Publikasi Hasil Riset Indeks Demokrasi Asia: Kasus Indonesia Tahun 2014 “Politik Meningkat, Ekonomi Memburuk, Masyarakat Sipil Stagnan” 12 Desember 2014 PUSKAPOL UI (Pusat Kajian Politik – Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia) yang tergabung dalam Konsorsium Indeks Demokrasi Asia pada tahun ini kembali melakukan riset tentang Indeks Demokrasi Asia kasus negara Indonesia. Setidaknya ada tiga alasan mengapa asesmen demokrasi menjadi penting. Pertama, untuk melihat sejauh manakah sebenarnya terjadi kemajuan (atau justru kemunduran) dalam proses demokrasi di Indonesia. Dimanakah masalah-masalah utama yang dihadapi dalam demokratisasi yang sedang berlangsung. Kedua, seperti dikatakan sejumlah ahli, demokrasi adalah proses menjadi yang berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu perhatian pada konteks menjadi sangat penting. Sebagai negara yang lama dikendalikan oleh pemerintahan otoriter yang sarat perselingkuhan bisnis dan politik, dan dikelola secara sentralistik, maka penting mengamati transisi dari sifat otoritarian ke demokrasi. Ketiga, salah satu gugatan krusial dari proses demokrasi Indonesia selama 14 tahun terakhir ini adalah kegagalannya memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah sejauh mana dan bagaimana pelembagaan demokrasi bermanfaat bagi kesejahteraan bersama. A. Konsep dan Variabel: Demokratisasi sebagai De-monopolisasi Dalam melakukan riset tentang Indeks Demokrasi Asia, Konsorsium mencoba mengelaborasi definisi demokrasi dalam kaitannya dengan de-monopolisasi. Penjelasan tentang konsep dan variabel dalam indeks demokrasi ini disampaikan berikut ini: 1. Untuk memahami de-monopolisasi, perlu menafsirkan ulang konsep kediktaktoran. Kediktatoran atau rezim otoritarian tidak hanya bermakna sebuah kepemimpinan tertentu yang melakukan penindasan politik atau memegang kekuasaan dalam jangka waktu lama. Kediktatoran adalah gabungan antara sistem monopoli politik dengan monopoli sosial-ekonomi. Bagi kaum minoritas, kaum lemah, publik secara umum dan kaum marjinal, kediktatoran adalah sejenis ”kompleks monopoli” yang terdiri dari monopoli politik, ekonomi dan sosial, di mana sebuah kelompok tertentu memonopoli kekuasaan politik, ekonomi dan sosial. Dalam kompleks monopoli ini, monopoli politik, ekonomi dan sosial saling berinteraksi satu sama lain. 2. Demokratisasi pada dasarnya adalah sebuah proses di mana de-monopolisasi yang berlapis-lapis berjalan di tingkat monopoli politik, ekonomi dan sosial. 3. De-monopolisasi memiliki tiga komponen: Liberalisasi, ekualisasi, dan pemberdayaan. Liberalisasi memiliki arti sebuah proses di mana sektor-sektor 1 yang berbeda memiliki sejumlah independensi dan otonomi dari kontrol politik otoritarian yang sebelumnya, serta menetapkan acuan-diri mereka sendiri. Ekualisasi diartikan sebagai proses sejauh mana kelompok minoritas atau pun subaltern secara substansial dapat memiliki akses pada sumber daya di berbagai sektor dan dapat menikmati kesetaraan dalam mengakses sumber daya dan kekuasaan. Kalau liberalisasi merujuk pada bentuk disintegrasi monopoli dan ekualisasi menjadi isinya, maka pemberdayaan memiliki arti kapasitas dari si subyek itu sendiri untuk memobilisasi dan mengontrol sumberdaya agar bentuk dan isi de-monopolisasi bisa dikontrol secara efektif oleh si subyek. 