View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PERTUMBUHAN, PRODUKSI BIOMASSA DAN
KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus
alvarezii DENGAN BERBAGAI METODE BUDIDAYA
DI DALAM EKOSISTEM PADANG LAMUN
Rajuddin Syamsuddin
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikana, Universitas Hasanuddin
Kampus UNHAS Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan, Km 10 Makassar
HP. 081355565099; Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan menentukan metode budidaya yang tepat yang menghasilkan pertumbuhan,
produksi biomassa dan kandungan karaginan yang maksimal di dalam ekosistem padang lamun.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011 di perairan Dusun Puntondo, Desa
Laikang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Analisis kandungan
karaginan rumput laut dan parameter kimia kualitas air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air,
Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Metode
budidaya yang diterapkan sebagai perlakuan yaitu permukaan (20 cm di bawah permukaan air),
metode lepas dasar (kedalaman 100 cm), dan metode dasar (pada sedimen dasar). Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) masing-masing 5 ulangan untuk setiap
perlakuan. Data laju pertumbuhan dan produksi biomassa dianalisis dengan Analisis Ragam
dilanjutkan dengan uji Tukey, sedangkan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif
berdasarkan kelayakan hidup untuk rumput laut K. alvarezii. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan harian, produksi biomassa dan kandungan karaginan tertinggi dihasilkan metode lepas
dasar yakni masing-masing 1,54%/hari, 182,2 g dan 44,8%, sedangkan terendah metode dasar
masing-masing 1,14%/hari, 124,4 g dan 39,9%. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya matahari
yang ditrerima oleh rumput laut pada lapisan air di atas dasar perairan (metode lepas dasar) optimal
untuk metabolisme (proses fotosintesis dan penyerapan zat-zat hara berupa NH4+, NO3+, PO4- dan
dan CO2). Pada metode dasar, intensitas cahaya rendah, sehingga penyerapan unsur hara dan
proses fotosintesis agak terhambat, berakibat pada laju pertumbuhan, produksi biomassa, dan
kandungan karaginan rendah, meskipun kandungan unsur hara pada dasar perairan cukup tinggi.
Dekomposisi yang intensitf dari tallus oleh bakteri pada dasar perairan merupakan faktor lain
penyebab rendahnya laju pertumbuhan, produksi biomassa dan kandungan karaginan rumput laut
tersebut. Seluruh parameter kualitas air yang terukur berada pada kisaran yang optimal bagi
pertumbuhan rumput laut.
Kata Kunci : biomassa, Kappaphycus alvarezii,
pertumbuhan
karaginan, metode budidaya, padang lamun,
Pendahuluan
Rumput laut Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis alga (makro) merah bernilai ekonomis
penting.
Permintaan pasar dunia akan komoditas sumber karaginan ini sangat tinggi.
Pengembangan usaha budi daya rumput laut diharapkan berperan penting dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Budi daya rumput laut di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang pesat. Indonesia memiliki
area untuk kegiatan budi daya rumput laut seluas 1.110.900 Ha (Poernomo, 2008). Namun demikian,
ada beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya meningkatkan produksi dan mempertahankan
kualitas atau kandungan karaginannya. Kendala tersebut adalah pengaruh faktor lingkungan oleh
kondisi lingkungan budidaya dan akibat perubahan musim, yang menyebabkan menurunnya laju
pertumbuhan, mudah patah, mudah terserang penyakit ice-ice, penurunan kandungan karaginan,
kontaminasi oleh limbah bahan berbahaya dan beracun. Salah satu lingkungan perairan laut yang
dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut K. alvarezii adalah ekosistem padang lamun
(seagrass ecosystem).
Hamparan (padang) lamun (seagrass bed) merupakan vegetasi tumbuhan berbunga (Angiospermae)
yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi, yang menutup
suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapa hartan padat atau
jarang.
