media dan cultural studies

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
MEDIA DAN
CULTURAL
STUDIES
Kajian Budaya dan Media:
Representasi Minoritas Dalam
Media Massa
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Broadcasting
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
SOFIA AUNUL MSI
Abstract
Kompetensi
Mata kuliah ini memperkenalkan
pemahaman dan kompetensi tentang
media and cultural studies sebagai
suatu Body Of Knownledge yang
bersifat
multidisipliner,
yang
menjelaskan representasi minoritas
dalam media massa.
Dengan memperoleh materi ini,
mahasiswa diharapkan mengerti
dan memahami tentang representasi
minoritas dalam media massa.
Pendahuluan
Media massa, khususnya televisi memang tidak pernah jauh-jauh dari
konsep representasi. Televisi berkehendak membangun sebuah konstruksi melalui
representasi. Membangun pemahaman tertentu atas sebuah realitas. Neil Casey,
menjelaskan bahwa representasi, tidak peduli seberapa realistis tayangannya, yang
kita lihat di layar merupakan hasil konstruksi, terkait keputusan tentang apa yang
harus direkam, dimana menempatkan kamera, bagaimana mengedit materi yang
ada dan sebagainya.1 Hal ini berkaitan dengan representasi realitas sosial dalam
media sebagaimana diungkapkan McQuail, media diyakini sebagai cermin yang
merefleksikan realitas sosial, sehingga apa yang kita saksikan di media merupakan
gambaran yang sebenarnya atas realitas. Lebih dari itu, media saat ini tidak hanya
merefleksikan realitas, tetapi juga merepresentasikan realitas. Realitas sosial
dihadirkan kembali oleh media lewat proses representasi dengan mengolah kembali
realitas tersebut sehingga hadir dengan kemasan yang baru sehingga menjadi
realitas media. Dengan begitu, media massa telah melakukan konstruksi atas
realitas.2 Termasuk konstruksi gambaran terhadap etnis dan budaya itu sendiri.
Seperti penggambaran akan suatu budaya dari suatu etnis dengan karakter atau
sifat tertentu. Sehingga hal ini membuat pemirsa mendeskripsikan suatu ciri budaya
ketika berhadapan dengan budaya lain. Dalam sitkom atau tayangan-tayangan TV
lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis
tertentu. Padahal kita mengetahui sendiri bahwa tidak semua etnis memiliki ciri
budaya yang sama persis dengan apa yang digambarkan dalam televisi.
Munculnya pembagian etnis seperti yang dijelaskan Schuslzt & Lavenda
dalam Noor bahwa identitas dan etnis merupakan konsep yang dikonstruksi secara
budaya dan diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompokkelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu struktur politik tunggal yang berada di
wilayah kondisi sosial tertentu. Stuart Hall juga mengemukakan hal yang sama
dalam Ardhi bahwa term etnis mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan
kebudayaan dalam konstruksi subjektifitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa
1
2
Neil Casey (et.al.) (2002). Television Studies: The Key Concepts, London: Routledge. hal. 144
Dennis McQuail (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London90:
SAGE Publications. hal. 161-168.
10
2
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
semua wacana selalu punya tempat, posisi, situasi, dan semua pengetahuan selalu
kontekstual. Seperti jika subjek dan pengalaman etnis tertentu apabila tidak
distabilkan oleh alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia akan terkonstruksi
secara historis, kultural, dan politis dan dianggap memiliki posisi yang berbeda
dengan subjek etnis yang lain. Yang membuat pemirsa mendeskripsikan suatu ciri
budaya ketika berhadapan dengan budaya lain.
