Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 PILIHAN HUKUM MASYARAKAT TIONGHOA DALAM PENYELESAIAN PEMBAGIAN WARIS DI PEKALONGAN Oleh : Isti Sulistyorini, SH Abstrak : Proses pewarisan sewaktu pewaris masih hidup bagi masyarakat Tionghoa adalah termasuk pemberian orang tuanya berupa sejumlah uang, emas murni, rumah atau tempat usaha sebagai modal usaha putranya dan bagi anak perempuan yaitu waktu ia menikah orang tua kandungnya memberikan sejumlah hadiah yang iasanya berupa emas sebagai bekal hidup atau cidera mata sehingga ketika ia masuk kekerabatan suaminya diharapkan tidak diremehkan. Proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia seluruh harta peninggalan dilimpahkan kepada anak tertua yang biasanya adalah anak laki-laki sulung. Sebenarnya pewarisan setelah pewaris meninggal dunia merupakan kesinambungan dari proses pewarisan ketika orang tuanya masih hidup. Dimana seluruh harta peninggalan dilimpahkan kepada anak tertua atau yang dituakan dan dianggap paling mampu untuk mengendalikan kekayaan serta mengurus dan membesarkan adik-adiknya hingga dewasa. Kata Kunci : Pewaris, Warisan, Pembagian Waris A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui bahwa negara kita merupakan suatu negara yang sedang berkembang, dimana terdapat banyak masalah yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan timbulnya masalah dalam tatanan kehidupan masyarakat, maka harus ada usaha untuk memecahkannya karena masalah tersebut membutuhkan pemikiran yang sangat mendalam dan relative cukup lama. Diantara masalah yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat khususnya di negara Republik Indonesia adalah mengenai “Hukum Waris” yang mana kita sering mendengarnya. Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka untuk menyusun hukum nasional diperlukan adanya konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat. 35 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting untuk memperoleh bahanbahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kearah unifikasi hukum terutama akan dilaksanakan melalui pembentukan perundangundangan. Bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dengan adat dan istiadat yang berbeda-beda, mempunyai corak yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu negara Indonesia sebagai negara kesatuan mempunyai wilayah hukum adat yang berbeda sesuai dengan alam pikirannya masing-masing. Dalam rangka pembentukan Hukum Nasional, hukum adat memegang peranan penting yang harus dikaji dan diperhatikan agar didalam pembentukan hukum yang baru senantiasa sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, selama kita belum mempunyai undangundang tentang waris sebagaimana halnya telah ada undang-undang Pokok Perkawinan No. 1/1974, maka 36 sebagai tindak lanjut berikutnya dipandang perlu segera dibentuk undang-undang tentangwaris yang bersifat nasional. Salah satu unsur hukum adat guna pembinaan hukum waris nasional adalah Hukum Waris Adat. Bahan-bahan hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan melakukan penelitian kepustakaan maupun penelitian dilapangan untuk mengetahui apakah dari berbagai ragam sistem dan asas-asas hukum waris adat yang terdapat di seluruh Nusantara dapat dicari titik temu dan sesuaiannya dengan kesadaran hukum nasional. Hukum waris adat mencakup bidang materi hukum yang luas dan perlu mendapat perhatian guna memungkinkan pengakomodasiannya dalam hukum waris nasional nantinya. Untuk itu perlu adanya usahausaha yang kontinyu dan terpadu untuk meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan tata hukum nasional. Negara Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang penduduknya terdiri dari beraneka ragam suku bangsa dan masing-masing mempunyai Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 kebiasaan dan kebudayaan. Halhal tersebut berkembang selaras dengan perkembangan masyarakatnya. Guna memperoleh bahan-bahan yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, perlu diadakan penelitian yang seksama dan mendasar. Kalau kita membicarakan hukum adat di Jawa Tengah, khususnya Kota Pekalongan maka tidak akan terlepas faktor penduduknya yang beraneka ragam suku bangsa diantaranya warga Tionghoa atau warga negara Indonesia keturunan. Di Jawa Tengah pada umumnya dan Kota Pekalongan pada khususnya, warga Tionghoa memiliki suatu adat kebiasaan yang cukup unik dalam pelaksanaan pewarisan. Seharusnya didalam hal pewarisan orang-orang Tionghoa tunduk pada hukum perdata barat, namun dalam pelaksanaannya kebanyakan mereka tidak mempergunakan hak yang berlaku sebagaimana mestinya. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti factor-faktor yang mempengaruhi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa di Pekalongan tidak semuanya tunduk pada hukum perdata barat didalam hal pewarisan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka peneliti akan menguraikan permasalahan dan persoalan kedalam suatu penelitian yang berjudul ” Pilihan Hukum Masyarakat Tionghoa Dalam Penyelesaian Pembagian Waris di Pekalongan ”. B. Perumusan Masalah Warga negara Indonesia keturuna Tionghoa sering melakukan kebiasaan yang unik dalam hal pewarisan dan sangat erat hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Jawa Tengah khususnya Pekalongan. Maka secara garis besar dapat dirumuskan permasalahan pokok yang penting yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan hukum di dalam pewarisan bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa ? 