BUDIDAYA PADI SAWAH SECARA TERPADU

advertisement
1
POLA TANAM DAN
BUDIDAYA PADI SAWAH
Dalam kehidupan sehari-hari karbohidrat merupakan salah satu zat
yang sangat penting bagi tubuh dan sangat mutlak diperlukan setiap hari.
Karbohidrat merupakan senyawa organic karbon, hydrogen, dan oksigen,
yang terdiri atas satu molekul gula sederhana atau lebih yang merupakan
bahan makanan penting sebagai sumber energy atau tenaga. Karbohidrat
kita peroleh dari makanan pokok sehari-hari seperti padi, jagung, ketela
pohon, kentang, sagu, gandum, ubi jalar dan lain-lain. Dari sekian banyak
sumber karbohidrat, padi ternyata merupakan ideal bagi kita. Itulah sebabnya
padi menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia.
Bagi bangsa kita padi identik dengan hidup, sebab selain padi sebagai
sumber penghidupan, ia juga yang telah menghidupi bangsa kita. Sejak
ratusan tahun yang lalu padi sudah dikenal di Indonesia. Nenek moyang kita
sudah sejak lama membudidayakan tanaman pangan yang utama. Mengingat
keadaan iklim, struktur tanah dan air setiap daerah berbeda maka jenis
tanaman padi di setiap daerah umumnya berbeda. Perbedaan jenis padi
pada umumnya terletak pada : Usia tanaman, jumlah hasil, mutu beras, dan
ketahanannya terhadap hama dan penyakit.
Kalender Tanam Padi Sawah Dukung Ketahanan Pangan
Perubahan iklim merupakan kejadian alam yang berdampak terhadap
perubahan pola tanam dan penurunan produksi. Setiap tahun petani
dihadapkan pada perubahan iklim yang ekstrim, baik kering (El-Nino) maupun
basah (La-Nina). Perubahan iklim yang gejalanya mulai tampak beberapa
tahun terakhir telah menimbulkan bencana alam dan berdampak terhadap
luas panen padi dan tanaman pangan lainnya. Pada beberapa kasus,
perubahan iklim mendorong berkembangnya hama dan penyakit yang
menyebabkan gagal panen. Perubahan pola curah hujan harus menjadi
perhatian dalam mengatur kalender dan pola tanam untuk menjaga
kesinambungan produksi pertanian.
Sistem produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim.
Pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang bagaimana sistem produksi
tersebut dipengaruhi iklim dan berapa besar dampak keragaman iklim
terhadap kemampuan sistem tersebut dalam berproduksi sangat diperlukan.
Pengetahuan ini dapat digunakan untuk menentukan teknologi pemanfaatan
informasi iklim yang dapat digunakan untuk meminimumkan risiko iklim yang
mungkin muncul melalui perencanaan tanam yang lebih baik.
Faktor iklim yang paling terasa perubahannya akibat anomali iklim
adalah curah hujan. Kebutuhan terhadap informasi kondisi hujan beberapa
waktu ke depan telah lama disadari dan dirasakan semakin mendesak,
terlebih saat ini dimana anomali iklim semakin meningkat intensitas, frekuensi
dan durasinya.
2
Bagaimana mengatur pola tanam pada lahan sawah?
Pola tanam di lahan persawahan memang benar dapat
mengendalikan hama dan penyakit terutama penyakit yang menjadi momok
bagi petani padi sawah yaitu penyakit tungrow dan hama wereng coklat serta
OPT lainnya. Untuk Pola tanam pada lahan sawah adalah dengan padipalawija - padi atau padi-padi palawija. Namun demikian ada beberapa cara
pelaksanaan pola tanam tersebut. Misalnya cara-cara yang dilaksanakan
oleh petani di Desa Malonas, Kelompoktani Sumber Mulyo dan kelompoktani
Sumber Rejeki. Pelaksanaan Pola tanam yang telah dilakukan oleh petani
tersebut adalah sebagai berikut : Padi-Palawija- Padi
Padi sawah ditanam pada bulaan akhir Desember sampai awal
Februari , dan panen pada bulan april sampai awal Juni. dengan menerapkan
konsep PTT serta tanam benih langsung (Tabela Jajar Legowo 2:1 ) atau
sistem tanam SRI Jajar Legowo 2:1 atau 4:1.Pemupukan dan perawatan
menarapakan konsep PTT Padi sawah. Panen pada pertengahan Bulan
Maret hingga pertengahan April dengan mengunakan power treser.
Tanam Kedelai pada awal April hingga awal Mei dengan menerapkan
konsep TOT ( Tanpa Olah Tanah ) yaitu dengan cara memotong / memaras
sisa tanaman padi dengan mengunakan arit atau mesin pemotong rumput.
Kemudian dilanjutkan penyemprotan herbisida sistemik. Pembuatan saluran
drainage atau caren mutlak harus dilaksanakan agar air hujan tidak
tergenang, 1-2 hari kemudian dilaksanakan penanaman. Pada saat
menanam kedelai air irigasi harus tidak mengalir setiap hari. Untuk perawatan
terutama pengendalian gulma adalah dengan menggunakan herbisida
kontak. Pengendalian OPT dengan insektisida sistemik atau kontak. Panen
dilaksanakan dengan cara memotong pohon dengan menggunakan arit atau
parang. Penjemuran dilaksanakan dengan memberikan alas kedelai yang
dijemur. Perontokan dengan Power-treser yang dilanjutkan dengan
pengemasan dengan karung plastik/goni (Sunardi, 2010). Penaman padi
setelah tanaman kedelai di tanam pada bulan september dengan cara seperti
di atas.
Petani tradisional umumnya menanam padi hanya berdasarkan
pengalaman. Karena pengetahuan yang terbatas itulah satu jenis padi sering
ditanam terus menerus dalam suatu lahan. Pola tanam demikian bukan cara
yang baik, terutama terhadap kemungkinan besar serangan hama dan
penyakit.
Ditinjau dari kegunaannya tanaman padi dapat dibedakan dalam 2
jenis, yaitu:
1. Padi beras, yaitu jenis tanaman padi yang hasilnya untuk dijadikan
makanan pokok sehari-hari. Beras sebagai hasil akhir tanaman
dijadikan sumber utama karbohidrat, dimasak menjadi nasi dan
dimakan.
2. Padi ketan, yaitu jenis tanaman padi yang hasilnya untuk dijadikan
makanan pokok sehari-hari. Beras ketan umumnya dibuat tepung
sebagai bahan pembuat penganan atau makanan ringan. Dengan
demikian padi ketan tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan
pokok sebagaimana padi beras.
3
Padi dapat dikelompokkan dalam 2 jenis, yaitu:
a. Padi sawah
Padi sawah ditanam disawah, yaitu lahan yang cukup memperoleh
air. Padi sawah pada waktu-waktu tertentu memerlukan genangan
air, terutama sejak musim tanam sampai mulai berbuah.
b. Padi kering
Padi kering, yaitu sejenis padi yang tidak membutuhkan banyak air
sebagaimana padi sawah. Bahkan padi kering ini dapat tumbuh
hanya mengandalkan curah hujan. Ditinjau dari segi hasilnya, padi
sawah jelas dapat menghasilkan lebih banyak paripada padi
kering.
Halaman 3 Peluang Investasi Agrobisnis Padi Sawah - garutkab.go.id
Padi kering ini pada umumnya ditanam di daerah-daerah yang kurang atau
sedikit air. Padi jenis ini masih dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu:
(1) Padi Ladang
Padi ladang, yaitu sejenis padi kering yang ditanam di wilayah
hutan yang baru dibuka. Hasilnya sangat rendah. Padi ladang
umumnya ditanam olah petani tradisional di daerah pedalaman
yang berhutan, seperti di Kalimantan. Umumnya mereka
melakukannya berpindah-pindah dan sudah barang tentu sangat
merugikan kelestarian alam. Padi ladang mengandalkan air dan
curah hujan. Biasanya petani menebang hutan, membakarnya,
kemudian pada musim hujan menanaminya. Jika tanah sudah
tidak subur lagi mereka membuka hutan yang lain dengan cara
yang sama.
(2) Padi Gogoh Rancah
Padi gogoh rancah, yaitu sejenis padi kering yang ditanam di
tegalan pada saat musim hujan. Padi digenangi air seperti di
sawah. Padi gogoh rancah sangat bergantung pada curah hujan.
Jika musim kemarau panjang sudah barang tentu pertanian pada
gogoh rancah tidak dapat berlangsung.
(3) Padi Tegalan
Padi tegalan disebut juga padi gogo yang tumbuh ditanah kering.
Dan jika pertumbuhannya digenangi air seperti padi sawah disebut
gogoh rancah.
Upaya peningkatan produksi pertanian padi terus dilakukan, antara
lain dengan menyilangkan padi dan mendapatkan jenis bibit padi baru
varietas unggul. Jenis varietas unggul seperti juga namanya maka ia memiliki
kelebihan-kelebihan: umurnya pendek, hasilnya banyak, tahan terhadap
hama dan penyakit. Sifat-sifat itulah yang diharapkan dari padi jenis unggul.
Selain sifat-sifat diatas padi varietas unggul diharapkan menghasilkan beras
berkualitas tinggi, rasanya enak, serta tidak mudah roboh.
Dalam upaya meningkatkan produksi padi, Balai Penelitian Padi
Bogor juga menyebarkan bibit-bibit baru yang lebih berkualitas yang kita
kenal dengan istilah VUTW, singkatan dari Varrietas Unggul Tahan Wereng,
dan Cisadane. Kelebihan bibit padi baru itu selain umurnya pendek, tahan
terhadap hama dan penyakit, juga raanya jauh lebih enak.
4
Bila penelitian padi terdapat juga di Filipina, yaitu International Rice
Research Institute. Balai penelitian tersebut berhasil mengembangkan bibit
padi baru yang di beri nama IR 5 dan IR 8. Padi IR ini dikembangkan dari
asal padi jenis Peta di Indonesia. Oleh karena itu padi IR 5 dan IR 8 di
Indonesia diganti namanya menjadi PB 5 dan PB 4. PB singkatan dari Peta
Baru.
IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina terus
mengembangkan jenis unggul baru, antara lain dengan ditemukannya IR 24
yang lebih cocok untuk konsumsi Indonesia. Salah satu keunggulan IR 24
antara lain rasanya lebih enak selain umurnya hanya 120 hari dan tahan
terhadap hama dan penyakit.
Padi sawah yang diusahakan di Kabupaten Garut meliputi 41,4% dari
seluruh komoditas tanaman pangan. Benih padi varietas unggul nasional
yang dominan digunakan ialah IR64, Ciherang, Membramo, WA Buru, dan
Cisadane. Namun sejak tahun 1995, varietas local sarinah mulia dikenal luas
di Garut. Hingga tahun 2003, luas areal tanam varietas Sarinah mencapai
45.365 Ha (38,53%) dari seluruh varietas yang ditanam di Garut. Secara
umum, Padi Sarinah dikembangkan di Kecamatan Cilawu, Samarang,
Tarogong Kaler, Karangpawitan, Wanaraja, Sukawening, Leuwigoong,
Kadungora, dan Bayongbong. Bahkan pada tahun 2003, melalui proyek PMI,
padi Sarinah mulai dikembangkan secara luas (350 Ha) di kecamatan
Bayongbong.
Daerah yang menjadi sentra pengembangan agribisnis komoditas
padi adalah Kecamatan Bungbulang, Cikelet, Pameungpeuk, Cibalong,
Bayongbong, Kadungora, dan Cibatu. Selain padi sawah yang dibudidayakan
sesuai anjuran, terdapat pula budidaya dengan system organic dan ini
merupakan peluang bisnis yang dapat dikembangkan. Tahun 2004
Kabupaten Garut menghasilkan padi sawah 620.878 ton (GKG) dengan
produktivitas 55,64 ton/ha dan padi gogo sebesar 64.354 ton dengan
produktivitas 28,65 ton/ha. Dilihat dari produktivitas, baik padi sawah maupun
padi gogo masih berpeluang untuk dikembangkan dengan penggunaan
teknologi tepat guna.
Dari tahun ke tahun luas lahan sawah semakin berkurang, namun
kebutuhan akan beras semakin meningkat. Untuk itu upaya yang harus
dilakukan adalah peningkatan produktivitas dengan teknologi tepat guna
sesuai potensi. Peluang penggunaan benih berlabel masih terbuka begitu
pula dengan penggunaan alat-alat pengolahan. Dalam hal perbenihan
khususnya padi, Kabupaten Garut telah memiliki Balai Benih Pembantu Padi
yang berlokasi di Pameungpeuk dan Cibatu. Namun masih memungkinkan
untuk dilakukan kerjasama dengan berbagai pihak.
BERCOCOK TANAM PADI
(Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul
Jalan KH. Wahid Hasyim 210 Palbapang Bantul 55713 Telp. 0274-367541)
Padi dibudidayakan dengan tujuan mendapatkan hasil yang setinggitingginya dengan kualitas sebaik mungkin, untuk mendapatkan hasil yang
5
sesuai dengan harapan maka, tanaman yang akan ditanam harus sehat dan
subur. Tanaman yang sehat ialah tanaman yang tidak terserang oleh hama
dan penyakit, tidak mengalami defisiensi hara, baik unsur hara yang
diperlukan dalam jumlah besar maupun dalam jumlah kecil. Sedangkan
tanaman subur ialah tanaman yang pertumbuhan clan perkembangannya
tidak terhambat, entah oleh kondisi biji atau kondisi lingkungan.
PADI SAWAH
Teknik bercocok tanam yang baik sangat diperlukan untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Hal ini harus dimulai dari
awal, yaitu sejak dilakukan persemaian sampai tanaman itu bisa dipanen.
Dalam proses pertumbuhan tanaman hingga berbuah ini harus dipelihara
yang baik, terutama harus diusahakan agar tanaman terhindar dari serangan
hama dan penyakit yang sering kali menurunkan produksi.
1. Persemaian
