TAHAP KEEMPAT PENGENALAN KRITUS Pengantar Umum Saudara-saudari, para calon anggota KSM dan para tutor “Totus Tuus” terkasih! Kita telah menyelesaikan sepertiga perjalanan “Ziarah Totus Tuus”. Kini kita memasuki Tahap IV. Pada tahap ini kita akan memusatkan perhatian kita pada tema “Pengenalan Yesus Kristus”. St. Montfort memberikan anjuran agar selama tahap ini kita mendaraskan doa Santo Agustinus sebagaimana dia tulis di dalam Bakti Sejati kepada Maria (BS 67). Tujuannya agar kita dianugerahi Roh Kudus yang memampukan kita untuk semakin mengenal Tuhan kita Yesus Kristus. Selain itu, di dalam Tahap IV ini, kita mengucapkan secara berulang-ulang doa-doa atau seruan-seruan singkat berikut ini: “Tuhan, semoga aku mengenal Engkau”, atau “Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” Demikian pula kita akan mendaraskan doa Litani Roh Kudus, Ave Maris Stella (Salam Bintang Laut), dan Litani Nama Yesus. Selamat melanjutkan peziarahan iman ini. Tuhan memberkati. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 95 Pertemuan Pertama PEMBAKTIAN DIRI YANG SEMPURNA KEPADA YESUS KRISTUS 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Iman kita kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat adalah tanggapan pribadi kita kepada panggilan kasih Allah. Tanggapan itu kita nyatakan secara pribadi melalui kesediaan kita untuk menerima Sakraman Baptis dan kemudian berusaha membaharuinya secara pribadi. Terlepas dari apakah kita dibaptis sebagai bayi atau sebagai orang dewasa, kita semua mempunyai panggilan dan keharusan yang sama, yakni membaharui kembali ikrar pembaptisan kita. Dengan perkataan lain, melalui dan karena Sakramen Baptis, kita “membaktikan diri kita” kepada Allah dalam dan melalui Yesus Kristus, Putra-Nya, dan berusaha terus membaharuinya hari demi hari. Entah sadar atau tidak, Sakramen Baptis adalah sebuah rahmat istimewa, rahmat luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada kita. Mengapa demikian? Jawabannya adalah bahwa karena Sakramen Baptis inilah kita telah diangkat menjadi anak-anak Allah, putra-putri se-Bapa dengan Kristus. Rahmat pengangkatan kita menjadi anak-anak Allah ini kita terima karena Yesus Kristus telah terlebih “membaktikan seluruh diri-Nya” kepada Allah Bapa-Nya. Mari kita perhatikan ajaran Kitab Suci dan ajaran St. Montfort mengenai pembaktian seluruh diri Kristus dan pembaktian seluruh diri kita kepada Allah. A. Ajaran Kitab Suci 1) Yesus: Model pembaktian diri Tuhan Yesus menghayati pembaktian seluruh diri-Nya kepada Allah Bapa-Nya. Kita dapat menemukan bagaimana sesungguhnya cara pembaktian seluruh diri Tuhan Yesus di dalam Perjanjian Baru: > Pada waktu Penjelmaan: penulis Surat kepada Umat Ibrani melukiskan, “… ketika Ia masuk ke dunia, Ia berkata: „Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki -- tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku --. Kepada korban bakaran dan korban penghapus dosa Engkau Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 96 tidak berkenan. Lalu Aku berkata: Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku‟” (Ibr 10: 5-7). > > > > Pada usia 12 tahun: kepada Bapa Yosef dan Bunda Maria, Tuhan Yesus bersabda, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” (Luk 2: 49) Di dalam doa-Nya sebagai Imam Agung, Tuhan berkata, “… Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran” (Yoh 17: 19). Kepada murid-murid yang mendesak Dia untuk makan, Tuhan bersabda, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4: 34). Pada puncak pembaktian diri-Nya, Tuhan berdoa, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya” (Yoh 17: 4); dan dari atas kayu salib, Tuhan berseru, “Sudah selesai!” (Yoh 19: 30). 2) Orang Kristiani membaktikan diri kepada Kristus Setelah melihat sekilas mengenai pembaktian seluruh diri Tuhan Yesus kepada Allah Bapa-Nya, kini marilah kita menelusuri panggilan kita untuk mempersembahkan seluruh diri kita kepada Bapa di dalam dan melalui Kristus. Kita menghayati pembaktian seluruh diri kita melalui pelaksanaan atau penghayatan atas Janji-janji Pembaptisan kita. Berikut ini beberapa unsur penting yang terkandung di dalam Janji-janji Pembaptisan kita: > Tekad untuk mati terhadap atau menolak segala sesuatu yang memperbudak kita atau yang mengaburkan identitas khas diri kita -- sebagaimana dikatakan Santo Paulus kepada umat di Roma, yakni “… bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya…” (Rom 6: 3). > Mengambil bagian di dalam misteri Paskah Kristus. Mengenai partisipasi kita tersebut, Santo Paulus menulis bahwa “… kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom 6: 4). > Konsekuensinya adalah kita juga mengambil bagian di dalam kedudukan Kristus sebagai Imam, Nabi, dan Raja. Mengenai hal ini, penulis Surat Pertama Rasul Petrus mengatakan, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib…” (1Petr 2: 9). > Persatuan dengan Kristus, sebagai Kepala Gereja, menuntut kita untuk bersatu dengan seluruh Anggota Tubuh Mistik Kristus (Gereja) sebagaimana ditegaskan Santo Paulus dalam Suratnya Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 97 yang pertama kepada Umat di Korintus, yakni bahwa “… dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1Kor 12: 13). B. Ajaran Santo Montfort Nah, beginilah panggilan kita: membaktikan seluruh diri kita kepada Bapa di dalam dan melalui Kristus dengan menghayati Janji-janji Baptis kita. Berkenaan dengan penghayatan Janji-janji Baptis ini Santo Montfort menulis dalam Bakti Sejati kepada Maria (BS): Santo Tomas berkata, “Pada waktu pembaptisan suci umat berjanji akan menolak setan dan segala kesia-siaannya”. Menurut Santo Agustinus janji-janji ini adalah yang terpenting dan yang paling diperlukan, “Janji kita yang tertinggi, yang dengannya kita berikrar akan berdiam di dalam Kristus untuk selama-lamanya”. Hal yang sama dinyatakan oleh para ahli hukum kanonik, “Janji yang terpenting adalah yang kita buat pada saat pembaptisan” (BS 127). Selanjutnya mengajukan sebuah pertanyaan retoris yang mungkin menghentak kesadaran kita sekaligus mengemukakan alasan segala persoalan di dalam kehidupan sosial, sebagai berikut: Tetapi siapa yang terus berpegang pada ikrar agung itu? Siapa yang hidup setia menurut janjijanji pembaptisan suci? Bukankah hampir semua orang Kristiani meninggalkan kesetiaan kepada Yesus Kristus yang mereka janjikan pada saat pembaptisannya? Dari mana kesemrawutan umum ini bisa berasal, kalau bukan dari kenyataan bahwa orang melupakan kewajiban-kewajiban yang diterimanya melalui janji pembaptisan suci dan bahwa hampir tak seorang pun meneguhkan secara pribadi perjanjian yang pernah dibuatnya dengan Allah melalui wali baptisnya? (BS 127) Santo Montfort hendak mengingatkan kita akan kenyataan hidup kita yang sesungguhnya, yakni bahwa kita menerima harta rahmat Allah yang amat agung itu dalam wadah kedirian kita yang amat rapuh sebagaimana dikatakan Santo Paulus, “… harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2Kor 4: 7). Oleh karena itu, Santo Montfort mengundang kita untuk membaktikan seluruh diri kita kepada Allah dalam Kristus melalui tangan Santa Perawan Maria. 1) Pembaktian diri Kristus “bersifat Marial” Santo Montfort mengatakan bahwa pada waktu Penjelmaan “Yesus Kristus menjadi tawanan dan hamba di dalam rahim Maria yang dipenuhi Allah, dan di dalamnya Ia bergantung dalam segala sesuatu…” (BS 243). Bagaimana persisnya pembaktian diri Kristus ini sungguh bersifat Marial? Lebih lanjut St. Montfort mengatakan, “Di sana [di dalam rahim Bunda Maria], dengan mengurbankan kehendak-Nya dan diri-Nya sendiri, Dia telah memberi kehormatan lebih besar kepada Bapa-Nya daripada yang diberikan segala kurban hukum Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 98 lama. Akhirnya di sana Dia memberikan kemuliaan yang tak berhingga kepada Bapa-Nya yakni kemuliaan yang belum pernah diterima Bapa-Nya dari manusia” (BS 248). Jadi, Yesus Kristus membaktikan, mempersembahkan seluruh hidup-Nya kepada Allah dengan sepenuhnya tunduk kepada Maria. Karena itu, kita mempunyai satu pilihan yang pasti, yakni bahwa kita pun semestinya mengikuti teladan Tuhan sendiri. 2) Pembaktian diri kita juga mesti “bersifat Marial” St. Montfort menulis: Seluruh kesempurnaan kita terdiri dari hal ini, bahwa kita serupa dengan Yesus Kristus, bersatu dengan-Nya dan dibaktikan kepada-Nya. Dari situ jelas sekali bahwa devosi yang paling sempurna adalah devosi yang secara paling sempurna membuat kita serupa dengan Yesus Kristus, mempersatukan kita dengan-Nya dan membaktikan diri kita kepada-Nya. Nah, dari semua makhluk, Maria adalah yang paling serupa dengan Yesus Kristus, sehingga tidak ada satu pun devosi yang lebih membaktikan seorang manusia kepada Tuhan dan membuatnya serupa dengan-Nya daripada devosi kepada Bunda-Nya yang suci. Jadi semakin orang dibaktikan kepada Maria, semakin pula dia dibaktikan kepada Yesus Kristus. Maka dari itu pembaktian yang sempurna kepada Yesus Kristus adalah tidak lain dari pembaktian diri sendiri yang sempurna dan seutuhnya kepada Perawan teramat suci. Inilah devosi yang saya wartakan. Dengan kata lain, suatu pembaharuan yang sempurna dari ikrar dan janji Sakramen Pembaptisan (BS 120). Persembahan seluruh diri kita mengikuti model pemberian seluruh diri Kristus. Sebagaimana Kristus, Putra Tunggal Allah, telah mengosongkan seluruh diri-Nya dan berkenan mempersembahkan seluruh diri-Nya kepada Allah dan memuliakan Allah Bapa-Nya dengan memberikan diri-Nya kepada Santa Perawan Maria, hendaklah kita juga mengikuti teladanTuhan. Itulah cara yang paling sempurna, demikian kata St. Montfort tadi, kita menghayati Janji-janji baptis kita. Sebagaimana Yesus Kristus dahulu telah dikandung di dalam rahim Bunda Maria dan dilahirkan sebagai manusia, hendaklah kita juga dikandung di dalam “rahim rohani” Bunda Maria (bejana pembaptisan sebagai simbol rahim Maria; lih. BS 33) dan dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah. Alasan lain yang sangat mendasar dikemukakan St. Montfort: Kalau kepala umat manusia, Yesus Kristus, lahir dari Maria, maka dengan sendirinya orangorang terpilih, yang adalah anggota-anggota dari kepala itu, juga lahir dari wanita ini. Tidak mungkin ibu yang sama melahirkan kepala tanpa anggota-anggota, juga tidak mungkin anggota-anggota tanpa kepala (BS 32). 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: Melalui Pembaktian Diri Montfortan atau Pembaktian ala Montfort, kita menyerahkan seluruh diri kita kepada Yesus Kristus melalui tangan Santa Perawan Maria. Seberapa kuat saya merasakan panggilan untuk menyerahkan diri sekarang ini? Bagaimana rencana dan niat saya untuk menghayati penyerahan diri ini secara konkret? Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 99 04. Niat: Hari ini saya membaharui Janji-janji Baptisku: > Saya sadar akan “janji-janji dan kewajibanku…” sambil > “… meneguhkan secara pribadi perjanjian yang pernah saya buat dengan Allah” (BS 217). 04. Pewartaan Sabda: Untuk menegaskan permenungan kita tadi, marilah kini kita mendengarkan pengakuan Santo Paulus berikut ini: Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Fil 3: 8-9). 05. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Bersama Bunda Maria dan St. Montfort, marilah kita menatap Yesus Kristus sebagai “tujuan akhir segala devosi kita” (bdk. BS 61-67). Rangkaian pertama: “Yesus Kristus adalah “Alfa dan Omega” (Why 21:6), awal dan akhir dari segala sesuatu. Menurut Rasul Paulus kita bekerja hanya untuk “membawa setiap orang kepada kesempurnaan dalam Yesus Kristus…” (BS 61). Rangkaian kedua: “Sebab hanya di dalam Dialah berdiam seluruh kepenuhan ke-Allah-an” (bdk Kol 2:9) dan segala kepenuhan lain dari rahmat, keutamaan dan kesempurnaan. “Hanya di dalam Dialah kita diberkati dengan setiap berkat rohani” (Ef 1:3) (BS 61). Rangkaian ketiga: “Kristus adalah satu-satunya Guru untuk mengajar kita, satu-satunya Tuhan yang pada-Nya kita harus bergantung dan satu-satunya Kepala yang dengan-Nya kita harus bersatu. Kita tidak memiliki contoh lain untuk menyesuaikan diri kita dengannya, …” (BS 61). Rangkaian keempat: “Di bawah kolong langit tidak ada nama lain yang diberikan daripada nama Yesus, yang oleh-Nya kita harus diselamatkan” (bdk Kis 4:12). Tidak ada satu pun dasar lain yang diletakkan oleh Allah bagi keselamatan, kesempurnaan dan pemuliaan kita selain Yesus Kristus” (BS 61). Rangkaian kelima: “Jadi kalau kita menyebarluaskan bakti yang kokoh kepada Perawan tersuci maka kita melakukannya hanya supaya bakti kepada Yesus Kristus disebarluaskan dengan lebih sempurna. Kita tidak punya maksud lain daripada menawarkan suatu sarana yang mudah dan terjamin untuk menemukan Yesus Kristus” (BS 62). 06. Doa Penutup: Litani Roh Kudus atau Ave Maris Stella (Salam Bintang Laut) Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 100 Pertemuan Kedua PROSES YANG MEMBIMBING MENUJU PEMBAKTIAN DIRI KEPADA YESUS KRISTUS Doa Penyerahan kepada Maria 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Jika kita melihat kembali pembahasan atas semua materi tahap sebelumnya (I-III), kita akan menemukan kenyataan bahwa perjalanan menuju kepada pembaktian seluruh diri kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan Abadi yang menjelma, melalui tangan Santa Perawan Maria bukanlah sebuah peristiwa instan. Mengapa? Jawabannya, pembaktian seluruh diri adalah sebuah proses yang amat panjang. Sebagai sebuah proses, pembaktian diri kita tidak hanya mencakup salah satu dimensi atau segi, melainkan seluruh dimensi kehidupan kita. Artinya, pembaktian diri mencakup segenap diri kita: diri kita sendiri dengan semua keutamaan dan keterbatasannya, jiwa-raga kita, harta jasmaniah – segala sesuatu yang kita miliki; harta rohaniah kita (semua pahala rohani atas semua perbuatan baik kita), baik yang ada dahulu, kini, dan yang akan ada. Singkatnya, kita membaktikan segala sesuatu tanpa kecuali. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hakikat pembaktian seluruh diri kepada Kristus lebih dalam daripada sekadar pendarasan sejumlah doa tertentu. Tentu saja, kita mesti mengakui bahwa di dalam KSM, kita mendaraskan doa-doa tertentu. Namun, pendarasan doadoa KSM bukanlah sebuah alasan untuk kemudian menarik kesimpulan bahwa KSM adalah sebuah kelompok doa. Jika kita mendaraskan doa penyerahan kepada Santa Perawan Maria, doa Rosario, Kidung Maria, doa Memorare, doa Novena 3 kali Salam Maria, dan banyak bentuk doa lainnya yang ditujukan kepada Bunda Maria, sesungguhnya kita sedang mempraktikkan salah satu bentuk pembaktian diri kita, yakni praktik lahiriah. Di dalam pertemuan bina-lanjut atau pada kesempatan lain, topik ini dapat kita bahas lebih rinci sehingga makna pembaktian diri kita menjadi sungguh jelas. Kini baiklah kita terlebih dahulu menyatakan bahwa Spiritualitas Santo Montfort atau dapat kita sebut juga Spiritualitas Montfortan adalah sebuah Spiritualitas Kristiani. Alasan pokoknya adalah bahwa spiritualitas ini berlandaskan ajaran Kristus sebagaimana tercantum di dalam Injil. Terutama, ajaran rohani St. Montfort ini memberikan penegasan atas komitmen personal seorang pribadi/manusia dengan Allah di dalam dan melalui Kristus, Putra-Nya, yang telah diteguhkan melalui Sakramen Baptis. Di sinilah letak relevansi pernyataan tegas dan lantang yang disampaikan Santo Montfort berkenaan dengan ajaran rohani mengenai pembaktian seluruh diri kepada Kristus, Kebijaksanaan Abadi dan menjelma melalui tangan Santa Perawan Maria bahwa “Tak seorang Paus pun pernah melarangnya [pembaktian diri]. Lagi pula hal ini tidak mungkin terjadi tanpa menggerogoti dasar-dasar Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 101 Kristianisme” (BS 163). Artinya, pembaktian diri itu berkaitan dengan hakikat iman Kristiani sehingga tak seorang pun pemimpin Gereja yang melarang ajaran ini -- yang justru memperkokoh kehidupan iman seluruh anggota Gereja. Jadi, spiritualitas Santo Montfort langsung berada di jantung hati kehidupan seorang Kristiani, yakni komitmen Pembaptisan suci, yang terus-menerus dibaharui melalui sebuah ikrar pembaktian seluruh diri. Pembaktian seluruh diri, menurut St. Montfort, “… tidak lain daripada suatu pembaharuan yang sempurna dari ikrar atau janji-janji baptis” (BS 162). Nah, dengan demikian, ajaran rohani St. Montfort berpusat pada Kristus, Kebijaksanaan Abadi yang menjelma, Cinta kasih Allah Tritunggal, pada kemurahan hati Allah Bapa, kelemahlembutan Allah Putra dan cinta kasih yang berkobar-kobar Roh Kudus. St. Montfort dengan lebih jelas menyatakan bahwa ”Melalui Yesus Kristus, dengan Yesus Kristus, dan dalam Yesus Kristus, kita sanggup segala-galanya: menyampaikan segala hormat dan pujian kepada Bapa dalam persatuan dengan Roh Kudus, menjadi sempurna dan menjadi bau harum kehidupan kekal bagi sesama” (BS 61). Jika ajaran rohani St. Montfort itu berpusat pada Kristus dan seterusnya, lantas di manakah persisnya letak keistimewaan atau kekhasannya? Santo Montfort memberikan alasan sekaligus penegasan atas kekhasan ajaran rohaninya sebagai berikut: “Bakti ini jalan yang mudah, pendek, sempurna, dan aman untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Di sinilah terletak kesempurnaan seorang Kristiani” (BS 152). Lebih lanjut, dia juga mengatakan, “Benar, kita bisa melalui jalan lain untuk sampai kepada persatuan dengan Allah. Tetapi di situ kita harus menderita lebih banyak salib dan berkuban secara luar bisa. Kita lebih banyak mengalami kesukaran yang hanya teratasi dengan susah payah” (BS152). Kemudian di dalam tulisannya, Rahasia Maria (RM), St. Montfort menyebutkan setidaknya tiga tingkatan bakti sejati kepada Maria (lih. RM 24). 1) “Yang pertama, ialah menunaikan kewajiban Kristiani … : sewaktu-waktu berdoa kepada Santa Perawan Maria …” (RM 25). 2) Yang kedua, ialah menyatakan perasaan lebih mendalam kepada Maria, seperti kasih sayang, penghargaan, kepercayaan, serta penghormatan” (RM 26). 3) Yang ketiga ialah “mengenal dan mempraktikkan … bakti yang sempurna kepada Maria” (RM 27). Menurut St. Montfort, “baru sedikit orang” yang sampai kepada tingkat ketiga ini. Berkaitan dengan makna ketiga tingkat bakti sejati tersebut, Pater François-Marie Léthel OCD1 membuat sebuah perbandingan antara ajaran St. Montfort dengan ajaran St. Teresa Avilla mengenai Ruangan-ruangan di dalam Puri Batin. 1 Makalah P. François-Marie Léthel o.c.d., “St. Louis-Marie Grignion de Montfort: Doctor of the Love of Jesus through Mary”, dalam salah satu sesi Institut Montfortan Internasional (IMI), Roma, 1998. Di dalam makalah tersebut, Pater Léthel juga membuat studi perbandingan antara ajaran Santa Montfort mengenai “perhambaan karena kasih” atau ungkapan lain “pembaktian seluruh diri” dengan ajaran Santa Theresa dari Kanak-kanak Yesus mengenai “kurban bakaran karena kasih”. Kita akan membahas juga tema ini pada kesempatan lain. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 102 Tingkat pertama dalam bakti sejati Montfort disandingkan dengan “Ruang Pertama dan Kedua” di dalam Puri Batin St. Teresa Avilla. Tingkat kedua disejajarkan dengan “Ruangan Ketiga” Puri Batin. Dia menjelaskan bahwa bagian ini dapat pula dibandingkan dengan pemuda kaya di dalam Injil. Karena ingin memperoleh hidup kekal, pemuda ini telah melakukan semua Hukum Taurat tetapi dia tidak bersedia untuk menyerahkan segala sesuatu untuk mengikuti Tuhan Yesus. Kemudian tingkat ketiga dalam bakti sejati dibandingkan dengan “Ruang Ketujuh” Puri Batin St. Teresa Avilla, yang secara hakiki bersifat batiniah dan malahan mistik, yang mencakup semua tingkatan lain sebagaimana dinyatakan oleh St. Montfort di dalam Bakti Sejati kepada Maria bahwa: Karena hakikat bakti ini terletak di dalam batin yang harus dibentuk, maka tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengertinya secara sama. Beberapa orang akan sampai ke sisi lahiriah dan berhenti di situ, dan mereka ini merupakan jumlah yang terbesar. Beberapa lagi, dalam jumlah yang lebih kecil, akan maju terus sampai ke bagian batiniah, tetapi mereka naik hanya satu tingkat. Siapa yang akan naik sampai ke tingkat yang kedua? Dan siapa yang akan berhasil sampai tingkat yang ketiga? Akhirnya siapa yang akan tetap tinggal di situ? Hanya dia, yang kepadanya Roh Yesus Kristus akan membuka rahasia ini. Dia sendiri akan mengantar orang yang sangat setia itu ke sana untuk membuatnya maju dari keutamaan ke keutamaan, dari rahmat ke rahmat dan dari terang ke terang. Dengan demikian ia mencapai perubahan rupa dirinya dalam Yesus Kristus, serta mencapai pula kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan-Nya di dunia serta kemuliaan-Nya di surga (BS 119). Di dalam bakti sejati kepada Kristus melalui tangan Santa Perawan Maria ini, menurut St. Montfort, ada dua unsur hakiki, yakni bahwa “… bakti sejati itu…” terdiri dari: 1) “… memberi seluruh diri sebagai hamba kepada Maria dan melalui dia kepada Yesus”; dan kemudian … 2) “… melakukan segala-galanya dengan Maria, dalam Maria, oleh Maria dan untuk Maria” (RM 28). Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya menyimpulkan dua bagian penting di dalam praktik pembaktian diri, yakni praktik batiniah dan praktik lahiriah. Di dalam kutipan di atas tampak jelas penegasan St. Montfort mengenai pembaktian seluruh diri kita sebagai sebuah proses pertumbuhan menuju kepada keserupaan dengan Yesus Kristus. Dia menyatakan bahwa hakikat batiniah bakti sejati kepada Maria atau bakti sejati kepada Kristus melalui tangan Santa Perawan Maria ini. Karena itu, proses pertumbuhan itu ikut dipengaruhi oleh (1) rahmat Roh Kudus yang dianugerahkan kepada setiap pribadi; (2) dinamika atau disposisi batin setiap pribadi; dan (3) kemampuan setiap pribadi untuk menyambut atau bekerja sama dengan rahmat itu. 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: a) Bagaimana mutu baktiku kepada Bunda Maria sekarang ini? b) Bagaimana saya mengalami perbedaan antara baktiku kini dan dahulu, misalnya, sebagai seorang muda? Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 103 04. Niat: Setiap hari saya akan berdoa kepada Roh Kudus untuk memohon karunia boleh mempraktikkan bakti sejati kepada Maria secara sempurna. 