BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Dinamika

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Dinamika Komunikasi
Komunikasi merupakan kebutuhan manusia, setiap aspek kehidupan kita
sehari-hari dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain. Komunikasi juga
membantu kita untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Komunikasi juga dapat
dimaknai sebagai keterhubungan proses menciptaan dan memaknai pesan yang
mendatangkan respon (Griffin, 2011: 6). Definisi tersebut selanjutnya menuntun
kita pada lima aktivitas dalam komunikasi, yaitu:
1) Pesan, merupakan inti dalam mempelajari komunikasi. Teks dalam buku,
gambar visual dalam video, lirik lagu bahkan diam pun dapat digolongkan
sebagai pesan.
2) Penciptaan pesan, menunjuk pada isi pesan yang dibangun, diciptakan,
direncanakan, dibuat, dibentuk, dipilih, atau diadopsi oleh komunikator.
3) Pemaknaan
pesan,
bahwa
pesan
digunakan
komunikator
untuk
menyampaikan makna yang akan ditangkap oleh komunikan.
4) Proses keterhubungan, komunikasi adalah proses yang saling berkaitan.
Tidak hanya melibatkan hubungan dua orang atau lebih, tetapi juga
mempengaruhi hubungan orang yang terlibat dalam komunikasi yang
dilakukannya.
5) Tanggapan akan pesan, berkaitan dengan efek pesan yang dirasakan oleh
penerimanya.
Komunikasi dapat terjadi dalam diri seseorang, antara dua orang, di antara
beberapa orang atau banyak orang. Komunikasi mempunyai tujuan tertentu.
Artinya komunikasi yang dilakukan sesuai dengan keinginan dan kepentingan
para pelakunya. Dalam kegiatan komunikasi sedikitnya harus terdapat tiga
komponen, yaitu komunikator sebagai penyebar pesan, pesan yang disampaikan,
dan komunikan sebagai penerima pesan. Berhasil tidaknya kegiatan komunikasi
sangat tergantung pada ketiga komponen tersebut.
9
10
Komunikasi antarpribadi yang berkaitan dengan pertukaran makna di
antara kedua belah pihak yang melakukan kegiatan komunikasi diungkapkan oleh
Brooks dan Heath yakni interpersonal communication as,the process by which
information, meanings and feelings are shared by persons through the exchange
of verbal and nonverbal messages’.
Berarti komunikasi antarpribadi sebagai
suatu proses yang melibatkan pertukaran informasi, makna dan perasaan yang
dibagikan komunikator pada orang lain melalui pesan verbal dan nonverbal
(dalam Berry, 2007:12).
Komunikasi antarpribadi menciptakan hubungan yang dinamis tidak statis.
Hubungan telah menjadi sebuah subjek penting yang terkait dengan komunikasi
interpersonal sejak tahun 1960-an (Littlejohn, 2011: 230).
Hubungan dalam
kamus besar bahasa Indonesia dimaknai sebagai jaringan sosial yang terwujud
karena interaksi antara individu tertentu.
Hubungan yang terjalin bisa
menghadapi berbagai masalah dan mempelajari hubungan bisa menjadi sebuah
cara untuk menemukan jawaban bagi aspek-aspek masalah tersebut. Hubungan
kita dengan orang lain tidak lepas dari konflik kepentingan atau pertentangan
kekuatan-kekuatan mempengaruhi hubungan kita.
Komunikasi membantu
memahami perbedaan hubungan dan perubahan hubungan. Komunikasi terbentuk
dari pola-pola interaksi berupa susunan perilaku respontif yang dinamis
(Littlejohn, 2011: 229). Dinamika hubungan dimaknai sebagai proses hubungan
yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang
selalu berubah.
Tantangan yang ada
dalam setiap hubungan
adalah
mengantur
perbedaannya. Tekanan antara pengungkapan dan privasi hanyalah salah satu
contoh perbedaan yang kita miliki untuk berhasil dalam hubungan. Banyak
kekuatan yang bertentangan memengaruhi hubungan kita dan bukan hal yang
mudah untuk berhadapan dengan kekuatan – kekuatan tersebut. Kita sering kali
merasa bingung tentang apakah kita harus mandiri atau bergantung, apakah kita
harus memberikan sesuatu seperti adanya atau mengubahnya, apakah kita harus
menjadi seorang individu atau menjadi bagian dari partner. Komunikasi dialektis
mengupas bagaimana hubungan di definisikan melalui pengelolaan pertentangan
11
dan komunikasi dialogis mengupas cara-cara penanganan tekanan ini oleh pelaku
komunikasi dalam sebuah hubungan (Baxter, 2004).