Membuat persemaian merupakan langkah awal bertanam padi.
Pembuatan persemaian memerlukan suatu persiapan yang sebaik-baiknya,
sebab benih di persemaian ini akan menentukan pertumbuhan padi di
sawah, oleh karena itu persemian harus benar-benar mendapat perhatian,
agar harapan untuk mendapatkan bibit padi yang sehat dan subur dapat
tercapai.
a. Penggunaan benih
- Benih unggul
- Bersertifikat
- Kebutuhan benih 25 -30 kg / ha
b. Persiapan lahan untuk persemaian
- Tanah harus subur
- Cahaya matahari
- Pengairan
- Pengawasan
c. Pengolahan tanah calon persemaian
- Persemaian kering
- Persemaian basah
- Persemaian sistem dapog.
Persemaian Kering
Persemaian kering biasanya dilakukan pada tanah-tanah remah, banyak
terdapat didaerah sawah tadah hujan. Persemaian tanah kering harus
dilakukan dengan baik yaitu :
- Tanah dibersihkan dari rumput clan sisa -sisa jerami yang masih
tertinggal, agar tidak mengganggu pertumbuhan bibit.
- Tanah dibajak atau dicangkul lebih dalam dari pada apa yang
dilakukan pada persemaian basah, agar akar bibit bisa dapat
6
-
memasuki tanah lebih dalam, sehingga dapat menyerap hara lebih
banyak.
Selanjutnya tanah digaru.
Areal persemaian yang tanahnya sempit dapat dikerjakan dengan cangkul,
yang pada dasarnya pengolahan tanah ini bertujuan untuk memperbaiki
struktur tanah, agar tanah menjadi gembur.
Ukuran bedengan persemaian :
- Panjang bedengan : 500 -600 cm atau menurut kebutuhan, akan
tetapi perlu diupayakan agar bedengan tersebut tidak terlalu
panjag
- Lebar bedengan 100 -150 cm
- Tinggi bedengan 20 -30 cm
Di antara kedua bedengan yang berdekatan selokan, dengan ukuran lebar
30-40 cm. Pembuatan selokan ini dimaksud untuk mempermudah :
- Penaburan benih dan pencabutan bibit
- Pemeliharaan bibit dipersemaian meliputi :
Penyiangan
Pengairan
Pemupukan
Pemberantasan hama dan penyakit
Persemaian diupayakan lebih dari 1/25 luas sawah yang akan ditanami,
penggunaan benih pada persemaian kering lebih banyak dari persemaian
basah.
Persemaian Basah
Perbedaan antara persemaian kering dan basah terletak pada
penggunaan air. Persemaian basah, sejak awal pengolahan tanah telah
membutuhkan genangan air. Fungsi genangan air :
- Air akan melunakan tanah
- Air dapat mematikan tanaman pengganggu ( rumput )
- Air dapat dipergunakan untuk memberantas serangga pernsak bibit
Sumber: malut.litbang.deptan.go.id/ind/i...mid%3D43
7
Tanah yang telah cukup memperoleh genangan air akan menjadi lunak,
tanah yang sudah lunak ini diolah dengan bajak dan garu masing-masing 2
kali. Namun sebelum pengolahan tanah harus dilakukan perbaikan pematang
terlebih dahulu, kemudian petak sawah dibagi menurut keperluan. Luas
persemaian yang digunakan 1/20 dari areal pertanaman yang akan ditanami.
Sistem Dapog
Di Filipina telah dikenal cara penyemaian dengan sistem dapog,
system tersebut di Kabupaten Bantul telah dipraktekan di Desa
Pendowoharjo, Sewon.
Cara penyemaian dengan sistem dapog :
- Persiapan persemaian seperti pada persemaian basah
- Petak yang akan ditebari benih ditutup dengan daun pisang
- Kemudian benih ditebarkan diatas daun pisang, sehingga
pertumbuhan benih dapat menyerap makanan dari putik lembaga
- Setiap hari daun pisang ditekan sedikit demi sedikit kebawah
- Air dimasukan sedikit demi sedikit hingga cukup sampai hari ke 4
- Pada umur 10 hari daun pisang digulung dan dipindahkan
kepersemaian yang baru atau tempat penanaman disawah
d. Penaburan benih
Perlakuan sebagai upaya persiapan
Benih terlebih dahulu direndam dalam air dengan maksud :
- Seleksi terhadap benih yang kurang baik, terapung, melayang harus
dibuang
- Agar terjadi proses fisiologis
Proses fisiologis berarti terjadinya perubahan didalam benih yang akhimya
benih cepat berkecambah. Terserap atau masuknya air kedalam benih akan
mempercepat proses fisiologis.
Lama perendaman benih
Benih direndam dalam air selama 24 jam, kemudian diperam ( sebelumnya
ditiriskan atau dietus )
Lamanya pemeraman
Benih diperam selama 48 jam, agar didalam pemeraman tersebut benih
berkecambah.
Pelaksanaan menebar benih
Hal- hal yang hams diperhatikan dalam menebar benih adalah :
- Benih telah berkecambah dengan panjang kurang lebih 1 mm
- Benih tersebar rata
- Kerapatan benih harus sama
8
e. Pemeliharaan persemaian
1). Pengairan
Pada pesemaian secara kering
Pengairan pada pesemaian kering dilakukan dengan cara
mengalirkan air keselokan yang berada diantara bedengan, agar terjadi
perembesan sehingga pertumbuhan tanaman dapat berlangsung, meskipun
dalam hal ini sering kali ditumbuhi oleh tumbuhan pengganggu atau rumput.
Air berperan menghambat atau bahkan menghentikan pertumbuhan tanaman
pengganggu / rumput. Perlu diketahui bahwa banyaknya air dan
kedalamanya merupakan factor yang memperngaruhi perkembangan semai,
terutama pada pesemaian yang dilakukan secara basah.
Pada pesemaian basah
Pengairan pada pesemaian basah dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
- Bedengan digenangi air selama 24 jam
- Setelah genagan itu berlangsung selama 24 jam, kemudian air
dikurang hingga keadakan macak-macak (nyemek-nyemek),
kemudian benih mulai bisa disebar
Pengurangan air pada pesemaian hingga keadaan air menjadi
macak-macak ini, dimaksudkan agar benih yang disebar dapat
merata dan mudah melekat ditanah sehingga akar mudah masuk
kedalam tanah.
- Benih tidak busuk akibat genagan air
- Memudahkan benih bernafas / mengambil oksigen langsung dari
udara, sehingga proses perkecambahan lebih cepat
- Benih mendapat sinar matahari secara langsung.
Agar benih dalam bedengan tidak hanyut, maka air harus diatur sesuai
dengan keadaan, misalnya : bila akan terjadi hujan maka bedengan perlu
digenangi air, agar benih tidak hanyut. Penggenangan air dilakukan lagi pada
saat menjelang pemindahan bibit dari pesemaian kelahan pertanaman, untuk
memudahkan pencabutan.
2). Pemupukan di persemaian
Biasanya unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar
ialah unsur hara makro. Sedangkan pupuk buatan / anorganik seperti Urea,
TSP dll diberikan menjelang penyebaran benih dipesemaian, bila perlu diberi
zat pengatur tumbuh. Pemberian zat pengatur tumbuh pada benih dilakukan
menjelang benih disebar.
2. PERSIAPAN dan PENGOLAHAN TANAH SAWAH
9
Pengolahan tanah bertujuan mengubah keadaan tanah pertanian
dengan alat tertentu hingga memperoleh susunan tanah ( struktur tanah )
yang dikehendaki oleh tanaman. Pengolahan tanah sawah terdiri dari
beberapa tahap :
a. Pembersihan
b. Pencangkulan
c. Pembajakan
d. Penggaruan
a. Pembersihan
- Selokan-selokan perlu dibersihkan
- Jerami yang ada perlu dibabat untuk pembuatan kompos
b. Pencangkulan
Perbaikan pematang dan petak sawah yang sukar dibajak
c. Membajak
- Memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan tanah
- Membalikkan tanah beserta tumbuhan rumput ( jerami ) sehingga
akhirnya membusuk.
- Proses pembusukan dengan bantuan mikro organisme yang ada
dalam tanah.
d. Menggaru
- Meratakan dan menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah
- Pada saat menggaru sebaiknya sawah dalam keaadan basah
- Selama digaru saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup agar
lumpur tidak hanyut terbawa air keluar
- Penggaruan yang dilakukan berulang kali akan memberikan
keuntungan
➢ Permukaan tanah menjadi rata
➢ Air yang merembes kebawah menjadi berkurang -Sisa tanaman
atau rumput akan terbenam
➢ Penanaman menjadi mudah
➢ Meratakan pembagian pupuk dan pupuk terbenam.
10
Sumber; www.cybermq.com/beritaphoto/deta...ak-sawah
Membajak dan Menggaru Tanah Sawah
JAKA (20), buruh tani saat membajak sawah dengan kerbaunya di area persawahan
di Kampung Bojongkunci, Desa Bojongkunci, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten
Bandung. Hujan yang turun beberapa hari lalu dimanfaatkan petani untuk mulai
membajak sawah sebagai awal musim tanam padi.
3. Penanaman Bibit
Dalam penanaman bibit padi, harus diperhatikan sebelumnya adalah :
a. Persiapan lahan
b. Umur bibit
c. Tahap penanaman
Pemindahan bibit padi ke lahan yang siap ditanami (Sumber:
pwpokutimur.blogspot.com/2009/06...aan.html)
a. Persiapan lahan
Tanah yang sudah diolah dengan cara yang baik, akhirnya siap untuk
ditanami bibit padi.
b. Umur bibit
Bila umur bibit sudah cukup sesuai dengan jenis padi, bib it terse but
segera dapat dipindahkan dengan cara mencabut bibit
c. Tahap penanaman
Tahap penanaman dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu
1. Memindahkan bibit
2. Menanam
1). Memindahkan bibit
11
Bibit dipesemaian yang telah berumum 17-25 hari ( tergantung jenis padinya,
genjah / dalam ) dapat segera dipindahkan kelahan yang telah disiapkan.
Syarat -syarat bibit yang siap dipindahkan ke sawah :
- Bibit telah berumur 17 -25 hari
- Bibit berdaun 5 -7 helai
- Batang bagian bawah besar, dan kuat
- Pertumbuhan bibit seragam ( pada jenis padi yang sama)
- Bibit tidak terserang hama dan penyakit
Bibit yang berumur lebih dari 25 hari kurang baik, bahkan mungkin telah ada
yang mempunyai anakan.
2) Menanam Bibit
Dalam menanam bibit padi, hal- hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Sistim larikan ( cara tanam )
b. Jarak tanam
c. Hubungan tanaman
d. Jumlah tanaman tiap lobang
e. Kedalam menanam bibit
f. Cara menanam
a) Sistim larikan ( cara tanam )
- Akan kelihatan rapi
- Memudahkan pemeliharaan terutama dalam penyiangan
- Pemupukan, pengendalian hama dan penyakit akan lebih baik dan
cepat
- Dan perlakuan-perlakuan lainnya
- Kebutuhan bibit / pemakaian benih bisa diketahui dengan mudah
b) Jarak tanam
Faktor yang ikut menentukan jarak tanam pada tanaman padi, tergantung
pada :
- Jenis tanaman
- Kesuburan tanah
- Ketinggian tempat / musim
- Jenis tanaman
12
Menanam bibit padi pada lahan sawah yang telah dilumpurkan (Sumber:
www.sripoku.com/view/4391/petani...engganti)
Jenis padi tertentu dapat menghasilkan banyak anakan.
Jumlah anakan yang banyak memerlukan jarak tanam yang lebih besar,
sebaliknya jenis padi yang memiliki jumlah anakan sedikit memerlukan jarak
tanam yang lebih sempit.
-
Kesuburan tanah
Penyerapan hara oleh akar tanaman padi akan mempengaruhi
penentuan jarak tanam, sebab perkembangan akar atau tanaman
itu sendiri pada tanah yang subur lebih baik daTi pada
perkembangan akar / tanaman pada tanah yang kurang subur.
Oleh karena itu jarak tanam yang dibutuhkan pada tanah yang
suburpun akan lebih lebar dari pada jarak tanam padah tanah
yang jurang subur.
-
Ketinggian tempat.
Daerah yang mempunyai ketinggian tertentu seperti daerah
pegunungan akan memerlikan jarakn tanam yang lebih rapat dari
pada jarak tanam didataran rendah, hal ini berhubungan erat
dengan penyediaan air.
Tanaman padi varietas unggul memerlukan jarak tanam 20 x 20 cm pada
musim kemarau, dan 25 x 25 cm pada musim hujan.
c). Model Jarak Tanam = Hubungan tanaman
Hubungan tanaman berkaitan dengan jarak tanam.
Hubungan tanaman yang sering diterapkan ialah :
- Hubungan tanaman bujur sangkar ( segi empat )
- Hubungan tanaman empat persegi panjang.
- Hubungan tanaman 2 baris.
13
d). Jumlah tanaman ( bibit ) setiap lubang-tanam.
Bibit tanaman yang baik sangat menentukan penggunaannya
pada setiap lubang tanam. Penanaman bibit pada setiap lubangtanam sebanyak 2 -3 batang bibit.
e). Kedalaman penanaman bibit
Bibit yang ditanam terlalu dalam / dangkal menyebabkan
pertumbuhan tanaman kurang baik, kedalam tanaman yang baik 3
- 4 cm.
f). Cara menanam
Penanaman bibit padi diawali dengan menggaris tanah /
menggunakan tali pengukur untuk menentukan jarak tanam.
Setelah pengukuran jarak tanam selesai dilakukan penanaman
padi secara serentak.
4. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan ini meliputi :
a. Penyulaman dan penyiangan
b. Pengairan
c. Pemupukan
a. Penyulaman dan penyiangan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyulaman :
- Bibit yang digunakan harus jenis yang sama
- Bibit yang digunakan merupakan sisa bibit yang terdahulu
- Penyulaman tidak boleh melampoi 10 hari setelah tanam.
- Selain tanaman pokok ( tanaman pengganggu ) supaya
dihilangkan.
