BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Tanah Keragaman tanah merupakan keragaman ruang (spasial) dan keragaman waktu (temporal). Keragaman ruang (spasial) terbentuk dari keragaman yang terjadi secara lateral maupun vertikal secara bersama-sama (Wilding dan Dress, 1983). Tanah yang berada pada puncak lereng akan berbeda dengan tanah yang berada pada tengah lereng atau di lembah. Keragaman temporal adalah keragaman yang tergantung waktu. Sifat-sifat tanah tertentu akan berbeda bila diukur pada saat sebelum tanam dan sesudah tanam pada musim kemarau atau musim penghujan, dan sebagainya. Menurut Sitorus (2000) faktor-faktor yang menyebabkan keragaman tanah adalah : 1. Tipe bahan induk; tanah yang terbentuk dari bahan-bahan yang diangkut atau endapan cenderung beragam dari tanah yang melapuk in situ. 2. Daerah berbukit dipengaruhi sekurang-kurangnya interaksi dari lima faktor yaituu aspek lereng, ketinggian, vegetasi, pemudaan tanah kembali dan letak/posisi lereng. 3. Aktivitas biologi tanah dapat meningkatkan keragaman setempat. 4. Alur-alur yang dibuat cacing tanah menghasilkan perbedaan pada jarak pendek. 5. Gradient wilayah dalam iklim menghasilkan perbedaan dalam tanah atau perubahan secara gradual dalam jangka panjang. 6. Pengelolaan manusia terutama pada lahan-lahan yang ditanami. Sifatsifat kimia tanah dapat dipengaruhi penambahan bahan organik, pemupukan, pengapuran dan pengambilan unsur hara oleh tanaman. Sifat fisik tanah dapat dipengaruhi oleh pengelolaan tanah, pembajakan atau pembalikan lapisan bawah permukaan tanah dan drainase. 7. Vegetasi alami penutup tanah. Pada lahan-lahan yang tidak dibudidayakan atau diusahakan, perbedaan vegetasi tanah dapat mengakibatkan perbedaan dalam kandungan unsur hara pada tanah lapisan atas. Untuk membandingkan keragaman sifat-sifat tanah yang berbeda dapat digunakan Koefisien Keragaman (KK). Wilding dan Drees (1983) mengelompokkan keragaman sifat-sifat tanah menjadi tiga kelas berdasarkan tingkat kehomogenannya, yaitu : 1. Keragaman rendah (KK<15%) 2. Keragaman sedang (KK15-35%) 3. Keragaman tinggi (KK>35%) Pola keragaman tanah sangat tergantung pada skala pengamatan, macam, sifatsifat tanah dan metodologi yang digunakan untuk penelitian (Wilding dan Drees, 1983). 2.2 Proses Geomorfik dan Bentuk Lahan Semua perubahan baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi disebut proses geomorfik. Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada dimuka bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan dipermukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut dan tsunami). Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik (hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah, gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme, sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor. Bentuk muka bumi yang terbentuk melalui proses geomorfik di atas dapat didefinisikan sebagai bentuk lahan. Bentuk lahan (landform) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan masing-masing dari setiap satu kenampakan dari kenampakan secara menyeluruh dan sinambung (multitudineous features) yang secara bersama-sama membentuk permukaan bumi. Hal ini mencakup semua kenampakan yang luas, seperti dataran, plato, gunung dan kenampakankenampakan kecil seperti bukit, lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial (Desaunettes, 1977). Wiradisastra et al. (1999) menambahkan bahwa bentuk lahan merupakan konfigurasi permukaan lahan (land surface) yang mempunyai bentuk-bentuk khusus. Suatu bentuk lahan akan dicirikan oleh struktur atau batuannya, proses pembentukannya, dan mempunyai kesan topografi spesifik. Lereng merupakan unsur topografi yang mempengaruhi sifat-sifat dan perkembangan