HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SYUKUR DENGAN

advertisement
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SYUKUR DENGAN
PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA SMA IT
ABU BAKAR YOGYAKARTA
Septi Anugrah Heni
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Jalan Kapas 9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dan
syukur dengan perilaku konsumtif. Subjek peneltian ini yaitu siswa SMAIT Abu
Bakar Yogyakarta. Alat ukur yang digunakan adalah skala kontrol diri, syukur dan
perilaku konsumtif. Analisis data dilakukan dengan tekhnik analisis regresi.
Hasil analsis data diperoleh koefisien korelasi R = 0,440 dengan p < 0,009.
Besarnya sumbangan efektif kontrol diri dengan perilaku kosntumtif r = -0,413
dengan p <0,002 dan kontribusi syukur dengan perilaku konsumtif r = -0,371
dengan p < 0,005.
Kesimpulan yang dapat dibuat dari penelitian ini adalah ada hubungan
negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dan syukur dengan perilaku
konsumtif.
Kata Kunci : Kontrol diri, syukur dan perilaku konsumtif
Abstract
This research was conducted to understand the relationship between selfcontrol and giving thanks with consumptive behavior. This research involved 47
students of Senior High School Islam Terpadu of Yogyakarta as subject. The data,
which obtained through self-control, giving thanks and consumptive behavior
question, were analyzed statistical method with analyzed regression technique.
Result of data analyzed obtained correlation coefficient R = 0,440 with p <
0,009. While level of effective controbution of self-control with consumptive
behavior r = -0,413 with p < 0,002 and controbution of giving thanks with
consumptive behavior r = -0,371 with p < 0,005.
Conclusion which can be made of this reseacrh is there is a real negative
relationship sicnificant between self-control and giving thanks with consumptive
behavior.
Keyword : Self-control, giving thanks and consumptive behavior
PENDAHULUAN
Remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa
dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan fisik umum serta perkembangan
kognitif dan sosial (Desmita, 2007). Remaja adalah usia di mana individu
menjadi terintegrasi dalam masyarakat dewasa, di mana pada usia ini anak tidak
merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua, tetapi mereka
merasa bahwa dirinya sama dengan orang dewasa lain dan bahkan dapat saja
mereka berfikir bahwa dirinya sejajar dengan orang dewasa (Monks, 2001).
Rentang waktu usia remaja biasanya dibedakan atas tiga, yaitu usia 12-15
tahunn termasuk masa remaja awal, usia 15-18 tahun termasuk masa remaja
pertangahan dan usia 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir (Desmita, 2007).
Menurut Monks (2001) membedakan masa remaja atas empat bagian, yaitu masa
pra-pubertas usia 10-12 tahun, masa remaja awal atau pubertas usia 12-15 tahun,
masa remaja pertengahan usia 15-18 dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun
(Monks, 2001).
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah
melewati tahapan masa anak-anak, tetapi belum juga dapat di terima secara penuh
ke golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara anak dan
dewasa. Meskipun masa remaja mulai menuju ke kematangan dan kemasakan,
tetapi mereka belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal
fungsi fisik maupun psikisnya (Monks, 2001). Masa remaja individu berada dalam
proses pencarian jati diri, dimana mereka memasuki tahap persiapan atas tahap
situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orangtua dan perasaan belum
mampu mandiri (Monks, 2001)
Perkembangan zaman telah merubah paradigma dan tata nilai hidup
manusia khususnya remaja, termasuk dalam hal konsumsi. Barang-barang yang
dahulu dianggap kebutuhan sekunder, telah menjadi kebutuhan primer dan
barang-barang mewah telah menjadi kebutuhan sekunder, bahkan sekarang
menjadi kebutuhan primer. Barang-barang kebutuhan tersier, pada saat ini telah
banyak yang menjadi kebutuhan utama yang biasanya berupa fasilitas-fasilitas
yang membuat kesenangan semata. Karena remaja menganggap penampilan dan
gaya hidup mewah memiliki status yang lebih tinggi dalam kelompok. Remaja
dalam masa transisi sehingga emosinya labil sehingga mudah dipengaruhi oleh
faktor yang ada di luar dirinya seperti lingkungan pergaulan (Chatijah dan
Purwadi, 2007).
Remaja seharusnya mampu menahan rangsangan yang bersifat emosional
baik di dalam maupun di luar dirinya, sehingga segala sesuatu yang dianggap
kurang baik dapat dikendalikan. Remaja sebaiknya sudah mulai mengerti mana
yang baik dan buruk yang seharusnya dilakukan oleh remaja pada umumnya.
Keberadaan perilaku konsumtif remaja sudah banyak terjadi. Penyebab
meningkatnya perilaku konsumtif remaja kalangan pelajar diduga karena
kemerosotan iman, karena apabila seseorang mengalami kemerosotan iman, maka
cenderung melakukan hal-hal yang dilarang agama. Agama melarang bersikap
berlebih-lebihan atau bersikap boros artinya dilarang berperilaku konsumtif.
