PERTUMBUHAN, PRODUKSI BIOMASSA DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN BERBAGAI METODE BUDIDAYA DI DALAM EKOSISTEM PADANG LAMUN Rajuddin Syamsuddin Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikana, Universitas Hasanuddin Kampus UNHAS Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan, Km 10 Makassar HP. 081355565099; Email : [email protected] Abstrak Penelitian bertujuan menentukan metode budidaya yang tepat yang menghasilkan pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan karaginan yang maksimal di dalam ekosistem padang lamun. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011 di perairan Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Analisis kandungan karaginan rumput laut dan parameter kimia kualitas air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Metode budidaya yang diterapkan sebagai perlakuan yaitu permukaan (20 cm di bawah permukaan air), metode lepas dasar (kedalaman 100 cm), dan metode dasar (pada sedimen dasar). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) masing-masing 5 ulangan untuk setiap perlakuan. Data laju pertumbuhan dan produksi biomassa dianalisis dengan Analisis Ragam dilanjutkan dengan uji Tukey, sedangkan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup untuk rumput laut K. alvarezii. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian, produksi biomassa dan kandungan karaginan tertinggi dihasilkan metode lepas dasar yakni masing-masing 1,54%/hari, 182,2 g dan 44,8%, sedangkan terendah metode dasar masing-masing 1,14%/hari, 124,4 g dan 39,9%. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang ditrerima oleh rumput laut pada lapisan air di atas dasar perairan (metode lepas dasar) optimal untuk metabolisme (proses fotosintesis dan penyerapan zat-zat hara berupa NH4+, NO3+, PO4- dan dan CO2). Pada metode dasar, intensitas cahaya rendah, sehingga penyerapan unsur hara dan proses fotosintesis agak terhambat, berakibat pada laju pertumbuhan, produksi biomassa, dan kandungan karaginan rendah, meskipun kandungan unsur hara pada dasar perairan cukup tinggi. Dekomposisi yang intensitf dari tallus oleh bakteri pada dasar perairan merupakan faktor lain penyebab rendahnya laju pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan karaginan rumput laut tersebut. Seluruh parameter kualitas air yang terukur berada pada kisaran yang optimal bagi pertumbuhan rumput laut. Kata Kunci : biomassa, Kappaphycus alvarezii, pertumbuhan karaginan, metode budidaya, padang lamun, Pendahuluan Rumput laut Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis alga (makro) merah bernilai ekonomis penting. Permintaan pasar dunia akan komoditas sumber karaginan ini sangat tinggi. Pengembangan usaha budi daya rumput laut diharapkan berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Budi daya rumput laut di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang pesat. Indonesia memiliki area untuk kegiatan budi daya rumput laut seluas 1.110.900 Ha (Poernomo, 2008). Namun demikian, ada beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya meningkatkan produksi dan mempertahankan kualitas atau kandungan karaginannya. Kendala tersebut adalah pengaruh faktor lingkungan oleh kondisi lingkungan budidaya dan akibat perubahan musim, yang menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan, mudah patah, mudah terserang penyakit ice-ice, penurunan kandungan karaginan, kontaminasi oleh limbah bahan berbahaya dan beracun. Salah satu lingkungan perairan laut yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut K. alvarezii adalah ekosistem padang lamun (seagrass ecosystem). Hamparan (padang) lamun (seagrass bed) merupakan vegetasi tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi, yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapa hartan padat atau jarang. Budi daya rumput laut pada wilayah pesisir sepatutnya dilakukan dengan ramah lingkungan, tanpa merusak ekosistem di dalamnya yakni padang lamun. Padang lamun memiliki karakteristik berupa sedimen yang stabil (tidak mudah teraduk) oleh pengaruh gelombang, gudang mineral nutrien (unsur hara) makro berupa nitrogen dan fosfor yang terdaur dari sedimen ke lapisan air di atasnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh rumput laut, dan produksi karbon yang cukup tinggi berkisar antara 9004650 gC/m2/tahun (Bengen, 2001). Oleh sebab itu, budi daya rumput laut (K. alvarezii) memungkinkan dilakukan pada ekosistem padang lamun. Beberapa penelitian memperlihatkan pertumbuhan yang cukup baik dari rumput laut yang dipelihara pada ekosistem padang lamun. Untuk menghasilkan pertumbuhan, produksi dan karaginan rumput laut secara maksimal yang dipelihara pada ekosistem padang lamun diperlukan metode budi daya yang tepat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diperlukan kajian tentang metode budi daya rumput laut K. alvarezii yang tepat pada ekosistem padang lamun yang dapat menunjukkan laju pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan karaginan yang tinggi . Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011 diperairan Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada perairan kedalaman 250 cm. Analisis kandungan karaginan rumput laut dilakukan di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Wadah dan Bibit Wadah budidaya yang digunakan pada penelitian ini adalah keranjang plastik berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 45 cm x 32 cm x 17 cm (Gambar 1). Untuk melindungi rumput laut dari serangan ikan-ikan herbivora, maka bagian atas wadah budidaya tersebut ditutup dengan lembaran plastik transparan. Gambar 1. Wadah budidaya rumput laut yang digunakan Wadah-wadah budidaya tersebut ditempatkan pada kedalaman berbeda di dalam ekosistem padang lamun sesuai dengan metode budidaya yang dicobakan, yakni masing-masing pada kedalaman 20 cm, 100 cm di bawah permukaan air laut, dan pada permukaan dasar perairan, masing-masing untuk metode permukaan, lepas dasar dan dasar (Gambar 2). Bibit rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah K. alvarezii dengan bobot awal 200g/wadah yang diperoleh di perairan sekitar lokasi penelitian di Puntondo, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Perlakuan dan Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 ulangan untuk masing-masing pelakuan yang dicobakan. Metode Permukaan Metode Lepas Dasar Metode Dasar Gambar 2. Penempatan Wadah Budidaya Sesuai dengan Metode Budidaya Pengukuran Peubah Laju pertumbuhan harian rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Munoz dkk., 2004): LPH =[ ln W t – ln W o)/t] x 100% dimana : LPH = Laju pertumbuhan spesifik harian rumput laut (%/hari) W t = Bobot basah rumput laut pada akhir penelitian (g) W o = Bobot basah rumput laut pada awal penelitian (g) Produksi biomassa rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus berikut: P = Bt - Bo dimana : P = Produksi biomassa rumput laut (g) Bt = Bobot basah rumput laut pada akhir penelitian (g) Bo= Bobot basah rumput laut pada awal penelitian (g) Kandungan karaginan dianalisis dengan ekstraksi rumput laut (Suryaningrum, 1992). Sebagai data penunjang, dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air meliputi: salinitas diukur dengan menggunakan handrefractometer, suhu dengan termometer, pH dengan pH meter, CO2 bebas dengan metode titrasi (Strikland dan Parsons, 1970), kecepatan arus dengan current meter, nitrat dengan asam sulfat fenol (APHA, 1998), ammonium diukur menggunakan spektrofotometer dengan metode neslerisasi (Strikland dan Parsons 1970), dan ortofosfat dianalisis dengan metode asam sulfal-nitrat. Pengukuran salinitas, suhu, pH, kecerahan, dan kecepatan arus dilakuan di lokasi penelitian 2 kali setiap hari yakni pada pagi hari (06.00) dan sore hari (17.00). Adapun CO 2 bebas, nitrat, orthoposfat dan ammonium diukur sekali seminggu di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas. Analisis Data Data pertumbuhan dan produksi biomassa dianalisis dengan Analisis Ragam dilanjutkan dengan uji W-Tukey (Steel dan Torrie, 1993). Kandungan karaginan dibahas secara deskriptif, dan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup untuk rumput laut K. alvarezii. Hasil dan Pembahasan Laju Pertumbuhan Harian Rumput laut K. alvarezii dapat tumbuh dengan baik bersama vegetasi lamun di dalam ekosistem lamun, tanpa harus membabat tumbuhan lamun tersebut. Laju pertumbuhan harian tertinggi rumput laut diperoleh