Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS HINDU (STUDI KASUS DI KOTA MATARAM) Gusti Ayu Agung Andriani Dosen Jurusan Dharma Sastra STAHN Gde Pudja Mataram Diterima : 06 Januari 2015 Direvisi : 12 Maret 2015 Disetujui : 3 April 2015 Abstrak Seringkali para janda kurang diperhatikan oleh anak, menantu dan keluarganya, mereka hanya diperhatikan sekedar saja, bahkan mereka disisihkan, dimusuhi dan disingkirkan secara halus dari rumahnya, apalagi terhadap janda tanpa anak, kebanyakan dari mereka tidak dianggap setelah semua harta peninggalan suaminya habis dibagi dan dijual oleh pewarisnya, ini merupakan kenyataan yang sangat buruk dan bertolak belakang dengan apa yang disyaratkan dalam undang-undang dan kitab suci Hindu, Melihat kenyataan yang selama ini terjadi di masyarakat, maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji “Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram)”Bertalian dengan fenomena tersebut maka dalam penelitian akan diungkap tiga aspek esensial yaitu :1) Kedudukan janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, 2) Hak janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, 3) Dampak yang ditimbulkan terhadap hak yang diperoleh janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologis, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Kedudukan janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, terdapat dalam delapan asas, yaitu a) janda berhak menuntut dari para ahli waris yang hidup, biaya pemeliharaan sebagai bagian yang dapat diserahkan dan harta peninggalan suaminya, atau harta pusaka yang belum berbagi yang ada pada suaminya, b) kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan bagi para janda selama janda itu tidak berbuat melanggar dharmanya dan tetap tinggal di rumah suaminya, c) hak bagi seorang wanita atau janda dalam menuntut biaya pemeliharaan itu timbul karena akibat hubungan hukum kekeluargaan, d) harta pemeliharaan akan diambil dari harta peninggalan selama belum dibagi oleh para ahli warusnya, tetapi bila telah berbagi semua anak (ahli waris) wajib memberi sumbangan biaya menurut kemampuan masing-masing, e) anak tiri dari seorang janda tidak wajib memberi biaya pemeliharaan pada janda (ibu angkat) itu, f) janda dapat menuntut biaya pemeliharaan atas harta pusaka hyang dipegang oleh saudara suaminya yang belum dibagi selagi suaminya masih hidup. g) hak menuntut biaya pemeliharaan tidak dapat dipenuhi oleh pemegang harta peninggalan itu hanya karena sebab-sebab yang sah karena melanggar hukum, misalnya berzina, melacurkan diri, meninggalkan rumah suami dan hidup pada rumah yang bukan keluarganya sendiri dan bukan pula keluarga suaminya. (2) Yang menjadi hak janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, yaitu: a) hak untuk menjadi wali dan mengurus anak-anaknya, b) hak untuk tetap tinggal dirumah almarhum suami, c) berhak menikmati dan mendapatkan pengidupan dari harta almarum suaminya, d) Hak untuk mengurus segala usaha yang di miliki suaminya, dan e) berhak melakukan perbutan hukum untuk dirinya sendiri maupun untuk almarhum suaminya. (3) Dampak yang ditimbulkan terhadap hak yang diperoleh janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, yaitu : a) membawa dampak kesadaran sosial dan Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 815 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 hak asasi manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari tuntutan derajat kemanusiaan. Kata Kunci : Kedudukan Janda, Hukum Waris Hindu ABSTRACT THE POTITION OF A WIDOW IN INHERITANCE LAW OF HINDU (CASE STUDY IN MATARAM CITY) Abstrac Widows often get less attention by their children, son or daughter in law, and their family, even they are set aside, despised and excluded subtly from their home, especially a widow who does not have child or children, most of them are not considered after all the inheritances of her husband has been divided and sold by the heirs. It is a very bad fact and the fact is contrary to what is required by law and the Hindu holy book. Based on this fact, this study is focused on studying "The Potition of a Widow In Inheritance Law of Hindu" In relation to the phenomenon, the study focuses on three essential aspects: 1) The position of a widow in inheritance law of Hindu in Mataram City, 2) The right of widows in inheritance law of Hindu in Mataram City, and 3) The impact which appears towards the right of a widow in inheritance law of Hindu in Mataram City. This study is descriptive qualitative study by using sociological approach. Data were collected by using observation, interview, and documentation. The findings show that: (1) there are eight principles in accordance with the position of widows in inheritance law of Hindu in Mataram City, namely a) a widow has the rights to demand from her heirs, cost of maintenance as a