Budi daya rumput laut pada wilayah pesisir sepatutnya dilakukan dengan ramah lingkungan, tanpa
merusak ekosistem di dalamnya yakni padang lamun. Padang lamun memiliki karakteristik berupa
sedimen yang stabil (tidak mudah teraduk) oleh pengaruh gelombang, gudang mineral nutrien (unsur
hara) makro berupa nitrogen dan fosfor yang terdaur dari sedimen ke lapisan air di atasnya sehingga
dapat dimanfaatkan oleh rumput laut, dan produksi karbon yang cukup tinggi berkisar antara 9004650 gC/m2/tahun (Bengen, 2001). Oleh sebab itu, budi daya rumput laut
(K. alvarezii)
memungkinkan dilakukan pada ekosistem padang lamun.
Beberapa penelitian memperlihatkan pertumbuhan yang cukup baik dari rumput laut yang dipelihara
pada ekosistem padang lamun. Untuk menghasilkan pertumbuhan, produksi dan karaginan rumput
laut secara maksimal yang dipelihara pada ekosistem padang lamun diperlukan metode budi daya
yang tepat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diperlukan kajian tentang metode budi daya rumput laut K.
alvarezii yang tepat pada ekosistem padang lamun yang dapat menunjukkan laju pertumbuhan,
produksi biomassa dan kandungan karaginan yang tinggi
.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011 diperairan Puntondo, Desa Laikang,
Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada perairan kedalaman
250 cm. Analisis kandungan karaginan rumput laut dilakukan di Laboratorium Kualitas Air,
Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Wadah dan Bibit
Wadah budidaya yang digunakan pada penelitian ini adalah keranjang plastik berukuran panjang,
lebar dan tinggi masing-masing 45 cm x 32 cm x 17 cm (Gambar 1). Untuk melindungi rumput laut
dari serangan ikan-ikan herbivora, maka bagian atas wadah budidaya tersebut ditutup dengan
lembaran plastik transparan.
Gambar 1. Wadah budidaya rumput laut yang digunakan
Wadah-wadah budidaya tersebut ditempatkan pada kedalaman berbeda di dalam ekosistem padang
lamun sesuai dengan metode budidaya yang dicobakan, yakni masing-masing pada kedalaman 20
cm, 100 cm di bawah permukaan air laut, dan pada permukaan dasar perairan, masing-masing untuk
metode permukaan, lepas dasar dan dasar (Gambar 2).
Bibit rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah
K. alvarezii dengan bobot awal
200g/wadah yang diperoleh di perairan sekitar lokasi penelitian di Puntondo, Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan.
Perlakuan dan Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5
ulangan untuk masing-masing pelakuan yang dicobakan.
Metode Permukaan
Metode Lepas Dasar
Metode Dasar
Gambar 2. Penempatan Wadah Budidaya Sesuai dengan Metode Budidaya
Pengukuran Peubah
Laju pertumbuhan harian rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Munoz dkk.,
2004):
LPH =[ ln W t – ln W o)/t] x 100%
dimana : LPH = Laju pertumbuhan spesifik harian rumput laut (%/hari)
W t = Bobot basah rumput laut pada akhir penelitian (g)
W o = Bobot basah rumput laut pada awal penelitian (g)
Produksi biomassa rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
P = Bt - Bo
dimana : P = Produksi biomassa rumput laut (g)
Bt = Bobot basah rumput laut pada akhir penelitian (g)
Bo= Bobot basah rumput laut pada awal penelitian (g)
Kandungan karaginan dianalisis dengan ekstraksi rumput laut (Suryaningrum, 1992). Sebagai data
penunjang, dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air meliputi: salinitas diukur dengan
menggunakan handrefractometer, suhu dengan termometer, pH dengan pH meter, CO2 bebas
dengan metode titrasi (Strikland dan Parsons, 1970), kecepatan arus dengan current meter, nitrat
dengan asam sulfat fenol (APHA, 1998), ammonium diukur menggunakan spektrofotometer dengan
metode neslerisasi (Strikland dan Parsons 1970), dan ortofosfat dianalisis dengan metode asam
sulfal-nitrat.
