Keragaman Tanah pada Berbagai Satuan Lahan di

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keragaman Tanah
Keragaman tanah merupakan keragaman ruang (spasial) dan keragaman
waktu (temporal). Keragaman ruang (spasial) terbentuk dari keragaman yang
terjadi secara lateral maupun vertikal secara bersama-sama (Wilding dan Dress,
1983). Tanah yang berada pada puncak lereng akan berbeda dengan tanah yang
berada pada tengah lereng atau di lembah. Keragaman temporal adalah keragaman
yang tergantung waktu. Sifat-sifat tanah tertentu akan berbeda bila diukur pada
saat sebelum tanam dan sesudah tanam pada musim kemarau atau musim
penghujan, dan sebagainya.
Menurut Sitorus (2000) faktor-faktor yang menyebabkan keragaman tanah
adalah :
1. Tipe bahan induk; tanah yang terbentuk dari bahan-bahan yang diangkut
atau endapan cenderung beragam dari tanah yang melapuk in situ.
2. Daerah berbukit dipengaruhi sekurang-kurangnya interaksi dari lima
faktor yaituu aspek lereng, ketinggian, vegetasi, pemudaan tanah
kembali dan letak/posisi lereng.
3. Aktivitas biologi tanah dapat meningkatkan keragaman setempat.
4. Alur-alur yang dibuat cacing tanah menghasilkan perbedaan pada jarak
pendek.
5. Gradient wilayah dalam iklim menghasilkan perbedaan dalam tanah atau
perubahan secara gradual dalam jangka panjang.
6. Pengelolaan manusia terutama pada lahan-lahan yang ditanami. Sifatsifat kimia tanah dapat dipengaruhi penambahan bahan organik,
pemupukan, pengapuran dan pengambilan unsur hara oleh tanaman.
Sifat fisik tanah dapat dipengaruhi oleh pengelolaan tanah, pembajakan
atau pembalikan lapisan bawah permukaan tanah dan drainase.
7. Vegetasi
alami
penutup
tanah.
Pada
lahan-lahan
yang
tidak
dibudidayakan atau diusahakan, perbedaan vegetasi tanah dapat
mengakibatkan perbedaan dalam kandungan unsur hara pada tanah
lapisan atas.
Untuk membandingkan keragaman sifat-sifat tanah yang berbeda dapat
digunakan
Koefisien
Keragaman
(KK).
Wilding
dan
Drees
(1983)
mengelompokkan keragaman sifat-sifat tanah menjadi tiga kelas berdasarkan
tingkat kehomogenannya, yaitu :
1. Keragaman rendah (KK<15%)
2. Keragaman sedang (KK15-35%)
3. Keragaman tinggi (KK>35%)
Pola keragaman tanah sangat tergantung pada skala pengamatan, macam, sifatsifat tanah dan metodologi yang digunakan untuk penelitian (Wilding dan Drees,
1983).
2.2
Proses Geomorfik dan Bentuk Lahan
Semua perubahan baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan
bentuk permukaan bumi disebut proses geomorfik. Menurut Wiradisastra et al.
(1999) bentuk-bentuk lahan yang ada dimuka bumi terjadi melalui proses
geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi
perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik
yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan
dipermukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah,
gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut dan
tsunami).
Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang
membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik
(hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses
gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa
degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering
processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula
terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah,
gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan
gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme,
sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor.
Bentuk muka bumi yang terbentuk melalui proses geomorfik di atas dapat
didefinisikan sebagai bentuk lahan. Bentuk lahan (landform) merupakan istilah
yang digunakan untuk menyatakan masing-masing dari setiap satu kenampakan
dari kenampakan secara menyeluruh dan sinambung (multitudineous features)
yang secara bersama-sama membentuk permukaan bumi. Hal ini mencakup semua
kenampakan yang luas, seperti dataran, plato, gunung dan kenampakankenampakan kecil seperti bukit, lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial
(Desaunettes, 1977).
