MODUL PERKULIAHAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES Kajian Budaya dan Media: Representasi Minoritas Dalam Media Massa Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Broadcasting Tatap Muka 10 Kode MK Disusun Oleh SOFIA AUNUL MSI Abstract Kompetensi Mata kuliah ini memperkenalkan pemahaman dan kompetensi tentang media and cultural studies sebagai suatu Body Of Knownledge yang bersifat multidisipliner, yang menjelaskan representasi minoritas dalam media massa. Dengan memperoleh materi ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami tentang representasi minoritas dalam media massa. Pendahuluan Media massa, khususnya televisi memang tidak pernah jauh-jauh dari konsep representasi. Televisi berkehendak membangun sebuah konstruksi melalui representasi. Membangun pemahaman tertentu atas sebuah realitas. Neil Casey, menjelaskan bahwa representasi, tidak peduli seberapa realistis tayangannya, yang kita lihat di layar merupakan hasil konstruksi, terkait keputusan tentang apa yang harus direkam, dimana menempatkan kamera, bagaimana mengedit materi yang ada dan sebagainya.1 Hal ini berkaitan dengan representasi realitas sosial dalam media sebagaimana diungkapkan McQuail, media diyakini sebagai cermin yang merefleksikan realitas sosial, sehingga apa yang kita saksikan di media merupakan gambaran yang sebenarnya atas realitas. Lebih dari itu, media saat ini tidak hanya merefleksikan realitas, tetapi juga merepresentasikan realitas. Realitas sosial dihadirkan kembali oleh media lewat proses representasi dengan mengolah kembali realitas tersebut sehingga hadir dengan kemasan yang baru sehingga menjadi realitas media. Dengan begitu, media massa telah melakukan konstruksi atas realitas.2 Termasuk konstruksi gambaran terhadap etnis dan budaya itu sendiri. Seperti penggambaran akan suatu budaya dari suatu etnis dengan karakter atau sifat tertentu. Sehingga hal ini membuat pemirsa mendeskripsikan suatu ciri budaya ketika berhadapan dengan budaya lain. Dalam sitkom atau tayangan-tayangan TV lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis tertentu. Padahal kita mengetahui sendiri bahwa tidak semua etnis memiliki ciri budaya yang sama persis dengan apa yang digambarkan dalam televisi. Munculnya pembagian etnis seperti yang dijelaskan Schuslzt & Lavenda dalam Noor bahwa identitas dan etnis merupakan konsep yang dikonstruksi secara budaya dan diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompokkelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu struktur politik tunggal yang berada di wilayah kondisi sosial tertentu. Stuart Hall juga mengemukakan hal yang sama dalam Ardhi bahwa term etnis mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan kebudayaan dalam konstruksi subjektifitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa 1 2 Neil Casey (et.al.) (2002). Television Studies: The Key Concepts, London: Routledge. hal. 144 Dennis McQuail (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London90: SAGE Publications. hal. 161-168. 10 2 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id semua wacana selalu punya tempat, posisi, situasi, dan semua pengetahuan selalu kontekstual. Seperti jika subjek dan pengalaman etnis tertentu apabila tidak distabilkan oleh alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia akan terkonstruksi secara historis, kultural, dan politis dan dianggap memiliki posisi yang berbeda dengan subjek etnis yang lain. Yang membuat pemirsa mendeskripsikan suatu ciri budaya ketika berhadapan dengan budaya lain. Ada etnis dan budaya yang diposisikan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding etnis dan budaya yang lain. Dalam sitkom atau tayangan-tayangan TV lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis tertentu, seperti pembantu rumah tangga yang lekat dengan logat Jawa yang ditunjukkan dengan pemanggilan “si mbok” (ibu dalam bahasa Jawa), supir yang identik dengan logat Batak seperti dalam FTV Tanda