Ada etnis dan budaya yang diposisikan memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibanding etnis dan budaya yang lain. Dalam sitkom atau tayangan-tayangan TV
lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis
tertentu, seperti pembantu rumah tangga yang lekat dengan logat Jawa yang
ditunjukkan dengan pemanggilan “si mbok” (ibu dalam bahasa Jawa), supir yang
identik dengan logat Batak seperti dalam FTV Tanda Cinta di Bagasi Taksi (FTV di
RCTI) atau masyarakat dengan kelas bawah yang memiliki khas bicara ala Betawi
yang sangat kental seperti dalam Sitkom Bajaj Bajuri, Si Doel Anak Sekolahan,
Ronaldowati dan lain-lain.
“Keluarga Minus” sendiri merupakan tayangan Sitkom yang ditayangkan di
Trans TV. “Keluarga Minus” menampilkan gambaran keluarga sederhana yang
tinggal di sebuah kompleks perumahan sederhana pegawai negeri dinas pariwisata
di Jakarta yang diperankan oleh orang Papua, dan memiliki pelayan yang berasal
dari etnis Jawa. Minus yang diperankan pria asli Papua bernama sama, adalah
seorang perantau yang kuliah dan menumpang di rumah satu keluarga yang masih
kerabatnya di Jakarta. Program ini berusaha menampilkan bagaimana ragam etnis
maupun suku dan lingkungan yang beragam berinteraksi sehingga menghasilkan
sebuah nilai pluralis dari sebuah bangsa yang majemuk. Hal ini menarik dimana
etnis Papua menjadi tokoh utama dalam sebuah tayangan situasi komedi yang
sangat jarang ditemui di situasi komedi yang lain. Selama ini media didominasi
tayangan-tayangan yang hanya berkutat pada etnis Betawi dan Jawa saja.
10
3
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Representasi Media Televisi
Berkaitan dengan representasi realitas sosial dalam media, pada awalnya
sebagaimana diungkapkan McQuail, media diyakini merupakan cermin yang
merefleksikan realitas sosial, sehingga apa yang kita saksikan di media merupakan
gambaran yang sebenarnya atas realitas. Akan tetapi kini media massa diyakini
tidak
hanya
sekedar
merefleksikan
realitas,
lebih
dari
itu
media
yakni
merepresentasikan realitas. Realitas sosial dihadirkan kembali oleh media lewat
proses representasi dengan mengolah kembali realitas tersebut sehingga hadir
dengan kemasan yang baru sehingga menjadi realitas media. Dengan begitu, media
massa telah melakukan konstruksi atas realitas.3
Media memegang peranan penting dalam mempengaruhi pola pikir
masyarakat. Menurut Ida, media seringkali hanya mengakui ideologi dominan.
Sehingga apa yang ditampilkan seringkali merupakan hal yang mainstream.4 Paul
Wattson mengatakan bahwa konsep kebenaran yang dianut oleh media massa
bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap oleh masyarakat sebagai
kebenaran.5 Media juga cenderung memprioritaskan kalangan menengah keatas
dengan mengesampingkan kaum minoritas. Sedangkan kaum minoritas seringkali
ditampilkan dengan 'salah' dalam media. Ini juga berarti bahwa identitas yang
direpresentasikan oleh media masih sebatas identitas yang dominan saja.
Oleh karena itu, tidak heran jika muncul istilah second reality atau realitas
kedua sebagai hasil dari konstruksi dan olahan media atas realitas sosial. Second
reality diartikan sebagai hasil dari penciptaan model-model realitas yang ditentukan
oleh media. Dalam hal ini media, merekonstruksi realitas yang begitu kompleks,
diolah, dan dipilih sehingga menjadi rangkaian realitas kedua dalam media.
Rangkaian realitas kedua atau second reality dalam media itu hadir dalam bentuk
bahasa simbolik yang hadir dalam tanda dan simbol-simbol. Dalam hal ini media
menggunakan tanda-tanda tertentu untuk mengkonstruksi realitas. Realitas empiris
3
Dennis McQuail (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: SAGE
Publications. Hal. 161-168.