Wiradisastra et al. (1999) menambahkan bahwa bentuk lahan merupakan
konfigurasi permukaan lahan (land surface) yang mempunyai bentuk-bentuk
khusus. Suatu bentuk lahan akan dicirikan oleh struktur atau batuannya, proses
pembentukannya, dan mempunyai kesan topografi spesifik. Lereng merupakan
unsur topografi yang mempengaruhi sifat-sifat dan perkembangan tanah. Lereng
adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya
perbedaan kecuraman dan bentuk lereng (Hardjowigeno, 1995). Kemiringan
lereng ditunjukkan oleh besarnya sudut yang terbentuk antara permukaan bumi
dengan bidang datar. Betuk lereng merupakan wujud permukaan lereng yang
dapat berbentuk cembung, cekung maupun datar. Lereng terdiri dari bagian
puncak (crest), bagian cembung, bagian cekung dan kaki lereng (Hardjowigeno,
1993).
Savigear (1960, dalam Darmawan, 1987) mengklasifikasikan lereng
berdasarkan kemiringan dan posisinya menjadi tiga bagian (component), yaitu :
(1). Puncak lereng (crestslope), (2) Punggung lereng (backslope), dan (3). Kaki
lereng (footslope). Puncak lereng adalah bagian lereng mulai dari bagian teratas
hingga bagian yang mulai curam, punggung lereng adalah bagian berikutnya yang
mempunyai kamiringan maksimum dan hampir tetap, sedangkan kaki lereng
adalah bagian yang melandai mulai dari batas terakhir punggung lereng hingga
pusat lembah (Gambar 1).
Gambar 1. Klasifikasi Lereng Menurut Savigear
(1960, dalam Darmawan, 1987)
Secara ringkas proses-proses geomorfik yang terjadi pada bentuk lahan
dan sering terjadi secara bersamaan adalah erosi, transportasi dan deposisi. Erosi
tidak berpengaruh nyata jika tida ada selisih ketinggian (lereng). Secara umum
proses erosi lebih banyak terjadi pada bagian atas lereng, sedangkan proses
transportasi lebih banyak terjadi pada lereng bagian tengah dan proses deposisi
terjadi pada lereng bagian bawah (Wiradisastra et al., 1999).
2.3
Sifat Morfologi Tanah di Lapang
Sifat morfologi adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di
lapang. Pengamatan sifat morfologi tanah yang dilakukan di lapang dapat melalui
pengamatan secara pemboran dan pembuatan profil. Beberapa sifat morfologi
tanah yang umum diamati di lapang antara lain: horison tanah, warna tanah,
tekstur dan struktur tanah, dan konsistensi tanah.
2.3.1. Horison Tanah
Menurut Soil Survey Staff (1975) Horison tanah merupakan lapisan di
dalam tanah yang kurang lebih sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk
sebagai hasil dari proes pembentukan tanah. Horison tanah dapat dibedakan
menjadi dua yaitu horizon horizon genetik dan horizon diagnostik (penciri).
Horison genetik mencerminkan jenis perubahan sifat tanah yang terjadi akibat dari
proses pembentukan tanah. Sedangkan horison diagnostik adalah horison yang
mungkin terdiri dari beberapa horison genetik yang sifat-sifatnya dinyatakan
secara kuantitatif dan digunakan sebagai penciri dalam klasifikasi tanah (Soil
Survey Staff, 1998).
Soil survey Staff (1998) mengemukakan bahwa terdapat enam horison
genetik utama (lapisan utama) di dalam tanah yang masing-masing diberi simbol
huruf kapital O, A, E, B, C, dan R. Huruf-huruf kapital tersebut merupakan
simbol dasar. Huruf dan angka kemudian ditambahkan untuk melengkapi
penamaan horison. Horison O merupakan lapisan yang didominasi oleh bahan
organik, baik yang pernah jenuh air dalam waktu yang lama maupun tidak pernah
jenuh air. Horison A merupakan horison tanah mineral yang terbentuk pada
permukaan tanah di bawah horison O, horison A merupakan akumulasi bahan
organik halus yang bercampur dengan bahan mineral yang tidak didominasi oleh
sifat horison E atau menunjukkan sifat sebagai pengolahan tanah. Horison E
adalah horison tanah mineral yang mempunyai ciri utama hilangnya liat silikat,
Fe, Al, bahan organik, atau kombinasinya. Horison B merupakan horison yang
terbentuk di bawah horison A, E atau O, dan didominasi oleh hilangnya seluruh
atau sebagian besar struktur batuan asli. Horison B adalah lapisan penimbunan
dari unsur-unsur yang tercuci pada horison E. Horison C adalah horison yang
tidak termasuk batuan induk keras yang sedikit dipengaruhi oleh proses
pedogenesis dan tidak mempunyai sifat-sifat horison O, A, E, dan B. Sedangkan
horison R merupakan batuan keras yang tidak dapat hancur bila direndam dalam
air selama 24 jam.