part that can be turned over and the her husband inheritance, or treasure heritage who have not been shared yet by her husband, b) the obligation to provide costs of maintenance for widows as long as the widow does not break the law (rules) and she still lives in her husband's house, c) the right for a woman or a widow in demanding cost of maintenance that arise as a consequence of relations family law, d) cost of maintenance will be taken from the inheritance as long as it (inheritance) has not been divided by the heirs, but it has been divided for the children (heirs), they have an obligation to give donation or cost of maintenance based on their ability, e) step child of a widow does not have an obligation to give cost of maintenance to the widow (step mother), f) a widow can claim the cost of maintenance for inheritance which is held by her brother of husband that has been divided as long as her husband still alive. g) A widow does not have rights to demand cost of maintenance if she breaks the rules, such as adultery, prostituting herself, she leaves her husband’s house. (2) There are some rights of a widow in inheritance law of Hindu in Mataram City, namely: a) she has the right to be a wali (make legally responsible for abride) and takes care of her children, b) the right to live in her late husband house, c) she has the right to enjoy and get cost of maintenance from her husband’ inheritance, d) she has the right to take care of her late husband’s business, and e) she has the right to conduct legal deeds for herself or for her late husband. (3) The impact which appears towards the right of a widow in inheritance law of Hindu in Mataram City, namely: a) the impact of social awareness and human rights, and this has lead to dynamic motion of the demands of the degree of humanity. Keywords: The Position of Widow, Inheritance Law of Hindu Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 816 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 PENDAHULUAN Kedudukan perempuan pada masa lalu tidaklah sebaik yang ada sekarang. Sekalipun di beberapa tempat kedudukan perempuan belum mengalami perubahan yang berarti, tetapi kenyataan lain menunjukkan bahwa kedudukan perempuan telah secara nyata mengalami kemajuan. Mereka tidak lagi hanya sebagai subordinasi, tetapi telah menjadi kekuatan modernisasi, malahan perempuan telah larut di dalamnya. Dalam banyak kasus yang lain, kedudukan perempuan telah mencapai puncaknya, dari kenyataan semakin banyak perempuan sebagai pimpinan organisasi seperti ekonomi, politik dan sosial. Dengan kata lain, perempuan telah mewarnai persaingan dalam urusan publik sebagai perempuan karier dengan segala beban dan tanggungjawabnya. oleh karena itu seorang ibu disebut sebagai guru utama dan sekaligus guru pertama (nasti guruh samo mata). Ketika perempuan dibatasi ruang geraknya hanya pada arena domistik dalam konteks home-economics serta dikembangkannya konsep deprivasi kasih sayang ibu (maternal deprivation), maka kedudukan perempuan sebagai ‘bengkel’ sosial pembentukan manusia pengiburumahtanggaan telah membentuk ideologi domistikasi (housewifization). Secara implisit dan atau konsepsi pengiburumahtanggaan membawa implikasi bahwa perempuan secara ekonomis tergantung pada suami. Untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera tentu tidak bisa hanya dibebankan kepada istri atau suami saja, melainkan harus diupayakan bersama-sama. Peranan istri dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera tidak akan terwujud begitu saja, tetapi harus dibentuk oleh pihak lain secara bersama-sama. Suami, anak, keluarga, dan lingkungan juga akan memberikan kontribusi terhadap terbentuknya kondisi demikian. Oleh karena itu, setiap suami dan anggota keluarga lainnya harus mampu ikut menciptakan agar wanita senantiasa hidup dengan perasaan senang. Kenyataan yang dapat kita saksikan di masyarakat sekarang, banyak kaum perempuan yang tidak mendapat perhatian, perlindungan dalam keluarganya, utamanya apabila perempuan itu sudah berstatus sebagai janda. Seringkali para janda kurang diperhatikan oleh anak, menantu dan keluarganya, mereka hanya diperhatikan sekedar saja, bahkan mereka disisihkan, dimusuhi dan disingkirkan secara halus dari rumahnya, apalagi terhadap janda tanpa anak, kebanyakan dari mereka tidak dianggap setelah semua harta peninggalan suaminya habis dibagi dan dijual oleh pewarisnya, ini merupakan kenyataan yang sangat buruk dan bertolak belakang dengan apa yang Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 817 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 diisyaratkan dalam undang-undang dan kitab suci Hindu, bahwa perempuan mendapat kedudukan yang baik dan dimuliakan dalam keluarga. PEMBAHASAN Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram Kata "kedudukan” mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara. (Poerwadarmita, 