Remaja yang berperilaku konsumtif dapat diduga tidak memahami ajaran agama
yang benar. Perubahan-perubahan sosial yang menekankan sukses materi, telah
mengakibatkan terjadinya dehumanisasi yaitu menurunnya nilai-nilai
kemanusiaan, moral dan etika (Handayani, 2003). Nilai-nilai agama dan etika
dianggap kuno. Kesenjangan sosial menyebabkan remaja bersikap egois.
Memotivasi manusia melakukan perbuatan menyimpang, irrasional dan
kehilangan kontrol diri. Sedangkan secara psikologis perilaku konsumtif dapat
menimbulkan kecemasan dan rasa tidak aman karena keinginan konsumen dalam
membeli suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan semata-mata, tetapi
juga keinginan untuk memuaskan kesenangan yang didasari faktor emosi (Utami
dan Sumaryono, 2008).
Tambunan (2001) berpendapat bahwa perilaku konsumtif adalah tindakan
membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperhitungkan sehingga sifatnya
menjadi berlebihan. Aneka virus yang menulari masyarakat tidak lagi mendorong
ke arah prestasi yang lebih baik, melainkan ke arah konsumsi yang berlebihan,
kesenangan,pembentukan tubuh dan diri yang berlebihan dan produksi yang
berlebihan (Piliang, 2011).
Keadaan tersebut mengajarkan remaja untuk mengikuti mode, gengsi,
pamer, sebagai icon mode, kesenangan semata dan alasan-alasan yang kurang
penting lainnya. Remaja yang berkembang dengan gaya hidup konsumtif
sebaiknya diimbangi dengan kemampuan finansial yang memadai. Akan terjadi
masalah jika gaya hidup komsumtif meningkat sedangkan kemampuan finansial
tidak mendukung, dikhawatirkan akan terjadi masalah. Banyak tindak kriminal
yang akan dilakukan oleh kalangan remaja demi mencapaian keinginannya
sebagai consument holic.
Banyak perusahaan-perusahaan yang mengandalkan produknya melalui
usaha iklan. Baik iklan melalui media cetak, media audio maupun media audio
visual. Tidak dipungkiri lagi bahwa iklan merupakan salah satu cara yang cukup
ampuh untuk mempengaruhi konsumen mengubah persepsi terhadap suatu produk
(Noviandra, 2006). Iklan melibatkan kedia massa yang dapat menyampaikan
pesan kepada produsen, dalam hal ini remaja. Meraka dapat dengan mudah
mengakses apapun, kapanpun, tanpa mengenal tempat dan waktu. Sehingga tidak
jarang terdengar topik dalam pembicaraan remaja-remaja pada umumnya berkisar
tentang barang-barang trend dan produk-produk keluaran terbaru. Dampak dari
perilaku konsumtif memicu terjadinya rasa tidak ketidakpuasan sampai akhir,
serta menciptakan terus menerus untuk mencari pemenuhan (Piliang, 2011)
Perilaku seseorang individu sebagai seorang konsumen yang bertindak
secara emosional tanpa didasarkan perencanaan dan kebutuhan melainkan hanya
karena suatu pemuasan pemenuhan keinginan akan suatu produk yang dianggap
menarik kemudian melakukan pembelian disebut perilaku konsumtif (Swasta dan
Handoko, 2000). Piliang (2011) mengemukakan bahwa perilaku konsumtif yaitu
yang konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan differensi secara terus
menerus lewat mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik. Perilaku
konsumtif ditandai adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala
hal yang dianggap mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik
sebesar-besarnya. Hal ini juga didukung dengan budaya belanja yang proses
perubahan dan perkembangbiakannya didorong oleh logika hasrat dan keinginan,
ketimbang logika kebutuhan.
Tanda-tanda sesorang yang mengalami perilaku konsumtif adalah Enggel,
(1994) yaitu : 1. Impulsive, merupakan perilaku membeli konsumen semata-mata
karena didasari oleh hasrat yang tiba-tiba dan dilakukan tanpa melalui
pertimbangan dan perencanaan serta keputusan di tempat pembelian. Tanpa
memanfaatkan informasi yang ada seperti mempertimbangkan implikasi dan
tindakan yang dibuat sebelum memutuskan untuk membeli. 2. Non-Rational yaitu
perilaku membeli yang tidak rasional. Suatu perilaku dalam mengkonsumsi
dikatakan tidak rasional jika konsumen tersebut membeli barang tanpa dipikirkan
kegunaannya terlebih dahulu, dan 3. Wasteful yaitu menggambarkan pemborosan
sebagai salah satu perilaku membeli yang menghambur-hamburkan banyak uang
tanpa didasari adanya kebutuhan yang jelas.