Dalam sebuah horison terjadi lapisan perubahan dari satu horison utama ke
satu horison utama lain dibawahnya, seperti AB, EB, BA, BE, BC. Horison ini
memiliki campuran sifat kedua horison utama yang berkaitan. Lambang horison
utama yang ditulis di depan menunjukkan bahwa sifat horison utama
mendominasi sifat horison peralihan dan sebaliknya. Horison AB adalah horison
peralihan yang memiliki sifat horison A dan B, tetapi didominasi oleh sifat
horison A. Sedangkan horison kombinasi adalah horison yang terdiri dari dua
bagian yang berbeda yang memiliki sifat-sifat yang dapat dikenal sebagai dua
horison utama dan dengan garis miring seperti A/B, E/B, B/C. dalam hal ini
bagian horison diukur menurut volumenya, apakah lebih besar atau lebih kecil
sebagai penyusun horison kombinasi. Horison A/B berarti volume bagian horison
A lebih besar dari pada volume bagian horison B pada horison kombinasi tersebut
(Rachim dan Suwardi, 1999).
Dalam pengamatan horison dalam suatu profil di lapang, harus ditentukan
batas antar horison dan kejelasan topografi serta batas dan bentuk topografi. Kelas
batas dan kejelasan topografi horison ditentukan berdasarkan: sangat jelas (lebar
peralihan <2cm), jelas (lebar peralihan 2-5 cm), berangsur (lebar peralihan 5-12
cm), baur (lebar peralihan >12 cm). Sedangkan batas dan bentuk topografi
ditentukan berdasarkan: rata, berombak, tidak teratur dan putus.
2.3.2. Warna Tanah
Warna tanah merupakan sifat morfologi yang paling mudah diidentifikasi
dan merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Warna tanah dicatat dengan
menggunakan notasi dalam Munsell Soil Color Chart. Notasi ini menggambarkan
warna dalam tiga variabel yaitu: hue, value dan kroma. Hue adalah spektrum yang
dominan dan sesuai dengan panjang gelombang. Value menunjukkan gelap
terangnya warna sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Kroma
menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum (Buol et al. 1980).
Hue terdiri dari lima warna utama (biru, hijau, kuning, merah, ungu) dan
lima warna campuran (hijau kebiruan, kuning kehijauan, merah kekuningan, ungu
kemerahan, biru keunguan). Setiap hue memiliki skala dari 0 sampai 10, dengan
selang 2.5 sehingga urutan skalanya adalah 0, 2.5, 5, 7.5 dan 10. Value
mempunyai nilai 0-8, semakin tinggi nilai value warna makin terang. Kroma juga
mempunyai nilai 0-8, semakin tinggi nilai kroma menunjukkan niai spektrum atau
kekuatan warna spektrum makin meningkat.
Warna tanah semakin gelap menunjukkan kandungan bahan organik
semakin tinggi, warna merah menunjukkan tanah berdrainase baik karena
senyawa Fe dalam keadaan oksidasi, warna abu-abu menunjukkan tanah
berdrainase buruk yaitu tanah yang selalu tergenag air dimana senyawa Fe dalam
keadaan reduksi.
Perbedaan warna digunakan untuk membeda-bedakan deret lapisan dalam
profil. Pada umumnya lapisan teratas lebih tua dibandingkan dengan lapisan
dibawahnya. Terkadang lapisan yang berwana lebih muda diikuti oleh lapisan
yang lebih tua lagi. Seringkali warna dipergunakan untuk memberikan nama pada
suatu tanah. Selain warna pokok terdapat jenis warna lain sehingga terdapat
berbagai jenis (variasi) warna dalam satu profil atau horison (Wirdjodihardjo,
1953).
2.3.3. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif diantara fraksi pasir, debu
dan liat yang terkandung dalam suatu massa tanah (Suwardi dan Wiranegara,
2000). Fraksi pasir mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada fraksi debu dan
liat. Pasir berukuran 2 mm-50 µm, debu berukuran 50 µm-2 µm, dan liat
berukuran <2 µm.