tanah. Lereng adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng (Hardjowigeno, 1995). Kemiringan lereng ditunjukkan oleh besarnya sudut yang terbentuk antara permukaan bumi dengan bidang datar. Betuk lereng merupakan wujud permukaan lereng yang dapat berbentuk cembung, cekung maupun datar. Lereng terdiri dari bagian puncak (crest), bagian cembung, bagian cekung dan kaki lereng (Hardjowigeno, 1993). Savigear (1960, dalam Darmawan, 1987) mengklasifikasikan lereng berdasarkan kemiringan dan posisinya menjadi tiga bagian (component), yaitu : (1). Puncak lereng (crestslope), (2) Punggung lereng (backslope), dan (3). Kaki lereng (footslope). Puncak lereng adalah bagian lereng mulai dari bagian teratas hingga bagian yang mulai curam, punggung lereng adalah bagian berikutnya yang mempunyai kamiringan maksimum dan hampir tetap, sedangkan kaki lereng adalah bagian yang melandai mulai dari batas terakhir punggung lereng hingga pusat lembah (Gambar 1). Gambar 1. Klasifikasi Lereng Menurut Savigear (1960, dalam Darmawan, 1987) Secara ringkas proses-proses geomorfik yang terjadi pada bentuk lahan dan sering terjadi secara bersamaan adalah erosi, transportasi dan deposisi. Erosi tidak berpengaruh nyata jika tida ada selisih ketinggian (lereng). Secara umum proses erosi lebih banyak terjadi pada bagian atas lereng, sedangkan proses transportasi lebih banyak terjadi pada lereng bagian tengah dan proses deposisi terjadi pada lereng bagian bawah (Wiradisastra et al., 1999). 2.3 Sifat Morfologi Tanah di Lapang Sifat morfologi adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Pengamatan sifat morfologi tanah yang dilakukan di lapang dapat melalui pengamatan secara pemboran dan pembuatan profil. Beberapa sifat morfologi tanah yang umum diamati di lapang antara lain: horison tanah, warna tanah, tekstur dan struktur tanah, dan konsistensi tanah. 2.3.1. Horison Tanah Menurut Soil Survey Staff (1975) Horison tanah merupakan lapisan di dalam tanah yang kurang lebih sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk sebagai hasil dari proes pembentukan tanah. Horison tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu horizon horizon genetik dan horizon diagnostik (penciri). Horison genetik mencerminkan jenis perubahan sifat tanah yang terjadi akibat dari proses pembentukan tanah. Sedangkan horison diagnostik adalah horison yang mungkin terdiri dari beberapa horison genetik yang sifat-sifatnya dinyatakan secara kuantitatif dan digunakan sebagai penciri dalam klasifikasi tanah (Soil Survey Staff, 1998). Soil survey Staff (1998) mengemukakan bahwa terdapat enam horison genetik utama (lapisan utama) di dalam tanah yang masing-masing diberi simbol huruf kapital O, A, E, B, C, dan R. Huruf-huruf kapital tersebut merupakan simbol dasar. Huruf dan angka kemudian ditambahkan untuk melengkapi penamaan horison. Horison O merupakan lapisan yang didominasi oleh bahan organik, baik yang pernah jenuh air dalam waktu yang lama maupun tidak pernah jenuh air. Horison A merupakan horison tanah mineral yang terbentuk pada permukaan tanah di bawah horison O, horison A merupakan akumulasi bahan organik halus yang bercampur dengan bahan mineral yang tidak didominasi oleh sifat horison E atau menunjukkan sifat sebagai pengolahan tanah. Horison E adalah horison tanah mineral yang mempunyai ciri utama hilangnya liat silikat, Fe, Al, bahan organik, atau kombinasinya. Horison B merupakan horison yang terbentuk di bawah horison A, E atau O, dan didominasi oleh hilangnya seluruh atau sebagian besar struktur batuan asli. Horison B adalah lapisan penimbunan dari unsur-unsur yang tercuci pada horison E. Horison C adalah horison yang tidak termasuk batuan induk keras yang sedikit dipengaruhi oleh proses