Littejohn dalam membahas komunikator dalam usaha menjaga hubungan,
mencakup siapa diri sebagai komunikator, sumber daya apa yang dapat digunakan
untuk mengkomunikasikan, bagaimana perbedaan diri komunikator dengan
komunikator lainnya dan bagaimana orang lain melihat perilaku komunikator
(Littlejohn, 2011: 79).
Sementara jika merujuk pada proses produksi pesan, unsur utama yang
berkenaan dengan konsep ini adalah keberadaan pesan dan komunikator. Adanya
komunikator
dinyatakan
sebagai
subjek
menyampaikan pesan kepada sasarannya.
utama
yang
bertugas
dalam
Sebagai sebuah produk dari
komunikator, Littlejohn (2011: 94) mengidentifikasikan konteks pesan ke dalam
tiga kategori, yakni: message interpretation (interpretasi terhadap pesan informasi
yang diterima); information organization (cara individu dalam mengelola
informasi serta seberapa besar informasi mampu mempengaruhi sikap dan
perilaku individu);dan judgement processes (penilaian dan evaluasi terhadap
pesan informasi yang kita terima).
Pesan yang akan disampaikan dalam berkomunikasi harus mempunyai
menarik perhatian khalayak. Wilbur Schramm (1955) dalam Marhaeni (2009:
194) mengajukan syarat-syarat untuk berhasilnya pesan sebagai berikut:
1. Pesan harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga
pesan itu dapat menarik perhatian sasaran yang dituju
2. Pesan haruslah menggunakan tanda-tanda yang didasarkan pada
pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga kedua pengertian
bertemu.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi daripada sasaran dan
menyarankan cara-cara untuk mencapai kebutuhan itu.
4. Pesan harus menyarankan sesuatu jalan untuk memperoleh kebutuhan
yang layak bagi situasi kelompok di mana kesadaran pada saat digerakkan untuk
memberikan jawaban yang dikehendaki
12
2. Teori Komunikasi Dialektis dan Dialogis (Relational Dialectics
Theory)
Teori komunikasi dialektis dan dialogis dikemukakan oleh Leslie Baxter.
Asumsi dasar teori bahwa ketika kita berhubungan dengan orang lain pasti ada
ketegangan-ketegangan atau konflik antar individu. Konflik tersebut terjadi ketika
seseorang mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain atau
disebut dengan hubungan mengalami kontradiksi dialektis (Baxter, 2009).
Relational Dialectics Theory dari Baxter mengandung dimensi dialektis
dan dialogis.
Jika menyebutkan kata dialektis kita tidak dapat lepas dari
dialektika Hegel yang berisi thesis (pro), antithesis (kontra) dan sintesa (solusi).
Penyebaran informasi KB melibatkan kader KB dan calon akseptor KB.
Hubungan antar partisipan berkembang melalui proses komunikasi yang
kontradiktif terutama dalam konteks penerimaan program KB. Pemaknaan
masing-masing individu terhadap program KB mungkin berbeda dan bahkan
bertentangan. Dalam perbedaan ini justru makna dapat terbentuk. Tidak menutup
kemungkinan dengan adanya dialog masing-masing individu dapat saling
mengerti dan hubungan semakin dekat.
Baxter memperkenalkan empat elemen dasar dalam perspektif dialektis
(Baxter, 2008), yaitu:
1. totalitas (totality), mengakui adanya saling ketergantungan antara orang-orang
dalam sebuah hubungan.
2. kontradiksi (contradiction), merujuk pada oposisi – dua elemen yang
bertentangan.
3. perubahan (change), merujuk pada sifat berproses dan hubungan dan
perubahan yang terjadi pada hubungan itu seiring dengan berjalannya waktu.
4. praksis (praxis), merujuk pada kapasitas manusia sebagai pembuat pilihan.
