PERLU DISKUSI ULANG TENTANG “KURANG PIHAK” DALAM GUGATAN WARIS Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H.M.H. Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram Latar Belakang Masalah Dalam sengketa pembagian harta warisan kebanyakan praktisi berpendapat bahwa seluruh ahli-waris harus dilibatkan sebagai pihak, jika tidak maka gugatannya cacat. Yahya Harahap, S.H. Mantan Hakim Agung yang pemikiran dan pendapatnya banyak dikutip dan diikuti oleh orang, dalam bukunya Hukum Acara Perdata pada Halaman 121 juga berpendapat demikian sehingga arus besar yurisprudensipun mengarah demikian. Sengketa pembagian harta waris yang diajukan ke pengadilan seringkali tidak sederhana sebagaimana contoh kasus dalam pelajaran ilmu faraid ketika kita masih di pesantren maupun diperkuliahan, karena sengketa diajukan atas peristiwa kematian seorang yang sudah lewat puluhan tahun silam. Pihak-pihak yang bersengketapun bukan lagi anak-anak pewaris (generasi pertama), tetapi mereka adalah antara cucu dan cicit pewaris dimana orang tua mereka juga sudah meninggal dunia, padahal harta warisan yang disengketakan merupakan hak genersi pertama, dalam ilmu faraid persengketaan emikian disebut masalah munasakhoh (pewaris serial); Jumlah orang-orang yang terlibat (keturunannya) sangat banyak, jurainya berkembang bagai deret-hitung, Pada era globalisasi seperti sekarang ini mobilitas perpindahan manusia begitu tinggi, jelajahnya luas karena dunia seakan-akan tanpa batas (borderless) sehingga kadangkadang para ahli-waris tidak berada disuatu tempat yang sama, tetapi menyebar di berbagai tempat yang berjauhan bahkan mungkin berada di luar negeri, sehingga seseorang (penggugat) tidak mengetahui lagi siapa dan dimana tinggalnya ahli-waris yang perlu dilibatkan. Maka ketika seseorang ahli-waris (penggugat) ingin menuntut keadilan, sepertinya ia menemui jalan buntu seakan-akan hukum tidak memberikan jalan yang mudah untuk memperoleh keadilan. Ketika ia mencoba mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, gugatannya sering kandas terbentur dengan syarat formalitas gugatan, karena ditengah-tengah pemeriksaan ternyata ditemukan terdapat ahli waris yang tidak disertakan oleh Penggugat, sehingga Artikel ini pernah disajikan penulis sebagai bahan diskusi Hakim Pengadilan Agama Sekoordinator Surabaya (PA. Surabaya, Sidoarjo, Gersik, Mojokerto, Jombang dan Bawean) pada tanggal 12 April 2013 di Hotel Yusro-Jombang; 1 gugatannya oleh hakim dinilai cacat dan dinyatakan tidak dapat diterima (N.O). Dicobanya lagi dengan memasukkan ahli waris pihak yang ditemukan itu, ternyata gagal lagi, dicoba lagi, gagal lagi karena ditemui permasalah yang sama; Ibarat kapal, gugatan penggugat kandas sebelum berlayar, kalau bunga dikatakan layu sebelum berkembang. Pendapat demikian menurut hemat penulis tidak tepat, karena terlalu formalistis dan sempit sehingga sangat merugikan penggugat. Disamping itu akan menimbulkan image negatif bagi lembaga peradilan; Bahwa menuntut keadilan itu sulit, harus menguasai hukum acara, harus pintar ilmu waris; Menuntut hak itu tidak murah, harus menggunakan jasa pengacara dan mengeluarkan biaya besar; Betapa berat dan sulitnya untuk memperoleh hak di negara hukum ini; Apakah begitu menurut hukum acara kita ? Dimana semboyan perdilan justice for all, justice for the poor ? Berdasarkan pikiran-pikiran di muka, penulis ingin mencoba mengangkat masalah kriteria gugatan kurang pihak (prulium litis consorsium) dalam kaitannya dengan gugatan pembagian harta warisan, dengan harapan mendapatkan tanggapan dan pembahasan yang lebih mendalam dari semua pihak, sehingga kita dapat menawarkan suatu law standard, agar peradilan kita dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang dan terhindar dari putusan-putusan yang disparitas. Walaupun dalam perspektif methodologi hukum Islam (Ushul Fiqh) seorang hakim adalah mujtahid, sah-sah saja berbeda pendapat dengan hakim lainnya, sebagaimana kaidah fikih yang terkenal; al-ijtihaad la yungqodlu bi al-ijtihadi. Tetapi dalam rana hukum acara (hukum formil) kaidah itu tidak berlaku, karena hukum acara sebagai instrumen hukum pablik (publik recht instrumentarium) maka harus ada kepastian dan tidak selayaknya terjadi perbedaan. Pendahuluan Mengawali pembahasan ini, terlebih dahulu perlu disampaikan beberapa prinsip sebagai dasar pemikiran; Pertama; Hukum acara yang baik adalah yang dapat menjamin bahwa roda peradilan dapat berjalan lancar, sederhana, cepat, adil dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU Nomor: 48/2009); karena itu salah satu butir Putusan Rakernas Mahkamah Agung RI, tanggal 28 Oktober 2012 – 01 Nopember 2012 di Menado, mengamanatkan agar hakim Peradilan Agama dalam memeriksa perkara bersifat proaktif tidak bersikap pasifisme; Kedua; HIR sebagai salah satu sumber hukum acara, bersifat sederhana, langsung (onmiddelijk heid van procedure); Dalam arti jalannya proses pemeriksaan 2 persidangan dapat dilakukan dengan tanya-jawab langsung secara hidup (levend kontact) antara semua pihak yang terlibat, karena itu hukum acara kita memberikan peluang bagi keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan persidangan. Bukti lain dari madzhab kesederhanaan yang dianut HIR/RBg adalah dalam pasal-pasal kesua Kitab Hukim Acara tersebut memungkinkan pihak mengajukan gugat