masalah kurang pihak dan ultra petita

advertisement
PERLU DISKUSI ULANG TENTANG “KURANG PIHAK”
DALAM GUGATAN WARIS 
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H.M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram
Latar Belakang Masalah
Dalam sengketa pembagian harta warisan kebanyakan praktisi berpendapat bahwa
seluruh ahli-waris harus dilibatkan sebagai pihak, jika tidak maka gugatannya cacat. Yahya
Harahap, S.H. Mantan Hakim Agung yang pemikiran dan pendapatnya banyak dikutip dan
diikuti oleh orang, dalam bukunya Hukum Acara Perdata pada Halaman 121 juga
berpendapat demikian sehingga arus besar yurisprudensipun mengarah demikian.
Sengketa pembagian harta waris yang diajukan ke pengadilan seringkali tidak
sederhana sebagaimana contoh kasus dalam pelajaran ilmu faraid ketika kita masih di
pesantren maupun diperkuliahan, karena sengketa diajukan atas peristiwa kematian
seorang yang sudah lewat puluhan tahun silam. Pihak-pihak yang bersengketapun bukan
lagi anak-anak pewaris (generasi pertama), tetapi mereka adalah antara cucu dan cicit
pewaris dimana orang tua mereka juga sudah meninggal dunia, padahal harta warisan yang
disengketakan merupakan hak genersi pertama, dalam ilmu faraid persengketaan emikian
disebut masalah munasakhoh (pewaris serial); Jumlah orang-orang yang terlibat
(keturunannya) sangat banyak, jurainya berkembang bagai deret-hitung,
Pada era globalisasi seperti sekarang ini mobilitas perpindahan manusia begitu
tinggi, jelajahnya luas karena dunia seakan-akan tanpa batas (borderless) sehingga kadangkadang para ahli-waris tidak berada disuatu tempat yang sama, tetapi menyebar di berbagai
tempat yang berjauhan bahkan mungkin berada di luar negeri, sehingga seseorang
(penggugat) tidak mengetahui lagi siapa dan dimana tinggalnya ahli-waris yang perlu
dilibatkan. Maka ketika seseorang ahli-waris (penggugat) ingin menuntut keadilan,
sepertinya ia menemui jalan buntu seakan-akan hukum tidak memberikan jalan yang
mudah untuk memperoleh keadilan.
Ketika ia mencoba mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, gugatannya sering
kandas terbentur dengan syarat formalitas gugatan, karena ditengah-tengah pemeriksaan
ternyata ditemukan terdapat ahli waris yang tidak disertakan oleh Penggugat, sehingga

Artikel ini pernah disajikan penulis sebagai bahan diskusi Hakim Pengadilan Agama Sekoordinator
Surabaya (PA. Surabaya, Sidoarjo, Gersik, Mojokerto, Jombang dan Bawean) pada tanggal 12 April 2013 di
Hotel Yusro-Jombang;
1
gugatannya oleh hakim dinilai cacat dan dinyatakan tidak dapat diterima (N.O). Dicobanya
lagi dengan memasukkan ahli waris pihak yang ditemukan itu, ternyata gagal lagi, dicoba
lagi, gagal lagi karena ditemui permasalah yang sama; Ibarat kapal, gugatan penggugat
kandas sebelum berlayar, kalau bunga dikatakan layu sebelum berkembang.
Pendapat demikian menurut hemat penulis tidak tepat, karena terlalu formalistis
dan sempit sehingga sangat merugikan penggugat. Disamping itu akan menimbulkan
image negatif bagi lembaga peradilan; Bahwa menuntut keadilan itu sulit, harus menguasai
hukum acara, harus pintar ilmu waris; Menuntut hak itu tidak murah, harus menggunakan
jasa pengacara dan mengeluarkan biaya besar; Betapa berat dan sulitnya untuk
memperoleh hak di negara hukum ini;
Apakah begitu menurut hukum acara kita ? Dimana semboyan perdilan justice for all,
justice for the poor ?
Berdasarkan pikiran-pikiran di muka, penulis ingin mencoba mengangkat masalah
kriteria gugatan kurang pihak (prulium litis consorsium) dalam kaitannya dengan gugatan
pembagian harta warisan, dengan harapan mendapatkan tanggapan dan pembahasan yang
lebih mendalam dari semua pihak, sehingga kita dapat menawarkan suatu law standard,
agar peradilan kita dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang dan
terhindar dari putusan-putusan yang disparitas. Walaupun dalam perspektif methodologi
hukum Islam (Ushul Fiqh) seorang hakim adalah mujtahid, sah-sah saja berbeda pendapat
dengan hakim lainnya, sebagaimana kaidah fikih yang terkenal; al-ijtihaad la yungqodlu bi
al-ijtihadi. Tetapi dalam rana hukum acara (hukum formil) kaidah itu tidak berlaku, karena
hukum acara sebagai instrumen hukum pablik (publik recht instrumentarium) maka harus
ada kepastian dan tidak selayaknya terjadi perbedaan.
Pendahuluan
Mengawali pembahasan ini, terlebih dahulu perlu disampaikan beberapa prinsip
sebagai dasar pemikiran;
Pertama; Hukum acara yang baik adalah yang dapat menjamin bahwa roda peradilan dapat
berjalan lancar, sederhana, cepat, adil dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4)
UU Nomor: 48/2009); karena itu salah satu butir Putusan Rakernas Mahkamah
Agung RI, tanggal 28 Oktober 2012 – 01 Nopember 2012 di Menado,
mengamanatkan agar
hakim Peradilan Agama dalam memeriksa perkara
bersifat proaktif tidak bersikap pasifisme;
Kedua; HIR sebagai salah satu sumber hukum acara, bersifat sederhana, langsung
(onmiddelijk heid van procedure); Dalam arti jalannya proses pemeriksaan
2
persidangan dapat dilakukan dengan tanya-jawab langsung secara hidup (levend
kontact) antara semua pihak yang terlibat, karena itu hukum acara kita
memberikan peluang bagi keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan
persidangan.
