membina dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, dimaksudkan agar bank selalu dalam keadaan sehat, dimana tingkat kesehatan bank diukur dengan indikator ; kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini mengandung arti bahwa lembaga perbankan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam melakukan 92 kegiatan usahanya, pada dasarnya wajib melakukan pengawasan secara internal bank yang bersangkutan, di samping secara eksternal diawasi oleh Bank Indonesia. Berkaitan dengan kegiatan usaha bank, ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa, usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Memberikan kredit; c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Berdasarkan pada hal di atas, maka secara sosiologis masalah efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah, pada hakikatnya merupakan penyelenggaraan hukum perbankan yang dalam bekerjanya tidak terlepas keterkaitannya dengan aspek-aspek non-hukum, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan masalah bekerjanya hukum, sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, Robert B. Seidman mengemukakan teorinya yang menyatakan bahwa, bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga) komponen dasar, yakni ; (a) Lembaga pembuat hukum; (b) Lembaga pelaksana 93 hukum; dan (c) Pemegang peranan. Dalam interaksinya, ketiga komponen dasar tersebut selalu dipengaruhi oleh kekuatan-keuatan personal dan sosial lainnya. Dari teori di atas dapatlah diketahui bahwa, setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang diharapkan daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Dengan demikian, hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat dan diterapkan oleh masyarakat kepada masyarakat, sehingga tidak ada alasan apriori mengapa hukum tidak dapat beradaptasi dengan segera terhadap perubahanperubahan lingkungannya. Selain itu, dari bagan tersebut di atas tampak peranan dari kekuatan sosial, yang tidak hanya berpengalaman terhadap masyarakat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum, dalam kekuatan sosial ini termasuk kompleks suatu tatanan lainnya. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Artinya, tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial lainnya. Berkaitan dengan teori tersebut, Ronny Hanitiyo Soemitro memberikan ulasannya antara lain sebagai berikut : “Bagaimana seorang pemegang peran bertingkah laku merupakan hasil penjumlahan (resultance) dari semua kekuatan-kekuatan yaitu yang berasal dari orang (personal-forces) dan yang berasal dari masyarakat (societies-forces), yang ditujukan 94 kepada pemegang peran itu. Kenyataan menunjukkan dengan jelas bahwa hampir semua peranan di dalam masyarakat diatur oleh hukum. Apabila suatu peranan diatur oleh hukum, maka kekuatan sosial terpenting yang beroperasi terhadap pemegang peran adalah kegiatan dari para pejabat. Pejabat membentuk peraturan-peraturan yang diharapkan akan dipatuhi oleh pemegang peran, sedangkan pejabat-pejabat menempati kedudukan yang menentukan mengenai apakah suatu sanksi itu sesuai dan apabila sesuai maka selanjutnya bertindak memaksakan sanksi tersebut. Faktor kritis dalam menentukan bagaimana seorang pemegang peran, kekuatan-kekuatan sosial dan personal yang bekerja terhadap pemegang peran dan kegiatan lembaga penerap sanksi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa lembaga pembentuk hukum dan lembaga penerap sanksi tidak beroperasi di ruang hampa. Kedua lembaga ini juga merupakan obyek dari norma-norma sebagai akibat dari kedudukannya dan mendapat pengaruh dair kekuatan-kekuatan sosial dan personal”. Apabila teori bekerjanya hukum ini diaplikasikan ke dalam masalah efektivitas pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap, maka yang dimaksud lembaga pembuat hukum adalah Pemerintah, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan yang dimaksud lembaga pelaksana hukum tidak lain adalah PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera itu sendiri, dan yang dimaksud dengan pemegang peran adalah nasabah sebagai penerima kredit dari Bank Perkreditan Rakyat tersebut. Dalam proses pelaksanaan pengawasan internal terhadap pemberian kredit, baik PT. 95 Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera maupun Nasabah sebagai penerima kredit, selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan personal dan sosial lannya. Untuk memperoleh gambaran tentang Efektivitas Pengawasan Internal Bank dalam Pemberian Kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera, hasil penelitian mengungkapkan gambaran sebagaimana dipaparkan dalam tabel di bawah ini : Tabel 2 : Efektivitas Pengawasan Internal Bank Terhadap Pemberian Kredit Kepada Nasabah No. Interval Kelas Kategorisasi 1 55 – 60 Rendah 2 61 – 67 Sedang 3 68 – 73 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah Frekuensi (F) 6 6 18 30 Persentase (%) 20,00 20,00 60.00 100,00 Dari tabel di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, dari 30 Nasabah sebagai responden, terdapat sebanyak 6 (20,00%) responden menyatakan efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit adalah rendah dan sedang, serta sebanyak 18 (60,00%) responden mengaku tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit adalah tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar responden menyatakan bahwa, efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah adalah tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, pengawasan internal dalam pemberian kredit kepada Nasabah yang dilakukan oleh PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera tersebut menunjukkan tingkat yang efektif. 