815 KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS HINDU (STUDI

advertisement
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS HINDU
(STUDI KASUS DI KOTA MATARAM)
Gusti Ayu Agung Andriani
Dosen Jurusan Dharma Sastra STAHN Gde Pudja Mataram
Diterima : 06 Januari 2015
Direvisi : 12 Maret 2015
Disetujui : 3 April 2015
Abstrak
Seringkali para janda kurang diperhatikan oleh anak, menantu dan keluarganya,
mereka hanya diperhatikan sekedar saja, bahkan mereka disisihkan, dimusuhi dan
disingkirkan secara halus dari rumahnya, apalagi terhadap janda tanpa anak,
kebanyakan dari mereka tidak dianggap setelah semua harta peninggalan suaminya
habis dibagi dan dijual oleh pewarisnya, ini merupakan kenyataan yang sangat buruk
dan bertolak belakang dengan apa yang disyaratkan dalam undang-undang dan kitab
suci Hindu, Melihat kenyataan yang selama ini terjadi di masyarakat, maka penelitian
ini difokuskan untuk mengkaji “Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Hindu (Studi
Kasus di Kota Mataram)”Bertalian dengan fenomena tersebut maka dalam penelitian
akan diungkap tiga aspek esensial yaitu :1) Kedudukan janda dalam hukum waris Hindu
di Kota Mataram, 2) Hak janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, 3) Dampak
yang ditimbulkan terhadap hak yang diperoleh janda dalam hukum waris Hindu di Kota
Mataram.
Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan pendekatan
sosiologis, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi, wawancara
dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Kedudukan janda
dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, terdapat dalam delapan asas, yaitu a) janda
berhak menuntut dari para ahli waris yang hidup, biaya pemeliharaan sebagai bagian
yang dapat diserahkan dan harta peninggalan suaminya, atau harta pusaka yang belum
berbagi yang ada pada suaminya, b) kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan bagi
para janda selama janda itu tidak berbuat melanggar dharmanya dan tetap tinggal di
rumah suaminya, c) hak bagi seorang wanita atau janda dalam menuntut biaya
pemeliharaan itu timbul karena akibat hubungan hukum kekeluargaan, d) harta
pemeliharaan akan diambil dari harta peninggalan selama belum dibagi oleh para ahli
warusnya, tetapi bila telah berbagi semua anak (ahli waris) wajib memberi sumbangan
biaya menurut kemampuan masing-masing, e) anak tiri dari seorang janda tidak wajib
memberi biaya pemeliharaan pada janda (ibu angkat) itu, f) janda dapat menuntut biaya
pemeliharaan atas harta pusaka hyang dipegang oleh saudara suaminya yang belum
dibagi selagi suaminya masih hidup. g) hak menuntut biaya pemeliharaan tidak dapat
dipenuhi oleh pemegang harta peninggalan itu hanya karena sebab-sebab yang sah
karena melanggar hukum, misalnya berzina, melacurkan diri, meninggalkan rumah
suami dan hidup pada rumah yang bukan keluarganya sendiri dan bukan pula keluarga
suaminya. (2) Yang menjadi hak janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram,
yaitu: a) hak untuk menjadi wali dan mengurus anak-anaknya, b) hak untuk tetap tinggal
dirumah almarhum suami, c) berhak menikmati dan mendapatkan pengidupan dari harta
almarum suaminya, d) Hak untuk mengurus segala usaha yang di miliki suaminya, dan
e) berhak melakukan perbutan hukum untuk dirinya sendiri maupun untuk almarhum
suaminya. (3) Dampak yang ditimbulkan terhadap hak yang diperoleh janda dalam
hukum waris Hindu di Kota Mataram, yaitu : a) membawa dampak kesadaran sosial dan
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
815
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
hak asasi manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari tuntutan derajat
kemanusiaan.
Kata Kunci : Kedudukan Janda, Hukum Waris Hindu
ABSTRACT
THE POTITION OF A WIDOW IN INHERITANCE LAW OF HINDU
(CASE STUDY IN MATARAM CITY)
Abstrac
Widows often get less attention by their children, son or daughter in law, and their
family, even they are set aside, despised and excluded subtly from their home,
especially a widow who does not have child or children, most of them are not
considered after all the inheritances of her husband has been divided and sold by the
heirs. It is a very bad fact and the fact is contrary to what is required by law and the
Hindu holy book. Based on this fact, this study is focused on studying "The Potition of a
Widow In Inheritance Law of Hindu" In relation to the phenomenon, the study focuses
on three essential aspects: 1) The position of a widow in inheritance law of Hindu in
Mataram City, 2) The right of widows in inheritance law of Hindu in Mataram City, and
3) The impact which appears towards the right of a widow in inheritance law of Hindu
in Mataram City.