Bukti lain dari madzhab kesederhanaan yang dianut HIR/RBg adalah dalam
pasal-pasal kesua Kitab Hukim Acara tersebut memungkinkan pihak
mengajukan gugat dengan lisan (vide Pasal 120 HIR), mengapa hakim harus
mengharamkan tambahan-tambahan penjelasan dalam persidangan.
Prinsip yang dianut HIR tersebut sangat berbeda dengan RV yang mewajibkan
gugatan secara tertulis dan menggunakan pengacara (procereurstelling).
Ketiga; Dimana-mana sekarang sering terdengar keluhan pihak yang berperkara bahwa
proses di muka pengadilan tidak lagi sederhana dan terlalu lama disamping
keluhan bahwa beracara di pengadilan agama terlalu formalistis; padahal dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa
pengadilan (hakim) harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan.
Keempat; Hukum waris Islam, bersifat Ijbari dan Individual; Ijbari artinya perpindahan
hak kebendaan atau harta waris (tirkah) tidak atas inisiatip dan kehendak
manusia (pemilik) akan tetapi dikehendaki dan ditentukan oleh hukum; Siapasiapa yang berhak dan berapa bagiannya telah diatur oleh hukum (Al-Qur-an);
Individual artinya hak yang telah diberikan dan ditentukan oleh hukum tersebut
menjadi hak pribadi, sehingga pemilik-hak boleh ibro’ (melepas haknya) atau
takharruj (mengambil sebagian kecil haknya).
Permasalahan:
Dalam praktek peradilan terjadi perbedaan penilaian tentang kriteria kurang pihak
(prulium litis consortium) dalam sengketa pembagian harta warisan. Mayoritas hakim
(Pengadilan Agama) berpendapat, dalam gugatan pembagian harta warisan harus
melibatkan semua ahli waris menjadi pihak atau subyek perkara; Gugatan yang tidak
memenuhi patron demikian dianggap gugatan cacat formil sehingga gugatan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklart).
Perbedaan penilaian tersebut, tidak hanya terjadi antar hakim yang akhirnya
melahirkan putusan disenting opinion(D.O), akan tetapi juga terjadi antara majelis hakim
peradilan tingkat pertama dengan majlis hakim tingkat banding, bahkan antara putusan
3
hakim banding dengan putusan kasasi. Hal tersebut dapat kita diketahui dari putusanputusan antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 :
Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa “pertimbangan yudex
faksi (Pengadilan Tinggi) yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena
hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut
yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”.
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980
mempertimbangkan bahwa :“Gugatan harus tidak dapat diterima, karena tidak semua
ahli waris turut sebagai pihak dalam perkara”.
Nampaknya dalam yurisprudensi Peradilan Agama lebih banyak cenderung kepada
pendapat yang kedua; yaitu segenap ahli-waris harus didudukkan sebagai pihak. Yaitu
salah satu diantara Penggugat atau Tergugat, jika ahli-waris pasip (tidak mau menggugat)
dan ia tidak menguasai harta warisan maka ia harus tetap ditarik sebagai “turut tergugat”
yang kepentingannya sebagai pihak dalam sengketa tidak jelas;
Sekarang yang menjadi masalah:
 Apakah semua ahli-waris harus menjadi subyek gugatan dalam gugatan waris ?
 Apakah mendudukkan ahli-waris yang pasip sebagai turut tergugat sebagai syarat
formil ataukah hanya proforma ?
PEMBAHASAN:
Gugatan Kurang Pihak
Hukum Acara Perdata (HIR dan RBg) sekali-kali tidak menyebut syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan, tetapi praktek yurisprudensi (hukum
obyektif) mengajarkan bagaimana surat gugatan itu disusun, yang menurut hemat penyaji
dapat disimpulkan sebagai berikut:
 Orang bebas merumuskan dan menyusun surat gugatan, asal cukup memberikan
gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi tuntutan;
 Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas;
 Ada pihak-pihak yang saling berhadapan (bersifat partaij) yaitu penggugat dan
tergugat sebagai ciri suatu perkara yang bersifat contentiosa;
 Khusus gugatan mengenai tanah, harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas
dan ukuran tanah;
Gugatan yang kurang pihak atau pihak tidak lengkap dalam istilah hukum acara
disebut plurium litis consortium, merupakan salah satu alasan gugatan dapat dikwalifikasi
4
sebagai cacat formil karena eror in persona. Menurut ilmu pengetahuan (hukum), gugatan
yang eror in persona, terdapat 3 (tiga) sebab yaitu :
1.
Diskwalifikasi in person, karena penggugatnya bukan orang yang persona standi in
judicio, misalnya karena bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau
karena belum dewasa dan masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang
yang menggugat tidak berkwalitas yaitu: misalnya tidak mendapat kuasa, atau
kuasanya tidak sah;
2.
Gemis Aanhoedanig Heid yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat.
Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi;
3.
Plurium Litis Consortium, yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap.
Plurium litis consortium berasal dari bahasa latin, pluries berarti banyak, litis
consertes berarti kawan berperkara.
Para ahli hukum, tidak ada yang membicarakan secara tuntas dan memadai masalah
ini, mereka biasanya hanya menjelaskan pengertian berdasarkan makna harfiyah (etimo
logis) saja, sehingga dalam tataran praktis mumunculkan pemahaman yang fariatifsubyektif berbeda pemahaman satu sama lainnya.
Yahya Harahab, SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan
Hukum Acara pada Peradilan Agama halaman 21; Setelah beliau mengartikan makna
secara harfiyah, beliau memberikan sebuah contoh suatu gugatan yang dapat dikategorikan
sebagai “pihak tidak lengkap” adalah Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No.
621 K/Sip/1975;
Jika dilakukan analisis, pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan
tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan Penggugat, tidak lagi
dikuasai oleh Tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka berdasarkan
pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat.
Pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus tersebut adalah sudah tepat dan benar,
karena pada kasus a quo, pihak ketiga secara nyata (lahiriyah) menguasai barang sengketa,
seolah-olah obyek sengketa adalah kepunyaannya. Menurut hukum benda (bezit), orang
yang memegang, menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter. Menurut hokum,
bezit mempunyai fungsi polisionil, artinya bahwa hukum harus mengindahkan keadaan dan
kenyataan itu tanpa mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada
siapa ? Dengan kata lain siapa yang yang “membezit” sesuatu benda sekalipun dia pencuri,
maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti dimuka pengadilan bahwa ia
sebenarnya tidak berhak.
5
Karena itu bagi Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang
menguasai obyek sengketa sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama
didepan hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak, maka
proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem. Karena itu sangat
tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna alias cacat dan diputus niet on
vankelijke verklaart (N.O).
Kasus tersebut diatas, amat sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar hakim
Pengadilan Agama. Yaitu, gugatan pembagian waris yang tidak melibatkan seluruh ahli
waris termasuk ahli-waris yang pasip dan tidak menuasai harta warisan adalah cacat.
Agar permasalahan nampak lebih jelas, penyaji mengajukan sebuah ilustrasi kasus
sederhana sebagai berikut :cat
- Pak Hartawan (Pewaris) meninggal dunia dengan meninggalkan uang sebesar Rp.
6.000.000.000,- (enam milyard rupiah) dan meninggalkan dua anak laki-laki, yaitu Si
Nakal dan Si Jujur;
- Seluruh harta peninggalan dikuasai sendiri oleh Si Nakal;
- Si Jujur merasa mempunyai hak, maka menggugatlah ia di Pengadilan Agama Sidoarjo
kepada Si Nakal, dengan tuntutan agar pengadilan menghukum Si Nakal menyerahkan
separoh harta peninggalan kepada Si Jujur; karena menurut pemahamannya ia adalah
sebagai ahli-waris ayahnya(Pak Hartawan) bersama kakaknya (Si Nakal) saja;
- Dalam proses jawab menjawab dipersidangan, terungkap bahwa ternyata pewaris tidak
hanya meninggalkan dua anak laki-laki (Si Nakal dan Si Jujur) yang sedang
bersengketa, akan tetapi pewaris masih juga meninggalkan Ayah dan Ibunya;
- Dalam kasus yang demikian, hakim tahu bahwa ahli waris dari pewaris adalah empat
orang; yaitu Ayah, Ibu, Si akal dan Si Jujur; dan bahkan hakim juga mengetahui
bagian haknya masing-masing ahli-waris;
Tetapi karena sejak awal penggugat tidak mendudukkan/menarik Ayah dan Ibu
pewaris dalam gugatan sebagai Turut Tergugat, maka gugatan oleh hakim dinyatakan tidak
dapat diterima (N.O);
Menurut hemat penulis, pendapat menganggap cacat formil gugatan penggugat
tersebut dalah tidak tepat. Hakim dapat saja memberikan putusan positif, misalnya dengan
mendeklairasikan siapa-siapa ahli-waris dari pewaris dan bagiannya masing-masing,
kemudian menghukum Tergugat (Si Nakal) untuk membagi dan menyerahkan bagian ahliwaris masing-masing, misalnya dengan amar misalnya:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
6
2. Meyatakan hukum bahwa ahli-waris dari Pewaris adalah:
1.1. Si fulan berkedudukan sebagai ayah Pewaris;
1.2. Si fulanah, berkedudukan sebagai ibu Pewaris;
1.3. Si Jujur berkedudukan sebagai anak kandung laki-laki Pewaris, dan;
1.4. Si Nakal, berkedudukan sebagai anak kandung laki-laki Pewaris;
3. Menetapkan bagian masing-masing ahli-waris Pewaris, adalah:
3.1. Ayah Pewaris (sebut nama) = 1/6 bagian = Rp. 1.000.000.000,- (satu
milyard rupiah)
3.2. Ibu Pewaris (sebut nama) = 1/6 bagian; Rp. 1.000.000.000,3.3. Si Jujur dan Si akal mendapatkan sisa, yaitu 4/6 (empat per enam)=
Rp. 4.000.000.000,- (empat milyard rupiah) yang harus dibagi sama
besar sehingga bagian masing-masing; Si akal = Rp. 2.000.000.000,- dan
Si Jujur = Rp. 2.000.000.000,- (dua milyard rupiah);
4. Menghukum Si Nakal untuk membagi dan menyerahkan bagian ahli-waris
tersebut diatas sesuai dengan bagiannya masing-masing sebagaimana
tersebut pada dictum nomor 3 diatas;
Dengan amar demikian pengadilan dapat menyelesaikan sengketa pihak-pihak
dengan, cepat, sederhana dan biayapun ringan sebagaimana yang diamanatkan undang
undang dan tepat menurut hukum.
Masalah Siapa Sebagai Ahli-Waris dari Seseorang Termasuk Hukum Meteriil
Salah satu ciri khusus hukum waris Islam dibanding dengan hukum waril lainnya
adalah bahwa hukum waris Islam bersifat Ijbari dan Individual; Ijbari artinya perpindahan
hak kebendaan atau harta waris (tirkah) tidak atas inisiatip dan kehendak manusia
(pemilik) akan tetapi dikehendaki dan ditentukan oleh hukum; Siapa-siapa yang berhak
dan berapa bagiannya telah diatur oleh hukum (Al-Qur-an); Individual artinya hak yang
telah diberikan dan ditentukan oleh hukum tersebut menjadi hak pribadi, sehingga pemilikhak boleh ibro’ (melepas haknya) atau takharruj (mengambil sebagian kecil haknya).