2. Apakah proses pembagian harta warisan dilaksanakan sebelum atau sesudah pewaris meninggal dunia ? 37 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 3. Siapa saja digolongkan waris ? yang dapat sebagai ahli C. Metodologi Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tehnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena penelitian merupakan sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metode penelitian menjadi sangat penting untuk mengarahkan bagaimana suatu penelitian yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka metode penelitian yang dipergunakan peneliti dalam penelitian ini ialah : 38 1. Metode Pendekatan Penelitian ini memakai metode pendekatan yuridis sosiologis. Yang mana dalam penelitian ini penulis telah mengadakan penelitian dengan berdasarkan peraturan undang-undang dan interview dengan praktisi hukum dan tokoh-tokoh non formal masyarakat, khususnya mengenai pewarisan dikalangan masyarakat Tionghoa Pekalongan. 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah secara deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan kenyataan yang akan terjadi dalam praktek sehari-hari dalam hal pewarisan bagi masyarakat Tionghoa. 2. Metode Sampel Bahwa penelitian menggunakan metode purposive non random sampling. Dalam purposive sampling pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 sebelumnya. Sebutan purposive menunjukkan bahwa teknik ini digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.1 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini disusun berdasarkan data yang diperoleh selama dalam penelitian, adapun data yang diperlukan untuk menyusun penelitian ini adalah dengan mengunakan metode kepustakaan dan metode wawancara (Interview) 4. Metode Analisa Data Metode analisa data dilaksanakan setelah semua data terkumpul, baik data primer maupun data sekunder atau data yang diperoleh dari kepustakaan selanjutnya dianalisa dengan berdasarkan pada peraturan-peraturan hukum, maupun teori-teori hukum yang ada kaitannya dalam rangka menjawab pokok-pokok masalah serta tujuan penelitian. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Sekilas Tentang Masyarakat Tionghoa Menurut sejarah yang diketahui, masyarakat Tionghoa telah berada di Jawa Tengah pada tahun 1704 yaitu dengan dibangunnya kelenteng Sam Poo Kong di daerah Simongan (kawasan Gedung Batu) Semarang dan dipugar pada tahun 1724 karena bencana alam.2 Fakta sejarah Indonesia, ketika bala tentara Jepang mendarat di Tuban dan mendekati Surabaya kelompok pertahanan yang dibentuk oleh rakyat Indonesia dan Etnis Tionghoa sampai melakukan perlawanan, tetapi mundur karena kalah kekuatan. Setelah tentara Jepang menduduki Pulau Jawa, segera melakukan penangkapan atas Etnis Tionghoa yang anti Jepang dan cinta negeri, mereka pada umumnya adalah tokoh Etnis, guru, dokter, jurnalis, redaktur dan 2 1 Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, Jilid 1, Andi Offset, Yogyakarta, 1993, Halaman 83. Hembing Widyakusuma, Nilai dan bukti sejarah Misis Perjalanan Sam Poo Kong, Penerbit SM, Semarang 2 Maret 2000, Halaman VII 39 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 menggalang dana anti Jepang, aliansi besar itu mendirikan pabrik kueh, sabun, kopi, kwaci dan teh untuk menyumbang dana bagi 3 gerakan anti Jepang. sebagainya. Pada bulan Februari 1943, tentara Jepang di Serang mendirikan kamp konsentrasi untuk menampung tawanan perang Etnis Tionghoa sekitar 521 orang. Dan pada tanggal 15 Februari 1944 mereka dipindahkan ke kamp konsentrasi internasional Cimahi. Di kamp tawanan perang ini, berisi tawanan perang dari 30 negara sejumlah 9.436 orang dan diantaranya adalah Etnis Tionghoa sejumlah 519 orang. Untuk mendukung perang anti Jepang, Etnis Tionghoa Surabaya pada tahun 1943 mendirikan Barisan Pelopor Bangsa, di Batavia berdiri Barisan Pelopor Budaya, Etnis di Semarang, Bandung dan lainlain. Organisasi ini saling berhubungan tetapi tidak ada badan pimpinan bersama. Untuk memperkokoh persatuan, pada tahun 1943 di Garut dibuka konggres berbagai organisasi anti Jepang di Jawa dan mengeluarkan seruan ”Bersatu dengan rakyat Indonesia melawan Jepang”. Untuk Fakta – fakta tersebut di atas perlu di ketahui oleh semua yang peduli pada fakta sejarah berdirinya Negara Indonesia, khususnya peran Etnis Tionghoa Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Seperti kita maklumi, sejak era orba peran etnis Tionghoa digelapkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia maka dari itu tidak heran jika ada yang mengejek Tionghoa Cuma ”numpang” di sini. Tetapi setelah membaca tulisan di atas, ”anda” tidak perlu minder lagi menjadi Tionghoa Indonesia. a). Sejarah Masyarakat Tionghoa Pekalongan Pada umumnya orang Tionghoa yang ada di Pekalongan bersal dari daerah-daerah propinsi lain Indonesia dan boleh disebut sebagai Tionghoa 3 40 Sinergi, Edisi 23, tahun 2000, halaman 21 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 perantauan yang berasal dari berbagai suku di negera China, keberadaannya tidak seperti halnya etnis Tionghoa di kepulauan Kalimantan dan Sumatera yang biasa mengklaim nenek moyangnya berasal dari Kwantung dan Fukian. Karena komunitas Tionghoa Pekalongan tidak begitu banyak atau relatif kecil maka hanya dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar masyarakat, yaitu : 1) Masyarakat Tionghoa Totok (Khek) atau dalam sehari-hari disebut Singkek. 