Berdasarkan perbandingan banyaknya butir pasir, debu dan liat maka
tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas tekstur :
1.
Kasar
: pasir, pasir berlempung.
2.
Agak kasar : lempung berpasir.
3.
Sedang
4.
Agak halus : Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu.
5.
Halus
: lempung, lempung berdebu, debu.
: liat berpasir, liat berdebu, liat.
Tekstur merupakan sifat fisik yang penting dalam menentukan aerasi tanah,
konsistensi tanah, permeabilitas dan infiltrasi. Selain itu tekstur berkaitan erat
dengan luas permukaan, daya adsorbsi, plastisitas dan daya kohesi yang semuanya
merupakan penentu bagi semua reaksi fisik-kimia yang terjadi di dalam tanah
(Staff Pusat Penelitian Tanah, 1990).
Tanah-tanah yang bertekstur pasir dan debu mempunyai luas permukaan
yang kecil sehingga sulit menahan air dan menjerap unsur hara. Tanah-tanah yang
bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan
menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih
aktif dalam reaksi kimia dari pada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 1995).
Penetapan tekstur di lapang dilakukan dengan membasahi massa tanah
kemudian dipijid dan dipirid antara ibu jari dan jari telunjuk, dengan
memperhatikan adanya rasa kasar untuk tekstur pasir, rasa licin untuk tekstur
debu dan rasa lekatuntuk tekstur liat di antara kedua jari tersebut. Berdasarkan
rasa kasar, licin, kelekatan dan gejala piridan dapat ditentukan kelas tekstur di
lapang (Suwardi, 2000).
2.3.4. Struktur Tanah
Menurut Soil Survey Staff (1993), struktur merupakan gumpalangumpalan kecil dari butir-butir tanah yang terjadi karena butir-butir pasir, debu
dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat antara lain bahan organik, oksidaoksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk,
ukuran dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda. Apabila unit-unit struktur
tersebut tidak terbentuk, maka tanah tersebut dapat dikatakan tidak berstruktur.
Menurut bentuknya struktur dapat dibedakan menjadi: lempeng, prisma,
tiang, gumpal bersudut, gumpal membulat, granular dan remah. Bentuk tanah
yang tidak berstruktur disebut lepas dan pejal (massif).
Ukuran struktur berbeda-beda sesuai dengan bentuknya (Hardjowigeno,
1995). Struktur lempeng mempunyai ketebalan kurang dari 1 mm sampai lebih
dari 10 mm, struktur prisma dan tiang antara kurang dari 10 mm sampai lebih dari
100 mm, struktur gumpal antara kurang dari 5 mm sampai lebih dari 50 mm,
struktur granular kurang dari 1mm sampai lebih dari 10 mm dan struktur remah
kurang dari 1mm sampai lebih dari 5 mm.
Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan atas kemantapan
atau ketahanan bentuk struktur tanah tersebut terhadap tekanan. Ketahanan
struktur tanah dibedakan menjadi :
1. Tingkat perkembangan lemah (butir-butir struktur tanah mudah hancur).
2. Tingkkat perkembangan sedang (butir-butir struktur tanah agak sukar
hancur).
3. Tingkat perkembangan kuat (butir-butir struktur tanah sangat sukar
hancur).
Ketahanan struktur tersebut ditetapkan sesuai dengan jenis tanah dan tingkat
kelembaban tanah (Hardjowigeno, 1995).
2.3.5. Konsistensi Tanah
Konsistensi tanah menunjukkan kekuatan daya kohesi butir-butir tanah
atau daya adhesi butir-butir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukkan oleh
daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk (Hardjowigeno,
1995). Menurut Rachim dan Suwardi (1999), konsistensi tanah mencakup :
1. Ketahanan bahan tanah terhadap perubahan bentuk atau pecah.
2. Ketahanan tanah terhadap penetrasi.
3. Plastisitas, kekerasan, dan kelekatan bahan tanah terhadap jenuh air.
4. Sifat yang ditunjukkan oleh bahan tanah terhadap tekanan.
Sifat-sifat konsistensi tanah harus disesuaikan dengan kandungan air pada
tanah tersebut, apakah tanah dalam keadaan lembab, basah atau kering.