pedogenesis dan tidak mempunyai sifat-sifat horison O, A, E, dan B. Sedangkan horison R merupakan batuan keras yang tidak dapat hancur bila direndam dalam air selama 24 jam. Dalam sebuah horison terjadi lapisan perubahan dari satu horison utama ke satu horison utama lain dibawahnya, seperti AB, EB, BA, BE, BC. Horison ini memiliki campuran sifat kedua horison utama yang berkaitan. Lambang horison utama yang ditulis di depan menunjukkan bahwa sifat horison utama mendominasi sifat horison peralihan dan sebaliknya. Horison AB adalah horison peralihan yang memiliki sifat horison A dan B, tetapi didominasi oleh sifat horison A. Sedangkan horison kombinasi adalah horison yang terdiri dari dua bagian yang berbeda yang memiliki sifat-sifat yang dapat dikenal sebagai dua horison utama dan dengan garis miring seperti A/B, E/B, B/C. dalam hal ini bagian horison diukur menurut volumenya, apakah lebih besar atau lebih kecil sebagai penyusun horison kombinasi. Horison A/B berarti volume bagian horison A lebih besar dari pada volume bagian horison B pada horison kombinasi tersebut (Rachim dan Suwardi, 1999). Dalam pengamatan horison dalam suatu profil di lapang, harus ditentukan batas antar horison dan kejelasan topografi serta batas dan bentuk topografi. Kelas batas dan kejelasan topografi horison ditentukan berdasarkan: sangat jelas (lebar peralihan <2cm), jelas (lebar peralihan 2-5 cm), berangsur (lebar peralihan 5-12 cm), baur (lebar peralihan >12 cm). Sedangkan batas dan bentuk topografi ditentukan berdasarkan: rata, berombak, tidak teratur dan putus. 2.3.2. Warna Tanah Warna tanah merupakan sifat morfologi yang paling mudah diidentifikasi dan merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Warna tanah dicatat dengan menggunakan notasi dalam Munsell Soil Color Chart. Notasi ini menggambarkan warna dalam tiga variabel yaitu: hue, value dan kroma. Hue adalah spektrum yang dominan dan sesuai dengan panjang gelombang. Value menunjukkan gelap terangnya warna sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Kroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum (Buol et al. 1980). Hue terdiri dari lima warna utama (biru, hijau, kuning, merah, ungu) dan lima warna campuran (hijau kebiruan, kuning kehijauan, merah kekuningan, ungu kemerahan, biru keunguan). Setiap hue memiliki skala dari 0 sampai 10, dengan selang 2.5 sehingga urutan skalanya adalah 0, 2.5, 5, 7.5 dan 10. Value mempunyai nilai 0-8, semakin tinggi nilai value warna makin terang. Kroma juga mempunyai nilai 0-8, semakin tinggi nilai kroma menunjukkan niai spektrum atau kekuatan warna spektrum makin meningkat. Warna tanah semakin gelap menunjukkan kandungan bahan organik semakin tinggi, warna merah menunjukkan tanah berdrainase baik karena senyawa Fe dalam keadaan oksidasi, warna abu-abu menunjukkan tanah berdrainase buruk yaitu tanah yang selalu tergenag air dimana senyawa Fe dalam keadaan reduksi. Perbedaan warna digunakan untuk membeda-bedakan deret lapisan dalam profil. Pada umumnya lapisan teratas lebih tua dibandingkan dengan lapisan dibawahnya. Terkadang lapisan yang berwana lebih muda diikuti oleh lapisan yang lebih tua lagi. Seringkali warna dipergunakan untuk memberikan nama pada suatu tanah. Selain warna pokok terdapat jenis warna lain sehingga terdapat berbagai jenis (variasi) warna dalam satu profil atau horison (Wirdjodihardjo, 1953). 2.3.3. Tekstur Tanah Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif diantara fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung dalam suatu massa tanah (Suwardi dan Wiranegara, 2000). Fraksi pasir mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada fraksi debu dan liat. Pasir berukuran 2 mm-50 µm, debu berukuran 50 µm-2 µm, dan liat berukuran <2 µm. Berdasarkan perbandingan banyaknya butir pasir, debu dan liat maka tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas tekstur : 1. Kasar : pasir, pasir berlempung. 