This study is descriptive qualitative study by using sociological approach. Data
were collected by using observation, interview, and documentation. The findings show
that: (1) there are eight principles in accordance with the position of widows in
inheritance law of Hindu in Mataram City, namely a) a widow has the rights to demand
from her heirs, cost of maintenance as a part that can be turned over and the her husband
inheritance, or treasure heritage who have not been shared yet by her husband, b) the
obligation to provide costs of maintenance for widows as long as the widow does not
break the law (rules) and she still lives in her husband's house, c) the right for a woman
or a widow in demanding cost of maintenance that arise as a consequence of relations
family law, d) cost of maintenance will be taken from the inheritance as long as it
(inheritance) has not been divided by the heirs, but it has been divided for the children
(heirs), they have an obligation to give donation or cost of maintenance based on their
ability, e) step child of a widow does not have an obligation to give cost of maintenance
to the widow (step mother), f) a widow can claim the cost of maintenance for
inheritance which is held by her brother of husband that has been divided as long as her
husband still alive. g) A widow does not have rights to demand cost of maintenance if
she breaks the rules, such as adultery, prostituting herself, she leaves her husband’s
house. (2) There are some rights of a widow in inheritance law of Hindu in Mataram
City, namely: a) she has the right to be a wali (make legally responsible for abride) and
takes care of her children, b) the right to live in her late husband house, c) she has the
right to enjoy and get cost of maintenance from her husband’ inheritance, d) she has the
right to take care of her late husband’s business, and e) she has the right to conduct legal
deeds for herself or for her late husband. (3) The impact which appears towards the right
of a widow in inheritance law of Hindu in Mataram City, namely: a) the impact of
social awareness and human rights, and this has lead to dynamic motion of the demands
of the degree of humanity.
Keywords: The Position of Widow, Inheritance Law of Hindu
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
816
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
PENDAHULUAN
Kedudukan perempuan pada masa lalu tidaklah sebaik yang ada sekarang.
Sekalipun di beberapa tempat kedudukan perempuan belum mengalami perubahan yang
berarti, tetapi kenyataan lain menunjukkan bahwa kedudukan perempuan telah secara
nyata mengalami kemajuan. Mereka tidak lagi hanya sebagai subordinasi, tetapi telah
menjadi kekuatan modernisasi, malahan perempuan telah larut di dalamnya. Dalam
banyak kasus yang lain, kedudukan perempuan telah mencapai puncaknya, dari
kenyataan semakin banyak perempuan sebagai pimpinan organisasi seperti ekonomi,
politik dan sosial. Dengan kata lain, perempuan telah mewarnai persaingan dalam
urusan publik sebagai perempuan karier dengan segala beban dan tanggungjawabnya.
oleh karena itu seorang ibu disebut sebagai guru utama dan sekaligus guru pertama
(nasti guruh samo mata).
Ketika perempuan dibatasi ruang geraknya hanya pada arena domistik dalam
konteks home-economics serta dikembangkannya konsep deprivasi kasih sayang ibu
(maternal deprivation), maka kedudukan perempuan sebagai ‘bengkel’ sosial
pembentukan
manusia
pengiburumahtanggaan
telah
membentuk
ideologi
domistikasi
(housewifization).
Secara
implisit
dan
atau
konsepsi
pengiburumahtanggaan membawa implikasi bahwa perempuan secara ekonomis
tergantung pada suami. Untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera tentu tidak
bisa hanya dibebankan kepada istri atau suami saja, melainkan harus diupayakan
bersama-sama. Peranan istri dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera tidak
akan terwujud begitu saja, tetapi harus dibentuk oleh pihak lain secara bersama-sama.
Suami, anak, keluarga, dan lingkungan juga akan memberikan kontribusi terhadap
terbentuknya kondisi demikian. Oleh karena itu, setiap suami dan anggota keluarga
lainnya harus mampu ikut menciptakan agar wanita senantiasa hidup dengan perasaan
senang. Kenyataan yang dapat kita saksikan di masyarakat sekarang, banyak kaum
perempuan yang tidak mendapat perhatian, perlindungan dalam keluarganya, utamanya
apabila perempuan itu sudah berstatus sebagai janda. Seringkali para janda kurang
diperhatikan oleh anak, menantu dan keluarganya, mereka hanya diperhatikan sekedar
saja, bahkan mereka disisihkan, dimusuhi dan disingkirkan secara halus dari rumahnya,
apalagi terhadap janda tanpa anak, kebanyakan dari mereka tidak dianggap setelah
semua harta peninggalan suaminya habis dibagi dan dijual oleh pewarisnya, ini
merupakan kenyataan yang sangat buruk dan bertolak belakang dengan apa yang
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
817
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
diisyaratkan dalam undang-undang dan kitab suci Hindu, bahwa perempuan mendapat
kedudukan yang baik dan dimuliakan dalam keluarga.