Beberapa faktor yang memberikan kontribusi terjadinya perilaku konsumtif
diantaranya (Kotler dan Amstrong, 2001) 1. Faktor internal, yang mempengaruhi
diantaranya adalah a. Kepribadian, gaya hidup dan demografi. Kepribadian adalah
respon yang konsisten terhadap rangsangan perilaku. Gaya hidup adalah pola
seseorang dalam menjalankan hidup. Demografi adalah pasar konsumen yang
diidentifikasikan dari usia, pendapatan, dan pendidikan. Kepribadian, gaya hidup
dan demografi berpengaruh terhadap perilaku konsumsi seseorang. Jenis, cara dan
tingkat mengkonsumsi produk yang sebagai bagian dari kepribadian dan gaya
hidupnya. Perilaku konsumtif tidak dibenarkan oleh ajaran agama, sehingga
individu diwajibkan mengontrol diri dan mengontrol hawa nafsunya. b. Bakat,
minat, nilai dan konsep diri. Individu mempunyai konsep diri yang positif tidak
mudah dipengaruhi untuk melakukan konsumerisme. Sebaliknya, maka muncul
individu yang cepat terpengaruh dengan berbagai stimulus yang ada, akhirnya
muncul perilaku konsumtif. c. Pengetahuan, yaitu faktor ini merupakan hasil dari
bentuk-bentuk informasi yang diperoleh dari pengalaman individu berinteraksi
dengan lingkungannya. Ketika seseorang akan memutuskan membeli atau
mengkonsumsi suatu barang atau jasa, terlebih dahulu melalui tahap evaluasi.
Banyak sedikitnya pengetahuan yang dimiliki, memberikan konstribusi untuk
menetapkan keputusan tersebut.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumtif meliputi a. Kelas
Sosial, yaitu Adanya ragam perbedaan status ekonomi dan sosial yang
menghasilkan perbedaan sikap dan menghasilkan perbedaan perilaku konsumen.
Kelas sosial merupakan bentuk pengelompokan komunitas tertentu yang pada
akhirnya menentukan tinggi rendahnya seseorang pada kelas sosial atas,
menengah dan bawah. Kelas sosial akan berpengaruh terhadap suatu produk untuk
dikonsumsi. b. Keluarga, merupakan merupakan lingkungan utama dan pertama
bagi anak, dengan demikian menjadi unit yang berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan, termasuk yang berkaitan dengan sikap dan perilaku
konsumsi. Kebiasaan dalam keluarga dalam menggunakan satu barang dan jasa
akan menjadi model bagi anak. Dengan demikian keluarga memiliki peran
penting dalam pembentukan pola konsumsinya. c. Kebudayaa, merupakan hasil
dari aktifitas kehidupan manusia, berpengaruh terhadap sistem nilai dan norma
yang diberlakukan dalam hidupnya. Dengan demikian sikap dan perilaku
termasuk konsumsinya akan dipengaruhi juga oleh sistem nilai, serta norma yang
dianutnya. d. Pengaruh Kelompok Sebaya, adanya pengaruh kelompok sebaya
(peer group) dan kelompok acuan (reference group). Individu yang banyak
berinteraksi pada orang-orang yang memiliki gaya hidup konsumtif,maka individu
tersebut cenderung memiliki perilaku konsumtif pula. d. Situas, merupakan faktor
khusus pada waktu dan tempat spesifik serta tidak terkait dengan karakteristik
konsumen dan karakteristik objek. Dalam keadaan tertentu dapat pula seseorang
tiba-tiba timbul sesuatu kebutuhan walaupun tanpa perencanaan.
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur
perilaku, khusunya remaja. Mereka harus pandai-pandai menyikapi budaya
konsumtif yang semakin berkembang. Hal ini berarti bahwa remaja dituntut untuk
mampu mengerem agar hawa nafsu dan perilakunya tersebut dapat diatasi.
Remaja diharapkan dapat memahami kearah mana perkembangan tekhnologi dan
dapat digunakan untuk apa tekhnologi tersebut, sehingga perilaku konsumtif yang
sudah menjamur dikalangan remaja sekarang dapat diminimalisir.
Berdasarkan hal tersebut bahwa individu dalam melakukan suatu tindakan
sebaiknya sudah memiliki rencana terlebih dahulu, sehingga individu tersebut
mampu mengontrol dirinya. Dapat dikatakan bahwa remaja yang mampu
mengontrol perilaku diharapkan akan mampu mengendalikan perilakunya dalam
segala hal, melalui aktivitas atau kegiatan-kegiatan tertentu agar tidak mengarah
pada perilaku yang sia-sia dan hanya membuang-buang waktu, dalam hal ini
kecenderungan berperilaku konsumtif.
Individu yang kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat
untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu akan cenderung
mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian
dapat mengatur kesan yang dibuat. Perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk
situasioanal, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial,
bersikap hangat dan terbuka. Chaplin (2001) berpendapat bahwa kontrol diri yaitu
kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan
seseorang untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku
impulsif.
Kontrol diri melibatkan tiga hal. 1. Kontrol Perilaku, merupakan kesiapan
seorang merespon suatu stimulus yang secara langsung memperoleh keadaan tidak
menyenangkan dan langsung mengantisipasinya. 2. Kontrol Kognitif yaitu
kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan, dengan
menilai atau menghubungkan suatu kejadian dengan mengurangi tekanan, dan 3.
Kontrol Keputusan yaitu kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu
tindakanberdasarkan pada suatu yang diyakini (Ghufron dan Rini,2001).
