Riptek, Vol.3, No.2, Tahun 2009, Hal.: 53 – 62 ALTERNATIF KEBIJAKAN ANTISIPASI MIGRASI PERUBAHAN IKLIM DI KOTA SEMARANG Rukuh Setiadi *), Fajar H Mardiansjah*), dan Nila A.H. Pratiwi Abstrak Perubahan iklim merupakan tantangan global yang serius pada abad 21 ini dan menghendaki adanya perubahan model manajemen pembangunan kota yang lebih antisipatif. Perubahan iklim yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan elevasi air laut dapat mempengaruhi kondisi lingkungan suatu kota dalam periode waktu tertentu. Migrasi dari mereka yang terkena dampak perubahan iklim (climate-forced migration) menjadi salah satu isu penting untuk dikaji. Migrasi tersebut berlangsung karena wilayah sebagai tempat tinggal masyarakat, khususnya di wilayah pesisir tergenang sebagai akibat dari naiknya permukaan laut. Kota Semarang memiliki wilayah pesisir yang sangat rawan untuk tergenang. Di tengah-tengah upaya mitigasi dan adaptasi yang masih penuh dengan ketidakpastian, migrasi potensial sebagai salah satu upaya yang tepat untuk menangani bencana yang berkepanjangan dan dirasa tidak ada lagi solusi yang tepat untuk menangani bencana yang terjadi. Namun demikian, tidak semua masyarakat siap dan mampu untuk bermigrasi ke tempat yang lebih aman. Kajian tentang fenomena climate-forced migration masih belum mendapat perhatian yang memadai, walaupun implikasinya akan mempengaruhi konstelasi pembangunan kota. Oleh karena itu, kebijakan yang kondusif dalam memfasilitasi dan mengarahkan pola migrasi perubahan iklim di Kota Semarang sangat diperlukan agar pembangunan kota lebih terencana. Kata kunci : perubahan iklim, migrasi, climate-forced migration, Kota Semarang Latar Belakang Dampak perubahan iklim dapat berimplikasi pada perubahan elevasi air laut dan akan mempengaruhi kondisi lingkungan suatu kota dalam periode waktu tertentu. Studi modeling kenaikan permukaan air laut sebagai efek dari perubahan iklim telah banyak dilakukan. Beberapa lembaga internasional seperti International Organization for Migration/ IOM (2008) menyebutkan bahwa rata-rata kenaikan muka air laut secara global diperkirakan naik antara 8-13 cm pada tahun 2030, antara 17-29 cm pada tahun 2050, dan antara 35-82 cm pada tahun 2100. Keadaan ini akan mempengaruhi pola gerakan perpindahan atau migrasi penduduk di suatu kota. Wisner (2008) memperkirakan jumlah populasi dunia yang secara permanen akan melakukan migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim sebanyak 150 – 200 juta, bahkan mungkin menginjak angka satu milyar jiwa pada tahun 2050, diantaranya disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut yang semakin tinggi. Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, migrasi adalah salah satu solusi mitigasi yang paling ideal. Proses migrasi ini diduga akan sangat signifikan dimasa yang akan datang, terutama jika trend kenaikan muka air laut terus berlanjut sebagaimana saat ini. Hal tersebut akan mempengaruhi pembangunan kota karena masyarakat yang bermigrasi akan meninggalkan daerah tempat tinggalnya semula (origin) dan menuju daerah-daerah baru (destination). *) Staf Kebijakan yang kondusif dalam memfasilitasi dan mengarahkan pola migrasi sangat diperlukan agar pembangunan kota lebih terencana. Dengan mengambil Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa sebagai studi kasus, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kebijakan antisipatif sebagai kontribusi dalam pengembangan model manajemen pembangunan kota pesisir yang responsif terhadap mitigasi perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut yang terjadi di Kota Semarang akan dirasakan masyarakat hingga jangka panjang. Dengan pengaruh kerawanan kenaikan muka air laut yang diproyeksikan akan terus meningkat pada tahuntahun mendatang, menyebabkan tingkat kerentanan wilayah ini semakin besar. Masalah ini semakin pelik ketika korban utama dari permasalahan lingkungan di wilayah pesisir ini adalah masyarakat miskin atau golongan ekonomi menengah ke bawah yang berprofesi sebagai nelayan, petambak, atau kegiatan lain yang bergantung pada sumberdaya pesisir (Pelangi, 2007). Berbagai upaya antisipasi yang akan dilakukan sebagian besar tergantung pada