2) Masyarakat Tionghoa Peranakan (Keturunan) atau lazimnya disebut babah.4 Masyarakat Tionghoa Pekalongan cukup kuat dengan segala tradisinya, ikatan-ikatan suku dan keturunannya dirasa masih perlu khususnya dalam situasi 4 Young Fu Swee, Nara Sumber, Sultan Agung 208, Pekalongan menghadap tantangan pergaulan di masyarakat. Kedatangan masyarakat Tionghoa di Pekalongan membawa serta tradisi kehidupan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat asal mereka dan sikap fanatisme terhadap tradisi leluhurnya. Dimanapun masyarakat Tionghoa berada, pedoman dan landasan kehidupan sosio kulturnya selalu berpatokan pada sejarah tokoh-tokoh ahli pikir di negeri leluhurnya. Idiologi yang berkiblat pada negeri leluhurnya sangat berpengaruh terhadap masyarakat Tionghoa perantauan. Ajaran-ajaran yang banyak memberikan pengaruh pada perkembangan dasar berpikir, pandangan hidup dan falsafah masyarakat. Tioonghoa adalah : Tooisme, Bhudhisme dan Kong Hu cu. Menurut Tooisme, tempat individu tidak begitu penting jika dibandingkan dengan 41 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 kepentingan keluarga dan keluarga besar merupakan struktur dasar sosial. Kewajiban seseorang bukan langsung untuk dirinya sendiri atau bangsa dan negara, melainkan hanya diperuntukkan bagi kelaurga besarnya. Keluarga merupakan tempat berlindungan dari segala pengaruh luar, hubungan keluarga terjalin sangat erat sehingga pengaruh dari luar sangat sulit sekali mempengaruhi tata kehidupan masyarakat Tionghoa. Oleh karenanya masyarakat Tionghoa terkenal sebagai masyarakat yang paling realis, dalam pengertian mereka selalu menutup diri dari pengaruh ras lain dan selalu menjaga kemurnian rasnya. Di dalam mempersatukan masyarakat Tionghoa dimana saja dan agar merek atetap ingat negara leluhur serta nenek moyangnya, Kong Hu Cu mengajarkan tentang asas 42 Familisme. Rasa kesatuan keluarga ini tidak hanya terbatas pada dari satu negara dimana mereka menetap tetapi juga meliputi masyarakat Tionghoa di seluruh dunia dimana mereka merantau dan menetap. Banyak yang menarik dari kehidupan masyarakat Tionghoa dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, karena kepercayaan masyarakat Tionghoa erat sekali dengan sistem kebudayaan dan sosial mereka. Agama dan kepercayaan di negara leluhur dahulu sangat mempengaruhi sistem sosial masa itu. Tiga unsur yang menonjol dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa adalah : Too, Kong Hucu dan Budha China. Pada Too banyak dihubungkan dengan kewajiban manusia, yaitu manusia sebagai individu dalam hubungannya dengan alam semesta. Pahak Kong Hu Cu Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 dikaitkan dengan perhatiannya terhadap masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan dalam Budha dikaitkan antara hubungan manusia sebagai individu dengan keadaan masa depan yaitu Nirwana serta alam semesta. Ketiga paham tersebut diartikan Tri Dharma (Saw Kaw). Pada saat ini nampaknya orang Tionghoa yang berorientasi ke negara leluhur semakin berkurang dan sudah banyak membaur dengan putra daerah dan banyak pula yang beragama Kristen dan Islam. b). Adat Istiadat Masyarakat Tionghoa Pekalongan Masyarakat Tionghoa yang ada di Pekalongan bertempat tinggal di kota maupun di desa atau di perkampungan, di lingkungan masyarakat selalu ada kuil. Kuil ini biasanya memiliki bentuk yang khas dan unik karena kaya dengan ornamen- ornamen dan ukiran khas Tionghoa. Kuil ini bukanlah merupakan tempat ibadah tetapi hanya merupakan tempat untuk meminta berkah dan tempat bersyukur. Untuk itu mereka membakar dupa (hio) kepada dewa yang diyakini melindunginya dan besar kecilnya kuil tergantung kepada kemampuan umatnya untuk membangun dan pemeliharaannya yaitu Kuil (Klenteng) Po An Thian yang terletak di jalan Blimbing No. 3 Pekalongan. Adat istiadat masyarakat Tionghoa Pekalongan mayoritas masih mengikuti adat istiadat leluhurnya, terutama adat istiadat yang setiap tahun dirayakan misalnya tahun baru Imlek merupakan tahun baru tradisional orang Tionghoa berdasarkan sistem penanggalan bulan-bulan, kini di RRC disebut Pesta Musim Semi. Tahun baru 43 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Imlek bagi orang Tionghoa di seluruh Indonesia tetap dirayakan dan tahun 2007 ini sangat terasa sekali di Pekalongan. Pada hari itu dilakukan