Konsistensi tanah dalam keadaan lembab, dibedakan menjadi konsistensi gembur
(mudah diolah) sampai teguh (agak sulit diolah). Dalam keadaan kering,
dibedakan menjadi lunak sampai keras. Dalam keadaan basah dibedakan
plastisitasnya yaitu dari plastis sampai tidak plastis atau kelekatannya yaitu dari
tidak lekat sampai lekat. Dalam keadaan lembab atau kering konsistensi tanah
ditentukan dengan meremas segumpal tanah. Bila gumpalan tersebut mudah
hancur maka tanahnya dikatakan berkonsistensi gembur (lembab) atau lunak
(kering). Bila gumpalan tanah sukar hancur dengan remasan tersebut, tanah
dikatakan berkonsistensi teguh (lembab) atau keras (kering). Sedangkan dalam
keadaan basah ditentukan mudah tidaknya melekat pada jari (melekat atau tidak
melekat) atau mudah tidaknya membentuk bulatan dan kemampuannya
mempertahankan bentuk tersebut (Soil Survey Staff, 1998).
2.4
Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah merupakan salah satu sifat yang digunakan untuk
menentukan kemampuan tanah baik untuk pengelolaan maupun penggunanan
suatu lahan. Beberapa sifat fisik tanah antara lain: kadar air tanah (kadar air
kapasitas lapang, kadar air titik layu permanen dan kadar air tersedia), bobot isi
dan permeabilitas tanah.
2.4.1. Kadar Air Tanah
Kadar air tanah merupakan fase cair tanah yang mengisi sebagian atau
seluruh ruang pori tanah. Kadar air tanah sangat berperan dari segi pedogenesis
maupun hubungannya dengan pertumbuhan tanaman (edafologis). Kadar air tanah
dapat dinyatakan dalam persen berat kering dan persen volume.
Menurut Hardjowigeno (1995), air dapat meresap atau ditahan oleh tanah
karena adanya gaya kohesi, adhesi dan gravitasi. Karena pengaruh gaya tersebut
air dapat dibedakan menjadi : Air higroskopik yaitu, air yang sangat kuat diserap
oleh tanah sehingga air tidak dapat digunakan oleh tanaman (gaya adhesi antara
tanah dan air). Air kapiler yaitu, air dalam tanah dimana gaya kohesi (gaya tarikmenarik antara butir-butir air) dan gaya adhesi (gaya tarik-menarik antara air
dengan tanah) lebih kuat dari gaya gravitasi. Air ini dapat bergerak ke samping
atau ke atas karena gaya kapiler.
Dalam menentukan jumlah air yang tersedia bagi tanaman terdapat
beberapa istilah antara lain: kadar air kapasitas lapang yaitu, keadaan tanah yang
cukup lembab yang menunjukkan jumlah air yang ditahan oleh tanah lebih besar
dari gaya gravitasi sehingga air dapat diserap oleh akar tanaman. Kadar air titik
layu permanen yaitu, kandungan air dalam yang tidak dapat diserap oleh tanaman
akibat gaya garavitasi lebih besar dari gaya adhesi. Kadar air tersedia yaitu,
selisih kadar air pada kapasitas lapang dengan kadar air pada titik layu permanen.
Kemampuan tanah menahan air antara lain dipengaruhi oleh tekstur tanah.
Tanah-tanah bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil
dibandingkan tanah bertekstur halus.
2.4.2. Bobot Isi (Bulk Density)
Menurut
hardjowigeno
(1995),
bobot
isi
(bulk
density)
adalah
perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume
pori-pori tanah. Satuan bobot isi dinyatakan dalam g/cm3. Semakin tinggi bobot
isi, semakin padat tanah dan semakin sulit meneruskan air atau ditembus akar
tanaman.
Bobot isi berbeda dengan bobot jenis partikel (particle density). Bobot
jenis partikel adalah perbandingan antara bobot kering padat tanah terhadap
volumenya (tidak termasuk pori yang terdapat diantara partikel tanah). Satuan
bobot jenis partikel dinyatakan dalam g/cm3. Pada umumnya bobot jenis partikel
pada tanah mineral adalah 2.65 g/cm3.