Baxter mengemukakan tiga dialektik yang mempengaruhi hubungan
(Griffin, 2009: 156-160) adalah:
1. otonomi dan koneksi (disebut juga Intergration and Separation) mengacu
pada hasrat untuk menjadi mandiri dari orang-orang terdekat kita (significant
others). Namun, di lain sisi kita juga ingin akrab dengan mereka. Dengan kata
13
lain, otonomi dan koneksi ini adalah ketegangan (tension) hubungan penting
yang menunjukkan dualisme hasrat untuk menjadi akrab juga terpisah secara
bersamaan.
2. keterbukaan dan proteksi (disebut juga Expression and Nonexpression)
berfokus pada hasrat yang berkonflik, pertama, untuk bersikap terbuka dan
rentan, membuka informasi personal kepada rekan hubungan kita dan kedua,
bersikap strategis dan protektif dalam komunikasi. Posisi dialektik ini
menonjolkan baik dai rasa hormat hingga ketulusan maupun penyembunyian.
3. kebaruan dan prediktabilitas (disebut juga Stability and Change) mengacu
pada konflik kenyamanan stabilitas dan kesenangan akan perubahan. Posisi
dialektika melihat keyakinan dan ketidakyakinan yang saling berpengaruh
dalam hubungan.
Baxter selanjutnya mengembangkan teori yang dia sebut generasi kedua
komunikasi dialektis dan dialogisnya.
second-generation relational dialectics
positions the several meanings of ―dialogue‖ with more or less equal footing—
dialogue as centripetal–centrifugal flux, dialogue as utterance, dialogue as
aesthetic moment, dialogue as a critical sensibility (Baxter, 2004 dan Griffin,
2009), yaitu:
1. dialog sebagai proses yang membangun (Dialogue as a Constitutive Process)
Baxter menyatakan, komunikasi menciptakan dan menyokong suatu
hubungan. Jika praktik komunikasi suatu pasangan berubah, maka hubungan
mereka pun berubah pula. Pandangan dialogis mempertimbangkan, perbedaan
dan kesamaan pada orang-orang menjadi sama pentingnya. Perbedaan
memusatkan pada apa arti dari perbedaan ini bagi pasangan dan bagaiman
mereka bertindak atas arti-arti tersebut. Di lain sisi, persamaan akan sikapsikap, latar belakang, dam minat dapat merekatkan bersama orang-orang
secara positif.
2. Dialog sebagai Aliran Dialektis (Dialogue as Dialectical Flux)
seluruh kehidupan sosial merupaka produk dari ―penyatuan yang dikuasai
kontradiksi dan penuh ketegangan dari dua hasrat yang berperang.‖ Eksistensi
ini mengkontraskan serangan-serangan berarti bahwa mengembangkan dan
14
mempertahankan hubungan menjadi proses yang sulit ditebak, tidak bisa
terselesaikan, dan tidak bisa dipastikan.
3. Dialog sebagai Momen Estetis (Dialogue as an Aesthetic Moment)
Baxter menggambarkan sensasi timbal balik tersebut dari penyempurnaan,
pelengkapan, atau keseluruhan di tengah pengalaman yang terfragmentasi
tersebut tidak berlangsung lama. Namun, kenangan saat-saat yang indah dapat
mendukung pasangan melalui turbulensi yang terjadi pada hubungan yang
akrab.
4. Dialog sebagai Ungkapan (Dialogue as Utterance),
Ungkapan digambarkan sebagai penghubung ekspresif yang membentuk
rantai dialog. Oleh karena itu, ungkapan yang disetujui dipengaruhi kata-kata
yang keluar sebelumnya dan kata-kata yang akan digunakan. Baxter
menekankan pada apakah ungkapan memberi kepercayaan pada suara-suara
kedua belah pihak dalam suatu hubungan atau tidak.
5. Dialog sebagai Sensibilitas Kritis (Dialogue as a Critical Sensibility)
Suatu kewajiban untuk mengkritik suara yang dominan, khususnya mereka
yang menekan pandangan-pandangan yang berlawanan
3. Konsep Diri
Komunikator diyakini sebagai sumber dalam proses produksi pesan.
Dalam penelitian ini, sisi kognitif komunikator dikaji menggunakan konsep diri
untuk mendalami komunikasi dialektis kader KB. Konsep diri merupakan salah
satu pembahasan dalam teori interaksionisme simbolik. George Herbert Mead,
mengemukakan tiga konsep utama dalam interaksionisme simbolik yaitu mind
(pikiran), self (diri pribadi), dan society (masyarakat) (Littlejohn, 2011: 232-235).