Berdasarkan asas Ijbari tersebut maka siapa-siapa sebagai ahli-waris dari seseorang
dan berapa bagiannya, adalah sudah termasuk masalah hukum materiil (bukan formil) yang
menjadi kompetensi hakim sesuai dengan adegium ius curia novit. Maka jika hukum
mamaksakan harus menarik semua ahli waris sebagai pihak bisa mematikan hak perdata
sesorang untuk menuntut keadilan. Padahal secara doktrinal pihak yang berperkara
(sekalipun pengacara) tidak berkewajiban mengetahui hukum. Kewajiban pihak hanyalah
menceritakan kasusnya atau fakta kejadiannya. Sehingga siapapun dapat menggugat karena
7
ia dapat bercerita tentang kasus/kejadiannya. Sangat tidak adil dan memberatkan jika
hakim memberikan syarat supaya penggugat libatkan orang-orang yang tidak diketahuinya,
berarti hakim mewajibkan penggugat mengetahui hukum waris sekaligus mewajibkan
penggugat mengetahui hukum acara, padahal semangat hukum acara kita adalah ingin
mempermudah dan menyederhanakan proses orde (vide Pasal 4 ayat (2) Undang Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Istilah “Turut Tergugat” Tidak ada Dalam Hukum Acara
Hukum Acara Perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat” sebagai subyek
persengketaan, sedangkan istilah “turut tergugat” tidak dikenal. Masalah siapa penggugat
dan siapa tergugat, hukum acara juga tidak memberikan penjelasan konkrit. Logika hukum
obyektif atau doktrin mengajarkan bahwa “penggugat” adalah orang (termasuk badan
hukum) yang “merasa” hak subyektifnya dilanggar oleh orang lain. Sedangkan ”tergugat”
adalah orang diduga telah melanggar hak subyektif orang lain. Penggugat dan Tergugat
adalah dua partajn yang saling berhadapan dan mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara
gugatan yang bersifat contentiosa.
Dalam praktek sengketa perdata selain ”penggugat dan tergugat”, ada juga istilah
“turut tergugat” sebagai pihak. Siapa sebenarnya yang harus didudukkan sebagai “turut
tergugat”, tidak ada satu pasalpun dalam hukum acara yang menyinggungnya.
Dalam berbagai literatur boleh dikatakan belum ada yang membahasnya secara
mendalam. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 38
menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan kepada seseorang yang tidak
menguasai sesuatu barang akan tetapi demi “formalitas” gugatan harus dilibatkan dalam
proses, agar dalam petitum ia dihukum sebagai pihak yang harus tunduk dan taat pada
putusan hakim perdata.
Pernyataan pakar sebagai tersebut diatas kalau dikaitkan dengan sengeketa waris
menjadi ambigu dan tidak jelas dan menimbulkan pertanyaan yang tidak bisa dinalar.
5. Apakah yang dimaksud tunduk dan taat pada putusan ?
6. Apakah ahli-waris yang pasip (tidak mau menggugat) dan tidak menguasai harta
warisan harus taat dan patuh menerima warisan ?
7. Apakah ketika eksekusi ia harus dipaksa menerima ?
8. Apakah menerima warisan menjadi wajib ?
9. dan lain-lain pertanyaan yang cukup menggelikan.
Turut Tergugat Sebagai Syarat Proforma:
8
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ada suatu pertanyaan yang urgen untuk
ditemukan jawabannya yaitu: Apakah mendudukkan seseorang (ahli-waris) yang tidak
menguasai obyek sengketa sebagai “turut tergugat” sebagai kewajiban hukum atau hanya
bersifat proforma?
Menjawab secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting, sebab jika hal
tersebut merupakan kewajiban hukum, maka amat tepat dan benar jika sebuah gugatan
yang tidak mendudukkan semua ahli-waris termasuk yang tidak menguasai warisan
sebagai pihak, maka gugatan menjadi cacat formil; Jika mendudukkan ahli waris yang
tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka tidak tepat jika gugatan
yang demikian dianggap tidak sempurna atau cacat formil.
Logika hukum obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai
tergugat, hanyalah orang yang disangka melanggar hak sehingga nantinya ia pantas
dituntut memenuhi suatu prestasi yang diminta oleh penggugat lewat putusan hakim.
Sedangkan orang yang padanya diharapkan tunduk atas putusan pengadilan untuk
menerima hak adalah tidak merupakan keharusan. Oleh karena itu pendapat yang
mewajibkan mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta waris sebagai turut
tergugat dengan alasan bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan
adalah alasan yang berlebihan (overbodig);
Menerima warisan adalah hak, bukan kewajiban. Pada hak berlaku asas “tidak ada
sebuah hukum yang dapat memaksa seseorang untuk menerima hak”, Hakim hanya
diperintah menegakkan “keadilan”. Keadilan adalah memberikan hak sepanjang diminta.
Hakim harus membiarkan orang-orang yang berhati mulia membiarkan haknya dilanggar
orang lain, karena orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain adalah kebaikan
(al-ihsan) dan kebajigan (al-birr), hakim tidak diperintah menegakkan al-ihsan atau albiiru ketentuan tersebut kemudian menjadi asas hakim dalam memberikan putusan terkenal
dengan azas ultra petita dan asas hakim perdata bersifat pasif. Hakim hanya mencari
kebenaran dan memenuhi permintaan sebuah prestasi sepanjang diminta oleh pihak yang
bersangkutan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka sebenarnya mendudukkan ahli-waris yang
senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai “turut tergugat” harus dipandang
sebagai hal yang proforma yang tidak boleh dianggap menyebabkan gugatan tidak
sempurna.
Pembedaan Istilah Tergugat dan Turut Tergugat
9
Perlunya pembedaan sebutan “tergugat” dengan “turut tergugat” menurut ilmu
pengetahuan adalah disebabkan adanya kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda.
Klausula hubungan hukum yang menjadi dasar seseorang harus didudukkan sebagai
tergugat adalah disebabkan adanya hubungan primer (langsung), sedang dasar seseorang
didudukkan sebagai turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair (tidak
langsung).
Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Jika harta waris yang belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli
waris pada pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum
primair dan secundair, sebagai berikut :
1. Hubungan hukum antara ahli waris satu dengan lainnya adalah hubungan hukum
primair.
