Pengertian:pertikaian/sengketa bersenjata adalah pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan angkatan bersenjata dari masing2 pihak dengan tujuan menundukkan lawan dan menetapkan persyaratan perdamaian secara sepihak. Secara umum pertikaian bersenjata dapat dibagi atas 2(dua)yakni: 1.perang yaitu pertikaian bersenjata antar negara utk menyelesaikan suatu sengketa dengan dipenuhinya bbrp persyaratan perang mis:adanya pernyataan dimulainya perang. 2.pertikaian bersenjata bukan perang yaitu pertikaian bersenjata yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan agar dapat dikategorikan sebagai perang. Secara umum perang adalah suatu pertandingan (contest) antara dua negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjata mereka.Tujuan akhir dari perang itu sendiri adalah setiap kelompok kontestan atau setiap kontestan adalah mengalahkan kontestan yang lain dan akan membebankan syarat2 perdamaiannya.Mengingat tujuan perang adalah mengalahkan pihak lain dengan berbagai macam persenjataan yang dimiliki dan berbagai strategi perang yang dikuasai maka baik dalam perang yang sah maupun tidak sah peranan hukum perang sangat diperlukan dengan harapan agar kebiadaban / kebrutalan dapat dikurangi atau kalau dapat ditiadakan. Sementara itu untuk menentukan suatu konflik apakah termasuk dalam perang atau suatu persengketaan non perang maka perlu diperhatikan : dimensi konflik tersebut maksudnya adalah para pihak yang bersikap dan reaksi dari pihak yang tidak termasuk dalam konflik tersebut. Dalam hukum internasional khususnya dalam sengketa bersenjata selain pertikaian bersenjata perang dan bukan perang masih dikenal bbrp jenis sengketa yang tidak dapat dikategorikan dalam perang dan sengketa non perang yaitu: Perang dingin(Cold War ) yang dimulai setelah perang dunia 2 (1946). Keseimbangan teror (MAD/mutual assured destruction) dan yang lainnya adalah Konfrontasi seperti yang pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia tahun 1963. Mengenai perang dingin muncul ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet (negara2 komunis) sedangkan MAD muncul karena adanya Amerika Serikat dan Uni Sovyet melakukan perlombaan persenjataan misalnya ttg pembuatan senjata nuklir/ jenis lainnya beserta upaya penjualan atau pemasarannya. Sedangkan konfrontasi seperti yang telah dijelaskan diatas yakni konfrontasi Indonesia dan Malaysia tahun 1963. Polemik ttg kapan dimulainya perang sejak dulu sudah terjadi namun pada abad ke 16 perang biasanya diawali dengan pemberitahuan yakni berupa surat tantangan tapi pada masa tersebut hanya berupa kebiasaan saja. Baru pada abad ke 17 pada masa Grotius muncul adanya pernyataan bahwa perang harus diawali dengan pemberitahuan namun dalam praktek sering diabaikan oleh negara yang berperang. Setelah itu pada abad ke 19 bentuk2 pemberitahuan diaktualisasikan dalam pernyataan atau ultimatum. Menurut konvensi Den Haag 1907 perang sebaiknya tidak dimulai tanpa adanya pernyataan perang atau peringatan tegas dalam bentuk sbb: Suatu pernyataan perang yang menyatakan alasan2 yang menjadi dasar pecahnya peperangan. Suatu ultimatum yang memuat pernyataan perang bersyarat . Pemberitahuan tersebut juga harus disampaikan pada pihak2 yang netral secepatnya/tanpa penundaan. Konvensi diatas muncul sebagai akibat adanya perang Rusia – Jepang (1904) saat tersebut Jepang menyerang secara mendadak pada armada –armada Rusia di Port Athur,namun pihak Jepang berdalih serangan tersebut sebagai tindakan balasan demi kepentingan –kepen tingannya. Pelaksanaannya thd konvensi tersebut pada waktu itu tidak ditaati oleh pihak yang berperang ( terutama pada kurun