b. Pengairan
Pengairan disawah dapat dibedakan :
- Pengairan secara terns menerus
- Pengairan secara piriodik
c. Pemupukan
Tujuannya adalah untuk mencukupi kebutuhan makanan yang berperan
sangat penting bagi tanaman baik dalam proses pertumbuhan / produksi,
pupuk yang sering digunakan oleh petani berupa :
- Pupuk alam ( organik )
- Pupuk buatan ( an organik )
Dosis pupuk yang digunakan :
- Pupuk Urea 250 -300 kg / ha
- Pupuk SP 36 75 -100 kg / ha
14
- Pupuk KCI 50 -100 kg / ha
- Atau disesuaikan dengan analisa tanah.
15
BUDIDAYA PADI SAWAH SECARA TERPADU
(INTEGRATED RICE FARMING)
Komoditas utama:
1. Padi sawah
2. Ternak ruminansia, ternak unggas
3. Ikan
Ikan dapat dibudidayakan pada daerah yang airnya melimpah, untuk
daerah yang airnya tidak mencukupi untuk budidaya ikan maka
komoditas ini ditiadakan.
Hasil samping:
1. Jerami
2. Menir
3. Katul
4. Sekam
5. Pupuk kandang (kotoran hewan, urine hewan)
6. Jamur merang/tiram
7. Biogas
Metode Pengkajian
A. Luasan Lahan Penelitian: 1- 5 ha
B. PENENTUAN LOKASI PENANAMAN
1. Lahan petani (participatory research) dan/atau di KP4
2. Sidik cepat ketersediaan unsur hara lahan sebelum ditanami
3. Penentuan dosis tepat untuk N,P,K. Penentuan jumlah ternak
minimal sehingga kotoran+urine dapat mensubstitusi kebutuhan
unsur hara per satuan luas lahan atau dapat dibalik sumbangan
per ternak terhadap hara per satuan luas lahan
5. Pemupukan dengan pupuk lambat tersedia (slow-release fertilizer)
4. Penambahan pupuk organik dan anorganik yang diperlukan
dengan lebih mengutamakan penggunaan pupuk organik (pupuk
kandang, pupuk hijau)
a. Pemilihan jenis hewan ternak (sapi, kambing, kerbau,
ayam, bebek atau kombinasi?)
b. Penentuan jumlah ternak minimal sehingga kotoran+urine
dapat mensubstitusi kebutuhan unsur hara per satuan luas
lahan
C. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk pesemaian
1. Pengolahan tanah dengan cara tradisional (mengoptimalkan penggunaan
hewan ternak)
2. Pengolahan tanah secara modern dengan traktor tangan
16
Pengolahan tanah untuk pertanaman
1. Pengolahan tanah dengan cara tradisional
2. Pengolahan tanah secara modern dengan traktor tangan
D. Pemilihan Varietas, Peraswatan Benih dan Penyemaian
1. Varietas IR64 dan salah satu varietas unggul baru (Fatmawati, Sintanur)
2. Seed treatment (perawatan benih sebelum semai) dengan bahan kimia
(fungisida atau bahan alami)
3. Penyemaian: tradisional vs modern, individual vs kelompok. Biasanya
petani melakukan penyemaian padi secara berkelompok pada suatu
areal tertentu.
4. Menguji sistem direct seedling = Tabela (Tanam Benih Langsung).
E. Penanaman dan Pemeliharaan
1. Penanaman secara tradisional dengan melibatkan tenaga kerja wanita
2. Penanaman secara modern dengan mesin penanam
3. Pengelolaan tanaman secara terpadu (Integrated Crop Management)
dengan sub pengelolaan : INM (Integrated Nutrient Managemen,
pemanfaatan pupuk hayati dikombinasikan dengan pupuk kandang,
pupuk hijau dan pupuk kimia) dan IPM (Integrated Pest Management,
pemanfaatan biopestisida untuk pengelolaan hama dan penyakit
dikombinasikan dengan pestisida kimia, pemanfaatan bebek/menthok
untuk pengendalian gulma)
4. Pemanfaatan air se-efisien mungkin (pengembangan teknologi irigasi)
F. Panen dan Pascapanen
1. Metode panen (tradisional vs modern) dengan meminimalkan kehilangan
hasil (perlu budidaya beras yang tidak mudah rontok)
2. Metode pengeringan gabah (konvensional dng tenaga surya vs modern
dengan sumber energi lain), penyimpanan gabah (packing, dll)
3. Metode konversi gabah menjadi beras : brown rice (beras merah/beras
yang terikut katulnya) vs. beras sosoh (beras putih yang bebas katul)
4. Packing beras
5. Penyimpanan beras merah dan beras sosoh, bagaimana kondisi
penyimpanan dan bisa bertahan berapa lama sehingga rasa dan gizi
tidak jauh berkurang
G. Pengolahan Produk dan Diversifikasi Produk
1. Pengolahan beras menjadi nasi (cara menanak hemat enersi, cepat dan
rasa nasinya pulen) dan produk makanan berbasis nasi (intip goreng,
snack, senbei(jpn), brondong nasi)
2. Pengolahan beras menjadi tepung kemudian menjadi berbagai produk
makanan berbasis tepung beras seperti kue-kue, bahan kosmetika,
bahan obat, minuman (beras kencur, wine)
3. Pengolahan katul menjadi makanan bergizi tinggi kemudian melakukan
sosialisasi sehingga nantinya bisa diterima oleh masyarakat (dulu pernah
menjadi makanan favorit)
17
4. Pengolahan katul menjadi bahan suplemen beras sosoh (beras sosoh +
katul menjadi brown rice, bagaimana teknologinya, sosialisasinya ke
masyarakat)
5. Pemanfaatan katul/dedak sebagai komponen pakan ternak/ikan
6. Pengolahan menir (beras yang pecah waktu disosoh) menjadi tepung,
bahan makanan (utri).
H. Pemasaran Produk
1. Mekanisme penjualan produk primer (gabah, beras) maupun sekunder
(selain yg dua itu) yang menguntungkan petani
2. Revitalisasi/penyehatan peranan KUD dalam pemasaran produk
pertanian sehingga bargaining position-nya lebih kuat dibanding petani
per individu
I. Pemanfaatan Hasil Samping Padi
1. Jerami.
a. Tunggul tanaman dikembalikan ke lahan ketika pengolahan lahan (studi
ketersediaan unsur hara dalam tanah, ketika tunggul padi dikembalikan
ke tanah unsur apa saja yang harus ditambahkan dan jumlahnya
berapa)
b. Jerami yang dibawa ke “rumah” diperkaya sehingga menjadi pakan
ternak yang bergizi (metode pengkayaan, pemberian pakan ke ternak,
dll)
c. Jerami dari lahan atau jerami sisa pakan difermentasi untuk digunakan
sebagai medium pertumbuhan jamur (jamur merang dan jamur tiram).
d. Medium pertumbuhan jamur yang sudah menghasilkan produk (sudah
dipanen jamurnya) digunakan lagi sebagai pakan ternak
2. Sekam.
a. Pengolahan sekam menjadi arang sekam sebagai medium
pertumbuhan tanaman dengan teknik hidroponik substrat
b. Pengolahan sekam menjadi briket arang sekam
c. Pengolahan sekam menjadi komponen potting soil untuk hortikulutra
d. Pemanfaatan sekam sebagai sumber energi untuk pengeringan gabah,
pembakaran keramik, batu bata, pemanas ruangan
e. Ekstraksi Silika dari sekam untuk keperluan industri
J. Produk Ternak
1. Pengolahan kotoran dan urine sebagai pupuk kandang (perlu desain
kandang sehingga urine dan tlethong-nya terpisah?)
2. Konversi pupuk kandang menjadi biogas (BIODIGESTER)
3. Penentuan jumlah minimal ternak ruminansia (sapi, kerbau?) sehingga
dapat memenuhi kebutuhan (1) dan (2) di atas dan disesuaikan dengan
kemampuan (tenaga dan skill) petani
4. Pemanfaatan bebek, menthog? untuk penyiangan gulma
18
5. Penentuan jenis pakan hijauan tambahan selain jerami yang diperoleh
dari lahan sawah kemudian menentukan bagaimana cara budidayanya
dan dimana di budidayakan
6. Pemanfaatan hewan ternak ruminansia untuk pengolahan lahan
K. Ikan dan Produk Ikan
1. Pemilihan jenis ikan/udang atau satwa air lain
2. Desain lahan untuk mina padi (kolam terpisah atau menjadi satu dengan
lahan padi sawah)
19
BUDIDAYA PADI SAWAH MELALUI PENDEKATAN PTT
(Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu)
Pendahuluan
Pengelolaan lahan sawah secara intensif telah berhasil meningkatkan
produksi padi, namun dalam perkembangannya terjadi penurunan efektivitas
dan efisiensi. Gejala tersebut ditandai dengan penurunan efisiensi pemberian
input, melandainya laju kenaikan hasil, dan tanaman sering mendapat
gangguan hama dan penyakit. Masalah tersebut dapat dipecahkan melalui
pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Pendekatan PTT ditempuh dalam menerapkan teknologi budidaya spesifik
lokasi yang didasarkan pada karakteristik biofisik dan sosial ekonomi dengan
mengintegrasikan berbagai komponen teknologi yang inovatif, dinamis dan
kompatibel untuk dapat memecahkan masalah setempat, sehingga timbul
efek sinergisme. Berdasarkan hal tersebut dan beberapa hasil pengkajian
menunjukkan bahwa penerapan PTT padi sawah di Provinsi Banten dapat
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Menurut data BPS
(2004), luas sawah di Provinsi Banten adalah 246.938 ha, sedangkan
berdasarkan data arahan tata ruang pertanian 198.385 ha.
Persyaratan Teknis
Persyaratan teknis penerapan PTT padi sawah untuk mencapai hasil
optimal meliputi :
1. tersedianya air irigasi dalam jumlah memadai,
2. penggunaan varietas unggul berlabel,
3. penanaman bibit muda umur 18 – 21 HSS, jumlah bibit 2
– 4 batang/luang,
4. sistem tanam legowo 4:1 atau sistem tegel,
5. penggunaan pupuk sesuai rekomendasi (Urea 200 – 225
kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha),
6. pengendalian gulma secara mekanik,
7. pengendalian hama dengan prinsip PHT serta
8. panen dan perontokan gabah.
KEUNGGULAN INOVASI
Inovasi PTT padi sawah memiliki beberapa keunggulan dibanding
dengan teknologi petani, diantaranya :
1. Meningkatkan produktivitas antara 1,22 – 2,28 ton/ha (24,1
– 44,9 %),
2. Pendapatan petani bertambah sebesar Rp. 1.516.000 –
2.066.000,3. Mengurangi penggunaan benih dari 35 - 40 kg/ha menjadi 25
kg/ha,
4. Perawatan tanaman lebih mudah (pemupukan, pengendalian
hama),
20
5. Kondisi tanaman lebih seragam dan
6. Kualitas gabah lebih baik.
PENERAPAN INOVASI
-
-
-
-
-
-
-
Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna menggunakan traktor
sedalam 20 cm atau lebih, dan selanjutnya digenangi + 7 hari. Setelah itu
dilakukan pengglebekan dan penggaruan untuk perataan tanah.
Benih diseleksi dalam larutan air garam 3 % (ambil yang tenggelam),
kemudian direndam selama 2 hari (48 jam) dan ditiriskan, lalu diperam
selama 1 hari (24 jam) dan ditebar merata pada persemaian (luas
persemaian 4 % dari luas lahan). Untuk mencegah hama penggerek
batang, benih diaduk dengan insektisida Furadan. Sebelum disebar,
lahan persemaian ditaburi pupuk Urea + 25 g/m2.
Penanaman bibit dilakukan umur 18 – 21 HSS (2 – 4
batang/lubang). Pada sistem legowo 4:1, jarak tanam adalah 20 cm x 20
cm atau 20 cm x 15 cm dengan lebar lorong 40 cm, sedangkan jarak
tanam pada sistem tegel adalah 22,5 cm x 22,5 cm.
Pupuk dasar diberikan pada umur 10 – 12 HST (Urea 100 kg/ha,
SP-36 100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha). Selanjutnya pupuk susulan berupa
Urea (100 – 125 kg/ha) diberikan pada umur 25 – 30 HST
Pengendalian gulma dengan gasrok/landak (2 kali), sedangkan hama dan
penyakit dengan prinsip PHT. Pengendalian hama dan penyakit
disesuaikan dengan tahapan budidaya yaitu pratanam, persemaian, fase
vegetatif dan fase generatif.
Panen dilakukan setelah masak fisiologis, dimana penampakan malai
kuning sekitar 95 %. Untuk menghindari kerusakan gabah dan kehilangan
hasil, setelah panen segera dirontok dengan tresher atau gebotan.
Agar beras yang dihasilkan bermutu tinggi, gabah dikeringkan sampai
kadar airnya 17 % (penyimpanan sementara), dan jika hendak digiling
kadar airnya 13 – 14 %.
21
Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui
Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi
perkapita akibat peningkatan pendapatan. Namun dilain pihak upaya
peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti
konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim
(anomaly iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan
kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap
penurunan dan atau pelandaian produktivitas.
Sistem produksi padi saat ini juga sangat rentan terhadap
penyimpangan ilkim (El-nino). Penanganan masalah secara parsial yang
telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang
kompleks dan juga tidak efisien (Kartaatmadja dan Fagi, 2000). Suartha,
(2002), memprediksi bahwa negara kita akan mengalami krisis pangan
khususnya beras di tahun 2003, apabila usaha-usaha kita dalam
meningkatkan produksi pangan masih tetap seperti waktu-waktu sebelumnya.
Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat perlu
diupayakan untuk mencari terobosan teknologi budidaya yang mampu
memberikan nilai tambah dan meningkatkan efisiensi usaha.
Optimasi produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu
peluang peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan
bila dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar
lokasi dan belum optimal. Rata-rata hasil 4,7 t/ha, sedangkan potensinya
dapat mencapai 6 – 7 t/ha.
Belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain
disebabkan oleh:
a) rendahnya efisiensi pemupukan;
b) belum efektifnya pengendalian hama penyakit;
c) penggunaan benih kurang bermutu dan varietas yang dipilih
kurang adaptif;
d) kahat hara K dan unsur mikro;
e) sifat fisik tanah tidak optimal;
f) pengendalian gulma kurang optimal (Makarim et al. 2000),.
Jawa Tengah yang merupakan salah satu propinsi yang memasok
kebutuhan beras nasional, juga dihadapkan pada permasalahan yang sama.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir produktivitas padi sawah di Jawa
Tengah juga mengalami fluktuasi dari 5,166 t/ha (1995); 5,020 t/ha ( 1996);
5,24 t/ha (1997); 5,04 t/ha (1998) dan 4,997 t/ha (1999). Fluktuasi produksi
beras yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor tersebut
diatas. Program peningkatan produksi padi di Jawa Tengah perlu dititik
beratkan pada upaya peningkatan pelaksanaan mutu intensifikasi, mengingat
pelaksanaan program ekstensifikasi kurang memungkinkan untuk dilakukan.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau
lebih dikenal PTT pada padi sawah, merupakan salah satu model atau
pendekatan pengelolaan usahatani padi, dengan mengimplementasikan
22
berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis. PTT
mengabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling
komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian
lingkungan (Sumarno, dkk. 2000).
Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), tindakan PTT merupakan
good agronomic practices yang antara lain meliputi;
(a) penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat dan musim
tanam,
(b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi,
(c) pengelolaan tanah, air, hara dan tanaman secara optimal,
(d) pengendalian hama-penyakit secara terpadu, dan
(e) penanganan panen dan pasca panen secara tepat.
Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang sinergis,
yang dapat diterapkan sesui kondisi agroekosistem, antara lain adalah;
(a) perlakuan benih;
(b) pemilihan varietas;
(c) penanaman tunggal bibit muda;
(c) jarak tanam lebih rapat;
(d) sistem pengairan;
(e) penggunaan bahan organik;
(f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah dalam pemupukan;
(g) pengendalian gulma dengan gosrok.
Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari
sekitar 5,6 menjadi 7,3 – 9,6 t/ha, dan pendapatan petani meningkat dari Rp,
,6 juta menjadi Rp. 4, juta/ha (Puslitbangtan, 2000). Pengalaman serupa juga
telah dilakukan di Madagaskar, dengan pelaksanaan sistem intensifikasi padi
(SRI) melalui penerapan komponen-komponen teknologi secara terpadu
(penanaman bibit muda 8- 5 hari, pengaturan jarak tanam, penanaman
tanaman/lubang, pengairan intermitent, pengendalian gulma sistem rotari)
telah mampu meningkatkan hasil padi antara 7 – 2 ton/ha, diatas rata-rata
produksi nasional 2 ton/ha (Stoop et al., 2000; Fisher, 1998).
Dengan pendekatan pengelolaan usahatani padi secara terpadu,
mulai pengelolaan budidaya (persiapan lahan, pesemaian, penanaman,
pemupukan, pengaturan air, pengendalian gulma), dan pengelolaan hama
penyakit diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani padi yang selanjutnya memberi dampak terhadap peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
23
Sistem pertanian sawah terpadu (Sumber: tani-organik.blogspot.com/2008/0...sri.html)
Optimasi sumberdaya lahan sawah
Hidayati, Fins Ulya (2003) OPTIMASI PENGGUNAAN SUMBERDAYA PERTANIAN PADA LAHAN
SAWAH BERIRIGASI TEKNIS DENGAN BERBAGAI POLA TANAM DI KABUPATEN DEMAK (Studi
Kasus di Kecamatan Gajah Kabupaten Demak). Masters thesis, program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
Adanya keterbatasan tersedianya sumberdaya pertanian yang dimiliki
petani memerlukan adanya pengaturan yang dapat mengoptimalkan
penggunaan sumberdaya tersebut supaya petani mampu meningkatkan
pendapatkan serta adanya kemampuan petani untuk menganalisis faktor
sosial ekonomi sehingga dapat mempengaruhi keputusan dalam pemilihan
pola tanam. Penelitian telah dilakukan untuk menentukan optimalitas
penggunaan sumberdaya pertanian pada berbagai pola tanam di lahan
sawah beririgasi teknis di Kecamatan Gajah.
Pola tanam di Kecamatan Gajah yang dominan adalah (1) Padi-PadiSemangka (P1) dan (2; Padi-Padi-Kacang Hijau. Optimasi sumberdaya
pertanian dengan berbagai pola tanam di Kecamatan Gajah Kabupaten
Demak ini mempertimbangkan 27 kendala sumberdaya dan 2 macam pola
tanam. Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa untuk kategori lahan luas
lebih besar 0,5 Ha dengan pola tanam (P1) optimal dengan pendapatan
maksimal Rp.40.161.000,- sedangkan untuk pola tanam (P2) tidak optimal
dengan pendapatan maksimal Rp.18.166.600,-. Sedangkan untuk lahan
sempit dengan luas kurang dan 0,5 Ha dengan pola tanam (P1) mempunyai
pendapatan maksimal Rp. 112.166.400,- dan luas lahan sempit kurang dari
0,5 Ha dengan pola tanam (P2) mempunyai pendapatan maksimal Rp.
25.932.400. Dari hasil estimasi terdapat 3 sumberdaya yang berstatus langka
yaitu habis dipakai dalam satu kali usaha tani. Dari hasil estimasi faktor sosial
ekonomi yang berpengaruh pada pengambilan keputusan adalah faktor
pengalaman berusaha tani dan pendapatan yang berpengaruh positif dan
24
signifikan. Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 2 pola tanam dominan
tersebut yang optimal dapat diusahakan di Kecamatan Gajah adalah pola
tanam Padi - Padi — Semangka untuk lahan luas dan lahan sempit dan faktor
sosial ekonomi yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut adalah
pengalaman berusaha tani dan pendapatan.
Budidaya Padi Sawah Model SRI
Mengenal SRI (System of Rice Intensification)
SRI adalah salah satu jawaban dari krisis pangan yang dihadapi
Indonesia. Akan tetapi berbeda dengan metode penanaman padi yan lain,
SRI Indonesia dipelopori oleh seorang engineer. Ternyata SRI lebih bisa
dimengerti oleh mereka yang memahami engineering walaupun tidak
menutup kemungkinan adanya pendekatan lain yang dapat menjelaskan
fenomena SRI.
Apa Itu SRI ?
SRI merupakan singkatan dari System of Rice Intensification, suatu
sistem pertanian yang berdasarkan pada prinsip Process Intensification (PI)
dan Production on Demand (POD). SRI mengandalkan optimasi untuk
mencapai delapan tujuan PI, yaitu cheaper process (proses lebih murah),
smaller equipment (bahan lebih sedikit), safer process (proses yang lebih
aman), less energy consumption (konsumsi energi/tenaga yang lebih sedikit),
shorter time to market (waktu antara produksi dan pemasaran yang lebih
singkat), less waste or byproduct (sisa produksi yang lebih sedikit), more
productivity (produktifitas lebih besar), and better image (memberi kesan lebih
baik).
Metode SRI
Keterbatasan Laulanie dalam membantu petani kemudian menjadi
metode pokok SRI. Metode ini terdiri atas 3 poin utama, yaitu:
Pertama.
Penanganan bibit padi secara seksama. Hal ini terdiri atas,
pemilihan bibit unggul, penanaman bibit dalam usia muda (kurang dari 10 hari
setelah penyemaian), penanaman satu bibit per titik tanam, penanaman
dangkal (akar tidak dibenamkan dan ditanam horizontal), dan dalam jarak
tanam yang cukup lebar.
Bagi yang telah terbiasa menanam padi secara konvensional, pola
penanganan bibit ini akan dirasakan sangat berbeda. Hal ini karena metode
konvensional memakai bibit yang tua (lebih dari 15 hari sesudah
penyemaian), ditanam sekitar 5-10 bahkan lebih bibit per titik tanam, ditanam
dengan cara dibenamkan akarnya, dan jarak tanamnya rapat.
25
Perbedaan metode penanganan bibit padi metode SRI terhadap
metode konvensional dapat dijelaskan oleh penjelasan sebagai berikut,
1. Mengapa ditanam muda? Hal ini dijelaskan oleh Katayama, yaitu
melalui teori Pyllochrone. Katayama mengungkapkan bahwa
penanaman bibit pada usia 15 hari sesudah penyemaian akan
membuat potensi anakan menjadi tinggal 1/3 dari jumlah potensi
anakan. Hal ini berarti, SRI menambah potensi anakannya sekitar
64%.
2. Mengapa ditanam satu bibit per titik tanam? Hal ini karena
tanaman padi membutuhkan tempat tumbuh yang cukup agar dia
dapat mencapai pertumbuhan optimal. Analoginya adalah satu
kamar kost untuk satu mahasiswa. Penambahan jumlah
mahasiswa yang tinggal dalam kamar kost akan menyebabkan
adanya persaingan dalam memanfaatkan fasilitas di dalam kamar
kost tersebut. Begitu juga dengan padi, ketika ditanam secara
banyak, maka akan terjadi persaingan untuk mendapatkan nutrisi,
cahaya matahari, udara, dan bahan lainnya dalam suatu titik atau
area tanam.
3. Mengapa ditanam dangkal ? Hal ini bertujuan untuk memacu
proses pertumbuhan dan asimilasi nutrisi akar muda. Jika ditanam
terbenam, maka akan timbul kekurangan oksigen yang
menimbulkan peracunan akar (asphyxia), dan gangguan siklus
nitrogen yang dapat menyebabkan pelepasan energi, produksi
asam yang tinggi serta tidak adanya rebalance H+ sehingga
terjadi destruksi sel akar dan pertumbuhan struktur akar menjadi
tidak lengkap. Semua akibat dari penanaman dengan cara
dibenamkan akar memangkas potensi akar sampai menjadi ¼ nya
saja.
4. Mengapa ditanam dalam jarak yang cukup lebar? Hal ini untuk
menjamin selama proses tumbuhnya padi menjadi padi siap
panen, seluruh nutrisi, udara, cahaya matahari, dan bahan lainnya
tersedia dalam jumlah cukup untuk suatu rumpun padi.
Ke dua.
Metode pokok SRI yang kedua adalah penyiapan lahan tanam.
Penyiapan lahan tanam untuk metode SRI berbeda dari metode konvensional
terutama dalam hal penggunaan air dan pupuk sintetis (untuk kemudian
disebut pupuk). SRI hanya menggunakan air sampai keadaan tanahnya
sedikit terlihat basah oleh air (macak-macak) dan tidak adanya penggunaan
pupuk karena SRI menggunakan kompos. Sangat berbeda dengan metode
konvensional yang menggunakan air sampai pada tahap tanahnya menjadi
tergenang oleh air serta pemupukan minimal dua kali dalam satu periode
tanam.
Mengapa demikian ?
Tanah yang tergenang air akan menyebabkan kerusakan pada
struktur padi sebab padi bukanlah tanaman air. Padi membutuhkan air tetapi
tidak terlalu banyak. Hal lain yang ditimbulkan oleh proses penggenangan
26
adalah timbulnya hama. Secara alamiah, seperti padi liar yang tumbuh di
hutan-hutan, hama dari padi memiliki musuh alami. Untuk padi liar, yang
hidup di tanah kering, musuh alami hama padi dapat hidup dan menjaga
kestabilan dengan memakan hama tersebut. Ketika padi hidup di tanah yang
tergenang, maka musuh alami hama padi tidak dapat hidup sedangkan hama
padi dapat hidup. Bahkan, hal ini memacu adanya hama padi baru yang
berasal dari lingkungan akuatik.
Pemupukan dua kali, pada awal periode tanam dan saat ditengahtengah periode tanam memiliki dampak yang kurang signifikan dalam
menjaga ketersediaan nutrisi untuk padi. Pemupukan menggunakan pupuk
sintetis memang memiliki kecepatan transfer nutrisi yang cepat, tetapi hal ini
tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh padi yang berusia muda
karena padi tersebut hanya membutuhkan nutrisi yang relatif sedikit. Lalu sisa
dari nutrisi tersebut tidak termanfaatkan bahkan dapat terbawa oleh aliran air
(karena lahan tanam tergenang). Analogi dari hal tersebut adalah bayi yang
diberi makanan dengan jatah 25 tahun (jika umur hidupnya 50 tahun). Tentu
saja makanannya tidak termanfaatkan.
Ke tiga.
Prinsip ke tiga dalam metode SRI adalah keterlibatan mikroorganisme lokal (MOL) dan kompos sebagai ’tim sukses’ dalam pencapaian
produktivitas yang berlipat ganda. Dalam hal ini peran kompos sering disalahartikan sebagai pengganti dari pupuk. Hal ini salah, karena peran kompos
lebih kompleks daripada peran pupuk. Peran kompos, selain sebagai
penyuplai nutrisi juga berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas
menjaga proses tumbuh padi secara optimal. Konsep bioreaktor adalah kunci
sukses dari SRI. Bioreaktor yang dibangun oleh kompos, mikrooganisme