1976:38).Kedudukan dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau. tingkatan seseorang di dalam mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga, kerabat dari masyarakat. Kedudukan perempuan dalam Hukum Adat adalah sebagai berikut. a. Kedudukan Sebagai Anak Hukum Bali dan Lombok merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak karena anak perempuan dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika anak perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama anak perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya. Dalam masyarakat Lombok yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris ayahnya. Anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah. Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Juli 1973 Nomor 1037K/Sip/1971. Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa anak perempuan adalah merupakan satusatunya ahli waris dan yang berhak atas harta warisan yang ditinggal pewaris. b. Kedudukan Sebagai Istri Di dalam sebuah keluarga bahwa seorang istri wajib menjaga keutuhan rumah tangganya, setia dan berbakti kepada suami, serta merawat dan mendidik anak-anaknya hingga mereka dewasa. Istri adalah pendamping suami dalam menegakkan rumah tangga. Sejak perkawinan terjadi istri telah masuk ke dalam keluarga suaminya dan melepaskan hubungan dengan keluarganya sendiri. Walaupun sebenarnya hubungan itu tetap masih ada sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Lombok, Si istri telah menjadi hak dan tanggung jawab dari suaminya dan istri mempunyai hubungan hukum Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 818 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 semata-mata bukan hanya terhadap suami saja tetapi juga terhadap kerabat suaminya. Tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan. Apabila istri telah melahirkan anak laki-laki maka posisinya adalah kuat di keluarga suaminnya. Dalam Manusmrti V.148 ditegaskan bahwa: “Selagi kanak-kanak, anak perempuan itu menjadi penguasaan ayahnya, bila dewasa (kawin) oleh suaminya, bila suami meninggal, oleh anak-anaknya, wanita tidak pernah lepas dari ketergantungan itu” (dalam Pudja, 1977:155) Manusmrti di atas hanya menentukan bagaimana keterikatan seorang anak perempuan atau wanita dalam sistem hukum Hindu. Oleh karena itu lebih jauh ditekankan, di dalam Manusmrti V.149, sebagai berikut: Ia hendaknya tidak memisahkan dirinya dari ayahnya, suaminya atau dari anaknya, karena dengan meninggalkan itu berarti ia membuat dirinya dan keluarganya dipersalahkan” (dalam Pudja, 1977:155) Untuk menjamin kedudukan dan perlindungan hukum bagi seorang anak perempuan seperti di atas, dalam Manawadharmasastra dijelaskan sebagai berikut: Purusasya striyaccaiwa dharma wartmani tistha toh samyoge wiprayoge ca dharman waksyami cacwatan (MDS IX.1) Terjemahan: “Sekarang akan kutetapkan dharma (hukum yang abadi) bagi suami dan istri yang akan mengatur pada jalan kewajiban, apakah mereka bersatu atau bercerai”. (Pudja, dkk, 2002:526) Aswatantrah striyah karyah purusaih swairdiwani cam wisayeseu ca sajjantyah atmano wace (MDS IX.2) Terjemahan : ‘Siang dan malam wanita harus dipelihara, tergantung kepada laki-laki dalam keluarga mereka, dan kalau ia terlalu terikat oleh nafsu-nafsu indrianya, hendaknya selalu dibawah pengawasan seseorang” (Pudja, dkk, 2002:526) Pitaraksati kaumare bharta raksati yauwane raksanti sthawire putra na stri swatantryam arhati (MDS IX.3) Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 819 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Terjemahan : “Ayahnya akan melindunginya selagi ia masih kanak-kanak dan bila telah dewasa oleh suaminya yang melindunginya, sedangkan bila telah tua, putraputranyalah yang melindunginya, wanita tidak pernah layak untuk bebas”. (Pudja, dkk, 2002:526) Kale data pita wacyo wacyaccanupayan patih smrte bhartari putrastu wacyo matura raksita (MDS IX.4) Terjemahan: “Salahlah ayahnya karena tidak mengawinkan putrinya pada waktunya, suaminya dapat dipersalahkan karena tidak menggauli istrinya pada waktunya dan anaknya dapat dipersalahkan karena tidak melindungi ibunya setelah suaminya meninggal”. (Pudja, dkk, 2002:527) Kutipan terjemahan Manawadharmasastra di atas menunjukkan bagaimana seorang wanita itu dianggap sangat terikat sekali kepada keluarga purusa dimana ia tinggal. Oleh karena itu kewajiban bagi pihak purusa adalah untuk memberikan perlindungan dengan cara memberi biaya hidup yang diperlukan oleh mereka. Dengan kata lain hak seorang istri atau seorang anak atau seorang janda dalam sistem kekeluargaan Hindu adalah menuntut diberikannya biaya pemeliharaan yang layak didalam menempuh jalan hidupnya didalam keluarga purusa itu. Hak ini juga meliputi hak untuk tinggal di rumah suaminya sampai akhir hayatnya, termasuk didalam hak memperoleh