Faktor psikologis lainnya kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Merurut Ghufron dan Rini (2010) secara garis besarnya faktor-faktor yang
mempengaruhi kontrol diri terdiri dari 1. faktor internal (Faktor internal yang ikut
andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang maka,
semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang itu dari diri individu), dan 2.
Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga
terutama orangtua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang.
Bila orangtua menerapkan disiplin kepada anaknya sikap disiplin secara intens
sejak dini, dan orangtua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang
dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap
konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudia akan menjadi kontrol diri
baginya.
Selain harus mampu mengontrol diri dengan baik, remaja seharusnya
bersyukur atas apa yang telah diberikan kepadanya. Sejauh ini perilaku konsumtif
mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Untuk mengidentifikasi proses
psikologis yang dapat digunakan untuk melawan hal ini adalah syukur
(McCullough dan Polak, 2006). Hal ini dikarenakan bahwa syukur merupakan
emosi positif. Syukur memiliki kekuatan untuk mengubah kognisi sosial,
motivasi, dan hubungan sosial dengan tepat, salah satunya yaitu cara yang
mungkin digunakan untuk mengurangi materialistis dan berefek merugikan
kesejahteraan psikologis. Bersyukur mampu membuat seseorang menjadi lebih
baik lagi, dapat menahan diri untuk tidak berfoya-foya membeli barang yang
diinginkan tanpa memandang kegunaan dan manfaat yang dihasilkan.
Syukur yang tinggi diharapkan mampu meminimalisir perilaku konsumtif
remaja seperti penelitian Froh,dkk (2009) menunjukkan bahwa individu yang
bersyukur cenderung menunjukkan keadaan dan perilaku positif dibandingkan
dengan individu yang kurang bersyukur. Individu yang bersyukur menyebutkan
bahwa mereka mengalami lebih banyak kepuasan hidup, sikap optimis, dan
depresi serta rasa iri yang rendah.
Secara umum individu dengan syukur yang tinggi akan meminimalisir
perilaku konsumtifsesuai dengan keperluannya sehingga tidak terjadi pemborosan,
sedangkan individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi diharapkan mampu
mengerem perilaku konsumtifnya yang membeli suatu barang yang belum tentu
ada gunanya.
Dilihat dari pendidikan agama yang begitu banyak dibangku sekolah,
diharapkan paling tidak remaja mampu meminimalisir perilaku konsumtifnya,
karena perilaku konsumtif cenderung memiliki makna menghambur-hamburkan
uang dengan tidak terkontrol sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Perilaku
konsumtif juga cenderung bermakna pemborosan yang dampak negatifnya bagi
kehidupan remaja. Menurut pandangan psikologi agama, ajaran agama membuat
norma-norma yang dapat dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan
berperilaku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pembentukan kepribadian
dan keselarasan hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Dzat
yang Supernatural.
Penjabaran yang dapat dilakukan individu untuk memunculkan syukur
diantaranya 1. Usia, bersyukur merupakan emosi yang komleks yang
membutuhkan pemahaman yang diperoleh dari pengalaman yang panjang untuk
memahami pemberian dan menfaat yang diberikan sehingga belum dapat
dimengerti oleh anak-anak. Menurut Froh (2009) syukur dapat dipahami secara
tepat saat anak remaja. Ketika anak-anak tersebut mengerti niat pemberian orang
lain dan kontribusi orang lain dalam kehidupannya sehingga ia mampu memahami
syukur seperti orang dewasa pada umumnya. 2. Pengalaman, yaitu hubungan
timbal balik antara individu lain yang disebabkan kebutuhan berinteraksi
membuat pola sosial. Hubungan ini dapat dalam bentuk pemberian yang diberi
atau penerima. Penelitian yang dilakukan Froh pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa 90% dari sampel mengakui syukur datang dari sikap terhadap kehidupan
dan pandangan terhadap kehidupannya secara keseluruhan atau pengalaman yang
sudah dilalui. 3. Motivasi, seorang merasa bersyukur ketika mereka telah
menerima manfaat dari orang lain yang dimaksudkan untuk menguntungkan
mereka. Motivasi pemberi adalah yang paling penting dalam menentukan apakah
seseorang merasa bersyukur setelah menerima manfaat. Penerima manfaat akan
memilih untuk bersyukur jika yang memberi didasarkan rasa persaudaraan bukan
karena tugas tertentu (Froh, 2009) dan 4. Religiusitas, Burroughs dan Rindfleisch
(Polak dan McCullough, 2006) menyatakan bahwa saat ini masyarakat cukup
penekanan pada nilai materialistis, tapi pada saat yang sama lebih menekankan
dan memilih nilai-nilai seperti keluarga kohesi, hubungan masyarakat, dan
pemenuhan agama (religiusitas).
Berdasarkan uraian di atas, tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti ini
adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kontrol diri dan syukur
dengan perilaku konsumtif remaja.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan
yang negatif antara kontrol diri dan syukur dengan perilaku konsumtif remaja.