lokal, struktur padi, dan tanah menjamin bahwa padi selama proses
pertumbuhan dari bibit sampai padi dewasa tidak mengalami hambatan.
Fungsi dari bioreaktor sangatlah kompleks, fungsi yang telah teridentifikasi
antara lain adalah penyuplai nutrisi sesuai POD melalui mekanisme eksudat,
kontrol mikroba sesuai kebutuhan padi, menjaga stabilitas kondisi tanah
menuju kondisi yang ideal bagi pertumbuhan padi, bahkan kontrol terhadap
penyakit yang dapat menyerang padi.
Engineering Approach (Pendekatan Rakayasa Teknik)
Lalu bagaimana dengan pendekatan engineering dalam SRI ? Perlu
diketahui bahwa SRI menjadi kontroversi karena konsep dalam bidang
pertanian tidak sepenuhnya dapat menjelaskan mengapa SRI dapat
memberikan hasil yang berlipat ganda. Menurut Mubiar Purwasasmita,
pendekatan yang harus dilakukan adalah melalui konsep PI dan POD yang
sangat dikenal dalam dunia engineering.
Apa itu PI ?
Konsep PI yang menjadi acuan dalam perkembangan industri dunia,
merujuk pada proses dalam skala yang semakin kecil. Menurut PI, proses
yang dapat dilangsungkan dalam skala yang semakin kecil akan berlangsung
lebih efektif dan efisien. Hal ini dapat dipahami karena mass and heat transfer
27
akan berlangsung lebih baik pada skala yang lebih kecil. Hal ini adalah
konsep yang telah diterima secara luas dalam dunia engineering.
Dalam kaitan dengan SRI, konsep ini diwakili oleh bioreaktor.
Bioreaktor SRI adalah perwujudan dari proses-proses yang berlangsung
dalam skala yang lebih kecil daripada skala yang digunakan pada pertanian
konvensional. Ketika berbicara tentang penanaman padi, seharusnya yang
dibahas adalah bagaimana interaksi padi dengan lingkungan sekitarnya
terutama mikroba yang menjadi unsur pendukungnya. Jadi, penanaman padi
tidak hanya ditinjau dari skala manusia tetapi juga dari skala mikroba. Proses
yang berlangsung dalam skala kecil pada bioreaktor akan menjamin
efektivitas dan efisiensi penggunaan bahan akan lebih maksimal.
Konsep PI ke dua adalah using less to produce more yang diwakili
oleh metode penanganan bibit dan penanaman padi yang memanfaatkan
sumberdaya seminim mungkin. Hal ini tidak dapat berdiri sendiri, karena disisi
lain untuk meningkatkan produktivitas maka harus ada elemen produksi yang
meningkat. Peningkatan kualitas lahan, bibit serta proses bioreaktor menjadi
insurance agar hal ini tercapai.
Apa itu POD?
Konsep POD adalah bagaimana produksi harus sesuai dengan
permintaan. Dalam Model SRI, produksi yang dimaksud adalah nutrisi (hara),
cahaya matahari, udara, dan bahan lainnya. Faktor produksi kebutuhan padi
akan sesuai dengan kebutuhan padi saat itu, tidak berlebihan dan juga tidak
kurang. Bagaimana cara bioreaktor mengetahui kebutuhan padi? Caranya
adalah dengan eksudat yang merupakan bentuk komunikasi padi dengan
bioreaktor. Eksudat ini berlangsung setiap saat yang menjamin bahwa factorproduksi akan sesuai dengan kebutuhan padi. Dengan cara ini, bioreaktor
akan menyediakan nutrisi dan sebagainya sesuai kondisi padi. Semua hal
tersebut diduga menjadi sebagian kunci sukses dari Model SRI.
Tahapan Pelaksanaan Pola Tanam Model SRI
Penyiapan Benih
Benih dapat diseleksi dengan bantuan penggunaan air garam dan
telur ayam/itik/bebek. Telur yang bagus umumnya dalam air akan tenggelam,
namun bila pada air ini diberi garam yang cukup dan diaduk maka telur yang
bagus itu akan mengapung. Bila telur belum juga mengapung maka
tambahkan lagi garamnya sampai telur ini mengapung karena berat jenisnya
(BJ) menjadi lebih rendah daripada air garam. Air garam yang sudah mampu
mengapungkan telur ini dapat digunakan untuk seleksi benih, langkah
selanjutnya adalah sebagai berikut :
• Masukkan benih ke dalam air garam dan pilih hanya benih yang
tenggelam, gabah yang mengapung dapat dimanfaatkan untuk
pakan ayam atau burung;
• Benih yang baik kemudian dicuci dengan bersih sampai rasa
asinnya hilang dari benih tersebut, juga akan lebih baik dicuci
28
•
•
•
menggunakan wadah yang berlubang dan pada air yang mengalir
untuk meyakinkan benih benar-benar akan terbebas dari garam;
Benih yang sudah bebas dari garam direndam dalam air biasa
selama sekitar 24 jam;
Setelah benih direndam, kemudian lakukan pemeraman selama
sekitar 36 jam yaitu benih di bungkus dengan karung goni atau
kain yang basah. Penyimpanan benih yang dibungkus kain basah
ini akan lebih baik ditempat yang hangat misalnya di dapur
asalkan kainnya tetap dijaga basah dan lembab;
Setelah berkecambah atau muncul akar pendek, benih siap
disemai atau ditebar.
Penyemaian
Penyemaian dapat dilakukan di sawah, di ladang atau dalam wadah
seperti kotak plastik atau besek/pipiti yang diberi alas plastik/daun pisang dan
berada di area terbuka yang mendapatkan sinar matahari. Tanah untuk
penyemaian tidak menggunakan tanah sawah tetapi menggunakan tanah
darat yang gembur dicampur dengan kompos dengan perbandingan
tanah:kompos sebaiknya minimal 2:1 dan akan lebih baik bila 1:1, dapat juga
ditambahkan pada campuran ini abu bakar agar medianya semakin gembur
sehingga nantinya benih semakin mudah diambil dari penyemaian untuk
menghindari putusnya akar. Luas area yang diperlukan untuk penyemaian
minimal adalah sekitar 20 m2 untuk setiap 5 kg benih, sehingga bila
penyemaian dilakukan pada wadah dapat dihitung jumlah wadah yang
diperlukan menyesuaikan dengan ukuran masing-masing wadah dan
tentunya akan lebih baik lagi bila tempat penyemaiannya lebih luas untuk
pertumbuhan benih yang lebih sehat. Untuk penyemaian yang dilakukan di
sawah atau ladang, tempat penyemaian dibuat menjadi berupa
tegalan/guludan seperti untuk penanaman sayuran dengan ketinggian
tanahnya sekitar 15 cm, lebar sebaiknya sekitar 125 cm dan seluruh
pinggirannya ditahan dengan papan, triplek atau batang pisang untuk
mencegah erosi. Benih yang sudah ditebar sebaiknya kemudian ditutup lagi
dengan lapisan tipis tanah atau kompos atau abu bakar untuk
mempertahankan kelembabannya kemudian ditutup lagi dengan jerami atau
daun kelapa untuk menghindari dimakan burung dan gangguan dari air hujan
sampai tumbuh tunas dengan tinggi sekitar 1 cm.
Setelah dilakukan penyemaian benih-benih ini harus dirawat dengan
melakukan penyiraman setiap pagi dan sore bila tidak turun hujan. Untuk pola
tanam SRI benih siap di tanam ke sawah saat usianya belum mencapai 15
hari dan sebaiknya antara umur 8-10 hari setelah tebar yaitu saat baru
memiliki dua helai daun.
Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan sawah untuk pertanian organik dengan pola tanam
SRI hampir sama dengan pada metoda konvensional. Proses awal
pengolahan lahan adalah dengan dibajak untuk membalikkan tanah dan
memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan juga menghancurkan gulma
setelah sebelumnya lahan digenangi air selama beberapa hari agar tanahnya
29
menjadi lunak. Proses ini dapat dilakukan secara tradisional dengan
menggunakan kerbau atau sapi maupun secara modern dengan
menggunakan traktor. Bila diperlukan setelah pembajakan pertama lahan
sawah dibiarkan tergenang beberapa hari dan kemudian dilakukan
pembajakan kedua. Kedalaman dari pelumpuran lahan turut menentukan
pertumbuhan tanaman dan sebaiknya kedalaman pelumpuran tersebut
setidaknya mencapai 30 cm.
Pekerjaan selanjutnya adalah memperbaiki pematang sawah agar
lahan sawah tidak bocor dan tidak ditumbuhi tanaman liar untuk menghindari
tikus bersarang di pematang sawah ini. Perbaikan pematang sawah
dilakukan bersamaan dengan pekerjaan pencangkulan untuk bagian sawah
yang tidak dapat dijangkau oleh pembajakan yang biasanya berada di bagian
pojok sawah. Kompos dapat ditebarkan sebelum pekerjaan penggaruan
sehingga pada saat digaru kompos dapat bercampur dengan tanah sawah
atau juga dapat ditebar setelah proses pembajakan, intinya adalah kompos
dapat tercampur dengan tanah sawah secara merata dan tidak terbuang
terbawa aliran air. Penggaruan selain untuk makin memperhalus butiran
tanah sehingga menjadi lumpur juga sekaligus bertujuan untuk meratakan
lahan. Jumlah kompos yang cukup ideal adalah sebanyak 1 kg untuk setiap 1
m2 luas lahan.
Perataan lahan merupakan proses yang sangat penting karena lahan
harus benar-benar rata dan datar sehingga akan memudahkan dalam
pengaturan air nantinya sesuai dengan keperluan. Selanjutnya area
penanaman padi dibuat dalam baris-baris atau petakan yang dipisahkan
dengan jalur pengairan dengan lebar petakan sekitar 2 m agar memudahkan
dan meratakan rembesan air ke seluruh area tanaman padi selain untuk lebih
memudahkan saat penanaman dimana petani yang melakukan penanaman
posisinya berada di saluran air di kedua sisi petakan.
Pekerjaan terakhir di lahan untuk persiapan penanaman adalah
pembuatan tanda lokasi penanaman bibit yang berjarak minimal 25 cm atau
lebih (pencaplakan). Dengan teraturnya penanaman padi akan memudahkan
dalam penyiangan secara mekanis pada waktu pemeliharaan. Penandaan
titik penanaman ini selain dengan membuat garis-garis di tanah
menggunakan alat yang bisa dibuat secara sederhana dari kayu atau bambu
dapat juga menggunakan tali yang diberi tanda.
Penanaman bibit
Pada pola tanam SRI benih diperlakukan dengan lembut dan hatihati. Bibit yang ditanam di persemaian sawah atau ladang tidak boleh diambil
dengan cara dicabut atau ditarik tetapi dengan cara di keduk bagian bawah
tanahnya sehingga tanahnya ikut terbawa.
Sejumlah bibit ini dikumpulkan dalam suatu wadah misalkan pelepah
pisang, bambu atau lainnya untuk di bawa ke tempat penanaman.
Pemindahan harus dilakukan secepat mungkin dalam waktu sekitar 30 menit
atau lebih baik lagi dalam waktu 15 menit untuk menghindari trauma dan
shok. Untuk bibit yang ditanam menggunakan wadah akan lebih mudah
membawanya ke tempat penanaman. Bibit dipilih yang sehat diantara cirinya
adalah lebih tinggi/ besar dan daunnya lebih tegak ke atas atau daunnya
30
tidak terlalu terkulai. Penanaman padi dilakukan secara dangkal dan hanya
cukup satu sampai 3 bibit untuk satu titik. Bibit ditanamkan dengan
menggesernya di atas permukaan tanah, yang lebih mudah menggunakan
jari jempol dan telunjuk. Sisa dari bibit dapat ditanam tunggal dibagian terluar
diantara tanaman padi lainnya dari tiap petakan sebagai cadangan bila di
kemudian hari ada tanaman yang tidak baik tumbuhnya. Penyulaman
dilakukan menggunakan tanaman yang disiapkan sebagai cadangan di
antara tanaman utama atau mengambil dari rumpun yang sewaktu ditanam
berasal dari 2 atau 3 bibit.
Perawatan tanaman
Tanaman padi yang terawat akan memberikan hasil panen yang jauh
lebih baik daripada padi di sawah yang biarkan begitu saja. Air diatur agar
hanya macak-macak atau mengalir di saluran air saja, perendaman lahan
selama beberapa saat dilakukan bila lahan sawah terlihat kering dan adanya
retakan halus pada tanah.
Penanganan gulma dilakukan dengan penyiangan mekanis sampai
gulma tersebut tercabut dari tanah untuk kemudian dibenamkan
menggunakan tangan atau kaki sedalam mungkin agar tidak mampu tumbuh
lagi. Dari setiap proses penyiangan mekanis ini dapat diharapkan nantinya
ada penambahan hasil panen satu atau bahkan dua ton per hektarnya
sehingga nilai tambah dari penyiangan ini sebenarnya cukup tinggi. Sebelum
penyiangan tanah sebaiknya direndam untuk melunakkan tanah dan setelah
dilakukan penyiangan air kembali dibuang dan sawah dalam keadaan macakmacak. Untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik dari gulma
maka perlu dilakukan penyemprotan MOL (mikro-organisma lokal) setelah
proses penyiangan.
Penyemprotan MOL di arahkan ke tanah bukan ke tanaman karena
maksudnya adalah penambahan jumlah bakteri pengurai ke dalam tanah
untuk melakukan proses dekomposisi bahan organik. MOL ini dapat juga di
campur dengan pupuk organik cair (POC) untuk memberikan tambahan
unsur hara ke dalam tanah. Konsentrasi larutan untuk penyemprotan baik
MOL, POC maupun campuran MOL dan POC jangan terlalu pekat untuk
menghindari terjadinya proses dekomposisi yang berlebihan pada tanah yang