4
Rachmah Ida (2003). Media dan Politik identitas Seksual : Masyarakat Kebudayaan dan Politik, dalam
Komunikasi dan Multikulturalism. Universitas Airlangga
5
Alex Sobur 2001 Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing. Remaja Rosdakarya
10
4
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dikonstruksi menjadi realitas simbolik yang dalam hal ini berarti menjadi realitas
media.
Media dan Etnis Minoritas
Kemampuan media massa dalam mengkonstruksi realitas itulah yang
mempengaruhi cara kita memandang apa yang terjadi di sekitar kita. Termasuk
menimbulkan gambaran lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat.
Terjadilah apa yang disebut dengan stereotipe.6 Stereotipe merujuk pada
tindakan/sikap seseorang yang dapat dianggap merefleksikan sifat keseluruhan dari
suatu kultur, jenis kelamin, umur, suku, kelas, atau nasionalitas. Stereotipe kadang
juga diartikan sebagai alat yang digunakan oleh seseorang untuk “memberi label”
pada orang lainnya. Pada praktiknya, individu melihat orang lain dan memulai untuk
membuat generalisasi mengenai atribut fisik dan intelektual yang dimiliki oleh orang
tersebut dan kemudian menggolongkan mereka ke dalam kategori tertentu. 7 Etnis di
media Indonesia sendiri, seperti dalam Sitkom atau atau film atau tayangantayangan yang lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat
dengan etnis tertentu. Seperti dalam film “Maaf Saya Menghamili Istri Anda” yang
manampilkan kemajemukan etnis antara etnis Batak dan Jawa dan etnis lainnya.
Adapun Sitkom Suami-suami Takut Istri (TRANS TV) yang juga menampilkan
keberagaman etnis dalam satu kompleks perumahan di Jakarta dengan tokoh-tokoh
karakter yang mewakili etnis-etnis tertentu. Hal ini seringkali membuat pemirsa
mendeskripsikan suatu ciri budaya ketika berhadapan dengan budaya lain.
Bagaimana etnis yang satu dibanding etnis dan budaya yang lain. Seperti yang
peneliti sebutkan diatas bahwa sitkom atau tayangan-tayangan TV lainnya kita
seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis tertentu.
6
Rakhmat, J 2007, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung. Halaman
http://www.mediaawareness.ca/english/special_initiatives/toolkit/stereotypes/what_are_stere
otypes.com diakses pada tanggal 22 Desember 2012
7
10
5
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Etnis Papua Dalam Media Indonesia
Bhinneka
Tunggal
Ika.
Unity
in
Diversity.
Satu
kesatuan
dalam
keanekaragaman. Kalimat tersebut mewakili keberadaan bangsa Indonesia yang
tercipta dengan keragaman. Faktanya, semboyan “berbeda-beda tetapi satu”
(Bhinneka Tunggal Ika) sempat tidak lagi ramai dan keras disuarakan. Adanya
kekurangsadaran akan budaya tersebut tampaknya memberikan ide tersendiri bagi
dunia media di Indonesia. Hal ini dipicu oleh kasus plagiat artefak budaya, banyak
tayangan-tayangan atau film menjadi inspirasi untuk mengangkat tema budaya
sebagai ide tayangannya. Nilai budaya yang diciptakan oleh sebuah media menjadi
sangat berarti bagi masyarakat, mengingat sebelumnya sangat jarang ditemukan
produk media yang berorientasi pada muatan budaya Indonesia.
Keragaman-keragaman bangsa Indonesia sendiri bisa ditandai dengan maraknya
tayangan atau film, atau di media manapun yang menampilkan keragaman.
Tayangan yang menampilkan keragaman ini muncul bak jamur di musim hujan.