96 Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan secara analogis bahwa, PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera sebagai pihak yang bertugas melakukan pengawasan internal dalam pemberian kredit kepada Nasabah, secara umum telah melaksanakan pengawasan sesuai dengan pedoman dan peraturan hukum yang berlaku. Bilamana kenyataan ini ditafsirkan dengan mendasarkan pada doktrin dari Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa, ”Efektivitas Hukum adalah kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum”, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, pengawasan internal bank sebagai salah satu peraturan yang berlaku dalam pemberian kredit kepada nasabah, ternyata mampu mengatur untuk menciptakan kondisi bank yang selalu dalam keadaan sehat, dimana tingkat kesehatan bank diukur dengan indikator ; kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha pemberian kredit bank, melalui media pengenalan pribadi nasabah, kuantitas dan kualitas jaminan hak kebendaan, tujuan pengelolaan kredit dan kelancaran pengembalian kredit nasabah. Tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal bank sebagaimana dipaparkan di atas, dapat dibuktikan dengan melihat pada unsur-unsur sasaran pengawasan sebagai indikator yang antara lain meliputi ; (a) Pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah; (b) Pemeriksaan Bank terhadap Jaminan Kredit; (c) 97 Pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah; dan (d) Pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit. Bilamana tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah tersebut, dilihat dari indikator pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana dituangkan dalam tabel di bawah ini : Tabel 3 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Kepribadian Nasabah No. Interval Kelas Kategorisasi 1 7– 9 Rendah 2 10 – 12 Sedang 3 13 – 15 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah Frekuensi (F) 3 3 24 30 Persentase (%) 10,00 10,00 80.00 100,00 Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai responden, terdapat sebanyak 3 (10,00%) responden menunjukkan tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah adalah rendah dan sedang, serta sebanyak 24 (80,00%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah adalah tinggi. Dari fakta tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah dalam pemberian kredit adalah tinggi. Kenyataan ini mengandung arti bahwa, sebelum memberikan kredit kepada nasabah, Bank lebih dahulu melakukan tindakan pengenalan terhadap pribadi nasabah secara seksama dan teliti sebagai pelaksanaan 98 dari prinsip kehati-hatian bank. Intensitas pengenalan terhadap pribadi Nasabah yang relatif tinggi tersebut, sangat menentukan pula tingginya efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang menyetakan bahwa, “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prisip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas etikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Apabila kenyataan dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data yang dituangkan dalam tabel 2 di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah, cenderung mewarnai tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pribadi Nasabah, merupakan keyakinan yang mendalam Bank atas kemampuan Nasabah untuk mengembalikan kredit yang diterimanya. Hal ini mejadi salah satu instrumen pengawasan internal Bank yang relatif efektif. Selanjutnya, jika tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah ini dilihat dari indikator tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit, dapat diperoleh gambaran bahwa, sebagian besar responden mengaku tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan relatif tinggi. Hal 99 ini dapat dibuktkan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel di bawah ini : Tabel 4 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Jaminan Kredit No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi (F) 4 7 19 30 Persentase (%) 13,33 23,33 63,34 100,00 1 10 – 13 Rendah 2 14 – 17 Sedang 3 18 – 21 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, sebanyak 4 (13,33%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit adalah rendah, dan sebanyak 7 (23,33%) responden menunjukkan tingkat yang sedang atas pemeriksaan Bank terhadap jaminan kreditnya, serta sebanyak 19 (63,34%) responden menyatakan tinggi tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan Nasabah. Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, sebagian besar responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan oleh Nasabah adalah tinggi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa, pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit merupakan salah satu instrumen untuk melakukan pengawasan secara internal dalam pemberian kredit, dengan maksud agar pemberian kredit yang melebihi nilai jaminan optimal mungkin dapat dihindari. Tujuan dari pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit ini diharapkan pemberian kredit tersebut tidak melampaui Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (4A) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa, 100 “Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank dilarang melampaui Batas Maksimun pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Jika data dalam tabel ini dihubungkan dengan tabel 2 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan nasabah pada dasarnya sangat menentukan bagi tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Artinya, tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit, cenderung menentukan tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Selanjutnya, bilamana efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit ini, dilihat dari indikator pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diberikan kepada Nasabah, hasil penelitian mengungkapkan gambaran sebagaimana tertuang dalam tabel berikut ini : Tabel 5 : Tingkat Pemeriksaan Bank terhadap Pengelolaan Kredit Nasabah No. Interval Kelas Kategorisasi 1 12 – 14 Rendah 2 15 – 17 Sedang 3 18 - 21 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah Frekuensi (F) 2 1 27 30 Persentase (%) 6,67 3,33 90,00 100,00 Tabel di atas secara jelas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai responden, terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit adalah rendah, dan sejumlah 1 101 (3,33%) responden menyatakan sedang tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah, serta sejumlah 27 (90,00%) responden menyatakan bahwa tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah adalah relatif tinggi. Dari fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sebagian besar responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diterimanya relatif tinggi. