GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK DAN HAK GUGAT ORGANISASI DALAM KAITANNYA DENGAN KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh : UJANG ABDULLAH, SH., M.Si I. PENDAHULUAN Gugatan Perwakilan Kelompok yang disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 2002 dan Hak Gugat Organisasi yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup jo. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada dasarnya merupakan padanan kata dari istilah class action dan legal standing yang sudah sering digunakan dalam praktek peradilan dan negara-negara barat, khususnya Negara Anglo America yang pada umumnya menganut system common law (system yang menitikberatkan penciptaan kaidah hukum melalui putusan pengadilan). Dalam perkembangannya konsep class action dan legal standing tersebut, ternyata juga diterima dan dipraktekkan di Negara continental yang menganut system statute law (system yang menitikberatkan penciptaan kaidah hukum melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh parlemen) termasuk Indonesia, sehingga gugatan perwakilan kelompok dan hak gugat organisasi merupakan fenomena hukum yang relative masih baru dalam dunia Peradilan di Indonesia. Meskipun gugatan Perwakilan Kelompok dan Hak Gugat Organisasi masih tergolong baru di Indonesia, namun pada praktek peradilan kasus-kasus mengenai hal tersebut sudah ada sejak tahun 1988 yaitu melalui gugatan yang diajukan oleh R.O Tambunan, S.H. yang mewakili kepentingan masyarakat termasuk dirinya yang keberatan atas penggunaan nama "Bentoel Remaja" oleh pabrik rokok Bentoel karena memancing minat konsumen rokok dikalangan remaja, gugatan yang diajukan oleh Muktar Pakpahan, S.H. kepada Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI yang mewakili masyarakat korban penyakit demam berdarah di Jakarta (untuk gugatan perwakilan kelompok) sedangkan hak gugat organisasi pertama kalinya terjadi pada tahun 1988 melalui gugatan yang diajukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Pengadilan Negeri Jakarta, akan tetapi dari banyak kasus-kasus yang muncul tersebut kebanyakan tidak diterima atau ditolak oleh pengadilan karena masih belum memenuhi persyaratan formal maupun material, hal tersebut dikarenakan memang hukum materiil nya baru diatur pada tahun 1997 seiring dengan terbitnya Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahkan hukum acaranya baru diatur pada tahun 2002 seiring dengan terbitnya peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002. Hukum acara gugatan Perwakilan Kelompok yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 yang disebutkan dalam Pasal 3 dan 10, ternyata hanya mengatur hukum acara gugatan Perwakilan Kelompok untuk di Pengadilan Negeri, sedangkan untuk di Pengadilan Tata Usaha Negara belum ada pengaturannya, oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk mengkaji lebih mendalam tentang gugatan Perwakilan Kelompok dan Hak gugat organisasi dan kemungkinannya masuk dalam kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. II. 1. GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK Pengertian dan Ruang Lingkup. Konsep gugatan Perwakilan Kelompok berawal dari Inggris pada abad ke-17, namun prosedur gugatannya pertama kali baru dirumuskan dalam Undang-Undang di Amerika yaitu US Federal Rule of Civil Procedure 3 (1938) dan diundangkan pada tahun 1966 . 3 . Mas Achmad Santosa, SH.,LLM, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, LPHLI, Jakarta, 1997, hal 76 Kemudian prosedur tersebut diikuti oleh negara-negara Anglo Saxon dan selanjutnya berkembang luas diberbagai negara dunia di daratan Eropa Kontinental yang menganut sistem hukum statute law termasuk Indonesia seiring dengan desakan arus globalisasi dan demokrasi diberbagai penjuru dunia terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dan hak asasi manusia, sehingga pada saat ini tidak ada lagi negara yang menganut secara murni sistem common law atau statute law melainkan keduanya sudah saling bersinergi sesuai tuntutan kebutuhan penegakan hukum dan rasa keadilan yang bersifat universal. Di Indonesia gugatan Perwakilan Kelompok secara materiil baru diatur sejak tahun 1997 yaitu dengan lahirnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan . hidup, Kemudian diikuti oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sedangkan pengaturan mengenai prosedur gugatannya baru diatur pada tahun 2002 melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 1 huruf a PERMA No. 1 tahun 2002 disebutkan bahwa : " gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu Tata Cara Pengajuan Gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud". Dari ketentuan tersebut, persyaratan untuk gugatan Perwakilan Kelompok sama dengan persyaratan class action yang dimuat dalam Us Federal of Civil Procedure, yaitu : a. Numerosity, artinya jumlah Penggugat sedemikian banyaknya (bisa puluhan, ratusan atau bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class representatives) yang mewakili selaku anggota kelompok (class members). b. Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan. c. Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili (class members). d. Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka 4 yang diwakilkan . 4. Mas Achmad Santosa, SH.,LLM., op cit hal 77. 2. 2. Mekanisme Beracara Gugatan Perwakilan Kelompok Dalam praktek gugatan class action, komponen perwakilan kelas (class representatives) terlebih dahulu dibuktikan kepada Hakim Pengadilan, agar benar-benar dapat menjamin kepentingan anggota kelas secara jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya untuk menetapkan apakah gugatan merupakan gugatan class action atau gugatan biasa diterapkan mekanisme Preliminary Certification Test kepada Anggota kelas agar melakukan apt in dan opt out. Dpt in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelas dengan memberikan penegasan bahwa mereka benarbenar anggota kelas sedangkan opt out adalah kesempatan anggota kelas untuk menyatakan dirinya keluar dari class action dan tidak menghendaki jadi bagian dari gugatan. Mekanisme Preliminary Certification Test tersebut harus dilakukan apabila tuntutan gugatan adalah berupa uang ganti rugi (monetary damages) karena menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif atau injuction maka mekanisme tersebut tidak perlu dilakukan. Setelah pemeriksaan kelayakan kelas dan pemberitahuan kepada masing-masing anggota kelas untuk mengambil sikap (opt in atau opt out) barulah pemeriksaan pokok sengketa dilaksanakan. Di Indonesia prosedur gugatan perwakilan kelompok menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 harus memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam hukum Acara Perdata, yang memuat antara lain : - Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok. - Definisi kelompok secara rinci dan specifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. - Posita dari seluruh kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan rinci. - Dalam satu gugatan perwakilan kelompok dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. Tuntutan (petitum) tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian pembayaran ganti rugi kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim panel yang membantu memperlancar pendistribusian pembayaran ganti rugi. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak disyaratkan memperoleh surat 5 kuasa dari anggota kelompok . Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan gugatan perwakilan kelompok antara lain: - Memenuhi unsur kesamaan fakta, hukum dan tuntutan. - Memiliki bukti yang paling kuat dan menyakinkan. - Terpercaya (trustwaorthY) dan dihormati - Tidak mendahulukan kepentingan pribadi didepan kepentingan anggota kelas. - Mengakar dan mewakili pada masyarakat (legitimasi social) . 6 6. Mas Achmad Santosa, Pertanggungjawaban Perdata (Civil Liabilitjl), Makalah Tambahan dalam Ceramah Lingkungan Hidup, Pekanbaru, 23 Nopember 2000 Sahnya gugatan perwakilan kelompok dinyatakan melalui penetapan pengadilan sedangkan apabila dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan ditentukan melalui suatu putusan hakim (vide pasal 5 PERMA No. 1 tahun 2002). Bagi gugatan perwakilan kelompok yang dinyatakan sah, Hakim selanjutnya memerintahkan Penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim dengan cara sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 7 PER MA No. 1 tahun 2002 yaitu: a. Pemberitahuan melalui media massa baik cetak maupun elektronik. b. Pemberitahuan melalui pengumuman baik papan pengumuman maupun selebaran yang ditempatkan dikantor-kantor pemerintah seperti kelurahan, kelurahan atau desa dan kantor pengadilan. c. Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung kepada tiap individu anggota kelompok sepanjang yang dapat di identifikasi berdasarkan persetujuan Hakim dan sedapat mungkin praktis, efisien, efektif dan accesable. Dalam prosedur pemberitahuan (notifikasI) tersebut, anggota kelompok dalam waktu yang ditentukan oleh Hakim diberi kesempatan untuk menyatakan keluar dari anggota kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana diatur dalam lampiran PERMA No. 1 tahun 2002, dan bagi anggota yang menyatakan keluar dari anggota kelompok secara hukum tidak terikat dengan putusan pengadilan. Pada awal pemeriksaan persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara, Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui perdamaian. . 3. Putusan Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumalah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkahlangkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. Dalam tahap pendistribusian perlu diperhatikan antara lain: Transparansi administrasi penyelesaian.Keberadaan mekanisme pengawasan pelaksanaan. Kredibilitas para pengelola dana. 4. Beberapa contoh kasus gugatan Perwakilan Kelompok di beberapa negara. Sebagai gambaran mengenai jenis-jenis kasus yang dimungkinkan menjadi objek gugatan perwakilan kelompok, dibawah ini dikemukakan beberapa contoh kasus gugatan perwakilan kelompok yang pernah terjadi dibeberapa 7 negara , yaitu : - Di Amerika Serikat: Kasus Agent Orange (1987), yaitu gugatan yang diajukan oleh ribuan veteran perang Vietnam terhadap pemilik perusahaan/pabrik pembuat bahan kimia beracun yang sebut "Agent Orange' (sejenis dioxin) yang telah menimbulkan penderitaan/cacat fisik dan kerugian pada para Penggugat, dimana Hakim mengabulkan ganti rugi/kompensasi sebesar US $ 250,000,000. kepada para Penggugat. - Di Australia: Kasus Nixon V Philip Morris (Produsen Rokok) tahun 2000, yaitu gugatan Nixon yang mewakili sejumlah konsumen rokok produksi Philip Morris yang menderita gangguan kesehatan. - Di India: Kasus Bhopal (1985), yaitu gugatan yang diajukan oleh para korban kebocoran gas beracun dari perusahaan/pabrik kimia "Union Carbide". - Di Philipina: Kasus Minor Oposa 1993), yaitu gugatan yang diajukan oleh 41 anak-anak dibawah umur yang diwakili oleh orang tua mereka terhadap menteri Lingkungan Hidup Philipina tentang Pembatalan Rencana Penebangan Hutan (logging), dengan alasan karena penebangan hutan telah menimbulkan penderitaan dan kerugian Para Penggugat serta generasi yang akan datang. - Di Indonesia: Kasus rokok Bentoel Remaja (1988), yaitu gugatan yang diajukan Pengacara R.O. Tambunan, S.H. mewakili kepentingan masyarakat yang keberatan atas penggunaan nama rokok "Bentoel Remaja" karena dapat memancing minat konsumen rokok dikalangan remaja. Kasus demam berdarah (1988), yaitu gugatan yang diajukan oleh Muktar Pakpahan, S.H. mewakili masyarakat korban wabah demam berdarah di Jakarta. 111. HAK GUGAT ORGANISASI 1. Pengertian dan Ruang lingkup Secara umum hak gugat terhadap perbuatan melawan hukum dimiliki atau diberikan kepada seseorang (orang perorangan) dan badan hukum perdata karena doktrin perbuatan melawan hukum menganut asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum. Namun dalam perkembangan praktek hukum hak gugat tersebut dimiliki atau diberikan pula kepada organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (non governmental organisation) yang bergerak dibidang perlindungan lingkungan hidup, perlindungan konsumen dan bidang-bidang lain yang berkaitan dengan perlindungan atau dan kepentingan umum meskipun organisasi tersebut tidak dirugikan oleh perbuatan melawan hukum tersebut (non interest). Hak gugat organisasi diakui pertama kali melalui yurisprudensi di Amerika serikat pada tahun 1972 dalam kasus Sierra Club vs Morton. Yang melahirkan pengertian bahwa hak organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing (standing law), kemudian prinsipprinsipnya diterima secara luas di berbagai negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, hak gugat organisasi pertama kali diakui oleh peradilan pada tahun 1988, yaitu