4. Variabel liberalisasi diukur dari sub variabel Otonomi dan Kompetisi. Sedang variabel ekualisasi diukur dari sub variabel Pluralisasi dan Solidaritas. Operasionalisasi Konsep Liberalisasi -Otonomi -Kompetisi Equalisasi -Pluralisasi -Solidaritas 57 Indikator B. Metodologi Indeks Demokrasi Asia merupakan pengukuran univariat terhadap konsep demokrasi yang dilakukan melalui wawancara terhadap 27 responden ahli menggunakan instrumen pengukuran berupa kuesioner dengan pertanyaan semi-tertutup. Metode yang digunakn merupakan penilaian sejumlah ahli atas indikator atau pertanyaan dengan range angka penilaian antara 0 – 10. Indikator/pertanyaan yang ditanyakan kepada ahli hanya yang sesuai denan bidangnya (politik, ekonomi, masyarakat sipil). Sehingga proses penentuan sampel ahli berbasis pada kategori dan kriteria yang merepresentasikan spektrum posisi dan peran dalam masyarakat serta bidang keahlian. Kerangka Sampel Proses pemilihan 27 orang ahli berdasar pada purposive sampling yang berbasis pada penentuan kategori dan kriteria tertentu untuk merepresentasikan spektrum ideologi, posisi, dan peran di masyarakat. Terdapat 3 hal yang dipertimbangkan dalam penentuan responden. Pertama, area atau bidang keahlian (Politik, Ekonomi, dan Masyarakat Sipil). Kedua, posisi posisi ideologis responden ahli. Ketiga, peran di 2 masyarakat (akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan). Secara rinci jumlah 27 responden ahli terbagi sama jumlahnya dari 3 ranah (politik, ekonomi dan masyarakat sipil. Tiap ranah memiliki kuesioner dengan item pertanyaan yang berbeda dan disesuaikan pada bidang keahlian dari responden ahli. Selain itu dari masing-masing bidang harus mewakili beragam posisi ideologis (Politik: prodemokrasi, moderat, anti-demokrasi; Ekonomi: statist, moderat, neo-liberal; Masyarakat Sipil: pluralis, moderat, anti-pluralis) serta peran di masyarakat (akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan). C. Gambaran Umum Indeks Demokrasi Indonesia 2014 Skor agregat indeks demokrasi untuk kasus Indonesia tahun 2014 adalah 5,42. Dibanding dengan indeks tahun sebelumnya, terdapat sedikit peningkatan sebesar 0,45, walaupun tidak signifikan (Indeks 2013 adalah 4,97). Tabel 1: Indeks Demokrasi Indonesia 2014 Liberalisasi Ekualisasi Indeks Demokrasi Indonesia 5,79 4,82 Otonomi Kompetisi Pluralisasi Solidaritas 5.42 5,75 5,82 4,71 5,47 Skor Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2014 adalah 5.42. Terjadi kenaikan sebesar 0,45, walaupun tidak signifikan, dibandingkan dengan Indeks pada tahun 2013 (4.97). Secara umum Indeks Demokrasi Indonesia sejak 2011 cenderung stagnan dan berkisar pada skor 5. Dari dua variabel pembentuknya, liberalisasi lebih tinggi (5,79) daripada ekualisasi (4,82). Skor liberalisasi di kisaran sedang menunjukkan struktur dan kekuatan otoritarian masih bertahan dalam sistem demokrasi Indonesia di tiga ranah (politik, ekonomi, masyarakat sipil). Ini diperburuk dengan masih rendahnya skor ekualisasi yang menunjukkan sempitnya akses warga negara pada sumber daya politik, ekonomi dan sosial. Situasi liberalisasi dan ekualisasi semakin variatif jika dilihat dari masing-masing ranah yaitu politik, ekonomi, dan masyarakat sipil. Berikut skor dari tiap bidang: 1. Bidang Politik Ranah POLITIK Tabel 2: Skor Indeks Bidang Politik 2014 Liberalisasi Ekualisasi 6.80 6.63 Otonomi Kompetisi Pluralisasi Solidaritas 7.64 6.24 7.00 6.34 Skor 6,72 Secara umum skor di bidang politik yaitu 6,72, termasuk skor tertinggi dibanding 3 bidang ekonomi dan masyarakat sipil. Skor politik dihasilkan dari skor liberalisasi 6,80 dan skor ekualisasi 6,63. Tingginya skor Politik tahun 2014 dibandingkan sebelumnya menunjukkan situasi berikut ini: - Perubahan konstelasi politik hasil Pemilu Legislatif 2014 di mana pemenang pemilu berganti dari Partai Demokrat ke Partai PDI-Perjuangan, tetapi tidak ada kekuatan mayoritas dalam parlemen. Suara PDIP sebagai pemenang adalah yang terendah selama