PEMBAHASAN
Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram
Kata "kedudukan” mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang
sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara. (Poerwadarmita,
1976:38).Kedudukan dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau. tingkatan
seseorang di dalam mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai
anggota keluarga, kerabat dari masyarakat. Kedudukan perempuan dalam Hukum Adat
adalah sebagai berikut.
a. Kedudukan Sebagai Anak
Hukum Bali dan Lombok merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup
dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang
membedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan
generasi penerus ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak karena anak perempuan
dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika anak perempuan akan menikah dan
mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama anak perempuan
belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya. Dalam masyarakat Lombok yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli
waris ayahnya. Anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai
hadiah. Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Juli 1973 Nomor 1037K/Sip/1971.
Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa anak perempuan adalah merupakan satusatunya ahli waris dan yang berhak atas harta warisan yang ditinggal pewaris.
b. Kedudukan Sebagai Istri
Di dalam sebuah keluarga bahwa seorang istri wajib menjaga keutuhan rumah
tangganya, setia dan berbakti kepada suami, serta merawat dan mendidik anak-anaknya
hingga mereka dewasa. Istri adalah pendamping suami dalam menegakkan rumah
tangga. Sejak perkawinan terjadi istri telah masuk ke dalam keluarga suaminya dan
melepaskan hubungan dengan keluarganya sendiri. Walaupun sebenarnya hubungan itu
tetap masih ada sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Lombok, Si istri telah
menjadi hak dan tanggung jawab dari suaminya dan istri mempunyai hubungan hukum
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
818
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
semata-mata bukan hanya terhadap suami saja tetapi juga terhadap kerabat suaminya.
Tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan. Apabila istri telah melahirkan
anak laki-laki maka posisinya adalah kuat di keluarga suaminnya.
Dalam Manusmrti V.148 ditegaskan bahwa:
“Selagi kanak-kanak, anak perempuan itu menjadi penguasaan ayahnya, bila
dewasa (kawin) oleh suaminya, bila suami meninggal, oleh anak-anaknya,
wanita tidak pernah lepas dari ketergantungan itu” (dalam Pudja, 1977:155)
Manusmrti di atas hanya menentukan bagaimana keterikatan seorang anak perempuan
atau wanita dalam sistem hukum Hindu. Oleh karena itu lebih jauh ditekankan, di dalam
Manusmrti V.149, sebagai berikut:
Ia hendaknya tidak memisahkan dirinya dari ayahnya, suaminya atau dari
anaknya, karena dengan meninggalkan itu berarti ia membuat dirinya dan
keluarganya dipersalahkan” (dalam Pudja, 1977:155)
Untuk menjamin kedudukan dan perlindungan hukum bagi seorang anak
perempuan seperti di atas, dalam Manawadharmasastra dijelaskan sebagai berikut:
Purusasya striyaccaiwa
dharma wartmani tistha toh
samyoge wiprayoge ca dharman
waksyami cacwatan
(MDS IX.1)
Terjemahan:
“Sekarang akan kutetapkan dharma (hukum yang abadi) bagi suami dan istri
yang akan mengatur pada jalan kewajiban, apakah mereka bersatu atau
bercerai”. (Pudja, dkk, 2002:526)
Aswatantrah striyah karyah
purusaih swairdiwani cam
wisayeseu ca sajjantyah
atmano wace
(MDS IX.2)
Terjemahan :
‘Siang dan malam wanita harus dipelihara, tergantung kepada laki-laki dalam
keluarga mereka, dan kalau ia terlalu terikat oleh nafsu-nafsu indrianya,
hendaknya selalu dibawah pengawasan seseorang” (Pudja, dkk, 2002:526)
Pitaraksati kaumare
bharta raksati yauwane
raksanti sthawire putra na
stri swatantryam arhati (MDS IX.3)
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
819
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
Terjemahan :
“Ayahnya akan melindunginya selagi ia masih kanak-kanak dan bila telah
dewasa oleh suaminya yang melindunginya, sedangkan bila telah tua, putraputranyalah yang melindunginya, wanita tidak pernah layak untuk bebas”.
(Pudja, dkk, 2002:526)
Kale data pita wacyo
wacyaccanupayan patih
smrte bhartari putrastu
wacyo matura raksita
(MDS IX.4)
Terjemahan:
“Salahlah ayahnya karena tidak mengawinkan putrinya pada waktunya,
suaminya dapat dipersalahkan karena tidak menggauli istrinya pada waktunya
dan anaknya dapat dipersalahkan karena tidak melindungi ibunya setelah
suaminya meninggal”. (Pudja, dkk, 2002:527)
Kutipan terjemahan Manawadharmasastra di atas menunjukkan bagaimana
seorang wanita itu dianggap sangat terikat sekali kepada keluarga purusa dimana ia
tinggal. Oleh karena itu kewajiban bagi pihak purusa adalah untuk memberikan
perlindungan dengan cara memberi biaya hidup yang diperlukan oleh mereka. Dengan
kata lain hak seorang istri atau seorang anak atau seorang janda dalam sistem
kekeluargaan Hindu adalah menuntut diberikannya biaya pemeliharaan yang layak
didalam menempuh jalan hidupnya didalam keluarga purusa itu.