dengan diterimanya gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Penggugat yang ditujukan terhadap 5 (lima) Instansi Pemerintah dan PT Indorayon Utama (PT. lIU) selaku Tergugat, dalam kasus pencemaran/perusakan lingkungan hidup akibat limbah industri Pulp PT lIU di Sumatera Utara. Kemudian pada tahun 1997, Hak gugat Organisasi lingkungan hidup tersebut diakomodir/dimuat sebagai pengakuan hukum (legal recognition) dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dalam pasal 38 ayat (1) disebutkan: "Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup". Ketentuan tersebut selanjutnya diakui pula oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 2. Persyaratan Hak Gugat Organisasi Dalam Pasal 38 ayat (3) UU No,. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa orgasasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan yaitu : - Berbentuk badan hukum atau yayasan. - Dalam Anggaran Dasar Organisasi Lingkungan Hidup yang bersangkutan menyebutkan secara tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. - Telah melaksanakan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya. Dalam gugatan WALHI V. Presiden Republik Indonesia mengenai kasus pembatalan Surat Keputusan Presiden No. 42 tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman kepada Perusahaan Perseroan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT.IPTN), Majelis Hakim menerapkan pendapat Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, S.H. dan menetapkan persyaratan hak standing LSM yaitu : - Tujuan organisasi adalah benar-benar untuk melindungi lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dalam Anggaran Dasar Organisasi yang bersangkutan. - Bahwa organisasi tersebut harus berbentuk badan hukum ataupun yayasan. Bahwa organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata dimasyarakat. - Bahwa organisasi tersebut harus cukup representatif. 3. Mekanisme Bercara Hak Gugat Organisasi Organisasi yang telah memenuhi persyarartan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 38 ayat (1) UndangUndang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 tahun 2004 No. 23 tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan akan tetapi tuntutannya terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu (injl/ction) atau persyaratan hakim tentang suatu keadaan (dek/arasl) bukan berupa tuntutan ganti rugi (monetary sett/emenf), kecuali biaya perkara atau pengeluaran riil. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) mengacu pada ketentuan hukum Acara Perdata (Vide HIR Stb. 1941 No. 44 dan/atau Rbg. Stb. 1927 No. 227 Jo. Undang-Undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 tahun 2004 No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004 jo. UU No. 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum) Sedangkan gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara mengacu pada ketentuan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (vide UU no. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2004). 4. Beberapa Contoh Kasus Hak Gugat Organisasi diberbagai negara. Sebagai gambaran mengenai jenis-jenis kasus hak gugat organisasi/LSM yang sudah diakui oleh berbagai 8 negara, dibawah ini dikemukakan beberapa contoh kasus yang pernah terjadi dibeberapa negara, yaitu : Di Amerika Serikat: Kasus Environmental Study Group (ESG) V. Duke Power Co. (1978), dimana Penggugat yaitu ESG (sebuah organisasi lingkungan hidup) menggugat pembangunan industry nuklir yang dibangun oleh Tergugat didekat tanah Penggugat, serta mempersoalkan UU tentang tenaga nuklir dalam hal terjadi kecelakaan. Di Belanda: Kasus Nieuwe Meer (1986) dan Kuvaders (1.992) , dimana Hoge Raad Belanda memberikan hak gugat bagi OLH yang mempersoalkan penimbunan tanah dan bau cemaran lumpur (po//uted dredgings) yang diambil dari kanal-kanal di Amsterdam, karena OLH tersebut dianggap mempunyai kepentingan untuk mencegah tindakantindakan yang merusak daya dukung lingkungan. - Di Australia : Kasus Yates Security Services Pty. Ltd. V. Keating (1990), dimana Penggugat mempersoalkan pembangunan Industri yang mengancam sumber mata pencaharian organisasi mereka dibidang pariwisata dan penjualan barang-barang souvenir. - Di Idonesia : Selain kasus WALHI V. PT. nu (1.9980, kasus WALHI