Ruang pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah, baik
bahan mineral maupun bahan organik (terisi oleh udara dan air). Ruang pori total
terdiri atas ruang diantara partikel pasir, debu dan liat serta ruang diantara agregat
tanah. Menurut ukurannya ruang pori total terdiri dari ruang pori kapiler yang
dapat menghambat pergerakan air menjadi pergerakan kapiler dan ruang pori non
kapiler tempat pergerakan udara dan perkolasi air secara cepat atau disebut pori
drainase.
Tanah dengan struktur granular atau remah, mempunyai porositas yang
lebih tinggi dibandingkan tanah berstruktur massive (pejal). Tanah dengan tekstur
kasar seperti tekstur pasir mempunyai pori makro lebih banyak sehingga sulit
untuk menahan air. Porositas tanah dipengaruhi oleh: kandungan bahan organik,
struktur tanah dan tekstur tanah (Hardjowigeno, 1995).
2.4.3. Permeabilitas tanah
Permeabilitas adalah kecepatan bergeraknya air pada suatu media tanah
dalam keadaan jenuh, dan dinyatakan dalam cm/jam. Penetapan permeabilitas
dilakukan dengan menggunakan hukum Darcy.
Menurut Hillel (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi permeabilitas
tanah antara lain: tekstur tanah, porositas dan distribusi ukuran pori serta kadar
bahan organik tanah. Stallings (1957) dan Baver et al., (1972) mengemukakan
bahwa vegetasi biasanya akan menentukan distribusi ukuran pori tanah. Tanaman
dengan erakaran lebih banyak dan menyumbangkan bahan organik yang lebih
tinggi cenderung meningkatkan pori makro yang lebih banyak dengan demikian
permeabilitas tanah akan meningkat.
Klasifikasi permeabilitas tanah menurut Uhland dan O’neal (dalam
Hardjowigeno, Widiatmaka, dan Yogaswara, 1999) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Permeabilitas (Uhland dan O’neil,1951 dalam Hardjowigeno,
Widiatmaka, dan Yogaswara, 1999).
2.5
Kelas
Permeabilitas (cm/jam)
Sangat lambat
< 0.125
Lambat
0.125 – 0.50
Agak lambat
0.50 – 2.0
Sedang
2.0 – 6.25
Agak cepat
6.25 – 12.5
Cepat
12.5– 25
Sangat Cepat
> 25
Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah adalah penggolongan tanah dalam berbagai kumpulan
berdasarkan ciri-ciri tertentu secara bertingkat, dan berfungsi untuk membedabedakan tanah berdasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya (Hardjowigeno,
1993). Tujuan klasifikasi tanah menurut Buol et al. (1980) adalah :
1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah.
2. Memudahkan mengingat sifat dan perilaku tanah.
3. Mengetahui hubungan antar individu tanah.
4. Mengelompokkan tanah untuk tujuan yang lebih praktis antara lain:
menaksirkan sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan kemampuan
lahan, menentukan areal untuk penelitian atau kemungkinan ekstrapolasi
hasil penelitian di tempat lain dan sebagainya.
5. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat tanah baru.
Salah satu sistem klasifikasi tanah yang dikenal sekarang ini adalah
Taksonomi Tanah atau Soil Taxonomy yang diperkenalkan oleh USDA pada tahun
1975. Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem ini
dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah. Sistem ini dinilai lebih
komprehensif dibanding dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian
Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Rachim dan Suwardi, 2002).
Sistem ini menggunakan enam kategori yaitu Order, Suborder,
Greatgroup, Subgroup, Family dan Series (sangat berbeda dengan klasifikasi
yang telah ada sebelumnya). Sistem ini merupakan sistem yang benar-benar baru
baik mengenai cara-cara penamaan (tata nama) maupun definisi-definisi mengenai
horison-horison penciri ataupun sifat-sifat penciri lain yang digunakan untuk
menentukan jenis-jenis tanah (Buol et al., 1980).