pemeliharaan, ini adalah hak untuk menikmati hasil yang timbul dari penggunaan harta pusaka tersebut. Di dalam hukum adat ditekankan, bila suaminya telah meninggal, sedangkan padanya masih ada ahli waris yang masih kecil atau dewasa, pertama-tama harta tersebut harus diterimakan kepada janda pewaris yang akan mengelola atas nama seluruh keluarga almarhum dan untuk kepentingan keluarga dan ahli warisnya. Hanya saja ditekankan bahwa didalam pengelolaan itu ia tidak bebas, artinya selalu diawasi oleh keluarga almarhum yang terdekat. Tujuannya adalah untuk melindungi hak para ahli waris yang masih kecil agar jangan sampai diterlantarkan sebagai akibat tindakan yang salah dari janda itu didalam pengurusan harta peninggalan itu. Jadi pemeliharaan seperti ini merupakan kewajiban Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 820 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 hukum yang harus dilakukan baik oleh suami terhadap istrinya, ayah terhadap anak perempuannya dan anak terhadap ibunya. (Pudja, 1977:156-157) Dalam mencoba untuk merekonstruksi kemungkinan-kemungkinan penuntutan yang dapat dilakuka oleh seorang janda terhadap para ahli waris dalam hal telah terjadi berbagi waris, penuntutan semacam itu dapat saja terjadi bila dalam pembagian warisan itu janda itu tidak mendapat perlakuan yang layak hingga hak pemeliharaan itu tidak diperolehnya. Hak Janda Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Dalam Hukum Waris Adat, yaitu: 1. Faktor Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang maka cara berpikirnya pun akan semakin maju dan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan di lingkungan sekitarnya. Pendidikan membawa seseorang menjadi lebih kritis dalam menghadapi suatu perubahan yang akan bermanfaat bagi dirinya, lingkungan dan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lainnya.. Hal ini berpengaruh khususnya dalam waris adat Batak, yang dulunya anak laki-laki yang berhak mendapat warisan (sistem patrilineal), Karena berpikir dengan logika, seseorang akan lebih cenderung memilih keadilan dalam hal pembagian harta warisan. Dengan demikian bagian warisan kepada anak laki-laki dan perempuan adalah sama rata. 2. Faktor Perantauan/Migrasi Perpindahan penduduk atau orang-orang dari satu daerah (kampung halaman) ke daerah yang lain agar kehidupan selanjutnya lebih baik dan terjamin, khususnya di daerah perantauan. Hal ini mempengaruhi terhadap kebiasaan atau adat istiadat hukum waris dari daerah asalnya yang patrilineal menjadi mengikuti pola hukum waris parental yang ada di daerah perantauan. 3. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi pada setiap individu sangat mempengaruhi terhadap kehidupan di dalam keluarganya. Biaya hidup semakin tinggi dan biaya pendidikan semakin mahal, tetapi juga tidak boleh lupa bahwa persoalan biaya hidup setelah suami/atau ayah meninggal dunia merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin masa depan anak-anaknya yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Jika diperhatikan ketentuan- Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 821 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 ketentuan adat Bali dan Lombok yang dipengaruhi oleh sistem patrilineal dan juga apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki yang bertanggung jawab dalam memberikan biaya hidup kepada keluarga, karena pada umumnya laki-lakilah yang bekerja. Seandainya dijumpai istri atau ibu yang bekerja, hal tersebut tidak lain adalah menunjang kehidupan ekonomi keluarga. 4. Yurisprudensi Di dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada pasal 1 dikatakan : “Kekuasaan kehakiman adalah, kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Berdasarkan Pasal 27 UU No 14/1970, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup, dalam masyarakat. Dengan kata lain, dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan ,hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim, dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. (Ahmad, 1998:24-38). Ahmad memberi arti Yurisprudensi bahwa : 1) Putusan hakim mengenai kasus tertentu (Judge's decision a particular case). 2) Putusan mengandung “Ration Recidendi” atau mengandung “Basic Reason” sebagai prinsip hukum atas putusan kasus yang bersangkutan. 3) Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan hukum (law development) sehingga pada hakekatnya kasus yang diputus berkaitan erat dengan perubahan sosial (social change) dan kondisi ekonomi (Economic Condition). 