waktu tahun 1935 – 1945 ). Pada periode 1945 – 1988 kaidah kaidah itupun sering dilanggar akan tetapi bukan berarti kaidah itu telah tidak ada atau tidak dipakai lagi namun pada prinsipnya hukum internasional menyatakan perang harus diawali dengan pemberitahuan yang layak terlebih dahulu kepada pihak musuh. Hukum perang akan tetap berlaku pada negaranegara yang berperang meskipun perang tersebut dapat dikategorikan perang tidak sah. Sah atau tidak sahnya perang dapat dilihat dari bbrp segi yakni: Sebab- sebabnya perang. Dan diawalinya perang. Sedangkan perang yang tidak sah adalah perang yang tidak mengidahkan atau tidak menghiraukan kaidah hukum internasional sbg akibatnya hasil perolehan dari perang yang tidak sah tidak akan dapat diakui oleh masyarakat internasional.Sedangkan pelakunya dapat dikenai tuduhan perjahat perang. Didalam hukum perang ada bbrp point pokok yang mesti diperhatikan yaitu: Ius ad Bellum yang artinya hukum menjelang perang Secara terminologi ius ad bellum adalah rangkaian kai dah yang memuat ketentuan tentang hak negara un tuk berperang, perang yang sah dan diawalinya perang . Sejak dulu perang dianggap sebagai satu-satunya sarana politik yang dipakai dalam pemyelesaian sengketa. Bahkan dulu pernah ada semacam “kebanggaaan” bagi bangsa yang menagn perang, akibatnya perang dapat dijadikan sarana mengangkat martabat bangsanya. Melihat kenyataan ini perang sebenarnya adalah hak, tapi dalam perkembangannya, menurut “The Briand Kellog Pact” th 1928 ditetapkan bahwa adanya persetujuan umum atas penolakan perang sebagai sarana penyelesaian sengketa inter nasional. Menurut piagam PBB pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa segenap anggota PBB harus menyelesaian persengketaan inter nasional dengan jalan damai dan menggunakan cara-cara yang sedemikian rupa shg perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak terancam. Meskipun perang dikutuk atau dilarang oleh hukum internasional tetapi bukan berarti perang tidak boleh dilaksanakan dan tidak menjadi hak suatu negara. Menurut Sugeng Istanto : negara masih diakui memiliki hak berperang dalam hal-hal sebagai berikut 1. Apabila perang untuk mempertahan diri (self defence) yang dibenarkan oleh hukum internasioanal 2. Apabila perang dipakai sebagai tindakan kolektif dalam menjalankan kewajiban internasionak berdasarkan perjanjian internasional 3. Apabila perang dilakukan antar negara yang merupakan pihak dalam The Briand Kellog Pact dan negara bukan pihak tersebut. 4. Apabila perang itu dilakukan untuk melawan negara pihak The Briand Kellog Pact yang melanggar ketentuan pakta tersebut Bellum justum merupakan ajaran kaum naturalis yang tujuannya adalah sbg upaya membatasi penggunaan perang sbg sarana politik untuk menyelesaikan sengketa .Menurut kaum naturalis ini perang yang sah adalah perang yang memenuhi persyaratan. Sedangkan syarat2nya adalah sbb: Juste Titre (dilakukan oleh pihak yang berwenang) Juste Cause (didasarkan pada alasan yang adil dan seimbang dengan malapetaka yang ditimbulkan oleh perang) Necessty ( dilakukan dengan terpaksa karena upaya lain telah gagal dilakukan) Juste Conduite de la Guerre (pelaksanaannya didasarkan pada hukum yang berlaku). Dapat ditegaskan meskipun ada aturan yang menata perang tetapi masyarakat internasional sepakat untuk menggunakan perang sebagai “senjata pemungkas”.Apabila suaut perang tidak didasarkan pada persyaratan seperti diatas maka perang tersebut dianggap tidak sah dan akibatnya bagi pelaku perang yang tidak sah tidak akan mendapatkan hak2 yang diberikan hukum internasional. Contohnya adalah tidak diperbolehkan nya pelaku perang yang tidak sah melak