Semakin tinggi kontrol diri dan syukur maka akan semakin rendah perilaku
konsumtifnya dan sebaliknya. 2. Ada hubungan yang negatif antara kontrol diri
dengan perilaku konsumtif pada remaja. Semakin tinggi kontrol diri maka akam
semakin rendah perilaku konsumtif dan sebaliknya. 3. Ada hubungan yang negatif
antara syukur dengan perilaku konsumtif. Semakin tinggi syukur maka akan
semakin rendah perilaku konsumtif dan sebaliknya.
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian adalah 47 siswa SMAIT Abu Bakar Yogyakarta. Data
penelelitian diperoleh dengan menggunakan skala kontrol diri, syukur dan
perilaku konsumtif.
Skala perilaku konsumtif mengungkapkan seberapa tinggi perilaku
konsumtif pada subjek penelitian yang mengacu pada teori yang dikemukakan
Enggel (1994). Skala perilaku konsumtif disusun berdasarkan aspek-aspek sebagai
berikut: Impulsive, non-rational dan wasteful. Aitem-aitem skala perilaku
konsumtif berupa pilihan majemuk yang setiap aitemnya berisi pertanyaan dengan
empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),
dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Nilai bergerak dari 1 sampai 4, sangat sesuai
bernilai 4, sesuai bernilai 3, tidak sesuai bernilai 2, dan sangat tidak sesuai bernilai
1. Jumlah aitem pada skala perilaku konsumtif adalah 48 aitem, dengan koefisien
aitem total yang terkorelasi antara 0,380 – 0,680 dengan koefisien reliabilitas
alpha 0,907. Hal ini menunjukkan bahwa aitem-aitem yang digunakan dapat
mengukur perilaku konsumtif layak untuk mengukur variabel penelitian.
Skala kontrol diri mengungkapkan seberapa tinggi kontrol diri pada subjek
penelitian yang mengacu pada teori yang dikemukakan Averill (Ghufron dan Rini,
2001). Skala kontrol diri disusun berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut:
kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol keputusan. Aitem-aitem skala
kontrol diri berupa pilihan majemuk yang setiap aitemnya berisi pertanyaan
dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai
(TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Nilai bergerak dari 1 sampai 4, sangat
sesuai bernilai 4, sesuai bernilai 3, tidak sesuai bernilai 2, dan sangat tidak sesuai
bernilai 1. Jumlah aitem pada skala perilaku konsumtif adalah 48 aitem, dengan
koefisien aitem total yang terkorelasi antara 0,3 – 0,695 dengan koefisien
reliabilitas alpha 0,909. Hal ini menunjukkan bahwa aitem-aitem yang digunakan
dapat mengukur kontrol diri layak untuk mengukur variabel penelitian.
Skala syukur mengungkapkan seberapa tinggi syukur pada subjek penelitian
yang mengacu pada teori yang dikemukakan (Ubaid (2012). Skala syukur disusun
berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut: syukur dengan lisan, syukur dengan hati
dan syukur dengan perbuatan. Aitem-aitem skala syukur berupa pilihan majemuk
yang setiap aitemnya berisi pertanyaan dengan empat pilihan jawaban, yaitu
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai
(STS). Nilai bergerak dari 1 sampai 4, sangat sesuai bernilai 4, sesuai bernilai 3,
tidak sesuai bernilai 2, dan sangat tidak sesuai bernilai 1. Jumlah aitem pada skala
perilaku konsumtif adalah 48 aitem, dengan koefisien aitem total yang terkorelasi
antara 0,3343 – 0,673 dengan koefisien reliabilitas alpha 0,901. Hal ini
menunjukkan bahwa aitem-aitem yang digunakan dapat mengukur kontrol diri
layak untuk mengukur variabel penelitian.
Analisa data dilakukan dengan menggunakan tekhnik korelasi analisis
regresi. Sebelum melakukan analisis tersebut terlebih dahulu dilakukan uji asumsi
yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas. Keseluruhan komputasi data
dilakukan dengan menggunakan SPSS Release 16.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Data Deskriptif
Gambar umum tentang data penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :
Variabel
Empirik
Hipotetik
Min
Max
Mean
SD
Min
Max
Mean
SD
Perilaku
Konsumtif
35
59
46,36
5,65
24
96
60
12
Kontrol Diri
59
90
71,51
6,84
24
96
60
12
Syukur
70
104
84,89
5,92
30
120
75
15
Hasil perhitungan rerata empirik menunjukkan bahwa untuk variabel
perilaku konsumtif diperoleh rerata empirik = 46,36 yang lebih kecil
dibandingkan rerata hipotetik = 60. Hal ini yang menunjukkan bahwa siswa yang
menjadi subjek penelitian ini mengalami perilaku konsumtif yang rendah. Rerata
empirik variabel kontrol diri = 71,51, sedangkan rerata hipotetiknya = 96. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa subjek penelitian ini mempunyai kontrol diri yang
sedang. Rerata empirik variabel syukur = 81,89, sedangkan rerata hipotetiknya =
75. Hal ini menunjukkan bahwa siswa subjek penelitian ini mempunyai kontrol
diri yang tinggi.