Hak ini juga meliputi hak untuk tinggal di rumah suaminya sampai akhir
hayatnya, termasuk didalam hak memperoleh pemeliharaan, ini adalah hak untuk
menikmati hasil yang timbul dari penggunaan harta pusaka tersebut. Di dalam hukum
adat ditekankan, bila suaminya telah meninggal, sedangkan padanya masih ada ahli
waris yang masih kecil atau dewasa, pertama-tama harta tersebut harus diterimakan
kepada janda pewaris yang akan mengelola atas nama seluruh keluarga almarhum dan
untuk kepentingan keluarga dan ahli warisnya. Hanya saja ditekankan bahwa didalam
pengelolaan itu ia tidak bebas, artinya selalu diawasi oleh keluarga almarhum yang
terdekat. Tujuannya adalah untuk melindungi hak para ahli waris yang masih kecil agar
jangan sampai diterlantarkan sebagai akibat tindakan yang salah dari janda itu didalam
pengurusan harta peninggalan itu. Jadi pemeliharaan seperti ini merupakan kewajiban
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
820
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
hukum yang harus dilakukan baik oleh suami terhadap istrinya, ayah terhadap anak
perempuannya dan anak terhadap ibunya. (Pudja, 1977:156-157)
Dalam mencoba untuk merekonstruksi kemungkinan-kemungkinan penuntutan
yang dapat dilakuka oleh seorang janda terhadap para ahli waris dalam hal telah terjadi
berbagi waris, penuntutan semacam itu dapat saja terjadi bila dalam pembagian warisan
itu janda itu tidak mendapat perlakuan yang layak hingga hak pemeliharaan itu tidak
diperolehnya.
Hak Janda Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram
Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Dalam Hukum Waris Adat,
yaitu:
1. Faktor Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka cara berpikirnya pun akan semakin
maju dan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan di lingkungan
sekitarnya. Pendidikan membawa seseorang menjadi lebih kritis dalam menghadapi
suatu perubahan yang akan bermanfaat bagi dirinya, lingkungan dan masyarakat dalam
berinteraksi satu sama lainnya.. Hal ini berpengaruh khususnya dalam waris adat Batak,
yang dulunya anak laki-laki yang berhak mendapat warisan (sistem patrilineal), Karena
berpikir dengan logika, seseorang akan lebih cenderung memilih keadilan dalam hal
pembagian harta warisan. Dengan demikian bagian warisan kepada anak laki-laki dan
perempuan adalah sama rata.
2. Faktor Perantauan/Migrasi
Perpindahan penduduk atau orang-orang dari satu daerah (kampung halaman) ke
daerah yang lain agar kehidupan selanjutnya lebih baik dan terjamin, khususnya di
daerah perantauan. Hal ini mempengaruhi terhadap kebiasaan atau adat istiadat hukum
waris dari daerah asalnya yang patrilineal menjadi mengikuti pola hukum waris parental
yang ada di daerah perantauan.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi pada setiap individu sangat mempengaruhi terhadap kehidupan
di dalam keluarganya. Biaya hidup semakin tinggi dan biaya pendidikan semakin
mahal, tetapi juga tidak boleh lupa bahwa persoalan biaya hidup setelah suami/atau
ayah meninggal dunia merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin masa depan
anak-anaknya yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Jika diperhatikan ketentuan-
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
821
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
ketentuan adat Bali dan Lombok yang dipengaruhi oleh sistem patrilineal dan juga
apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki
yang bertanggung jawab dalam memberikan biaya hidup kepada keluarga, karena pada
umumnya laki-lakilah yang bekerja. Seandainya dijumpai istri atau ibu yang bekerja,
hal tersebut tidak lain adalah menunjang kehidupan ekonomi keluarga.
4. Yurisprudensi
Di dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman pada pasal 1 dikatakan : “Kekuasaan kehakiman adalah,
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”. Berdasarkan Pasal 27 UU No 14/1970, hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup, dalam masyarakat. Dengan kata lain, dalam masyarakat yang masih mengenal
hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan ,hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.
Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim, dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. (Ahmad, 1998:24-38). Ahmad memberi arti
Yurisprudensi bahwa :
1) Putusan hakim mengenai kasus tertentu (Judge's decision a particular case).
2) Putusan mengandung “Ration Recidendi” atau mengandung “Basic Reason”
sebagai prinsip hukum atas putusan kasus yang bersangkutan.
3) Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan
hukum (law development) sehingga pada hakekatnya kasus yang diputus berkaitan
erat dengan perubahan sosial (social change) dan kondisi ekonomi (Economic
Condition).
4) Kemungkinan kasus tersebut belum diatur di dalam undang-undang sehingga
diperlukan penciptaan hukum baru atau sudah diatur di dalam undang-undang tetapi
tidak sesuai lagi dengan nilai kesabaran perubahan sosial dan kondisi perekonomian
sehingga diperlukan penafsiran dan modifikasi (interpretation of statue).