Self (Diri)
Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada diri sendiri
layaknya memberi jawaban pada orang lain, merupakan situasi penting dalam
perkembangan akal budi. Dan Mead juga berpendapat bahwa tubuh bukanlah riri,
melinkan dia baru menjadi diri ketika pikran telah perkembang. Dalam arti ini,
15
Self bukan suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai
kemampuan untuk berpikir, seperti :
– Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga
memberi jawaban.
– Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hokum yang juga memberi
jawaban padanya.
– Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain.
– Mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan untuk
menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang garus dilakukan pada fase
berikutnya.
Bagi Mead, Self mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi, dan ada tiga
fase dalam proses sosialisasi tersebut. Pertama adalah Play Stage atau tahap
bermain. Dalam fase atau tahapan ini, seorang anak bermain atau memainkan
peran orang – orang yang dianggap penting baginya. Fase kedua dalam proses
sosialisasi serta proses pembentukan konsep tentang diri adalah Game Stage atau
tahap permainan, dimana dalam tahapan ini seorang anak mengambil peran orang
lian dan terlibat dalam suatu organisasi yang lebih tinggi. Fase ketiga adalah
generalized other, yaitu harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, standar-standar
umum dalam masyarakat. Dalam fase ini anak-anak mengarahkan tingkah lakunya
berdasarkan standar-standar umum serta norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
I and Me
Inti dari teori George Herbert Mead yang penting adalah konsepnya tentang ―I‖
and ―Me‖, yaitu dimana diri seorang manusia sebagai subyek adalah ―I‖ dan diri
seorang manusia sebagai obyek adalah ―Me‖. ―I‖ adalah aspek diri yang bersifat
non-reflektif yang merupakan respon terhadap suatu perilaku spontan tanpa
adanya pertimbangan. Dan ketika didalam aksi dan reaksi terdapat suatu
pertimbangan ataupun pemikiran, maka pada saat itu ―I‖ berubah menjadi ―Me‖.
Mead mengemukakan bahwa seseorang yang menjadi ―Me‖, maka dia bertindak
berdasarkan pertimbangan terhadap norma-norma, generalized other, serta
harapan-harapan orang lain. Sedangkan ―I‖ adalah ketika terdapat ruang
16
spontanitas, sehingga muncul tingkah laku spontan dan kreativitas diluar harapan
dan norma yang ada.
Mead menjelaskan seseorang belajar mengenai penggambaran diri melalui
interaksionisme simbolis dengan orang lain dalam kehidupannya. Diri memiliki
dua segi, masing-masing menjalankan fungsi yang penting, yakni I dan Me. I
adalah bagian diri yang menurut kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak
dapat ditebak. Me adalah refleksi umum orang lain yang terbentuk dari pola-pola
yang teratur dan tetap, yang dibagi dengan orang lain. Setiap tindakan dimulai
dengan sebuah dorongan dari I kemudian selanjutnya dikendalikan oleh Me. I
adalah tenaga penggerak sedangkan me adalah memberikan arah dan petunjuk
dalam melakukan tindakan tersebut.
Selanjutnya konsep diri tidak terbentuk begitu saja, karena ada beberapa
faktor yang memengaruhi terbentuknya konsep diri, dan berikut ini adalah faktorfaktor tersebut:
a.
Signifikan Others
Mead (dalam Rakhmat, 2012:101-103) menyatakan bahwa konsep diri
manusia berkembang melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain.
Pada awal tahap sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada
sejumlah kecil orang lain saja. Tidak semua orang memiliki pengaruh yang
sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh yaitu orang-orang
yang paling dekat dengan diri kita, inilah yang dinamakan significant others
atau orang lain yang sangat penting.
b.
Generalized Others
Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari perananperanan yang ada dalam masyarakat yaitu suatu proses yang disebut
pengambilan peran. Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui
peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan
orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam lingkungan
masyarakat, seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Generalized
Others merupakan pandangan diri kita tentang keseluruhan pandangan
orang lain terhadap kita.
17
Konsep Generalized Others juga dikemukakan oleh Mead. Menurutnya
konsep ini memandang diri kita seperti orang lain memandang kita
(Rakhmat, 2012:103). Seseorang dianggap telah mampu mengambil
peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat apabila dia
telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat, karena telah
memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia
berinteraksi.