Pengukuran salinitas, suhu, pH, kecerahan, dan kecepatan arus dilakuan di lokasi penelitian 2 kali
setiap hari yakni pada pagi hari (06.00) dan sore hari (17.00). Adapun CO 2 bebas, nitrat,
orthoposfat dan ammonium diukur sekali seminggu di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan
Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas.
Analisis Data
Data pertumbuhan dan produksi biomassa dianalisis dengan Analisis Ragam dilanjutkan dengan uji
W-Tukey (Steel dan Torrie, 1993). Kandungan karaginan dibahas secara deskriptif, dan parameter
kualitas air dianalisis secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup untuk rumput laut K. alvarezii.
Hasil dan Pembahasan
Laju Pertumbuhan Harian
Rumput laut K. alvarezii dapat tumbuh dengan baik bersama vegetasi lamun di dalam ekosistem
lamun, tanpa harus membabat tumbuhan lamun tersebut. Laju pertumbuhan harian tertinggi rumput
laut diperoleh dengan metode lepas dasar dan terendah adalah metode dasar (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata laju pertumbuhan harian rumput laut K.alvarezii dengan berbagai metode
budidaya di dalam ekosistem padang lamun
Metode Budi daya
Laju Pertumbuhan Harian (%/hari)
Permukaan
1,33 ± 0,20ab
Lepas Dasar
1,53 ± 0,19a
Dasar
1,14 ± 0,13b
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
diantara perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)
Pada sedimen padang lamun terkandung banyak terkandung sumber nitrogen berupa bahan organik
yang berasal dari bagian-bagian lamun dan sumber lain. Bahan organik tersebut dirombak oleh
bakteri Nitorsomonas menghasilkan amonium (NH4+). Hasil oksidasi NH4+ oleh bakteri Nitrobacter
menghasilkan NO3+ juga benyak terkandung pada dasar perairan lamun. Dengan intensitas cahaya
matahari yang relatif lebih tinggi yang mencapai talus rumput laut pada metode lepas dasar, maka
proses metabolisme (fotosintesis dan penyerapan unsur hara), berlangsung lebih efektif meskipun
dengan konsentrasi ammonium (NH4), nitrat (NO3) fosfat (PO4) air yang relatif lebih rendah jika di
bandingkan pada metode dasar (lapisan air yang sangat dekat dengan dasar perairan yang
konsentrasi unsur haranya relatif lebih tinggi (Tabel 2), Energi matahari diperlukan sebagai energi
dalam penyerapan ketiga unsur hara (NH4, NO3, dan PO4) secara aktif (active ion uptake) oleh
rumput laut.
Tabel 2. Nilai parameter kualitas air lokasi budi daya rumput laut
Parameter
Metode Budidaya
Permukaan
Lepas Dasar
Salinitas (ppt)
30 – 31
30 – 31
Suhu (oC)
29 – 30
29 – 30
pH
7,48 – 7,73
7,47 – 7,76
Intensitas Cahaya (Klux)
17,28 – 25,57
17,09 – 22,12
CO2 (ppm)
0,20 – 0,61
0,20 – 0,65
Kecepatan Arus (cm/detik)
30 – 50
20 – 50
Nitrat (ppm)
0,02 – 0,06
0,03 – 0,06
Ammonium (ppm)
0,07 – 0,10
0,07 - 0,11
Orto-fosfat (ppm)
0,18 - 0,20
tt – 0,26
Dasar
30 – 31
29 – 30
7,22 – 7,76
16,51 – 20,49
0,10 – 0,68
20 – 40
0,03 - 0,07
0,08 - 0,12
0,19 – 0,30
Pergerakan air yang lebih baik pada lapisan air di atas dasar perairan dan di bawah permukaan air,
menyebabkan difusi unsur hara (nutrien) dari air ke dalam talus berlangsung lebih efektif akibat
lapisan batas antara air dan talus (boundary layer) menjadi lebih tipis. Dengan laju pergerakan air
yang lebih rendah (lambat) pada lapisan air di dasar perairan menyebabkan boundary layer lebih
tebal, sehingga unsur-unsur hara relatif lebih lambat terdifusi (passive ion uptake) dari air ke dalam
talus.