dkk V. Presiden RI (1994) di PTUN JKT, dimana Para Penggugat mohon pembatalan Keppres RI No. 42 tahun 1994 tentang Pinjaman kepada PT. IPTN yang menggunakan dana reboisasi hutan di Kalimantan. III. GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK KAITANNYA DENGAN KOMPETENSI PTUN. 1. DAN HAK GUGAT ORGANISASI DALAM Gugatan Perwakilan Kelompok di PERATUN Pada dasarnya ada dua pendapat mengenai gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan TUN, yaitu : a. Tidak dapat diajukan di Pengadilan TUN, yaitu: Bahwa tujuan utama gugatan perwakilan kelompok adalah untuk memperoleh ganti rugi (berupa uang) sedangkan gugatan di PTUN tujuan utamanya adalah untuk pembatalan/menyatakan tidak sah keputusan TUN, sehingga lebih tepat diajukan ke Peradilan Umum. Bahwa putusan peratun melekat azas \\ erga omnes', yaitu azas yang menyatakan putusan berlaku mengikat publik, sedangkan putusan perdata di Pengadilan Negeri hanya berlaku untuk para pihak saja, sehingga sengketa di PTUN didiperlukan gugatan massal karena pihak-pihak yang tidak untuk menggugat secara otomatis terikat dengan putusan peratun . b. Dapat diajukan di Peratun dengan alasan : Bahwa tuntutan ganti rugi tidak harus menjadi tuntutan utama gugatan Perwakilan Kelompok, dapat juga dengan tuntutan berupa pembatalan dan/atau peneritan keputusan TUN yang disertai tuntutan ganti rugi dan 'tniuction" yaitu tuntutan agar Tergugat melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berupa tuntutan agar Tergugat menunda pelaksanaan keputusan TUN yang digugat dan tuntutan agar Tergugat menerbitkan dan atau tidak menerbitkan keputusan TUN yang baru. Bahwa berlakunya azas F/erga omnes" tetap dapat digunakan dalam gugatan perwakilan kelompok , karena dengan gugatan massal akan memberikan akses pada keadilan (acces to just ice) dan memberi pengaruh/tekanan yang lebih ketat kepada Tergugat. Pendapat yang kedua tersebut senada dengan hasil Tim Perumus Diskusi Temu Ilmiah HUT Peratun ke XIII, tanggal 11 s/d 15 Januari 2004 di Medan, yang menyimpulkan bahwa pada prinsipnya gugatan perwakilan kelompok dapat diterapkandi Peratun dengan berpedoman kepada PERMA No. 1 tahun 2002 dan disesuaikan dengan hukum acara peratun dalam UU No. 5 tahun 1986, antara lain: a. Syarat pengajuan gugatan tidak didasarkan pada adanya kerugian, melainkan didasarkan pada adanya kepentingan sesuai dengan Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 9 tahun 2004. b. Prosedur penentuan dapat tidaknya suatu gugatan diajukan dengan perwakilan kelompok, ditentukan dalam pemeriksaan persiapan sesuai pasal 63 UU No. 5 tahun 1986. Apabila gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah dibuat dalam suatu penetapan, sedangkan apabila dinyatakan tidak sah dituangkan dalam putusan. c. Mengenai notifikasi juga dilakukan dalam tahap pemeriksaan persiapan dengan berpedoman pada ketentuan PERMA No. 1 tahun 2002. Penulis sendiri pada waktu bertugas di PTUN Pekan Baru, pernah menerima gugatan perwakilan kelompok yang diajukan oleh LSM Reformasi Perjuangan Rakyat Semesta Kabupaten Karimun yang bertindak untuk dirinya sendiri dan masyarakat Kabupaten Karimun yang minta pembatalan keputusan Bupati Karimun tentang Pemberian ijin tempat usaha karaoke dan diskotik atas nama Edi No. 17/SI/Ekom/1998, tanggal 12 Agustus 1998 karena diterbitkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar AAUPB karena didirikan ditempat pemukiman penduduk, dekat dengan tempat pendidikan dan tempat peribadatan, dalam perkara No. 26/G.TUN/2000/PTUN. PBR. Dalam gugatan tersebut Majelis Hakim mengabulkan gugatan perwakilan kelompok tersebut dengan alasan : - Memenuhi persyaratan numesority, yakni jumlah Penggugat demikian banyaknya meliputi penduduk Karimun. Memenuhi persyaratan community, yakni adanya kesamaan fakta, peristiwa dengan dasar hukum antara pihak LSM-RPRS Kabupaten Karimun dengan penduduk Karimun. Memenuhi persyaratan Typica/ity, yakni kesamaan tuntutan agar Bupati membatalkan SITU Karaoke dan Diskotik atas nama Edi. Memenuhi persyaratan Adequency of Representation, yakni kelompok perwakilan untuk melindungi kepentingan yang diwakili. Dalam mengabulkan kelayakan perwakilan didasarkan atas: - Berdirinya LSM-RPRS Karimun sudah lama (lebih dari 1 tahun) - Ada pengurusnya dan