Cinta di Bagasi Taksi (FTV di RCTI) atau masyarakat dengan kelas bawah yang memiliki khas bicara ala Betawi yang sangat kental seperti dalam Sitkom Bajaj Bajuri, Si Doel Anak Sekolahan, Ronaldowati dan lain-lain. “Keluarga Minus” sendiri merupakan tayangan Sitkom yang ditayangkan di Trans TV. “Keluarga Minus” menampilkan gambaran keluarga sederhana yang tinggal di sebuah kompleks perumahan sederhana pegawai negeri dinas pariwisata di Jakarta yang diperankan oleh orang Papua, dan memiliki pelayan yang berasal dari etnis Jawa. Minus yang diperankan pria asli Papua bernama sama, adalah seorang perantau yang kuliah dan menumpang di rumah satu keluarga yang masih kerabatnya di Jakarta. Program ini berusaha menampilkan bagaimana ragam etnis maupun suku dan lingkungan yang beragam berinteraksi sehingga menghasilkan sebuah nilai pluralis dari sebuah bangsa yang majemuk. Hal ini menarik dimana etnis Papua menjadi tokoh utama dalam sebuah tayangan situasi komedi yang sangat jarang ditemui di situasi komedi yang lain. Selama ini media didominasi tayangan-tayangan yang hanya berkutat pada etnis Betawi dan Jawa saja. 10 3 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Representasi Media Televisi Berkaitan dengan representasi realitas sosial dalam media, pada awalnya sebagaimana diungkapkan McQuail, media diyakini merupakan cermin yang merefleksikan realitas sosial, sehingga apa yang kita saksikan di media merupakan gambaran yang sebenarnya atas realitas. Akan tetapi kini media massa diyakini tidak hanya sekedar merefleksikan realitas, lebih dari itu media yakni merepresentasikan realitas. Realitas sosial dihadirkan kembali oleh media lewat proses representasi dengan mengolah kembali realitas tersebut sehingga hadir dengan kemasan yang baru sehingga menjadi realitas media. Dengan begitu, media massa telah melakukan konstruksi atas realitas.3 Media memegang peranan penting dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat. Menurut Ida, media seringkali hanya mengakui ideologi dominan. Sehingga apa yang ditampilkan seringkali merupakan hal yang mainstream.4 Paul Wattson mengatakan bahwa konsep kebenaran yang dianut oleh media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap oleh masyarakat sebagai kebenaran.5 Media juga cenderung memprioritaskan kalangan menengah keatas dengan mengesampingkan kaum minoritas. Sedangkan kaum minoritas seringkali ditampilkan dengan 'salah' dalam media. Ini juga berarti bahwa identitas yang direpresentasikan oleh media masih sebatas identitas yang dominan saja. Oleh karena itu, tidak heran jika muncul istilah second reality atau realitas kedua sebagai hasil dari konstruksi dan olahan media atas realitas sosial. Second reality diartikan sebagai hasil dari penciptaan model-model realitas yang ditentukan oleh media. Dalam hal ini media, merekonstruksi realitas yang begitu kompleks, diolah, dan dipilih sehingga menjadi rangkaian realitas kedua dalam media. Rangkaian realitas kedua atau second reality dalam media itu hadir dalam bentuk bahasa simbolik yang hadir dalam tanda dan simbol-simbol. Dalam hal ini media menggunakan tanda-tanda tertentu untuk mengkonstruksi realitas. Realitas empiris 3 Dennis McQuail (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: SAGE Publications. Hal. 161-168. 4 Rachmah Ida (2003). Media dan Politik identitas Seksual : Masyarakat Kebudayaan dan Politik, dalam Komunikasi dan Multikulturalism. Universitas Airlangga 5 Alex Sobur 2001 Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya 10 4 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dikonstruksi menjadi realitas simbolik yang dalam hal ini berarti menjadi realitas media. Media dan Etnis Minoritas Kemampuan media massa dalam mengkonstruksi realitas itulah yang mempengaruhi cara kita memandang apa yang terjadi di sekitar kita. Termasuk menimbulkan gambaran lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Terjadilah apa yang disebut dengan stereotipe.6 Stereotipe merujuk pada tindakan/sikap seseorang yang dapat dianggap merefleksikan sifat keseluruhan dari suatu kultur, jenis kelamin, umur, suku, kelas, atau nasionalitas. Stereotipe kadang juga diartikan sebagai alat yang digunakan oleh seseorang untuk “memberi label” pada orang lainnya. Pada praktiknya, individu melihat orang lain dan memulai untuk membuat generalisasi mengenai atribut fisik dan intelektual yang dimiliki oleh orang tersebut dan kemudian menggolongkan mereka ke dalam kategori tertentu. 