sanakan pungutan di wilayah pendudu kan,kecuali didasarkan pada asas “ex iniuria ius non oritus”(perbuatan/ kea daan yang tidak sah tidak akan menim bulkan hak). Ius in Bello artinya adalah hukum diluar perang,yang secara terminologi artinya kumpulan kaidah yang mengatur hubu ngan antara negara yang bertikai dengan lawannya, negara yang bertikai dengan negara netral,cara dan sarana perang, perlindungan korban perang, dan pera dilan terhadap pelanggar hukum perang. Secara umum ius in bello dapat dijelaskan sbb: 1. Hubungan antara negara2 yang bertikai. Akibat dari pecahnya perang maka antara negara2 yang berperang beserta warga negaranya harus tunduk pada hukum perang.Menurut hukum perang antara negara2 tersebut telah terlibat dalam suatu hubungan permusuhan .Sedangkan yang dapat dikategorikan musuh dalam perang adalah semua orang dan benda2 milik musuh.Menurut hu kum perang Inggris dan Amerika Serikat tolak ukur musuh dalam perang didasarkan pada kediaman atau domisili. Sedangkan kaum Eropa Kontinental menentukan musuh ini padakebangsaannya, namun dalam perkembangannya ke dua negara tadi sekarang sependapat dengan Eropa Kon tinental. Menurut ketentuan hukum perang tentara dan warga negara musuh yang bertem pat tinggal diwilayah musuh akan diang gap sebagai musuh sedangkan negara netral dan warga negaranya tidak diang gap sebagai negara musuh. Mengenai kapal2 netral akan kehilangan status kenetralannya apabila: 1.kapal2 itu ambil bagian dalam permusu han misalnya tunduk pada komando agen musuh atau dipakai mengangkut tentara atau intelijen musuh. 2.kapal2 tersebut menolak diperiksa sesuai dengan aturan atau menolak ditahan secara sah (bukan untuk disandera)demikian pula barang2 yang diketemukan di kapal akan hilang status kenetralannya apabila diang gap sebagai barang2 musuh kecuali dapat dibuktikan lain. Menurut konvensi Wina tahun 1949 mengenai warganegara musuh tidak dapat ditahan atau dipenjarakan dan boleh meninggalkan wilayah negara yang berperang kecuali apabila kepentin gan2 nasional negara tersebut memerlukan dila kukan penahanan. Mereka berhak mengajukan masalah penolakan pe nahanan kpd pengadilan atau badan administratif dari negara yang melakukan penahanan.Dalam kon vensi tersebut dimuat pula ketentuan yang melarang tindakan yang lebih berat dari pada tahanan rumah atau penawanan dan ketentuan untuk memperlaku kan tawanan secara layak dan manusiawi. Apabila perang telah terjadi atau meletus nya perang maka hubungan diplomatik antara para pihak yang berperang otomatis telah putus,dan para utusan diplomatik akan dipanggil/ditarik pulang oleh negara pengirimnya.Biasanya proses diawali dengan dutabesar atau staf diplomatik termasuk korp diplomatik dari negara musuh akan mengembalikan paspornya dan setelah itu mereka harus segera kembali dengan tanpa hambatan dari negara penerima. Menurut pasal 44 Konvensi Wina tahun 1961: negara2 penerima harus memberikan kemu dahan2 untuk memungkin kan orang2 terse but berangkat pulang kene garanya sesegera mungkin dan menyediakan sarana pengang kutan yang diperlukan untuk mereka. Sedangkan tentang hubungan konsuler menu rut konvensi Wina tahun 1963 menyatakan bah wa dalam hal terjadinya sengketa bersenjata negara penerima harus memberikan kemuda han2 yang dibutuhkan konsul berserta stafnya untk meninggalkan negara penerima. Doktrin dalam hukum internasional menyata kan bahwa apabila terjadi atau pecahnya perang maka “IPSO FACTO” dihentikan berlakunya perjanjian internasional. Namun secara yuridis konvensi Wina tahun 1969 (ttg perjanjian internasional) tidak menentukan akibat hukum apabila pecahnya perang terhadap suatu perjanjian.Sebagai landasan hukum dapat dilihat bagaimana akibat perang dan berlakunya perjanjian ter sebut dalam Institute de Droit Internationale tahun 1985. Dalam resolusi tersebut memuat serangkaian kaidah mengenai perjanjian internasional yang berlaku atau tidak diberlakukan pada waktu terjadinya perang maupun dimulainya konflik bersenjata non perang.Resolusi terse but sama dengan pendapat sarjana hukum internasional terkemuka modern. 