mengakibatkan akan menguningnya tanaman untuk sementara karena unsur
N yang ada dipergunakan oleh bakteri pengurai untuk aktivitasnya. Proses
dekomposisi yang berlebihan pun akan terjadi bila menggunakan pupuk
kandang atau daun-daunan segar secara langsung ke sawah tanpa proses
pengkomposan di luar sawah sehingga tidak baik bila diaplikasikan pada
sawah yang sudah ada tanaman padinya. Oleh karenanya resiko
penggunaan MOL atau POC yang berlebihan atau terlalu pekat tetap ada
tetapi jauh lebih ringan daripada penggunaan bahan kimia. Untuk lahan
sawah yang penggunaan komposnya di bawah jumlah ideal sebaiknya
pemakaian POC di tingkatkan jumlahnya. Interval penyiangan mekanis
normalnya dilakukan setiap 10 hari sekali tetapi harus segera dilaksanakan
bila ada indikasi pertumbuhan gulma sebelum gulma ini semakin tinggi
sehingga semakin sulit dihilangkan. Penyemprotan POC kaya N dapat
31
dilakukan pada usia padi 20 hari setelah semai (hss), 30 hss, 40 hss dan 50
hss. Namun penyemprotan POC kaya N ini dapat dilakukan kapanpun juga
bila diperlukan pada kondisi padi terlihat mengalami kahat/kekurangan N
dengan gejala daun menguning terutama antara 40 hss – 60 hss. Gabungan
POC kaya P dan K disemprotkan 2 atau 3 kali saat padi sudah memasuki
usia sekitar 70 hss untuk memperbaiki kualitas pengisian gabah dengan
interval penyemprotan 10 hari. Frekuensi penyemprotan POC dapat
disesuaikan dengan kondisi di lapangan berdasarkan pengamatan dari
pertumbuhan tanaman. Penyemprotan POC atau MOL harus dilakukan
dalam kondisi lahan tidak tergenang dan diusahakan pada saat padi mulai
berbunga penyemprotan POC sudah dihentikan agar tidak mengganggu
proses penyerbukan.
Penanganan organisma pengganggu tanaman (OPT) berupa
hama/penyakit dilakukan dengan penggunaan atau penyemprotan pestisida
nabati/pestisida organik lokal (POL) yang diarahkan ke tanaman.
Penyemprotan dapat dilakukan sebagai usaha preventif/pencegahan secara
berkala ataupun untuk penanggulangan.
Saat mulai muncul malai lahan digenangi air setinggi sekitar 1 – 2 cm
dari permukaan tanah secara terus menerus sampai saat padi sudah mulai
terisi. Aliran air kemudian dihentikan samasekali atau lahan dikeringkan
seterusnya ketika bulir padi sudah terisi.
Pemanenan
Panen dilakukan saat padi mencapai umur panen sesuai deskripsi
untuk masing-masing varietas dihitung dari saat tebar/semai di penyemaian
atau sekitar 30-35 hari setelah berbunga atau ketika sekitar 90% padi sudah
menguning. Hindari pemanenan pada saat udara mendung atau gerimis.
Dengan pola tanam Model SRI hasil panen padi dimungkinkan mencapai 6,
8, 10 bahkan 15 ton per hektar atau bahkan lebih dari itu. Pola tanam SRI
mengubah struktur tanaman padi yaitu kerapatan serta jumlah akar dan
anakan dengan merubah cara-cara dalam pengaturan tanaman padi, tanah
tempat tanaman tersebut tumbuh dan air yang diterima tanaman melalui
irigasi sehingga tanaman padi dapat lebih produktif. Agar tanaman padi
menjadi lebih produktif, diperlukan :
• Lebih banyak anakan per tanaman;
• Lebih banyak anakan subur (malai);
• Lebih banyak bulir per malai, dan;
• Bulir padi yang lebih besar dan padat.
Prinsip Penanaman SRI :
• Penanaman Bibit Muda;
• Penanaman Bibit Tunggal dan Jarak Antar Tanaman Yang Lebar;
• Penanaman Segera Untuk Menghindari Trauma Pada Bibit;
• Penanaman Dangkal;
• Lahan Sawah Tidak Terus Menerus Direndam Air;
• Penyiangan Mekanis;
• Menjaga Keseimbangan Biologi Tanah.
32
33
BUDIDAYA PADI SAWAH TANPA OLAH TANAH
Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP Irian Jaya No. 143/95
Diterbitkan oleh: Balai Informasi Pertanian Irian Jaya
Jl. Yahim – Sentani – Jayapura, Januari 1995, Aqdex: 570
Pendahuluan
Sistem tanpa olah tanah merupakan bagian dari konsep olah tanah
konservasi yang mengacu kepada suatu sistem olah tanah yang melibatkan
pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma. Budidaya pertanian tanpa olah
tanah sebetulnya berangkat dari corak pertanian tradisional yang
dimodifikasikan, dengan memasukkan unsur kimiawi untuk mengendalikan
gulma, dalam hal ini herbisida. Persiapan lahan cukup dilakukan dengan
penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu direbahkan selanjutnya
dibenamkan dalam lumpur.
Manfaat
1. Menghemat waktu, tenaga kerja dan biaya untuk persiapan lahan
karena menggunakan herbisida untuk pengendalian gulma.
2. Meningkatkan intensitas tanam hingga lebih dari 2 musim tanam.
3. Menjamin usaha tani berkelanjutan karena teknologi tanpa olah
tanah merupakan bagian dari sistem pertanian konservasi.
4. Terbukti mampu memberikan hasil panen yang minimal sama
dengan system oleh tanah sempurna.
Jenis Herbisida Yang Digunakan
1. Polaris 240 AS dosis 5 - 7 1/Ha
2. Roundup dosis 5 - 5 1/Ha
3. Basmilang dosis 5 - 7 1/Ha
4. Klee Up 480 AS dosis 5 - 7 1/Ha
Budidaya Tanaman
1. Lahan sawah yang akan dimanfaatkan untuk usaha tani padi
tanpa olah tanah dikeringkan dengan membuka saluran air keluar
dan menutup saluran air kedalam lahan sawah.
2. Buatlah persemaian dengan ukuran 4 x 4 m dan selanjutnya benih
disemaikan.
3. Seminggu setelah penyemaian benih, lahan sawah disemprotkan
herbisida.
4. Lima hari setelah penyemprotan, masukkan air ke sawah dan jaga
ketinggian air sekitar 2 - 5 cm dan biarkan air itu selama 5 - 10
hari.
5. Lakukan persiapan tanah dengan membabat atau merebahkan
selanjutnya membenamkan sisa singgang dan gulma ke dalam
lumpur.
34
6. Umur 21 hari bibit padi ditanam dengan jarak tanam 15 x 20 cm
diikuti dengan pemupukan Urea 250 kg/Ha, TSP 100 kg/Ha dan
KCL 100 kg/HA.
7. Pada umur 80 - 110 hari dapat dipanen dengan menganjurkan
agar memotong padi ketinggian 20 cm. Hal ini dimaksudkan agar
penanaman berikutnya setelah penyemprotan dapat memudahkan
singgang dibenam dalam lumpur.
8. Untuk penanaman berikut biarkan singgang dan gulma tumbuh
selama 1-2 minggu selanjutnya semprotkan Herbisida dan lakukan
pekerjaan seperti urutan di atas.
Padi sawah tanpa olah tanah merupakan salah satu alternatif yang
patut dikaji, apalagi selain hemat air dan hemat tenaga, sistem ini juga
memiliki kelebihan lain seperti hemat waktu, hemat biaya, dan tanam
serempak.
Salah satu teknologi yang diterapkan pada budidaya padi sawah yaitu
sistem tanpa olah tanah (TOT). Dalam sistem TOT, kehadiran gulma tidak
dapat dielakkan. Persiapan lahan sebagai pengganti pengolahan tanah harus
dilakukan dengan baik agar tanaman dapat tumbuh bagus dan berproduksi
tinggi.
35
BUDIDAYA KACANG TANAH TANPA OLAH TANAH
Pada lahan sawah musim kemarau (Musim Gadu)
(sumber:http://202.43.189.41/web/diperta-ntb/data_base2/
budidaya_kctanah_tot.htm)
PEDOMAN TEKNIS
Persyaratan Tumbuh:
Kacang tanah dapat dibudidayakan di lahan kering (tegalan) maupun
di lahan sawah setelah padi. Kacang tanah dapat ditanam pada tanah
bertekstur ringan maupun agak berat, yang penting tanah tersebut dapat
mengatuskan air sehingga tidak menggenang. Akan tetapi, tanah yang paling
sesuai adalah tanah yang bertekstur ringan, drainase baik, remah, dan
gembur.
Di tanah berat (lempung), bila terlalu becek, tanaman mati atau tidak
berpolong. Dalam kondisi kering, tanah lempung juga terlalu keras, sehingga
ginofor (calon polong) tidak dapat masuk dalam tanah, perkembangan polong
terhambat dan pada saat panen banyak polong tertinggal dalam tanah. Pada
tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi (>2%) polong yang
dihasilkan berwarna kehitaman sehingga menjadi kurang menarik.
Kacang tanah masih dapat berproduksi dengan baik pada tanah yang
berpH rendah atau tinggi. Tetapi pada pH tanah tinggi (7,5–8,5) kacang tanah
sering mengalami klorosis, yakni daun-daun menguning. Apabila tidak diatasi,
polong menjadi hitam dan hasil menurun hingga 40%.
Tanaman tumbuh baik pada ketinggian 0 - 500 m dpl. Struktur tanah
gembur dan drainase baik. Keasaman (pH) tanah antara 6-6.5 Dalam masa
pertumbuhan memerlukan cahaya matahari yang cukup. Tanaman yang
masih muda membutuhkan air cukup untuk pertumbuhan dan setelah
berumur 2,5 bulan pemberian air dikurangi.
Benih :
Varietas unggul yang dianjurkan antara lain : Gajah, Macan, Banteng,
Kidang, Tapir. Varietas-varietas ini tahan terhadap penyakit layu, karat dan
bercak daun.
Penyiapan lahan :
Lahan bekas penanaman padi tidak perlu diolah Buat saluran drainase
berjarak 3-4 meter membujur searah dengan barisan tanaman. Lebar saluran
30 cm dan dalam 25 cm.
Waktu Tanam
Penanaman dilaukan segera setelah panen padi, yaitu tidal kebih dari 7 hari
setelah panen. Perlu diupayakan supaya penanaman tanaman dilakukan
serentak pada suatu hamparan.
Cara Tanam
Biji ditugalkan dengan kedalaman 3 cm Jumlah biji per lobang : 2 butir Jarak
tanam 40 x 20 cm atau 30 x 20 cm
36
Pemeliharaan
1.
Pemupukan
Dosis pemupukan yang dianjurkan setiap hektar adalah : Urea= 50 kg, Sp-36
= 112,5 kg dan KCl = 50 kg. Pupuk diberikan pada umur 10-15 hari setelah
tanam dengan cara ditebar pada larikan antara barisan. Semua pupuk
diberikan sekaligus.
2.
Pengairan
Tanaman kacang tanah perlu diari sampai umur 2,5 bulan, yaitu mulai dari
fase berkecambah sampai dengan fase pengisian polong. Pemberian air
dilakukan tiap 2 minggu sekali.
3.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan pada umur 3 minggu dan 6 minggu setelah tanam.
Jangan melakukan penyiangan pada saat tanaman sedang berbunga karena
dapat mengganggu proses pembuahan.
4.
Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit hendaknya dengan prinsip pengendalian
terpadu.
Hama yang sering menyerang adalah :
o Penggerek daun (Stomopteryx subsecivella)
o Pengisap daun (Empoasca)
o Kutu daun/Tungau (Tetranychus bimaculatus)
Penyakit yang sering menyerang :
o Penyakit layu (Bacterial wilt)
o Bercak daun (Leaf spot)
o Sapu (Virus)
o Mosail (Mozaik disease)
o Cendawan akar (Sclerotical blight)
Panen
Tanaman kacang tanah sudah bisa dipanen pada umur 100-110 hari dengan
tanda-tanda : kulit polong mengeras dan berwarna kehitaman, polong berisi
penuh, kulit biji tipis mengkilat dan tidak berair, sebagian besar daun telah
rontok.
Analisa Ekonomi (Hasil Studi Kasus)
Produksi yang dicapai dari hasil penerapan teknologi anjuran budidaya
kacang tanah tanpa oleh tanah setelah padi sawah yang dilaksanakan pada
MK II tahun 1995 di lahan Kelompok Tani Pancor Tunas Urip, Desa Bonjeruk,
Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah mencapai rata-rata 3,2 ton polong
kering per hektar dengan analisa biaya dan keuntungan sebagai berikut :
37
1.
Biaya produksi per hektar :
a. Benih 200 kg @ Rp. 1.200 = Rp. 240.000,b. Pupuk :
 Urea 50 kg @ Rp. 260,= Rp. 13.000, SP-36, 112,3 kg @ Rp. 420,= Rp. 47.250, KCl 50 kg @ Rp. 420,= Rp. 21.000,c. Pembuatan saluran drainase 20 HKSP @ Rp. 2000 = Rp. 40.000,d. Penanaman 23 HKSP @ Rp. 2000 = Rp. 40.000,e. Pemupukan 4 HKSP @ Rp. 2000,- = Rp. 8.000,f. Penyiangan I + II, 40 HKSP @ Rp. 2000,Rp. 80.000,g. Panen dan prosesing 75 HKSP @ Rp. 2000,- Rp. 150.000,Jumlah (1)
= Rp. 645.250,2. Biaya tetap
a. Sewa tanah
= Rp. 450.000,b. Iuran, pajak, penyusutan, bunga dan lain-lain = Rp. 143.295,Jumlah (2)
= Rp. 593.295,Total biaya (1 + 2)
= Rp. 1.238.545
3. Nilai produksi (3.200 kg x Rp. 1.100) = Rp. 3.520.000,4. Pendapatan bersih usahatani (nilai produksi dikurangi biaya produksi)
= Rp. 2.281.455,5. B/C ratio = 2,84
38
Teknologi Produksi Kacang Hijau pada lahan sawah
Musim Gadu
(Sumber: Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute.
2011. Jl. Raya Kendalpayak km 8, PO Box 66 Malang 65101, Telp. (0341)
801468 Fax. (0341) 801496 E-mail: [email protected])
Kacang hijau (Vigna radiata) dapat ditanam di lahan sawah pada
musim kemarau atau di lahan tegalan pada musim hujan. Di tingkat petani,
rata-rata produktivitas baru mencapai 0,9 ton/ha. Dengan teknik budidaya
yang tepat hasilnya dapat mencapai 2 ton/ha. Saat ini tersedia pilihan
varietas unggul kacang hijau yang beragam baik ukuran bijinya (besar atau
kecil), dan kulit biji yang hijau kusam atau mengkilat. Pemilihan varietas
hendaknya disesuaikan dengan permintaan pasar.
1.