7 Etnis di media Indonesia sendiri, seperti dalam Sitkom atau atau film atau tayangantayangan yang lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis tertentu. Seperti dalam film “Maaf Saya Menghamili Istri Anda” yang manampilkan kemajemukan etnis antara etnis Batak dan Jawa dan etnis lainnya. Adapun Sitkom Suami-suami Takut Istri (TRANS TV) yang juga menampilkan keberagaman etnis dalam satu kompleks perumahan di Jakarta dengan tokoh-tokoh karakter yang mewakili etnis-etnis tertentu. Hal ini seringkali membuat pemirsa mendeskripsikan suatu ciri budaya ketika berhadapan dengan budaya lain. Bagaimana etnis yang satu dibanding etnis dan budaya yang lain. Seperti yang peneliti sebutkan diatas bahwa sitkom atau tayangan-tayangan TV lainnya kita seringkali menjumpai sejumlah peran yang melekat dengan etnis tertentu. 6 Rakhmat, J 2007, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung. Halaman http://www.mediaawareness.ca/english/special_initiatives/toolkit/stereotypes/what_are_stere otypes.com diakses pada tanggal 22 Desember 2012 7 10 5 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Etnis Papua Dalam Media Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Unity in Diversity. Satu kesatuan dalam keanekaragaman. Kalimat tersebut mewakili keberadaan bangsa Indonesia yang tercipta dengan keragaman. Faktanya, semboyan “berbeda-beda tetapi satu” (Bhinneka Tunggal Ika) sempat tidak lagi ramai dan keras disuarakan. Adanya kekurangsadaran akan budaya tersebut tampaknya memberikan ide tersendiri bagi dunia media di Indonesia. Hal ini dipicu oleh kasus plagiat artefak budaya, banyak tayangan-tayangan atau film menjadi inspirasi untuk mengangkat tema budaya sebagai ide tayangannya. Nilai budaya yang diciptakan oleh sebuah media menjadi sangat berarti bagi masyarakat, mengingat sebelumnya sangat jarang ditemukan produk media yang berorientasi pada muatan budaya Indonesia. Keragaman-keragaman bangsa Indonesia sendiri bisa ditandai dengan maraknya tayangan atau film, atau di media manapun yang menampilkan keragaman. Tayangan yang menampilkan keragaman ini muncul bak jamur di musim hujan. Seperti Sitkom Bajaj Bajuri yang kental dengan keanekaragaman bangsa Indonesia seperti Betawi, Jawa dan Sunda, atau bisa saja melalui iklan dan lain-lain, termasuk Sitkom. Papua, kemunculannya pun tak lepas dari mata pembuat tayangantayangan-tayangan baik film maupun tayangan televisi. Papua adalah salah satu etnis di Indonesia yang menjadi wakil dari saudara dari timur yang muncul di berbagai media. Seperti dalam film “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja”, film dari Alenia “Denias” yang menampilkan keindahan-keindahan alam di Papua, Iklan Kuku Bima Energi versi Papua Sajojo dan Kolam Susu. Hal ini seakan menjadi angin segar di media dari tayangan-tayangan dari budaya mainstream yang ada di media seperti budaya Betawi atau Jawa. Hal ini membuat kita sadar dan tau bahwa akan adanya suatu budaya dibelahan bumi Indonesia yang lain seperti budaya serta nilainilai yang berkembang di Papua. Sitkom Keluarga Minus ini etnis Papua masih digambarkan sebagai etnis yang primitif yang ditunjukkan dengan adanya kepercayaan animisme dalam salah satu tokoh di Keluarga Minus. Sitkom ini mengeksploitasi bahkan sampai menyentuh ranah kepercayaan seperti bagaimana Minus mempercayai bahwa gambar yang ada di dindingnya bisa berkomunikasi dengan dirinya. Sitkom Keluarga Minus 10 6 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menggambarkan bagaimana animisme sebuah kepercayaan yang hanya dianut oleh kaum primitif saja. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kelucuan-kelucuan karena hal ini kembali seperti diawal bahwa dalam situasi komedi seringkali pembuat komedi tersebut mengeksploitasi stereotipe suatu daerah tertentu untuk menimbulkan tawa. Etnis Papua disini juga digambarkan sebagai sosok minoritas melihat bagaimana etnis Papua berusaha menunjukkan yang menunjukkan keduanya sudah melebur dengan budaya yang ada di Jakarta. penggunaan kata “lo” atau “gue” yang diidentifikasi sebagai bahasa gaul dari Jakarta. Selain melihat bagaimana etnis Papua direpresentasikan dalam Keluarga Minus, juga dilihat bagaimana representasi interaksi antara etnis Papua dengan etnis yang lain. Dari keseluruhan bagaimana interaksi antara etnis Papua dengan etnis lainnya diatas menunjukkan masih banyak terjadi stereotipe atau pelabelan terhadap etnis Papua. Contoh Representasi Etnis Minoritas Ketika Media Menjadi Alat Diskriminasi.8 Sebelum reformasi tahun 1998, perkembangan media di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang ada pada saat itu. Pengaruh terbesar yang berimplikasi langsung bagi media adalah cara pandang pemerintah terhadap media tersebut. Apakah media dinilai dapat membahayakan stabilitas politik atau mendukung berjalannya status quo. Penilaian inilah yang berekses pada pengontrolan yang ketat, atau sebaliknya, memberikan ruang kebebasan pada aktivitas dan isi media. Pengekangan terhadap media ini berimbas terhadap kebijakan dan manjemen redaksional. Pada tataran praktis, media lebih memilih langkah aman dengan cara meminimalisasi pemberitaan yang dinggap berseberangan dengan politik pemerintah. Akibatnya, apa yang ditampilkan media selalu diusahakan sejalan 8 Yusuf, Iwan Awaluddin. “Ketika Media Menjadi Alat Diskriminasi”. https://bincangmedia.wordpress.com +URLnya. Diakses pada 17 mei 2016 10 7 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dengan koridor mendukung kepentingan pemerintah yang telah dijabarkan melalui instrumen kekuasaannya, yaitu undang-undang. Media harus menyesuaikan ketentuan terhadap peraturan perundangan yang dibuat pemerintah. Praktik ini berlangsung dalam waktu yang lama sehingga secara sadar atau tidak, media di Indonesia telah terbiasa melaksanakan kemauan polilik penguasa. Salah satunya adalah perlakuan diskriminatif terhadap golongan Tionghoa yang termanifestasikan dalam berbagai produk komunikasi yang disajikan media massa. Pembatasan-pembatasan ini semakin lengkap setelah dikeluarkan Surat Edaran No.02/SE/Ditjen/PPG/K/1978 tentang Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina. Beberapa penelitian terkait diskriminasi suratkabar terhadap masyarakat Tionghoa yang antara lain dilakukan oleh tim Kajian Informasi, Pendidikan, dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) (2003), penelitian Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta, serta penelitian yang dilakukan Agus Sudibyo, peneliti dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Ketiga penelitian itu menyimpulkan adanya beberapa pola yang dilakukan media dalam pemberitaan: Pertama, media memiliki kecenderungan membuat batasan bahwa warga etnik Tionghoa seolah sebagai warga asing yang berbeda dan terpisah dengan warga Indonesia lain. Diskriminasi itu dilakukan dengan cara memberikan sebutan-sebutan tertentu terhadap etnik Tionghoa yang tidak diberikan terhadap warga Indonesia yang berasal dari etnik lain. Sebutan tersebut antara lain WNI keturunan Tionghoa, WNI keturunan, warga keturunan, keturunan Cina, dan lain-lain. Kedua, pers melakukan praktik diskriminasi etnik Tionghoa dengan cara menurunkan pemberitaan yang menguatkan label negatif pada etnik Tionghoa dalam pemberitaan tindak kriminal atau hal-hal lain negatif lain yang melibatkan seseorang yang kebetulan berdarah Tionghoa. Sebagai contoh pemberitaan tentang Edi Tanzil sebagai seorang koruptor, media