dengan lisan (vide Pasal 120 HIR), mengapa hakim harus mengharamkan tambahan-tambahan penjelasan dalam persidangan. Prinsip yang dianut HIR tersebut sangat berbeda dengan RV yang mewajibkan gugatan secara tertulis dan menggunakan pengacara (procereurstelling). Ketiga; Dimana-mana sekarang sering terdengar keluhan pihak yang berperkara bahwa proses di muka pengadilan tidak lagi sederhana dan terlalu lama disamping keluhan bahwa beracara di pengadilan agama terlalu formalistis; padahal dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan (hakim) harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Keempat; Hukum waris Islam, bersifat Ijbari dan Individual; Ijbari artinya perpindahan hak kebendaan atau harta waris (tirkah) tidak atas inisiatip dan kehendak manusia (pemilik) akan tetapi dikehendaki dan ditentukan oleh hukum; Siapasiapa yang berhak dan berapa bagiannya telah diatur oleh hukum (Al-Qur-an); Individual artinya hak yang telah diberikan dan ditentukan oleh hukum tersebut menjadi hak pribadi, sehingga pemilik-hak boleh ibro’ (melepas haknya) atau takharruj (mengambil sebagian kecil haknya). Permasalahan: Dalam praktek peradilan terjadi perbedaan penilaian tentang kriteria kurang pihak (prulium litis consortium) dalam sengketa pembagian harta warisan. Mayoritas hakim (Pengadilan Agama) berpendapat, dalam gugatan pembagian harta warisan harus melibatkan semua ahli waris menjadi pihak atau subyek perkara; Gugatan yang tidak memenuhi patron demikian dianggap gugatan cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklart). Perbedaan penilaian tersebut, tidak hanya terjadi antar hakim yang akhirnya melahirkan putusan disenting opinion(D.O), akan tetapi juga terjadi antara majelis hakim peradilan tingkat pertama dengan majlis hakim tingkat banding, bahkan antara putusan 3 hakim banding dengan putusan kasasi. Hal tersebut dapat kita diketahui dari putusanputusan antara lain: 1. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 : Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa “pertimbangan yudex faksi (Pengadilan Tinggi) yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”. 2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980 mempertimbangkan bahwa :“Gugatan harus tidak dapat diterima, karena tidak semua ahli waris turut sebagai pihak dalam perkara”. Nampaknya dalam yurisprudensi Peradilan Agama lebih banyak cenderung kepada pendapat yang kedua; yaitu segenap ahli-waris harus didudukkan sebagai pihak. Yaitu salah satu diantara Penggugat atau Tergugat, jika ahli-waris pasip (tidak mau menggugat) dan ia tidak menguasai harta warisan maka ia harus tetap ditarik sebagai “turut tergugat” yang kepentingannya sebagai pihak dalam sengketa tidak jelas; Sekarang yang menjadi masalah: Apakah semua ahli-waris harus menjadi subyek gugatan dalam gugatan waris ? Apakah mendudukkan ahli-waris yang pasip sebagai turut tergugat sebagai syarat formil ataukah hanya proforma ? PEMBAHASAN: Gugatan Kurang Pihak Hukum Acara Perdata (HIR dan RBg) sekali-kali tidak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan, tetapi praktek yurisprudensi (hukum obyektif) mengajarkan bagaimana surat gugatan itu disusun, yang menurut hemat penyaji dapat disimpulkan sebagai berikut: Orang bebas merumuskan dan menyusun surat gugatan, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi tuntutan; Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas; Ada pihak-pihak yang saling berhadapan (bersifat partaij) yaitu penggugat dan tergugat sebagai ciri suatu perkara yang bersifat contentiosa; Khusus gugatan mengenai tanah, harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas dan ukuran tanah; Gugatan yang kurang pihak atau pihak tidak lengkap dalam istilah hukum acara disebut plurium litis consortium, merupakan salah satu alasan gugatan dapat dikwalifikasi 4 sebagai cacat formil karena eror in persona. Menurut ilmu pengetahuan (hukum), gugatan yang eror in persona, terdapat 3 (tiga) sebab yaitu : 1. Diskwalifikasi in person, karena penggugatnya bukan orang yang persona standi in judicio, misalnya karena bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau karena belum dewasa dan masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang yang menggugat tidak berkwalitas yaitu: misalnya tidak mendapat kuasa, atau kuasanya tidak sah; 2. Gemis Aanhoedanig Heid yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi; 3. Plurium Litis Consortium, yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Plurium litis consortium berasal dari bahasa latin, pluries berarti banyak, litis consertes berarti kawan berperkara. Para ahli hukum, tidak ada yang membicarakan secara tuntas dan memadai masalah ini, mereka biasanya hanya menjelaskan pengertian berdasarkan makna harfiyah (etimo logis) saja, sehingga dalam tataran praktis mumunculkan pemahaman yang fariatifsubyektif berbeda pemahaman satu sama lainnya. Yahya Harahab, SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama halaman 21; Setelah beliau mengartikan makna secara harfiyah, beliau memberikan sebuah contoh suatu gugatan yang dapat dikategorikan sebagai “pihak tidak lengkap” adalah Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975; Jika dilakukan analisis, pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan Penggugat, tidak lagi dikuasai oleh Tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka berdasarkan pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat. Pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus tersebut adalah sudah tepat dan benar, karena pada kasus a quo, pihak ketiga secara nyata (lahiriyah) menguasai barang sengketa, seolah-olah obyek sengketa adalah kepunyaannya. Menurut hukum benda (bezit), orang yang memegang, menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter. Menurut hokum, bezit mempunyai fungsi polisionil, artinya bahwa hukum harus mengindahkan keadaan dan kenyataan itu tanpa mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa ? Dengan kata lain siapa yang yang “membezit” sesuatu benda sekalipun dia pencuri, maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti dimuka pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. 5 Karena itu bagi Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang menguasai obyek sengketa sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama didepan hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak, maka proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem. Karena itu sangat tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna alias cacat dan diputus niet on vankelijke verklaart (N.O). Kasus tersebut diatas, amat sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar hakim Pengadilan Agama. Yaitu, gugatan pembagian waris yang tidak melibatkan seluruh ahli waris termasuk ahli-waris yang pasip dan tidak menuasai harta warisan adalah cacat. Agar permasalahan nampak lebih jelas, penyaji mengajukan sebuah ilustrasi kasus sederhana sebagai berikut :cat - Pak Hartawan (Pewaris) meninggal dunia dengan meninggalkan uang sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyard rupiah) dan meninggalkan dua anak laki-laki, yaitu Si Nakal dan Si Jujur; - Seluruh harta peninggalan dikuasai sendiri oleh Si Nakal; - Si Jujur merasa mempunyai hak, maka menggugatlah ia di Pengadilan Agama Sidoarjo kepada Si Nakal, dengan tuntutan agar pengadilan menghukum Si Nakal menyerahkan separoh harta peninggalan kepada Si Jujur; karena menurut pemahamannya ia adalah sebagai ahli-waris ayahnya(Pak Hartawan) bersama kakaknya (Si Nakal) saja; - Dalam proses jawab menjawab dipersidangan, terungkap bahwa ternyata pewaris tidak hanya meninggalkan dua anak laki-laki (Si Nakal dan Si Jujur) yang sedang bersengketa, akan tetapi pewaris masih juga meninggalkan Ayah dan Ibunya; - Dalam kasus yang demikian, hakim tahu bahwa ahli waris dari pewaris adalah empat orang; yaitu Ayah, Ibu, Si akal dan Si Jujur; dan bahkan hakim juga mengetahui bagian haknya masing-masing ahli-waris; Tetapi karena sejak awal penggugat tidak mendudukkan/menarik Ayah dan Ibu pewaris dalam gugatan sebagai Turut Tergugat, maka gugatan oleh hakim dinyatakan tidak dapat diterima (N.O); Menurut hemat penulis, pendapat menganggap cacat formil gugatan penggugat tersebut dalah tidak tepat. Hakim dapat saja memberikan putusan positif, misalnya dengan mendeklairasikan siapa-siapa ahli-waris dari pewaris dan bagiannya masing-masing, kemudian menghukum Tergugat (Si Nakal) untuk membagi dan menyerahkan bagian ahliwaris masing-masing, misalnya dengan amar misalnya: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 6 2. Meyatakan hukum bahwa ahli-waris dari Pewaris adalah: 1.1. Si fulan berkedudukan sebagai ayah Pewaris; 1.2. Si fulanah, berkedudukan sebagai ibu Pewaris; 1.3. Si Jujur berkedudukan sebagai anak kandung laki-laki Pewaris, dan; 1.4. Si Nakal, berkedudukan sebagai anak kandung laki-laki Pewaris; 3. Menetapkan bagian masing-masing ahli-waris Pewaris, adalah: 3.1. Ayah Pewaris (sebut nama) = 1/6 bagian = Rp. 1.000.000.000,- (satu milyard rupiah) 3.2. Ibu Pewaris (sebut nama) = 1/6 bagian; Rp. 1.000.000.000,3.3. Si Jujur dan Si akal mendapatkan sisa, yaitu 4/6 (empat per enam)= Rp. 4.000.000.000,- (empat milyard rupiah) yang harus dibagi sama besar sehingga bagian masing-masing; Si akal = Rp. 2.000.000.000,- dan Si Jujur = Rp. 2.000.000.000,- (dua milyard rupiah); 4. Menghukum Si Nakal untuk membagi dan menyerahkan bagian ahli-waris tersebut diatas sesuai dengan bagiannya masing-masing sebagaimana tersebut pada dictum nomor 3 diatas; Dengan amar demikian pengadilan dapat menyelesaikan sengketa pihak-pihak dengan, cepat, sederhana dan biayapun ringan sebagaimana yang diamanatkan undang undang dan tepat menurut hukum. Masalah Siapa Sebagai Ahli-Waris dari Seseorang Termasuk Hukum Meteriil Salah satu ciri khusus hukum waris Islam dibanding dengan hukum waril lainnya adalah bahwa hukum waris Islam bersifat Ijbari dan Individual; Ijbari artinya perpindahan hak kebendaan atau harta waris (tirkah) tidak atas inisiatip dan kehendak manusia (pemilik) akan tetapi dikehendaki dan ditentukan oleh hukum; Siapa-siapa yang berhak dan berapa bagiannya telah diatur oleh hukum (Al-Qur-an); Individual artinya hak yang telah diberikan dan ditentukan oleh hukum tersebut menjadi hak pribadi, sehingga pemilikhak boleh ibro’ (melepas haknya) atau takharruj (mengambil sebagian kecil haknya). Berdasarkan asas Ijbari tersebut maka siapa-siapa sebagai ahli-waris dari seseorang dan berapa bagiannya, adalah sudah termasuk masalah hukum materiil (bukan formil) yang menjadi kompetensi hakim sesuai dengan adegium ius curia novit. Maka jika hukum mamaksakan harus menarik