Yurisprudensi yang merupakan perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan
perubahan sosial adalah Putusan Mahkamah Agung Tanggal 23 Oktober 1961 No. 179
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
822
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
K/Sip/1961 yang berbunyi : Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup
di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang pewaris
bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bagian anak laki-laki adalah sama
dengan anak perempuan.
Selain itu juga Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi:
(1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal di atas menekankan tentang kewajiban dan hak setiap manusia di dalam
hukum Selain itu, dengan adanya yurisprudensi di kemudian hari, bila terjadi sengketa
warisan, pihak yang merasa dirugikan, terutama pihak perempuan, dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri, dan penyelesaiannya oleh hakim dapat merujuk kepada
yurisprudensi ini, yaitu pembagian hak waris yang sama terhadap anak laki-laki dan
anak perempuan. Di samping faktor-faktor di atas, dikenal juga faktor internal yang
mempengaruhi proses perubahan dalam masyarakat adat, yaitu :
a. Faktor Kesadaran
Konsep kesadaran lazim dianggap titik tolak tumbuh dan berkembangnya
kesadaran hukum masyarakat. Hukum menjadi patokan dalam bertingkah laku, sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum
disini diartikan sebagai persepsi hukum dari seorang individu atau masyarakat terhadap
hukum. Soekanto (1982:145) mengkonsepsikan: kesadaran hukum merupakan
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia dan masyarakat tentang
hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Penekanannya adalah pada
sisi nilai-nilai atau tentang fungsi hukum, dan bukan pada penilaian hukum terhadap
kejadian yang konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum
merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses. Konsepsi tersebut
mengarahkan hukum pada hukum yang berlaku dan hukum yang dicita-citakan (ius
constitutum dan ius constituendum), meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis.
b. Kebangkitan Individu
Kebangkitan individu disini diartikan sebagai proses munculnya kritisisme
seseorang atas tradisi-tradisi yang berlangsung dalam masyarakatnya. Biasanya proses
kebangkitan ini diawali dengan adanya tingkat pemahaman seseorang atas hak-haknya
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
823
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
sebagai individu, yang memiliki ruang publik dan ruang privat. Ruang publik, diartikan
sebagai tempat terjadinya proses penginternalisasian nilai-nilai masyarakat terhadap,
seorang individu. Ruang privat adalah tempat yang diasumsikan sebagai milik mutlak
seorang individu. Dalam ruang ini individu tersebut dapat melakukan purifikasi dan
mengkritisi nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakatnya.
Proses kebangkitan ini seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum
masyarakat. Jika pada suatu masyarakat semakin tumbuh kesadaran terhadap, hak-hak
individual seseorang, daya berlakunya hukum adat pun cenderung makin menipis.
Sebaliknya, jika kesadaran hukum masyarakat mengarah pada nilai-nilai yang berkaitan
dengan budaya dan keyakinan, hal tersebut cenderung dapat menimbulkan kontinuitas
daya berlakunya hukum adat. Peswara 1900 yang berlaku untuk penduduk Hindu Bali
Terhadap kedudukan perempuan dalam pewarisan tersebut dapat diketahui dari
ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peswara 1900.
Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut: “Apabila oleh seorang atau
beberapa orang anak laki-laki yang sudah kawin dalam pembagian itu dimintakan
perantara pemerintah, maka pembagian akan diatur demikian rupa, sehingga janda
mendapat satu bagian, masing-masing anak lelaki dua bagian dan masing-masing anak
perempuan setengah bagian. Bila tidak ada anak laki-laki, maka semua warisan jatuh
kepada wanita-wanita yang masih ada seperti yang disebutkan tadi”. Adanya Peswara
tersebut pada Tahun 1900, membuat para perempuan pada daerah tersebut menjadi jelas
status dan kedudukannya dalam hal pewarisan. Jika di lihat di dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat (1 dan 2) bahwa hak istri seimbang dengan
suami baik dalam rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat dan istri berhak
melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dirinya. Sedangkan dalam pasal 36 ayat
2 mengenai harta bawaan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya. Dalam UU perkawinan telah mengatur hak-hak
seorang istri secara jelas. Hak yang dimiliki oleh janda yang tetap tinggal di rumah
suaminya dalam UU Perkawinan tetap sama seperti seorang istri yang masih memiliki
suami.
Berdasarkan
hukum
agama
Hindu,
menurut Songan
(2013)
dalam
artikel “Hukum Waris Hindu Berdasarkan Kitab Arthasastra”, yang menjadi ahli waris
menurut Hukum Hindu adalah anggota keluarga pewaris, terutama anak-anak dari
pewaris. Dalam Hukum Waris Hindu yang utama menjadi ahli waris adalah anak lelaki,
anak perempuan (seperempat) dan anak perempuan yang diangkat statusnya
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
824
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
sebagai Purusa atau berstatus laki-laki (sama dengan bagian ahli waris lelaki). Dalam
perkawinan biasa, istri atau janda pewaris tidak mewaris dari suaminya yang meninggal,
karena janda bukan termasuk ahli waris menurut hukum agama Hindu. Janda hanya
mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan suaminya.