2. Hubungan hukum antara ahli waris yang menjual (penjual) dengan pembeli adalah
hubungan hukum primair;
3. Ahli waris yang tidak turut menjual menggugat kepada ahli waris yang menjual harta
waris, maka ahli waris yang menjual didukkan sebagai tergugat (karena ada hubungan
primair);
4. Pembeli barang dapat didukkan dalam posisi sebagai turut tergugat (karena ada
hubungan secundair); dia bukan ahli waris tetapi ia telah menguasai obyek sengketa
disebabkan hubungan hukum yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris
yang belum dibagi waris.
5. Penggugat mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat akan sedikit tampak
rancu, sebab ia bukan ahli waris dan tidak ada hubungan primer dengan semua ahliwaris.
6. Karena pembeli telah membeli dan menguasai harta waris yang belum dibagi, maka ia
perlu digugat. Agar tidak rancu, maka ilmu pengetahuan menghendaki adanya
perbedaan istilah, “tergugat” dengan istilah “turut tergugat”.
Bila yang alur pemikiran yang demikian ini disepakati, maka mendudukkan ahli
waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat juga tidak tepat, karena
hubungan hukum dengan sesama ahli-waris adalah hubungan primer dan ia tidak patut
dituntut suatu prestasi apapun karena ia tidak menguasai harta warisan.
Berdasarkan alasan tersebut, penulis berpendapat bahwa mendudukkan ahli waris
yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat adalah salah kaprah.
10
Gugatan waris tanpa melibatkan ahli waris yang tidak menguasai barang sengketa
tidak dapat dipandang sebagai gugatan yang cacat formil.
Kewajiban Penggugat Dalam Menuntut Hak Waris
Tujuan orang menghadap Pengadilan adalah untuk mencari keadilan. Mungkin saja
pencari keadilan tidak mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli waris
dari seseorang pewaris, berapa besar bagian masing-masing, karena untuk menentukan
siapa-siapa sebagai ahli-wraris dan berapa bagian masing-masing adalah sudah
menyangkut wilayah hukum yang hanya wajib diketahui oleh hakim (ius curia novit). Oleh
karena itu secara sederhana, kewajiban penggugat dalam mensengketakan waris berkisar
pada menerangkan:
1. Siapa yang meninggal dunia (pewaris);
2. Kapan pewaris meninggal:
3. Siapa-siapa saja keluarga yang ditinggalkan pewaris;
4. Apa saja yang menjadi peninggalan (tirkah) Pewaris;
5. Siapa saja yang menguasai harta peninggalan/warisan;
6. Apa yang diminta oleh penggugat;
Item-item tersebut diatas, biasanya mudah dikemukakan oleh seorang penggugat,
tetapi ketika ia diminta memformalkan dalam bentuk surat gugatan, sebagian besar merasa
kesulitan, kejadian demikian menimbulkan image bahwa menggugat waris di Pengadilan
Agama sangat sulit; Orang menggugat harus pintar ilmu hukum, harus mengerti,
menguasai dan memahami hukum waris, bahkan harus pula menguasai hukum acara;
Mereka banyak yang mengeluh betapa berat dan sulitnya seseorang untuk memperoleh
haknya ?; Paling tidak mereka harus mengeluarkan biaya mahal untuk sewa pengacara.
Jika hukum memaksakan keadaan seperti itu bisa mematikan hak perdata seseorang
untuk menuntut haknya dari ahli-waris lain dan secara tidak langsung seakan-akan hukum
acara kita menentukan bahwa seorang penggugat harus mengerti ilmu hukum, kalau tidak
maka ia harus mesewa pengacara, kalau demikian maka HIR tak ubahnya denga RV.
Maka untuk menghindari akibat buruk, praktek tersebut perlu dilenturkan
penerapannya. Lalu dimanakah sandaran hukum acara kita untuk mentolerir ide pelenturan
tersebut ? Menurut hemat penulis adalah prinsip-prinsip hukum acara sebagai berikut:
1.
Hukum acara yang baik adalah yang dapat menjamin bahwa roda peradilan dapat
berjalan lancar, sederhana, cepat, adil dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU
Nomor: 48/2009); Melihat ketentuan itu dan kenyataan dilapangan, maka salah satu
butir Putusan Rakernas Mahkamah Agung RI, tanggal 28 Oktober 2012 – 01
11
Nopember 2012 di Menado, mengamanatkan agar hakim Peradilan Agama dalam
memeriksa perkara bersifat proaktif tidak bersikap pasifisme;
2.
Hukum acara yang berlaku bagi kita (HIR/RBg) bersifat sederhana, langsung
(onmiddelijk heid van procedure); Dalam arti jalannya proses pemeriksaan
persidangan dapat dilakukan dengan tanya-jawab langsung secara hidup (levend
kontact) antara semua pihak yang terlibat, karena itu hukum acara kita memberikan
peluang bagi keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan persidangan;
3.
Bukti lain dari madzhab kesederhanaan yang dianut HIR/RBg adalah dalam pasalpasal kesua Kitab Hukim Acara tersebut memungkinkan pihak mengajukan gugat
dengan lisan (vide Pasal 120 HIR), Menangkap lebih jauh dari ketentuan ini
membolehkan hakim menggali penjelasan dari kedua belah pihak yang bersengketa
dalam persidangan; Karenanya HIR sangat berbeda dengan RV yang mewajibkan
gugatan secara tertulis dan menggunakan pengacara (procereurstelling).
4.
Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa
pengadilan (hakim) harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Berdasarkan prinsip yang dianut hukum acara, penulis berpendapat bahwa kekurang
jelasan gugatan termasuk person ahli waris yang menjadi pihak dapat digali saat proses
jawab-menjawab dari penggugat dan Tergugat dalam persidangan. Jika dalam proses
jawab-menjawab ternyata ditemukan/muncul adanya ahli-waris lain yang tidak/belum
sebagai pihak, gugatan tidak serta-merta menjadi cacat. Tetapi temuan tersebut harus
dianggap sebagai fakta yang ditemukan dalam persidangan. Kewajiban hakim selanjutnya
menyatakan/memasukkannya sebagai ahli waris dan bagiannya sesuai dengan hukum.