sembahyang tahun baru di kuil atau di depan meja abu. Sembahyang ini harus dilakukan sebersihbersihnya, bukan hanya bersih secara lahir namun juga secara batinnya. Dimeja abu disediakan kue keranjang. Pada tahun baru Imlek orang tidak boleh mengucapkan katakata kotor dan kasar. Dalam bulan ketiga tarikh Imlek jatuh hari raya yang disebut Cheng Beng (Bersih Terang). Pada hari itu masyarakat Tionghoa berziarah ke makam leluhurnya untuk dibersihkan dan dirawat seperlunya. Masyarakat Tionghoa di Pekalongan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yakni : 1. Masyarakat Tionghoa Totok (Khek) Masyarakat Tionghoa Totok adalah orangorang Tionghoa yang lahir di negara China dan masih berbahasa China. Kebanyakan mereka adalah imigran dalam abad 20. Keturunan mereka yang lahir sebelum perang dunia ke dua masih berkebudayaan totok tetapi yang lahir setelah ditutupnya sekolah China sudah lebih mirip 5 peranakan. 2. Masyarakat Tionghoa Peranakan (Babah) Masyarakat Tionghoa Peranakan adalah orang-orang Tionghoa yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia yang kebudayaannya telah dipengaruhi oleh Indonesia. Orangorang peranakan memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan 5 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, PT. Grafiti Pers, Juni 1984, Halaman 170 44 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 umumnya telah hilang kepandaiannya menggunakan bahasa China.6 2. Penerapan Hukum di Dalam Pewarisan Masyarakat Tionghoa Totok tergolong menganut sistem pewarisan individual patrilineal atau sistem mayorat patrilineal. Mereka yang menganut sistem pewaris individual patrilineal dalam hal pembagian warisan dibagibagikan diantara para ahli warisnya, tetapi hanya ahli waris laki-laki saja yang berhak mendapatkan warisan. Sedangkan yang menganut sistem pewarisan mayorat patrilineal, harta warisan tidak dibagi-bagikan tetapi dilimpahkan kepada seorang ahli waris saja dan biasanya adalah anak laki-laki tertua. Karena menurut adat Totok, anak perempuan tidak dihargai, bahkan ada pepatah dari pada punya anak perempuan lebih baik pelihara ayam. Masyarakat Tionghoa peranakan seharusnya 6 memakai siostem pewarisan individual parental. Dimana dalam hal pembagian warisnya dibagi-bagi diantara para ahli waris laki-laki dan perempuan. Mereka mendapat bagian yang sama dari harta warisan orang tuanya. Dalam hal tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Tetapi pada kenyataannya ada pula yang menganut sistem pewarisan seperti golongan Khek (Totok) yaitu sistem pewarisan yang mayorat patrilineal. Dalam hal ini agar dimaklumi karena sebenarnya posisi golongan Babah (peranakan) agak sulit, sebab untuk dikatakan China sudah tidak bisa lagi berbahasa China, akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, umumnya juga disebut China. Pada sebagian masyarakat Tionghoa generasi tua, struktur kekerabatannya berdasarkan garis keturunan patrilineal dan sistem pewarisan yang mereka anut adalah sistem pewarisan mayorat laki-laki. Di dalam sistem ini harta tidak ada pembagian harta warisan Ibid, Halaman 226. 45 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 tetapi kekayaan pewaris dilimpahkan kepada anak lakilaki tertua yang bertugas sebagai kepala rumah tangga atau kepala keluarga yang menggantikan kedudukan orang tuanya. Sebagai anak laki-laki tertua juga berkewajiban untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan dan kerukunan seluruh keluarga sampai semua ahli waris menjadi dewasa, mempunyai keluarga (menikah) dan berdiri sendiri (mandiri). Dalam perkembangannya, sekarang pada umumnya masyarakat Tionghoa tidak lagi menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki melainkan sistem pewarisan individual. Akan tetapi ada juga masyarakat Tionghoa, Totok khususnya yang masih menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki tetapi itu hanya sebagian kecil saja. Karena di dalam sistem individual pembagian harta warisan dirasa yang paling adil karena setiap ahli waris berhak mendapatkan pembagian harta warisan 46 menurut bagiannya masingmasing sehingga tidak ada yang merasa dianaktirikan. 3. Proses Pewarisan Proses pewarisan adalah berpindahnya harta kekayaan dari pewaris kepada keturunannya baik pada waktu pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal dunia. Proses pewarisan pada waktu pewaris masih hidup bagi masyarakat Tionghoa kebanyakan masih meniru adat istiadat leluhurnya, dimana seluruh harta peninggalan diwariskan atau dilimpahkan kepada anak lakilakinya saja. Sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan bagian harta warisan. Bagi orang Tionghoa yang sudah menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat, harta peninggalan bisa dibagi rata sesuai dengan bakat masingmasing ahli waris tanpa membedakan antara anak lakilaki dan anak perempuan. Proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia seluruh harta peninggalan dilimpahkan kepada anak tertua yang Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 biasanya anak laki-laki sulung. Selanjutnya anak lakilaki