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diberiakan kepada Nasabah, mengandung maksud agar Bank dapat mengetahui secara pasti, apakah kredit yang telah diberikan tersebut benar-benar dipergunakan sebagai modal usaha sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang diajukan Nasabah. Tindakan pemeriksaan ini dilakukan, karena di dalam praktik sering terjadi tindakan penyalahgunaan kredit oleh Nasabah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak sesuai dengan peruntukkan kredit sebagaimana mestinya. Dengan demikian, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit tersebut, pada dasarnya merupakan tinakan pengawasan Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini berdampak terhadap kelancaran proses pengembalian kredit oleh Nasabah sesuai dengan kesepakatan yang diperjanjikan dalam kontrak kreditnya. Ditinjau dari perspektif Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diberikan kepada Nasabah, pada hakikatnya merupakan cara-cara yang ditempuh Bank untuk menyelamatkan kredit yang telah dicairkan kepada Nasabah, dengan tujuan agar Nasabah mampu 102 mengembalikan kredit yang diambilnya dengan lancar sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dalam kontrak kredit, sehingga Bank tidak dirugikan karena penyalahgunaan kredit oleh Nasabah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perbankan, yang antara lain menyatakan bahwa, “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan usaha lainnya, Bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya kepada Bank”. Apabila data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2 di atas, maka dapat diinpterpretasikan bahwa, efektivitas pengawasan internal Bank terhadap pemberian kredit kepada Nasabah, sangat ditentukan oleh tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit. Hal ini mengandung arti bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit, menentukan pula tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tersebut. Di samping indikator-indikator tersebut di atas, tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit, juga ditentukan pula oleh indikator tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh gambaran sebagaimana dituangkan dalam tabel di bawah ini : Tabel 6 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Pengembalian Kredit No. Interval Kelas Kategorisasi 1 2 8 – 11 12 – 14 Rendah Sedang 103 Frekuensi (F) 3 2 Persentase (%) 10,00 6,67 3 15 - 18 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah 25 30 83,33 100,00 Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai responden, terdapat sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit adalah rendah, dan sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit menunjukkan tingkat yang relatif sedang, serta sejumlah 25 (83,33%) responden menyatakan tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit menunjukkan tingkat yang relatif tinggi. Dari fakta di atas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar responden menyatakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit menunjukkan tingkat yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit oleh Nasabah, merupakan tindakan pengawasan internal Bank, yang bertujuan untuk menarik kembali dana yang telah disalurkan kepada Nasabah melalui kredit serta keuntungan yang seharusnya diperoleh dengan membebankan bunga dengan persentase tertentu kepada Nasabah. Pengawasan semacam ini merupakan cara-cara yang ditempuh Bank secara internal untuk menyelamatkan sejumlah dana yang telah disalurkan kepada Nasabah. Cara ini dilakukan Bank, karena secara sosiologis tindakan pengembalian kredit dari Nasbah acapkali tidak sesuai dengan jangka waktu kredit yang telah diperjanjikan. 104 Seperti halnya tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit inipun merupakan cara-cara pengawasan yang legal untuk dipergunakan Bank, dalam rangka menghimpun dana kembali dari Nasabah, sehingga Bank tidak dirugikan karena pemberian kredit. Legalisasi model pengawasan internal Bank ini, secara implisit diperkenankan oleh ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perbankan sebagaimana telah disinggung di muka. Dengan demikian secara yuridis formal, model pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit semacam ini dijamin oleh Undang-Undang Perbankan. Apabila kenyataan dalam tabel 6 ini dihubungkan dengan data yang ada dalam tabel 2 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit, bergantung pula pada tindakan pemeriksaan Bank terhadap kegiatan pengembalian kredit. Hal ini mengandung arti bahwa, jika tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit tersebut tinggi, maka tindakan semakin pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian dapatlah diinterpretasikan bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit, merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dakam pemberian kredit nampak sangat relevan dan saling ketergantungan satu sama lainnya. 105 Berdasarkan pada uraian tersbut di atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa, tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tergolong tinggi. Artinya, tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit dapat diimplementasikan secara efektif. Tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal Bank terhadap pemberian kredit ini ditunjang oleh berperannya beberapa unsur, yakni : (1) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah dalam pemberian kredit; (2) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap hak kebendaan sebagai jaminan kredit; (3) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah sebagai modal usaha; (4) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kegiatan pengembalian kredit dari Nasabah. 2. Pengaruh Faktor Motivasi Pengawasan, Kepatuhan Hukum dan Kerjasama Terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa Efektivitas hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan aspek bekerjanya hukum dalam masyarakat yang melibatkan tiga komponen dasar seperti lembaga pembuat hukum, lembaga penerap hukum dan masyarakat yang dikenai hukum. Ketiga komponen 106 dasar tersebut dalam interaksinya tidak terlepas pengaruhnya dari faktor-faktor sosial dan personal lainnya. Dalam hubungannya dengan efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap, pada hakikatnya merupakan penyelenggaraan hukum yang dalam interaksinya acapkali dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor dominan yang seringkali berpengaruh terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit ini, diasumsikan antara lain faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum pengawasan dan kerjasama antar karyawan, pimpinan Bank dan Nasabah. Ketiga faktor tersebut, merupakan kekuatan-kekuatan personal dan sosial lainnya yang mempengaruhi interaksi lembaga penerap peraturan hukum dengan aksi-aksi pemegang peran sebagaimana digariskan dalam teori bekerjanya hukum dalam masyarakat model Robert B. Seidman yang telah disinggung pada pemaparan di muka. Bilamana efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap ini dilihat dari pengaruhnya faktor motivasi pengawasan, maka dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden menyatakan tindakan pengawasan yang dilakukan oleh pihak Bank dalam pemberian kredit menunjukkan tingkat yang tinggi. Hal ini dapat dibuktokan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel sebagai berikut : 107 Tabel 7 : Tingkat Motivasi