Disini hakim tidak bisa dikatakan sebagai telah memihak penggugat, selama faktafakta tersebut digali dari kedua belah pihak. Oleh karena itu pendapat-pendapat atau
ungkapan-ungakan “hakim bukan bengkel yang harus membantu memperbaiki gugatan”,
pengacara kok gak bisa membuat gugatan yang baik”; harus kita buang jauh-jauh agar kita
dapat melayani pencari keadilan dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar ketentuan hukum
acara, sehingga tidak ada lagi stigmatisasi negatif kepada lembaga peradilan kita bahwa
“peradilan bagai “menara gading” yang tidak dapat dijamah oleh orang awam dan
miskin. Ada pula ungkapan “betapa sulit dan mahalnya menuntut hak dihadapan
pengadilan”.
12
Kalau pemikiran ini menjadi komitmen kita, maka kiranya kita telah sesuai dengan
program yang dicanagkan pimpinan dengan adegium justces for all, justice for the poor
dan lain sebagainya.
Isyarat Dalam KHI
Secara sosiologis masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang
budaya hukum “ewoh pakewoh”. Artinya bahwa sungguhpun para ahli waris menghendaki
harta warisan itu dibagi, tetapi kadang seseorang karena baik hati atau perasaan malu atau
segan untuk terlibat dalam sengketa waris, sehingga ia harus mengambil sikap diam.
Meskipun ada alasan-alasan lain yang memungkinkan ia tidak menggugat, misalnya karena
faktor biaya, tidak tahu, takut kalah, kebingungan dan lain-lain. Untuk itu pasal 88
Kompilasi Hukum Islam telah secara tegas memberikan ajaran, bahwa “Para ahli waris
baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli
waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan, bila ada diantara ahli waris
lain yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”.
Kompilasi Hukum Islam, memang bukan hukum acara, tetapi prinsip yang
terkandung dalam pasal tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua ahli waris
harus terlibat sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi cukup diwakili seseorang sebagai
penggugat, sedangkan yang perlu didudukkan sebagai tergugat adalah mereka-mereka ahliwaris yang menguasai harta warisan.
Jika pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar, maka dalam menyelesaikan ilustrasi
kasus sederhana sebagai tersebut diatas ada dua opsi kewajiban hakim.
Opsi pertama, adalah pengadilan berkewajiban menyatakan porsi hak seluruh ahli
waris Ayah 1/6 (seper enem), Ibu 1/6 (seper enam), Si Nakal 2/6 (dua perenam), Si Jujur
2/6 (dua perenam), Dan selanjutnya hakim menghukum kepada Si Nakal, untuk
menyerahkan bagian yang menjadi hak masing-masing seluruh ahli waris sesuai dengan
bagiannya menurut hukum.
Opsi kedua, adalah pengadilan berkewajiban menghukum Si Nakal untuk
menyerahkan bagian atau haknya Si Jujur saja yaitu 2/6 (dua perenam), tanpa harus
menghukum Si Nakal untuk menyerahkan hak Ayah dan Ibu pewaris. Karena mereka
secara perdata tidak menuntut hak kepada Si Nakal. Dengan demikian maka sengketasengketa kewarisan dapat diselesaikan dengan asas formal prosedur and can be put in
motion quickly.
Kesimpulan
13
1. Mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai “turut tergugat”
hanya syarat proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat
formil. Dengan kata lain ahli waris yang tidak menguasai harta warisan yang tidak
didudukkan/ditarik sebagai pihak: tergugat maupun turut tergugat. gugatan tidak cacat
formil.
2. Dalam sengketa kewarisan yang bertindak sebagai penggugat boleh satu orang atau
beberapa orang saja, asalkan dalam petitum dimintakan hak ahli waris lain yang berhak
menurut hukum.
3. Gugatan kewarisan dinilai sebagai kurang pihak/tidak sempurna/cacat formil, jika
ternyata ada ahli waris lain yang menguasai harta peninggalan (warisan) yang tidak
dilibatkan sebagai tergugat.
4. Jika penggugat hanya menuntut bagian haknya sendiri kepada tergugat yang menguasai
harta warisan tanpa menuntut haknya ahli waris lainnya gugatan yang demikian dapat
dibenarkan. Karena hakim wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati
membiarkan hak keperdataannya dilanggar/dikuasai orang lain; Sebenarnya ia
mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena ia tidak
meminta (azas ultra petita);
Notulasi singkat jalannya diskusi:
Artikel ini pernah disajikan sebagai bahan diskusi Hakim Pengadilan Agama
Sekoordinator Surabaya (PA. Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Gersik, Mojokerto Jombang
dan Bawean) tanggal 12 April 2013 di hotel Yusro-Jombang.
Dalam diskusi tersebut muncul tanggapan pendapat pro-kontra sebagaimana yang
diperkirakan oleh penulis. Maka penulis memandang perlu mengemukakan pendapatpendapat yang kontra/tidak setuju dengan argumentasinya serta tanggapan penulis dalam
diskusi tersebut, dalam bentuk tanya jawab ; (JP= Jawaban Penyaji).
1. Sebagaimana disampaikan dalam makalah bahwa ahli waris boleh mengambil hak boleh
tidak, dengan tidak menjadikan semua ahli waris sebagai pihak, maka akan kesulitan
ketika eksekusi, (sayang penanya tidak menjelaskan apa kesulitannya, pertanyaan dari
PA Bawean)
JP: Kesulitan eksekusi disebabkan banyak faktor, tetapi bukan karena keharusan
melibatkan atau tidak melibatkan seluruh ahli-waris sebagai pihak; Yang jelas
putusan harus jelas dan konkrit berapa porsi bagian tiap-tiap orang yang ditentukan
oleh hakim sebagai ahli-waris.
14
Kkesulitan eksekusi seringkali timbul karena kerancuan amar putusan atau sebab
lain. Kalau amar putusannya jelas, konkrit dan tidak menimbulkan pengertian/tidak
ambigu dan tidak multi tafsir, tentu tidak akan menimbulkan kendala dalam
eksekusi.