1.perjanjian2 antara negara yang berperang yang isinya tentang tindakan politik bersama, hubungan baik antara mereka (perjanjian in ternasional,perdamaian,kerjasama) dibatal kan. 2.perjanjian2 yang memperlihatkan situasi2 yang menyeluruh atau ditujukan untuk me ngadakan suatu keadaan yang permanen (perjanjian tentang perbatasan) tetap berlaku pada mereka. 3.perjanjian2 yang memuat kaidah hukum perang atau perjanjian yang mengatur pelaksanaan permusuhan anta ra negara (konvensi Den Haag 1899 dan 1907) tetap berla ku bagi mereka. 4.konvensi multilateral yang membuat hukum (Law Ma king Treaties) yang berkaitan dengan kesehatan ,obat2 an,perlindungan hak milik perindustrian tidak batal atas pecahnya perang tetapi pemberlakuannya di tangguhkan berlakunya(dipulihkan kembali setelah berakhirnya seng keta bersenjata) atau ada juga yang diterapkan secara parsial.Namun bila konvensi dihasilkan oleh organisasi internasional maka perjanjian tersebut tetap berlaku kpd mereka yang bersengketa. 5.beberapa perjanjian internasional ada yang secara khusus mengatur tentang klausul yg menyatakan bahwa jika terjadi perang maka perjanjian internasional ditangguhkan (example: Article 38 Areal Navigation Conven tion 1919). 6.Prima Facie(kekuatan)mengikat perjanjian akan ditangguhkan apabila perjanjian itu berkenaan dengan ekstradisi. 7.apabila suatu negara mentaati resolusi DK PBB (misalnya tindakan agresi,pelanggaran terhadap perdamaian dllnya) padahal dilain pihak mereka harus tunduk pada perjanjian lain yang isinya bertentangan dengan isi reso lusi maka perjanjian tersebut pemberlakuan nya di tangguhkan. Menurut hakim Mahkamah Internasional Cardozo tentang apakah suatu perjanjian tetap berlaku/ di tangguhkan / dibatalkan maka perlu dievaluasi dengan 2 (dua ) ukuran yaitu subjektif dan objektif: Ukuran subjektif suatu pemberlakuan perjanjian ter gantung pada kehendak para pihak yang berjanji . Ukuran objektif pemberlakuan perjanjian didasarkan pada keadaan yang nyata yang memungkinkan berla kunya perjanjian internasional dari mereka dalam kea daan perang. Secara umum hubungan damai antara negara yang bersengketa otomatis terputus ,namun sebenarnya dalam keadaan perang berlaku juga prinsip2 “fides etiam hosti servanda”(artinya itikad baik harus tetap diberlakukan) terhadap musuh karena kebutuhan keadaan,kemanusia an, atau faktor2 lainnya.Misalnya yang bisa dija dikan preseden adalah penghormatan utusan musuh yang datang dan bermaksud mengada kan perundingan dengan naungan bendera putih sbg simbolnya. Bukti hubungan damai dalam perang yang tim bul karena kemanusiaan adalah pengembalian milik pribadi dari angkatan bersenjata yang mati akibat perang atau rumah sakit. Sugeng Istanto berpendapat pelaksanaan perda gangan antar warganegara yang berperang te tap boleh berlangsung sepanjang diperbolehkan oleh negara masing2 pihak.Biasanya hubungan damai dlm perang ini dimotivasi oleh tuntutan keadaan dan faktor kemanusiaan. Warga negara musuh dalam perang menurut hukum internasional dibedakan menjadi 2 yakni: Kombatan yaitu:mereka yang secara langsung melakukan perang dan berhak membunuh,menciderai,menangkap,dan menahan kombatan negara musuh.Komba tan ini secara otomatis akan menjadi sasaran