Seperti Sitkom Bajaj Bajuri yang kental dengan keanekaragaman bangsa Indonesia
seperti Betawi, Jawa dan Sunda, atau bisa saja melalui iklan dan lain-lain, termasuk
Sitkom. Papua, kemunculannya pun tak lepas dari mata pembuat tayangantayangan-tayangan baik film maupun tayangan televisi. Papua adalah salah satu
etnis di Indonesia yang menjadi wakil dari saudara dari timur yang muncul di
berbagai media. Seperti dalam film “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja”, film dari
Alenia “Denias” yang menampilkan keindahan-keindahan alam di Papua, Iklan Kuku
Bima Energi versi Papua Sajojo dan Kolam Susu. Hal ini seakan menjadi angin
segar di media dari tayangan-tayangan dari budaya mainstream yang ada di media
seperti budaya Betawi atau Jawa. Hal ini membuat kita sadar dan tau bahwa akan
adanya suatu budaya dibelahan bumi Indonesia yang lain seperti budaya serta nilainilai yang berkembang di Papua.
Sitkom Keluarga Minus ini etnis Papua masih digambarkan sebagai etnis
yang primitif yang ditunjukkan dengan adanya kepercayaan animisme dalam salah
satu tokoh di Keluarga Minus. Sitkom ini mengeksploitasi bahkan sampai menyentuh
ranah kepercayaan seperti bagaimana Minus mempercayai bahwa gambar yang ada
di dindingnya bisa berkomunikasi dengan dirinya. Sitkom Keluarga Minus
10
6
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menggambarkan bagaimana animisme sebuah kepercayaan yang hanya dianut oleh
kaum primitif saja. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kelucuan-kelucuan karena
hal ini kembali seperti diawal bahwa dalam situasi komedi seringkali pembuat
komedi
tersebut
mengeksploitasi
stereotipe
suatu
daerah
tertentu
untuk
menimbulkan tawa.
Etnis Papua disini juga digambarkan sebagai sosok minoritas melihat
bagaimana etnis Papua berusaha menunjukkan yang menunjukkan keduanya sudah
melebur dengan budaya yang ada di Jakarta. penggunaan kata “lo” atau “gue” yang
diidentifikasi sebagai bahasa gaul dari Jakarta.
Selain melihat bagaimana etnis Papua direpresentasikan dalam Keluarga
Minus, juga dilihat bagaimana representasi interaksi antara etnis Papua dengan
etnis yang lain. Dari keseluruhan bagaimana interaksi antara etnis Papua dengan
etnis lainnya diatas menunjukkan masih banyak terjadi stereotipe atau pelabelan
terhadap etnis Papua.
Contoh Representasi Etnis Minoritas
Ketika Media Menjadi Alat Diskriminasi.8
Sebelum reformasi tahun 1998, perkembangan media di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh dinamika politik yang ada pada saat itu. Pengaruh terbesar yang
berimplikasi langsung bagi media adalah cara pandang pemerintah terhadap media
tersebut. Apakah media dinilai dapat membahayakan stabilitas politik atau
mendukung berjalannya status quo. Penilaian inilah yang berekses pada
pengontrolan yang ketat, atau sebaliknya, memberikan ruang kebebasan pada
aktivitas dan isi media.
Pengekangan terhadap media ini berimbas terhadap kebijakan dan manjemen
redaksional. Pada tataran praktis, media lebih memilih langkah aman dengan cara
meminimalisasi
pemberitaan
yang
dinggap
berseberangan
dengan
politik
pemerintah. Akibatnya, apa yang ditampilkan media selalu diusahakan sejalan
8
Yusuf, Iwan Awaluddin. “Ketika Media Menjadi Alat Diskriminasi”. https://bincangmedia.wordpress.com
+URLnya. Diakses pada 17 mei 2016
10
7
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan koridor mendukung kepentingan pemerintah yang telah dijabarkan melalui
instrumen kekuasaannya, yaitu undang-undang. Media harus menyesuaikan
ketentuan terhadap peraturan perundangan yang dibuat pemerintah.