2. Seseorang dalam kaitannya dengan barang sengketa, kadang ia pernah menikmati, maka
ia patut digugat. (PA Bawean);
JP: Menggugat adalah hak setiap orang yang marasa hak subyektifnya telah dilanggar
oleh seseorang, perkara benar adanya pelanggaran atau tidak, itu masalah hukum
yang harus dibuktikan dan dipertimbangkan yang merupakan domain hakim. Hanya
saja sangat tidak tepat (dhalim) jika harus menggugat ahli-waris yang tidak
menguasai harta warisan. Dan jikalau harus didudukkan sebagai “turut tergugat”
kepentingannya apa ?, ini tidak jelas.
Alasannya yang umum adalah, supaya ia tunduk pada putusan hakim !
Tunduk yang bagaimana ? Apakah ia harus tunduk menerima harta warisan,,?
Timbul pertanyaan lagi, apakah menerima hak itu kewajiban ?
Padahal tidak ada suatu hukumpun yang dapat memaksa orang menerima hak.
Dengan lain kata, seseorang tidak dapat dipaksa menerima hak.
3. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 jo PERMA Nomor 1 Tahun 2016, menentukan bahwa
sengketa yang tidak melalui proses mediasi adalah batal demi hukum. Dalam Pasal 14
(a) PERMA tersebut menentukan: Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator
memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta
kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak
disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat
menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada
para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk
dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. (PA. Surabaya);
JP.: Perkara yang dinilai oleh mediator tidak layak dimediasi karena ada pihak lain yang
tidak dilibatkan dalam gugatan;
Penilaian mediator tidak mengikat hakim, sehingga tidak serta-merta dapat
dijadikan dasar bagi hakim bahwa gugatan cacat.
Pendapat mediator tersebut harus dianggap mediasi tidak terlaksana, dan tidak
berarti perkara a quo tidak melalui mediasi yang harus dianggap batal demi hukum.
Yang harus dilihat oleh hakim adalah apakah pihak-pihak telah melakukan mediasi.
Perkara berhasil, tidak berhasil, layak tidak layak, pihak hadir atau tidak hadir
15
dalam mediasi bukanlah hal yang amat menentukan bagi jalannya proses
pemeriksaan persidangan;
4. Dalam yurisprudensi-yurisprodensi Peradilan Agama banyak yang mensyaratkan
/mewajibkan semua ahli-waris dilibatkan sebagai pihak (PA. Surabaya);
JP: Sebagaimana diakui sendiri oleh penulis/penyaji, memang arus besar/mayoritas
yurisprudensi mengikuti pendapat tersebut, tetapi madzhab/sistem hukum kita tidak
ada kewajiban mengikuti yurisprudensi (sitem preseden); Banyak dan sedikitnya
pendapat banyak dan sedikitnya yurisprudensi tidak menjamin kebenaran suatu
pendapat, benar dan tidak benar bukan masalah voting DPR/MPR;
5. Hukum Acara tidak tidak hanya HIR dan RBg, termasuk SEMA, PERMA dll. sehingga
istilah “Turut Tergugat” bisa dipakai; dan gugatan yang tidak menyertakan semua ahliahli waris sebagai pihak/turut tergugat harus di N.O. (PA. Surabaya);
JP: Maksud penyaji tidak mengharamkan istilah “Turut Tergugat” dalam subyek
sengketa, yang menjadi pokok masalah adalah pendapat tidak mendudukkan ahliwaris yang pasip sebagai “Turut Tergugat” dianggap gugatan cacat adalah tidak
benar, akan tetapi itu harus kita pandang sebagai syarat proforma sehingga
menyimpangi ketentuan itu tidak menjadikan gugatan cacat formil.
6. Bahwa siapa yang digugat adalah domain pihak, bukan domain hakim, oleh karena itu
semua harus terlibat dalam sengketa (PA. Surabaya)
JP: Hakim memang tidak boleh membatasi seseorang mau menggugat siapa saja, tapi
akan dipandang aneh dan tidak lazim kalau seseorang menggugat ahli waris yang
tidak menguasai harta warisan. Kalau dipaksa didudukkan sebagai turut tergugat
sia-sia dan tidak ada urgensinya.
Menurut doktrin supaya ia tunduk pada putusan ! Putusan yang bagaimana ?
Ada sebuah prinsip bahwa dalam tatanan kemasyarakatan, hakim harus
mendiamkan orang-orang yang baik hati yang tidak menuntut harta warisan. Hakim
hanya patut memberikan hak ahli-waris yang meminta (menggugat) sesuai dengan
bagiannya (nisabnya) menurut hukum, itulah keadilan.
7. Sependapat dengan surabaya, gugatan waris yang tidak melibatkan semua ahli-waris,
akan menyulitkan saat eksekusi ? (PA. Jombang);
JP: Telah terjawab sebagai poin 1 (satu)
8. Pendapat penyaji keluar dari pakem; gugatan yang tidak menyertakan segenap ahliwaris sebagai pihak melanggar kepastian hukum, sehingga merupakan bentuk
16
kekeliruan dalam gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR, gugatan inparsial
(PA. Mojokerto);
JP: Penyaji sepakat bahwa gugatan yang tidak memenuhi syarat formil adalah cacat.
Gugatan yang kurang pihak adalah cacat; Yang menjadi masalah, apakah gugatan
pembagian waris yang tidak menyertakan semua ahli waris termasuk cacat atau
tidak ?
Pendapat penyaji tidaklah demikian, menggugat pembagian warisan tidak harus
semua ahli-waris terlibat sebagai subyek gugatan (penggugat, tergugat atau turut
tergugat) yang penting telah ada penggugat dan Tergugat; Keberadaan orang-orang
yang sebagai ahli- waris cukup disampaikan dalam dalil gugatan (posita);
Gugatan waris cacat, jika ahli-waris yang menguasai harta tidak semuanya digugat,
karena semua harta-warisan merupakan suatu kesatuan yang harus dibagi kepada
semua ahli waris, jika tidak demikian hal tersebut jelas akan mempengaruhi
perolehan masing-masing, atau paling tidak akan membuka peluang munculnya
kembali gugatan warisan atas harta yang belum dibagi waris tersebut.