Selain oleh faktor penyerapan unsur hara, rendahnya laju pertumbuhan rumput laut yang dipelihara
dengan metode dasar juga disebabkan karena talus bersinggungan langsung dengan dasar perairan
yang merupakan substrat bagi bakteri pengurai di dasar ekosistem padang lamun, menyebabkan
sebagian tallus rumput laut mengalami penguraian (dekompsisi) oleh aktivitas bakteri.
Indriani dan Sumiarsih (2003) mengemukakan bahwa pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh
faktor lingkungan untuk pertumbuhannya berupa nutrisi yang diperoleh dari air di sekitarnya secara
difusi melalui dinding talusnya. Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi antara lain oleh kondisi
lingkungan antara lain salinitas, suhu, cahaya matahari, nutrient berupa nitrat, ammonium dan orthofosfat. (Sulistijo, 2002; Ditjenkan Budidaya, 2005; Thirumaran dan Anatharaman, 2009).
Dalam hal pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut, maka ukuran wadah penelitian yang
digunakan yang tidak menunjang pergerakan (pergantian) air di sekitar talus dan juga sedikit
menghalangi cahaya matahari mencapai talus rumput laut menyebabkan laju pertumbuhan harian
rumput laut pada penelitian ini yang hanya berkisar 1,14-1,53 %/hari, lebih rendah jika dibandingkan
dengan yang dicatat oleh Hurtado dkk. (2008) 1,1-4,0%/hari dan Thirumaran dan Anatharaman
(2009) sebesar 2,33-5,22%/hari. Namun demikian, hasil ini telah menunjukkan bahwa budidaya K.
alvarezii di dalam ekosistem padang lamun dapat berhasil tanpa merusak ekosistem tersebut.
Kehadiran tumbuhan lamun mendukung pertumbuhan rumput laut melalui daur unsur hara dari
sedimen ke lapisan air dimana rumput laut tumbuh, tidak terjadi persaingan dalam pemenuhan
kebutuhan unsur hara diantara keduanya. Tumbuhan lamun lebih banyak menyerap unsur hara dari
sedimen, sedangkan rumput laut hanya mengambil unsur-unsur hara yang larut di dalam air. Juga
belum ada indikasi bahwa kehadiran rumput laut yang dibudidayakan di dalam ekosistem padang
lamun merusak kelangsungan ekosistem tersebut.
Vegetasi lamun menstabilkan dasar perairan sehingga tidak mudah terangkat oleh pergerakan air
yang menyebabkan air laut tersebut tetap jernih yang diperlukan untuk daya tembus cahaya matahari
ke permukaan talus rumput laut untuk metabolisem rumput laut.
Produksi Biomassa
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode budidaya berpengaruh nyata (p < 0,05) terhadap
produksi biomassa rumput laut K. alvarezii di dalam ekosistem padang lamun. Selanjutnya uji WTukey menunjukkan bahwa produksi biomassa rumput laut tertinggi dihasilkan pada metode budi
daya lepas dasar (Tabel 3), sejalan dengan laju pertumbuhan yang juga tertinggi pada metode lepas
dasar (Tabel 1).
Tabel 3. Rata-rata produksi biomassa rumput laut K. alvarezi) dengan berbagai metode
Budidaya di dalam ekosistem padang lamun
Metode Budi daya
Produksi Biomassa (g/keranjang)
Permukaan
151,0 ± 29,40ab
Lepas Dasar
182,2 ± 30,83a
Dasar
124,4 ± 18,52b
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
diantara perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)
Kandungan Karaginan
Kandungan karaginan tertinggi rumput laut yang dipelihara di dalam ekosistem padang lamun
dihasilkan pada metode lepas dasar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada metode permukaan,
dan terendah pada metode dasar (Tabel 4).