Konsep diri sangat berpengaruh terhadap komunikasi interpersonal, dimana
kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep sendiri. Selain itu,
pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang
sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri
kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila
konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk
menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru.
Adanya konsep diri tersebut menunjang individu menjalani hidupnya,
karena bagaimanapun dia memandang dirinya begitu pula dia menjalani
kehidupannya. Maka kualitas konsep diri, negatif atau positif, merupakan salah
satu hal yang mempengaruhi proses komunikasi antarpersona (Rakhmat,
2012:103).
4. Teori Logika Pesan (Message Design Logic)
Logika Penyusunan Pesan dikemukakan oleh Barbara O'Keefe dalam
tesisnya, dengan asumsi bahwa manusia berpikir dengan cara yang berbeda
tentang komunikasi dan pesan. Manusia menggunakan logika yang berbeda dalam
memutuskan apa yang akan dikatakan kepada orang lain dalam sebuah situasi
(Littlejohn 2011: 165). la menggunakan istilah (message-design logic) untuk
menjelaskan proses pemikiran di balik pesan yang kita ciptakan.
O'Keefe menggaris bawahi tiga logika penyusunan pesan yang mungkin mencakup
dari orang yang kurang memusatkan diri hingga orang yang paling memusatkan diri.
1. logika ekspresif adalah komunikasi untuk pengungkapan perasaan danpemikiran sender. Pesan-pesan dalam cara ini bersifat terbuka dan reaktif,
18
dengan adanya sedikit perhatian pada kebutuhan atau keinginan orang lain,
dan banyak terpusat pada diri sendiri.
2. Logika conventional
memandang
komunika si
seba gai
sebuah
permainan yang dimainkan dengan peraturan berikut. Di sini, komunikasi
adalah sebuah cara pengungkapan diri yang berjalan sesuai dengan aturanaturan dan norma-norma yang diterima, termasuk hak dan kewajiban setiap
orang yang terlibat. Logika ini bertujuan untuk menyusun pesan-pesan yang
sopan, tepat, dan didasarkan pada aturan-aturan yang diketahui setiap orang.
3. logika retoris -memandang perubahan aturan melalui negosiasi. Pesan-pesan
yang disusun dengan logika ini cenderung luwes, berwawasan, dan terpusat
pada seseorang. Mereka cenderung mengerangkakan kembali situasi,
sehingga tujuan yang beragam tersebut—termasuk persuasi dan kesopanan
bergabung dalam sebuah kesatuan yang kuat.
Komunikasi dialektis kader KB terhadap calon akseptor masih bersifat
individualistis, sehingga rentan dengan pertentangan. Komunikasi dalam
conventional design logic mengutamakan ekspresi sebagai komunikator dengan
berpedoman pada aturan dan norma yang berlaku, termasuk hak dan tanggung
jawab dari masing-masing individu yang terlibat.
5. Teori Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Theory)
Model Kemungkinan Elaborasi dikemukakan oleh Richard Petty dan John
Cacioppo, bahwa pada awalnya setiap individu berusaha memiliki sikap yang
tepat terhadap kondisi yang dihadapi, akan tetapi setiap individu sesungguhnya
selalu berusaha merasionalisasi kondisi yang dihadapinya (Littlejohn, 2011: 88).
Model Kemungkinan Elaborasi ini merupakan teori persuasi yang dapat dijadikan
acuan bagaimana mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam merespons
suatu pesan.
Terdapat dua cara yang dikenal dengan istilah rute sentral (central route)
adalah pemikiran kritis. Seseorang dalam mengolah suatu pesan akan distimulus
suatu informasi akan mendiskursuskan terlebih dahulu alam aktifitas mentalnya,
memilih, melakukan imajiner dengan mempertimbangkan keuntungan dan
19
kerugian dari informasi tersebut. Selanjutnya adalah rute peripheral (Peripheral
Route) yaitu suatu kecenderungan kognitif dimana penerimaan atau penolakan
suatu pesan lebih ditekankan pada kredibilitas pengirim pesan, reaksi lingkungan,
atau terpengaruh oleh faktor-faktor lain di luar argumentasi.