Pengawasan dalam Pemberian Kredit No. Interval Kelas Kategorisasi 1 17 – 20 Rendah 2 21 – 25 Sedang 3 26 – 30 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah Frekuensi (F) 6 6 18 30 Persentase (%) 20,00 20,00 60,00 100,00 Dari tabel di atas dapat diungkapkan bahwa, dari 30 Nasabah yang bertindak sebagai responden dalam penelitian ini, terdapat sejumlah 6 (20,00%) responden menunjukkan tingkat motivasi yang rendah dan sedang, serta sejumlah 18 (60,00%) responden menunjukkan tingkat motivasi yang tinggi dalam melaksanakan pengawasan internal terhadap pemberian kredit kepada nasabah. Berdasarkan pada data tersebut di atas, dapat diinterpreasikan bahwa sebagian besar responden menyatakan tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada nasabah menunjukkan tingkat motivasi yang relatif tinggi. Tingginya tingkat motivasi pengawasan ini ditunjang pula dengan adanya motif agar dapat terciptanya kondisi Bank yang sehat, dan suatu harapan agar dana yang telah disalurkan melalui kredit tersebut dapat ditarik kembali melalui pelaksanaan kewajiban nasabah melunasi utangnya. internal Bank Dengan demikian, motivasi pengawasan dalam pemberian kredit merupakan masalah yang sangat penting dalam setiap usaha Bank dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui kredit dalam kondisi Bank 108 yang tetap sehat. Kenyataan ini sesuai dengan doktrin yang dikemukakan oleh Buchari Zainun, yang menyatakan sebagai berikut : “Motivasi dapat dilihat sebagai bagian yang fundamental dari kegiatan manajemen, sehingga sesuatunya dapat ditujukan kepada pengarahan potensi dan daya manusia dengan jalan menimbulkan, menghidupkan dan menumbuhkan tingkat keinginan yang tinggi, kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perseorangan maupun kelompok dalam organisasi”. Jika data dalam tabel 7 di atas diinterpretasikan dengan mendasarkan pada doktrin Buchari Zainun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, pemenuhan keinginan dan pengharapan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam pengelolaan manajemen perbankan dengan prinsip keahati-hatian Bank, dapat dilakukan melalui sistem pengawasan, dengan jalan melakukan segala tindakan pemeriksaan dalam kaitannya dengan pemberian, pengelolaan dan pengembalian kredit yang telah disalurkan kepada Nasabah. Dengan demikian motivasi merupakan rangkaian pemberian dorongan kepada lembaga perbankan, dalam hal ini PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Ukabima Sejahtera Cilacap, untuk melakukan tindakan pengawasan internal guna mencapai tujuan yang diinginkan oleh lembaga perbankan tersebut. Apabila data dalam tabel 7 ini dihubungkan dengan hasil penelitian dalam tabel 2 di atas, maka nampak ada kecenderungan berpengaruhnya faktor motivasi ini terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Hal ini dapat 109 dibuktikan dengan mengkaji lebih lanjut data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel di bawah ini : Tabel 8 : Pengaruh Faktor Motivasi Pengawasan Pengawasan Internal Bank dalam Pemberian Kredit Motivasi Rendah Sedang terhadap Tinggi Efektivitas Total Efektivitas F % F % F % F % ● Rendah 4 13,34 2 6,66 0 0,00 6 20,00 ● Sedang 1 3,33 2 6,67 3 10,00 6 20,00 ● Tinggi 1 3,33 2 6,67 15 50,00 18 60,00 Total 6 20,00 6 20,00 18 60,00 30 100,00 Sumber : Data primer yang diolah Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, pada masing-masing tingkat motivasi yang rendah, sedang dan tinggi, menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit yang berbeda-beda, dimana pada tingkat motivasi yang rendah, terdapat sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang rendah, dan sejumlah 1 (3,33%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang sedang dan tinggi. Selanjutnya jika dilihat dari tingkat motivasi pengawasan yang sedang, terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan masing-masing menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang rendah, sedang dan tinggi dalam pemberian kredit kepada Nasabah. 110 Bilamana dikaji dari tingkat motivasi pengawasan yang tinggi, maka diperoleh gambaran bahwa, sebanyak 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang sedang, dan sebanyak 15 (50,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang relatif tinggi pula dalam pemberian kredit. Berdasarkan pada kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa, ada kecenderungan faktor motivasi berpengaruh secara positif terhadap tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Hal ini nampak dari segi bahwa semakin tinggi tingkat motivasi pengawasan, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Dengan demikian, faktor motivasi dalam pengawasan internal menunjukan adanya hubungan yang searah dengan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Artinya, faktor motivasi dalam penyelenggaraan pengawasan internal sangat menentukan efektif, kurang efektif atau tidak efektifnya pengawasan internal dalam pemberian kredit tersebut. Dengan kata lain, tindakan pengawasan yang didorong oleh faktor motivasi, ternyata mampu untuk menciptakan kondisi efektivitas segala kegiatan yang berhubungan dengan pemberian kredit menjadi lancar sesuai dengan harapan dari lembaga perbankan itu sendiri. Selanjutnya, jika masalah efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit ini ditinjau dari pengaruhnya faktor kepatuhan Pegawai dan Pimpinan lembaga perbankan serta Nasabah penerima kredit, maka dapat diperoleh gambaran tentang 111 tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah dalam kaitannya dengan pemberian kredit yang dapat dikemukakan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 9 : Tingkat Kepatuhan Pengawasan Bank dan Nasabah dalam pelaksanaan Pemberian Kredit No. Interval Kelas Kategorisasi 1 18 – 21 Rendah 2 22 – 25 Sedang 3 26 – 30 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah Frekuensi (F) 6 4 20 30 Persentase (%) 20,00 13,33 66,67 100,00 Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 responden terdapat sejumlah 6 (20,00%) responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif rendah, dan sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif sedang, serta sejumlah 20 (66,67%) responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif tinggi. Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan sementara bahwa, sebagian besar responden menunjukkan tingkat kepatuhan pengawasan yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, kepatuhan Bank dan Nasabah terhadap peraturan-peraturan hukum yang berkaiatan dengan pemberian kredit merupakan kepatuhan pengawasan internal, yang mampu memelihara tingkat kesehatan Bank, sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset dan manajemen, likuiditas, rentabilitas solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank. 112 Dalam hubungannya dengan istilah kepatuhan, Soerjono Soekanto mengemukakan pendapatnya bahwa. “Kepatuhan adalah suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi, tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang telah ada dengan senang hati dan kesadarannya”. Apabila kenyataan dalam tabel 9 di atas, diinterpretasikan dengan mendasarkan pada doktrin Soerjono Soekanto ini, maka dapat disimpulkan bahwa, tindakan pengawasan internal Bank dapat dilakukan secara efektif, apabila didukung dengan keadaan yang tertib, dimana Pegawai, Pimpinan dan Nasabah Lembaga perbankan tersebut tunduk terhadap segala ketentuan hukum yang berkaitan dengan pemberian kredit, dengan senang hati dan kesadaran pribadinya, terutama yang bersangkutan dengan pengawasan kepribadian Nasabah, hak kebendaan sebagai jaminan kridit, pengelolaan kredit dan pengembalian kredit. Kenyataan ini mendorong timbulnya dugaan kuat bahwa, ada kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pelaksanaan pemebrian kredit kepada Nasabah. Kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit ini, akan lebih jelas manakala data dalam tabel 9 ini dikorelasikan dengan data yang dituangkan dalam tabel 2 tersebut dimuka, yang dapat dituangkan dalam tabel silang sebagai berikut : 113 Tabel 10 : Pengaruh Faktor Kepatuhan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit Kepatuhan Rendah Terhadap Efektivitas Sedang Tinggi Pengawasan Total Efektivitas F % F % F % F % ● Rendah 3 10,00 2 6,67 1 3,33 6 20,00 ● Sedang 3 10,00 0 0,00 3 10,00 6 20,00 ● Tinggi 0 0,00 2 6,67 16 53,33 18 60,00 Total 6 20,00 4 13,33 20 66,67 30 100,00 Sumber : Data primer yang diolah Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sejumlah 6 (20,00%) responden dengan tingkat kepatuhan yang rendah, terdapat sebanyak 3 (10,00%) responden masing-masing menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank relatif rendah dan sedang dalam pemberian kredit. Selanjutnya dari 4 (13,33%) responden yang tingkat kepatuhannya sedang, terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden masing-masing menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank relatif rendah dan tinggi dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Tabel di atas mengungkap pula bahwa, dari sejumlah 20 (66,67%) responden yang menyatakan tingkat kepatuhannya tinggi, terdapat sejumlah 1 (3,33%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank adalah rendah, dan sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal bank adalah sedang, serta sebanyak 16 (53,33%) responden menyatakan 114 relatif tinggi tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas pengawasan internal secara positif dalam pemberian kredit kepada nasabah. Artinya, semakin tinggi tingkat kepatuhan pengawasan, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa, faktor kepatuhan Bank dan Nasabah terhadap peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemberian kredit, cenderung sangat menentukan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang dilakukan. Di samping faktor motivasi dan kepatuhan yang cenderung mempengaruhi tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit, faktor kerjasama diduga kuat juga cenderung berpengaruh terhadap tingkat efektivitas pengawasan internal Bank tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang menggambarkan tingkat kerjasama pengawasan antara Bank dan Nasabah sebagaimana dituangkan dalam tabel berikut ini : Tabel 11 : Tingkat Kerjasama Pengawasan Dalam Pemberian Kredit No. Interval Kelas Kategorisasi 1 13 – 17 Rendah 2 18 – 22 Sedang 3 23 – 28 Tinggi Total Sumber : Data Primer yang diolah 115 Frekuensi (F) 7 13 10 30 Persentase (%) 23,33 43,34 33,33 100,00 Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah yang bertindak sebagai responden, terdapat sejumlah 7 (23,33%) responden menyatakan tingkat kerjasama pengawasan adalah rendah, dan sejumlah 13 (43,34%) responden menyataka tingkat kerjasama pengawasan yang relatif sedang, serta sejumlah 10 (33,33%) responden menyatakan tingkat kerjasama pengawasan relatif tinggi. Dari kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menunjukkan tingkat kerjasama pengawasan yang relatif sedang. Kondisi ini tidak berbeda banyak dengan responden yang menyatakan tingkat kerjasama pengawasan yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, unsur kerjasama dalam melakukan pengawasan internal Bank tergolong sangat menentukan bagi efektif atau tidak efektifnya pengawasan tersebut dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Tinggi, sedang dan rendahnya tingkat kerjasama dalam pelaksanaan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit, secara empirik ditentukan oleh ada atau tidak adanya unsur-unsur : (1) Kesediaan para Pegawai dan Nasabah Bank untuk bekerjasama dengan rekan-rekan sekerja, maupun dengan pimpinan Bank yang didasarkan untuk mencapai tujuan bersama; (2) Kesediaan untuk sering membantu diantara para pegawai dan nasabah sehubungan dengan tindakan pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah; 116 (3) Adanya keaktifan dari individu-individu dalam melakukan kegiatan-kegiatan perbankan, tertama yang berhubungan dengan tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Bilamana data dalam tabel 11 ini dihubungkan dengan tabel 2 di muka, maka nampak bahwa faktor kerjasama pengawasan cenderung berpengaruh terhadap efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat data yang dituangkan dalam tabel silang sebagai berikut : Tabel 12 : Pengaruh Faktor Kerjasama terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit Kerjasama Rendah Sedang Tinggi Total Efektivitas F % F % F % F % ● Rendah 4 13,33 0 0,00 2 6,67 6 20,00 ● Sedang 3 10,00 3 10,00 0 0,00 6 20,00 ● Tinggi 0 0,00 10 33,33 8 26,67 18 60,00 Total 7 23,33 13 43,33 10 33,33 30 100,00 Sumber : Data primer yang diolah Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, secara parsial pada masing-masing tingkatan variabel kerjasama pengawasan maupun variabel efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 7 (23,33%) yang menyatakan tingkat kerjasama rendah, terdapat sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank juga rendah, dan 117 sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank relatif sedang. Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kerjasama pengawasan yang sedang, maka diperoleh gambaran bahwa, sebanyak 3 (10,00%) responden yang tingkat kerjasamanya sedang, menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan yang sedang pula, dan sebanyak 10 (33,33%) responden dengan tingkat kerjasama yang sedang, menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal yang relatif tinggi. Di samping itu, dari tabel di atas dapat diungkapkan pula bahwa, dari sejumlah 10 (33,33%) responden yang tingkat kerjasamanya relatif tinggi, terdapat sebayak 2 (6,67%) responden yang tingkat kerjasamanya relatif tinggi, tetapi menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal yang rendah, dan sebanyak 8 (26,67%) responden dengan tingkat kerjaama yang tinggi, menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal yang tinggi pula. Dari kenyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, ada kecenderungan yang positif berpengaruhnya faktor kerjasama terhadap tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap. Artinya, semakin tinggi tingkat kerjasamanya pada lembaga perbankan tersebut, maka semakin tinggi pula efektivitas pengawasan internal Bank dalam pelaksanaan pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini membuktikan bahwa faktor kerjasama atar pegawai dan pimpinan Lembaga perbankan, sangat menentukan tingkatan efektivitas pengawasan internal Bank dalam 118 pemberian kredit kepada nasabah. Ini berarti bahwa, tindakan pengawasan internal Bank yang efektif, secara yuridis mampu untuk memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset dan manajemen, likuiditas, rentabilitas solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan pemberian kredit kepada nasabah. Berdasarkan pada fakta tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, faktor motivasi, kepatuhan dan kerjasama cenderung berpengaruh secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Artinya, semakin tinggi tingkat motivasi, kepetuhan dan kerjasama, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Apabila kenyataan tersebut di atas, diinterpretasikan dengan mendasarkan pada teori bekerjanya hukum model Robert B. Seidman sebagaimana telah disinggung di muka, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan internal Bank merupakan proses berinteraksinya antara Bank sebaai lembaga penerap peraturan hukum dengan unsur birokrasi perbankan sebagai pihak pemegang peran. Tindakan pengawsan internal Bank ini pada dasarnya merupakan aksi-aksi yang dapat dimainkan oleh lembaga perbankan, yang merupakan respons positif dari unsur Birokrasi perbankan sebagai pihak pemegang peran, yang dalam interaksinya tidak terlepas dari pengaruhnya faktor personal dan sosial lainnya. Faktor personal yang berpengaruh secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank mencakup motivasi pengawasan dan 119 kepatuhan hukum, sedangkan faktor kerjasama merupakan faktor sosial. Ketiga faktor ini, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama cenderung berpengaruh secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam proses pemberian kredit kepada Nasabah. 120 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan-simpulan sebagai berikut : 1. Tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah, menunjukkan tingkat yang relatif tinggi. Tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal Bank ini ditunjang dengan indikatorindikator: a. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah; b. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan oleh Nasabah; c. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah; d. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit oleh Nasabah; 2. Faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum dan kerjasama, cenderung berpengaruh secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian Kredit. Artinya, semakin tinggi tingkat motivasi, kepatuhan dan kerjasama, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian krdedit kepada Nasabah. 121 B. Saran-saran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tingkat kerjasama antara lembaga perbankan dengan pegawai birokrasi perbankan masih relatif sedang, maka hendaknya perlu ditingkatkan kerjasama yang sekarang ada untuk masa-masa mendatang, sehingga tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah dapat dilaksanakan secara lebih efektif. 2. Meskipun tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tergolong efektif, namun dalam praktiknya masih terdapat pula tindakan penyalahgunaan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang dilakukan oleh Nasabah, maka hendaknya perlu Bank meningkatkan pengawasannya terutama dalam pengelolaan kredit yang diterima oleh Nasabah, agar penggunaan kreditnya sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang diajukan. 122 DAFTAR PUSTAKA Direktorat Pengawasan BPR BANK INDONESIA. Strategi dan Arah Kebijakan BPR. Makalah yang disampaikan pada Seminar dan Training tentang BPR di Jakarta, tanggal 5 September 2006. Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Alih Bahasa : Daniel Dakhidae. Jakarta : Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hanadi, Saryono. Sosiologi Hukum. Bahan kuliah. Purwokerto : FH Unsoed, 2008. Iswanto. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedua. Purwokerto : UNSOED, 2003. Mulyono, Teguh Pudjo. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil. Edisi 1. Yogyakarta : BPFE, 1987. Perbarindo. Sistem Pengawasan BPR. Makalah yang disampaikan pada Seminar dan Training Komisaris tentang Pengawasan BPR di Jakarta, tahun 2008. 123 Pusat Bahasa, Dep.Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta, 2003, Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Alumni. Bandung, 1986.. Retno, Astuti Ajie Probo. Pengaruh Iklim Organisasi dam Pembinaan Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan Umum di Kantor Kec.Banyumas. Purwokerto : FISIP UNSOED, 2006. Rush, Michael, dan Althof, Philip. Pengantar Sosiologi Politik. Alih Bahasa : Kartini Kartono. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1987. Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : Rajawali, 1983. …………………. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Sukarman. Efektivitas Kepmenkes 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Purwokerto : Pascasarjana Unsoed, 2011. 