Tabel 4. Kandungan karaginan rumput laut (K. alvarezii) dengan berbagai metode budidaya
di dalam ekosistem padang lamun
Metode Budi daya
Permukaan
Lepas Dasar
Dasar
Karaginan (%)
42,2
44,8
39,9
Kandungan karaginan K. alvarezii umumnya berkaitan erat dengan laju pertumbuhannya.
Tingginya kandungan karaginan pada metode lepas dasar dapat disebabkan oleh terhindarnya
tanaman dari intensitas matahari yang terlalu tinggi, serta terhindarnya dari pengaruh negatif cahaya
ultra violet yang banyak terserap pada lapisan air permukaan (Syamsuddin, 2004). Tingginya
kandungan karaginan pada metode lepas dasar disebabkan oleh difusi unsur-unsur hara yang lebih
baik jika dibandingkan dengan metode dasar. Menurut Sahoo dan Ohno (2003), tingginya amonium
yang diserap oleh rumput laut menyebabkan tingginya kadar karaginan pada rumput laut tersebut.
Pada proses perombakan di dasar perairan, bakteri memanfaatkan O2 dan melepaskan CO2 ke
lapisan air lalu berdifusi ke lepas dasar sehingga dimanfaatkan oleh rumput laut dalam proses
fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat, berlanjut ke produk sekunder berupa karaginan.
Kandungan karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 39,9-44,8%, relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kandunga karaginan 4,70-33,7% (didapatkan oleh Munoz dkk., (2004), 31,238,1% (oleh Hurtado dkk., 2008), dan 30,57-36,93% (Syahrul dkk., 2009). Variasi kandungan
karaginan (fikokoloid) ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya lokasi budi daya dan iklim
(Nurjannah, 2003). Kandungan karaginan yang tinggi tersebut, menunjukkan bahwa budidaya
K.alvarezii di dalam ekosistem padang lamun menghasilkan rumput laut berkualitas (dengan
kandungan karaginan) tinggi.
Parameter Kualitas Air
Salinitas perairan pada semua lapisan air secara vertikal 30-31 ppt, berada pada kisaran yang layak
untuk budi daya rumput laut. Salinitas yang baik untuk pertumbuhan K.alvarezii berkisar 28-33 ppt
(Anggadiredja dkk., 2006), maksimal 28-35 ppt (Ditjenkan Budidaya, 2005). Suhu perairan berkisar
29-30oC, layak bagi pertumbuhan rumput laut. Menurut Kusnendar (2002), suhu optimal untuk budi
daya rumput laut adalah 26-30ºC, tidak melampauia 27-30ºC (Anggadireja dkk. (2006). Derajat
kemasaman (pH) perairan selama penelitian berkisar 7,22-7,76. Nilai pH tersebut masih berada pada
kisaran yang layak untuk budi daya rumput laut, yakni 6,0-9,0 (Anggadireja dkk., 2006). Berdasarkan
kisaran pH perairan (lokasi tempat penelitian tergolong perairan yang produktifitasnya tinggi
(Kaswadji, 1993 dalam Salwiah, 2009). Intensitas cahaya selama penelitian berlangsung berkisar
16,51-25,57 Klux. Konsentrasi CO2 air selama penelitian berlangsung berkisar 0,10-0,68 ppm.
Kecepatan arus selama penelitian berkisar 20–50 cm/detik. Kisaran ini layak untuk pertumbuhan
rumput laut berkisar 20 – 40 cm/detik (Kusnendar, 2002; Zatnika, 2009). Kisaran konsentrasi nitrat
selama penelitian berkisar 0,02–0,07 ppm, dan ammonium 0,07–0,12 ppm. Nilai tersebut layak untuk
budi daya rumput laut. Menurut Zatnika (2009) konsentrasi nitrat yang baik untuk rumput laut berkisar
0,01–3,50 ppm.