05. Pewartaan Sabda: Yoh 2: 1-12 Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu. Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." Kata Yesus kepadanya: "Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba." Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung. Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu: "Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air." Dan mereka pun mengisinya sampai penuh. Lalu kata Yesus kepada mereka: "Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta." Lalu mereka pun membawanya. Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu -- dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang mencedok air itu, mengetahuinya -- ia memanggil mempelai laki-laki, dan berkata kepadanya: "Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang." Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya. 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Dalam lima rangkaian Rosario ini, kita merenungkan peristiwa Pentakosta dan memohon bersama Santo Montfort: “Hai Roh Kudus, berikanlah aku devosi besar dan kerinduan mendalam kepada mempelai surgawi-Mu. Berikanlah aku kepasrahan kepada hati bundawinya dan kesediaan senantiasa mencari kemurahannya. Bentuklah melalui Maria, Yesus Kristus yang sejati, yang besar dan perkasa dalam diriku, sampai aku mencapai kepenuhan hidup-Nya yang sempurna” (RM 67). Rangkaian pertama: Kita mohon rahmat boleh mengambil bagian dalam iman Maria. “Suatu iman yang kokoh dan tak tergoyahkan seperti wadas, yang membuat anda tetap teguh dan tegar di saatsaat cuaca buruk dan badai mengamuk. Suatu iman yang bertindak dan meyakinkan, yang sebagai kunci rahasia akan membuka jalan bagi anda kepada segala kebenaran Yesus Kristus, kepada tujuan terakhir manusia, ya kepada Hati Allah sendiri” (BS 214). Rangkaian kedua: Kita mohon rahmat cinta kasih yang murni: “Lalu Maria akan memenuhinya juga dengan kasih murni yang ia simpan sebagai bendahari” (BS 215). Rangkaian ketiga: Kita mohon rahmat agar semangat yang menjiwai Maria diberikan kepada kita: “Jikalau anda setia dengan bentuk-bentuk bakti yang konkret ini, jiwa Perawan suci akan Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 104 memberikan dirinya kepada anda untuk memuliakan Tuhan dan rohnya akan menggantikan roh anda untuk bersukaria di dalam Allah, Penyelamatnya” (BS 217). Rangkaian keempat: Kita mohon rahmat boleh berubah menjadi serupa dengan Yesus: “Barang siapa dituang ke dalam mal ilahi ini, dia akan secepatnya dibentuk dan dituang dalam rupa Yesus Kristus dan Yesus Kristus akan terbentuk di dalam dia” (BS 219). Rangkaian kelima: Kita mohon rahmat boleh memberi hormat kepada Kristus: “Apabila anda menjalankan praktik ini dengan sangat setia, dalam tempo satu bulan anda akan memberi lebih banyak hormat kepada Yesus Kristus daripada bila bertahun-tahun menjalankan praktik lain, biarpun lebih sukar” (BS 222). 07. Doa Penutup: Litani Roh Kudus dan Ave Maris Stella Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 105 Pertemuan Ketiga YESUS KRISTUS, SABDA YANG MENJELMA Kemanusiaan Yesus 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Semasa kecil, khususnya ketika masih berada di bangku Sekolah Dasar, guru kelas mengajarkan semua mata pelajaran kepada kami, termasuk pelajaran agama. Salah satu kisah yang masih saya ingat adalah ketika bapak guru menceritakan peristiwa pengungsian ke Mesir. Dikisahkan bahwa ketika dalam perjalanan, tiba-tiba Keluarga Kudus (Bapak Yosef, Bunda Maria, dan bayi Yesus) melintasi sebuah kebun yang sedang ditanami padi. Hari berikutnya, padi yang baru ditanam itu sudah siap panen. Tentara Herodes yang mengejar Keluarga Kudus bertanya mengenai Keluarga Kudus kepada pemilik kebun. Dia mengatakan bahwa keluarga itu lewat di situ ketika dia baru menanam padinya. Artinya, sekitar tiga bulan sebelumnya. Akhirnya, dengan penuh kekecewaan pasukan itu pulang karena tahu bahwa mereka tidak lagi akan dapat mengejar dan membunuh bayi Yesus. Masih berkaitan dengan pengungsian ke Mesir, ada satu kisah lain lagi. Ketika dalam perjalanan Keluarga Kudus kelaparan karena bekal yang dibawa sudah habis. Akhirnya mereka beristirahat di bawah pohon ara yang rindang dan berbuah lebat. Namun, sayang sekali pohon itu terlalu tinggi sehingga Bapa Yosef tidak dapat memanjat. Tiba-tiba bayi Yesus yang sedang bermain-main melambai-lambaikan tangannya. Ajaib …, dahan-dahan pohon ara itu merunduk rendah sehingga Keluarga Kudus dapat memetikan dan memakan buah ara yang sudah matang sehingga mereka terhindar dari kelaparan dan mampu melanjutkan perjalanan menuju ke Mesir. Kedua kisah di atas, yang disampaikan seorang guru SD pada kecil, tidak akan pernah kita temukan di dalam Injil-injil kanonik (ke-4 Injil). Karena kemungkinan besar, kisah-kisah tersebut berasal dari injil-injil apokrif.1 Kendati isinya tidak sesuai dengan ke-4 injil yang diakui Gereja, pesan kisah tersebut tentu saja membangkitkan di dalam diri anak-anak suatu imaginasi yang sangat kuat mengenai kehebatan dan kekuasaan kanak-kanak Yesus. Karena itu, bagi saya dan teman-teman SD dahulu, Yesus adalah anak ajaib, anak yang sangat istimewa. 1 Injil-injil apokrif adalah “… tulisan-tulisan Kristiani yang muncul sejak abad kedua sampai keempat yang bermaksud untuk melengkapi bahan-bahan yang dikisahkan oleh injil-injil kanonik mengenai kelahiran, kehidupan, ajaran, wafat, dan kebangkitan Yesus. Termasuk di dalamnya adalah Injil Yakobus, Injil Petrus, Injil Thomas, dan Injil Kebenaran.” Lih. Gerald O‟Collins, SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi, pada lema “Apokrif, Injil-injil”, terj. I. Suharyo Pr., Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm. 32. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 106 Ketika memasuki masa remaja, gambaran mengenai Tuhan Yesus menjadi agak kabur. Hal ini terjadi karena pelajaran masa sekolah menengah pertama dan menengah atas didominasi oleh pengajaran yang lebih bersifat indoktrinasi. Tuhan “dibakukan” di dalam definisi-definisi. Allah menjadi “obyek pengetahuan”, yang dilihat dalam kerangka kotak pengetahuan insani yang amat terbatas. Allah tidak lebih daripada sekadar kumpulan definisi.1 Karena itu, pengalaman mengenai Allah di dalam Yesus Kristus, Putra-Nya – yang sungguh-sungguh imanen, dekat, bersatu mesra dengan kita manusia – terabaikan. Namun, seiring dengan pertambahan usia dan pemahaman iman yang lebih mendalam, terutama melalui “pergaulan” dengan Kitab Suci, pengalaman iman akan Kristus beranjak lebih jauh dari sekadar “pengetahuan otak” menuju kepada “pengetahuan hati”. Hati lantas menjadi ruang perjumpaan pribadi antara “Yang Ilahi” dan “yang insani”. Allah tidak sekadar Allah agung, dan mungkin juga menakutkan tetapi juga Allah dekat dan menyenangkan. Allah tidak pertama-tama dilihat sebagai “hakim yang lalim dan kejam” tetapi terutama Allah sebagai Bapa dan Ibu yang Maharahim; Allah yang penuh belaskasihan. Maka, kini baiklah kita menelusuri Kitab Suci, terutama Perjanjian Baru. Misalnya, di dalam Injil Yohanes, kita akan menemukan sebuah gambaran dinamis yang sangat indah mengenai kehadiran Allah di dalam Kristus, Putra-Nya, sejak kekal atau di dalam keabadian-Nya, pada kegenapan waktu, dan dalam peredaran waktu. a) Keberadaan Kristus, Putra Allah, “dalam keabadian” Di dalam pembuka Injilnya, Santo Yohanes melukiskan bahwa: Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh 1: 1-5). Penginjil Yohanes menegaskan “status pre-eksistensi Kristus, Putra Allah”. Di dalam keabadian, Dia adalah Sabda Allah, yang ada bersama dengan Allah, dan karena itu pula, Dia adalah Allah dan Pencipta. Santo Montfort mengatakan, “… bahwa semuanya diciptakan oleh Sabda, artinya oleh Kebijaksanaan abadi: Omnia per ipsum facta sunt (Yoh 1: 3). Menurut Salomo Dialah Bunda dan Pencipta segala-galanya: Horum omnium mater est. Omnium artifex Sapientia (Keb 7: 12, 22)” (CKA 31). Santo Montfort menyebut Kebijaksanaan Abadi sekaligus sebagai Pencipta dan Bunda karena, katanya memberi alasan bahwa ”… seorang pekerja tidak mencintai dan memelihara hasil karyanya, seperti seorang ibu melakukannya untuk anaknya” (CKA 31). Dan untuk itu, sekali lagi St. Montfort menegaskan bahwa “Setelah menciptakan segala sesuatu, Kebijaksanaan Abadi bersemayam di 1 Mungkin ungkapan ini terasa berlebihan tetapi itulah kenyataan yang sesungguhnya karena Allah hanya dipahami dalam konteks studi formal-normatif dan tidak menyentuh kenyataan eksistensial. Artinya, Allah dipahami sejauh perlu untuk ujian, bukan pengalaman pribadi mengenai kehadiran dan peran Allah di hidup sehari-hari. Pada tahap ini, Allah adalah buah akal budi! Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 107 dalamnya untuk mengendali, memelihara, dan membaharuinya: omnia continet (Keb 1: 7), omnia innovat (Keb 7: 27)” (CKA 32). Ada beberapa kata kunci penting, yakni “menciptakan, bersemayam, mengendali, memelihara, membaharui”, yang mengantar kita kepada “periode kedua” di dalam dinamika “keberadaan” Kebijaksanaan Abadi, yakni keberadaan-Nya di dalam waktu. b) Pada kegenapan waktu Pada bagian ini kita pertama-tama melihat ajaran yang disampaikan oleh Santo Paulus, sebagaimana telah kita bahas di dalam beberapa pertemuan sebelumnya. Sebagai naskah tertua di dalam Perjanjian Baru, kita menemukan pernyataan yang cukup jelas dan tegas mengenai Yesus Kristus, pokok iman Gereja, bahwa “… setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4: 4). Penegasan St. Paulus kemudian dipertegas oleh Santo Yohanes penginjil menyatakan bahwa “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1: 14). Santo Montfort melukiskan bagaimana Kebijaksanaan Abadi itu masuk ke dalam kurun waktu sebagai berikut: Ketika akhirnya waktu yang ditentukan untuk penyelamatan manusia telah tiba, Kebijaksanaan Abadi mendirikan bagi diri-Nya sebuah rumah, suatu kediaman yang pantas bagi-Nya: "Sapientia aedificavit sibi domum" (Ams 9: 1). Ia menciptakan dan membentuk Maria di dalam rahim Santa Anna dengan kegembiraan lebih besar daripada ketika Ia menciptakan semesta alam” (CKA 105). Kebijaksanaan Abadi masuk ke dalam keterbatasan ruang dan waktu ini tidak lain untuk menyelamatkan manusia. Waktu yang dimaksudkan itu adalah saat pemuliaan atau, seperti telah kita bicarakan, “waktu” itu adalah saat “citra” atau “gambaran” Allah di dalam diri kita manusia dipulihkan kembali. Pemulihan citra ilahi dalam diri manusia itulah “motivasi fundamental” Allah yang Mahatinggi menghampakan diri-Nya sebagaimana digambarkan oleh St. Paulus di dalam Suratnya kepada Umat di Filipi bahwa Kristus “… yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2: 67). Selain itu, pengosongan diri Allah itu dimaksudkan untuk menawarkan kebahagiaan paripurna kepada umat manusia. St. Montfort mengatakan bahwa Kebijaksanaan Abdi berseru-seru, “Hai manusia, hai anak-anak manusia. Sudah begitu lama Aku berseru kepadamu, kepadamu Kutujukan suaraKu, kamu Kudambakan, kamu Kucari, kamu Kutuntut. Dengarkanlah. Datanglah kepadaKu. Aku ingin membahagiakan kamu” (CKA 66). Untuk membahagiakan manusia itulah Sang Kebijaksanaan Abadi yang menjelma mengosongkan diri-Nya secara total. Itu terjadi dalam peristiwa Salib sebagaimana dinyatakan St. Paulus bahwa “… dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2: 8). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 108 c) Di dalam peredaran waktu Santo Montfort melukiskan “penampilan Sang Kebijaksanaan yang menjelma” dengan menyatakan bahwa: “Jesu dulcis in facie, dulcis in ore, dulcis in opere: Yesus begitu manis wajah-Nya, manis juga perkataan-Nya dan manis perbuatan-perbuatan-Nya” (CKA 121). Karena kemanisan perkataan-Nya, orang-orang “… yang membenci Dia bertanya terheran-heran tentang kefasihan dan kebijaksanaan perkataanNya: Unde huic tanta Sapientia? : ..... „Dari mana diperolehNya hikmat itu‟” (Mat 13: 54). Lebih lanjut St. Montfort melukiskan bahwa karena kekaguman atas kelembutan dan kemanisan kata-kata Sang Kebijaksanaan yang menjelma: “Beribu-ribu orang miskin meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk pergi mendengarkan Dia di padang gurun. Berhari-hari mereka tidak makan atau minum, kenyang semata-mata oleh kejelitaan perkataanNya. Oleh kejelitaan kata-kataNya, Ia memikat para rasul seakan-akan dengan umpan untuk mengikuti Dia; demikian pula Ia menyembuhkan orang yang paling parah penyakitnya dan menghibur orang yang paling tertimpa kesusahan” (CKA 122). Kelemahlembutan Kebijaksanan yang menjelma juga tampak di dalam semua perbuatan-Nya dalam perjumpaan dengan semua orang, terutama kaum lemah dan tersisihkan. “Orang-orang miskin dan anak-anak mengikuti Dia di mana-mana dan menganggap Dia seorang dari mereka. Mereka melihat di dalam Penyelamat tercinta ini begitu banyak kesederhanaan, kebaikan hati, keramahan dan amal kasih, mereka berdesak-desakan untuk mendekati Dia” (CKA 124). Di dalam peredaran waktu juga, Putra Allah yang Mahatinggi itu juga mengalami pengalaman manusiawi. Dia dipelihara dalam kemanusiaan-Nya. Penulis Injil Lukas melukiskan peristiwa “malam Natal” bahwa “Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2: 6-7). Yesus Kristus, Kebijaksanaan Abadi yang menjelma menjadi manusia, menyatakan kasih sayang melalui kemanusiaan-Nya. Penginjil Yohanes melukiskan peristiwa Tuhan Yesus menangisi kematian Lazarus sebagai berikut: “Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata: „Di manakah dia kamu baringkan?‟ Jawab mereka: „Tuhan, marilah dan lihatlah!‟ Maka menangislah Yesus. Kata orang-orang Yahudi: „Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya!‟” (Yoh 11: 33-36) Dia pun memberikan diri-Nya untuk dikasihi dalam kemanusiaan-Nya. Menjelang penderitaan dan wafat-Nya, Tuhan mengalami perjumpaan yang mengharukan dengan seorang perempuan bernama Maria. “Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya” (Yoh 12: 3). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 109 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: a) Apakah saya merasakan panggilan untuk menghayati salah satu atau beberapa segi kemanusiaan Yesus Kristus? Segi kemanusiaan yang mana? b) Bagaimana Bunda Maria menolong saya mewujudkan panggilan itu dalam hidup dan karyaku? 04. Niat: “Bilamana kita sudah merenungkan semuanya ini, bukankah kita akan mencintai Kebijaksanaan Abadi ini yang mencintai kita dan sampai kini mencintai kita lebih dari pada hidupNya sendiri? Yang keelokanNya dan kelemah-lembutan-Nya mengungguli apa pun yang elok dan lemah-lembut di surga dan di bumi” (CKA 131). 05. Pewartaan Sabda: Mat 5: 1-12 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Kita menatap Maria sebagai “lingkungan” kemanusiaan Sang Sabda yang menjelma. Rangkaian pertama: Maria diberi kabar. Maria mulai mengandung kemanusiaan Yesus, yang “kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk 1: 31, 33). Rangkaian kedua: Maria mengunjungi Elisabet. Maria membagi-bagikan kemanusiaan Yesus dengan orang-orang yang percaya dan menjadi “pangkal (pohon ) sukacita kami” (lih. Luk 1: 41, 44). Rangkaian ketiga: Kelahiran Yesus. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 110 Maria melahirkan kemanusiaan Yesus dan memberi kesempatan kepada para gembala untuk “memuji dan memuliakan Allah” (BS 95). Rangkaian keempat: Yesus dipersembahkan. Maria mempersembahkan kemanusiaan Yesus kepada Allah. Yesus menjadi “terang” kita (lih. Luk 2: 22, 32). Rangkaian kelima: Yesus wafat. Maria mengurbankan kemanusiaan Yesus dan menjadi “Ibu murid yang dikasihi Tuhan” (lih. Yoh 19: 25-27). 07. Doa Penutup: Litani Roh Kudus dan Ave Maris Stella Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 111 Pertemuan Keempat YESUS KRISTUS DAN KEBIJAKSANAAN SALIB 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Pada kesempatan ini, kita berhadapan dengan salah satu tema yang sangat familiar sekaligus dengan satu dari dua aspek penting, yang membentuk corpus spiritualitas St. Montfort. Jika kita merangkum spiritualitas St. Montfort, kita akan langsung bersentuhan dengan tema sentral ini, yang membentuk bangunan ajaran rohani St. Montfort. Kedua tema yang dimaksud adalah Yesus Kristus dengan kejayaan Salib-Nya dan peran Santa Perawan Maria di dalam tata keselamatan Allah. Nah, di dalam pertemuan terdahulu (Pertemuan ke-3 Tahap IV), kita telah berbicara mengenai puncak pemberian – atau lebih tepat dikatakan sebagai – puncak pengosongan diri Sang Kebijaksanaan yang menjelma, yakni penderitaan dan wafat-Nya di atas kayu salib. Di dalam kehidupan sehari-hari, entah sadar atau tidak, secara umum, ketika berbicara mengenai “salib”, dengan sendirinya pikiran kita langsung merujuk kepada “penderitaan”, kesukaran, ketaknyamanan, dan aneka pengalaman lainnya yang serupa. Cara berpikir demikian mengandung setidaknya dua bahaya. Pertama, kita membuat generalisasi yang membingungkan – bahwa segala pengalaman sulit itu adalah “salib”. Kedua, “memikul salib” sebagai salah satu bagian hakiki penghayatan iman Kristiani terisolir hingga pada tataran psikologis semata, yakni bahwa untuk mencapai kebahagiaan, orang mesti mengalami penderitaan. Agar kita tidak terjebak di dalam sikap yang demikian, baiklah kita lebih dahulu menemukan “rujukan” yang membantu kita untuk dengan jelas dan tepat memahami dan memberi makna “salib” pada pengalaman hidup kita. Dengan demikian, diharapkan kita dapat menghayati “pengalaman salib” secara tepat. Di dalam artikelnya, “Montfort dan Salib”, Pater Wiel Logister SMM1 menganjurkan: … supaya kata "salib" dikhususkan bagi segala hal-ikhwal yang sering menyakitkan yang menjadi bagian dari suatu kehidupan penuh kesaksian apostolik. Segala hal-ikhwal itu diterima demi "Imitatio Christi", yang terus memberi kesaksian melawan segala fitnah, penghinaan dll. Salib itu juga dipikul demi Allah dan kerajaan Allah. 1 Dr. Wiel Logister SMM, “Montfort dan Salib”, terj. Frans Luiten SMM. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 112 Nah, dari sini kita dapat membuat pembedaan yang agak lebih jelas mengenai pengalaman apa saja, terutama pengalaman sulit, yang digolongkan ke dalam “kategori” memikul “salib” dan pengalaman mana yang tidak begitu saja dimaknai sebagai bagian dari “memikul salib”. Pater Logister kemudian juga memberikan klarifikasi yang cukup apik mengenai pengalaman “memikul Salib” yang dibedakan dari dua pengalaman manusiawi berikut ini, yakni (1) langkah awal di dalam proses mengikuti Kristus, yang dimulai dengan “pengosongan diri” – yang tentu saja membawa akibat “menyakitkan” – dan (2) penderitaan yang timbul akibat aneka bentuk bencana alam, penyakit, kecelakaan, dll. Pengalaman yang terakhir ini – yang saya sebut sebagai pengalaman “ayubiah” – mesti dilihat secara jernih agar kita tidak sampai kepada kesimpulan yang “menyesatkan” seakan-akan Allah menghendaki atau merencanakan serta membenarkan aneka peristiwa semacam itu. Jadi, secara singkat, kita dapat mengatakan bahwa pengalaman “memikul salib” mesti dikaitkan secara jelas dengan pengalaman perjalanan “mengikuti Tuhan Yesus”. Atau “pengalaman salib” adalah konsekuensi praktis keputusan seseorang mengikuti Kristus. Mungkin di sini kita dapat merujuk kembali ke pembahasan kita pada pertemuan terdahulu, terutama mengenai “syarat-syarat kemuridan” dan sarana untuk semakin bertumbuh menyerupai Yesus Kristus melalui pembaktian seluruh diri, yakni bahwa “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mrk. 8: 34 dan par.). Berkenaan dengan unsur penting dan dasariah di dalam iman kita ini, Santo Paulus memberikan pedoman sekaligus peneguhan kepada kita. a) Salib Kristus Berikut ini beberapa “antitesis” yang dikemukakan oleh Santo Paulus untuk menggarisbawahi nilai tak terhingga salib Tuhan kita Yesus Kristus: - Salib Kristus – sama seperti setiap salib, adalah tanda penghinaan, aib. Salib adalah tanda perendahan. Di dalam Suratnya yang kedua kepada umat di Korintus, St. Paulus mengatakan “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2Kor 5: 21). Kemudian di dalam Suratnya kepada umat Galatia, dia menyatakan bahwa “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: „Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!‟ …” (Gal 3: 13). Di sini kita diingatkan kembali akan makna kenosis ilahi yang dihayati oleh Sang Sabda yang menjelma. - Salib Kristus adalah tanda kekuasaan dan kebijaksanaan. Ini adalah sebuah perkembangan yang sangat penting. Karena Kristus, salib – yang semula adalah tanda penghinaan dan aib, menjadi tanda kekuasaan dan malahan kebijaksanaan. Pandangan ini persis bertentangan dengan keyakinan orang Yahudi dan orang Yunani yang sangat mengagung-agungkan kekuatan dan kepandaian. St. Paulus dengan berani memberi kesaksian bahwa “… kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1Kor 1: 23-25). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 113 - Salib Kristus adalah tanda kemuliaan. Kita telah membahas bahwa puncak pengosongan diri Sang Kebijaksanaan yang menjelma ini terjadi pada peristiwa salib. Namun, persis di dalam peristiwa yang sama terjadilah sebuah proses lain, yakni penyataan (revelasi) pemuliaan Sang Kebijaksanaan yang tersalib itu. Itulah “saat-Nya”, kemuliaan Allah dinyatakan secara gamblang – peristiwa ini, “saat” ini, telah diantisipasi dan dinyatakan secara simbolis di dalam peristiwa air diubah menjadi anggur di dalam pesta perkawinan di Kana, Galilea (khususnya lihat: Yoh 2: 11). Santo Paulus menegaskan bahwa Yesus Kristus, Putra Allah, yang menjelma menjadi manusia “…, telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (Flp 2: 8-9). Melalui peristiwa yang sama, Kebijaksanaan yang tersalib “… akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12: 32). b) Partisipasi di dalam Kebijaksanaan Salib Kristus: - Jika Kristus, Kebijaksanaan yang menjelma, telah menerima dan memeluk salib menuju kepada kemuliaan, demikianlah pula hendaknya para pengikut-Nya. Di dalam pengajaranNya kepada para murid, sejak awal Tuhan Yesus telah menyampaikan konsekuensi seorang pengikut-Nya bahwa “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya” (Luk 6: 40). Inilah yang menguatkan Santo Paulus untuk menjatuhkan pilihan: “… untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2: 2). - Pilihan Paulus bukanlah pilihan asal-asalan, melainkan sebuah pilihan hidup, sebuah komitmen yang terus-menerus mengingatkan dirinya untuk selalu kembali kepada pilihannya. Karena itu, dengan jelas dia menyatakan: ”Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2: 19-20). - Konsekuensi pilihan itu adalah sebuah perubahan radikal di dalam hidupnya. Dia tidak hanya mengalami persatuan pribadi dalam salib dan kematian Kristus tetapi juga kemudian persatuan di dalam kebangkitan dan hidup baru yang dibawa oleh Kristus. Karena itu, St. Paulus menyatakan bahwa “… jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematianNya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa” (Rm 6: 5-7). Pada gilirannya, Santo Montfort memaparkan kepada kita nilai penting berkaitan dengan alasan kita untuk mengasihi Kristus, Sang Kebijaksanaan dan salib-Nya, dan bagaimana seharusnya kita menghayati hidup kita sebagai pengikut Kristus. Di dalam Cinta dari Kebijaksanaan Abadi (CKA), awal Bab 13, Santo Montfort mengemukakan alasan fundamental yang mengharuskan kita mengasihi Kristus, Kebijaksanaan Abadi dan menjelma adalah Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 114 penderitaan yang rela dialami untuk membuktikan kasih-Nya yang melimpah dan tanpa pamrih atas kita. Sambil mengutip Santo Bernardus, dia menulis sebagai berikut: “Ada satu alasan yang mengungguli segala alasan yang lain dan yang saya rasa paling mendorong saya untuk mencintai Yesus, yaitu: „Yesusku tercinta, piala pahit yang Engkau minum demi keselamatan kami dan karya besar penyelamatan kami, itulah yang membuat Engkau begitu pantas untuk dicintai oleh kami. Sungguh, berkat yang paling agung ini dan bukti cintaMu yang tak ada bandingnya membuat kami ingin kembali kepada cintaMu. Alasan ini menarik kami, secara lebih menyenangkan, menantang kami paling tepat, mendorong kami secara lebih mendesak, dan mempengaruhi kami lebih kuat‟ (CKA 154). Untuk menegaskan motif Kristus, Kebijaksanaan Abadi dan tersalib, memikul salib dan mengalami penderitaan bahkan hingga wafat di atas kayu salib, Santo Montfort menjelaskan hakikat relasi Kristus dan salib-Nya. Dia mengatakan bahwa “Di antara mereka terjalin hubungan yang tak terputuskan; hubungan di antara mereka abadi,” dengan menambahkan sebuah ungkapan singkat sarat makna bahwa “Tak pernah ada salib tanpa Yesus; tak pernah ada Yesus tanpa salib” (CKA 172). Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa Kristus, Kebijaksanaan Abadi dan yang tersalib “… sungguh begitu mendarah daging dan menyatukan diri dengan salib, sehingga dalam segala kebenaran kita dapat berkata: „Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan‟” (CKA 180). Dengan pemahaman yang jauh lebih memadai, hingga kini kita dapat dengan lebih yakin menyatakan bahwa jika Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita, Putra Allah yang Mahatinggi, telah rela merendahkan diri-Nya sampai sehabis-habisnya, bukankah sewajarnya kita pun mampu dan mesti dengan berani mengikuti Dia? Nah, tanpa perlu mengulangi pengajaran yang kita dalami, kini baiklah kita memperhatikan dengan saksama isi formulasi “Pembaktian Diri kepada Kristus melalui Maria” berikut ini: Aku … (sebut nama sendiri) pendosa tidak setia, memperbaharui dan meneguhkan janji-janji baptisku dalam tanganmu [Santa Perawan Maria], pada hari ini. Untuk selamanya aku menyangkal Setan, segala kesia-siaannya dan perbuatan-perbuatannya; aku menyerahkan diriku seluruhnya kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan yang menjelma, untuk memikul salibku mengikuti Dia segala hari hidupku supaya menjadi lebih setia kepadaNya dari pada sampai sekarang” (CKA 225). Di dalam rumusan tersebut, kita mengungkapkan kerinduan dan tekad kita untuk membaharui kembali ikatan pribadi kita dengan Kristus melalui Sakramen Baptis serta menerima dan menghayati konsekuensi komitmen pribadi tersebut, yakni memikul salib seperti Kristus sendiri sebagai ungkapan kesetiaan dan kasih kita kepada-Nya. Karena itulah, salib dan memikul salib adalah konsekuensi tak terhindarkan pilihan kita sebagai pengikut Kristus. 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 115 Santo Montfort mengatakan, “Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan” (CKA 180). Pertanyaan bagi kita: a) Apa yang kusebut “salibku” kini, pada hari-hari? b) Sejauh mana “salib” itu menjadi “kebijaksanaan” bagiku? Atau dengan perkataan lain, bagaimana “salib” ini menyatakan kepadaku kebijaksanaan dan kekuatan Allah? 04. Niat: “Tak pernah ada Salib tanpa Yesus; tak pernah ada Yesus tanpa Salib!” (CKA 172). Saya berniat untuk sungguh mengikuti Yesus, Tuhan dan Juru Selamatku, dengan memikul salibku hari demi hari dengan penuh ketekunan dan kesetiaan. 05. Pewartaan Sabda: Filipi 2: 5-11 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Bersama Bunda Maria dan Santo Montfort, kita merenungkan keadaan di sekitar sengsara Yesus. Rangkaian pertama: Dia menderita dalam harta milik-Nya: “Ketika Ia sengsara, pakaianNya ditanggalkan oleh serdadu-serdadu lalu membagikannya di antara mereka, kemudian mereka memaku Dia yang telanjang pada sebuah salib, malahan tanpa diberikan kepadaNya sepotong kain untuk menutup tubuhNya” (CKA 158). Rangkaian kedua: Dia menderita dalam kehormatan-Nya, dalam nama baik-Nya, dalam kebijaksanaanNya, dan dalam kekuasaan-Nya: “Ia ditumpahi dengan kehinaan dan disebut seorang penghujat, seorang pemberontak, seorang pemabuk, seorang serakah dan kerasukan setan. … . sebagai manusia penipu dan mereka memperlakukan Dia sebagai seorang yang tidak waras dan gila“ (CKA 159). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 116 Rangkaian ketiga: Dia menderita dalam kelompok murid-Nya: “Satu dari mereka menjualNya demi uang dan mengkhianati Dia. Seorang yang lain, pemimpin mereka, menyangkal Dia dan yang lain meninggalkanNya” (CKA 159). Rangkaian keempat: Dia mengalami penderitaan dari segala jenis manusia, termasuk dari Ibu-Nya sendiri: “Malahan kehadiran ibuNya yang terberkati menambah secara menyakitkan penderitaanNya, oleh karena ketika Dia sedang menghadap ajalNya Dia melihat ibuNya berdiri di kaki salib, tenggelam dalam laut kedukaan” (CKA 160). Rangkaian kelima: Dia menderita karena takut ditinggalkan Allah: “Pada seluruh siksaan ini, harus kita tambahkan yang paling kejam dan yang paling mengejutkan, yaitu perasaan ditinggalkan di kayu salib yang membuat Dia berteriak: „Deus, Deus, ut quid dereliquisti me,‟ (Mt 27:46): 'AllahKu, ya AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Daku?' Mengapa Engkau meninggalkan Daku?” (CKA 162). 07. Doa Penutup: Litani Roh Kudus dan Ave Maris Stella Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 117 Pertemuan Kelima YESUS KRISTUS DAN KETERGANTUNGAN KEPADA MARIA 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Terlepas dari konteksnya yang sejati, pembicaraan mengenai “ketergantungan Yesus Kristus kepada Maria” dapat mengarah kepada penyesatan. Dari kekal dan sampai kekal, dari hakikat-Nya, Allah selalu bebas sepenuh-penuhnya dan tidak pernah bergantung kepada satu makhluk mana pun. Namun, Allah dapat melakukan apa saja yang Dia kehendaki. “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1: 37). Demikianlah pernyataan penginjil Lukas, misalnya, mengenai peristiwa penjelmaan Allah Putra – yang mengafirmasi kebebasan Allah dalam tindakan-tindakan-Nya. Karena pilihan bebas-Nya itulah, Allah telah mau melibatkan ciptaan-Nya sendiri di dalam karya penyelamatan atas manusia. Nah, persis di sinilah kita mengarahkan fokus seluruh perhatian kita menyangkut rahasia yang paling agung bagi manusia sekaligus tema yang sangat sensitif ini bagi pergulatan iman kita. Justru di dalam kemahakuasaan-Nya, Allah “mau tunduk” kepada makhluk ciptaan-Nya. Itulah salah satu paradoks terbesar di dalam Allah, dan tentu saja di dalam iman kita kepada Allah. Untuk lebih memahami makna paradoks Ilahi itu, baiklah kita menyimak kisah berikut ini. Ada seorang pejabat pemerintah, beragama Katolik. Kita sebut saja namanya, Bapak Yosef. Kantor yang dia pimpin mempunyai salah seorang rekanan, yang kebetulan juga seorang Katolik, namanya Paulus. Suatu ketika Pak Yosef merasa sangat kecewa kepada Pak Paulus, bukan karena barang-barang yang dia suplai tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, melainkan karena perilaku menyimpang dari ajaran iman yang ditunjukkan oleh rekanan itu. Sebagai ungkapan kekecewaannya, Pak Yosef menyatakan, “Hubungan rekanan kita akan segera saya akhiri!” Tentu saja, Pak Paulus sangat terkejut. Dia keblingsatan, bingung dan cemas, karena akan kehilangan pemasukan yang hampir pasti itu. Dia berusaha membujuk, memohon Pak Yosef. Upayanya sia-sia belaka. Keputusan Pak Yosef sudah bulat: relasi rekanan tidak akan diperpanjang lagi. Namun, Paulus tidak putus asa atau kehilangan akal. Secara diam-diam, dia mencari kesempatan yang baik mendekati ibunda Pak Yosef untuk menyatakan kecemasan mengenai nasib dan masa depan usahanya. Apa yang terjadi kemudian? Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 118 Pada suatu petang yang cerah, ibunda mendekati Pak Yosef. Sikap ibunya itu di luar kebiasaan karena sangat jarang ibunya mau berbicara agak serius dengan dia. Nah, setelah mengobrol ngalorngidul, ke sana ke mari, akhirnya sampailah pada inti pembicaraan: “Berilah dia kesempatan sekali lagi!” Maksudnya jelas, yakni agar status Pak Paulus sebagai rekanan tetap dilanjutkan dengan harapan sikapnya dapat berubah. Demikian pernyataan ibu kepada Pak Yosef – yang seakan kehilangan kata dan daya untuk menolak permintaan ibu, yang sangat dia hormati dan kasihi itu. Pak Paulus pun mendapatkan kembali “hati” Pak Yosef dan melanjutkan relasi kerja mereka. Lantas apa sih sebetulnya yang menjadi esensi (hakikat, inti) ketergantungan Pak Yosef pada ibunya? Jawaban adalah kasih yang tanpa pamrih ibunda kepadanya. Ibu telah mencurahkan segenap kasih kepadanya. Kita dapat juga menyatakan hal sama mengenai relasi atau ketergantungan Tuhan kita Yesus Kristus kepada Santa Perawan Maria, Bunda-Nya. Tuhan Yesus sepenuhnya bergantung kepada ibu-Nya karena kasih tanpa pamrih yang telah diberikan oleh Perawan Suci dari Nazaret itu kepada-Nya. Yang terungkap di dalam seluruh penziarahan hidup Bunda Maria, sejak mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendampingi Sang Putra selama masa karya-Nya hingga tergantung tak berdaya di atas kayu salib. Santa Perawan Maria melewati semua peristiwa hidup itu dengan penghayatan kasih yang mendalam. Oleh karena kasihlah, dia rela masuk ke dalam “kegelapan iman” ketika menerima kabar yang membingungkan yang disampaikan Malaikat Gabriel kepadanya – pada awal tugasnya sebagai Bunda Allah Putra. Pada penghujung “misi Sang Putra” di atas dunia, sekali lagi dia pun harus masuk ke dalam peristiwa yang tak masuk akal. Putra yang terkasih mati tergantung di kayu salib bagaikan penjahat kelas wahid. Oleh karena itu, ikatan kasih-Nya yang begitu kuat kepada Bunda-Nya dan kasih-Nya yang mendalam kepada dunia dan umat manusia, Tuhan Yesus telah mau taat (= tergantung) kepada Bunda Maria. Bagaimana persis ketergantungan itu diungkapkan oleh para penginjil juga Santo Montfort? Mari kita menelusuri “lukisan” para penginjil mengenai ketergantungan Tuhan Yesus pada Bunda Maria ketika Dia dikandung; kemudian juga saat Dia menguduskan Yohanes Pembaptis dalam peristiwa kunjungan Maria kepada Elisabet, saudarinya; ketika Dia dilahirkan, dipersembahkan, ditemukan di dalam Bait Allah, dan pada waktu Dia memulai karya-Nya di hadapan umum. Pada saat perkandungan dan di dalam rahim selama sembilan bulan. Penginjil Lukas menulis, ”Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus” (Luk 1: 31). Peristiwa kunjungan Santa Maria kepada Elisabet dan pengudusan Yohanes Pembaptis. Penginjil Lukas melukiskan pengalaman iman Elisabet, “… sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan” (Luk 1: 44). Pada peristiwa kelahiran-Nya di Betlehem. Penginjil Lukas melukiskan bahwa Bunda Maria “… melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, …” (Luk 2: 7). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 119 Pada peristiwa Dia dipersembahkan di Bait Allah. Penginjil Lukas menulis bahwa setelah berusia delapan hari Bapa Yosef dan Bunda Maria “… membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, …” (Luk 2: 22). Ketika berusia sekitar 12 tahun, kanak-kanak Yesus ikut berziarah dan beribadah di Bait Allah di Yerusalem. Ketika saat pulang tiba, Dia malah “tersesat” di tengah kaum alim ulama di dalam Bait Allah. Kedua orangtua-Nya bingung mencari dan mungkin juga jengkel mengalami hal seperti itu, apalagi ketika mendengar jawaban Yesus kepada ibu-Nya (lih. Luk 2: 49). Kendati demikian, Yesus tetap taat dan kemudian penginjil melukiskan bahwa kemudian “… Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka” (Luk 2: 51). Pada masa karya-Nya di hadapan umum, khususnya pada dua peristiwa penting, yakni (1) Pesta Perkawinan di Kana, Tuhan Yesus mendengarkan ungkapan keprihatinan ibunda-Nya sebagaimana dilukiskan oleh penginjil Yohanes, “Mereka kehabisan anggur” (Yoh 2: 3). (2) Pada peristiwa Kalvari. Ketika hendak menyelesaikan karya perutusan Bapa-Nya, Tuhan Yesus berkata kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu” (Yoh 19: 27). Bagaimana St. Montfort mengajarkan dan menjelaskan kepada kita ketergantungan Yesus Kristus kepada Bunda Maria? Di dalam karya tulisnya, Bakti Sejati kepada Maria (BS), seakan-akan memberikan garis bawah atas pesan para penulis Injil perihal ketergantungan Yesus Kristus, Kebijaksanaan yang Menjelma, kepada Santa Perawan Maria, St. Montfort menyatakan kekagumannya sebagai berikut: Allah yang telah menjadi manusia ini menemukan di sana kebebasan-Nya dalam keadaan terkurung di dalam rahim Maria, dan Dia telah mengembangkan kekuatan-Nya dalam kemuliaan yang penuh dengan membiarkan diri dikandung oleh gadis itu. Ia menemukan kemuliaan bagi Diri-Nya dan bagi Bapa-Nya dengan menyembunyikan kesemarakan-Nya terhadap segala makhluk di dunia ini, kecuali hanya membukanya kepada Maria. Ia meluhurkan kedaulatan dan keagungan-Nya dengan bergantung pada Perawan yang jelita itu pada saat Ia dikandung, dilahirkan dan dipersembahkan di Bait Allah, selama tiga puluh tahun hidup-Nya yang tersembunyi dan sampai kematian-Nya pada saat mana Maria dengan setia mendampingi-Nya. Dengan cara itu Tuhan mau membawa kurban yang satu dan sama bersama Maria. Dia mau dikurbankan melalui persetujuan Maria dengan Bapa yang kekal, seperti dulu Ishak dikurbankan karena persetujuan Abraham dengan kehendak Allah. Memang Maria yang menyusui-Nya, memberi-Nya makan, merawat, membesarkan dan mengurbankan-Nya untuk kita. Sungguh, betapa mengagumkan dan tak terpahami ketergantungan Allah ini! … , Roh Kudus tidak dapat berdiam diri tentang hal ini di dalam Injil … (BS 18). Lebih jauh dia menyatakan bahwa: Dengan tunduk kepada Perawan tersuci selama tahun-tahun itu dan dalam ketergantungan dari dia, Sang Kebijaksanaan lebih memuliakan Allah Bapa-Nya daripada seandainya Dia Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 120 memakai tiga puluh tahun itu untuk membuat mukjizat, untuk berkhotbah di seluruh dunia dan mentobatkan segala orang. Andaikata ada cara lain, Dia pasti melakukannya. Oh! Oh! Betapa orang akan memuliakan Allah setinggi-tingginya, apabila mereka tunduk kepada Maria menurut teladan Yesus! Dengan teladan yang begitu jelas dan dikenal umum, apakah kita begitu bodoh sehingga percaya bahwa untuk memuliakan Allah, kita masih bisa menemukan sarana yang lebih sempurna atau lebih langsung daripada tunduk kepada Maria menurut teladan Putranya? (BS 139) Kesimpulan yang dapat kita tarik dari kutipan ajaran St. Montfort adalah bahwa ketergantungan Yesus Kristus kepada Santa Perawan Maria, Bunda-Nya, menyatakan beberapa pesan penting bagi kita. Pertama, Yesus Kristus, Putra Allah yang menjelma menjadi manusia, hendak mengungkapkan solidaritas-Nya dengan kita manusia, terutama manusia yang paling lemah-miskin-tersingkir. Kedua, Yesus Kristus hendak menyatakan kasih dan penghormatan-Nya dan kemuliaan kepada Allah Bapa-Nya. Ketiga, Dia hendak memberikan teladan juga kepada kita, para pengikut-Nya, untuk juga mau memuliakan Allah, Bapa-Nya, dengan sepenuhnya tunduk kepada Santa Perawan Maria. 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: a) Bagaimana persisnya saya menghayati pembaktian diri saya sebagai ungkapan kasihku secara pribadi kepada Kristus dan Bunda-Nya? b) Apakah kasih dan penghormatan saya kepada Bunda Maria semakin mendalam dan (atau) semakin jelas setelah membahas tema ini? c) Bagaimana saya mewujudkan kasihku itu di dalam kehidupan nyata, terutama di dalam relasiku dengan orang-orang yang berada di sekitarku? 04. Niat: Saya hendak belajar dan berusaha untuk mengasihi Bunda Maria sebagaimana Tuhan Yesus sendiri mengasihi dia. 05. Pewartaan Sabda: Efesus 5: 1-2 Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah. 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 121 Sambil merenungkan Peristiwa-peristiwa Gembira di dalam kehidupan Yesus, bersama Santo Montfort, marilah kita menatap Yesus dalam “ketergantungan-Nya” kepada Maria. Rangkaian pertama: Penjelmaan. “Yang Mahatinggi telah turun kepada kita dengan cara yang sempurna dan ilahi melalui Maria yang rendah hati. Pada peristiwa itu Dia tidak kehilangan apapun dari ke-Allahan dan kekudusan-Nya. Maka orang yang sangat kecil pun harus naik melalui Maria dengan cara yang sempurna dan ilahi kepada Yang Mahatinggi, tanpa takut terhadap apapun” (BS 157). Rangkaian kedua: Kunjungan kepada Elisabet. “Yang Tak tertampung telah membiarkan diri sepenuhnya ditampung dan dilingkupi secara sempurna oleh Maria yang kecil, tanpa melepaskan sedikit pun dari ketakterbatasan-Nya. Kita juga harus membiarkan diri kita sepenuhnya dilingkupi dan dibimbing oleh Maria yang kecil tanpa syarat” (BS 157). Rangkaian ketiga: Kelahiran Yesus. “Yang Tak terhampiri telah mendekati kita. Melalui Maria Dia telah mempersatukan kita dengan diri-Nya secara mesra, sempurna dan malahan pribadi dengan kemanusiaan kita. Namun tidak sedikit pun dari keagungan-Nya hilang. Kita juga harus melalui Maria mendekati Allah dan mempersatukan diri kita secara sempurna dan mesra dengan Yang Mahamulia tanpa takut akan ditolak” (BS 157). Rangkaian keempat: Yesus dipersembahkan. “Akhirnya, “Dia-yang-ada” mau datang kepada yang tiada, dengan maksud membuat yang tiada menjadi Allah atau “Dia-yang-ada”. Ia telah melaksanakan hal ini dengan cara yang paling sempurna, yaitu dengan menyerahkan dan menundukkan diri seutuhnya kepada perawan Maria yang masih remaja. Namun dalam kefanaan Dia tidak berhenti menjadi “Diayang-ada sepanjang segala abad”. Demikian juga kita, kendati tidak berarti apa-apa, dengan bantuan Maria bisa menjadi serupa dengan Allah, berkat rahmat dan kemuliaan. Untuk itu kita harus menyerahkan diri kepadanya dengan sempurna dan utuh, sehingga kita yang tak berarti apa-apa dari diri sendiri, berarti segala-galanya dalam Maria, tanpa bahaya kita keliru” (BS 157). Rangkaian kelima: Yesus ditemukan kembali di dalam bait Allah. “Namun dengan kepastian yang sepasti-pastinya saya mengatakan, dan saya mengatakan kebenaran, bahwa daripada jalan yang sangat sempurna itu saya lebih suka memilih jalan Maria yang tak bernoda; sebuah lintasan, sebuah jalan, tanpa cacat atau cela, tanpa noda dosa asal atau dosa pribadi, tanpa bayang atau kegelapan” (BS 158). 07. Doa Penutup: Litani Roh Kudus dan Ave Maris Stella Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 122 Pertemuan Keenam KEBEBASAN YESUS KRISTUS 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Kebebasan adalah sebuah tema favorit dan malahan tema hangat yang sedang menjadi sorotan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tanah air kita akhir-akhir ini. Bahkan tema ini juga menjadi salah satu inspirasi yang membuat begitu banyak orang di pelbagai belahan dunia berbondong-bondong menuntut perubahan kepemimpinan. Marilah kita memperhatikan beberapa fakta berikut ini, yang mungkin dapat memberikan pencerahan kepada kita perihal kebebasan ini. Kita dapat menyaksikan langsung melalui siaran televisi bagaimana ribuan bahkan jutaan orang di Tunisia turun ke jalan-jalan di negeri itu untuk menuntut agar pemimpin negara meletakkan jabatannya. Gelombang demonstrasi besar-besaran itu dipicu oleh tindakan nekad seorang pedagang asongan, Mohamed Bouazizi. Sehari-hari Bouazizi menggantungkan hidupnya dan hidup keluarganya dengan berjualan buah-buahan dan sayur-sayuran. Dia merasa kehilangan pegangan dan membakar dirinya ketika polisi merampas barang dagangannya. Dia tewas terpanggang. Ternyata, peristiwa itu justru menyulut api semangat rakyat banyak bersama kaum muda Tunisia menuntut perubahan rezim. Penguasa otoriter, Zine al-Abidine Ben Ali, pun tumbang di tangan rakyat. Peristiwa “kejatuhan Ben Ali” memberi inspirasi bagi rakyat Mesir, yang akhirnya mampu menyingkirkan penguasa otoriter Husni Mubarak dari tampuk kekuasaan. Menyusul kedua negara tersebut, rakyat di beberapa negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara pun beramai-ramai memanfaatkan momentum. Gelombang protes dan demonstrasi besar-besaran di Yaman, Iran, Libya, dll. Semua itu terjadi lantaran rakyat telah merasa terlampau lelah terjerat dalam penantian yang begitu lama untuk menghirup udara “kebebasan” di dalam pelbagai aspek kehidupan mereka. Kepemimpinan yang otoriter dan koruptif telah menyebabkan kehancuran sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya satu kemungkinan yang mesti diwujudkan: perubahan menuju kebebasan. Bagaimana fenomena kebebasan di negeri kita ini? Kita bersyukur kepada Tuhan karena bangsa kita tercinta telah menikmati kebebasan di dalam banyak asepk kehidupan sejak rezim Orde Baru tumbang dan takluk di bawah tekanan kekuatan mahasiswa dan rakyat. Muncullah masa reformasi, Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 123 yang menawarkan begitu banyak peluang perubahan, termasuk di dalam mengungkapkan pendapat, pandangan