BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Rumah sakit adalah suatu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, cidera dan melahirkan. Rumah sakit dituntut lebih profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan citra pelayanan kesehatan dan kepercayaan masyarakat luas di Indonesia. Berdasarkan bentuk pelayanan rumah sakit, maka rumah sakit di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua jenis rumah sakit yaitu rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit tetapi rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ dan jenis penyakit (http://dinkesjateng.com) Indonesia saat ini memiliki 273 rumah sakit khusus yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Rumah sakit khusus di 1 Indonesia terdiri dari 18 jenis rumah sakit khusus meliputi rumah sakit jantung, rumah sakit jiwa, rumah sakit kanker, rumah sakit anak dan bersalin, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit THT, rumah sakit orthopedi, rumah sakit mata, rumah sakit gigi dan mulut, rumah sakit stroke dan rumah sakit ginjal (http://buk.depkes.go.id) Di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di kotamadya Salatiga memiliki satu rumah sakit khusus, yang memfokuskan pemberian pelayanan kesehatan utama kepada pasien dengan penyakit saluran pernapasan atau patients with respiratory tract diseases, yaitu Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan (RSPAW). RSPAW Salatiga memberikan pelayanan kesehatan secara spesifik kepada pasien-pasien dengan penyakit saluran pernapasan seperti pasien dengan tuberculosis, efusi pleura, asma, tumor paru, atelektasis, dan pasien dengan penyakit saluran pernapasan lainnya. RSPAW Salatiga menjadi salah satu tempat tujuan merujuk pasien penyakit saluran pernapasan. RSPAW Salatiga menerima rujukan pasien penyakit saluran pernapasan dari berbagai rumah sakit lain, dalam wilayah provinsi Jawa Tengah dan Indonesia secara umumnya. Pengobatan medis kepada pasien dengan penyakit saluran pernapasan, secara umum tidaklah berbeda dengan pengobatan 2 medis pada penyakit jenis lainnya, yaitu dengan cara medikamentosa atau pemberian obat-obatan, tindakan invasif dan atau tanpa tindakan pembedahan. Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien (PERMENKES RI. No 290/MENKES/III/2008). Tindakan invasif dapat dipahami sebagai suatu tindakan medis yang dilakukan secara sengaja dan secara langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien, lebih spesifik diartikan sebagai tindakan melukai suatu jaringan tubuh. Tindakan pemasangan water-sealed drainage (WSD) merupakan salah satu jenis tindakan invasif, karena secara sengaja melukai jaringan tubuh untuk memasukan dan mempertahankan selang dada selama beberapa hari di rongga pleura. Water-sealed drainage (WSD) adalah metode memasukkan selang ke dalam rongga pleura yang bertujuan untuk mengeluarkan cairan atau udara (Swidarmoko, 2010). Pasien-pasien dengan diagnosa medis seperti effusi pleura malignant, pneumotoraks, hematotoraks dan empiema selalu mendapatkan perhatian serius dalam proses pengobatan, karena adanya penumpukan cairan atau udara yang berlebihan dalam rongga pleura. 3 Instruksi medis untuk melakukan tindakan pemasangan WSD, dilakukan karena adanya penumpukan cairan atau udara yang berlebihan dalam rongga pleura. Kondisi ini tentu mengganggu fungsi normal kardiopulmonal untuk mendistribusikan oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) dalam tubuh, dan bahkan dapat menyebabkan paru menjadi kolaps. Kolaps sering disebut sebagai Atelektasis (Djojodibroto, 2007). Atelektasis adalah suatu kondisi dimana paru-paru tidak dapat mengembang secara sempurna (Somantri, 2007). Tindakan alternatif terbaik untuk mengeluarkan cairan atau udara dari rongga pleura dan mencegah paru menjadi kolaps adalah dengan dilakukan tindakan pemasangan WSD. WSD dapat dipertahankan dalam beberapa hari untuk mengeluarkan cairan atau udara Pemasangan WSD secara menetap sangat dari membantu rongga proses pleura. evaluasi pengeluaran cairan atau udara dari rongga pleura, dan proses evaluasi terhadap tekanan intrapleuralnegatif di paru-paru. Tekanan intrapleural negatif mencegah paru-paru agar tidak kolaps (Morton, 2003). Tindakan pemasangan WSD merupakan salah satu program pengobatan yang dapat memberikan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan bagi pasien. Pengalaman 4 tidak menyenangkan didapatkan karenaprosedur pemasangan WSD yang biasa dilakukan adalah dengan memasukan selang dada menggunakan bantuan jarum atau trokar WSD ke rongga pleura melewati musculus intercostal space IV atau V. Tindakan memasukkan selang dada senantiasa dihubungkan