Petty dan Cacioppo berasumsi bahwa pada mulanya setiap individu
berusaha memiliki sikap yang tepat atas kondisi yang dihadapi, akan tetapi setiap
individu sesungguhnya selalu berusaha untuk merasionalisiasi situasi yang
dihadapinya. Untuk mengelaborasi informasi, maka beberapa hal yang harus
dilakukan adalah keterlibatan atau relevansi personal dari topik dengan orangnya.
Jika seseorang memiliki kedekatan emosional dengan isu atau informasi tersebut
maka seseorang akan lebih cenderung untuk mengelaborasi subtansi informasi
dari pada siapa yang memproduksi atau mentransmisinya, sedangkan apabila
informasi yang diperoleh tidak relevan dengan individu tersebut maka kredibilitas
pengirim akan menjadi alasan untuk memperhatikan informasi tersebut.
Petty dan Cacioppo mempercayai bahwa motivasi dan kemampuan
memiliki kekuatan dalam meningkatkan kemungkinan pesan akan dielaborasi
dalam pikiran audiens (Cacioppo, 1986: 1037). Proses elaborasi juga
memungkinkan terjadinya pemikiran yang bias, hal ini diistilahkan dengan top
down thinking yaitu pola kecenderungan pengambilan kesimpulan sebelum
informasi tersedia dengan lengkap. Sedangkan hal yang diharapkan adalah
sebaliknya yaitu bottom up thinking dengan menghilangkan kerangka pikir
tertentu terlebih dahulu atas suatu objek sebelum objek tersebut berbicara tentang
dirinya sendiri.
Petty dan Cicaoppo dalam hal ini lebih lanjut menegaskan bahwa terdapat
tiga jenis argumentasi yang akan menentukan proses elaborasi yaitu : 1). Pesan
yang kuat (strong), merupakan dasar argumentasi yang dimiliki seseorang yang
dilandaskan pada pemikiran yang baik dan dilandasi dengan pengkajian secara
mendalam. 2). Pesan yang lemah (weak) yaitu jika terdapat sisi afeksi terhadap
suatu isu. 3). Pesan netral atau biasa (neutral) yaitu jika terdapat perpaduan pro
dan kontra atau suatu issu untuk menguatkan sikap dasarnya.
20
6. Kader KB
Kader KB atau PPKBD merupakan institusi masyarakat yang membantu
pemerintah sebagai media perantara dalam program KB, artinya Kader KB ini
langsung berhadapan dengan masyarakat sasaran sehingga kinerja mereka sangat
penting. Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) adalah
kelompok atau paguyuban peserta KB yang selanjutnya menjadi tenaga
sukarela
masyarakat
yang
berpartisipasi
aktif
dalam
program
KB
(www.bappenas.go.id). Selama ini PLKB berperan untuk mengkoordinasikan
para kader agar mengerti tentang program KB serta segala tujuan dan sasaran dari
program tersebut, memberikan pengarahan kepada kader mengenai apa yang
seharusnya mereka laksanakan. Dalam pelaksanaan program KB, kader memiliki
peranan yang sangat penting. Kader dianggap lebih mengerti tentang masyarakat
di wilayahnya sehingga merekalah yang lebih tahu apa yang harus dilakukan demi
meningkatkan peran serta masyarakat dalam ber-KB.
Pembinaan Keluarga Berencana Desa merupakan wadah pengelolaan dan
pelaksanaan Program KB Nasional mulai dari tingkat Desa/Kelurahan,
Dusun/RW hingga tingkat RT.
Peran PPKBD (BKKBN, 2014) antara lain:
1. Pengorganisasian melalui adanya kepengurusan
2. Pertemuan khusus antara PPKBD dan Sub PPKBD serta kelompok KB,
pertemuan pada kegiatan posyandu.
3. KIE dan konseling kepada akseptor KB dilakukan bersamaan waktu
posyandu atau kunjungan langsung ke rumah calon akseptor.
4. Pencatatan dan pelaporan, semua kegiatan PPKBD baik pertemuan, KIE
maupun pelayanan secara rutin.
5. Pelayanan kegiatan yakni rujukan ke fasilitas terhadap akseptor baru untuk
ber-KB, atau pelayanan kontrasepsi kondom dan pil bagi akseptor lama.
6. Kemandirian, berupa insiatif kegiatan-kegiatan mandiri untuk mendukung
operasional PPKBD dalam menjalankan program KB.
21
B.