perbuatan perang musuh. Yang dikategorikan dalam kombatan adalah sebagian besar anggota angkatan bersenjata negara yang ber perang,warganegara yang bertikai yang melakukan “levee en masse”. Namun ada juga anggota bersen jata yang tidak termasuk kombatan misalnya pera wat kesehatan,petugas rohani.Sedangkan warga negara yang berperang dan melakukan “levee en masse” adalah penduduk suatu wilayah yang belum diduduki musuh, yang saat penyerbuan dari dari mu suh penduduk tsb secara spontan mengangkat sen jata untuk menahan serangan tanpa sempat meng organisasikan diri sbg angkatan bersenjata,milisi,korp sukarelawan. Penduduk sipil adalah warganegara yang menempati suatu wilayah tertentu yang tidak termasuk kombatan.Warga sipil ini tidak ber hak ikut langsung dalam perang dan dalam keadaan perang penduduk sipil ini boleh me ninggalkan wilayah yang diduduki musuh. Benda milik musuh dalam hukum internasional dibedakan menjadi 2 (DUA): 1.Benda milik publik ini terbagi pula menjadi milik publik yang bergerak dan benda milik publik yang tidak bergerak. 2.Benda milik privat ini terbagi pula benda milik privat yang bergerak dan benda milik privat yang tidak bergerak. Benda musuh milik publik yang bergerak dan ada diwilayah negara yang bertikai boleh disi ta oleh lawan perang.Selanjutnya benda tsb dapat dicabut haknya oleh negara yang me nyita sesuai dengan tujuan militer penguasa. Sedangkan benda musuh milik publik yang tidak bergerak (tanah,bangunan gedung, pa brik,dan bangunan permanen) lainnya dapat dipakai oleh negara yang telah menguasai tetapi tidak diambil alih. Benda milik musuh yang merupakan milik privat dan bersifat bergerak yang berada di wilayah negara yang bertikai dapat disita dan termasuk benda milik musuh yang merupa kan milik privat yang bersifat bergerak lain nya yang ada di wilayah pendudukan tidak dapat diambil alih kecuali untuk kepentingan militer lokal penguasa pendudukan negara lawan. Benda milik musuh yang bersifat tidak ber gerak ( kapal beserta muatannya, tanah, gedung dll ) dapat dirampas. Setelah perang dunia 2 ada bbrp jenis negara: 1 negara yang terlibat perang, 2 negara yang tidak terlibat perang/netral. Kewajiban negara netral adalah: Bertindak tidak memihak pada pihak yang bertikai. Memperbolehkan pihak2 yang bertikai untuk mengunjungi ,menggeledah,menangkap,dan menghukum kapal2 dagang yang melanggar blokade. Sedangkan kewajiban negara yang bertikai terhadap negara netral adalah memberlaku kan negara dan warganya sesuai dengan sta tus kenetralannya dan tidak menghentikan hubungan negara netral dengan negara ber perang(khususnya dalam hubungan dagang ). 1.cara dan sarana perang didarat. Menurut konvensi Den Haag cara dan sarana perang didarat diatur dalam peraturan Den Haag yang merupakan lampiran konvensi Den Haag II tahun 1899 yang diperbaharui oleh Konvensi Den Haag IV tahun 1907. Adapun yang diatur dalam konvensi tsb adalah sbb: 1. siapa yang berhak ikut langsung dalam perang. 2. cara dan sarana perang. 3. kapitulasi(pernyataan menyerah) dan gencatan senjata. 4. siapa yang berhak menjadi tawanan perang dan bagai mana cara memeperlakukannya. 5.wewenang penguasa militer di wilayah pendudukan. Dalam hukum perang yang boleh turut serta dalam perang adalah kombatan,anggota milisi,anggota korp sukarelawan,dan peserta”levee en messe.Bagi mereka anggota korp sukarelawan atau milisi harus mempunyai atau memenuhi : 1.memakai tanda pengenal. 2.membawa senjata secara terbuka. 