Praktik ini berlangsung dalam waktu yang lama sehingga secara sadar atau tidak,
media di Indonesia telah terbiasa melaksanakan kemauan polilik penguasa. Salah
satunya
adalah
perlakuan
diskriminatif
terhadap
golongan
Tionghoa
yang
termanifestasikan dalam berbagai produk komunikasi yang disajikan media massa.
Pembatasan-pembatasan ini semakin lengkap setelah dikeluarkan Surat Edaran
No.02/SE/Ditjen/PPG/K/1978 tentang Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan
Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.
Beberapa penelitian terkait diskriminasi suratkabar terhadap masyarakat Tionghoa
yang antara lain dilakukan oleh tim Kajian Informasi, Pendidikan, dan Penerbitan
Sumatera (KIPPAS) (2003),
penelitian Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
(LSPP) Jakarta, serta penelitian yang dilakukan Agus Sudibyo, peneliti dari Institut
Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Ketiga penelitian itu menyimpulkan adanya
beberapa pola yang dilakukan media dalam pemberitaan: Pertama, media memiliki
kecenderungan membuat batasan bahwa warga etnik Tionghoa seolah sebagai
warga asing yang berbeda dan terpisah dengan warga Indonesia lain. Diskriminasi
itu dilakukan dengan cara memberikan sebutan-sebutan tertentu terhadap etnik
Tionghoa yang tidak diberikan terhadap warga Indonesia yang berasal dari etnik
lain. Sebutan tersebut antara lain WNI keturunan Tionghoa, WNI keturunan, warga
keturunan, keturunan Cina, dan lain-lain.
Kedua, pers melakukan praktik diskriminasi etnik Tionghoa dengan cara
menurunkan pemberitaan yang menguatkan label negatif pada etnik Tionghoa
dalam pemberitaan tindak kriminal atau hal-hal lain negatif lain yang melibatkan
seseorang yang kebetulan berdarah Tionghoa. Sebagai contoh pemberitaan tentang
Edi Tanzil sebagai seorang koruptor, media terus-menerus mem-blow up predikat
Edi Tansil sebagai WNI keturunan Cina. Akibatnya, di alam bawah sadar,
masyarakat menganggap bahwa semua orang Tionghoa bermental koruptor.
Seorang Edi Tanzil menjadi koruptor, maka seluruh konglomerat etnik Tionghoa
diberi label koruptor. Hal ini agaknya tidak jauh berbeda dengan pola pemberitaan
10
8
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang dilakukan media Amerika Serikat terhadap pelaku teriorisme yang kebetulan
beragama Islam.
Ketiga, media seringkali menulis pemberitaan mengenai etnik Tionghoa dengan
memberi stereotip-stereotip negatif yang selama ini telah melekat pada diri etnik
Tionghoa. Bahkan dengan penggambaran fisik; mata sipit, kulit putih dan
sebagainya. Tindakan diskriminatif dalam pemberitaan media massa yang paling
diskriminatif adalah pelabelan yang dilakukan tanpa mendasarkan bukti-bukti yang
akurat. Misalnya, tentang “keeksklusifan” warga etnik Tionghoa. Sebenarnya sulit
mengukur suatu keeksklusifan, tetapi banyak orang menggunakan kata tersebut
untuk berbagai hal yang dianggap “eksklusif” atas dasar penilaian pribadi.
Sebagai contoh, “keeksklusifan” dilihat dari “tidak mau bergaul”, “pagar yang tinggi”,
“jaringan bisnis yang tertutup”, “tempat tinggal yang terkonsentrasi di satu wilayah
tertentu”, “memakai bahasa yang tidak dimengerti orang lain”, dan sebagainya.
Padahal jika dilogika, berbagai hal yang dinilai merupakan keeksklusifan orang
Tionghoa tersebut ternyata bisa pula ditemukan pada etnik lainnya. Pilihan kata-kata
yang dipakai dalam suatu berita bukanlah kebetulan, tetapi juga secara ideologis
menunjukkan pemaknaan terhadap fakta atau realitas.