Konsentrasi tertinggi fosfat sebesar 0,30 ppm, masih layak untuk rumput laut.
Konsentrasi fosfat yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 0,09–1,80 ppm (Ditjenkan
Budidaya, 2005).
Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja, J.T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Isti. 2006. Rumput Laut. Pembudidayaan,
Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Seri Agribisnis. Penebar
Swadaya, Jakarta.
APHA (America Public Healt Association). 1998. Standard methods for examination of water and
waste-water. 20th edition. APHA, AWWA, WEF, Washington. 1085P.
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan sSumberdaya alam pesisir laut.
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pusat Kajian Kajian
Ditjenkan Budidaya, 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Perikanan Budidaya, Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Hurtado, A. Q., A. T. Crithchley, A. Trespoey and G. Bleicher-Lhonneur. 2008. Growth and
carrageenan quality of Kappaphycus striatum var. Sacol grown at different stocking densities,
duration of culture and depth. J. Appl. Phycol, 20: 551-555.
Indriani, H dan E. Suminarsih. 2003. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Kusnendar, E. 2002. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Dalam Rangka Program Intensifikasi
Pembudidayaan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat
Pembudidayaan DKP. Jakarta.
Munoz, J., Y. Freile-Pelegrin and D. Robledo. 2004. Marculture of Kappaphycus alvarezii
(Rhodophyta, Solieriaceae) color strains in tropical waters of Yucatan, Mexico. Aquaculture,
239: 161-177.
Nurdjana, M. L. 2008. Prospek Pemanfaatan Rumput Laut. Seminar Diversivikasi Produk Rumput
Laut. Makalah pada Seminar Nasional “Sense of Aquaculture”. Institut Pertanian Bogor, Bogor,
15 Desember 2008.
Nurjannah. 2003. Prospek pemanfaatan rumput laut. Seminar Diversifikasi Rumput Laut. Makalah
pada Seminar Rumput Laut tanggal 3 Mei 2003. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Poernomo. 2008. DKP dorong rumput laut sebagai sumber pangan dan energi. http://mukhtarapi.blogspot.com/2008/10/dkp-dorong-rumput-laut-sebagai-sumber.html. Tanggal akses: 30
Mei 2010.
Sahoo, D. dan M. Ohno. 2003. Culture of Kappaphycus alvarezii in deep seawater and nitrogen
enriched medium. Bull. Mar. Sci, Fish., Kochi Univ. No. 22, pp. 89-96, 2003
Salwiah, S. 2009. Struktur komunitas, kandungan klorofil a dan produktivitas primer fitoplankton di
Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis Magister PPS Unhas. Tidak dipublikasikan.
105 hal.
Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. 748 hal.
Stricland, J.D.H. dan C.J Parson, 1970 A Practiced Handbook of Seawater Analysis. Fish. Res. Bd of
Canada ottawa, Canada. 310p
Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pusat
Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta.
Suryaningrum, T.D. 1992. Pengolahan Karaginan. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi ,
Jakarta.
Syahrul, M. Y. Karim dan D. Thana. 2009. Pengaruh berbagai metode penanaman terhadap
pertumbuhan dan produksi rumput laut Eucheuma spinosum. Laporan Penelitian Strategis
nasional Batch IV. Universitas Hasanuddin, Makassar
Syamsuddin, R. 2004. Budidaya rumput laut Eucheuma cottonii untuk konservasi ekosistem
padang lamun. Makalah pada Lokakarya Proyek SP-4 Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Disajikan pada Tanggal 11 Nopember
2004 di Makassar. 15 hal.
Thirumaran,G. and P. Anantharaman.
2009.
Daily growth rate of field farming seaweed
Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P. silva in Vellar Estuary. World Journal of Fish and
Marine Sciences, 1 (3): 144-153.
Zatnika, A. 2009. Pedoman Teknis Budidaya Rumput Laut. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta.
Download