2.



3.





4.

Benih dan Varietas
Semua varietas kacang hijau yang telah dilepas cocok ditanam di
lahan sawah maupun tegalan.
Varietas unggul yang tahan penyakit embun tepung dan bercak
daun seperti Sriti, Kutilang, Perkutut, dan Murai dapat dianjurkan
untuk ditanam pada daerah endemik.
Kebutuhan benih sekitar 20 kg/ha dengan daya tumbuh 90%.
Penyiapan Lahan
Pada lahan bekas padi, tidak perlu dilakukan pengolahan tanah
(Tanpa Olah Tanah = TOT). Tunggul padi perlu dipotong pendek.
Apabila tanah becek maka perlu dibuat saluran drainase dengan
jarak 3–5 m.
Untuk lahan tegalan atau bekas tanaman palawija lain (jagung)
perlu pengolahan tanah:
o pembajakan sedalam 15–20 cm, dihaluskan dan diratakan.
o saluran irigasi dibuat dengan jarak 3–5 m.
Cara Tanam
Tanam dengan sistem tugal, dua biji/lubang.
Pada musim hujan, digunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm
sehingga mencapai populasi 300–400 ribu tanaman/ha.
Pada musim kemarau digunakan jarak tanam 40 cm x 10 cm
sehingga populasinya sekitar 400–500 ribu tanaman/ha.
Pada bekas tanaman padi, penanaman kacang hijau tidak boleh
lebih dari 5 hari sesudah padi dipanen.
Penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur tidak lebih
dari 7 hari.
Pemupukan
Untuk lahan yang kurang subur, tanaman dipupuk 45 kg Urea +
45–90 kg SP36 + 50 kg KCl/ha yang diberikan pada saat tanam
secara larikan di sisi lubang tanam sepanjang barisan tanaman.
39


5.

6.


7.



8.



9.
Bahan organik berupa pupuk kandang sebanyak 15–20 ton/ha
dan abu dapur sangat baik untuk pupuk dan diberikan sebagai
penutup lubang tanam.
Di lahan sawah bekas padi yang subur, tanaman kacang hijau
tidak perlu dipupuk maupun diberi bahan organik.
Mulsa Jerami
Untuk menekan serangan hama lalat bibit, pertumbuhan gulma,
dan penguapan air, jerami padi sebanyak 5 ton/ha dapat diberikan
sebagai mulsa.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan dua kali pada saat tanaman berumur 2 dan
4 minggu.
Pada daerah yang sukar mendapatkan tenaga kerja dapat
digunakan herbisida pra-tumbuh non-selektif seperti Lasso,
Roundup, Paraquat, Dowpon, atau Goal dengan takaran 1–2
liter/ha yang diberikan 3–4 hari sebelum tanam.
Pengairan
Bila tersedia fasilitas pengairan, dapat dilakukan pengairan pada
periode kritis kacang hijau terhadap ketersediaan air yaitu saat
menjelang berbunga (umur 25 hari) dan pengisian polong (45–50
hari). Pengairan diberikan melalui saluran antarbedengan.
Pada daerah panas dan kering (suhu udara 30–31 oC dan
kelembaban udara 54–62%) pertanaman perlu diairi dua kali pada
umur 21 hari dan 38 hari. Sedangkan untuk daerah yang tidak
terlalu panas dan kering, pengairan cukup diberikan satu kali pada
umur 21 hari atau 38 hari.
Bila ditanam segera setelah padi sawah yang tanahnya Vertisol
(lempung), pengairan tidak perlu diberikan, karena walaupun
lapisan atas tanah ini sangat keras dan retak-retak (“nelo” bhs
Jawa), namun di bagian bawahnya masih menyimpan air yang
cukup bagi pertanaman kacang hijau sampai panen.
Pengendalian Hama
Hama utama kacang hijau adalah lalat kacang Agromyza phaseoli,
ulat jengkal Plusia chalcites, kepik hijau Nezara viridula, kepik
coklat Riptortus linearis, penggerek polong Maruca testutalis dan
Etiella zinckenella, dan kutu Thrips.
Pengendalian hama dapat dilakukan dengan insektisida, seperti:
Confidor, Regent, Curacron, Atabron, Furadan, atau Pegassus
dengan dosis 2–3 ml/liter air dan volume semprot 500–600 liter/ha.
Pada daerah endemik lalat bibit Agromyza phaseoli perlu tindakan
perlakuan benih dengan insektisida Carbosulfan (10 g/kg benih)
atau Fipronil (5 cc/kg benih).
Pengendalian Penyakit
40




Penyakit utama adalah bercak daun Cercospora canescens,
busuk batang, embun tepung Erysiphe polygoni, dan penyakit
puru Elsinoe glycines.
Pengendalian dapat dilakukan dengan penyemprotan fungisida
seperti: Benlate, Dithane M-45, Baycor, Delsene MX 200 atau
Daconil pada awal serangan dengan dosis 2 g/l air.
Penyakit embun tepung Erysiphe polygoni sangat efektif
dikendalikan dengan fungisida hexakonazol yang diberikan pada
umur 4 dan 6 minggu.
Penyakit bercak daun efektif dikendalikan dengan fungisida
hexakonazol yang diberikan pada umur 4, 5 dan 6 minggu.
10. Panen dan Pascapanen
 Panen dilakukan apabila polong berwarna hitam atau coklat.
 Pemanenan umumnya dilakukan dengan cara dipetik. Namun,
varietas-varietas unggul kacang hijau yang ditanam dengan teknik
budi daya dan pengairan yang tepat, akan masak serempak (³
80%) sehingga dapat juga dipanen dengan sabit.
 Polong segera dijemur selama 2–3 hari hingga kulit mudah
terbuka.
 Pembijian dilakukan dengan cara dipukul, sebaiknya di dalam
kantong plastik atau kain untuk menghindari kehilangan hasil.
 Biji dijemur lagi sampai kering simpan yaitu kadar air mencapai 8–
10%.
Varietas Unggul Kacang Hijau
Kenari
Perkutut
Potensi hasil 1,8
t/ha
Potensi hasil 1,7 t/ha
Umur panen 60–
65 hari
Umur panen 60 hari
Biji besar (6,7
g/100 biji)
Biji sedang (5,0
g/100 biji)
hijau mengkilat
hijau mengkilat
Agak tahan
penyakit bercak
daun
Tahan penyakit
embun tepung
toleran penyakit
karat daun
Agak tahan bercak
daun
Sampeong
Kutilang
Potensi hasil 1,8
t/ha
Potensi hasil 2,0 t/ha
Umur panen 70–75
hari
Umur panen 60–67
hari
Biji sangat kecil
(2,5–3,0 g/100 biji)
Biji besar (6,0 g/100
biji)
hijau mengkilat
hijau mengkilat
Agak tahan embun
tepung
Tahan penyakit
embun tepung
Agak tahan bercak
41
daun
Sesuai untuk
kecambah
Sriti
Murai
Potensi hasil 1,9
t/ha
Potensi hasil 1,7 t/ha
Umur panen 60–
65 hari
Umur panen 63 hari
Biji besar (6,0–6,5
g/100biji)
Biji besar (6,0 g/100
biji)
hijau kusam
hijau kusam
Toleran penyakit
embun tepung
tahan penyakit
bercak daun
Toleran penyakit
bercak daun
VIMA-1
BETET
Potensi hasil 1,5
t/ha
Potensi hasil 1,76
t/ha
Umur panen 58–
60 hari
Umur panen 57 hari
Biji sedang (5,8
g/100 biji)
Biji besar (6,3 g/100
biji)
hijau kusam
hijau kusam
Tahan lalat
kacang
Tahan penyakit
embun tepung
Toleran penyakit
kudis
rasa enak dan cepat
lunak
42
Teknologi Produksi Kedelai untuk Lahan Sawah Musim Gadu
(Sumber: Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute.
2011. Jl. Raya Kendalpayak km 8, PO Box 66 Malang 65101, Telp. (0341)
801468 Fax. (0341) 801496 E-mail: [email protected])
Di lahan sawah, kedelai umumnya ditanam pada musim kemarau
setelah pertanaman padi. Sedangkan di lahan kering (tegalan) kedelai
umumnya ditanam pada musim hujan. Badan Litbang Pertanian melalui Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) telah
merakit teknologi produksi kedelai untuk lahan sawah dan lahan kering, dan
lahan pasang surut tipe C dan D yang diharapkan dapat meningkatkan
produksi dan keuntungan usahatani. Dengan penggunaan varietas unggul
baru yang sesuai dan teknologi yang tepat, hasil kedelai dapat mencapai
lebih dari 2,0 t/ha.
Varietas dan Benih Unggul
1.



2.