Penelitian Terdahulu
1. Imam Muslikh et all yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kinerja Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa
(PPKBD) Dalam Pencapaian Keberhasilan Keluarga Berencana (KB) di
Kabupaten Pemalang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
motivasi, pelatihan dan insentif terhadap kinerja PPKBD di Kabupaten
Pemalang. Populasi penelitian adalah seluruh petugas PPKBD di Kabupaten
Pemalang sejumlah
234 orang. Sampel penelitian ditentukan dengan
menggunakan rumus Slovin sejumlah 70 orang. Teknik pengambilan sampel
menggunakan proportional random sampling. Analisis data menggunakan
analisis regresi lininer berganda dengan alat bantu SPSS v. 17. Analisis data
meliputi uji kualitas data (reliabilitas, validitas). uji asumsi klasik (normalitas,
multikolonearitas, dan heteroskedastisitas), uji kebaikan model (uji f,
koefisien determinasi), uji hipotesis (uji t). Hasilnya pemberian motivasi,
pelatihan dan insentif berpengaruh positif terhadap kinerja PPKBD.
2. Maria F. Gallo et all. yang berjudul Evaluation of a volunteer communitybased health worker program for providing contraceptive services in
Madagascar. November 2013, Elsevier Vol. 88 (5): 585-674. Penelitian ini
melakukan evaluasi cross-sectional menggunakan sampel sistematis 100 kader
kesehatan masyarakat dilatih untuk memberikan konseling kontrasepsi dan
pelayanan kontrasepsi short-acting di tingkat masyarakat. Kader kesehatan
masyarakat
diwawancarai
tentang
demografi,
perekrutan,
pelatihan,
pengawasan, pasokan komoditas, dan langkah-langkah lain dari fungsi
program, diuji pada pengetahuan tentang kontrasepsi suntik; dan diamati oleh
seorang ahli sambil menyelesaikan lima pertemuan klien simulasi dengan
relawan uninstructed. Mengembangkan nilai kinerja CHW (0-100%)
berdasarkan jumlah kegiatan konseling memadai bertemu selama pertemuan
klien dan digunakan regresi linier multivariabel untuk mengidentifikasi
berkorelasi skor kader kesehatan masyarakat memiliki nilai rata-rata kinerja
73,9% (95% confidence interval [CI]: 70,3-77,6%). Hasil penelitian
22
menunjukkan tingkat pendidikan yang tinggi, jam relawan yang tinggi, dan
pelatihan penyegaran berkorelasi dengan skor kinerja yang lebih tinggi.
3. Alam et all. dalam Social Science & Medicine Journal Volume 75, Issue 3,
August 2012, Pages 511–515 dengan judul Performance of female volunteer
community health workers in Dhaka urban slums. Penelitian ini mengambil
lokasi di BRAC, sebuah LSM besar pelopor di Bangladesh,
yang
menggunakan relawan perempuan sebagai kader kesehatan masyarakat dalam
program kesehatan. Metode kuantitatif-kualitatif yang digunakan dengan
desain deskriptif korelasi untuk menilai faktor yang berhubungan dengan
tingkat aktivitas kader kesehatan masyarakat dan diskusi kelompok untuk
mengeksplorasi solusi untuk masalah ini. Surve dilakukan pada 542 kader
perempuan dalam bidang kesehatan masyarakat saat ini dari wilayah proyek
berpartisipasi dalam survei. Insentif keuangan merupakan faktor utama terkait
dengan aktivitas kader kesehatan masyarakat. Kader kesehatan masyarakat
yang berpikir bahwa menjalankan keluarga mereka akan sulit tanpa
penghasilan. Selain itu, prestise sosial dan umpan balik positif dari masyarakat
terhadap para kader kesehatan masyarakat merupakan faktor non-keuangan
penting yang terkait dengan tingkat aktivitas. Dalam rangka meningkatkan
kinerja relawan kader kesehatan masyarakat, kombinasi insentif keuangan dan
non-keuangan harus digunakan.