3.melakukan operasi sesuai dengan hukum perang dan kebiasaan perang. Syarat yang harus dimiliki anggota “levee en messe” adalah mereka membawa senjata secara terbuka,menghormati hukum dan kebiasaan perang. Dengan demikian apabila mereka tertangkap maka akan diberlakukan terhadap mereka hu kum perang atau tawanan perang.Tawanan perang menurut hukum internasional harus di perlakukan secara manusiawi dan harus dilepas kan / dikembalikan ke negara asalnya bila keada an perang telah selesai. Sedangkan penduduk sipil menurut hukum internasional penyerangan thd mereka dila rang,pemboman kota juga dilarang,pengru sakan tempat ibadah juga dilarang,perusak an tempat rumah sakit juga dilarang,peng gunaan senjata yang berlebihan juga dilarang misalnya penggunaan senjata beracun,bom atom dan peluru yang mengembang saat mengenai sasaran.dll. Cara dan sarana perang dilaut diatur dalam Deklarasi Paris 1856 dan juga konvensi Den Haag 1907. Secara ringkas aturan tersebut adalah sbb: 1.konvensi VI mengatur status kapal perang musuh pada saat pecahnya perang. 2. konvensi VII mengatur m0difikasi kapal dagang menjadi kapal perang. 3. konvensi VIII mengatur tentang ranjau laut. 4. konvensi IX mengatur pembatasan penge boman yang dilakukan oleh AL saat perang. 5.konvensi XI mengatur pembatasan pelaksanaan hak penangkapan dalam perang dilaut. 6.konvensi XII mengatur pembentukan “international prize court”. 7. perjanjian internasional tahun 1922 di Washington DC yang mengatur tentang penggunaan kapal selam dan gas beracun dalam perang. 8.perjanjian London 1930 dan penandatanganan nya proses verbal tahun 1936 ttg pembatasan dan pengurang an persenjataan AL. Deklarasi Den Haag IV tahun 1899 yang berlaku 5 tahun pada saat itu telah ada mengatur cara dan sarana perang di udara. Deklarasi ini diperbaharui oleh deklarasi Den Haag XIV tahun 1907 dan isinya adalah peluncuran proyektil dan balon dilarang. Menurut hukum perang di udara yang berhak ikut perang di udara adalah pesawat terbang militer dan pengeboman dianggap sah bila ditujukan untuk sasaran militer dan sasaran bom thd penduduk sipil dilarang,pemboman utk menteror penduduk sipil dilarang,pemboman kota, desa dilarang,dan tempat hunian atau bangunan yang berdekatan dg operasi militer Menurut resolusi LBB 1938: serangan terha dap penduduk sipil secara senga ja dianggap melanggar hukum internasional dan penye rangan pada sasaran militer harus dilakukan hati2 agar tidak mengenai penduduk sipil yang ada di dekatnya meskipun sebenarnya yang menjadi sasaran utama pengeboman udara adalah objek militer. Konvensi Jenewa adalah hukum internasional yang mengatur tentang perang.Hal ini diawa li pada perkembangan hukum perang sejak konvensi Jenewa 1864 yakni konvensi yang mengatur tentang perbaikan keadaan mere ka yang terluka di medan perang dan konven si ini diperbaharui melalui konvensi Jenewa berikutnya dan penyempurnaan terakhir dila kukan pada konvensi Jenewa 1949 dan proto kol tambahan 1977. Pada mulanya konvensi Jenewa yang berkait an ttg hukum perang diawali 1863 dan dilan jutkan 1864 yang melahirkan ICRC. Lahirnya ICRC mendorong perkembangan hukum hu maniter dan lahirnya ICRC karena keprihati nan Henry Dunant setelah melihat ribuan kor ban perang di Salferino yang semestinya bisa tidak meninggal namun karena tidak menda patkan perawatan menjadi meninggal. Berdasarkan itulah Henry Dunant menulis dalam sebu ah buku yang berjudul “Un Soovenir de Salferino” yang menjadikan tonggak sejarah lahirnya Humani tarian Law dimana Henry melihat keadaan perang dan mengusulkan agar dibentuk suatu badan nasional yang tugasnya merawat korban perang dalam suatu pertempuran dan kemudian diadakan pertemuan atau konferensi internasional dan melahirkan ICRC dan me rekomendasikan agar pemerintah negara2 mau me ngadakan perjanjian ttg bbrp hal yang ditetapkan da lam resolusi.