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel dalam penelitian ini
sebenarnya normal atau tidak normal. Distribusi sebaran yang normal memiliki
arti bahwa penelitian tergolong representatif atau dapat mewakili populasi yang
ada, sebaliknya apabila sebaran tersebut tidak normal maka disimpulkan bahwa
subjek penelitian itu tidak representatif atau tidak mewakili keadaan populasi
yang sebenarnya, sehingga hasilnya tidak layak untuk digeneralisasikan pada
populasi tersebut. Pengujian normalitas sebaran menggunakan teknik statistik
One-Sample Kolmogorov-Smirnov test dari program SPSS 16,0 for windows.
Gambar umum tentang uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut :
Variabel
Mean
SD
K-SZ
Sig
Keterangan
Perilaku
Konsumtif
46,36
5,65
0,54
0,93
Normal
Kontrol Diri
71,51
6,85
0,94
0,34
Normal
Syukur
84,89
5,92
0,48
0,97
Normal
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa skor ketiga
variabel terdistribusi secara normal karena p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan
antara skor sampel dan populasi.
Uji Linieritas
Uji linieritas dilakukan untuk memastikan bahwa antara masing-masing
variabel bebas dengan variabel tergantung dapat dihubungkan dengan garis lurus,
jika dapat membentuk sebuah garis lurus maka variabel bebas dan variabel
tergantung tersebut dapat dikorelasikan. Kaidah yang digunakan dalam uji linier
jika pada F linearity harga p < 0,05 dan pada F deviation from linearity harga p >
0,05, maka variabel yang dikorelasikan dapat dikatakan linier.
Gambar umum tentang uji linieritas dapat dilihat pada tabel berikut :
Variabel
Linearity
Deviation from
Linearity
Keterangan
F
p
F
p
Perilaku Konsumtif dan
Kontrol Diri
9,294
0,005
1,009
0,481
Linier
Perilaku Konsumtif dan
Syukur
6,301
0,018
0,7
0,782
Linier
Uji Hipotesis
Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data yang terkumpul memenuhi syarat
untuk melakukan analisis berikutnya yaitu uji hipotesis. Pengujian hipotesis
dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Hasil analisis menunjukkan R =
0,440 dengan taraf signifikansi 0,009 (p < 0,01). Hasil analisis menunjukkan
bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kontrol diri dan syukur dengan
perilaku konsumtif.
Hasil uji korelasi antara kontrol diri dengan perilaku konsumtif
menunjukkan koefisien korelasi r = −0,413 dengan taraf signifikansi 0,002 (p <
0,01) yang berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri
dengan perilaku konsumtif, Selanjutnya, hasil analisis syukur dengan perilaku
konsumtif menunjukkan koefisien korelasi r = −0,371 dengan taraf signifikansi
antara 0,005 (p < 0,01) yang berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan
antara syukur dengan perilaku konsumtif.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa kontrol diri dan syukur memberikan
sumbangan sebesar 19,40% (R Squared 0,194 x 100%) terhadap perilaku
konsumtif, maka dengan demikian diasumsikan bahwa ada faktor lain di luar
variabel kontrol diri dan syukur sebesar 80,60% (100% - 19,40%) yang
berpengaruh terhadap perilaku konsumtif.
Sumbangan efektif untuk masing-masing prediktor terhadap kriterium
secara sendiri-sendiri dihitung dengan menggunakan rumus:
β1Σx1y
SR1 = β1Σx1y+ β2Σx2y x 100%
SR1XERG
SE1 = 100%
SE2 = EGR – SE1
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka diketahui bahwa sumbangan
efektif kontrol diri terhadap perilaku konsumtif sebesar 12,41%, sedangkan
sumbangan efektif syukur terhadap perilaku konsumtif sebesar 6,99%.
Pembahasan
Hasil analisis korelasi ganda diperoleh koefisien korelasi sebesar R = 0,440
dengan taraf signifikansi 0,009 (p < 0,01) hal ini menunjukkan adanya hubungan
yang sangat signifikan antara kontrol diri dan syukur dengan perilaku konsumtif
pada remaja. Diterimanya hipotesis mayor menunjukkan bahwa kontrol diri dan
syukur mempengaruhi perilaku konsumtif, seperti pendapat yang dikemukakan
oleh Chatijah dan Purwadi (2007) menyatakan bahwa konsumtif pada pelajar di
usia remaja dapat diduga karena kemerosotan iman, maka cenderung melakukan
hal-hal yang dilarang agama. Agama melarang bersikap berlebih-lebihan atau
bersikap boros, artinya dilarang bersikap konsumtif. Selain itu, kehidupan yang
timpang memang dapat memotivasi melakukan perbuatan menyimpang,
irrasional, dan kehilangan kontrol diri.
Hasil analisis korelasi product moment (zero order) menunjukkan bahwa
ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku
konsumtif dengan taraf signifikansi 0,002 (p < 0,01) dan koefisien korelasi
sebesar r = −0,413. Artinya semakin tinggi kontrol diri maka semakin randah
perilaku konsumtif dan sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin
tinggi perilaku konsumtif.