inilah yang akan mengurus harta peninggalan termasuk mengurus dan membesarkan adik-adiknya hingga dewasa. Dalam proses ini dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu : 1. Proses pewarisan sebelum pewaris meninggal dunia. a. Dengan cara hibah hibah adalah suatu bentuk pemberian dari pewaris semasa hidup kepada ahli warisnya dan pemberian ini termasuk dalam pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan pada waktu pewaris masih hidup pada umumnya dilakukan karena pewaris merasa tidak cakap lagi untuk menjalankan usahanya dan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percekcokan diantara para ahliwarisnya, apabila harta kekayaan tersebut diserahkan kepada mereka sendiri setelah pewaris meninggal dunia. Dalam hal ini Soerojo Wigjodipuro mengatakan : ”Termasuk dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anakanak yang akan kawin mendirikan rumah tangga baru, misalnya pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah dan pekarangan tertentu, bidangbidang kebun atau sawah, untuk lakilaki dan perempuan yang akan berumah tangga”.7 7 Soerojo, Pengantar dan Azas Hukum Adat, PT. Gunung Agung, Jakarta, 2002, Halaman 106. 47 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Dalam penghibahan, barangbarang yang sudah diberikan kepada ahli waris dapat langsung dikuasai oleh ahli waris tersebut sepenuhnya menjadi hak milik atas barang itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hibah menurut masyarakat Tionghoa Pekalongan sama dengan hibah yang berlaku pada masyarakat adat setempat, yaitu bahwa hibah termasuk dalam pembagian warisan yang dilaksanakan sebelum orangtua atau pewaris meninggal dunia. Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hibah tidak termasuk dalam pembagian warisan tetapi hanya merupakan pemberian Cuma-Cuma selama hidupnya pewaris, 48 seperti disebutkan dalam pasal 922 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : Memindahkan tangankan sesuatu kebendaan kepada salah seorang waris keluarga sedarah dalam garis lurus, baik dengan pembebanan bunga cagak hidup, maupun dengan menjanjikan hak pakai hasil, harus dianggap sebagai pemberian atau penghibahan. b. Dengan cara wasiat Surat wasiat adalah semacam dokumen yang berisikan pesan dari pewaris yang ditujukan kepada ahli warisnya, tentang apa yang dikehendaki terhadap harta warisan yang akan ditinggalkannya setelah ia meninggal dunia. Mengenai proses pewarisannya juga harus sesuai dengan apa yang diatur dalam surat wasiat. Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Surat wasiat ini dibuat dan disimpan oleh pewaris sendiri dengan sepengetahuan istrinya, ini dimaksudkan agar kelak apabila jand atersebut sudah tua dan merasa saatnya sudah tiba maka ia dapat memberitahukan kepada anak-anaknya tentang adanya surat wasiat tersebut dan menjelaskannya. Pada umumnya pembuatan surat wasiat ini tanpa sepengetahuan anakanaknya. Didalam pembagian warisan dengan wasiat selama pewaris masih hidup, surat wasiat ini dapat dirubah atau dicabut kembali dan surat wasiat ini baru berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Biasanya surat wasiat ini dibuat agar dalam pembagian harta warisan nantinya tidak menimbulkan perselisihan diantara ahli warisnya. 2. Proses Pewarisan Setelah Pewaris Meninggal Dunia Bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan, harta tersebut akandiwariskan kepada ahli warisnya dan persoalannya kapan harta peninggalan itu dibicarakan dan dibagikan. Pada umumnya yang terjadi di kalangan masyarakat Tionghoa Pekalongan, pewarisan terbuka setelah selesai diadakannya penguburan jenazah dan selamatan. Selamatan bagi masyarakat Tionghoa yang meninggal dunia biasanya diadakan pada waktuwaktu tertentu, yaitu selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, satu tahun dan dua tahun setelah meninggalnya pewaris. Menurut adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Tionghoa di Pekalongan, 49 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 pembicaraan dan pembagian harta peninggalan biasanya dilakukan setelah selesainya selamatan tujuh hari sejak meninggalnya pewaris. Pada hakekatnya didalam pembagian harta warisan adalah berdasarkan atas kerukunan di antara ahli waris, maksudnya dalam pembagian waris itu mereka tidak semata-mata memperhitungkan secara ilmu pasti berdasarkan harga dari harta kekayaan yang dibagikan kepada mereka masing-masing, yang penting mereka menerima bagian yang layak. Dan apabila keluarga yang ditinggalkan oleh pewaris masih tetap berkumpul dan mengelola bersamasama harta peninggalan tersebut, misalnya; janda dan anak-anak masih membutuhkan harta tersebut maka harta warisan tidak dibagi-bagi. 50 Di dalam pembagian harta warisan, masyarakat Tionghoa Pekalongan juga memperhitungkan harta kekayaan pewaris yang telah diberikan kepada anak-anaknya sewaktu pewaris masih hidup. Sehingga ada kemungkinan yang diterima oleh salah seorang ahli waris pada waktu itu dianggap sudah cukup, maka ahli waris tersebut tidak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Namun bila dirasa masih