Bahwa dengan telah dipertimbangkannya oleh hakim hak masing-masing ahliwaris, maka putusan Majelis tidak persial. Yang jelas orang tidak bisa dipaksa
menjadi penggugat walaupun ia berhak, tidah harus digugat kalau ia tidak
menguasai harta warisan secara melawan hak. Adalah dhalim kalau tidak
menguasai harta tapi digugat, untuk apa ?, disuruh apa orang tidak menguasai harta
warisan ?
9. Pendapat penyaji sangat lemah, ibarat “becak” melawan “truk”, sebab nantinya kalau
dibanding oleh pihak pasti putusannya akan dibatalkan oleh PTA (PA. Mojokerto);
JP.: Menjadi hakim, janganlah takut dan tidak perlu takut perkaranya akan dibatalkan
oleh hakim banding (PTA) atau hakim kasasi (MA) kita mempunyai kewenangan
sendiri-sendiri, putuskanlah menurut hatinurani tentunya dengan argumen hukum
(legal reasoning) yang memadai;
10. Semua ahli-waris harus terlibat sebagai subyek sengketa (pihak), kalau tidak demikian
harus N.O. karena akan menyulitkan ketika ada banding dari ahli-waris yang tidak
dijadikan pihak; (PA. Gersik);
JP.: Memang kelihatan agak aneh, ketika ada ahli-waris yang pasip, tetapi setelah ada
putusan pengadilan, maka ia tidak puas dan mengajukan banding ?
Pengadilan harus melayani permintaan orang yang “merasa” dirugikan oleh
putusan; Tetapi menurut penyaji, orang yang semula tidak menjadi pihak secara
17
formil (penggugat, tergugat, atau turut tergugat) tidak dapat mengajukan upaya
banding. Upaya hukum ketidak puasan ahli-waris yang demikian (bukan pihak
formil) adalah mengajukan “Perlawanan”. Kalau dia tidak puas atas putusan
perlawanannya, barulah ia mengajukan upaya banding; Kalau ia tetap meminta
banding, kita layani, biarlah hakim PTA yang memberikan putusan.
11. Yurisprudensi terakhir ada ahli waris pengganti yang tidak masuk sebagai pihak
ternyata di N.O. (PA. Gersik);
JP.: Penyaji belum pernah mebacanya, tetapi perlu kita dipelajari kasusnya,
Penyaji berpendapat, jika perkara masih dalam proses kemudian diketahui adanya
ahli-waris pengganti baik melalui pengakuan pihak-pihak maupun keterangan
keterangan saksi-saksi yang dibenarkan menurut hukum, maka itu sebagai fakta
temuan hakim; Selanjutnya hakim dapat saja memberikan haknya (sebagai ahliwaris pengganti) sesuai dengan hukum, gugatan tidak perlu dianggap cacat.
Masalah ia sebagai ahli-waris pengganti atau tidak, berapa bagiannya sudah
masalah hukum meteriil.
Bahwa andaikan di N.O, maka ia didudukkan sebagai pihak, perlunya ia dituntut
apa ?. kalau sebagai Turut-Tergugat, bunyi tuntutannya kayak apa, padahal ia
tidak menguasai harta warisan. Kan lebih baik deklarasikan aja bahwa ia sebagai
ahli-waris pengganti dan bagiannya sekian,,, ! beres.
12. Tidak setuju dengan pendapat penyaji, karena putusan yang baik adalah putusan yang
tidak akan memunculkan masalah baru;
JP.: Putusan yang tidak mensyaratkan semua ahli-waris sebagai pihak, tidak senantiasa
menimbulkan masalah baru. Dan tidak semua putusan yang telah melibatkan
semua ahli-waris sebagai pihak, dijaminan tidak akan memunculkan masalah
baru, harus kita lihat kasus perkasus. Munculnya perlawanan adalah karena
adanya orang yang merasa dirugikan. Dan semua putusan pengadilan punya
potensi untuk dilawan orang yang marasa dirugikan.
13.
- Apakah ahli-waris yang bukan/tidak sebagai pihak dapat mengajukan eksekusi ?
-
Bolehkan ahli-wris yang bukan sebagai pihak, membeli harta waris ?;
-
Tidak melibatkan semua ahli-waris tidak memenuhi aspek keadilan, misalnya
tentang biaya perkara; Dengan kata lain, ahli waris yang bukan pihak, akan
diuntungkan karena tidak menanggung biaya perkara (barangkali begitu yang
dimaksudnya); (Ketua koordinator Surabaya) ?
18
JP.: - Ahli waris yang bukan sebagai pihak, dapat mengajukan eksekusi, karena
putusan adalah akta authentik yang mengikat semua pihak, termasuk orangorang yang berada diluar sengketa, karena itu pihak luar yang tidak
puas/merasa dirugikan haknya atas putusan, dapat mengajukan perlawanan
(darden verset); Sebaliknya kalau dia puas, maka ia mempunyai hak mohon
eksekusi.
Permohonan eksekusi dari ahli-waris yang semula tidak menjadi pihak, maka
ia telah menjadi pihak formil (sebagai pemohon eksekusi);
- Pihak yang tidak menjadi pihak, boleh saja membeli harta harta waaris, jika
harta waris tersebut telah dibagi dan menjadi milik seorang ahli-waris tertentu,
selama harta waris belum dilakukan pembagian dan pemisahan, secara hukum
siapapun tidak boleh membeli harta warisan, karena pada dasarnya harta
warisan yang belum dibagi, menjadi harta kolektif bagi semua ahli-waris
(gebonden made eigendom);
- Bahwa tentang biaya perkara telah diatur oleh hukum acara, pihak formil yang
kalah harus membayar biaya, ahli-waris yang tidak terlibat secara formil
sebagai pihak tidak dapat dibebani bayar biaya. Itu memang keuntungan, tetapi
hal itu bukan melanggar hukum dan tidak boleh dikatakan sebagai ketidak
adilan.
19
Download