9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Dinamika Komunikasi Komunikasi merupakan kebutuhan manusia, setiap aspek kehidupan kita sehari-hari dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain. Komunikasi juga membantu kita untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Komunikasi juga dapat dimaknai sebagai keterhubungan proses menciptaan dan memaknai pesan yang mendatangkan respon (Griffin, 2011: 6). Definisi tersebut selanjutnya menuntun kita pada lima aktivitas dalam komunikasi, yaitu: 1) Pesan, merupakan inti dalam mempelajari komunikasi. Teks dalam buku, gambar visual dalam video, lirik lagu bahkan diam pun dapat digolongkan sebagai pesan. 2) Penciptaan pesan, menunjuk pada isi pesan yang dibangun, diciptakan, direncanakan, dibuat, dibentuk, dipilih, atau diadopsi oleh komunikator. 3) Pemaknaan pesan, bahwa pesan digunakan komunikator untuk menyampaikan makna yang akan ditangkap oleh komunikan. 4) Proses keterhubungan, komunikasi adalah proses yang saling berkaitan. Tidak hanya melibatkan hubungan dua orang atau lebih, tetapi juga mempengaruhi hubungan orang yang terlibat dalam komunikasi yang dilakukannya. 5) Tanggapan akan pesan, berkaitan dengan efek pesan yang dirasakan oleh penerimanya. Komunikasi dapat terjadi dalam diri seseorang, antara dua orang, di antara beberapa orang atau banyak orang. Komunikasi mempunyai tujuan tertentu. Artinya komunikasi yang dilakukan sesuai dengan keinginan dan kepentingan para pelakunya. Dalam kegiatan komunikasi sedikitnya harus terdapat tiga komponen, yaitu komunikator sebagai penyebar pesan, pesan yang disampaikan, dan komunikan sebagai penerima pesan. Berhasil tidaknya kegiatan komunikasi sangat tergantung pada ketiga komponen tersebut. 9 10 Komunikasi antarpribadi yang berkaitan dengan pertukaran makna di antara kedua belah pihak yang melakukan kegiatan komunikasi diungkapkan oleh Brooks dan Heath yakni interpersonal communication as,the process by which information, meanings and feelings are shared by persons through the exchange of verbal and nonverbal messages’. Berarti komunikasi antarpribadi sebagai suatu proses yang melibatkan pertukaran informasi, makna dan perasaan yang dibagikan komunikator pada orang lain melalui pesan verbal dan nonverbal (dalam Berry, 2007:12). Komunikasi antarpribadi menciptakan hubungan yang dinamis tidak statis. Hubungan telah menjadi sebuah subjek penting yang terkait dengan komunikasi interpersonal sejak tahun 1960-an (Littlejohn, 2011: 230). Hubungan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimaknai sebagai jaringan sosial yang terwujud karena interaksi antara individu tertentu. Hubungan yang terjalin bisa menghadapi berbagai masalah dan mempelajari hubungan bisa menjadi sebuah cara untuk menemukan jawaban bagi aspek-aspek masalah tersebut. Hubungan kita dengan orang lain tidak lepas dari konflik kepentingan atau pertentangan kekuatan-kekuatan mempengaruhi hubungan kita. Komunikasi membantu memahami perbedaan hubungan dan perubahan hubungan. Komunikasi terbentuk dari pola-pola interaksi berupa susunan perilaku respontif yang dinamis (Littlejohn, 2011: 229). Dinamika hubungan dimaknai sebagai proses hubungan yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah. Tantangan yang ada dalam setiap hubungan adalah mengantur perbedaannya. Tekanan antara pengungkapan dan privasi hanyalah salah satu contoh perbedaan yang kita miliki untuk berhasil dalam hubungan. Banyak kekuatan yang bertentangan memengaruhi hubungan kita dan bukan hal yang mudah untuk berhadapan dengan kekuatan – kekuatan tersebut. Kita sering kali merasa bingung tentang apakah kita harus mandiri atau bergantung, apakah kita harus memberikan sesuatu seperti adanya atau mengubahnya, apakah kita harus menjadi seorang individu atau menjadi bagian dari