semua ahli waris sebagai pihak bisa mematikan hak perdata sesorang untuk menuntut keadilan. Padahal secara doktrinal pihak yang berperkara (sekalipun pengacara) tidak berkewajiban mengetahui hukum. Kewajiban pihak hanyalah menceritakan kasusnya atau fakta kejadiannya. Sehingga siapapun dapat menggugat karena 7 ia dapat bercerita tentang kasus/kejadiannya. Sangat tidak adil dan memberatkan jika hakim memberikan syarat supaya penggugat libatkan orang-orang yang tidak diketahuinya, berarti hakim mewajibkan penggugat mengetahui hukum waris sekaligus mewajibkan penggugat mengetahui hukum acara, padahal semangat hukum acara kita adalah ingin mempermudah dan menyederhanakan proses orde (vide Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Istilah “Turut Tergugat” Tidak ada Dalam Hukum Acara Hukum Acara Perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat” sebagai subyek persengketaan, sedangkan istilah “turut tergugat” tidak dikenal. Masalah siapa penggugat dan siapa tergugat, hukum acara juga tidak memberikan penjelasan konkrit. Logika hukum obyektif atau doktrin mengajarkan bahwa “penggugat” adalah orang (termasuk badan hukum) yang “merasa” hak subyektifnya dilanggar oleh orang lain. Sedangkan ”tergugat” adalah orang diduga telah melanggar hak subyektif orang lain. Penggugat dan Tergugat adalah dua partajn yang saling berhadapan dan mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara gugatan yang bersifat contentiosa. Dalam praktek sengketa perdata selain ”penggugat dan tergugat”, ada juga istilah “turut tergugat” sebagai pihak. Siapa sebenarnya yang harus didudukkan sebagai “turut tergugat”, tidak ada satu pasalpun dalam hukum acara yang menyinggungnya. Dalam berbagai literatur boleh dikatakan belum ada yang membahasnya secara mendalam. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 38 menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi “formalitas” gugatan harus dilibatkan dalam proses, agar dalam petitum ia dihukum sebagai pihak yang harus tunduk dan taat pada putusan hakim perdata. Pernyataan pakar sebagai tersebut diatas kalau dikaitkan dengan sengeketa waris menjadi ambigu dan tidak jelas dan menimbulkan pertanyaan yang tidak bisa dinalar. 5. Apakah yang dimaksud tunduk dan taat pada putusan ? 6. Apakah ahli-waris yang pasip (tidak mau menggugat) dan tidak menguasai harta warisan harus taat dan patuh menerima warisan ? 7. Apakah ketika eksekusi ia harus dipaksa menerima ? 8. Apakah menerima warisan menjadi wajib ? 9. dan lain-lain pertanyaan yang cukup menggelikan. Turut Tergugat Sebagai Syarat Proforma: 8 Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ada suatu pertanyaan yang urgen untuk ditemukan jawabannya yaitu: Apakah mendudukkan seseorang (ahli-waris) yang tidak menguasai obyek sengketa sebagai “turut tergugat” sebagai kewajiban hukum atau hanya bersifat proforma? Menjawab secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting, sebab jika hal tersebut merupakan kewajiban hukum, maka amat tepat dan benar jika sebuah gugatan yang tidak mendudukkan semua ahli-waris termasuk yang tidak menguasai warisan sebagai pihak, maka gugatan menjadi cacat formil; Jika mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka tidak tepat jika gugatan yang demikian dianggap tidak sempurna atau cacat formil. Logika hukum obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai tergugat, hanyalah orang yang disangka melanggar hak sehingga nantinya ia pantas dituntut memenuhi suatu prestasi yang diminta oleh penggugat lewat putusan hakim. Sedangkan orang yang padanya diharapkan tunduk atas putusan pengadilan untuk menerima hak adalah tidak merupakan keharusan. Oleh karena itu pendapat yang mewajibkan mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta waris sebagai turut tergugat dengan alasan bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan adalah alasan yang berlebihan (overbodig); Menerima warisan adalah hak, bukan kewajiban. Pada hak berlaku asas “tidak ada sebuah hukum yang dapat memaksa seseorang untuk menerima hak”, Hakim hanya diperintah menegakkan “keadilan”. Keadilan adalah memberikan hak sepanjang diminta. Hakim harus membiarkan orang-orang yang berhati mulia membiarkan haknya dilanggar orang lain, karena orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain adalah kebaikan (al-ihsan) dan kebajigan (al-birr), hakim tidak diperintah menegakkan al-ihsan atau albiiru ketentuan tersebut kemudian menjadi asas hakim dalam memberikan putusan terkenal dengan azas ultra petita dan asas hakim perdata bersifat pasif. Hakim hanya mencari kebenaran dan memenuhi permintaan sebuah prestasi sepanjang diminta oleh pihak yang bersangkutan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka sebenarnya mendudukkan ahli-waris yang senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai “turut tergugat” harus dipandang sebagai hal yang proforma yang tidak boleh dianggap menyebabkan gugatan tidak sempurna. Pembedaan Istilah Tergugat dan Turut Tergugat 9 Perlunya pembedaan sebutan “tergugat” dengan “turut tergugat” menurut ilmu pengetahuan adalah disebabkan adanya kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda. Klausula hubungan hukum yang menjadi dasar seseorang harus didudukkan sebagai tergugat adalah disebabkan adanya hubungan primer (langsung), sedang dasar seseorang didudukkan sebagai turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair (tidak langsung). Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut : Jika harta waris yang belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli waris pada pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum primair dan secundair, sebagai berikut : 1. Hubungan hukum antara ahli waris satu dengan lainnya adalah hubungan hukum primair. 2. Hubungan hukum antara ahli waris yang menjual (penjual) dengan pembeli adalah hubungan hukum primair; 3. Ahli waris yang tidak turut menjual menggugat kepada ahli waris yang menjual harta waris, maka ahli waris yang menjual didukkan sebagai tergugat (karena ada hubungan primair); 4. Pembeli barang dapat didukkan dalam posisi sebagai turut tergugat (karena ada hubungan secundair); dia bukan ahli waris tetapi ia telah menguasai obyek sengketa disebabkan hubungan hukum yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris yang belum dibagi waris. 5. Penggugat mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat akan sedikit tampak rancu, sebab ia bukan ahli waris dan tidak ada hubungan primer dengan semua ahliwaris. 6. Karena pembeli telah membeli dan menguasai harta waris yang belum dibagi, maka ia perlu digugat. Agar tidak rancu, maka ilmu pengetahuan menghendaki adanya perbedaan istilah, “tergugat” dengan istilah “turut tergugat”. Bila yang alur pemikiran yang demikian ini disepakati, maka mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat juga tidak tepat, karena hubungan hukum dengan sesama ahli-waris adalah hubungan primer dan ia tidak patut dituntut suatu prestasi apapun karena ia tidak menguasai harta warisan. Berdasarkan alasan tersebut, penulis berpendapat bahwa mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat adalah salah kaprah. 10 Gugatan waris tanpa melibatkan ahli waris yang tidak menguasai barang sengketa tidak dapat dipandang sebagai gugatan yang cacat formil. Kewajiban Penggugat Dalam Menuntut Hak Waris Tujuan orang menghadap Pengadilan adalah untuk mencari keadilan. Mungkin saja pencari keadilan tidak mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli waris dari seseorang pewaris, berapa besar bagian masing-masing, karena untuk menentukan siapa-siapa sebagai ahli-wraris dan berapa bagian masing-masing adalah sudah menyangkut wilayah hukum yang hanya wajib diketahui oleh hakim (ius curia novit). Oleh karena itu secara sederhana, kewajiban penggugat dalam mensengketakan waris berkisar pada menerangkan: 1. Siapa yang meninggal dunia (pewaris); 2. Kapan pewaris meninggal: 3. Siapa-siapa saja keluarga yang ditinggalkan pewaris; 4. Apa saja yang menjadi peninggalan (tirkah) Pewaris; 5. Siapa saja yang menguasai harta peninggalan/warisan; 6. Apa yang diminta oleh penggugat; Item-item tersebut diatas, biasanya mudah dikemukakan oleh seorang penggugat, tetapi ketika ia diminta memformalkan dalam bentuk surat gugatan, sebagian besar merasa kesulitan, kejadian demikian menimbulkan image bahwa menggugat waris di Pengadilan Agama sangat sulit; Orang menggugat harus pintar ilmu hukum, harus mengerti, menguasai dan memahami hukum waris, bahkan harus pula menguasai hukum acara; Mereka banyak yang mengeluh betapa berat dan sulitnya seseorang untuk memperoleh haknya ?; Paling tidak mereka harus mengeluarkan biaya mahal untuk sewa pengacara. Jika hukum memaksakan keadaan seperti itu bisa mematikan hak perdata seseorang untuk menuntut haknya dari ahli-waris lain dan secara tidak langsung seakan-akan hukum acara kita menentukan bahwa seorang penggugat harus mengerti ilmu hukum, kalau tidak maka ia harus mesewa pengacara, kalau demikian maka HIR tak ubahnya denga RV. Maka untuk menghindari akibat buruk, praktek tersebut perlu dilenturkan penerapannya. Lalu dimanakah sandaran hukum acara kita untuk mentolerir ide pelenturan tersebut ? Menurut hemat penulis adalah prinsip-prinsip hukum acara sebagai berikut: 1. Hukum acara yang baik adalah yang dapat menjamin bahwa roda peradilan dapat berjalan lancar, sederhana, cepat, adil dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU Nomor: 48/2009); Melihat ketentuan itu dan kenyataan dilapangan, maka salah satu butir Putusan Rakernas Mahkamah Agung RI, tanggal 28 Oktober 2012 – 01 11 Nopember 2012 di Menado, mengamanatkan agar hakim Peradilan Agama dalam memeriksa perkara bersifat proaktif tidak bersikap pasifisme; 2. Hukum acara yang berlaku bagi kita (HIR/RBg) bersifat sederhana, langsung (onmiddelijk heid van procedure); Dalam arti jalannya proses pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan tanya-jawab langsung secara hidup (levend kontact) antara semua pihak yang terlibat, karena itu hukum acara kita memberikan peluang bagi keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan persidangan; 3. Bukti lain dari madzhab kesederhanaan yang dianut HIR/RBg adalah dalam pasalpasal kesua Kitab Hukim Acara tersebut memungkinkan pihak mengajukan gugat dengan lisan (vide Pasal 120 HIR), Menangkap lebih jauh dari ketentuan ini membolehkan hakim menggali penjelasan dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam persidangan; Karenanya HIR sangat berbeda dengan RV yang mewajibkan gugatan secara tertulis dan menggunakan pengacara (procereurstelling). 4. Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan (hakim) harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Berdasarkan prinsip yang dianut hukum acara, penulis berpendapat bahwa kekurang jelasan gugatan termasuk person ahli waris yang menjadi pihak dapat digali saat proses jawab-menjawab dari penggugat dan Tergugat dalam persidangan. Jika dalam proses jawab-menjawab ternyata ditemukan/muncul adanya ahli-waris lain yang tidak/belum sebagai pihak, gugatan tidak serta-merta menjadi cacat. Tetapi temuan tersebut harus dianggap sebagai fakta yang ditemukan dalam persidangan. Kewajiban hakim selanjutnya menyatakan/memasukkannya sebagai ahli waris dan bagiannya sesuai dengan hukum. Disini hakim tidak bisa dikatakan sebagai telah memihak penggugat, selama faktafakta tersebut digali dari kedua belah pihak. Oleh karena itu pendapat-pendapat atau ungkapan-ungakan “hakim bukan bengkel yang harus membantu memperbaiki gugatan”, pengacara kok gak bisa membuat gugatan yang baik”; harus kita buang jauh-jauh agar kita dapat melayani pencari keadilan dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar ketentuan hukum acara, sehingga tidak ada lagi stigmatisasi negatif kepada lembaga peradilan kita bahwa “peradilan bagai “menara gading” yang tidak dapat dijamah oleh orang awam dan miskin. Ada pula ungkapan “betapa sulit dan mahalnya menuntut hak dihadapan pengadilan”. 12 Kalau pemikiran ini menjadi komitmen kita, maka kiranya kita telah sesuai dengan program yang dicanagkan pimpinan dengan adegium justces for all, justice for the poor dan lain sebagainya. Isyarat Dalam KHI Secara sosiologis masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang budaya hukum “ewoh pakewoh”. Artinya bahwa sungguhpun para ahli waris menghendaki harta warisan itu dibagi, tetapi kadang seseorang karena baik hati atau perasaan malu atau segan untuk terlibat dalam sengketa waris, sehingga ia harus mengambil sikap diam. Meskipun ada alasan-alasan lain yang memungkinkan ia tidak menggugat, misalnya karena faktor biaya, tidak tahu, takut kalah, kebingungan dan lain-lain. Untuk itu pasal 88 Kompilasi Hukum Islam telah secara tegas memberikan ajaran, bahwa “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan, bila ada diantara ahli waris lain yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”. Kompilasi Hukum Islam, memang bukan hukum acara, tetapi prinsip yang terkandung dalam pasal tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua ahli waris harus terlibat sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi cukup diwakili seseorang sebagai penggugat, sedangkan yang perlu didudukkan sebagai tergugat adalah mereka-mereka ahliwaris yang menguasai harta warisan. Jika pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar, maka dalam menyelesaikan ilustrasi kasus sederhana sebagai tersebut diatas ada dua opsi kewajiban hakim. Opsi pertama, adalah pengadilan berkewajiban menyatakan porsi hak seluruh ahli waris Ayah 1/6 (seper enem), Ibu 1/6 (seper enam), Si Nakal 2/6 (dua perenam), Si Jujur 2/6 (dua perenam), Dan selanjutnya hakim menghukum kepada Si Nakal, untuk menyerahkan bagian yang menjadi hak masing-masing seluruh ahli waris sesuai dengan bagiannya menurut hukum. Opsi kedua, adalah pengadilan berkewajiban menghukum Si Nakal untuk menyerahkan bagian atau haknya Si Jujur saja yaitu 2/6 (dua perenam), tanpa harus menghukum Si Nakal untuk menyerahkan hak Ayah dan Ibu pewaris. Karena mereka secara perdata tidak menuntut hak kepada Si Nakal. Dengan demikian maka sengketasengketa kewarisan dapat diselesaikan dengan asas formal prosedur and can be put in motion quickly. Kesimpulan 13 1. Mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai “turut tergugat” hanya syarat proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat formil. Dengan kata lain ahli waris yang tidak menguasai harta warisan yang tidak didudukkan/ditarik sebagai pihak: tergugat maupun turut tergugat. gugatan tidak cacat formil. 2. Dalam sengketa kewarisan yang bertindak sebagai penggugat boleh satu orang atau beberapa orang saja, asalkan dalam petitum dimintakan hak ahli waris lain yang berhak menurut hukum. 3. Gugatan kewarisan dinilai sebagai kurang pihak/tidak sempurna/cacat formil, jika ternyata ada ahli waris lain yang menguasai harta peninggalan (warisan) yang tidak dilibatkan sebagai tergugat. 4. Jika penggugat hanya menuntut bagian haknya sendiri kepada tergugat yang menguasai harta warisan tanpa menuntut haknya ahli waris lainnya gugatan yang demikian dapat dibenarkan. Karena hakim wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar/dikuasai orang lain; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena ia tidak meminta (azas ultra petita); Notulasi singkat jalannya diskusi: Artikel ini pernah disajikan sebagai bahan diskusi Hakim Pengadilan Agama Sekoordinator Surabaya (PA. Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Gersik, Mojokerto Jombang dan Bawean) tanggal 12 April 2013 di hotel Yusro-Jombang. Dalam diskusi tersebut muncul tanggapan pendapat pro-kontra sebagaimana yang diperkirakan oleh penulis. Maka penulis memandang perlu mengemukakan pendapatpendapat yang kontra/tidak setuju dengan argumentasinya serta tanggapan penulis dalam diskusi tersebut, dalam bentuk tanya jawab ; (JP= Jawaban Penyaji). 