4) Kemungkinan kasus tersebut belum diatur di dalam undang-undang sehingga diperlukan penciptaan hukum baru atau sudah diatur di dalam undang-undang tetapi tidak sesuai lagi dengan nilai kesabaran perubahan sosial dan kondisi perekonomian sehingga diperlukan penafsiran dan modifikasi (interpretation of statue). Yurisprudensi yang merupakan perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan perubahan sosial adalah Putusan Mahkamah Agung Tanggal 23 Oktober 1961 No. 179 Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 822 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 K/Sip/1961 yang berbunyi : Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang pewaris bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Selain itu juga Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal di atas menekankan tentang kewajiban dan hak setiap manusia di dalam hukum Selain itu, dengan adanya yurisprudensi di kemudian hari, bila terjadi sengketa warisan, pihak yang merasa dirugikan, terutama pihak perempuan, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, dan penyelesaiannya oleh hakim dapat merujuk kepada yurisprudensi ini, yaitu pembagian hak waris yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Di samping faktor-faktor di atas, dikenal juga faktor internal yang mempengaruhi proses perubahan dalam masyarakat adat, yaitu : a. Faktor Kesadaran Konsep kesadaran lazim dianggap titik tolak tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Hukum menjadi patokan dalam bertingkah laku, sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum disini diartikan sebagai persepsi hukum dari seorang individu atau masyarakat terhadap hukum. Soekanto (1982:145) mengkonsepsikan: kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia dan masyarakat tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Penekanannya adalah pada sisi nilai-nilai atau tentang fungsi hukum, dan bukan pada penilaian hukum terhadap kejadian yang konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses. Konsepsi tersebut mengarahkan hukum pada hukum yang berlaku dan hukum yang dicita-citakan (ius constitutum dan ius constituendum), meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. b. Kebangkitan Individu Kebangkitan individu disini diartikan sebagai proses munculnya kritisisme seseorang atas tradisi-tradisi yang berlangsung dalam masyarakatnya. Biasanya proses kebangkitan ini diawali dengan adanya tingkat pemahaman seseorang atas hak-haknya Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 823 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 sebagai individu, yang memiliki ruang publik dan ruang privat. Ruang publik, diartikan sebagai tempat terjadinya proses penginternalisasian nilai-nilai masyarakat terhadap, seorang individu. Ruang privat adalah tempat yang diasumsikan sebagai milik mutlak seorang individu. Dalam ruang ini individu tersebut dapat melakukan purifikasi dan mengkritisi nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakatnya. Proses kebangkitan ini seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Jika pada suatu masyarakat semakin tumbuh kesadaran terhadap, hak-hak individual seseorang, daya berlakunya hukum adat pun cenderung makin menipis. Sebaliknya, jika kesadaran hukum masyarakat mengarah pada nilai-nilai yang berkaitan dengan budaya dan keyakinan, hal tersebut cenderung dapat menimbulkan kontinuitas daya berlakunya hukum adat. Peswara 1900 yang berlaku untuk penduduk Hindu Bali Terhadap kedudukan perempuan dalam pewarisan tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peswara 1900. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut: “Apabila oleh seorang atau beberapa orang anak laki-laki yang sudah kawin dalam pembagian itu dimintakan perantara pemerintah, maka pembagian akan diatur demikian rupa, sehingga janda mendapat satu bagian, masing-masing anak lelaki dua bagian dan masing-masing anak perempuan setengah bagian. Bila tidak ada anak laki-laki, maka semua warisan jatuh kepada wanita-wanita yang masih ada seperti yang disebutkan tadi”. Adanya Peswara tersebut pada Tahun 1900, membuat para perempuan pada daerah tersebut menjadi jelas status dan kedudukannya dalam hal pewarisan. Jika di lihat di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat (1 dan 2) bahwa hak istri seimbang dengan suami baik dalam rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat dan istri berhak melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dirinya. Sedangkan dalam pasal 36 ayat 2 mengenai harta bawaan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dalam UU perkawinan telah mengatur hak-hak seorang istri secara jelas. Hak yang dimiliki oleh janda yang tetap tinggal di rumah suaminya dalam UU Perkawinan tetap sama seperti seorang istri yang masih memiliki suami. Berdasarkan hukum agama Hindu, menurut Songan (2013) dalam artikel “Hukum Waris Hindu Berdasarkan Kitab Arthasastra”, yang menjadi ahli waris menurut Hukum Hindu adalah anggota keluarga pewaris, terutama anak-anak dari pewaris. Dalam Hukum Waris Hindu yang utama menjadi ahli waris adalah anak lelaki, anak perempuan (seperempat) dan anak perempuan yang diangkat statusnya Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 