Keempat, pers Indonesia menggambarkan suatu peristiwa yang melibatkan warga
Tionghoa, seperti dalam pemberitaan kerusuhan Mei 1998, dengan tidak
mendasarkan pada investigasi mendalam (indepth reporting) dan berasal dari dua
belah pihak (cover both sides). Wartawan mengunakan sumber berita yang
kebanyakan berasal dari pemerintah dan kalangan militer. Peristiwa tragedi
perkosaan Mei 1998 misalnya, seolah ditutup-tutupi dan tidak pernah diinvestigasi
secara mendalam sehingga benar-benar komprehensif untuk kemudian diturunkan
menjadi laporan berita investigatif.
Beruntung, setelah reformasi bergulir, ruang ekspersi bagi etnik Tionghoa dibuka
kembali. Setidaknya, semangat kebebasan menampilkan kembali identitas dan
wacana tentang budaya etnik Tionghoa dalam pers Indonesia telah terbuka lebar.
Tak hanya surat kabar, media lain pun berlomba-lomba memanfaatkan momen
kebebasan terserbut.
10
9
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Di dunia pertelevisian, dengan cepat Metro TV merebut peluang pasar di kalangan
Tionghoa totok dengan menayangkan acara berita Metro Xinwen yang berbahasa
Mandarin. Selain televisi, radio pun mengambil program serupa. Sebutlah
Cakrawala, stasiun radio komersial di Jakarta yang menyiarkan program-program
acara dalam bahasa Mandarin.
Perkembangan pers Tionghoa di Indonesia yang mengalami pasang surut sejak
awal era kemerdekaan, pada awal era reformasi juga mulai menunjukkan gregetnya.
Kilas balik sejarah mencatat, pembreidelan-pembereidelan terhadap pers Tionghoa
dilakukan silih berganti oleh pemerintah Orde Lama. Puncaknya, ketika Orde Baru
berkuasa mengantikan Orde Lama, pers Tionghoa benar-benar dimatikan. Tiga
puluh dua tahun berikutnya, ketika momentum reformasi membawa dampak positif
bagi kehidupan pers di Indonesia. Pers Tionghoa kembali muncul ke permukaan dan
meramaikan khazanah kehidupan pers di tanah air.
Beberapa nama yang mewakili pers Tionghoa yang hidup pada masa reformasi di
antaranya adalah majalah “Sinergi”,
tabloid dwibahasa “Mandarin Pos”, majalah
“Suara Baru, dan koran “Glodok Standart” yang akhirnya berubah menjadi “Sinar
Glodok”. Sayangnya, dalam perkembangan berikutnya, satu persatu pers Tionghoa
gulung tikar karena tidak dikelola secara profesional, bahkan terkesan hanya
mengikuti euforia kebebasan bermedia.
Dalam kelahiran kembali itu, pers Tionghoa menunjukkan karakter sebagai pers
budaya. Jika media lain pada umumnya berlomba-lomba menampilkan berita, gosip,
analisis, atau opini politik, pers Tionghoa tetap berkutat pada problem-problem
budaya. Hal itu tergambar dari konsistensi pers Tionghoa menurunkan berita-berita
tentang pelestarian tradisi leluhur. Kian terkikisnya apresiasi generasi muda
Tionghoa terhadap nilai-nilai tradisi lebih menarik untuk dibahas daripada konflik
politik atau persoalan SARA yang lebih nyata dampaknya bagi kehidupan mereka
(Sudibyo, 2003).
Pers Tionghoa belum menjadi sarana yang efektif untuk menuangkan aspirasi politik
warga Tionghoa. Pers Tionghoa justru terkesan menjadi media reuni bagi mereka
yang rindu pada tradisi-tradisi lama yang semakin luntur oleh terpaan tradisi-tradisi
baru. Namun demikian, berita bercorak politis sesekali tetap ditampilkan saat pers
10
10
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tionghoa mempersoalkan politik diskriminasi dan rasialisme pemerintah Orde Baru
yang telah menyudutkan keberadan mereka di Indonesia (Sudibyo, 2003).