Diterimanya hipotesis minor pertama yang diajukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku konsumtif,
sehingga kontrol diri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku konsumtif pada remaja. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Utami
dan Sumaryono (2008) perilaku konsumtif dapat ditekan dan bahkan dihindari
apabila remaja memiliki sistem pengendalian internal pada dirinya yang disebut
kontrol diri. Selain itu masalah kontrol diri merupakan masalah yang melibatkan
proses belajar pengendalian diri untuk menurunkan perilaku eksesif yang memberi
kepuasan segera Kazdin (Widiana, 2004). Perilaku konsumtif terjadi karena
masyarakat memiliki kecenderungan materialistik, yang hasrat besar memiliki
benda-benda tanpa memperhatikan kebutuhan.
Hasil analisis product moment (zero order) antara syukur dengan
perilaku konsumtif menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat
signifikan antara syukur dengan perilaku konsumtif, dengan koefisien korelasi
sebesar r = −0,371 dengan taraf signifikansi 0,009 (p < 0,01). Artinya semakin
tinggi syukur maka semakin rendah perilaku konsumtif, sebaliknya semakin
rendah syukur maka semakin tinggi pula perilaku konsumtifnya.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hipotesis minor kedua yang
diajukan penulis diterima yaitu ada hubungan antara syukur dengan perilaku
konsumtif, yang artinya syukur merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menurunkan perilaku konsumtif remaja. Individu yang memiliki syukur
cenderung mengalami lebih banyak kepuasan hidup, optimisme, dan rasa iri yang
berkurang. Individu yang bersyukur juga memiliki keterbukaan diri dan
rendahnya tingkat neurotis (McCullough, 2004).
Kategorisasi variabel perilaku konsumtif dari 47 subjek penelitian
diperoleh tidak ada subjek (0%) berada pada kategori tinggi, 20 subjek (42,55%)
berada pada kategori sedang dan ada 27 subjek (57,45%) yang berada pada
kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki perilaku konsumtif
yang rendah dikarenakan subjek memahami beberapa faktor yang dapat
mengurangi perilaku konsumtif seperti memiliki skala prioritas, selektif dalam
membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa, dan membatasi pengeluaran dalam
mengkonsumsi sebuah barang dan jasa (Ermawan, 2011).
Kategorisasi variabel kontrol diri dari 47 subjek penelitian diperoleh
tidak terdapat 17 subjek (36,17%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 30 subjek
(63,83%) berada pada kategori sedang dan ada 0 subjek (0%) yang berada pada
kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki kontrol diri yang
cukup dikarenakan subjek telah mendapatkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kontrol diri seperti memilih dengan tidak tergesa-gesa, memilih
diantara dua perilaku yang bertentangan, dan memanipulasi stumulus dengan
tujuan membuat sebuah perilaku menjadi tidak mungkin dan perilaku satunya
lebih memungkinkan (Utami dan Sumaryono 2008)
Kategorisasi variabel syukur dari 47 subjek penelitian diperoleh
sebanyak 9 subjek (19,15%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 38 subjek
(80,85%) berada pada kategori sedang dan tidak terdapat subjek (0%) berada pada
kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek cukup menyadari betapa
syukur dalam mengurangi perilaku konsumtif. Ada beberapa subjek yang berada
pada kategori rendah dikarenakan masih kurangnya kesadaran tentang pentingnya
syukur untuk meningkatkan kesejahteraan hidup (Froha, 2009).
Hasil analisis data menunjukkan sumbangan efektif dari variabel kontrol diri
sebesar 12,41%, yang berarti kontrol diri mempengaruhi perilaku konsumtif. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Utami dan Sumaryono (2008)
bahwa konsumen dapat lebih cerdas dengan menahan diri untuk tidak melakukan
pembelian yang bersifat spontan, hanya melibatkan unsur kegembiraan dan
kurang memikirkan konsekuensi yang diperolehnya pasca pembelian. Walaupun
demikian, pengaruh kontrol diri terhadap perilaku konsumtif hanya sebesar
12,41%, berarti masih ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi perilaku
konsumtif sebesar 87,49%.