ada kekurangan karena dianggap harta pewaris cukup banyak maka ahli waris tersebut masih mendapatkan bagian lagi. Dari uraian tentang proses pewarisan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa di Pekalongan condong menganut adat istiadat pewarisan masyarakat setempat. Tetapi secara yuridis tidak tunduk kepada Kitab Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Undang-Undang Hukum Perdata. Pada dasarnya menurut sistem hukum waris Kitab UndangUndang Hukum Perdata, atas suatu pewarisan harus memperlakukan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang, terkecuali pewaris telah mengambil keputusan lain yang dituangkan dalam bentuk surat wasiat. Ketentuan tersebut disimpulkan dari pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi pada dasarnya untuk kalangan Tionghoa seharusnya dalam hal pewarisan berdasarkan Undangundang (Hukum Waris) kecuali pewaris dengan tegas melakukan penyimpangan dari hal itu, tetapi tetap dalam batasbatas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang dan pembagian warisan berdasarkan testamentair (surat wasiat) didahulukan dari pada pewarisan ab- intestato (karena kematian atau tanpa wasiat). Kenyataan yang ada di masyarakat, pada umumnya di kalangan Tionghoa lebih senang memakai sistem waris adat dalam hal pewarisan. Karena sudut pandang hukum waris adat mengenai harta warisan dan cara-cara pembagiannya dipandang lebih cocok dengan pola pikir dan prinsip kehidupannya, seperti dalam hal harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan pengeuasaan dan pemilikannya kepada para ahli waris tetapi ada pula yang bisa dibagikan. Jadi harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris dan tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi masih dapat dipakai dan dinikmati bersama-sama, tentu saja hal ini bertentangan dengan pasal 1066 Kitab UndangUndang Hukum Perdata 51 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 pada alinea pertama, yaitu : ”Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta waris peninggalan diwajibkan menrima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi” Sudah barang tentu jika pasal tersebut benarbenar dipraktekkan maka akan merepotkan keluarga pewaris itu sendiri sedangkan kalangan Tionghoa sedapat mungkin menghindarkan diri dari hal-hal yang merepotkan dan hal-hal yang terlalu birokratis. Hal ini tercermin dari semboyan berbahasa mandarin : ”Quan chia he wan shi xing” yang artinya kerukunan kerukunan semua anggota keluarga akan memperlancar segala urusan.8 Maka hal ini sangat cocok dengan corak-corak hukum adat, yaitu mengutamakan sifat8 Budi Santoso, Garuda NCWS, Edisi VII, Januari 2004, Halaman 16. 52 sifat keterbukaan, sikap jujur dan bisa saling menerima dan memberi, saling menghargai satu sama lain dan dengan ketulusan hati dapat memahami posisi masingmasing. 3. Ahli Waris a. Anak Kandung Pada umumnya suatu perkawinan akan menghasilkan anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus dari orang tuanya. Anak – anak dari pewaris merupakan golongan ahli waris utama, baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan. Dalam hubungannya dengan sistem kewarisan mayorat laki-laki ini, Sayuti Thalib mengatakan: ”Orang China yang masih mengenal sistem waris asli mereka adalah pewaris dalam bentuk semacam kewarisan mayorat lakilaki atau anak tertua membulati semua harta dengan kewajiban memelihara dan mendidik Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 adik-adiknya sampai 9 dewasa atau kawin. Pada masyarakat Tionghoa Pekalongan khususnya, golongan Tionghoa Totok masih menganut adat istiadat leluhurnya. Mereka menganut sistem kekrabatan patrilineal, yaitu sistem yang lebih mengutamakan anak lakilaki dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai penerus marga (Fam) atau keturunan orang tuanya yang mana dalam istilah Tionghoa di sebut She (marganya). Sedangkan anak perempuan dianggap sebagai anak yang hilang atau anak orang lain setelah menikah karena mengikuti suami. Setelah , menikah ia akan melepas marga (Fam) ayahnya dan mengikuti marga suaminya dan menjadi anggota kerabat atau 9 Sayuti, Lima Serangkai Tentang Hukum (Hubungan antara hukum Islam dengan hukum Tanah, hukum Kewarisan dan hukuym Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 2002, Halaman 18. keluarga pihak suami. Jika orang tuanya meninggal dunia, anak laki-laki tertua bertindak sebagai ahli waris dan berkewajiban mengurus adik-adiknya sampai dewasa atau sudah dapat mandiri. Jadi disamping ia mewarisi harta orang tuanya, ia juga mewarisi wewenang dan tanggungjawab orang tuanya. Bagi masyarakat Tionghoa peranakan kebanyakan sistem kekerabatannya sudah mengikuti sistem kekerabatan masyarakat adat setempat yaitu sistem kekerabatan parental. Dalam hal pewarisan mereka sudah tidak lagi membedakan jenis kelamin dalam hal pembagian harta warisan, kecuali bagi anak perempuan yang sudah berkeluarga. Anak perempuan tersebut biasanya tidak dapat bertindak sebagai ahli waris dari orang tuanya, oleh karena kehidupannya 53 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 