partner. Komunikasi dialektis mengupas bagaimana hubungan di definisikan melalui pengelolaan pertentangan 11 dan komunikasi dialogis mengupas cara-cara penanganan tekanan ini oleh pelaku komunikasi dalam sebuah hubungan (Baxter, 2004). Littejohn dalam membahas komunikator dalam usaha menjaga hubungan, mencakup siapa diri sebagai komunikator, sumber daya apa yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan, bagaimana perbedaan diri komunikator dengan komunikator lainnya dan bagaimana orang lain melihat perilaku komunikator (Littlejohn, 2011: 79). Sementara jika merujuk pada proses produksi pesan, unsur utama yang berkenaan dengan konsep ini adalah keberadaan pesan dan komunikator. Adanya komunikator dinyatakan sebagai subjek menyampaikan pesan kepada sasarannya. utama yang bertugas dalam Sebagai sebuah produk dari komunikator, Littlejohn (2011: 94) mengidentifikasikan konteks pesan ke dalam tiga kategori, yakni: message interpretation (interpretasi terhadap pesan informasi yang diterima); information organization (cara individu dalam mengelola informasi serta seberapa besar informasi mampu mempengaruhi sikap dan perilaku individu);dan judgement processes (penilaian dan evaluasi terhadap pesan informasi yang kita terima). Pesan yang akan disampaikan dalam berkomunikasi harus mempunyai menarik perhatian khalayak. Wilbur Schramm (1955) dalam Marhaeni (2009: 194) mengajukan syarat-syarat untuk berhasilnya pesan sebagai berikut: 1. Pesan harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga pesan itu dapat menarik perhatian sasaran yang dituju 2. Pesan haruslah menggunakan tanda-tanda yang didasarkan pada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga kedua pengertian bertemu. 3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi daripada sasaran dan menyarankan cara-cara untuk mencapai kebutuhan itu. 4. Pesan harus menyarankan sesuatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang layak bagi situasi kelompok di mana kesadaran pada saat digerakkan untuk memberikan jawaban yang dikehendaki 12 2. Teori Komunikasi Dialektis dan Dialogis (Relational Dialectics Theory) Teori komunikasi dialektis dan dialogis dikemukakan oleh Leslie Baxter. Asumsi dasar teori bahwa ketika kita berhubungan dengan orang lain pasti ada ketegangan-ketegangan atau konflik antar individu. Konflik tersebut terjadi ketika seseorang mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain atau disebut dengan hubungan mengalami kontradiksi dialektis (Baxter, 2009). Relational Dialectics Theory dari Baxter mengandung dimensi dialektis dan dialogis. Jika menyebutkan kata dialektis kita tidak dapat lepas dari dialektika Hegel yang berisi thesis (pro), antithesis (kontra) dan sintesa (solusi). Penyebaran informasi KB melibatkan kader KB dan calon akseptor KB. Hubungan antar partisipan berkembang melalui proses komunikasi yang kontradiktif terutama dalam konteks penerimaan program KB. Pemaknaan masing-masing individu terhadap program KB mungkin berbeda dan bahkan bertentangan. Dalam perbedaan ini justru makna dapat terbentuk. Tidak menutup kemungkinan dengan adanya dialog masing-masing individu dapat saling mengerti dan hubungan semakin dekat. Baxter memperkenalkan empat elemen dasar dalam perspektif dialektis (Baxter, 2008), yaitu: 1. totalitas (totality), mengakui adanya saling ketergantungan antara orang-orang dalam sebuah hubungan. 2. kontradiksi (contradiction), merujuk pada oposisi – dua elemen yang bertentangan. 3. perubahan (change), merujuk pada sifat berproses dan hubungan dan perubahan yang terjadi pada hubungan itu seiring dengan berjalannya waktu. 