Reformasi. - Ikatan antara partai dengan pemilih semakin melemah, hal ini nampak pada perolehan suara pemenang pemilu yang terus menurun sejak 1999 hingga 2014 (33% PDIP 1999, 22% Golkar 2004, 21% PD 2009, 19% PDIP 2014) - Basis keterpilihan anggota legislatif didominasi oleh politik oligarki baik di tingkat nasional maupun lokal. - Persaingan pilpres menghasilkan polarisasi dua blok politik. Hal ini berdampak pada meningkatnya intensitas diskusi politik di ruang publik, dan politisasi partisipasi warga dan pendidikan politik. Skor tersebut juga menunjukkan kecenderungan adanya demonopolisasi dalam ranah politik yang diindikasikan oleh: 1. Persaingan antar partai ketat (dalam pileg, PD turun ke urutan ke-4). Perolehan suara tiga besar pemenang Pemilu 2014 ketat: PDIP 18,95%; Golkar 14,75%; Gerindra 11,81%. 2. Persaingan antar elit oligarkis semakin ketat sehingga monopoli kekuasaan politik mendapatkan tantangan. 3. Partisipasi politik warga meningkat dalam momen elektoral. 2. Bidang Ekonomi Ranah EKONOMI Tabel 3: Skor Indeks Bidang Ekonomi 2014 Liberalisasi Ekualisasi 5,02 4,00 Otonomi Kompetisi Pluralisasi Solidaritas 4,94 5,09 2,88 4,80 Skor 4,41 1. Skor Indeks untuk ranah ekonomi, cenderung stagnan pada skor 4. Prinsip liberalisasi dan ekualisasi untuk ranah ekonomi pun yang paling rendah dibanding yang ditemukan di dua ranah lainnya (politik dan masyarakat sipil). 2. Dalam de-monopolisasi kekuasaan ekonomi, skor indeks untuk ekualisasi lebih buruk daripada liberalisasi. Artinya de-monopolisasi ekonomi yang masih rendah skornya itu terjadi dengan otonomi dan kompetisi yang lebih besar ketimbang pluralisasi dan solidaritas. Indeks 2014 menemukan persepsi tentang pluralisasi kekuasaan ekonomi yang kondisinya sangat buruk. 3. Skor pluralisasi paling rendah dalam keseluruhan indeks (2,88). Skor pluralisasi yang rendah terjadi akibat rendahnya indikator-indikator di dalamnya: bertahannya struktur ekonomi yang monopolistik dan rendahnya pluralisasi dalam ranah ekonomi, yang diindikasikan oleh: monopoli aset, kesenjangan pendapatan antarkelompok dan antarwilayah, ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam pasar 4 tenaga kerja. 3. Bidang Masyarakat Sipil Tabel 4: Skor Indeks Bidang Masyarakat Sipil 2014 Ranah Liberalisasi Ekualisasi MASYARAKAT 5,32 4,88 SIPIL Otonomi Kompetisi Pluralisasi Solidaritas 4,90 5,83 4,50 5,38 Skor 5,15 Skor total demonopolisasi di ranah masyarakat sipil sebesar 5,15; naik 0,12 dari skor 2013. Secara keseluruhan sejak 2011 sampai 2014 skor Masyarakat Sipil menunjukkan stagnasi di kisaran skor 5. Dinamika dalam masyarakat sipil di tahun 2014 sangat dipengaruhi oleh momen pemilu yang ditandai dengan munculnya bentuk-bentuk baru partisipasi politik warga dalam lingkup elektoral (pemilu), misalnya partisipasi warga yang diarahkan untuk mendukung kandidat dalam pemilu (tren ini muncul pada Pilkada DKI hingga Pilpres 2014). Selain itu, terjadi polarisasi dua kandidat dalam pilpres yang mendorong masyarakat sipil untuk mengekspresikan pilihan politik secara terbuka dan lebih “politis” (lebih terlibat dan lebih peduli). Tren liberalisasi masyarakat sipil lebih tinggi dibandingkan ekualisasi. Artinya, terjadi sedikit peningkatan otonomi masyarakat sipil dalam hal kebebasan sipil. Namun, tantangan berupa intervensi Pemerintah terhadap organisasi masyarakat tetap mengancam (UU Ormas No. 17/2013). Sementara derajat toleransi antar kelompok dan perlindungan negara terhadap kelompok marjinal, melemah (terjadi penurunan signifikan skor Kompetisi dari 2011 ke 2014). Informasi lebih lanjut: - Yolanda Panjaitan (0812 903 99004) - Panji Anugrah (0857 2361 1567) ***** 5