Namun, sesering apapun suatu identitas budaya minoritas ditampilkan dalam media
massa yang hanya diakses oleh minoritas yang sama, dalam hal ini minoritas
Tionghoa, maka perjuangan meneguhkan identitas tersebut tidak akan banyak
memberikan hasil karena pihak mayoritas yang memiliki “kuasa” tidak mengakui
representasinya.
Seperti dikatakan James Lull (1998: 83-85), representasi identitas budaya dijalankan
melalui media massa ketika orang-orang menggunakan tampilan simbolik, termasuk
asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya. Struktur otoritas dan peraturan yang
mendasarinya berada dalam kekuasaan budaya. Kekuasaan budaya mencerminkan
bagaimana dalam kehidupan sehari-hari yang terkondisikan, individu-individu atau
kelompok-kelompok membangun dan menyatakan identitas serta aktivitas budaya
mereka, dan bagaimana ungkapan serta perilaku itu mempengaruhi yang lain. Lull
menambahkan, citra-citra simbolik mula-mula dikuatkan secara budaya yang
kemudian diorganisir dan disajikan melalui media massa.
Sebagaimana konsekuensi logis tentang politisasi yang senantiasa mewarnai proses
pencarian identitas, hal yang sama juga berlangsung melalui media massa. Politisasi
identitas budaya di media massa menjelaskan bagaimana suatu kelompok
membangun imaji budayanya, bagaimana suatu kelompok menggunakan media
untuk mempertahankan eksistensinya, dan menafikan eksistensi identitas budaya
kelompok lain lewat media. Dari proses kemudian memunculkan imaji mayoritas dan
minoritas.
Perlakuan
terhadap minoritas di media
massa
ditandai beberapa
gejala:
keterbatasan penyajian secara simbolik, kesalahan penggambaran, stereotip yang
berlebihan, dan berbagai bentuk ungkapan menyimpang tentang minoritas yang
akhirnya menimbulkan prasangka dan perlakuan diskriminatif dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebuah contoh tentang perlakuan dan prasangka terhadap kalangan minoritas di
media massa dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Bernard Berelson dan
10
11
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Patricia Salter mengenai representasi orang-orang Amerika mayoritas dan minoritas
dalam cerita fiksi majalah, selama akhir tahun 1930-an hingga awal 1940-an.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian yang menggunakan metode analisis isi itu
menyatakan bahwa pelaku yang terlibat dalam cerita didominasi orang-orang
Amerika berkulit putih, beragama Protestan, dan tanpa penyebutan leluhur asing.
Kurang dari satu dari sepuluh pelaku adalah minoritas dan orang-orang asing
berasal dari Anglo-Saxon dan Skandinavia. Sekitar satu dari sepuluh adalah
kelompok orang-orang Yunani, golongan kulit hitam, orang-orang Timur, serta
golongan minoritas asing lainnya (Wright, 1985: 155).
Pelaku dari kalangan minoritas dalam cerita tersebut cenderung digambarkan
dengan stereotipe negatif. Berelson dan Salter mencatat bahwa di dalam cerita,
meskipun kaum minoritas tidak dipandang rendah secara terang-terangan, bentuk
halus dari diskriminasi dimunculkan lewat pencitraan tentang “perbedaan kelas
kewarganegaran”. Namun seiring perjalanan waktu, penelitian tersebut dinilai tidak
lagi akurat mengingat pada perkembangan selanjutnya, anggota kelompok minoritas
di Amerika justru banyak memainkan peran dalam industri media massa.