terus-menerus mem-blow up predikat Edi Tansil sebagai WNI keturunan Cina. Akibatnya, di alam bawah sadar, masyarakat menganggap bahwa semua orang Tionghoa bermental koruptor. Seorang Edi Tanzil menjadi koruptor, maka seluruh konglomerat etnik Tionghoa diberi label koruptor. Hal ini agaknya tidak jauh berbeda dengan pola pemberitaan 10 8 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang dilakukan media Amerika Serikat terhadap pelaku teriorisme yang kebetulan beragama Islam. Ketiga, media seringkali menulis pemberitaan mengenai etnik Tionghoa dengan memberi stereotip-stereotip negatif yang selama ini telah melekat pada diri etnik Tionghoa. Bahkan dengan penggambaran fisik; mata sipit, kulit putih dan sebagainya. Tindakan diskriminatif dalam pemberitaan media massa yang paling diskriminatif adalah pelabelan yang dilakukan tanpa mendasarkan bukti-bukti yang akurat. Misalnya, tentang “keeksklusifan” warga etnik Tionghoa. Sebenarnya sulit mengukur suatu keeksklusifan, tetapi banyak orang menggunakan kata tersebut untuk berbagai hal yang dianggap “eksklusif” atas dasar penilaian pribadi. Sebagai contoh, “keeksklusifan” dilihat dari “tidak mau bergaul”, “pagar yang tinggi”, “jaringan bisnis yang tertutup”, “tempat tinggal yang terkonsentrasi di satu wilayah tertentu”, “memakai bahasa yang tidak dimengerti orang lain”, dan sebagainya. Padahal jika dilogika, berbagai hal yang dinilai merupakan keeksklusifan orang Tionghoa tersebut ternyata bisa pula ditemukan pada etnik lainnya. Pilihan kata-kata yang dipakai dalam suatu berita bukanlah kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan pemaknaan terhadap fakta atau realitas. Keempat, pers Indonesia menggambarkan suatu peristiwa yang melibatkan warga Tionghoa, seperti dalam pemberitaan kerusuhan Mei 1998, dengan tidak mendasarkan pada investigasi mendalam (indepth reporting) dan berasal dari dua belah pihak (cover both sides). Wartawan mengunakan sumber berita yang kebanyakan berasal dari pemerintah dan kalangan militer. Peristiwa tragedi perkosaan Mei 1998 misalnya, seolah ditutup-tutupi dan tidak pernah diinvestigasi secara mendalam sehingga benar-benar komprehensif untuk kemudian diturunkan menjadi laporan berita investigatif. Beruntung, setelah reformasi bergulir, ruang ekspersi bagi etnik Tionghoa dibuka kembali. Setidaknya, semangat kebebasan menampilkan kembali identitas dan wacana tentang budaya etnik Tionghoa dalam pers Indonesia telah terbuka lebar. Tak hanya surat kabar, media lain pun berlomba-lomba memanfaatkan momen kebebasan terserbut. 10 9 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Di dunia pertelevisian, dengan cepat Metro TV merebut peluang pasar di kalangan Tionghoa totok dengan menayangkan acara berita Metro Xinwen yang berbahasa Mandarin. Selain televisi, radio pun mengambil program serupa. Sebutlah Cakrawala, stasiun radio komersial di Jakarta yang menyiarkan program-program acara dalam bahasa Mandarin. Perkembangan pers Tionghoa di Indonesia yang mengalami pasang surut sejak awal era kemerdekaan, pada awal era reformasi juga mulai menunjukkan gregetnya. Kilas balik sejarah mencatat, pembreidelan-pembereidelan terhadap pers Tionghoa dilakukan silih berganti oleh pemerintah Orde Lama. Puncaknya, ketika Orde Baru berkuasa mengantikan Orde Lama, pers Tionghoa benar-benar dimatikan. Tiga puluh dua tahun berikutnya, ketika momentum reformasi membawa dampak positif bagi kehidupan pers di Indonesia. Pers Tionghoa kembali muncul ke permukaan dan meramaikan khazanah kehidupan pers di tanah air. Beberapa nama yang mewakili pers Tionghoa yang hidup pada masa reformasi di antaranya adalah majalah “Sinergi”, tabloid dwibahasa “Mandarin Pos”, majalah “Suara Baru, dan koran “Glodok Standart” yang akhirnya berubah menjadi “Sinar Glodok”. Sayangnya, dalam perkembangan berikutnya, satu persatu pers Tionghoa gulung tikar karena tidak dikelola secara profesional, bahkan terkesan hanya mengikuti euforia kebebasan bermedia. Dalam kelahiran