Dalam Artha Sastra II. 26 menjelaskan bahwa seorang janda yang kawin lagi akan
kehilangan apa yang diberikan oleh almarhum suaminya (Astana, 2003:225) Penjelasan
kitab Artha Sastra di atas, segayut dengan pendapat Sudantra (2011), dosen Hukum
Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dalam artikel berjudul “Pembaharuan
Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan”, hukum adat Bali
yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai
ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk
menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami. Windia (2013)
menjelaskan:
“…jika mengacu Pasuara 1900 dan awig-awig desa pakraman, wanita Bali tak
berhak atas warisan, hanya menikmati, itu pun secara terbatas. Ada syaratnya,
selama mereka belum kawin ke luar dan bagi janda bersikap sesuai dharmaning
janda. Ini menyebabkan wanita Bali masih banyak dipinggirkan. Sebelum 2010
wanita Bali-Hindu hanya berhak menikmati harta warisan secara terbatas.
Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan
Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15
Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa
setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika
kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris.
Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal
sukarela.”
Dari uraian di atas, menurut hukum agama Hindu, janda bukanlah ahli waris dari
suaminya. Hukum ini dilaksanakan secara ketat oleh masyarakat Hindu di wilayah Bali.
Berdasarkan KUHPerdata, janda merupakan ahli waris. Hal ini merujuk pada ketentuan
Pasal 832 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Menurut undang-undang, yang
berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undangundang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama...”
Untuk bagian dari janda adalah sebagai berikut:
1. Jika tidak terdapat perjanjian perkawinan antara janda dan mendiang suaminya,
maka pembagiannya adalah:
a. ½ dari harta perkawinan/harta bersama (berdasarkanPasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan); dan
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
825
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
b. ½ x jumlah ahli waris = ½ x ½ = ¼ (berdasarkan Pasal 852a ayat (1)
KUHPerdata).
Jadi, total bagian janda adalah ¾ bagian, ¼ bagian lagi dipergunakan untuk
melaksanakan upacara pengabenan suaminya, mengurus mertua (bila ada) dan
pembiayaan terhadap kewajiban almarhum yang lainnya.
2. Jika ada perjanjian perkawinan, maka bagian waris ibu Anda hanyalah ¼ bagian.
Secara umum kewajiban yang harus dilaksanakan janda yaitu :
a. Kewajiban untuk mengabenkan almarhum suaminya.
b. Kewajiban untuk menjadi wali anak-anaknya dan mengurus segala keperluan
anak-anaknya.
c. Kewajiban untuk membayar segala hutang yang dimiliki almarhum suaminya.
d. Jika masih ada mertua, janda wajib untuk mengurusnya.
e. Kewajiban untuk mengurus sanggah/merajan. Pura dadya almarhum suami dan
melaksanakan aktivitas keagamaannya.
f. Kewajiban untuk mengurus segala harta peninggalan yang dimiliki oleh
almarhum suami.
g. Walaupun sudah ditinggal meninggal oleh suaminya seorang istri (janda) harus
tetap setia pada suaminya.
h. Berkewajiban untuk menjaga nama baik keluarga almarhum suami.
Secara umum kewajiban antara janda dengan wanita yang masih bersuami
tidaklah
terdapat
perbedaan
yang
mendasar
sehingga
menyebabkan
adanya
pembanding-bandingan dalam pelaksanaan kewajiban antara janda dengan wanita yang
bersuami. Walaupun seseorang telah menjadi janda, mereka tetap melaksanakan
kewajiban pokok seorang istri.
Terjadinya harmonisasi dalam pemberian hak dan
kewajiban janda secara umum di dasari oleh nilai sebagai berikut :
a. Nilai welas asih yaitu nilai kasih sayang antar sesama. Segala hak yang dimiliki oleh
seseorang harus seimbangan dengan kewajiban yang harus diembannya. Begitu juga
dengan janda, antara hak dan kewajibanya disesuaikan sesuai hukum yang berlaku.
Nilai welas asih ini sebagai pembentuk kerukunan antar keluarga dan masyarakat.
b. Nilai Tat Twam Asi yaitu kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai ini
memberikan pengaruh bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi dan menghormati
orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Tat twan asi mengajarkan bahwa
di dalam kehidupan orang selalu dituntun untuk dapat memahami orang lain.
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
826
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
c. Nilai paras paros sarpanaya salunglung sabayantaka yaitu suatu nilai sosial tentang
perlunya kebersamaan dan kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya
sebagai satu kesatuan sosial yang saling menghargai dan menghormati. Selalu
bersatu dalam keadaan suka maupun duka sampai nafas terakhir.
d. Nilai menyama braye yaitu nilai ini mengandung makna persamaan dan
persaudaraan dan pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu
kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan prilaku dalam memandang orang lain
sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka.