Condry dalam suatu penelitian lain menyimpulkan bahwa keberadaan etnik minoritas
di Amerika Serikat secara historis sangat kurang terwakili, bahkan tidak terwakili di
televisi. Karakter minoritas etnik—apakah orang kulit hitam, orang Asia, orang
Hispanik, atau penduduk asli Amerika tradisional (Indian) dilihat sebagai kurang
bermatabat dan kurang positif daripada karakter orang kulit putih (Santrock, 2002:
276). Pada investigasi lain, potret tokoh kaum minoritas etnik diuji selama jam sibuk
menonton televisi (pada hari-hari kerja jam 4 – 6 sore dan jam 7 – 11 malam).
Hasilnya, persentase karakter orang kulit putih jauh melebihi persentase aktual
orang kulit putih di Amerika Serikat. Persentase tokoh-tokoh orang kulit hitam, orang
Asia, dan orang Hispanik jauh di bawah statistik jumlah penduduk. Karakter orang
Hispanik khususnya, sangat kurang terwakili oleh televisi, yaitu hanya 0,6 persen,
padahal populasi orang Hispanik di Amerika Serikat sebanyak 6,4 persen dari total
penduduk (Santrock, 2002: 276).
Hasil riset mengenai repersentasi ras dan kelas sosial di media massa, terutama
televisi di Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh Media Tenor International
tahun 2001 juga menunjukkan bahwa warga Amerika berkulit putih menempati 92
10
12
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
persen dari total isi media massa, kulit hitam 7 persen, Latin dan Arab-Amerika 0,6
persen, serta Asia-Amerika 0,2 persen. Sebagai cacatan sensus tahun 2000 di
negeri Paman Sam itu menunjukkan angka populasi warga AS adalah 69 kulit putih
non-hispanik, 13 persen kulit putih hispanik, 12 persen kulit hitam dan 4 persen Asia.
Mayoritas program televisi Amerika terutama berita didominasi oleh sumber-sumber
kulit putih dan melalui peliputan yang berorientasi pada kepentingan mereka. Studi
lain yang dilakukan Power Source seperti dilaporkan Majalah FAIR 2002
menunjukkan bahwa pada Juni 2002 sumber berita mengenai isu-isu rasial yang
ditayangkan televisi Amerika didominasi oleh kulit putih sebagaimana dapat dilihat
dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1. Sumber Berita di Televisi Amerika Serikat Menurut Kategori Rasial
Stasiun TV
Kulit Puith
Kulit Hitam
Latin/
Hispanik
AsianAmerika
ArabAmerika
ABC
92%
7%
0,5%
0,3%
0,5%
CBS
92%
7%
0,7%
0,3%
0,7%
NBC
92%
7%
0,6%
0,2%
0,6%
Sumber : Majalah Fair, Juni 2002
Larry Gross (dalam Liebes & curran, 1998: 89) memberikan gambaran tentang
pembentukan imaji identitas budaya minoritas oleh media masa sebagai upaya
perlakuan yang berbeda-beda terhadap kelompok minoritas tertentu sehingga
memberikan efek berbeda bagi kelompok minoritas yang lain. Gross mengatakan,
kelompok
mayoritas
selalu
memiliki
akses
terbesar
dan
dominan
dalam
mereprentasikan budaya mereka, sementara kelompok minoritas hanya menerima
sedikit ruang yang direpresentasikan dalam media massa.
10
13
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Casey, Neil (2002). Television Studies: The Key Concepts, London: Routledge.
Dennis McQuail (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public
Interest. London90: SAGE Publications
Ida, Rachmah (2003). Media dan Politik identitas Seksual: Masyarakat Kebudayaan
dan Politik, dalam Komunikasi dan Multikulturalism. Universitas Airlangga
J, Rakhmat, 2007, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung
McQuail, Dennis (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public
Interest. London: SAGE Publications
Sobur, Alex 2001 Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya
10
14
Media dan Cultural Studies
SOFIA AUNUL MSI
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download