824 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 sebagai Purusa atau berstatus laki-laki (sama dengan bagian ahli waris lelaki). Dalam perkawinan biasa, istri atau janda pewaris tidak mewaris dari suaminya yang meninggal, karena janda bukan termasuk ahli waris menurut hukum agama Hindu. Janda hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan suaminya. Dalam Artha Sastra II. 26 menjelaskan bahwa seorang janda yang kawin lagi akan kehilangan apa yang diberikan oleh almarhum suaminya (Astana, 2003:225) Penjelasan kitab Artha Sastra di atas, segayut dengan pendapat Sudantra (2011), dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dalam artikel berjudul “Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan”, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami. Windia (2013) menjelaskan: “…jika mengacu Pasuara 1900 dan awig-awig desa pakraman, wanita Bali tak berhak atas warisan, hanya menikmati, itu pun secara terbatas. Ada syaratnya, selama mereka belum kawin ke luar dan bagi janda bersikap sesuai dharmaning janda. Ini menyebabkan wanita Bali masih banyak dipinggirkan. Sebelum 2010 wanita Bali-Hindu hanya berhak menikmati harta warisan secara terbatas. Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.” Dari uraian di atas, menurut hukum agama Hindu, janda bukanlah ahli waris dari suaminya. Hukum ini dilaksanakan secara ketat oleh masyarakat Hindu di wilayah Bali. Berdasarkan KUHPerdata, janda merupakan ahli waris. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 832 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undangundang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama...” Untuk bagian dari janda adalah sebagai berikut: 1. Jika tidak terdapat perjanjian perkawinan antara janda dan mendiang suaminya, maka pembagiannya adalah: a. ½ dari harta perkawinan/harta bersama (berdasarkanPasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan); dan Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 825 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 b. ½ x jumlah ahli waris = ½ x ½ = ¼ (berdasarkan Pasal 852a ayat (1) KUHPerdata). Jadi, total bagian janda adalah ¾ bagian, ¼ bagian lagi dipergunakan untuk melaksanakan upacara pengabenan suaminya, mengurus mertua (bila ada) dan pembiayaan terhadap kewajiban almarhum yang lainnya. 2. Jika ada perjanjian perkawinan, maka bagian waris ibu Anda hanyalah ¼ bagian. Secara umum kewajiban yang harus dilaksanakan janda yaitu : a. Kewajiban untuk mengabenkan almarhum suaminya. b. Kewajiban untuk menjadi wali anak-anaknya dan mengurus segala keperluan anak-anaknya. c. Kewajiban untuk membayar segala hutang yang dimiliki almarhum suaminya. d. Jika masih ada mertua, janda wajib untuk mengurusnya. e. Kewajiban untuk mengurus sanggah/merajan. Pura dadya almarhum suami dan melaksanakan aktivitas keagamaannya. f. Kewajiban untuk mengurus segala harta peninggalan yang dimiliki oleh almarhum suami. g. Walaupun sudah ditinggal meninggal oleh suaminya seorang istri (janda) harus tetap setia pada suaminya. h. Berkewajiban untuk menjaga nama baik keluarga almarhum suami. Secara umum kewajiban antara janda dengan wanita yang masih bersuami tidaklah terdapat perbedaan yang mendasar sehingga menyebabkan adanya pembanding-bandingan dalam pelaksanaan kewajiban antara janda dengan wanita yang bersuami. Walaupun seseorang telah menjadi janda, mereka tetap melaksanakan kewajiban pokok seorang istri. Terjadinya harmonisasi dalam pemberian hak dan kewajiban janda secara umum di dasari oleh nilai sebagai berikut : a. Nilai welas asih yaitu nilai kasih sayang antar sesama. Segala hak yang dimiliki oleh seseorang harus seimbangan dengan kewajiban yang harus diembannya. Begitu juga dengan janda, antara hak dan kewajibanya disesuaikan sesuai hukum yang berlaku. Nilai welas asih ini sebagai pembentuk kerukunan antar keluarga dan masyarakat. b. Nilai Tat Twam Asi yaitu kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai ini memberikan pengaruh bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi dan menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Tat twan asi mengajarkan bahwa di dalam kehidupan orang selalu dituntun untuk dapat memahami orang lain. Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 826 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 c. Nilai paras paros sarpanaya salunglung sabayantaka yaitu suatu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan sosial yang saling menghargai dan menghormati. Selalu bersatu dalam keadaan suka maupun duka sampai nafas terakhir. d. Nilai menyama braye yaitu nilai ini mengandung makna persamaan dan persaudaraan dan pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan prilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka. Dampak Yang Ditimbulkan Terhadap Hak Yang Diperoleh Janda Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradapan manusia itu sendiri. Bila hukum adat yang mengatur mengerti sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warganya maka warganya itu sendiri yang akan mengubah hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini akan terlihat dari keputusan-keputusan yang mereka sepakati. Faktor penyebab dari pergeseran nilai suatu hukum adat tertentu dapat disebabkan oleh adanya interaksi sosial, budaya yang sifatnya heterogen, dan lain sebagainya. Perubahan hukum adat dapat terjadi dengan adanya terobosan hukum adat melalui badan peradilan karena kehendak masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat, misalnya mengenai kedudukan anak perempuan pada masyarakat di Kota Mataram, menurut hukum adatnya bukanlah sebagai ahli waris, akan tetapi saat ini anak perempuan sudah berkedudukan sebagai ahli waris. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961 Tanggal 23 Nopember 1961 yang menyatakan bahwa “berdasarkan selain rasa kemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan dan bahwa anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak laki-laki serta mendapat bagian yang sama dengan anak laki-laki. Di dalam penjelasan umum Instruksi Presiden dinyatakan bahwa Gender adalah konsep yang mengacu pada Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 827 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 peran-peran dan tanggung Jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari perubahan keadaan sosial dan budaya masyarakat. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional. Satjipto Rahardjo berpendapat sebagai suatu kenyataan harus diakui bahwa hukum adat itu masih merupakan bagian dari struktur sosial masyarakat Indonesia, yang untuk berbagai daerah tidak sama kekuatan berlakunya, tanpa perlu diatur secara tegas, suatu politik hukum yang baik tidak akan meninggalkan kenyataan tersebut. Hal ini berarti, bahwa penerimaan hukum adat itu sejauh hal itu sesuai atau menunjang politik hukum yang dijalankan". Mengenai Dampak Yang Ditimbulkan Terhadap Hak Yang Diperoleh Janda Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram, seperti hak untuk menjadi wali dan mengurus anak-anaknya, hak untuk tetap tinggal dirumah almarhum suami, hak menikmati dan mendapatkan pengidupan dari harta almarum suaminya, hak untuk mengurus segala usaha yang di miliki suaminya dan hak untuk melakukan perbutan hukum untuk dirinya sendiri maupun untuk almarhum suaminya. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan di atas, maka disimpulkan sebagai berikut : 1. Kedudukan janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, terdapat dalam delapan asas, yaitu a) apabila dalam suatu keluarga terdapat seorang janda dan para ahli waris lainnya yang mempunyai kedudukan pertama (anak laki, cucu dari anak laki yang ayahnya telah meninggal dan lain-lain), janda berhak menuntut dari para ahli waris yang hidup, biaya pemeliharaan sebagai bagian yang dapat diserahkan dan harta peninggalan suaminya, atau harta pusaka yang belum berbagi yang ada pada suaminya, b) kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan bagi para janda bila suaminya meninggal dapat pula dibebankan atas harta pusaka keluarga suaminya selama janda itu tidak berbuat melanggar dharmanya dan tetap tinggal di rumah suaminya, c) hak bagi seorang wanita atau janda dalam menuntut biaya pemeliharaan itu timbul karena akibat hubungan hukum kekeluargaan, d) harta pemeliharaan akan diambil dari harta peninggalan selama belum dibagi oleh para Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 828 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 ahli warusnya, tetapi bila telah berbagi semua anak (ahli waris) wajib memberi sumbangan biaya menurut kemampuan masing-masing, e) anak tiri dari seorang janda tidak wajib memberi biaya pemeliharaan pada janda (ibu angkat) itu, dalam hal harta pusaka dipegang oleh salah satu ahli waris, pemegang harta pusaka itu berhak dan dapat menggunakan harta peninggalan itu untuk membiayai pemeliharaan janda pewaris, f) dalam hal janda bersama anak-anaknya hidup dalam rumah suaminya atau tetap dalam keluarga suaminya, janda dapat menuntut biaya pemeliharaan atas harta pusaka yang dipegang oleh saudara suaminya yang belum dibagi selagi suaminya masih hidup. Hal ini dapat kita jumpai misalnya dalam hal anak-anaknya masih kecil (belum dewasa), sehingga untuk menutupi biaya hidupnya, guna menghidupi dirinya sendiri beserta anak-anak itu ia harus menggantungkan diri pada harta pusaka yang belum dibagi itu, g) hak menuntut biaya pemeliharaan tidak dapat dipenuhi atau ditolak oleh pemegang harta peninggalan itu hanya karena sebab-sebab yang sah karena melanggar hukum, misalnya berzina, melacurkan diri, meninggalkan rumah suami dan hidup pada rumah yang bukan keluarganya sendiri dan bukan pula keluarga suaminya. 