2. Agak kasar : lempung berpasir. 3. Sedang 4. Agak halus : Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu. 5. Halus : lempung, lempung berdebu, debu. : liat berpasir, liat berdebu, liat. Tekstur merupakan sifat fisik yang penting dalam menentukan aerasi tanah, konsistensi tanah, permeabilitas dan infiltrasi. Selain itu tekstur berkaitan erat dengan luas permukaan, daya adsorbsi, plastisitas dan daya kohesi yang semuanya merupakan penentu bagi semua reaksi fisik-kimia yang terjadi di dalam tanah (Staff Pusat Penelitian Tanah, 1990). Tanah-tanah yang bertekstur pasir dan debu mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menahan air dan menjerap unsur hara. Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia dari pada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 1995). Penetapan tekstur di lapang dilakukan dengan membasahi massa tanah kemudian dipijid dan dipirid antara ibu jari dan jari telunjuk, dengan memperhatikan adanya rasa kasar untuk tekstur pasir, rasa licin untuk tekstur debu dan rasa lekatuntuk tekstur liat di antara kedua jari tersebut. Berdasarkan rasa kasar, licin, kelekatan dan gejala piridan dapat ditentukan kelas tekstur di lapang (Suwardi, 2000). 2.3.4. Struktur Tanah Menurut Soil Survey Staff (1993), struktur merupakan gumpalangumpalan kecil dari butir-butir tanah yang terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat antara lain bahan organik, oksidaoksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda. Apabila unit-unit struktur tersebut tidak terbentuk, maka tanah tersebut dapat dikatakan tidak berstruktur. Menurut bentuknya struktur dapat dibedakan menjadi: lempeng, prisma, tiang, gumpal bersudut, gumpal membulat, granular dan remah. Bentuk tanah yang tidak berstruktur disebut lepas dan pejal (massif). Ukuran struktur berbeda-beda sesuai dengan bentuknya (Hardjowigeno, 1995). Struktur lempeng mempunyai ketebalan kurang dari 1 mm sampai lebih dari 10 mm, struktur prisma dan tiang antara kurang dari 10 mm sampai lebih dari 100 mm, struktur gumpal antara kurang dari 5 mm sampai lebih dari 50 mm, struktur granular kurang dari 1mm sampai lebih dari 10 mm dan struktur remah kurang dari 1mm sampai lebih dari 5 mm. Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan atas kemantapan atau ketahanan bentuk struktur tanah tersebut terhadap tekanan. Ketahanan struktur tanah dibedakan menjadi : 1. Tingkat perkembangan lemah (butir-butir struktur tanah mudah hancur). 2. Tingkkat perkembangan sedang (butir-butir struktur tanah agak sukar hancur). 3. Tingkat perkembangan kuat (butir-butir struktur tanah sangat sukar hancur). Ketahanan struktur tersebut ditetapkan sesuai dengan jenis tanah dan tingkat kelembaban tanah (Hardjowigeno, 1995). 2.3.5. Konsistensi Tanah Konsistensi tanah menunjukkan kekuatan daya kohesi butir-butir tanah atau daya adhesi butir-butir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukkan oleh daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk (Hardjowigeno, 1995). Menurut Rachim dan Suwardi (1999), konsistensi tanah mencakup : 1. Ketahanan bahan tanah terhadap perubahan bentuk atau pecah. 2. Ketahanan tanah terhadap penetrasi. 