4. praksis (praxis), merujuk pada kapasitas manusia sebagai pembuat pilihan. Baxter mengemukakan tiga dialektik yang mempengaruhi hubungan (Griffin, 2009: 156-160) adalah: 1. otonomi dan koneksi (disebut juga Intergration and Separation) mengacu pada hasrat untuk menjadi mandiri dari orang-orang terdekat kita (significant others). Namun, di lain sisi kita juga ingin akrab dengan mereka. Dengan kata 13 lain, otonomi dan koneksi ini adalah ketegangan (tension) hubungan penting yang menunjukkan dualisme hasrat untuk menjadi akrab juga terpisah secara bersamaan. 2. keterbukaan dan proteksi (disebut juga Expression and Nonexpression) berfokus pada hasrat yang berkonflik, pertama, untuk bersikap terbuka dan rentan, membuka informasi personal kepada rekan hubungan kita dan kedua, bersikap strategis dan protektif dalam komunikasi. Posisi dialektik ini menonjolkan baik dai rasa hormat hingga ketulusan maupun penyembunyian. 3. kebaruan dan prediktabilitas (disebut juga Stability and Change) mengacu pada konflik kenyamanan stabilitas dan kesenangan akan perubahan. Posisi dialektika melihat keyakinan dan ketidakyakinan yang saling berpengaruh dalam hubungan. Baxter selanjutnya mengembangkan teori yang dia sebut generasi kedua komunikasi dialektis dan dialogisnya. second-generation relational dialectics positions the several meanings of ―dialogue‖ with more or less equal footing— dialogue as centripetal–centrifugal flux, dialogue as utterance, dialogue as aesthetic moment, dialogue as a critical sensibility (Baxter, 2004 dan Griffin, 2009), yaitu: 1. dialog sebagai proses yang membangun (Dialogue as a Constitutive Process) Baxter menyatakan, komunikasi menciptakan dan menyokong suatu hubungan. Jika praktik komunikasi suatu pasangan berubah, maka hubungan mereka pun berubah pula. Pandangan dialogis mempertimbangkan, perbedaan dan kesamaan pada orang-orang menjadi sama pentingnya. Perbedaan memusatkan pada apa arti dari perbedaan ini bagi pasangan dan bagaiman mereka bertindak atas arti-arti tersebut. Di lain sisi, persamaan akan sikapsikap, latar belakang, dam minat dapat merekatkan bersama orang-orang secara positif. 2. Dialog sebagai Aliran Dialektis (Dialogue as Dialectical Flux) seluruh kehidupan sosial merupaka produk dari ―penyatuan yang dikuasai kontradiksi dan penuh ketegangan dari dua hasrat yang berperang.‖ Eksistensi ini mengkontraskan serangan-serangan berarti bahwa mengembangkan dan 14 mempertahankan hubungan menjadi proses yang sulit ditebak, tidak bisa terselesaikan, dan tidak bisa dipastikan. 3. Dialog sebagai Momen Estetis (Dialogue as an Aesthetic Moment) Baxter menggambarkan sensasi timbal balik tersebut dari penyempurnaan, pelengkapan, atau keseluruhan di tengah pengalaman yang terfragmentasi tersebut tidak berlangsung lama. Namun, kenangan saat-saat yang indah dapat mendukung pasangan melalui turbulensi yang terjadi pada hubungan yang akrab. 4. Dialog sebagai Ungkapan (Dialogue as Utterance), Ungkapan digambarkan sebagai penghubung ekspresif yang membentuk rantai dialog. Oleh karena itu, ungkapan yang disetujui dipengaruhi kata-kata yang keluar sebelumnya dan kata-kata yang akan digunakan. Baxter menekankan pada apakah ungkapan memberi kepercayaan pada suara-suara kedua belah pihak dalam suatu hubungan atau tidak. 5. Dialog sebagai Sensibilitas Kritis (Dialogue as a Critical Sensibility) Suatu kewajiban untuk mengkritik suara yang dominan, khususnya mereka yang menekan pandangan-pandangan yang berlawanan 3. Konsep Diri Komunikator diyakini sebagai sumber dalam proses produksi pesan. Dalam penelitian ini, sisi kognitif komunikator dikaji menggunakan konsep diri untuk mendalami komunikasi dialektis kader KB. Konsep diri merupakan salah satu pembahasan dalam teori interaksionisme simbolik. George Herbert Mead, mengemukakan tiga konsep utama dalam interaksionisme simbolik yaitu mind (pikiran), self (diri pribadi), dan society (masyarakat) (Littlejohn, 2011: 232-235). Self (Diri) Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada diri sendiri layaknya memberi jawaban pada orang lain, merupakan situasi penting dalam perkembangan akal budi. Dan Mead juga berpendapat bahwa tubuh bukanlah riri, melinkan dia baru menjadi diri ketika pikran telah perkembang. Dalam arti ini, 15 Self bukan suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, seperti : – Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga memberi jawaban. – Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hokum yang juga memberi jawaban padanya. – Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain. – Mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan untuk menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang garus dilakukan pada fase berikutnya. Bagi Mead, Self mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi, dan ada tiga fase dalam proses sosialisasi tersebut. Pertama adalah Play Stage atau tahap bermain. Dalam fase atau tahapan ini, seorang anak bermain atau memainkan peran orang – orang yang dianggap penting baginya. Fase kedua dalam proses sosialisasi serta proses pembentukan konsep tentang diri adalah Game Stage atau tahap permainan, dimana dalam tahapan ini seorang anak mengambil peran orang lian dan terlibat dalam suatu organisasi yang lebih tinggi. Fase ketiga adalah generalized other, yaitu harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, standar-standar umum dalam masyarakat. Dalam fase ini anak-anak mengarahkan tingkah lakunya berdasarkan standar-standar umum serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. I and Me Inti dari teori George Herbert Mead yang penting adalah konsepnya tentang ―I‖ and ―Me‖, yaitu dimana diri seorang manusia sebagai subyek adalah ―I‖ dan diri seorang manusia sebagai obyek adalah ―Me‖. ―I‖ adalah aspek diri yang bersifat non-reflektif yang merupakan respon terhadap suatu perilaku spontan tanpa adanya pertimbangan. Dan ketika didalam aksi dan reaksi terdapat suatu pertimbangan ataupun pemikiran, maka pada saat itu ―I‖ berubah menjadi ―Me‖. Mead mengemukakan bahwa seseorang yang menjadi ―Me‖, maka dia bertindak berdasarkan pertimbangan terhadap norma-norma, generalized other, serta harapan-harapan orang lain. Sedangkan ―I‖ adalah ketika terdapat ruang 16 spontanitas, sehingga muncul tingkah laku spontan dan kreativitas diluar harapan dan norma yang ada. Mead menjelaskan seseorang belajar mengenai penggambaran diri melalui interaksionisme simbolis dengan orang lain dalam kehidupannya. Diri memiliki dua segi, masing-masing menjalankan fungsi yang penting, yakni I dan Me. I adalah bagian diri yang menurut kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak. Me adalah refleksi umum orang lain yang terbentuk dari pola-pola yang teratur dan tetap, yang dibagi dengan orang lain. Setiap tindakan dimulai dengan sebuah dorongan dari I kemudian selanjutnya dikendalikan oleh Me. I adalah tenaga penggerak sedangkan me adalah memberikan arah dan petunjuk dalam melakukan tindakan tersebut. Selanjutnya konsep diri tidak terbentuk begitu saja, karena ada beberapa faktor yang memengaruhi terbentuknya konsep diri, dan berikut ini adalah faktorfaktor tersebut: a. Signifikan Others Mead (dalam Rakhmat, 2012:101-103) menyatakan bahwa konsep diri manusia berkembang melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Pada awal tahap sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain saja. Tidak semua orang memiliki pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita, inilah yang dinamakan significant others atau orang lain yang sangat penting. b. Generalized Others Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari perananperanan yang ada dalam masyarakat yaitu suatu proses yang disebut pengambilan peran. Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam lingkungan masyarakat, seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Generalized Others merupakan pandangan diri kita tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita. 17 Konsep Generalized Others juga dikemukakan oleh Mead. Menurutnya konsep ini memandang diri kita seperti orang lain memandang kita (Rakhmat, 2012:103). Seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat apabila dia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat, karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Konsep diri sangat berpengaruh terhadap komunikasi interpersonal, dimana kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep sendiri. Selain itu, pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru. Adanya konsep diri tersebut menunjang individu menjalani hidupnya, karena bagaimanapun dia memandang dirinya begitu pula dia menjalani kehidupannya. Maka kualitas konsep diri, negatif atau positif, merupakan salah satu hal yang mempengaruhi proses komunikasi antarpersona (Rakhmat, 2012:103). 4. Teori Logika Pesan (Message Design Logic) Logika Penyusunan Pesan dikemukakan oleh Barbara O'Keefe dalam tesisnya, dengan asumsi bahwa manusia berpikir dengan cara yang berbeda tentang komunikasi dan pesan. Manusia menggunakan logika yang berbeda dalam memutuskan apa yang akan dikatakan kepada orang lain dalam sebuah situasi (Littlejohn 2011: 165). la menggunakan istilah (message-design logic) untuk menjelaskan proses pemikiran di balik pesan yang kita ciptakan. O'Keefe menggaris bawahi tiga logika penyusunan pesan yang mungkin mencakup dari orang yang kurang memusatkan diri hingga orang yang paling memusatkan diri. 1. logika ekspresif adalah komunikasi untuk pengungkapan perasaan danpemikiran sender. Pesan-pesan dalam cara ini bersifat terbuka dan reaktif, 18 dengan adanya sedikit perhatian pada kebutuhan atau keinginan orang lain, dan banyak terpusat pada diri sendiri. 2. Logika conventional memandang komunika si seba gai sebuah permainan yang dimainkan dengan peraturan berikut. Di sini, komunikasi adalah sebuah cara pengungkapan diri yang berjalan sesuai dengan aturanaturan dan norma-norma yang diterima, termasuk hak dan kewajiban setiap orang yang terlibat. Logika ini bertujuan untuk menyusun pesan-pesan yang sopan, tepat, dan didasarkan pada aturan-aturan yang diketahui setiap orang. 3. logika retoris -memandang perubahan aturan melalui negosiasi. Pesan-pesan yang disusun dengan logika ini cenderung luwes, berwawasan, dan terpusat pada seseorang. Mereka cenderung mengerangkakan kembali situasi, sehingga tujuan yang beragam tersebut—termasuk persuasi dan kesopanan bergabung dalam sebuah kesatuan yang kuat. Komunikasi dialektis kader KB terhadap calon akseptor masih bersifat individualistis, sehingga rentan dengan pertentangan. Komunikasi dalam conventional design logic mengutamakan ekspresi sebagai komunikator dengan berpedoman pada aturan dan norma yang berlaku, termasuk hak dan tanggung jawab dari masing-masing individu yang terlibat. 5. Teori Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Theory) Model Kemungkinan Elaborasi dikemukakan oleh Richard Petty dan John Cacioppo, bahwa pada awalnya setiap individu berusaha memiliki sikap yang tepat terhadap kondisi yang dihadapi, akan tetapi setiap individu sesungguhnya selalu berusaha merasionalisasi kondisi yang dihadapinya (Littlejohn, 2011: 88). Model Kemungkinan Elaborasi ini merupakan teori persuasi yang dapat dijadikan acuan bagaimana mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam merespons suatu pesan. Terdapat dua cara yang dikenal dengan istilah rute sentral (central route) adalah pemikiran kritis. Seseorang dalam mengolah suatu pesan akan distimulus suatu informasi akan mendiskursuskan terlebih dahulu alam aktifitas mentalnya, memilih, melakukan imajiner dengan mempertimbangkan