dalam suasana penuh kebebasan. Namun, rupanya kebebasan yang menjadi buah perubahan rezim bangsa ini tetaplah “bagaikan memakan buah simalakama”. Kebebasan diartikan sebagai kesempatan untuk bertindak sesuka hati, semau gue. Tidaklah mengherankan kalau kemudian timbul aneka peristiwa yang dengan jelas-jelas melanggar hak-hak orang atau pihak lain. Kebebasan dilaksanakan tanpa batas. Kita dapat menyebut beberapa peristiwa mencolok sebagai contoh penghayatan kebebasan yang kebablasan itu: tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan alasan yang paling mulia, yakni klaim kebenaran agama. Ataupun tekanan mental (sosial, psikis) bahkan fisik yang dilakukan oleh kelompok mayoritas berlatar belakang politik, SARA, dll. terhadap beberapa gelintir kelompok minoritas yang tidak sealiran. Lantas, bagaimana sebaiknya kita mengartikan atau memaknai kebebasan itu? Kebasan adalah suatu kesempatan atau peluang untuk dapat mengekspresikan kesejatian diri. Ekspresi kesejatian diri itu selalu mengandaikan sebuah tanggung jawab. Maka, sebuah kebebasan selalu muncul bersamaan dengan tuntutan akan suatu tanggung jawab. Dengan demikian, ekspresi kebebasan seorang individu tidak secara serentak melanggar atau mengangkangi kebebasan individu lain. Berkenaan dengan itu, di dalam sebuah pidatonya di hadapan Kongres pada 6 Januari 1941, President Franklin Delano Roosevelt, menyampaikan 4 kebebasan hakiki manusia1 yang mesti menjadi landasan bagi pembangunan dunia. Keempat kebebasan itu adalah 1) kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan mengungkapan diri; 2) kebebasan untuk beribadah menurut keyakinan setiap orang; 3) kebebasan untuk memperoleh jaminan kehidupan ekonomi; dan 4) kebebasan dari perasaan terancam – aman dari segala ancaman agresi pihak lain atau bangsa lain. Dari keempat kebebasan hakiki bagi manusia itu, kita dapat menyimpulkan bahwa kebebasan itu terdiri dua arah, yakni “kebebasan untuk” dan “kebebasan dari”. Keduanya mesti mendapatkan perlindungan maksimal sekaligus dikontrol oleh tanggung jawab yang maksimal pula. Aplikasi praktis prinsip tersebut adalah peperangan, perbudakan, kemiskinan, represi, dll., dihilangkan dari atas muka bumi. Itulah pembebasan dan kebebasan dalam konteks kehidupan sekuler. Pertanyaannya, kapan itu terjadi? Walahualam!!!! Namun, baiklah kini kita membicarakan sekilas kebebasan dalam konteks Kitab Suci: “Pandangan Alkitab tentang kebebasan dilatarbelakangi pemikiran tentang penahanan dalam penjara dan perbudakan. Para penguasa memenjarakan orang-orang yang dipandang bersalah (Kej 39:20); suatu bangsa yg dikalahkan akan diperbudak oleh bangsa yang mengalahkannya, atau tawanan perang oleh penakluknya, atau seorang pribadi seperti Yusuf, dijual sebagai budak. Kalau Alkitab berbicara tentang pembebasan, dalamnya terkandung pengertian tentang perbudakan atau penahanan dalam penjara, sebelum pembebasan itu. Kebebasan berarti kebahagiaan berdasarkan pembebasan dari perbudakan, memasuki kehidupan baru dalam sukacita dan kepuasan yang tak mungkin diperoleh sebelumnya. Gagasan tentang pelepasan atau pembebasan muncul dalam Alkitab dengan arti biasa secara sekuler (mis Mzm 105:20; Kis 26: 32); tapi pemikiran ini juga mengalami perkembangan teologis yang penting. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 124 … Dalam PB, pembebasan menjadi suatu konsep teologis yang penting untuk menggambarkan keselamatan.”2 Dalam kerangka pemikiran semacam itu, kita menemukan begitu banyak rujukan mengenai bagaimana Allah membebaskan bangsa Israel dari belenggu penjajahan bangsa Mesir. Sebagai tanggapannya, bangsa Israel sebagai umat perjanjian-Nya melayani Yahweh (lih. Misalnya, Kel 19: 3; 20: 1; Im 25: 55; bdk. Yes 43: 21). Selanjutnya, Yahweh mengantar bangsa Israel menuju ke tanah terjanji. Dalam teologi Kristen berdasarkan Injil-injil dan Surat-surat St. Paulus, pembebasan dan kebebasan dibicarakan dalam kelepasan dari belenggu musuh-musuh, yakni dosa, iblis, hukum Taurat dan maut.3 Singkatnya, di dalam PB, kebebasan yang diterima oleh manusia itu: pertama, lebih bersifat spiritual karena berkaitan dengan kelepasan belenggu kekuatan jahat dan penerimaan atas jaminan keselamatan kekal dalam Kristus dan kedua, kebebasan itu bukanlah buah usaha manusia semata tetapi terutama adalah buah rahmat Allah. Bagaimana Tuhan Yesus menghayati kebebasan-Nya? Marilah kita menyimak penuturan para penulis Injil mengenai kebebasan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus bebas terhadap keluarga-Nya sendiri : “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku? Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki dan dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mk 3: 33-34). Dia bebas terhadap kaum Farisi, Saduki, dan para ahli Taurat dan peraturan-peraturan sosial mereka: “Kamu orang-orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan” (Lk 11: 39-40). Dia bebas bergaul dengan orang berdosa, pemungut cukai: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Mk 2: 16) Dia bebas dalam memilih sahabat-sahabat-Nya: “Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus” (Yoh 11: 5). Dia bebas terhadap para penguasa politik: “Pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus: „Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau. Jawab Yesus kepada mereka: „Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai‟” (Lk 13: 31-32). Dia bebas dalam menyerahkan hidup-Nya demi cinta kepada Bapa: “Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku” (Yoh 10: 18). Di dalam penjelasan di atas, kita menemukan bahwa Tuhan Yesus sungguh menghayati kebebasanNya secara penuh. Dia bebas dari diri-Nya sendiri dan bebas dari tekanan pihak lain. Penghayatan kebebasan Tuhan itu sungguh berakar pada kasih-Nya yang tanpa pamrih kepada Allah Bapa-Nya dan kepada segenap umat manusia. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 125 Berkaitan dengan pembaktian seluruh diri kita kepada Kristus melalui Santa Perawan Maria, berikut ini ajaran yang disampaikan Santo Montfort kepada kita. Di dalam Bakti Sejati kepada Maria, St. Montfort mengatakan: Ada tiga macam perhambaan: perhambaan kodrati, perhambaan terpaksa dan perhambaan sukarela. Seluruh makhluk adalah hamba Allah macam pertama, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya” (Mzm 24:1); roh-roh penggoda dan orang-orang terkutuk adalah macam kedua; orang-orang yang benar dan para orang kudus adalah macam ketiga. Macam yang terakhir ini adalah bentuk perhambaan yang paling luhur, karena ia memberi kemuliaan yang paling banyak kepada Allah. “Tuhan melihat hati” (I Sam 16:7), meminta hati, sebab itu juga menyebut diri Allah hati atau Allah kerelaan hati yang penuh kasih. Karena melalui perhambaan ini orang memilih Allah dan pelayanan-Nya di atas segalanya, juga bila kodrat tidak mewajibkannya (BS 70). Secara sederhana kita marilah kita juga melihat perbedaan di antara seorang “hamba” dan seorang “pelayan”. Pelayan Hanya sebagian: Kepunyaannya kini Kepunyaannya kelak Dengan syarat (lih. “penghormat yang mencari kepentingan pribadi” di dalam BS 103) Jangka waktu tertentu (kontrak) Hak terbatas (menyangkut kerja) Ketergantungan Yang diserahkan Tuntutan/syarat Nilai Kesetiaan Radikalitas Hamba Seluruhnya (BS 121): Keberadaannya Kepunyaannya kini Kepunyaannya kelak Tanpa upah atau pamrih apapun (BS 110) Untuk selama-lamanya Hak mutlak (hidup dan mati) Pesan yang dapat kita petik dari perbandingan di atas adalah bahwa ketika kita melakukan “pembaktian seluruh diri” kepada Yesus Kristus melalui Santa Perawan Maria, kita sesungguhnya melakukannya bagaikan seorang hamba yang menyerahkan segala-galanya kepada tuan atau majikannya. Bantuan apa yang kita terima untuk sungguh menjadi hamba Yesus di dalam Maria? Santo Montfort mengatakan: Barang siapa menghayati bakti ini dengan setia berarti menerima suatu kebebasan batin yang besar, yaitu kebebasan anak-anak Allah. Karena melalui bakti ini kita menjadikan diri kita hamba Yesus Kristus dan dengan cara demikian membaktikan diri kita seutuhnya kepada-Nya, maka Guru yang baik itu membalas penawanan sukarela karena kasih tersebut sebagai berikut: 1º Ia membebaskan manusia dari segala godaan untuk menjadi kelewat peka dan dari rasa takut yang lazim bagi seorang hamba, sebab semuanya itu hanya untuk menyesakkan, menghimpit dan membingungkan saja; 2º Ia melegakan hati dengan kepercayaan yang kuat kepada Allah dan membuatnya memandang Allah sebagai Bapa; 3º Ia membangkitkan di dalam kita suatu kasih yang mesra seperti kasih seorang anak (BS 169). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 126 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: a) Kapan saya sungguh menghayati kebebasanku? b) Apakah saya juga mengalami suatu ketergantungan di dalam hidupku? Kalau ada, ketergantungan pada apa? c) Bagaimana saya memaknai dan menghayati ketergantungan itu? 04. Niat: Saya berdoa supaya semakin terdorong untuk hidup secara pribadi, dengan menggali kekuatan dari dalam hati, bukan karena rangsangan yang timbul tiba-tiba atau hanya karena paksaan dari luar. 05. Pewartaan Sabda: 2Kor 3: 17-18 Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan. Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Paus Yohanes Paulus II di dalam ensikliknya, Bunda Penebus, mengatakan bahwa “Maria sangat tergantung pada Allah dan sepenuhnya terarah kepada-Nya, serta di sisi Putranya, Maria adalah gambaran sempurna kebebasan dan pembebasan umat manusia dan seluruh dunia” (Bunda Penebus No. 37). Marilah kita mendaraskan rangkaian Rosario ini dalam semangat kebebasan sejati Santa Perawan Maria. Rangkaian pertama: Marilah menatap Maria yang memberi jawaban “ya” yang bebas dan bertanggung jawab pada waktu inkarnasi. Rangkaian kedua: Marilah menatap Maria yang mengambil keputusan yang bebas dan berani untuk hidup sebagai perawan seumur hidup. Rangkaian ketiga: Marilah menatap Maria yang dengan bebasa mau taat kepada tuntutan iman sewaktu mengadakan peziarahan iman di bumi ini. Rangkaian keempat: Marilah menatap Maria yang di kaki salib dengan bebas dan penuh kepahlawanan mempersembahkan Putranya. Rangkaian kelima: Marilah menatap Maria yang bebas sepenuh-penuhnya di dalam kemuliaan surga. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 127 07. Doa Penutup: Litani Roh Kudus dan Ave Maris Stella 1Mike Treder, “The Meaning of Freedom”, di dalam http://ieet.org/index.php/IEET/more/3411, diakses dari Gunung Kencana 8-10, Bandung, Sabtu, 12 Maret 2011, jam 14:20 WIB. J. D Douglas (Penyunting Pengelola), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I: A-L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, cetakan kelima, 1999, hlm 166-167. 2 3Ibid. Kata “yg” di dalam teks asli ditulis lengkap “yang” di dalam naskah ini. Uraian selanjutnya dapat dibaca di dalam halaman 167-168. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 128 Pertemuan Ketujuh PERANAN MARIA DI DALAM PEMBAKTIAN DIRI KEPADA YESUS KRISTUS 01. Doa Pembuka: Doa Santo Agustinus atau ”Tuhan, semoga aku mengenal Engkau!” atau ”Tuhan, semoga aku melihat siapa Engkau!” 