dengan tingkat rasa sakit dan kecemasan yang paling tinggi di rumah sakit (Luketich, 1998) Kecemasan adalah rasa takut yang ditimbulkan oleh diri sendiri (Swansburg, 2001). Menghadapi proses pemasangan WSD, pasien merasa takut terhadap benda asing, terutama penggunaan jarum atau trokar dalam prosedur pemasangan WSD. Trokar WSD dipahami secara langsung merusak atau melukai keutuhan jaringan tubuh, pada daerah muskulus intercostal space IV atau V sampai di rongga pleura. Tindakan ini dapat menimbulkan rasa sakit. Pemikiran menakutkan mengenai bayangan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penggunaan trokar WSD dapat berakibat mengancam diri pasien sehingga menimbulkan kecemasan. Prosedur tindakan pemasangan WSD, terutama bagi pasienpasien dengan berbagai kondisi penyakit pada saluran pernapasan harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk meminimalkan kecemasan dan rasa sakit pasien (Karangelis, 5 2010). Penempatan selang dada melalui musculus intercostal space IV atau V, dilakukan dengan bantuan trokar WSD dan didahului dengan pemberian anestesi lokal. Pemberian anestesi lokal bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit di sekitar lokasi memasukan trokar WSD pada daerah musculus intercostal space IV atau V, selama proses pemasangan WSD. Kecemasan pasien juga dapat ditimbulkan karena adanya faktor kelalaian atau acuh tak acuh dari tenaga medis atau para medis. Menurut prosedur yang benar, tenaga medis atau para medis harus memberikan informasi secara lengkap dan detail mengenai tindakan pemasangan WSD. Namun, kenyataannya berbeda antara teori dan penerapan praktek dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis terhadap pasien, pasien mendapatkan informasi yang tidak detail dan kurang jelas mengenai prosedur pemasangan WSD. Perolehan informasi yang tidak detail dan kurang jelas, menyebabkan pasien berusaha menafsirkan atau memikirkan sendiri mengenai tindakan pemasangan WSD. Penafsiran sendiri oleh pasien menghasilkan pemikiran negatif mengenai tindakan pemasangan WSD, terutama mengenai bayangan rasa sakit yang menakutkan. Pemikiran negatif tersebut sebenarnya merupakan 6 stimulus kuat yang menimbulkan kecemasan pada pasien. Ketakutan yang berlebihan, menetap dan tidak rasional yang dicetuskan oleh stimulus atau situasi khusus didefinisikan sebagai kecemasan(Wright, 2009) Secara fisik atau somatik, simtom-simtom secara langsung dari kecemasan terdiri dari timbulnya keringat, mulut kering, napas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa berdenyut-denyut dan otot terasa tegang (Semiun, 2006). Kecemasan dapat ditunjukkan berbeda-beda pada setiap pasien, tergantung bagaimana kesiapan emosional dan persepsi pasien tentang tindakan pemasangan WSD. Secara subjektif kecemasan merupakan hal sensitif yang dirasakan sendiri oleh pasien, sehingga sulit untuk dievaluasi. Namun, secara objektif tinggi rendahnya kecemasan pasien dapat dievaluasi dari salah satu simtom kecemasan diatas, yaitu denyut nadi cepat. Semakin cepat denyut nadi pasien, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki pasien tersebut. Menurut Maryam (2008), dalam buku mengenal usia lanjut dan perawatannya membagi kecemasan dalam empat tingkatan, yaitu tingkat kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan panik. 7 Kecemasan yang dialami pasien dalam menghadapi tindakan pemasangan WSD dapat memberikan efek negatif seperti penundaan atau pembatalan pelaksanaan tindakan pemasangan WSD. Selanjutnya, kecemasan yang berkepanjangan, bisa saja mengganggu proses penyembuhan. Untuk menghindari segala bentuk resiko kepada pasien, maka persiapan pasien sebelum melakukan tindakan pemasangan WSD merupakan suatu hal penting, yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Persiapan pasien tidak boleh hanya berfokus kepada persiapan secara fisik saja, tetapi persiapan secara psikologis seharusnya juga mendapatkan perhatian secara serius. Tanggung keperawatan jawab pada utama pasien. perawat Dalam memberikan asuhan melaksanakan asuhan keperawatan perawat berkeyakinan bahwa manusia adalah individu yang memiliki kebutuhan biopsikososial dan spiritual yang unik (Murwani, 2008). Kebutuhan yang unik ini, perlu menjadi pertimbangan dalam setiap pemberian asuhan keperawatan di rumah sakit. Jumlah pasien yang banyak dalam ruang perawatan kerapkali membuat perawat terjebak dalam kesibukan dan rutinitas pekerjaan di rumah sakit. Kesibukan dan rutinitas dalam melaksanakan kompetensi keperawatan dan membuat dokumentasi keperawatan membutuhkan waktu yang cukup lama. 8 Kondisi ini menyebabkan perawat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan psikologis