kembali itu, pers Tionghoa menunjukkan karakter sebagai pers budaya. Jika media lain pada umumnya berlomba-lomba menampilkan berita, gosip, analisis, atau opini politik, pers Tionghoa tetap berkutat pada problem-problem budaya. Hal itu tergambar dari konsistensi pers Tionghoa menurunkan berita-berita tentang pelestarian tradisi leluhur. Kian terkikisnya apresiasi generasi muda Tionghoa terhadap nilai-nilai tradisi lebih menarik untuk dibahas daripada konflik politik atau persoalan SARA yang lebih nyata dampaknya bagi kehidupan mereka (Sudibyo, 2003). Pers Tionghoa belum menjadi sarana yang efektif untuk menuangkan aspirasi politik warga Tionghoa. Pers Tionghoa justru terkesan menjadi media reuni bagi mereka yang rindu pada tradisi-tradisi lama yang semakin luntur oleh terpaan tradisi-tradisi baru. Namun demikian, berita bercorak politis sesekali tetap ditampilkan saat pers 10 10 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tionghoa mempersoalkan politik diskriminasi dan rasialisme pemerintah Orde Baru yang telah menyudutkan keberadan mereka di Indonesia (Sudibyo, 2003). Namun, sesering apapun suatu identitas budaya minoritas ditampilkan dalam media massa yang hanya diakses oleh minoritas yang sama, dalam hal ini minoritas Tionghoa, maka perjuangan meneguhkan identitas tersebut tidak akan banyak memberikan hasil karena pihak mayoritas yang memiliki “kuasa” tidak mengakui representasinya. Seperti dikatakan James Lull (1998: 83-85), representasi identitas budaya dijalankan melalui media massa ketika orang-orang menggunakan tampilan simbolik, termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya. Struktur otoritas dan peraturan yang mendasarinya berada dalam kekuasaan budaya. Kekuasaan budaya mencerminkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari yang terkondisikan, individu-individu atau kelompok-kelompok membangun dan menyatakan identitas serta aktivitas budaya mereka, dan bagaimana ungkapan serta perilaku itu mempengaruhi yang lain. Lull menambahkan, citra-citra simbolik mula-mula dikuatkan secara budaya yang kemudian diorganisir dan disajikan melalui media massa. Sebagaimana konsekuensi logis tentang politisasi yang senantiasa mewarnai proses pencarian identitas, hal yang sama juga berlangsung melalui media massa. Politisasi identitas budaya di media massa menjelaskan bagaimana suatu kelompok membangun imaji budayanya, bagaimana suatu kelompok menggunakan media untuk mempertahankan eksistensinya, dan menafikan eksistensi identitas budaya kelompok lain lewat media. Dari proses kemudian memunculkan imaji mayoritas dan minoritas. Perlakuan terhadap minoritas di media massa ditandai beberapa gejala: keterbatasan penyajian secara simbolik, kesalahan penggambaran, stereotip yang berlebihan, dan berbagai bentuk ungkapan menyimpang tentang minoritas yang akhirnya menimbulkan prasangka dan perlakuan diskriminatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah contoh tentang perlakuan dan prasangka terhadap kalangan minoritas di media massa dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Bernard Berelson dan 10 11 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Patricia Salter mengenai representasi orang-orang Amerika mayoritas dan minoritas dalam cerita fiksi majalah, selama akhir tahun 1930-an hingga awal 1940-an. Kesimpulan yang didapat dari penelitian yang menggunakan metode analisis isi itu menyatakan bahwa pelaku yang terlibat dalam cerita didominasi orang-orang Amerika berkulit putih, beragama Protestan, dan tanpa penyebutan leluhur asing. Kurang dari satu dari sepuluh pelaku adalah minoritas dan orang-orang asing berasal dari Anglo-Saxon dan Skandinavia. Sekitar satu dari sepuluh adalah kelompok orang-orang Yunani, golongan kulit hitam, orang-orang Timur, serta golongan minoritas asing lainnya (Wright, 1985: 155). Pelaku dari kalangan minoritas dalam cerita tersebut cenderung digambarkan dengan stereotipe negatif. Berelson dan Salter mencatat bahwa