124 LAMPIRAN 125 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO PENELITIAN : EFEKTIVITAS HUKUM PENGAWASAN INTERNAL BANK TERHADAP PEMBERIAN KREDIT KEPADA NASABAH DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP Nomor Responden : ………… I. Pengantar Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas dan kewajiban dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Di samping itu, tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit kepada Nasabah dan pengaruhnya faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum, dan kerjasama terhadap tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Demi tercapainya tujuan penelitian ini, maka peneliti dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat memohon kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara untuk membantu mengisi angket/daftar pertanyaan yang peneliti sediakan dan sudilah kiranya Bapak/Ibu/Saudara mengisi angket tersebut dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam kesempatan yang baik ini peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara yang telah meluangkan waktu untuk mengisi angket ini dan peneliti mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada pertanyaan yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu/Saudara sekalian. II. Petunjuk Pengisian Dalam angket yang peneliti sebarkan ini, terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yakni : □ Bagian A, berisi Identitas Responden, Untuk bagian ini Bapak/Ibu/Saudara cukup mengisi kolom yang telah tersedia; □ Bagian B, berisi daftar pertanyaan. Untuk bagian ini Bapak/Ibu/Saudara cukup memilih satu jawaban yang dianggap benar menurut Bapak/Ibu/ 126 Saudara, dengan memberikan tanda silang (X) di depan jawaban yang tersedia. III. Angket Penelitian A. Identitas Responden 1. 2. 3. 4. Nama Nasabah Umur Nasabah Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan : ………………(TIDAK DISEBUT) : ………………. Tahun : a. Laki-laki; b. Perempuan : a. Sekolah Dasar (SD); b. S.L.T.P. c. S.L.T.A. d. Perguruan Tinggi (PT) B. Daftar Pertanyaan (1) Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank 1. Apakah sebelum pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap pribadi Nasabah ? Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa. 2. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah dalam pemberian kredit kepada Nasaah, pihak Bank selalu mempertimbangkan kemampuan ekonomi Nasabah ? Jawab : a. Selalu mempertimbangkan, b. Kadang-kadang mempertimbangkan, c. Tidak pernah mempertimbangkan. 3. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank memeriksa jenis usaha Nasabah yang akan dibiayai ? Jawab : a. Ya memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa. 4. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap kondisi usaha Nasabah yang akan dibiayai ? Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa. 127 5. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu menanyakan terhadap relasi Nasabah dengan bank-bank lainnya ? Jawab : a. Selalu menanyakan; b. Kadang-kadang menanyakan; c. Tidak pernah menanyakan. 6. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap kelayakan jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ? Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa. 7. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah pihak Bank melakukan penafsiran terhadap nilai jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ? Jawab : a. Ya menafsirkan; b. Kadang-kadang menafsirkan; c. Tidak tahu. 8. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah besarnya nilai penafsiran bank terhadap jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah, sesuai dengan nilai yang senyatanya ? Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai. 9. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank dapat menerima jaminan kebendaan yang bukan atas nama pemohon kredit (atas nama orang lain) ? Jawab : a. Menerima; b. Kadang-kadang menerima; c. Tidak tahu. 10. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah dalam pemberian kredit, pihak Bank menerima jaminan kebendaan di luar hak tanggungan seperti Bukti Pemelikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang diajukan oleh Nasabah ? Jawab : a. Menerima; b. Kadang-kadang menerima; c. Tidak tahu. 128 11. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah nilai jaminan kebendaan yang diajukan dalam permohonan kredit, sesuai dengan besarnya nilai kredit yang disetujui pihak Bank ? Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai. 12. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, pernahkah Bank memberikan kredit yang besarnya nilai kredit lebih besar daripada nilai jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ? Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak tahu 13. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank mengadakan studi kelayakan tentang kemampuan Nasabah dalam mengalokasikan kredit yang diterimanya ? Jawab : a. Ya mengadakan; b. Kadang-kadang mengadakan; c. Tidak tahu. 14. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, Apakah pihak Bank melakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian peruntukan kredit pada bidang usaha Nasabah ? Jawab : a. Ya memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak tahu. 15. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah kredit yang diberikan oleh Bank digunakan sesuai dengan tujuan permohonan kredit ? Jawab : a. Sesuai; b. Kurag sesuai; c. Tidak sesuai. 16. Apakah usaha Nasabah yang dibiayai perkembangan dalam produktivitasnya ? Jawab : a. Berkembang; b. Kurang berkembang; c. Tidak berkembang. kredit tersebut mengalami 17. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah pihak Bank mengetahui kondisi usaha Nasabah yang dibiayai oleh kredit tersebut ? Jawab : a. Mengetahui; b. Tidak mengetahui; c. Tidak tahu. 129 18. Apakah dengan pemberian kredit oleh Bank tersebut, Nasabah merasa ada keuntungan ekonomi ? Jawab : a. Ya menguntungkan; b. Kurang menguntungkan; c. Tidak menguntungkan. 19. Apakah pihak Nasabah mampu mengembalikan kredit yang diterimanya kepada Bank secara wajar ? Jawab : a. Mampu; b. Kurang mampu; c. Tidak mampu. 20. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah dalam pengembalian kredit yang telah diterimanya tergolong lancar ? Jawab : a. Lancar; b. Kurang lancar; c. Tidak lancar. 21. Pernahkah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah Bank mendapatkan suatu peringatan dari pihak Bank selama proses pengembalian kredit yang diambil ? Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang; c. Tidak pernah. 22. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap tindakan pengawasan yang dilakukan Bank dalam penggunaan kredit yang diterimanya ? Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas. 23. Bagaimanakah sikap Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap cara pengawasan yang dilakukan oleh Bank atas kredit yang diterimanya ? Jawab : a. Setuju; b. Kurang setuju; c. Tidak setuju. 130 24. Apakah cara pengawasan yang dilakukan Bank terhadap kredit yang diterima Nasabah sesuai dengan prosedur yang berlaku ? Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai. 25. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah tindakan pengawasan yang dilakukan Bank terhadap kredit yang diberikan tersebut bermanfaat ? Jawab : a. Bermanfaat; b. Kurang bermanfaat; c. Tidak bermanfaat. (2) Motivasi Pengawasan 26. Apakah dengan pemberian kredit oleh Bank mendorong kebutuhan usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah lebih baik ? Jawab : a. Mendorong; b. Kurang medorong; c. Tidak mendorong. 27. Apakah pihak Bank mampu untuk menciptakan hubungan yang baik antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan karyawan-karyawan bank ? Jawab : a. Mampu; b. Kurang mampu; c. Tidak mampu; 28. Apakah pihak Bank berusaha untuk memberi kesempatan kembali kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah untuk memamfaatkan kredit berikutnya ? Jawab : a. Berusaha; b. Kurang berusaha; c. Tidak berusaha. 29. Apakah pihak Bank menghargai hasil usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah atas alokasi kredit yang diberikan ? Jawab : a. Menghargai; b. Kurang menghargai; c. Tidak menghargai. 30. Bagaimana pendapat Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah tentang cara Bank dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang diberikan ? Jawab : a. Bijaksana; b. Kurang bijaksana; c. Tidak bijaksana. 131 31. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, bagaimanakah perlakukan Bank kepada sesama Nasabah pengambil kredit ? Jawab : a. Baik; b. Kurang baik; c. Tidak baik. 32. Apakah Bank selalu memperhatikan akan adanya penilaian dan memberikan penghargaan terhadap usaha Bpk/Ibu/Sdr yang dibiayai dengan kredit tersebut ? Jawab : a. Selalu memperhatikan; b. Kadang-kadang memperhatikan; c. Tidak memperhatikan. 33. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan adanya pengawasan terhadap tujuan penggunaan kredit ? Jawab : a. Puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas. 34. Apakah pihak Bank selalu memberikan jaminan akan terpenuhinya kebutuhan usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah ? Jawab : a. Selalu memberikan jaminan b. Kurang memberikan jaminan; c. Tidak memberikan jaminan. 35. Apakah pihak Bank memberikan isentif atas berhasilnya usaha dan lancarnya pengembalian kredit yang diberikan kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah ? Jawab : a. Selalu memberi; b. Kadang-kadang memberi; c. Tidak perah memberi. (3) Kepatuhan Hukum 36. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu mematuhi ketentuan tentang batas maksimal pemberian kredit ? Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi. 132 37. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu mematuhi tentang ketentuan jaminan kebendaan dalam pemberian kredit ? Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi. 38. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu memberikan peringatan terhadap Nasabah yang lalai membayar pengembalian kreditnya ? Jawab : a. Selalu memperingatkan; b. Kadang-kadang memperingatkan; c. Tidak memperingatkan. 39. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank sealu mematuhi prosedur pemeriksaan kelayakan Nasabah dalam pemberian kredit ? Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi. 40. Apakah Bank dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang diberikan kepada Nasabah selalu nenatuhi kontrak krditnya ? Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kadang-kadang mematuhi; c. Tidak mematuhi. 41. Jika Bank menghendaki adanya jaminan tambahan atas kredit yang diberikan kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah akan dipenuhi ? Jawab : a. Dipenuhi; b. Kadang-kadang dipenuhi; c. Tidak dipenuhi. 42. Bilamana Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, mendapatkan saran-saran dari Bank tentang pengolaan usahanya, apakah Bpk/Ibu/Sdr melaksanakannya sesuai dengan saran-saran tersebut ? Jawab : a. Sesuai; b. Kadang-kadang sesuai; c. Tidak sesuai. 43. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap pelayanan Bank dalam pemberian kredit ? Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; 133 c. Tidak puas. 44. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap penerapan kebijakan Bank tentang kredit yang diberikan ? Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas. 45. Sudahkah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah merasa puas dengan besarnya kredit yang diberikan Bank ? Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas. (4) Kerjasama Bank dan Nasabah 46. Pernahkah pihak Bank mengikutsertakan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dalam suatu kegiatan-kegiatan tertentu yang diadakan oleh Bank ? Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah. 47. Apakah Bpk/Ibu/Sdr sebagai nasabah pernah diikutsertakan dalam kegiatan sosialisasi tentang kebijakan-kebijakan bank yang berlaku ? Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah. 48. Apakah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah pernah mengadakan kerjasama dengan pimpinan atau pegawai Bank tersebut ? Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah. 49. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah adanya kerjasama antara pegawai bank dengan Nasabah, dirasakan adanya sesuatu yang memaksa dan memberatkan ? Jawab : a. Ya merasakan; b. Sedikit merasakan; c. Tidak sama sekali. 134 50. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah adanya kerjasama antara pegawai bank dengan Nasabah, merupakan sesuatu yang menguntungkan bagi kedua pihak ? Jawab : a. Ya menguntungkan; b. Sedikit menguntungkan; c. Tidak sama sekali. 51. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, jika kerjasama dengan pihak Bank tersebut memberikan keuntungan ? Jawab : a. Puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas. 52. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, menimbulkan perlakuan yang berbeda kepada para Nasabah ? Jawab : a. Tidak sama sekali; b. Sedikit membedakan; c. Sangat membedakan. 53. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat menunjang untuk memperoleh fasilitas kredit yang diberikan ? Jawab : a. Tidak sama sekali; b. Sedikit menunjang; c. Sangat menunjang. 54. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat mendorong pengembalian kredit tepat waktu sesuai kontrak kreditnya ? Jawab : a. Mendorong; b. Kadang-kadang mendorong; c. Tidak mendorong. 55. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat mempengaruhi pengawasan dalam pemberian kredit kepada Nasabah ? Jawab : a. Sangat berpengaruh; b. Sedikit berpengaruh; c. Tidak berpengaruh. 135 Cilacap, ….. Juli 2012 TTD (P e n e l i t i ) 136