Dampak Yang Ditimbulkan Terhadap Hak Yang Diperoleh Janda Dalam Hukum
Waris Hindu di Kota Mataram
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa
dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradapan manusia itu sendiri. Bila
hukum adat yang mengatur mengerti sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan warganya maka warganya itu sendiri yang akan mengubah
hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka.
Hal ini akan terlihat dari keputusan-keputusan yang mereka sepakati. Faktor penyebab
dari pergeseran nilai suatu hukum adat tertentu dapat disebabkan oleh adanya interaksi
sosial, budaya yang sifatnya heterogen, dan lain sebagainya.
Perubahan hukum adat dapat terjadi dengan adanya terobosan hukum adat
melalui badan peradilan karena kehendak masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat,
misalnya mengenai kedudukan anak perempuan pada masyarakat di Kota Mataram,
menurut hukum adatnya bukanlah sebagai ahli waris, akan tetapi saat ini anak
perempuan sudah berkedudukan sebagai ahli waris. Hal ini dapat dilihat dalam putusan
Mahkamah Agung No. 179K/Sip/1961 Tanggal 23 Nopember 1961 yang menyatakan
bahwa “berdasarkan selain rasa kemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat
persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan
menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia bahwa anak perempuan
dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan
dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan dan
bahwa anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak
laki-laki serta mendapat bagian yang sama dengan anak laki-laki. Di dalam penjelasan
umum Instruksi Presiden dinyatakan bahwa Gender adalah konsep yang mengacu pada
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
827
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
peran-peran dan tanggung Jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari
perubahan keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
nasional. Satjipto Rahardjo berpendapat sebagai suatu kenyataan harus diakui bahwa
hukum adat itu masih merupakan bagian dari struktur sosial masyarakat Indonesia, yang
untuk berbagai daerah tidak sama kekuatan berlakunya, tanpa perlu diatur secara tegas,
suatu politik hukum yang baik tidak akan meninggalkan kenyataan tersebut. Hal ini
berarti, bahwa penerimaan hukum adat itu sejauh hal itu sesuai atau menunjang politik
hukum yang dijalankan".
Mengenai Dampak Yang Ditimbulkan Terhadap Hak Yang Diperoleh Janda
Dalam Hukum Waris Hindu di Kota Mataram, seperti hak untuk menjadi wali dan
mengurus anak-anaknya, hak untuk tetap tinggal dirumah almarhum suami, hak
menikmati dan mendapatkan pengidupan dari harta almarum suaminya, hak untuk
mengurus segala usaha yang di miliki suaminya dan hak untuk melakukan perbutan
hukum untuk dirinya sendiri maupun untuk almarhum suaminya.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan di atas,
maka disimpulkan sebagai berikut :
1. Kedudukan janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, terdapat dalam
delapan asas, yaitu a) apabila dalam suatu keluarga terdapat seorang janda dan para
ahli waris lainnya yang mempunyai kedudukan pertama (anak laki, cucu dari anak
laki yang ayahnya telah meninggal dan lain-lain), janda berhak menuntut dari para
ahli waris yang hidup, biaya pemeliharaan sebagai bagian yang dapat diserahkan
dan harta peninggalan suaminya, atau harta pusaka yang belum berbagi yang ada
pada suaminya, b) kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan bagi para janda
bila suaminya meninggal dapat pula dibebankan atas harta pusaka keluarga
suaminya selama janda itu tidak berbuat melanggar dharmanya dan tetap tinggal di
rumah suaminya, c) hak bagi seorang wanita atau janda dalam menuntut biaya
pemeliharaan itu timbul karena akibat hubungan hukum kekeluargaan, d) harta
pemeliharaan akan diambil dari harta peninggalan selama belum dibagi oleh para
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
828
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
ahli warusnya, tetapi bila telah berbagi semua anak (ahli waris) wajib memberi
sumbangan biaya menurut kemampuan masing-masing, e) anak tiri dari seorang
janda tidak wajib memberi biaya pemeliharaan pada janda (ibu angkat) itu, dalam
hal harta pusaka dipegang oleh salah satu ahli waris, pemegang harta pusaka itu
berhak dan dapat menggunakan harta peninggalan itu untuk membiayai
pemeliharaan janda pewaris, f) dalam hal janda bersama anak-anaknya hidup dalam
rumah suaminya atau tetap dalam keluarga suaminya, janda dapat menuntut biaya
pemeliharaan atas harta pusaka yang dipegang oleh saudara suaminya yang belum
dibagi selagi suaminya masih hidup. Hal ini dapat kita jumpai misalnya dalam hal
anak-anaknya masih kecil (belum dewasa), sehingga untuk menutupi biaya
hidupnya, guna menghidupi dirinya sendiri beserta anak-anak itu ia harus
menggantungkan diri pada harta pusaka yang belum dibagi itu, g) hak menuntut
biaya pemeliharaan tidak dapat dipenuhi atau ditolak oleh pemegang harta
peninggalan itu hanya karena sebab-sebab yang sah karena melanggar hukum,
misalnya berzina, melacurkan diri, meninggalkan rumah suami dan hidup pada
rumah yang bukan keluarganya sendiri dan bukan pula keluarga suaminya.