1. Sebagaimana disampaikan dalam makalah bahwa ahli waris boleh mengambil hak boleh tidak, dengan tidak menjadikan semua ahli waris sebagai pihak, maka akan kesulitan ketika eksekusi, (sayang penanya tidak menjelaskan apa kesulitannya, pertanyaan dari PA Bawean) JP: Kesulitan eksekusi disebabkan banyak faktor, tetapi bukan karena keharusan melibatkan atau tidak melibatkan seluruh ahli-waris sebagai pihak; Yang jelas putusan harus jelas dan konkrit berapa porsi bagian tiap-tiap orang yang ditentukan oleh hakim sebagai ahli-waris. 14 Kkesulitan eksekusi seringkali timbul karena kerancuan amar putusan atau sebab lain. Kalau amar putusannya jelas, konkrit dan tidak menimbulkan pengertian/tidak ambigu dan tidak multi tafsir, tentu tidak akan menimbulkan kendala dalam eksekusi. 2. Seseorang dalam kaitannya dengan barang sengketa, kadang ia pernah menikmati, maka ia patut digugat. (PA Bawean); JP: Menggugat adalah hak setiap orang yang marasa hak subyektifnya telah dilanggar oleh seseorang, perkara benar adanya pelanggaran atau tidak, itu masalah hukum yang harus dibuktikan dan dipertimbangkan yang merupakan domain hakim. Hanya saja sangat tidak tepat (dhalim) jika harus menggugat ahli-waris yang tidak menguasai harta warisan. Dan jikalau harus didudukkan sebagai “turut tergugat” kepentingannya apa ?, ini tidak jelas. Alasannya yang umum adalah, supaya ia tunduk pada putusan hakim ! Tunduk yang bagaimana ? Apakah ia harus tunduk menerima harta warisan,,? Timbul pertanyaan lagi, apakah menerima hak itu kewajiban ? Padahal tidak ada suatu hukumpun yang dapat memaksa orang menerima hak. Dengan lain kata, seseorang tidak dapat dipaksa menerima hak. 3. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 jo PERMA Nomor 1 Tahun 2016, menentukan bahwa sengketa yang tidak melalui proses mediasi adalah batal demi hukum. Dalam Pasal 14 (a) PERMA tersebut menentukan: Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. (PA. Surabaya); JP.: Perkara yang dinilai oleh mediator tidak layak dimediasi karena ada pihak lain yang tidak dilibatkan dalam gugatan; Penilaian mediator tidak mengikat hakim, sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan dasar bagi hakim bahwa gugatan cacat. Pendapat mediator tersebut harus dianggap mediasi tidak terlaksana, dan tidak berarti perkara a quo tidak melalui mediasi yang harus dianggap batal demi hukum. Yang harus dilihat oleh hakim adalah apakah pihak-pihak telah melakukan mediasi. Perkara berhasil, tidak berhasil, layak tidak layak, pihak hadir atau tidak hadir 15 dalam mediasi bukanlah hal yang amat menentukan bagi jalannya proses pemeriksaan persidangan; 4. Dalam yurisprudensi-yurisprodensi Peradilan Agama banyak yang mensyaratkan /mewajibkan semua ahli-waris dilibatkan sebagai pihak (PA. Surabaya); JP: Sebagaimana diakui sendiri oleh penulis/penyaji, memang arus besar/mayoritas yurisprudensi mengikuti pendapat tersebut, tetapi madzhab/sistem hukum kita tidak ada kewajiban mengikuti yurisprudensi (sitem preseden); Banyak dan sedikitnya pendapat banyak dan sedikitnya yurisprudensi tidak menjamin kebenaran suatu pendapat, benar dan tidak benar bukan masalah voting DPR/MPR; 5. Hukum Acara tidak tidak hanya HIR dan RBg, termasuk SEMA, PERMA dll. sehingga istilah “Turut Tergugat” bisa dipakai; dan gugatan yang tidak menyertakan semua ahliahli waris sebagai pihak/turut tergugat harus di N.O. (PA. Surabaya); JP: Maksud penyaji tidak mengharamkan istilah “Turut Tergugat” dalam subyek sengketa, yang menjadi pokok masalah adalah pendapat tidak mendudukkan ahliwaris yang pasip sebagai “Turut Tergugat” dianggap gugatan cacat adalah tidak benar, akan tetapi itu harus kita pandang sebagai syarat proforma sehingga menyimpangi ketentuan itu tidak menjadikan gugatan cacat formil. 6. Bahwa siapa yang digugat adalah domain pihak, bukan domain hakim, oleh karena itu semua harus terlibat dalam sengketa (PA. Surabaya) JP: Hakim memang tidak boleh membatasi seseorang mau menggugat siapa saja, tapi akan dipandang aneh dan tidak lazim kalau seseorang menggugat ahli waris yang tidak menguasai harta warisan. Kalau dipaksa didudukkan sebagai turut tergugat sia-sia dan tidak ada urgensinya. Menurut doktrin supaya ia tunduk pada putusan ! Putusan yang bagaimana ? Ada sebuah prinsip bahwa dalam tatanan kemasyarakatan, hakim harus mendiamkan orang-orang yang baik hati yang tidak menuntut harta warisan. Hakim hanya patut memberikan hak ahli-waris yang meminta (menggugat) sesuai dengan bagiannya (nisabnya) menurut hukum, itulah keadilan. 7. Sependapat dengan surabaya, gugatan waris yang tidak melibatkan semua ahli-waris, akan menyulitkan saat eksekusi ? (PA. Jombang); JP: Telah terjawab sebagai poin 1 (satu) 8. Pendapat penyaji keluar dari pakem; gugatan yang tidak menyertakan segenap ahliwaris sebagai pihak melanggar kepastian hukum, sehingga merupakan bentuk 16 kekeliruan dalam gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR, gugatan inparsial (PA. Mojokerto); JP: Penyaji sepakat bahwa gugatan yang tidak memenuhi syarat formil adalah cacat. Gugatan yang kurang pihak adalah cacat; Yang menjadi masalah, apakah gugatan pembagian waris yang tidak menyertakan semua ahli waris termasuk cacat atau tidak ? Pendapat penyaji tidaklah demikian, menggugat pembagian warisan tidak harus semua ahli-waris terlibat sebagai subyek gugatan (penggugat, tergugat atau turut tergugat) yang penting telah ada penggugat dan