telah ditopang suaminya. Pewarisan antara para ahli waris akan mendapat bagian masing-masing dan ini tidak harus sama ratasama besar karena pembagian tersebut berdasarkan atas kerukunan diantara para ahli waris dan juga tergantung dari kebutuhan maupun kerja masingmasing ahli waris. b. Anak Angkat Apabila ternyata didalam suatu perkawinan tidak mendapat keturunan, kebanyakan dari pasangan suami –istri akan mencari jalan keluar siapakah yang akan meneruskan atau mewarisi semua harta kekayaannya kelak apabila sudah tua maupun setelah meninggal dunia. Berdasarkan pemikiran yang demikian apabila selama didalam perkawinan tidak mendapat keturunan, maka mereka berusaha untuk mendapatkan anak dengan cara yang umum yaitu 54 mengangkat anak dari keluarga lain atau kerabat dekatnya. Pada umumnya di dalam pengangkatan anak masyarakat Tionghoa cenderung mengangkat anak laki-laki dari pada perempuan, meskipun kadang kala ada juga yang mengangkat anak perempuan walaupun hal ini jarang terjadi. Anggapan masyarakat Tionghoa anak laki-laki adalah penerus dari marga (Fam) orang tua angkatnya sehingga ada generasi penerus marganya. Jika anak perempuan yang diangkat sebagai anak maka nantinya ia akan mengikuti marga sang suami stelah menikah. Kedudukan anak angkat dan anak kandung di daerah Pekalongan agak berbeda di dalam hal pewarisan. Dimana anak angkat tidak mutlak mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya kecuali dengan surat wasiat atau Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 testament. Karena apabila pewaris atau orang tua angkatnya meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat atau testament, maka secara yuridis anak angkat tidak dapat bertindak sebagai ahli waris yang sah. Namun demikian biasanya anak angkat juga akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya berupa suatu pemberian atau modal usaha.Dalam hal pewarisan, putuslah hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, karena anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan orang tua angkatnya saja. Bahkan pada umumnya anak angkat tersebut tidak mengetahui siapa orang tua kandung yang sebenarnya, karena ia diangkat sebagai anak sejak kecil atau masih bayi. Jika pada suatu saat orang tua angkatny ameninggal dunia mak ia dapat bertindak sebagai ahli waris dengan testament, sebab apabila tanpa testament maka ia tidak dapat bertindak sebagai ahli waris. Setelah adanya testament yang ditunjukkan kepada anak angkat yang bersangkutan maka bagian warisan antara anak angkat dengan anak kandung adalah sama. Karena pada dasarnya anak tersebut sudah diangkat secara sah (adopsi) menurut hukum yang berlaku. c. Anak Luar Kawin Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar ikatan perkawinan yang sah oleh ibu yang melahirkannya dengan laki-laki yang membenihinya secara biologis. Keberadaan anak tidak sah, jarang ada di Pekalongan, karena apabila ada seorang wanita yang hamil di luar nikah maka akan segera dikawinkan dengan lakilaki yang meghamilinya ataupun laki-laki lain yang mau menggantikan status 55 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 suami bagi perempuan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kelak anak itu lahir mempunyai ayah dan aibnya tertutup. Jika sampai terjadi, ada anak lahir tanpa ayah yang sah maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan anak tersebut tidak berhak mewarisi dari ayah kandungnya. Anak luar kawin tersebut dapat mewarisi dari ayah kandungnya dengan catatan apabila ada pengakuan dari ayah kandungnya. Untuk lebih jelasnya, syarat agar anak luar kawin dapat mewarisi, maka anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yait asasnya adalah hanya bagi mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris sajalah yang berhak mewarisi menurut Undang-Undang dan 56 hubungan tersebut justru lahir karena pengakuan dan asas tersebut dapat disimpulkan dari pasal 280, 285 dan 286 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan besarnya hak bagian anak luar kawin biasanya berdasarkan pasal 863 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Jika anak luar kawin diakui mewarisi bersama golongan I (anak, janda atau duda) maka bagiannya adalah =1/3 kali bagian, seandainya ia anak sah. 2. Jika anak luar kawin diakui mewarisi bersama golongan II (orang tua bapak/ibu dan keturunannya) maka bagiannya adalah =1/2 kali bagian, seandaianya ia anak sah. 3. Jika anak luar kawin diakui mewarisi bersama golongan III Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 (nenek, kakek atau leluhur lainnya dalam garis ke atas) maka bagiannya adalah = ½ x bagian, seandainya ia anak sah. 4. Jika anak luar kawin diakui mewarisi bersama golongan IV (sanak keluarga di dalam garis ke samping sampai tingkat ke 6) maka bagiannya adalah = ¾ kali bagian, senadainya ia anak sah. 5. Jika anak luar kawin diakui mewarisi bersama golongan II dan IV (golongan III dan IV yang berbeda pancer) maka bagiannya adalah = ½ kali bagian-bagiannya, seandainya ia anak sah (diambil derajat yang terdekat). Jadi cara