AD/ART. - Sudah sering melakukan kegiatannya di Kabupaten Karimun ( Representatif). Mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat Karimun hanya saja pada waktu itu oleh karena belum ada hukum acaranya yang baku, t-lajelis menggunakan Prosedur apt out, padahal tidak diperlukan karena mereka (Penggugat) tidak menuntut ganti rugi dan penetapan sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok dilakukan sesudah ada pembuktian dari para pihak. Namun demikian meskipun sampai saat ini mengenai gugatan perwakilan kelompok ke Pengadilan TUN belum diatur sedangkan gejala dalam masyarakat tentang gugatan tersebut sudah ada, maka pada saat itu penulis berpendapat gugatan perwakilan dapat diterima di PTUN dengan alasan: Pasal 14 dan Pasal 27 UU No. 14 tahun 1970 (sekarang UU No. 4 tahun 2004 ) tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyatakan "Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada/ kurang jelas hukumnya dan Hakim wajib menggali, mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat" Hakim dapat menerapkan Interpretasi futuristik dengan mengadopsi ketentuan PERMA No. 1 tahun 2002. 2. Hak Gugat Organisasi di Peratun. Dalam berbagai kegiatan diskusi dikalangan Hakim Peratun di seluruh Indonesai disepakati pada prinsipnya menerima gugatan legal standing dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan antara lain: a. Penjelasan Pasal 38 (3) UU No. 23/1997 yang menyiratkan antara lain : " .... keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan lingkungan hidup ke pengadilan baik ke Pengadilan umum maupun ke Pengadilan TUN, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud .. ", b. Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 tahun 1986, yang intinya pihak yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah seorang atau badan hukum perdata, dalam konteks ini maka suatu organisasi/ LSM asalkan berbentuk badan hukum perdata dan memenuhi persyaratan yang Sedangkan obyek sengketa yang dapat diajukan dalam gugatan hak organisasi adalah berupa keptusan TUN seperti keputusan tentang perizinan, sebagaimana dimaksud pasal 18-21 UU No. 23 tahun 1997. Mengingat berlakunya azas erga omnes di Peratun, dimana putusannya berlaku untuk umum maka yang paling efektif diterapkan adalah hak gugat organisasi (legal standing) karena di Peratun tuntutan utamanya bukan ganti rugi dan tidak diperlukan adanya prosedur notifikasi. V. KESIMPULAN - Gugatan perwakilan kelompok khususnya hak gugat organisasi sudah menggejala dalam masyarakat sekarang. - Peraturan mengenai gugatan perwakilan keiompok dan hak gugat organisasi di Peratun belum ada ketentuan yang mengaturnya. - Gugatan perwakilan kelompok khususnya hak hak gugat organisasi dapat diterima di Peratun dengan landasan pasal 14 dan 27 UU No. 14 tahun 1970 (sekarang UU No. 4 tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman. - Gugatan perwakilan kelompok khususnya hak gugat organisasi (legal standing) di Peratun dapat memberlakukan hukum acara dalam PERMA No. 1 tahun 2002 dengan penyesuaian-penyesuaian UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. BAHAN BACAAN A. BUKU 1. Jan Bowe, Legal System, The Macquarie University, New South Wates, 1987. 2. Mas Achmad Santosa, SH.,LLM, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (class action) dan Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing), Seri Informasi Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 1997. 3 Mahkamah Agung RI, Hasil Rumusan Temu Ilmiah dalam rangka HUT Peratun XIII, tanggal 11-15 Januari 2004 di Medan. 4 Paulus E. Lotulung, SH.,Prof.,Dr, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1993. 5 Susanti Adi Nugroho, SH.,M.H., Refleksi Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) di Indonesia, Makalah Program Pelatihan Kehakiman Indonesia, di Denpasar, 3A Pebruari 2004. 6. Priatmanto Abdullah, SH, Class Action, Legal Standing dan Judicial Review dalam Kaitannya dengan Kompetensi Peratun, Makalah Bintek Pemprop Bali, 12-17 Juli 2004. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 3. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 5. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 6. PERMA No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. by. ika......................