Varietas Unggul
Semua varietas unggul sesuai untuk lahan sawah.
Pilih varietas unggul yang memenuhi sifat-sifat yang diinginkan:
ukuran bijinya besar atau kecil, kulit bijinya kuning atau hitam,
toleransinya terhadap hama/penyakit dan kondisi lahan.
Dengan teknik budidaya yang tepat, semua varietas unggul dapat
menghasilkan dengan baik, di lahan kering atau pasang surut.
Benih
Benih murni dan bermutu tinggi merupakan syarat terpenting
dalam budidaya kedelai. Benih harus sehat, bernas, dan daya
tumbuh minimal 85%, serta bersih dari kotoran.
Bila mungkin, gunakan benih berlabel dari penangkar benih.
Apabila menggunakan benih sendiri, sebaiknya benih berasal dari
pertanaman yang seragam (tidak campuran).
Di daerah endemik serangan lalat bibit, sebelum ditanam, benih
perlu diberi perlakuan (seed treatment) dengan insektisida
berbahan aktif karbosulfan (misalnya Marshal 25 ST) takaran 5–10
g/kg benih.
Kebutuhan benih bergantung pada ukuran benih dan jarak tanam
yang digunakan. Untuk benih ukurankecil–sedang (9–12 g/100
biji), diperlukan 55–60 kg/ha, sedang untuk benih ukuran besar
(14–18 g/100 biji) dibutuhkan 65–75 kg/ha.
Pengelolaan Tanah dan Tanaman DI Lahan Sawah
1.


Penyiapan Lahan
Tanah bekas pertanaman padi tidak perlu diolah (tanpa olah tanah
= TOT), namun jerami padi perlu dipotong pendek.
Saluran drainase/irigasi dibuat dengan kedalaman 25–30 cm dan
lebar 20 cm setiap 3–4 m. Saluran ini berfungsi untuk mengurangi
43

2.



3.

kelebihan air bila lahan terlalu becek, dan sebagai saluran irigasi
pada saat tanaman perlu tambahan air.
Pada lahan yang baru pertama kali ditanami kedelai, benih perlu
dicampur dengan rhizobium. Apabila tidak tersedia inokulan
rhizobium (seperti Rhizoplus atau Legin), dapat digunakan tanah
bekas tanaman kedelai yang ditaburkan pada barisan tanaman.
Penanaman
Benih kedelai ditanam dengan tugal, kedalaman 2–3 cm.
Jarak tanam: 40 cm x 10–15 cm, 2 biji/lubang.
Untuk menghindari kekurangan air, sebaiknya kedelai ditanam
tidak lebih dari 7 hari setelah tanaman padi dipanen.
Pemupukan
Pada sawah yang subur atau bekas padi yang dipupuk dengan
dosis tinggi tidak perlu tambahan pupuk NPK. Sedangkan untuk
sawah dengan kesuburan sedang dan rendah takaran pupuk yang
digunakan adalah sebagai berikut.
Jenis dan dosis
pupuk organik
Tanpa jerami/pupuk kandang
Jenis pupuk
anorganik
Urea
SP36
KCl
Dosis pupuk anorganik (kg/ha)
untuk tanah
untuk tanah
kurang subur
cukup subur
50–75
25–50
75–100
50–75
100
100
5 ton jerami per hektar
Urea
SP36
KCl
2 ton pupuk kandang per hektar
Urea
SP36
KCl
50
75–100
75
25
50–75
75
25
50–75
75
25
50
50
44
4.



Penggunaan mulsa jerami padi
Bila dianggap perlu gunakan jerami sebanyak 5 ton/ha sebagai
mulsa dengan cara dihamparkan merata, ketebalan <10 cm.
Mulsa bermanfaat untuk mengurangi pertumbuhan gulma,
sehingga penyiangan cukup satu kali, yakni sebelum tanaman
berbunga. Penggunaan mulsa juga dapat menekan serangan lalat
bibit, dan kehilangan air tanah.
Untuk daerah yang tidak banyak gangguan gulma dan tidak
berpotensi menimbulkan kebakaran, maka jerami boleh dibakar
sebagai sumber pupuk K. Pembakaran jerami segera setelah
kedelai ditanam tugal, apabila dilakukan dengan tepat, dapat lebih
menyeragamkan pertumbuhan awal kedelai.
5. Pengairan
Umumnya budidaya kedelai tidak perlu pengairan, tetapi tanaman
kedelai sangat peka terhadap kekurangan air pada awal
pertumbuhan, pada umur 15–21 hari, saat berbunga (umur 25–35
hari), dan saat pengisian polong (umur 55–70 hari). Pada fase-fase
tersebut tanaman harus dijaga agar tidak kekeringan.
Pengelolaan Tanah dan Tanaman di Lahan Kering Masam
1.


Penyiapan Lahan
Pengolahan tanah dilakukan sekali hingga dua kali (tergantung
kondisi tanah).
Jika curah hujan masih cukup tinggi perlu dibuat saluran drainase
setiap 4 m, sedalam 20–25 cm, sepanjang petakan.
45

Pada lahan yang baru pertama kali ditanami kedelai, benih perlu
dicampur dengan rhizobium. Apabila tidak tersedia inokulan
rhizobium (seperti Rhizoplus atau Legin), dapat digunakan tanah
bekas pertanaman kedelai yang ditaburkan pada barisan tanaman
kedelai.
2. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan tugal, dengan jarak tanam 40 x 15 cm
atau 30 x 20 cm, 2 biji/lubang.
3.




4.




Pengapuran
Kapur atau dolomit perlu diberikan dengan takaran ½ dari Al-dd
(Aluminium yang dapat dipertukarkan); di berbagai daerah
umumnya 1–1,5 ton/ha. Dolomit selain meningkatkan pH, juga
menambah kandungan Ca dan Mg. Informasi kadar Al-dd dapat
diperoleh dari petugas pertanian setempat.
Jika disertai pemberian pupuk kandang 2,5 ton/ha, maka takaran
pengapuran cukup 1/4 dari Al-dd (500–750 kg dolomit/ha).
Dolomit disebar rata bersamaan dengan pengolahan tanah kedua
atau paling lambat 2–7 hari sebelum tanam.
Jika diaplikasikan dengan cara disebar sepanjang alur baris
tanaman, maka takaran dolomit dapat dikurangi menjadi hanya 1/3
dari takaran semula.
Pemupukan dan pengendalian gulma
Pupuk NPK diberikan dengan takaran 75 kg Urea, 100 kg SP36
dan 100 kg KCl per hektar. Semua pupuk tersebut paling lambat
diberikan pada saat tanaman berumur 14 hari.
Penyiangan perlu dilakukan dua kali pada umur 15 dan 45 hari.
Pengendalian gulma secara kimia dengan herbisida dapat
dilakukan sebelum pengolahan tanah atau setelah tanam dengan
syarat benih ditutup dengan tanah pada saat tanam dan herbisida
yang digunakan adalah jenis kontak.
Bersamaan penyiangan pertama sebaiknya dilakukan pembumbunan tanaman.
46
DAFTAR PUSTAKA
Basu, D.N. and Guha, G.S. 1996. Agro-climatic regional planning in India, pp
330, Concept Publishing Co., New Delhi, India.
Bouman B.A.M., Kropff M.J., Tuong T.P., Wopereis M.C.S., Ten Berge
H.F.M., Van Laar H.H. 2001. ORYZA2000: modeling lowland rice. Los
Baños and Wageningen: International Rice Research Institute and
Wageningen University and Research Centre. p 1-235.
Cassman KG. 1999. Ecological intensification of cereal production systems:
Yield potential, soil quality, and precision agriculture. In: National
Academy of Sciences colloquium ''Plants and Population: Is There
Time?'', Irvine, CA., December 5-6, 1998. Proc. Natl. Acad. Sci. USA:
p 5952-5959.
Cassman, K.G., S. Peng, D.C. Olk, J.K. Ladha, W. Reichardt, A. Dobermann,
and U. Singh. 1998.
Opportunities for increased nitrogen-use
efficiency from improved resource management in irrigated rice
systems . Agronomy Department, 279 Plant Science Building,
University of Nebraska, Lincoln, Nebraska 68583-0915, USA; The
International Rice Research Institute .
Evenson, C., Dierolf, T., and Yost, R. 1995. “Decreasing rice and cowpea
yields in alley cropping on a highly weathered Oxisol in West Sumatra,
Indonesia”. Agrofor. Syst. (31): 1-19.
Fairhurst, T. 2002. Rice Gross Margin Analysis. Bahan Pelatihan Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah. Sukamandi.
Fischer, K.S. 1998. Toward increasing nutrient-use efficiency in rice cropping
systems: the next generation of technology . International Rice
Research Institute . Elsevier Science B.V.
Fisher, K. 1998. IRRI’s Assessment of the System Of Rice Intensification
(SRI) in Madagaskar. Paper. International Rice Research Institute.
Los Banos. Philippine.
George, T., Magbanua, R., Garrity, D., Tubana, B. and Quiton, J. 2002.
“Rapid yield loss of rice cropped successively in aerobic soil”.
Agronomy Journal. (94): 981-989.
Georges T., Magbanua, R. Roder, W., Van Keer, K., Trebuil, G., Reoma, V.
2001. “Upland rice response to fertilization in Asia”. Agronomy
Journal. (93) :1362-1370. Lao-IRRI. 2001. Annual Technical Report.
Ghosh, S.P.1991. Agro-climatic zone specific research, Indian perspective
under NARP, pp 539. Indian Council of Agricultural Research, New
Delhi, India.
Kartaatmadja, S. dan A. Fagi. 2000. Pengelolaan Tanaman Terpadu: Konsep
dan Penerapan. Dalam. Makarim et al. (Eds). Tonggak Kemajuan
Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Stategi
Peningkatan Produksi Pangan. Simposium Penelitian Tanaman
Pangan IV. Bogor 22-24 November 999.
Maclean, J., Dawe, D., Hardy, B., and Hettel, G. eds. 2002. Rice Almanac.
Los Banos, Philippines: International Rice Research Institute. Bouake,
47
Cote d’Ivoire: West Africa Rice Development Association. Cali,
Columbia: International Center for Tropical Agriculture. Rome, Italy:
Food and Agriculture Organization. P. 253.
Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi
Produksi Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Narang, R.S. and Gill, M.S. 1994.Water management constraints in RiceWheat rotation in India. In proceedings of International conference
under wheat in heat stressed environments, Irrigated dry areas, warm
area rice-wheat farming system, held during 13–15 February 1993,
Dinajpur, Bangladesh, Vol. II, pp. 328-39.
Narang, R.S. and Gulati, H.S. 1992. Optimum cropping pattern for judicious
use of water resources. In proceedings of seminar on water resource
day, held on 30 April 1992. Punjab Agricultural University, Ludhiana,
Punjab, pp. 125–133.
Pradyumna Raj Pandey , Hemprabha Pandey and Mitsuhiro Nakagawa.
2009. ASSESSMENT OF RICE AND MAIZE BASED CROPPING
SYSTEMS FOR RURAL LIVELIHOOD IMPROVEMENT IN NEPAL.
The Journal of Agriculture and Environment Vol:10, Jun.2009
Technical Paper.
Pramono, J., S. Kartaatmadja, dan H. Supadmo. 200 . Efisiensi Pemanfaatan
Sumberdaya pada Usahatani Padi Sawah di Kab. Sragen, Jawa
Tengah. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian. Mataram, 30 – 3 Oktober 200 .
Prot, J., and Matias, D. 1995. “Effects of water regime on the distribution of
Meloidogyne graminicola and other root-parasitic nematodes in a rice
field toposequence and pathogenicity of M. graminicola on rice cultivar
UPL R15”. Nematologica. 41:219-228.
Puslitbangtan. 2000. Inovasi Teknologi Tanaman Pangan dalam
Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengembangkan Agribisnis.
Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Raintree, J., and Warner, K. 1986. “Agroforestry pathways for the
intensification of shifting cultivation”. Agroforestry Systems. 4:39-54.
Roder, W. 2001. Slash-and-burn rice systems in the hills of northern Lao
PDR: Description, challenges and opportunities. Los Banos,
Philippines: International Rice Research Institute. p. 201.
Roder, W., Maniphone, S., and Keoboulapha, B. 1998. “Pigeon pea for fallow
improvement in slash-and-burn systems in the hills of Laos?”.
Agroforestry Systems. 39: 45-57.
Sanchez, P. 1983. “Productivity of soils in rainfed farming systems: Examples
of longterm experiments”. p. 441-465. In Potential productivity of field
crops under different environments. Manila, Philippines: IRRI.
Stoop, W.A., N. Uphoff and A. Kasam. The system of rice intensification (SRI)
from Madagaskar: Reflection on possible significance for agriculture
research strategies. Paper. Un publised.
Suartha, I.G.D. 2002. Padi Hibrida Solusi Tepat dalam Menjawab Krisis
Pangan Nasional. Majalah Pertanian ABDI TANI. Vol.3/No. . Edisi X.
48
Sumarno dan Suyamto. 1998. Agroekoteknologi untuk keberlanjutan usaha
pertanian. Risalah Simposium Ketahanan Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono. 2000. Konsep usahatani ramah
lingkungan. Dalam. Makarim et al. (Eds). Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV. Tonggak Kemajuan Teknologi
Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategis Peningkatan
Paroduksi Pangan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Trosch, K. 2003. Highland rice paddy development in mountainous regions of
northern Lao PDR. Draft report. Swiss College of Agriculture.
Download