2. Yang menjadi hak janda dalam hukum waris Hindu di Kota Mataram, yaitu:
a)
hak untuk menjadi wali dan mengurus anak-anaknya, b) hak untuk tetap tinggal
dirumah almarhum suami, c) berhak menikmati dan mendapatkan pengidupan dari
harta almarum suaminya, d) Hak untuk mengurus segala usaha yang di miliki
suaminya, dan e) berhak melakukan perbutan hukum untuk dirinya sendiri maupun
untuk almarhum suaminya.
3. Dampak yang ditimbulkan terhadap hak yang diperoleh janda dalam hukum waris
Hindu di Kota Mataram, yaitu : a) membawa dampak kesadaran sosial dan hak asasi
manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari tuntutan derajat
kemanusiaan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena faktor modernisasi
dan emansipasi yang berbaur dengan perkembangan ekonomi dan politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang secara langsung membawa dampak kesadaran
sosial dan hak asasi manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari
tuntutan derajat kemanusiaan. Keadaan ini juga sangat berpengaruh terhadap kaum
perempuan yang menuntut pelepasan diri dari nilai-nilai hukum adat yang bersifat
diskriminatif antara, peran, hak, dan kewenangan kaum lelaki dibanding dengan
kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa hukum adat itu tidak memberi peran
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
829
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
hak dan derajat yang sama antara pria dengan perempuan dalam kehidupan, sosial
budaya, politik, ekonomi dan juga dalam kehidupan rumah tangga serta harta
perkawinan dan warisan, sehingga terjadi keinginan untuk menyeimbangkan hak
dan kedudukan laki-laki dan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Keadaan
tersebut semakin kuat dengan keluarnya UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara
Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
830
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. Rasyid, 1998. Hukum Waris Adat Dalam Yurisprudensi. Jakarta:Ghalia
Indonesia.
Akbar Setiady, Purnomo dan Usman, Husaini, 2004. Metodologi Penelitian Sosial.
Bandung : Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Rhineka Cipta.
Bungin, Burhan, 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.a
Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogya: Pustaka
Pelajar, Yogya.
Gulo, W, 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia.
Kajeng, I Nyoman dkk, 2005. Sarasamuccaya. Surabaya : Paramita.
Miles, B Matthew dan Huberman, A Michael, 1992. “Analisis Data Kualitatif”. Jakarta
: Universitas Indonesia (UI-Press).
Moleong, Lexy, J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
O’Dea, Thomas, E,1985. Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal. Jakarta :
CV.Rajawali.
Ritzer, George, 2014. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Poerwadarminta, WJS, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Puja, I Gede, 1977. Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di
Bali dan Lombok. Jakarta:CV. Junasco.
Pudja, I Gde dan Sudharta, Rai, Tjokorda, 2002. “Manawa Dharmasastra (Manu
Dharmasastra)”. Jakarta : CV Felita Nursatama Lestari.
Sagala, Syaiful, 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Soeripto, K.R, 1977. Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris Bali. Jember: fakultas
Hukum Universitas negeri Jember.
Sokanto, Soerjono, 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta : Rajawali.
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
831
Widya Sandhi : ISSN. 1907-7351 - Volume 6. Nomor 1. Mei 2015
Sudantara, I Ketut, 2011. Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin
Segar Bagi Perempuan. Balisruti, Suara Millenium Development
Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011.
Sudiyat, Iman, 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif – Kualitatif Dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Suprayogo, Imam dan Tabroni, 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
Suteja, Dharma I Made, 2003. Jurnal penelitian Sejarah dan Nilai tradisional.
Denpasar : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional.
Titib, I Made, 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya, Paramita.
Windia, Wayan P, 2013. Wanita Bali Multifungsi Tetap Dipinggirkan. Artikel
Balipost.co.id.
Zain, Badudu, 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
SUMBER INTERNET :
(http://betawe.blogspot.com/2011/02/perkawinan-beda-agama-di-indonesia.html.
diunduh tanggal 10 Juni 2014)
(Songan, Mertamupu Putra, 2013. Hukum Waris Hindu Berdasarkan Kitab
Arthasastra. hukumhindu.com. diunduh tanggal 10 Oktober 2014)
(http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm. diunduh tanggal 15 Oktober 2014)
(http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/2451/node/166/uu-no-14-tahun-1970ketentuan-ketentuan-pokok-kekuasaan-kehakiman diunduh tanggal 15 Oktober
2014)
Gusti Ayu Agung Andriani : Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Hindu (Studi Kasus di Kota Mataram) 815832
832
Download