dengan metode lepas dasar dan terendah adalah metode dasar (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata laju pertumbuhan harian rumput laut K.alvarezii dengan berbagai metode budidaya di dalam ekosistem padang lamun Metode Budi daya Laju Pertumbuhan Harian (%/hari) Permukaan 1,33 ± 0,20ab Lepas Dasar 1,53 ± 0,19a Dasar 1,14 ± 0,13b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata diantara perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05) Pada sedimen padang lamun terkandung banyak terkandung sumber nitrogen berupa bahan organik yang berasal dari bagian-bagian lamun dan sumber lain. Bahan organik tersebut dirombak oleh bakteri Nitorsomonas menghasilkan amonium (NH4+). Hasil oksidasi NH4+ oleh bakteri Nitrobacter menghasilkan NO3+ juga benyak terkandung pada dasar perairan lamun. Dengan intensitas cahaya matahari yang relatif lebih tinggi yang mencapai talus rumput laut pada metode lepas dasar, maka proses metabolisme (fotosintesis dan penyerapan unsur hara), berlangsung lebih efektif meskipun dengan konsentrasi ammonium (NH4), nitrat (NO3) fosfat (PO4) air yang relatif lebih rendah jika di bandingkan pada metode dasar (lapisan air yang sangat dekat dengan dasar perairan yang konsentrasi unsur haranya relatif lebih tinggi (Tabel 2), Energi matahari diperlukan sebagai energi dalam penyerapan ketiga unsur hara (NH4, NO3, dan PO4) secara aktif (active ion uptake) oleh rumput laut. Tabel 2. Nilai parameter kualitas air lokasi budi daya rumput laut Parameter Metode Budidaya Permukaan Lepas Dasar Salinitas (ppt) 30 – 31 30 – 31 Suhu (oC) 29 – 30 29 – 30 pH 7,48 – 7,73 7,47 – 7,76 Intensitas Cahaya (Klux) 17,28 – 25,57 17,09 – 22,12 CO2 (ppm) 0,20 – 0,61 0,20 – 0,65 Kecepatan Arus (cm/detik) 30 – 50 20 – 50 Nitrat (ppm) 0,02 – 0,06 0,03 – 0,06 Ammonium (ppm) 0,07 – 0,10 0,07 - 0,11 Orto-fosfat (ppm) 0,18 - 0,20 tt – 0,26 Dasar 30 – 31 29 – 30 7,22 – 7,76 16,51 – 20,49 0,10 – 0,68 20 – 40 0,03 - 0,07 0,08 - 0,12 0,19 – 0,30 Pergerakan air yang lebih baik pada lapisan air di atas dasar perairan dan di bawah permukaan air, menyebabkan difusi unsur hara (nutrien) dari air ke dalam talus berlangsung lebih efektif akibat lapisan batas antara air dan talus (boundary layer) menjadi lebih tipis. Dengan laju pergerakan air yang lebih rendah (lambat) pada lapisan air di dasar perairan menyebabkan boundary layer lebih tebal, sehingga unsur-unsur hara relatif lebih lambat terdifusi (passive ion uptake) dari air ke dalam talus. Selain oleh faktor penyerapan unsur hara, rendahnya laju pertumbuhan rumput laut yang dipelihara dengan metode dasar juga disebabkan karena talus bersinggungan langsung dengan dasar perairan yang merupakan substrat bagi bakteri pengurai di dasar ekosistem padang lamun, menyebabkan sebagian tallus rumput laut mengalami penguraian (dekompsisi) oleh aktivitas bakteri. Indriani dan Sumiarsih (2003) mengemukakan bahwa pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh faktor lingkungan untuk pertumbuhannya berupa nutrisi yang diperoleh dari air di sekitarnya secara difusi melalui dinding talusnya. Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi antara lain oleh kondisi lingkungan antara lain salinitas, suhu, cahaya matahari, nutrient berupa nitrat, ammonium dan orthofosfat. (Sulistijo, 2002; Ditjenkan Budidaya, 2005; Thirumaran dan Anatharaman, 2009). Dalam hal pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut, maka ukuran wadah penelitian yang digunakan yang tidak menunjang pergerakan (pergantian) air di sekitar talus dan juga sedikit menghalangi cahaya matahari mencapai talus rumput laut menyebabkan laju pertumbuhan harian rumput laut pada penelitian ini yang hanya berkisar 1,14-1,53 %/hari, lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dicatat oleh Hurtado dkk. (2008) 1,1-4,0%/hari dan Thirumaran dan Anatharaman (2009) sebesar 2,33-5,22%/hari. Namun demikian, hasil ini telah menunjukkan bahwa budidaya K. alvarezii di dalam ekosistem padang lamun dapat berhasil tanpa merusak ekosistem tersebut. Kehadiran tumbuhan lamun mendukung pertumbuhan rumput laut melalui daur unsur hara dari sedimen ke lapisan air dimana rumput laut tumbuh, tidak terjadi persaingan dalam pemenuhan kebutuhan