keuntungan dan 19 kerugian dari informasi tersebut. Selanjutnya adalah rute peripheral (Peripheral Route) yaitu suatu kecenderungan kognitif dimana penerimaan atau penolakan suatu pesan lebih ditekankan pada kredibilitas pengirim pesan, reaksi lingkungan, atau terpengaruh oleh faktor-faktor lain di luar argumentasi. Petty dan Cacioppo berasumsi bahwa pada mulanya setiap individu berusaha memiliki sikap yang tepat atas kondisi yang dihadapi, akan tetapi setiap individu sesungguhnya selalu berusaha untuk merasionalisiasi situasi yang dihadapinya. Untuk mengelaborasi informasi, maka beberapa hal yang harus dilakukan adalah keterlibatan atau relevansi personal dari topik dengan orangnya. Jika seseorang memiliki kedekatan emosional dengan isu atau informasi tersebut maka seseorang akan lebih cenderung untuk mengelaborasi subtansi informasi dari pada siapa yang memproduksi atau mentransmisinya, sedangkan apabila informasi yang diperoleh tidak relevan dengan individu tersebut maka kredibilitas pengirim akan menjadi alasan untuk memperhatikan informasi tersebut. Petty dan Cacioppo mempercayai bahwa motivasi dan kemampuan memiliki kekuatan dalam meningkatkan kemungkinan pesan akan dielaborasi dalam pikiran audiens (Cacioppo, 1986: 1037). Proses elaborasi juga memungkinkan terjadinya pemikiran yang bias, hal ini diistilahkan dengan top down thinking yaitu pola kecenderungan pengambilan kesimpulan sebelum informasi tersedia dengan lengkap. Sedangkan hal yang diharapkan adalah sebaliknya yaitu bottom up thinking dengan menghilangkan kerangka pikir tertentu terlebih dahulu atas suatu objek sebelum objek tersebut berbicara tentang dirinya sendiri. Petty dan Cicaoppo dalam hal ini lebih lanjut menegaskan bahwa terdapat tiga jenis argumentasi yang akan menentukan proses elaborasi yaitu : 1). Pesan yang kuat (strong), merupakan dasar argumentasi yang dimiliki seseorang yang dilandaskan pada pemikiran yang baik dan dilandasi dengan pengkajian secara mendalam. 2). Pesan yang lemah (weak) yaitu jika terdapat sisi afeksi terhadap suatu isu. 3). Pesan netral atau biasa (neutral) yaitu jika terdapat perpaduan pro dan kontra atau suatu issu untuk menguatkan sikap dasarnya. 20 6. Kader KB Kader KB atau PPKBD merupakan institusi masyarakat yang membantu pemerintah sebagai media perantara dalam program KB, artinya Kader KB ini langsung berhadapan dengan masyarakat sasaran sehingga kinerja mereka sangat penting. Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) adalah kelompok atau paguyuban peserta KB yang selanjutnya menjadi tenaga sukarela masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam program KB (www.bappenas.go.id). Selama ini PLKB berperan untuk mengkoordinasikan para kader agar mengerti tentang program KB serta segala tujuan dan sasaran dari program tersebut, memberikan pengarahan kepada kader mengenai apa yang seharusnya mereka laksanakan. Dalam pelaksanaan program KB, kader memiliki peranan yang sangat penting. Kader dianggap lebih mengerti tentang masyarakat di wilayahnya sehingga merekalah yang lebih tahu apa yang harus dilakukan demi meningkatkan peran serta masyarakat dalam ber-KB. Pembinaan Keluarga Berencana Desa merupakan wadah pengelolaan dan pelaksanaan Program KB Nasional mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, Dusun/RW hingga tingkat RT. Peran PPKBD (BKKBN, 2014) antara lain: 1. Pengorganisasian melalui adanya kepengurusan 2. Pertemuan khusus antara PPKBD dan Sub PPKBD serta kelompok KB, pertemuan pada kegiatan posyandu. 3. KIE dan konseling kepada akseptor KB dilakukan bersamaan waktu posyandu atau kunjungan langsung ke rumah calon akseptor. 4. Pencatatan dan pelaporan, semua kegiatan PPKBD baik pertemuan, KIE maupun pelayanan secara rutin. 