4. Annette Flaherty, dalam The Journal of Volunteer Administration, 2004,
22(1), pp. 27-33 dengan judul Where a Bar of Soap Can Make a Difference:
Family Planning Volunteers in Uganda Express Their Needs. Walter Kipp
University of Alberta, Edmonton, Canada. Penelitian ini menunjukkan bahwa
relawan KB melakukan tugas yang cukup besar dan menghadapi berbagai
kesulitan dalam kegiatannya. Ia juga melaporkan bahwa insentif memainkan
peran penting dalam menentukan motivasi dan kinerja kader relawan. Penulis
menyimpulkan bahwa langkah pertama dari pemahaman yang lebih baik dari
pekerjaan sukarela adalah untuk tahu bagaimana rasanya menjadi relawan.
23
5. Jeremy Shiffman, dalam
The Construction of Community Participation:
Village Family Planning Groups and The Indonesian State. Social Science &
Medicine Journal 54(8): 1199-1214. Penelitian dengan pendekatan penetrasi
sosial program keluarga berencana dari awal kemunculannya hingga sebelum
desentralisasi.
Banyak faktor sosial yang berbentuk jaringan mendukung
keberhasilan keluarga berencana di Indonesia. BKKBN merupakan contoh
keterlibatan negara dan partisipasi masyarakat yang berhasil. Pelembagaan
keluarga berencana yaitu lembaga sosial yang muncul di tingkat provinsi dan
daerah, peran relawan, dan pengaruh PKK dan tokoh agama Islam,
mempermudah BKKBN memantau pengendalian kesuburan dan praktek
kontrasepsi rumah tangga. Pengembangan jaringan dan efektivitas program
keluarga berencana dilakukan dengan negosiasi kreatif antara keluarga,
perencanaan lembaga negara melalui politik otoriter.
6.
Morgan L. Tucker dalam Communication Considerations and Relational
Dialectical Tensions Experienced by University Sign Language Interpreters
melakukan penelitian hubungan interpersonal antara mahasiswa tuli/ sulit
mendengar dengan penerjemah bahasa isyarat (interpreter) di perguruan
tinggi.
dengan
Kode etik perguruan tinggi dan juru bahasa dapat bertentangan
afinitas
yang
normal
dikembangkan
di
banyak
hubungan
interpersonal. Teori dialektika relasional memandu hubungan interpersonal
dalam mengelola kekuatan yang berlawanan dan menegosiasikan hubungan
untuk kemajuan. Penelitian kualitatif ini menggunakan semiterstruktur,
wawancara mendalam dengan interpreter bahasa isyarat universitas untuk
menemukan jenis dialektika relasional yang mereka alami, serta pertimbangan
komunikasi
yang digunakan oleh
menegosiasikan hubungan.
interpreter untuk mengelola
dan
24
C. Kerangka Pemikiran
Komunikasi Interpersonal
Kader KB Kota Surakarta
Dinamika komunikasi
(Littlejohn)
Komunikasi Dialogis dan Dialektis
(Leslie Baxter)
Komunikasi
Dialektis
Komunikasi
Dialogis

Konsep diri dalam teori
interaksionisme simbolik
(George Herbert Mead)

Teori proses informasi oleh
komunikator/ Elaboration
Likehood Theory (Richard
Petty dan John Cacioppo)

Teori Merancang Pesan
pada
komunikator/
Message-design
Logic
(Barbara O`Keefe)

Teori Merancang Pesan pada
komunikator/ Message-design
Logic (Barbara O`Keefe)
Akseptor KB
25
Penelitian ini berupaya menitikberatkan pada kajian komunikator dan
produksi pesannya. Khususnya
bagaimana komunikasi dialektis dan
komunikasi dialogis kader KB di kalangan calon akseptor KB. Komunikasi
dialektis diidentifikasikan peneliti saat kader KB mengalami pertentangan/
kontradiksi dengan calon akseptor KB. Sementara komunikasi dialogis
diidentifikasikan saat mencari persamaan demi harmoni hubungan.
Dalam menganalisis komunikasi dialektis, peneliti akan memulai dengan
analisis konsep diri para kader KB. Hal ini untuk mengetahui bagaimana
pemahaman kader KB atas diri mereka saat berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu komunikasi dialektis juga akan dianalisis sampai pada perancangan
pesan kader KB.
Fokusan berikutnya yaitu komunikasi dialogis kader KB. Peneliti akan
menganalisis bagaimana kader memproses informasi. Setelah itu peneliti juga
akan menganalisis bagaimana strategi pemilihan pesan untuk mencapai tujuan
terhadap calon akseptor KB dengan menggunakan perancangan pesan kader
KB
Download