unsur hara diantara keduanya. Tumbuhan lamun lebih banyak menyerap unsur hara dari sedimen, sedangkan rumput laut hanya mengambil unsur-unsur hara yang larut di dalam air. Juga belum ada indikasi bahwa kehadiran rumput laut yang dibudidayakan di dalam ekosistem padang lamun merusak kelangsungan ekosistem tersebut. Vegetasi lamun menstabilkan dasar perairan sehingga tidak mudah terangkat oleh pergerakan air yang menyebabkan air laut tersebut tetap jernih yang diperlukan untuk daya tembus cahaya matahari ke permukaan talus rumput laut untuk metabolisem rumput laut. Produksi Biomassa Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode budidaya berpengaruh nyata (p < 0,05) terhadap produksi biomassa rumput laut K. alvarezii di dalam ekosistem padang lamun. Selanjutnya uji WTukey menunjukkan bahwa produksi biomassa rumput laut tertinggi dihasilkan pada metode budi daya lepas dasar (Tabel 3), sejalan dengan laju pertumbuhan yang juga tertinggi pada metode lepas dasar (Tabel 1). Tabel 3. Rata-rata produksi biomassa rumput laut K. alvarezi) dengan berbagai metode Budidaya di dalam ekosistem padang lamun Metode Budi daya Produksi Biomassa (g/keranjang) Permukaan 151,0 ± 29,40ab Lepas Dasar 182,2 ± 30,83a Dasar 124,4 ± 18,52b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata diantara perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05) Kandungan Karaginan Kandungan karaginan tertinggi rumput laut yang dipelihara di dalam ekosistem padang lamun dihasilkan pada metode lepas dasar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada metode permukaan, dan terendah pada metode dasar (Tabel 4). Tabel 4. Kandungan karaginan rumput laut (K. alvarezii) dengan berbagai metode budidaya di dalam ekosistem padang lamun Metode Budi daya Permukaan Lepas Dasar Dasar Karaginan (%) 42,2 44,8 39,9 Kandungan karaginan K. alvarezii umumnya berkaitan erat dengan laju pertumbuhannya. Tingginya kandungan karaginan pada metode lepas dasar dapat disebabkan oleh terhindarnya tanaman dari intensitas matahari yang terlalu tinggi, serta terhindarnya dari pengaruh negatif cahaya ultra violet yang banyak terserap pada lapisan air permukaan (Syamsuddin, 2004). Tingginya kandungan karaginan pada metode lepas dasar disebabkan oleh difusi unsur-unsur hara yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode dasar. Menurut Sahoo dan Ohno (2003), tingginya amonium yang diserap oleh rumput laut menyebabkan tingginya kadar karaginan pada rumput laut tersebut. Pada proses perombakan di dasar perairan, bakteri memanfaatkan O2 dan melepaskan CO2 ke lapisan air lalu berdifusi ke lepas dasar sehingga dimanfaatkan oleh rumput laut dalam proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat, berlanjut ke produk sekunder berupa karaginan. Kandungan karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 39,9-44,8%, relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandunga karaginan 4,70-33,7% (didapatkan oleh Munoz dkk., (2004), 31,238,1% (oleh Hurtado dkk., 2008), dan 30,57-36,93% (Syahrul dkk., 2009). Variasi kandungan karaginan (fikokoloid) ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya lokasi budi daya dan iklim (Nurjannah, 2003). Kandungan karaginan yang tinggi tersebut, menunjukkan bahwa budidaya K.alvarezii di dalam ekosistem padang lamun menghasilkan rumput laut berkualitas (dengan kandungan karaginan) tinggi. Parameter Kualitas Air Salinitas perairan pada semua lapisan air secara vertikal 30-31 ppt, berada pada kisaran yang layak untuk budi daya rumput laut. Salinitas yang baik untuk pertumbuhan K.alvarezii berkisar 28-33 ppt (Anggadiredja dkk., 2006), maksimal 28-35 ppt (Ditjenkan Budidaya, 2005). Suhu perairan berkisar 29-30oC, layak bagi pertumbuhan rumput laut. Menurut Kusnendar (2002), suhu optimal untuk budi daya rumput laut adalah 26-30ºC, tidak melampauia 27-30ºC (Anggadireja dkk. (2006). Derajat kemasaman (pH) perairan selama penelitian berkisar 7,22-7,76. Nilai pH tersebut masih berada pada kisaran yang layak untuk budi daya rumput laut, yakni 6,0-9,0 (Anggadireja dkk., 2006). Berdasarkan kisaran pH perairan (lokasi tempat penelitian tergolong perairan yang produktifitasnya tinggi (Kaswadji, 1993 dalam Salwiah, 2009). Intensitas