Menurut Hardjowigeno (1993), kategori order menggunakan faktor
pembeda ada tidaknya horison atau sifat penciri tertentu serta jenis atau sifat dari
horison penciri tersebut. Suborder menggunakan faktor pembeda keseragaman
genetik, misalnya sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan penggaruh
pengendapan oleh aliran air, regim kelembaban tanah, bahan induk pasir, horison
dan sifat-sifat penciri tanah tertentu, tingkat pelapukan bahan organik (untuk tanah
organik). Kesamaan jenis, tingkat perkembangan dan susunan horison, kejenuhan
basa, regim kelembaban, ada tidaknya lapisan penciri, seperti plintit, fragipan,
duripan menunjukkan sifat pembeda kategori great group. Sedangkan pada
kategori subgroup, terdiri dari sifat-sifat inti dari great group (subgroup typic),
sifat-sifat tanah peralihan ke great group lain, suborder atau order, sifat-sifat tanah
peralihan ke bukan tanah. Kategori famili sifat-sifat pembeda antara lain: sebaran
besar butir, susunan mineral (liat), regim temperatur pada kedalaman 50 cm.
sedangkan pada tingkat seri faktor pembedanya antara lain : susunan horison,
warna, tekstur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masing-masing horison,
sifat-sifat kimia dan mineral masing-masing horison.
2.6
Pemetaan dan Peta Tanah
Pemetaan tanah merupakan suatu usaha untuk menggambarkan sebaran
jenis-jenis tanah yang terdapat pada suatu daerah. Kegiatan pemetaan tanah
mencakup identifikasi dan klasifikasi tipe-tipe tanah yang terdapat pada suatu
wilayah serta membatasi distribusinya dan dituangkan kedalam peta tanah.
Andahl (1958, dalam Buol et al., 1980) menyatakan bahwa pemetaan
tanah merupakan suatu kegiatan mengorganisasikan dan memperkenalkan ilmu
pengetahuan mengenai karakteristik, kualitas dan tingkah laku tanah yang
diklasifikasikan dan digambarkan ke dalam suatu peta. Peta tanah biasanya dibuat
dengan memperhatikan berbagai peta lainnya yang bersifat lebih umum, seperti
peta geologi, peta topografi dan potret udara. Ketiga peta tersebut merupakan alat
yang umum dipakai dalam membantu pemetaan tanah sesuai dengan skala peta
yang dibuat.
Menurut Hardjowigeno et al. (1999), peta tanah adalah suatu peta yang
menggambarkan penyebaran jenis-jenis tanah di suatu daerah. Peta ini dilengkapi
dengan legenda yang secara singkat menerangkan sifat-sifat tanah dari masingmasing satuan peta. Peta tanah biasanya disertai pula dengan laporan pemetaan
tanah yang menerangkan lebih lanjut sifat-sifat dan kemampuan tanah yang
digambarkan dalam peta tersebut. Tujuan pemetaan adalah melakukan
pengelompokkan tanah kedalam satuan-satuan peta tanah yang masing-masing
mempunyai sifat yang sama. Peta tanah tidak hanya mencantumkan nama-nama
tanah yang terdapat di daerah tersebut, tetapi juga beberapa sifat penting dari
tanah tersebut.
Peta umumnya dibuat dari hasil pengamatan lapang melalui survei tanah.
Secara umum ada empat sistem yang digunakan sebagai dasar dalam pengamatan
lapang yaitu : (a). Sistem titik potong (grid system) berdasarkan pada selangselang jalur tertentu dan dilakukan pada lahan yang datar. Pengamatan ini
dilakukan apabila peta dasarnya kurang lengkap. (b). Sistem bebas berdasarkan
perubahan faktor-faktor pembentuk tanah dan hasil interpretasi foto udara serta
land system. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasar dan data penunjangnya
lengkap. (c). Sistem sistematik yang hampir serupa dengan grid system, tetapi
jarak pengamatannya berbeda-beda berdasarkan garis potong pada lereng.
Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasar dan data penunjang lainnya lengkap.
(d). Sistem bebas sistematik yang merupakan kombinasi grid system, sistem bebas
dan sistem sistematik, pengamatan ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan
waktu pengamatan di lapang dengan peta dasar dan data penunjang lengkap, serta
berdasarkan hasil interpretasi foto udara.
Hardjowigeno (1985) menambahkan bahwa metode grid lebih cocok untuk
daerah-daerah yang mempunyai bentuk wilayah datar, sedangkan untuk daerah
yang bergelombang dapat memberikan hasil yang salah. Hal ini disebabkan
karena penyebaran tanah di suatu daerah tidak terjadi secara acak tetapi lebih
bersifat sistematis.
Download