5. Pelayanan kegiatan yakni rujukan ke fasilitas terhadap akseptor baru untuk ber-KB, atau pelayanan kontrasepsi kondom dan pil bagi akseptor lama. 6. Kemandirian, berupa insiatif kegiatan-kegiatan mandiri untuk mendukung operasional PPKBD dalam menjalankan program KB. 21 B. Penelitian Terdahulu 1. Imam Muslikh et all yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) Dalam Pencapaian Keberhasilan Keluarga Berencana (KB) di Kabupaten Pemalang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi, pelatihan dan insentif terhadap kinerja PPKBD di Kabupaten Pemalang. Populasi penelitian adalah seluruh petugas PPKBD di Kabupaten Pemalang sejumlah 234 orang. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin sejumlah 70 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan proportional random sampling. Analisis data menggunakan analisis regresi lininer berganda dengan alat bantu SPSS v. 17. Analisis data meliputi uji kualitas data (reliabilitas, validitas). uji asumsi klasik (normalitas, multikolonearitas, dan heteroskedastisitas), uji kebaikan model (uji f, koefisien determinasi), uji hipotesis (uji t). Hasilnya pemberian motivasi, pelatihan dan insentif berpengaruh positif terhadap kinerja PPKBD. 2. Maria F. Gallo et all. yang berjudul Evaluation of a volunteer communitybased health worker program for providing contraceptive services in Madagascar. November 2013, Elsevier Vol. 88 (5): 585-674. Penelitian ini melakukan evaluasi cross-sectional menggunakan sampel sistematis 100 kader kesehatan masyarakat dilatih untuk memberikan konseling kontrasepsi dan pelayanan kontrasepsi short-acting di tingkat masyarakat. Kader kesehatan masyarakat diwawancarai tentang demografi, perekrutan, pelatihan, pengawasan, pasokan komoditas, dan langkah-langkah lain dari fungsi program, diuji pada pengetahuan tentang kontrasepsi suntik; dan diamati oleh seorang ahli sambil menyelesaikan lima pertemuan klien simulasi dengan relawan uninstructed. Mengembangkan nilai kinerja CHW (0-100%) berdasarkan jumlah kegiatan konseling memadai bertemu selama pertemuan klien dan digunakan regresi linier multivariabel untuk mengidentifikasi berkorelasi skor kader kesehatan masyarakat memiliki nilai rata-rata kinerja 73,9% (95% confidence interval [CI]: 70,3-77,6%). Hasil penelitian 22 menunjukkan tingkat pendidikan yang tinggi, jam relawan yang tinggi, dan pelatihan penyegaran berkorelasi dengan skor kinerja yang lebih tinggi. 3. Alam et all. dalam Social Science & Medicine Journal Volume 75, Issue 3, August 2012, Pages 511–515 dengan judul Performance of female volunteer community health workers in Dhaka urban slums. Penelitian ini mengambil lokasi di BRAC, sebuah LSM besar pelopor di Bangladesh, yang menggunakan relawan perempuan sebagai kader kesehatan masyarakat dalam program kesehatan. Metode kuantitatif-kualitatif yang digunakan dengan desain deskriptif korelasi untuk menilai faktor yang berhubungan dengan tingkat aktivitas kader kesehatan masyarakat dan diskusi kelompok untuk mengeksplorasi solusi untuk masalah ini. Surve dilakukan pada 542 kader perempuan dalam bidang kesehatan masyarakat saat ini dari wilayah proyek berpartisipasi dalam survei. Insentif keuangan merupakan faktor utama terkait dengan aktivitas kader kesehatan masyarakat. Kader kesehatan masyarakat yang berpikir bahwa menjalankan keluarga mereka akan sulit tanpa penghasilan. Selain itu, prestise sosial dan umpan balik positif dari masyarakat terhadap para kader kesehatan masyarakat merupakan faktor non-keuangan penting yang terkait dengan tingkat aktivitas. Dalam rangka meningkatkan kinerja relawan kader kesehatan masyarakat, kombinasi insentif keuangan dan non-keuangan harus digunakan. 