3. Plastisitas, kekerasan, dan kelekatan bahan tanah terhadap jenuh air. 4. Sifat yang ditunjukkan oleh bahan tanah terhadap tekanan. Sifat-sifat konsistensi tanah harus disesuaikan dengan kandungan air pada tanah tersebut, apakah tanah dalam keadaan lembab, basah atau kering. Konsistensi tanah dalam keadaan lembab, dibedakan menjadi konsistensi gembur (mudah diolah) sampai teguh (agak sulit diolah). Dalam keadaan kering, dibedakan menjadi lunak sampai keras. Dalam keadaan basah dibedakan plastisitasnya yaitu dari plastis sampai tidak plastis atau kelekatannya yaitu dari tidak lekat sampai lekat. Dalam keadaan lembab atau kering konsistensi tanah ditentukan dengan meremas segumpal tanah. Bila gumpalan tersebut mudah hancur maka tanahnya dikatakan berkonsistensi gembur (lembab) atau lunak (kering). Bila gumpalan tanah sukar hancur dengan remasan tersebut, tanah dikatakan berkonsistensi teguh (lembab) atau keras (kering). Sedangkan dalam keadaan basah ditentukan mudah tidaknya melekat pada jari (melekat atau tidak melekat) atau mudah tidaknya membentuk bulatan dan kemampuannya mempertahankan bentuk tersebut (Soil Survey Staff, 1998). 2.4 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah merupakan salah satu sifat yang digunakan untuk menentukan kemampuan tanah baik untuk pengelolaan maupun penggunanan suatu lahan. Beberapa sifat fisik tanah antara lain: kadar air tanah (kadar air kapasitas lapang, kadar air titik layu permanen dan kadar air tersedia), bobot isi dan permeabilitas tanah. 2.4.1. Kadar Air Tanah Kadar air tanah merupakan fase cair tanah yang mengisi sebagian atau seluruh ruang pori tanah. Kadar air tanah sangat berperan dari segi pedogenesis maupun hubungannya dengan pertumbuhan tanaman (edafologis). Kadar air tanah dapat dinyatakan dalam persen berat kering dan persen volume. Menurut Hardjowigeno (1995), air dapat meresap atau ditahan oleh tanah karena adanya gaya kohesi, adhesi dan gravitasi. Karena pengaruh gaya tersebut air dapat dibedakan menjadi : Air higroskopik yaitu, air yang sangat kuat diserap oleh tanah sehingga air tidak dapat digunakan oleh tanaman (gaya adhesi antara tanah dan air). Air kapiler yaitu, air dalam tanah dimana gaya kohesi (gaya tarikmenarik antara butir-butir air) dan gaya adhesi (gaya tarik-menarik antara air dengan tanah) lebih kuat dari gaya gravitasi. Air ini dapat bergerak ke samping atau ke atas karena gaya kapiler. Dalam menentukan jumlah air yang tersedia bagi tanaman terdapat beberapa istilah antara lain: kadar air kapasitas lapang yaitu, keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air yang ditahan oleh tanah lebih besar dari gaya gravitasi sehingga air dapat diserap oleh akar tanaman. Kadar air titik layu permanen yaitu, kandungan air dalam yang tidak dapat diserap oleh tanaman akibat gaya garavitasi lebih besar dari gaya adhesi. Kadar air tersedia yaitu, selisih kadar air pada kapasitas lapang dengan kadar air pada titik layu permanen. Kemampuan tanah menahan air antara lain dipengaruhi oleh tekstur tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil dibandingkan tanah bertekstur halus. 2.4.2. Bobot Isi (Bulk Density) Menurut hardjowigeno (1995), bobot isi (bulk density) adalah perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Satuan bobot isi dinyatakan dalam g/cm3. Semakin tinggi bobot isi, semakin padat tanah dan semakin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Bobot isi berbeda dengan bobot jenis partikel (particle density). Bobot jenis partikel adalah perbandingan antara bobot kering padat tanah terhadap volumenya (tidak termasuk pori yang terdapat diantara partikel tanah). Satuan bobot jenis partikel dinyatakan dalam g/cm3. Pada umumnya bobot jenis partikel pada tanah mineral adalah 2.65 g/cm3. Ruang pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah, baik bahan mineral maupun bahan organik (terisi oleh udara dan air). Ruang pori total terdiri atas ruang diantara partikel pasir, debu dan liat serta ruang diantara agregat tanah. Menurut ukurannya ruang pori total terdiri dari ruang pori kapiler yang dapat menghambat pergerakan air menjadi pergerakan kapiler dan ruang pori non kapiler tempat pergerakan udara dan perkolasi air secara cepat atau disebut pori drainase. Tanah dengan struktur granular atau remah, mempunyai porositas yang lebih tinggi dibandingkan tanah berstruktur massive (pejal). Tanah dengan tekstur kasar seperti tekstur pasir mempunyai pori makro lebih banyak sehingga sulit untuk menahan air. Porositas tanah dipengaruhi oleh: kandungan bahan organik, struktur tanah dan tekstur tanah (Hardjowigeno, 1995). 