02. Pengantar Tema Setelah melalui pembahasan tema demi tema dari Tahap I (Pengenalan Dunia), Tahap II (Pengenalan Diri), Tahap III (Pengenalan Maria), dan termasuk juga ke-6 tema terdahulu di dalam Tahap IV ini, hampir tidak diragukan lagi bahwa kita akan sepakat mengatakan dengan berani dan tegas bahwa dalam membangun relasi yang dinamis dengan Kristus, Tuhan dan Juru Selamat, serta satu-satunya Pengantara kita kepada Allah Bapa, kita membutuhkan kehadiran Santa Perawan Maria. Karena itulah, kita menyatakan bahwa kehadiran Bunda Maria di dalam proses pengenalan kita akan Kristus dan penghayatan “status kemuridan” kita adalah salah satu unsur konstitutif spiritualitas Santo Montfort. Berkali-kali Santo Montfort menegaskan bahwa Santa Perawan Maria hanyalah manusia biasa, tiada berarti dibandingkan dengan keagungan Allah. Namun, justru Allah sendirilah, yang di dalam keagungan rencana-Nya, yang melampaui daya tangkap kita manusia, telah berkenan memilih Bunda Maria untuk menjadi “partner kerja” sebagai Bunda Allah Putra. Mengenai pandangannya ini, Santo Montfort memberikan beberapa alasan yang cukup kuat (lih. BS 50). Nah, seperti juga telah kita bicarakan, tindakan kita memberi peran kepada Bunda Maria dalam perjalanan iman dan seluruh hidup kita menuju kepada persatuan personal dengan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus, Putra-Nya, sesungguhnya lebih sebagai ungkapan rasa hormat kita kepada Allah yang telah memilih Bunda Maria. Allah yang Mahatinggi telah datang menyapa kepada kita melalui Santa Perawan Maria, tidakkah lebih pantas lagi kalau kita datang kepada Allah melalui Santa Perawan Maria. Makna penyerahan diri kita kepada Kristus melalui Santa Perawan Maria menjadi sangat nyata ketika menyadari kerapuhan diri kita untuk menghampiri tahta kemuliaan Allah. Di dalam pembaktian seluruh diri kita tidak lagi mengandalkan diri kita sendiri dengan segala kerapuhannya, melainkan pada bantuan keibuan Maria (lih. BS 144-150). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 129 Untuk menegaskan uraian singkat di atas, lebih lanjut, St. Montfort menjelaskan dua nilai penting yang terkandung di dalam pembaktian seluruh diri kepada Kristus melalui Maria. a) Pengalaman ketergantungan Di dalam karya tulisnya, Rahasia Maria (RM), St. Montfort mengatakan bahwa pengalaman ketergantungan kita kepada Maria itu: Suatu rahasia kesucian: “Orang pilihan, inilah suatu rahasia yang diajarkan oleh Yang Mahatinggi kepada saya dan yang tidak saya temukan dalam sebuah buku manapun, baik yang tua maupun yang baru. Dengan ilham Roh Kudus, saya mempercayakannya kepada kamu, …” (RM 1). Membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus karena Bunda Maria adalah “cetak tuang [mal] Allah yang hidup” (RM 16): “Sahabat terkasih, betapa berbeda manusia yang dibentuk dalam Yesus Kristus dengan cara yang biasa dipakai oleh mereka yang – seperti pemahat-pemahat – mengandalkan ketangkasan dan keahliannya sendiri; dan manusia yang penuh penyerahan dan kerelaan mau dilebur dan tanpa bersandar pada dirinya sendiri menuangkan diri ke dalam Maria dan membiarkan diri dibentuk oleh karya Roh Kudus” (RM 18). Suatu karunia Roh Kudus: “Berbahagialah, ya seribu kali berbahagialah orang yang menerima wahyu dari Roh Kudus untuk mengenal 'rahasia' Maria” (RM 20). Mengandung tuntutan-tuntutan yang sangat berat: “…kesulitannya yang besar terletak dalam meresapi semangat bakti ini, artinya kita menjadi tergantung secara batiniah dan menjadi hamba Perawan yang suci dan melalui dia menjadi hamba Yesus” (RM 44). Membawa kehadiran Maria: “Berhati-hatilah juga agar kamu tidak gelisah, jikalau kamu tidak segera merasakan lembutnya kehadiran Perawan Maria di dalam batinmu. Karunia ini tidak diberikan kepada setiap orang. Dan biarpun Tuhan dalam kemurahan-Nya yang besar mengistimewakan seseorang, karunia itu dengan mudah sekali akan hilang, bila ia tidak setia mencari keheningan” (RM 52). Membutuhkan pengalaman pribadi secara langsung: “Pengalaman akan mengajar kamu lebih banyak mengenai ibadat ini daripada yang dapat saya katakan. Namun bila kamu tetap setia kepada apa yang saya ajarkan, walaupun itu tidak banyak, kamu akan menemukan kekayaan karunia begitu besar, sehingga kamu akan terheran-heran dan diliputi kegembiraan mendalam” (RM 53). b) Pengalaman mistik mengenai Maria Santo Montfort mengajak kita untuk “membicarakan bentuk-bentuk batiniah” bakti sejati kepada Maria. Menurut dia, “Bentuk-bentuk ini sungguh membawa kesucian bagi semua orang yang dipanggil oleh Roh Kudus kepada kesempurnaan yang tinggi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa segala tindakan yang kita lakukan melalui Maria, dengan Maria, dalam Maria dan untuk Maria, bertujuan untuk dilakukan lebih sempurna melalui Yesus Kristus, dengan Yesus Kristus, dalam Yesus dan untuk Yesus” (BS 257). Lantas apa tujuan atau apa makna kita membaktikan seluruh diri kepada Yesus Kristus melalui Santa Perawan Maria? St. Montfort mengataka bahwa pembaktian seluruh diri itu “hanya perlu bagi kita Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 130 untuk menemukan seutuhnya, mengasihi dengan mesra serta melayani Yesus Kristus dengan setia” (BS 62). Dengan sebuah formulasi yang amat pendek ini, kita dapat langsung memahami bahwa Yesus Kristuslah tujuan akhir pembaktian seluruh diri kita. Kita pun dapat mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah tujuan akhir dan Bunda Maria adalah tujuan sementara atau tujuan “antara”. Berikut ini St. Montfort menderetkan beberapa alasan mengenai pembaktian diri sebagaimana telah disinggung secara sepintas. a) Jalan yang digunakan Allah adalah melalui Maria: “Bakti ini adalah sebuah jalan yang mudah. Yesus Kristus telah membukanya ketika Dia datang kepada kita” (BS 152). b) Bunda Maria adalah cetak tuang atau mal Allah: “Sebuah mal yang pantas untuk membentuk dan menuang anak-anak Allah. Barang siapa dituang ke dalam mal ilahi ini maka akan secepatnya dibentuk dan dituang dalam rupa Yesus Kristus dan Yesus Kristus akan terbentuk di dalam dia” (BS 219). c) Bunda Maria sepenuhnya terarah kepada Allah karena dia ”… hanya mempunyai arti dalam relasi dengan Allah” (BS 225). d) Bunda Maria adalah manusia yang paling serupa dan bersatu dengan Tuhan Yesus dan membaktikan diri kepada-Nya. Karena itu, bakti paling sempurna kepada Maria adalah bakti atau “… devosi yang secara paling sempurna membuat kita serupa dengan Yesus Kristus, mempersatukan kita dengan-Nya dan membaktikan diri kita kepada-Nya” (BS 120). Selanjutnya dia juga memberikan sebuah formulasi yang amat padat untuk menggarisbawahi nilai jarannya mengenai bakti sejati kepada Kristus melalui Maria, terutama berkaitan dengan praktik batiniah bakti tersebut, yakni “... bahwa segala tindakan yang kita lakukan melalui Maria, dengan Maria, dalam Maria dan untuk Maria, bertujuan untuk dilakukan lebih sempurna melalui Yesus Kristus, dengan Yesus Kristus, dalam Yesus dan untuk Yesus” (BS 257). a) Melalui Maria: “Kita harus melakukan tindakan kita melalui Maria, artinya di dalam segala-galanya taat kepada Perawan teramat suci dan membiarkan diri kita dalam segala-galanya dibimbing oleh rohnya, yang adalah Roh Kudus Allah” (BS 258). b) Dengan Maria: “Kita harus melakukan tindakan kita dengan Maria, artinya kita memandang Maria sebagai model yang sempurna dari setiap keutamaan dan kesempurnaan yang dibentuk oleh Roh Kudus di dalam seorang yang murni makhluk, agar kita dapat meneladaninya sesuai dengan kemampuan kita yang sangat terbatas” (BS 260). c) Dalam Maria: “Apabila kita sudah memperoleh rahmat yang mengagumkan ini karena kesetiaan kita, maka kita harus tinggal dengan rasa senang dalam batin Maria yang indah, beristirahat di situ dalam damai, dan dengan penuh kepercayaan menemukan titik sandaran kita di dalamnya” (BS 264). d) Untuk Maria: “Bukankah sepantasnya kita sebagai abdi, pelayan dan hamba melakukan seluruh pekerjaan kita untuk dia? Bukan karena kita memandangnya sebagai tujuan akhir semua pengabdian kita karena tujuan akhir kita hanyalah Yesus Kristus. Tetapi benar kita memandang dia sebagai tujuan dekat kita, lingkungan hidup yang penuh rahasia dan sarana yang mudah untuk pergi kepada Yesus Kristus” (BS 265). Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 131 Kita dapat membuat sebuah “jembatan emas” atau “jembatan keledai” yang memudahkan kita mengingat hakikat bakti sejati kita kepada Kristus melalui Santa Perawan Maria seperti berikut ini: “tujuan kita bertindak MeDeDaUn Maria adalah agar kita bertindak dengan lebih sempurna >> MeDeDaUn Tuhan Yesus.” Karena itu, baiklah kita dengan lantang berkata: Kemuliaan kepada Yesus dalam Maria Kemuliaan kepada Maria dalam Yesus Kemuliaan hanya kepada Allah (BS 265) 03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: a) Sejauh ini atau hingga kini, bagaimana saya menghayati penghormatanku (dalam aneka bentuk) kepada Bunda Maria? b) Apakah Tuhan Yesus sebagai tujuan akhir seluruh hidupku telah menjadi cukup jelas di dalam pelbagai praktik baktiku kepada Bunda Maria? c) Bagaimana saya mengalami bantuan spiritualitas St. Montfort dalam hidup rohaniku? 04. Niat: Saya harus membiasakan diri sedikit demi sedikit menyelami batinku untuk membentuk suatu gambaran rohani mengenai Santa Perawan Maria (lih. RM 47). 05. Pewartaan Sabda: Lk 2: 19; Lk 2: 51 “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2: 19). “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (Lk 2: 51). 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Santo Monfort mengatakan, “Allah Roh Kudus mau membentuk orang-orang terpilih bagi diri-Nya di dalam Maria dan melalui Maria. „Berakarlah dalam orang-orang pilihan-Ku‟ (V/Sir 24:13), kataNya kepada Maria: Kekasih-Ku, Mempelai-Ku, tanamkanlah semua keutamaanmu dalam orangorang pilihan-Ku, agar mereka berkembang dari keutamaan ke keutamaan dan dari rahmat ke rahmat” (BS 34). Marilah kita mengulangi secara perlahan-lahan dalam suasana meditatif seruanseruan, yang diambil dari “Doa kepada Maria” (lih. RM 68), berikut ini sebanyak 10 kali. Setiap puluhan seruan diawali dengan doa “Bapa Kami” dan ditutup dengan “Kemuliaan”. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 132 Rangkaian pertama: “Salam, hai engkau yang dikaruniai. Semoga terang imanmu mengusir kegelapan rohku” (RM 68, bdk. BS 92). Rangkaian kedua: “Salam, hai engkau yang dikaruniai. Semoga kerendahanmu yang mendalam mengganti kecongkakanku” (RM 68). Rangkaian ketiga: “Salam, hai engkau yang dikaruniai. Semoga kontemplasi luhurmu menghentikan khayalanku yang melayang-layang” (RM 68). Rangkaian keempat: “Salam, hai engkau yang dikaruniai. Semoga karuniamu memandang Allah terus menerus, memenuhi aku dengan kerinduan akan kehadiranNya” (RM 68). Rangkaian kelima: “Salam, hai engkau yang dikaruniai. Semoga nyala cinta hatimu melebarkan dan mengobarkan hatiku yang suam dan dingin” (RM 68, bdk. BS 100). 07. Doa Penutup: Litani Roh Kudus dan Ave Maris Stella Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP IV: PENGENALAN KRISTUS 133