menghitung hak bagian anak luar kawin adalah, mengumpamakan mereka anak sah lebih dulu, baru kemudian dihitung haknya sebagai anak luar kawin. d. Janda Janda adalah seseorang yang ditinggal mati oleh suaminya. Tetapi masih tetap tinggal di dalam kerabat suaminya selama ia tidak kawin lagi, karena sudah dianggap sebagai anggota keluarga kerabat suaminya. Seorang janda pada umumnya di Pekalongan, setelah kematian suaminya akan tetap berkewajiban mengurus, merawat dan mendidik anak-anaknya. Menurut adat masyarakat Tionghoa di Pekalongan, seorang janda bukanlah berkedudukan sebagai ahli waris dari suaminya yang telah meninggal dunia. Janda tersebut hanya menguasai atau mengelola harta kekayaan yang ditinggalkan almarhum suaminya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya serta keperluan anak-anaknya sampai anak tersebut bisa mandiri. 57 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Biasanya janda karena kematian tidak mau menikah lagi demi anakanaknya. Apabila janda tersebutsudah tua dan dirasa sudah tidak mampu mengeloa harta atau usaha peninggalan suaminya maka harta warisan tersebut dibagi-bagikan kepada semua anakanaknya sesuai dengan bagian masing-masing. e. Ahli Waris Lainnya Ahli waris utama dalam masyarakat Tionghoa di Pekalongan adalah anak kandung dan anak angkat dengan testament, sedangkan seorang janda bukanlah ahli waris dari suaminya yang meninggal dunia tetapi ia berhak menguasai dan menikmati hasil dari harta peninggalan suaminya itu. Apabila ahli waris tersebut diatas tidak ada maka harta warisan akan beralih kepada keponakan atau saudara dekat yang berjasa memelihara dan merawat pewaris sampai dengan 58 pewaris meninggal dunia serta mengatur melakukan penguburan jenazah berikut selamatannya. Padahal kemungkinan keponakan atau saudara dekat bukan saudara asli yang mana sebenarnya bukan sebagai ahli waris yang semestinya dari pewaris, tetapi karena rasa sayang dan sebagai balas budi terhadap keponakan atau saudara dekat tersebut. Dan seandainya keponakan atau saudara sekat tidak ada, maka harta warisan akan dibagi antara saudara-saudaranya berdasarkan kerukunan diantara mereka. E. Kesimpulan Berdasarkan hasil uraian tentang pewarisan masyarakat Tionghoa maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Masyarakat Tionghoa di Pekalongan dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu Tionghoa Totok dan Tionghoa peranakan. Di dalam hal pewarisan, masyarakat Tionghoa Totok masih Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 menganut adat istiadat leluhurnya. Sedangkan masyarakat Tionghoa peranakan kebanyakan sudah meleburkan diri atau mengikuti sistem kekerabatan adat masyarakat setempat. 2. Pewarisan dapat dilakukan sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia, sedangkan pelaksanaannya dengan jalan hibah dan wasiat. Sehingga apabila pewaris telah meninggal dunia, maka harta warisan akan dibagi-bagikan berdasarkan musyawarah diantara para ahli waris. 3. Dalam hal pelaksanaan pewarisan tidak ada hak berpikir yang diberikan kepada ahli waris pada saat warisan terbuka. Maka hal ini sangat bertentangan dengan pasal 1023 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yaitu mengenai hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan. 4. Secara umum masyarakat Tionghoa di Pekalongan tidak mau tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal pelaksanaan pewarisan karena banyak yang tidak mengerti dan juga tidak ingin mempersulit jalannya pewarisan tersebut. 5. Hibah menurut masyarakat Tionghoa, termasuk juga dalam pembagian warisan. Berarti sama pula dengan hibah yang berlaku pada masyarakat setempat. DAFTAR PUSATAKA Afandi Ali, 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Bina Aksara. Salim Oemar, 2004, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta. Soemitro Hanityo Rony, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta, Ghalia Indonesia. Saleh Abdurahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo. Sofwan Masychoen Soedewi Sri, 1981, Hukum Perdata, Hukum Benda, Yogyakarta; Liberti Subekti r dan Tjitrosidibio, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta; Pradnya Paramita. 59 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 Sudarsono, 1994, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; Rineka Cipta. Wignjodiputro Surojo, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta; Gunung Agung. S. Tamakirin, 2000, Asas-Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem Hukum, Bandung; Pionir Jaya. Hartono Sumaryadi, 1991, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Bandung; Citra Aditya Bhakti. Suryadinata Leo, 1984, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta; Grafiti Pers. 60 Widjayakusuma Hembing, 2000, Nilai dan Bukti Sejarah Misi Perjalanan Sam Poo Kong, Semarang; Suara Merdeka. Hadi Kusumo Hilman, 2001, Hukum Waris Adat, Bandung; Alumni. Kunzhang Huang, 2000, Etnis Tionghoa adalah Teman Handal Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta; Sinergi. Prodjodikoro Wirjono, 2000, Hukum Waris Indonesia, Bandung; Sumur.