2.4.3. Permeabilitas tanah Permeabilitas adalah kecepatan bergeraknya air pada suatu media tanah dalam keadaan jenuh, dan dinyatakan dalam cm/jam. Penetapan permeabilitas dilakukan dengan menggunakan hukum Darcy. Menurut Hillel (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain: tekstur tanah, porositas dan distribusi ukuran pori serta kadar bahan organik tanah. Stallings (1957) dan Baver et al., (1972) mengemukakan bahwa vegetasi biasanya akan menentukan distribusi ukuran pori tanah. Tanaman dengan erakaran lebih banyak dan menyumbangkan bahan organik yang lebih tinggi cenderung meningkatkan pori makro yang lebih banyak dengan demikian permeabilitas tanah akan meningkat. Klasifikasi permeabilitas tanah menurut Uhland dan O’neal (dalam Hardjowigeno, Widiatmaka, dan Yogaswara, 1999) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Permeabilitas (Uhland dan O’neil,1951 dalam Hardjowigeno, Widiatmaka, dan Yogaswara, 1999). 2.5 Kelas Permeabilitas (cm/jam) Sangat lambat < 0.125 Lambat 0.125 – 0.50 Agak lambat 0.50 – 2.0 Sedang 2.0 – 6.25 Agak cepat 6.25 – 12.5 Cepat 12.5– 25 Sangat Cepat > 25 Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah adalah penggolongan tanah dalam berbagai kumpulan berdasarkan ciri-ciri tertentu secara bertingkat, dan berfungsi untuk membedabedakan tanah berdasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya (Hardjowigeno, 1993). Tujuan klasifikasi tanah menurut Buol et al. (1980) adalah : 1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah. 2. Memudahkan mengingat sifat dan perilaku tanah. 3. Mengetahui hubungan antar individu tanah. 4. Mengelompokkan tanah untuk tujuan yang lebih praktis antara lain: menaksirkan sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan kemampuan lahan, menentukan areal untuk penelitian atau kemungkinan ekstrapolasi hasil penelitian di tempat lain dan sebagainya. 5. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat tanah baru. Salah satu sistem klasifikasi tanah yang dikenal sekarang ini adalah Taksonomi Tanah atau Soil Taxonomy yang diperkenalkan oleh USDA pada tahun 1975. Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem ini dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah. Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibanding dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Rachim dan Suwardi, 2002). Sistem ini menggunakan enam kategori yaitu Order, Suborder, Greatgroup, Subgroup, Family dan Series (sangat berbeda dengan klasifikasi yang telah ada sebelumnya). Sistem ini merupakan sistem yang benar-benar baru baik mengenai cara-cara penamaan (tata nama) maupun definisi-definisi mengenai horison-horison penciri ataupun sifat-sifat penciri lain yang digunakan untuk menentukan jenis-jenis tanah (Buol et al., 1980). Menurut Hardjowigeno (1993), kategori order menggunakan faktor pembeda ada tidaknya horison atau sifat penciri tertentu serta jenis atau sifat dari horison penciri tersebut. Suborder menggunakan faktor pembeda keseragaman genetik, misalnya sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan penggaruh pengendapan oleh aliran air, regim kelembaban tanah, bahan induk pasir, horison dan sifat-sifat penciri tanah tertentu, tingkat pelapukan bahan organik (untuk tanah