2. Yang menjadi hak janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, yaitu: a) hak untuk menjadi wali dan mengurus anak-anaknya, b) hak untuk tetap tinggal dirumah almarhum suami, c) berhak menikmati dan mendapatkan pengidupan dari harta almarum suaminya, d) Hak untuk mengurus segala usaha yang di miliki suaminya, dan e) berhak melakukan perbutan hukum untuk dirinya sendiri maupun untuk almarhum suaminya. 3. Dampak yang ditimbulkan terhadap hak yang diperoleh janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, yaitu : a) membawa dampak kesadaran sosial dan hak asasi manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari tuntutan derajat kemanusiaan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena faktor modernisasi dan emansipasi yang berbaur dengan perkembangan ekonomi dan politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara langsung membawa dampak kesadaran sosial dan hak asasi manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari tuntutan derajat kemanusiaan. Keadaan ini juga sangat berpengaruh terhadap kaum perempuan yang menuntut pelepasan diri dari nilai-nilai hukum adat yang bersifat diskriminatif antara, peran, hak, dan kewenangan kaum lelaki dibanding dengan kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa hukum adat itu tidak memberi peran Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 829 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 hak dan derajat yang sama antara pria dengan perempuan dalam kehidupan, sosial budaya, politik, ekonomi dan juga dalam kehidupan rumah tangga serta harta perkawinan dan warisan, sehingga terjadi keinginan untuk menyeimbangkan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Keadaan tersebut semakin kuat dengan keluarnya UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 830 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M. Rasyid, 1998. Hukum Waris Adat Dalam Yurisprudensi. Jakarta:Ghalia Indonesia. Akbar Setiady, Purnomo dan Usman, Husaini, 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung : Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rhineka Cipta. Bungin, Burhan, 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.a Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogya: Pustaka Pelajar, Yogya. Gulo, W, 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia. Kajeng, I Nyoman dkk, 2005. Sarasamuccaya. Surabaya : Paramita. Miles, B Matthew dan Huberman, A Michael, 1992. “Analisis Data Kualitatif”. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Moleong, Lexy, J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. O’Dea, Thomas, E,1985. Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal. Jakarta : CV.Rajawali. Ritzer, George, 2014. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kharisma Putra Utama. Poerwadarminta, WJS, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Puja, I Gede, 1977. Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali dan Lombok. Jakarta:CV. Junasco. Pudja, I Gde dan Sudharta, Rai, Tjokorda, 2002. “Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra)”. Jakarta : CV Felita Nursatama Lestari. Sagala, Syaiful, 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. Soeripto, K.R, 1977. Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris Bali. Jember: fakultas Hukum Universitas negeri Jember. Sokanto, Soerjono, 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta : Rajawali. Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 831 Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015 Sudantara, I Ketut, 2011. Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan. Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011. Sudiyat, Iman, 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif – Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suprayogo, Imam dan Tabroni, 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Suteja, Dharma I Made, 2003. Jurnal penelitian Sejarah dan Nilai tradisional. Denpasar : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Titib, I Made, 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya, Paramita. Windia, Wayan P, 2013. Wanita Bali Multifungsi Tetap Dipinggirkan. Artikel Balipost.co.id. Zain, Badudu, 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. SUMBER INTERNET : (http://betawe.blogspot.com/2011/02/perkawinan-beda-agama-di-indonesia.html. diunduh tanggal 10 Juni 2014) (Songan, Mertamupu Putra, 2013. Hukum Waris Hindu Berdasarkan Kitab Arthasastra. hukumhindu.com. diunduh tanggal 10 Oktober 2014) (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm. diunduh tanggal 15 Oktober 2014) (http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/2451/node/166/uu-no-14-tahun-1970ketentuan-ketentuan-pokok-kekuasaan-kehakiman diunduh tanggal 15 Oktober 2014) Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832 832