Tergugat; Keberadaan orang-orang yang sebagai ahli- waris cukup disampaikan dalam dalil gugatan (posita); Gugatan waris cacat, jika ahli-waris yang menguasai harta tidak semuanya digugat, karena semua harta-warisan merupakan suatu kesatuan yang harus dibagi kepada semua ahli waris, jika tidak demikian hal tersebut jelas akan mempengaruhi perolehan masing-masing, atau paling tidak akan membuka peluang munculnya kembali gugatan warisan atas harta yang belum dibagi waris tersebut. Bahwa dengan telah dipertimbangkannya oleh hakim hak masing-masing ahliwaris, maka putusan Majelis tidak persial. Yang jelas orang tidak bisa dipaksa menjadi penggugat walaupun ia berhak, tidah harus digugat kalau ia tidak menguasai harta warisan secara melawan hak. Adalah dhalim kalau tidak menguasai harta tapi digugat, untuk apa ?, disuruh apa orang tidak menguasai harta warisan ? 9. Pendapat penyaji sangat lemah, ibarat “becak” melawan “truk”, sebab nantinya kalau dibanding oleh pihak pasti putusannya akan dibatalkan oleh PTA (PA. Mojokerto); JP.: Menjadi hakim, janganlah takut dan tidak perlu takut perkaranya akan dibatalkan oleh hakim banding (PTA) atau hakim kasasi (MA) kita mempunyai kewenangan sendiri-sendiri, putuskanlah menurut hatinurani tentunya dengan argumen hukum (legal reasoning) yang memadai; 10. Semua ahli-waris harus terlibat sebagai subyek sengketa (pihak), kalau tidak demikian harus N.O. karena akan menyulitkan ketika ada banding dari ahli-waris yang tidak dijadikan pihak; (PA. Gersik); JP.: Memang kelihatan agak aneh, ketika ada ahli-waris yang pasip, tetapi setelah ada putusan pengadilan, maka ia tidak puas dan mengajukan banding ? Pengadilan harus melayani permintaan orang yang “merasa” dirugikan oleh putusan; Tetapi menurut penyaji, orang yang semula tidak menjadi pihak secara 17 formil (penggugat, tergugat, atau turut tergugat) tidak dapat mengajukan upaya banding. Upaya hukum ketidak puasan ahli-waris yang demikian (bukan pihak formil) adalah mengajukan “Perlawanan”. Kalau dia tidak puas atas putusan perlawanannya, barulah ia mengajukan upaya banding; Kalau ia tetap meminta banding, kita layani, biarlah hakim PTA yang memberikan putusan. 11. Yurisprudensi terakhir ada ahli waris pengganti yang tidak masuk sebagai pihak ternyata di N.O. (PA. Gersik); JP.: Penyaji belum pernah mebacanya, tetapi perlu kita dipelajari kasusnya, Penyaji berpendapat, jika perkara masih dalam proses kemudian diketahui adanya ahli-waris pengganti baik melalui pengakuan pihak-pihak maupun keterangan keterangan saksi-saksi yang dibenarkan menurut hukum, maka itu sebagai fakta temuan hakim; Selanjutnya hakim dapat saja memberikan haknya (sebagai ahliwaris pengganti) sesuai dengan hukum, gugatan tidak perlu dianggap cacat. Masalah ia sebagai ahli-waris pengganti atau tidak, berapa bagiannya sudah masalah hukum meteriil. Bahwa andaikan di N.O, maka ia didudukkan sebagai pihak, perlunya ia dituntut apa ?. kalau sebagai Turut-Tergugat, bunyi tuntutannya kayak apa, padahal ia tidak menguasai harta warisan. Kan lebih baik deklarasikan aja bahwa ia sebagai ahli-waris pengganti dan bagiannya sekian,,, ! beres. 12. Tidak setuju dengan pendapat penyaji, karena putusan yang baik adalah putusan yang tidak akan memunculkan masalah baru; JP.: Putusan yang tidak mensyaratkan semua ahli-waris sebagai pihak, tidak senantiasa menimbulkan masalah baru. Dan tidak semua putusan yang telah melibatkan semua ahli-waris sebagai pihak, dijaminan tidak akan memunculkan masalah baru, harus kita lihat kasus perkasus. Munculnya perlawanan adalah karena adanya orang yang merasa dirugikan. Dan semua putusan pengadilan punya potensi untuk dilawan orang yang marasa dirugikan. 13. - Apakah ahli-waris yang bukan/tidak sebagai pihak dapat mengajukan eksekusi ? - Bolehkan ahli-wris yang bukan sebagai pihak, membeli harta waris ?; - Tidak melibatkan semua ahli-waris tidak memenuhi aspek keadilan, misalnya tentang biaya perkara; Dengan kata lain, ahli waris yang bukan pihak, akan diuntungkan karena tidak menanggung biaya perkara (barangkali begitu yang dimaksudnya); (Ketua koordinator Surabaya) ? 18 JP.: - Ahli waris yang bukan sebagai pihak, dapat mengajukan eksekusi, karena putusan adalah akta authentik yang mengikat semua pihak, termasuk orangorang yang berada diluar sengketa, karena itu pihak luar yang tidak puas/merasa dirugikan haknya atas putusan, dapat mengajukan perlawanan (darden verset); Sebaliknya kalau dia puas, maka ia mempunyai hak mohon eksekusi. Permohonan eksekusi dari ahli-waris yang semula tidak menjadi pihak, maka ia telah menjadi pihak formil (sebagai pemohon eksekusi); - Pihak yang tidak menjadi pihak, boleh saja membeli harta harta waaris, jika harta waris tersebut telah dibagi dan menjadi milik seorang ahli-waris tertentu, selama harta waris belum dilakukan pembagian dan pemisahan, secara hukum siapapun tidak boleh membeli harta warisan, karena pada dasarnya harta warisan yang belum dibagi, menjadi harta kolektif bagi semua ahli-waris (gebonden made eigendom); - Bahwa tentang biaya perkara telah diatur oleh hukum acara, pihak formil yang kalah harus membayar biaya, ahli-waris yang tidak terlibat secara formil sebagai pihak tidak dapat dibebani bayar biaya. Itu memang keuntungan, tetapi hal itu bukan melanggar hukum dan tidak boleh dikatakan sebagai ketidak adilan. 19