organik). Kesamaan jenis, tingkat perkembangan dan susunan horison, kejenuhan basa, regim kelembaban, ada tidaknya lapisan penciri, seperti plintit, fragipan, duripan menunjukkan sifat pembeda kategori great group. Sedangkan pada kategori subgroup, terdiri dari sifat-sifat inti dari great group (subgroup typic), sifat-sifat tanah peralihan ke great group lain, suborder atau order, sifat-sifat tanah peralihan ke bukan tanah. Kategori famili sifat-sifat pembeda antara lain: sebaran besar butir, susunan mineral (liat), regim temperatur pada kedalaman 50 cm. sedangkan pada tingkat seri faktor pembedanya antara lain : susunan horison, warna, tekstur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masing-masing horison, sifat-sifat kimia dan mineral masing-masing horison. 2.6 Pemetaan dan Peta Tanah Pemetaan tanah merupakan suatu usaha untuk menggambarkan sebaran jenis-jenis tanah yang terdapat pada suatu daerah. Kegiatan pemetaan tanah mencakup identifikasi dan klasifikasi tipe-tipe tanah yang terdapat pada suatu wilayah serta membatasi distribusinya dan dituangkan kedalam peta tanah. Andahl (1958, dalam Buol et al., 1980) menyatakan bahwa pemetaan tanah merupakan suatu kegiatan mengorganisasikan dan memperkenalkan ilmu pengetahuan mengenai karakteristik, kualitas dan tingkah laku tanah yang diklasifikasikan dan digambarkan ke dalam suatu peta. Peta tanah biasanya dibuat dengan memperhatikan berbagai peta lainnya yang bersifat lebih umum, seperti peta geologi, peta topografi dan potret udara. Ketiga peta tersebut merupakan alat yang umum dipakai dalam membantu pemetaan tanah sesuai dengan skala peta yang dibuat. Menurut Hardjowigeno et al. (1999), peta tanah adalah suatu peta yang menggambarkan penyebaran jenis-jenis tanah di suatu daerah. Peta ini dilengkapi dengan legenda yang secara singkat menerangkan sifat-sifat tanah dari masingmasing satuan peta. Peta tanah biasanya disertai pula dengan laporan pemetaan tanah yang menerangkan lebih lanjut sifat-sifat dan kemampuan tanah yang digambarkan dalam peta tersebut. Tujuan pemetaan adalah melakukan pengelompokkan tanah kedalam satuan-satuan peta tanah yang masing-masing mempunyai sifat yang sama. Peta tanah tidak hanya mencantumkan nama-nama tanah yang terdapat di daerah tersebut, tetapi juga beberapa sifat penting dari tanah tersebut. Peta umumnya dibuat dari hasil pengamatan lapang melalui survei tanah. Secara umum ada empat sistem yang digunakan sebagai dasar dalam pengamatan lapang yaitu : (a). Sistem titik potong (grid system) berdasarkan pada selangselang jalur tertentu dan dilakukan pada lahan yang datar. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasarnya kurang lengkap. (b). Sistem bebas berdasarkan perubahan faktor-faktor pembentuk tanah dan hasil interpretasi foto udara serta land system. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasar dan data penunjangnya lengkap. (c). Sistem sistematik yang hampir serupa dengan grid system, tetapi jarak pengamatannya berbeda-beda berdasarkan garis potong pada lereng. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasar dan data penunjang lainnya lengkap. (d). Sistem bebas sistematik yang merupakan kombinasi grid system, sistem bebas dan sistem sistematik, pengamatan ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan waktu pengamatan di lapang dengan peta dasar dan data penunjang lengkap, serta berdasarkan hasil interpretasi foto udara. Hardjowigeno (1985) menambahkan bahwa metode grid lebih cocok untuk daerah-daerah yang mempunyai bentuk wilayah datar, sedangkan untuk daerah yang bergelombang dapat memberikan hasil yang salah. Hal ini disebabkan karena penyebaran tanah di suatu daerah tidak terjadi secara acak tetapi lebih bersifat sistematis.