di dalam cerita, meskipun kaum minoritas tidak dipandang rendah secara terang-terangan, bentuk halus dari diskriminasi dimunculkan lewat pencitraan tentang “perbedaan kelas kewarganegaran”. Namun seiring perjalanan waktu, penelitian tersebut dinilai tidak lagi akurat mengingat pada perkembangan selanjutnya, anggota kelompok minoritas di Amerika justru banyak memainkan peran dalam industri media massa. Condry dalam suatu penelitian lain menyimpulkan bahwa keberadaan etnik minoritas di Amerika Serikat secara historis sangat kurang terwakili, bahkan tidak terwakili di televisi. Karakter minoritas etnik—apakah orang kulit hitam, orang Asia, orang Hispanik, atau penduduk asli Amerika tradisional (Indian) dilihat sebagai kurang bermatabat dan kurang positif daripada karakter orang kulit putih (Santrock, 2002: 276). Pada investigasi lain, potret tokoh kaum minoritas etnik diuji selama jam sibuk menonton televisi (pada hari-hari kerja jam 4 – 6 sore dan jam 7 – 11 malam). Hasilnya, persentase karakter orang kulit putih jauh melebihi persentase aktual orang kulit putih di Amerika Serikat. Persentase tokoh-tokoh orang kulit hitam, orang Asia, dan orang Hispanik jauh di bawah statistik jumlah penduduk. Karakter orang Hispanik khususnya, sangat kurang terwakili oleh televisi, yaitu hanya 0,6 persen, padahal populasi orang Hispanik di Amerika Serikat sebanyak 6,4 persen dari total penduduk (Santrock, 2002: 276). Hasil riset mengenai repersentasi ras dan kelas sosial di media massa, terutama televisi di Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh Media Tenor International tahun 2001 juga menunjukkan bahwa warga Amerika berkulit putih menempati 92 10 12 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id persen dari total isi media massa, kulit hitam 7 persen, Latin dan Arab-Amerika 0,6 persen, serta Asia-Amerika 0,2 persen. Sebagai cacatan sensus tahun 2000 di negeri Paman Sam itu menunjukkan angka populasi warga AS adalah 69 kulit putih non-hispanik, 13 persen kulit putih hispanik, 12 persen kulit hitam dan 4 persen Asia. Mayoritas program televisi Amerika terutama berita didominasi oleh sumber-sumber kulit putih dan melalui peliputan yang berorientasi pada kepentingan mereka. Studi lain yang dilakukan Power Source seperti dilaporkan Majalah FAIR 2002 menunjukkan bahwa pada Juni 2002 sumber berita mengenai isu-isu rasial yang ditayangkan televisi Amerika didominasi oleh kulit putih sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Sumber Berita di Televisi Amerika Serikat Menurut Kategori Rasial Stasiun TV Kulit Puith Kulit Hitam Latin/ Hispanik AsianAmerika ArabAmerika ABC 92% 7% 0,5% 0,3% 0,5% CBS 92% 7% 0,7% 0,3% 0,7% NBC 92% 7% 0,6% 0,2% 0,6% Sumber : Majalah Fair, Juni 2002 Larry Gross (dalam Liebes & curran, 1998: 89) memberikan gambaran tentang pembentukan imaji identitas budaya minoritas oleh media masa sebagai upaya perlakuan yang berbeda-beda terhadap kelompok minoritas tertentu sehingga memberikan efek berbeda bagi kelompok minoritas yang lain. Gross mengatakan, kelompok mayoritas selalu memiliki akses terbesar dan dominan dalam mereprentasikan budaya mereka, sementara kelompok minoritas hanya menerima sedikit ruang yang direpresentasikan dalam media massa. 10 13 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Casey, Neil (2002). Television Studies: The Key Concepts, London: Routledge. Dennis McQuail (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London90: SAGE Publications Ida, Rachmah (2003). Media dan Politik identitas Seksual: Masyarakat Kebudayaan dan Politik, dalam Komunikasi dan Multikulturalism. Universitas Airlangga J, Rakhmat, 2007, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung McQuail, Dennis (1992) Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: SAGE Publications Sobur, Alex 2001 Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya 10 14 Media dan Cultural Studies SOFIA AUNUL MSI Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id