Hasil analisis data menunjukkan sumbangan efektif dari variabel syukur
sebesar 6,99%, yang berarti syukur mempengaruhi perilaku konsumtif. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Froha (2009) bahwa individu yang bersyukur
cenderung mengalami emosi positif yang lebih besar, seperti lebih sering
merasakan kepuasan, kebahagiaan, dan harapan, serta emosi negatif yang lebih
sedikit. Walaupun demikian, pengaruh syukur terhadap perilaku konsumtif hanya
sebesar 6,99%, berarti masih ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi
perilaku konsumtif sebesar 93,01%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinan (R Square) sebesar
0,194, hal ini menunjukkan besarnya sumbangan variabel kontrol diri dan syukur
terhadap perilaku konsumtif sebesar 19,4%, sedangkan sisanya sebesar 80,6%
merupakan sumbangan dari variabel lain yang merupakan faktor di luar variabel
kontrol diri dan syukur. Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap
perilaku konsumtif remaja seperti pendapat yang dikemukakan oleh Suyana dan
Fransisca (Triyaningsih, 2011) yaitu hadirnya iklan yaitu pesan yang menawarkan
sebuah produk yang ditujukan kepada khalayak lewat suatu media yang bertujuan
untuk mempengaruhi masyarakat untuk mencoba dan akhirnya membeli produk
yang ditawarkan. Konformitas, umumnya terjadi pada remaja khususnya putri,
gaya hidup dan kartu kredit.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dibahas di atas,
dapat disimpulkan bahwa : 1. Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
kontrol diri dan syukur dengan perilaku konsumtif, artinya peningkatan terhadap
kontrol diri dan syukur maka akan disertai dengan menurunnya perilaku
konsumtif, sebaliknya meningkatnya kontrol diri dan syukur maka akan disertai
pula dengan penurunan perilaku konsumtif. 2. Ada hubungan negatif yang sangat
signifikan antara kontrol diri dengan perilaku konsumtif, artinya peningkatan
terhadap kontrol diri maka akan disertai dengan penurunan perilaku konsumtif,
sebaliknya penurunan terhadap kontrol diri maka akan disertai meningkatnya
perilaku konsumtif, dan 3. Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
syukur dengan perilaku konsumtif, artinya peningkatan terhadap syukur sesorang
maka akan disertai dengan menurunnya perilaku konsumtif, dan sebaliknya
penurunan syukur sesorang maka akan disertai dengan meningkatnya perilaku
konsumtif. 4. Kontrol diri subjek penelitian mayoritas berada pada kategori
sedang berjumlah 30 subjek (63,83%). Syukur subjek penelitian mayoritas berada
pada ketegori sedang berjumlah 38 subjek (80, 85%). Sedangkan perilaku
konsumtif subjek penelitian mayoritas berada pada kategori rendah berjumlah 27
subjek (57,45%).
Saran
Berdasarkan landasan teori, hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan,
maka saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut: 1.Bagi subjek
penelitian, penelitian yang membahas tentang perilaku konsumtif ini diharapkan
subjek dapat mempertahankan perilakunya yang tidak mudah terpengaruh
terhadap perilaku konsumtif dengan cara meningkatkan kontrol diri dan
syukurnya. 2. Bagi orang tua, sebaiknya lebih membimbing dan mendidik putra
putrinya agar tidak mengarah ke perilaku konsumtif dengan menerapkan pola
kontrol diri dan syukur. 3. Bagi peneliti selanjutnya. Keterbatasan dalam
penelitian ini yaitu hanya mengkaji variabel kontrol diri dan syukur, padahal
masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang.
Oleh karena itu, bagi peneliti selanjutnya hendaknya mengeksplorasi lebih
mendalam tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi variabel perilaku
konsumtif.
Daftar Pustaka
Chaplin. JP. 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Grafindo Persada
Chatimah, S., Purwadi. 2007. Hubungan antara Religiusitas dengan Sikap
Konsumtif Remaja. Jurnal Humanitas Indonesia. 4 : 110-123
Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung : Rosda
Engel. J.F; Blackwell. R.D; Miniard. P.W. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi
Keenam. Jilid 2. Binarupa Aksara : Jakarta
Froha. J. J., Dkk. 2009. Who Benefits The Most From A Gratitude Intervention In
Children And Adolescents? Examining Positive Affect As A Moderator.
The Journal of Positive Psychology. 4 : 408-422
Ghufron, M. N., dan Risnawati. R. 2011. Teori-teori Psikologi. Yogyakarta : Ar
Ruzz Media
Handayani, Mediana. 2003. Aku Membeli, Maka Aku Ada: Kritik Terhadap
Konsumerisme Menurut Pandangan Baudrillard dan Marcuse. Jurnal Etika
Sosial Respons. 8 : 13-29
Kotler, Philip, dan Amstrong, Gary. 2001. Prinsip-prinsip Pemasaran. Edisi
Kedelapan Jilid I. Jakarta : Erlangga
McCullough, M., Emmons, R., Tsang, J. 2004. Gratitude in Intermediate
Affective Terrain : Links of Grateful Moods to Individual Differences and
Daily Emotional Experience. Journal of Personality and Social Psychology.
86 : 295-309
Monks, dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Pengantar Dalam Berbagai Bagian.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Piliang, Y. A. 2011. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. Bandung : Pustaka Matahari
Polak, Emily., McCullough, M. 2006. Is Gratitude an Alternative to Materialism?.
Journal of Happiness Studies. 7 : 343-360
Swasta., Handoko. 2000. Manajemen Pemasaran : Analisa Perilaku Konsumen
Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE
Ubaid, A, U. 2012. Sabar dan Syukur Gerbang Kebahagiaan di Dunia dan
Akhirat. Jakarta : Amzah
Utami, F. A., dan Sumaryono. 2008. “Pembelian Impulsif Ditinjau Dari Kontrol
Diri dan Jenis Kelamin Pada Remaja”. Jurnal Psikologi Proyeksi. 3 : 46-57
Widiana., Retnowati., dan Hidayat. 2004. Kontrol Diri dan Kecenderungan
Kecanduan Internet. Humanitas: Indonesian Psychologycal Journal. 1 : 616
Triyaningsih. 2011. Dampak Online Marketing Melalui Facebook Terhadap
Perilaku Konsumtif Masyarakat. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan. 11 :
172-177
Download