4. Annette Flaherty, dalam The Journal of Volunteer Administration, 2004, 22(1), pp. 27-33 dengan judul Where a Bar of Soap Can Make a Difference: Family Planning Volunteers in Uganda Express Their Needs. Walter Kipp University of Alberta, Edmonton, Canada. Penelitian ini menunjukkan bahwa relawan KB melakukan tugas yang cukup besar dan menghadapi berbagai kesulitan dalam kegiatannya. Ia juga melaporkan bahwa insentif memainkan peran penting dalam menentukan motivasi dan kinerja kader relawan. Penulis menyimpulkan bahwa langkah pertama dari pemahaman yang lebih baik dari pekerjaan sukarela adalah untuk tahu bagaimana rasanya menjadi relawan. 23 5. Jeremy Shiffman, dalam The Construction of Community Participation: Village Family Planning Groups and The Indonesian State. Social Science & Medicine Journal 54(8): 1199-1214. Penelitian dengan pendekatan penetrasi sosial program keluarga berencana dari awal kemunculannya hingga sebelum desentralisasi. Banyak faktor sosial yang berbentuk jaringan mendukung keberhasilan keluarga berencana di Indonesia. BKKBN merupakan contoh keterlibatan negara dan partisipasi masyarakat yang berhasil. Pelembagaan keluarga berencana yaitu lembaga sosial yang muncul di tingkat provinsi dan daerah, peran relawan, dan pengaruh PKK dan tokoh agama Islam, mempermudah BKKBN memantau pengendalian kesuburan dan praktek kontrasepsi rumah tangga. Pengembangan jaringan dan efektivitas program keluarga berencana dilakukan dengan negosiasi kreatif antara keluarga, perencanaan lembaga negara melalui politik otoriter. 6. Morgan L. Tucker dalam Communication Considerations and Relational Dialectical Tensions Experienced by University Sign Language Interpreters melakukan penelitian hubungan interpersonal antara mahasiswa tuli/ sulit mendengar dengan penerjemah bahasa isyarat (interpreter) di perguruan tinggi. dengan Kode etik perguruan tinggi dan juru bahasa dapat bertentangan afinitas yang normal dikembangkan di banyak hubungan interpersonal. Teori dialektika relasional memandu hubungan interpersonal dalam mengelola kekuatan yang berlawanan dan menegosiasikan hubungan untuk kemajuan. Penelitian kualitatif ini menggunakan semiterstruktur, wawancara mendalam dengan interpreter bahasa isyarat universitas untuk menemukan jenis dialektika relasional yang mereka alami, serta pertimbangan komunikasi yang digunakan oleh menegosiasikan hubungan. interpreter untuk mengelola dan 24 C. Kerangka Pemikiran Komunikasi Interpersonal Kader KB Kota Surakarta Dinamika komunikasi (Littlejohn) Komunikasi Dialogis dan Dialektis (Leslie Baxter) Komunikasi Dialektis Komunikasi Dialogis Konsep diri dalam teori interaksionisme simbolik (George Herbert Mead) Teori proses informasi oleh komunikator/ Elaboration Likehood Theory (Richard Petty dan John Cacioppo) Teori Merancang Pesan pada komunikator/ Message-design Logic (Barbara O`Keefe) Teori Merancang Pesan pada komunikator/ Message-design Logic (Barbara O`Keefe) Akseptor KB 25 Penelitian ini berupaya menitikberatkan pada kajian komunikator dan produksi pesannya. Khususnya bagaimana komunikasi dialektis dan komunikasi dialogis kader KB di kalangan calon akseptor KB. Komunikasi dialektis diidentifikasikan peneliti saat kader KB mengalami pertentangan/ kontradiksi dengan calon akseptor KB. Sementara komunikasi dialogis diidentifikasikan saat mencari persamaan demi harmoni hubungan. Dalam menganalisis komunikasi dialektis, peneliti akan memulai dengan analisis konsep diri para kader KB. Hal ini untuk mengetahui bagaimana pemahaman kader KB atas diri mereka saat berinteraksi dengan orang lain. Selain itu komunikasi dialektis juga akan dianalisis sampai pada perancangan pesan kader KB. Fokusan berikutnya yaitu komunikasi dialogis kader KB. Peneliti akan menganalisis bagaimana kader memproses informasi. Setelah itu peneliti juga akan menganalisis bagaimana strategi pemilihan pesan untuk mencapai tujuan terhadap calon akseptor KB dengan menggunakan perancangan pesan kader KB