pasien karena tidak memiliki cukup waktu buat pasien. Hasil pengamatan dan wawancara penulis terhadap pasien sebelum dilakukannya tindakan pemasangan WSD menyiratkan kecemasan pasien yang ditandai reaksi diam menghadapi pemasangan WSD di ruang tindakan Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan (RSPAW) Salatiga. Pasien tidak mendapatkan informasi secara jelas dan tidak mengetahui dengan baik mengenai prosedur tindakan pemasangan WSD, sehingga pasien memiliki kecemasan terhadap tindakan pemasangan WSD. Fenomena demikian seharusnya dilihat oleh perawat sebagai kondisi yang memerlukan asuhan keperawatan yang spesifik. Keberadaan satu atau beberapa anggota keluarga yang setia menemani pasien, secara umum merupakan fenomena yang selalu menghiasi ruang perawatan di berbagai rumah sakit di Indonesia. Keberadaan anggota keluarga menemani pasien dilakukan dengan keinginan sendiri atau adanya permintaan pasien. Keberadaan mereka secara tidak disadari merupakan suatu bentuk dukungan yang dapat dirasakan oleh pasien. Keluarga memiliki peluang atau kesempatan untuk memberikan dukungan dengan segala cara dan kemampuan yang dimiliki demi 9 menguatkan pasien menghadapi dan menjalani tindakan pemasangan WSD. Keluarga berupaya sekuat tenaga dengan semua kemampuan yang dimiliki untuk memberikan dukungan kepada anggota keluarganya yang sakit. Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga. Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (Friedman, 1998). Sekecil apapun bentuk dukungan yang diberikan, keluarga merasa bertanggung jawab dan berkewajiban untuk memberikan dukungan tersebut. Keluarga tentu lebih memiliki kesempatan dan kepercayaan untuk memberikan dukungan kepada pasien, karena pasien adalah bagian dari keluarga. Pasien juga pasti akan lebih merasa nyaman ketika meminta atau mendapatkan dukungan dari anggota keluarganya sendiri.Kaplan (1976) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa dukungan keluarga dapat berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional. Dukungan keluarga tentu lebih difokuskan untuk menguatkan pasien secara psikologis, 10 sehingga membantu mempersiapkan diri pasien selama menghadapi dan menjalani tindakan pemasangan WSD. Keluarga dapat memberikan dukungan emosional dalam bentuk ungkapan empati, kepedulian dan perhatian (Nursalam 2007). Ungkapan empati keluarga merupakan salah satu cara untuk menguatkan psikologis pasien, karena semakin besar empati keluarga menunjukan semakin besar juga dukungan yang diberikan. Keluarga juga berusaha menguatkan emosional pasien, melalui kepeduliannya untuk berada di sekitar pasien, serta mencurahkan perhatiannya selama pasien menghadapi tindakan pemasangan WSD. Keluarga memberikan dukungan informasional mencakup pemberian nasehat, saran, pengetahuan dan informasi serta penunjuk (Nursalam, 2007). Interaksi antara keluarga dengan pasien dan dukungan keluarga diberikan melalui usaha mencari, menyebarkan dan memberikan informasi mengenai tindakan pemasangan WSD. Usaha tersebut diharapkan dapat bermanfaat dan mengurangi kecemasan pasien, sehingga dapat mendorong dan memotivasi pasien menerima dan menjalani tindakan pemasangan WSD. Keluarga senantiasa memperhatikan kondisi pasien dan selalu berusaha untuk memberikan dukungan demi mempercepat 11 proses penyembuhan. Keluarga diharapkan tetap memberi dukungan selama pasien masih menunjukkan atau mengungkapkan kecemasan terhadap tindakan pemasangan WSD. Dukungan keluarga diharapkan mampu mempengaruhi psikologis pasien terutama menurunkan kecemasan pasien menghadapi tindakan pemasangan WSD. 2.1 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas serta fenomena kecemasan pasien, penulis tertarik untuk meneliti apakah dukungan keluarga mampu mengurangi tingkat kecemasan pasien pra pemasangan water-sealed drainage (WSD) 3.1 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah menunjukkan bahwa dukungan keluarga berpotensi mengurangi tingkat kecemasan pasien pra pemasangan water-sealed drainage (WSD). 4.1 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 SECARA TEORETIS Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan informasi yang baik guna pengembangan prosedur pemasangan 12 water-sealed drainage (WSD) faktor kecemasan pasien pra dengan mempertimbangkan pemasangan water-sealed drainage (WSD). 1.4.2 SECARA PRAKTIS Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan mengembangkan pengetahuan perawat demi meningkatkan kualitas pemberian pendidikan kesehatan mengenai prosedur pemasangan water-sealed drainage (WSD), sehingga dapat melibatkankeluarga dalam pemenuhan kebutuhan psikologis kepada pasien pra pemasangan WSD. 13