cahaya selama penelitian berlangsung berkisar 16,51-25,57 Klux. Konsentrasi CO2 air selama penelitian berlangsung berkisar 0,10-0,68 ppm. Kecepatan arus selama penelitian berkisar 20–50 cm/detik. Kisaran ini layak untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 40 cm/detik (Kusnendar, 2002; Zatnika, 2009). Kisaran konsentrasi nitrat selama penelitian berkisar 0,02–0,07 ppm, dan ammonium 0,07–0,12 ppm. Nilai tersebut layak untuk budi daya rumput laut. Menurut Zatnika (2009) konsentrasi nitrat yang baik untuk rumput laut berkisar 0,01–3,50 ppm. Konsentrasi tertinggi fosfat sebesar 0,30 ppm, masih layak untuk rumput laut. Konsentrasi fosfat yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 0,09–1,80 ppm (Ditjenkan Budidaya, 2005). Kesimpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA Anggadiredja, J.T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Isti. 2006. Rumput Laut. Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta. APHA (America Public Healt Association). 1998. Standard methods for examination of water and waste-water. 20th edition. APHA, AWWA, WEF, Washington. 1085P. Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan sSumberdaya alam pesisir laut. Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pusat Kajian Kajian Ditjenkan Budidaya, 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Hurtado, A. Q., A. T. Crithchley, A. Trespoey and G. Bleicher-Lhonneur. 2008. Growth and carrageenan quality of Kappaphycus striatum var. Sacol grown at different stocking densities, duration of culture and depth. J. Appl. Phycol, 20: 551-555. Indriani, H dan E. Suminarsih. 2003. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta. Kusnendar, E. 2002. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Dalam Rangka Program Intensifikasi Pembudidayaan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat Pembudidayaan DKP. Jakarta. Munoz, J., Y. Freile-Pelegrin and D. Robledo. 2004. Marculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) color strains in tropical waters of Yucatan, Mexico. Aquaculture, 239: 161-177. Nurdjana, M. L. 2008. Prospek Pemanfaatan Rumput Laut. Seminar Diversivikasi Produk Rumput Laut. Makalah pada Seminar Nasional “Sense of Aquaculture”. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 15 Desember 2008. Nurjannah. 2003. Prospek pemanfaatan rumput laut. Seminar Diversifikasi Rumput Laut. Makalah pada Seminar Rumput Laut tanggal 3 Mei 2003. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Poernomo. 2008. DKP dorong rumput laut sebagai sumber pangan dan energi. http://mukhtarapi.blogspot.com/2008/10/dkp-dorong-rumput-laut-sebagai-sumber.html. Tanggal akses: 30 Mei 2010. Sahoo, D. dan M. Ohno. 2003. Culture of Kappaphycus alvarezii in deep seawater and nitrogen enriched medium. Bull. Mar. Sci, Fish., Kochi Univ. No. 22, pp. 89-96, 2003 Salwiah, S. 2009. Struktur komunitas, kandungan klorofil a dan produktivitas primer fitoplankton di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis Magister PPS Unhas. Tidak dipublikasikan. 105 hal. Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 hal. Stricland, J.D.H. dan C.J Parson, 1970 A Practiced Handbook of Seawater Analysis. Fish. Res. Bd of Canada ottawa, Canada. 310p Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta. Suryaningrum, T.D. 1992. Pengolahan Karaginan. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi , Jakarta. Syahrul, M. Y. Karim dan D. Thana. 2009. Pengaruh berbagai metode penanaman terhadap pertumbuhan dan produksi rumput laut Eucheuma spinosum. Laporan Penelitian Strategis nasional Batch IV. Universitas Hasanuddin, Makassar Syamsuddin, R. 2004. Budidaya rumput laut Eucheuma cottonii untuk konservasi ekosistem padang lamun. Makalah pada Lokakarya Proyek SP-4 Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Disajikan pada Tanggal 11 Nopember 2004 di Makassar. 15 hal. Thirumaran,G. and P. Anantharaman. 2009. Daily growth rate of field farming seaweed Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P. silva in Vellar Estuary. World Journal of Fish and Marine Sciences, 1 (3): 144-153. Zatnika, A. 2009. Pedoman Teknis Budidaya Rumput Laut. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.