keadaan finansial yang tersedia untuk mengembangkan teknologi sederhana hingga teknologi canggih yang dapat mengurangi risiko kenaikan muka air laut. Identifikasi dan Perumusan Masalah Kota Semarang merupakan salah satu kota yang menerima dampak kenaikan muka air laut. Keadaan tersebut juga makin diperparah dengan Pengajar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Alternatif Kebijakan Antisipasi Migrasi Perubahan Iklim Di Kota Semarang adanya penurunan tanah di Kota Semarang sebesar 2 – 6 cm pertahun. Jika ketinggian permukaan air laut pada saat ini sudah mencapai 80 cm, maka sekitar 40 tahun yang akan datang ketinggian permukaan laut akan berkisar pada 159 cm. Pemodelan sederhana terhadap trend ketinggian permukaan laut sebagai efek dari fenomena perubahan iklim tersebut memprediksi bahwa sebagian dari dataran rendah wilayah perkotaan Semarang akan tergenang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dampak yang terjadi akibat penurunan tanah dan juga kenaikan air laut, mulai upaya-upaya yang sederhana seperti meninggikan bangunan, jalan, dan lain-lain, sampai upaya yang memerlukan dana yang cukup besar seperti membangun polder, memperbaiki sistem drainase, dan lain sebagainya. Sampai saat ini upaya yang telah dilakukan dirasa belum optimal untuk mengatasi dampak akibat kenaikan muka air laut dan penurunan tanah di Kota Semarang. Salah satu upaya untuk mengatasi bencana yang berkepanjangan adalah dengan mitigasi, dimana migrasi menjadi salah satu aspek didalamnya. Migrasi adalah salah satu upaya yang paling tepat untuk menangani bencana yang berkepanjangan dan dirasa tidak adalagi solusi yang tepat untuk menangani bencana yang terjadi. Tetapi walaupun migrasi bisa dijadikan sebagai salah satu solusi terbaik bagi penanganan bencana, migrasi harus dilakukan secara tepat dengan pola-pola tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi dampak sosial maupun lingkungan yang terjadi akibat migrasi. Mengacu pada penjelasan diatas maka yang menjadi rumusan permasalahan adalah: “Bagaimanakah kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim (climate-forced migration) di Kota Semarang?” Perubaha n Iklim Kenaikan Muka Air Laut Kerentanan Masyarakat Pesisir Pembangunan Kota yang Responsif thd Perubahan Iklim Fenomena Migrasi dan Perubahan Konstelasi Spasial serta Sosial Kebijakan Antisipatif thd Migrasi Perubahan Iklim Gambar 1 Kerangka Pikir Makro Penelitian Kajian kebijakan mengenai antisipasi migrasi perubahan iklim menjadi penting. Kajian kebijakan antisipatif dalam merespon migrasi 54 (Rukuh Setiadi, dkk) perubahan iklim berguna dalam mengendalikan agar migrasi tersebar ke beberapa bagian wilayah dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang diharapkan. Adapun kebijakan tersebut secara makro dapat mendukung pembangunan kota yang lebih responsif terhadap perubahan iklim. Landasan Teori Kebijakan adalah fungsi dari pemerintah, baik dalam pengembangan dan implementasi kebijakan. Kebijakan mempertegas di posisi mana pemerintah berdiri dan membedakan diri dari pihak-pihak lainnya. Kebijakan yang baik sering dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, tujuan-tujuan yang telah digariskan oleh pemerintah disasar melalui penerapan kebijakan. Kebijakan dengan demikian dilihat lebih sebagai suatu „cara‟ dari pada „hasil‟. Kebijakan harus punya tujuan dan jika tidak ada tujuan akan sangat membahayakan dan cenderung ciptakan kerusakan. Pemerintah yang tidak memiliki kebijakan dengan demikian dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang keluar dari jalurnya dan „tersesat‟. Namun demikian kebijakan tidak hanya terkait dengan penetapan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik pada kenyataanya sangat erat sekali kaitannya dengan urusan politik dan kekuasaan, khususnya di negara dunia ketiga (Turner and Hulme 1997: 58). Konteks dalam formulasi kebijakan sangat fluid, banyak aktor yang terlibat - misalnya: interest groups, research organizations and mass media (Howlett and Ramesh 1995:52), sulit terdefinisi, tekanan waktu, dan faktor pendorong yang bervariasi. Oleh karena itu, Jenkins (1978) juga mendefinisikan kebijakan sebagai suatu keputusan yang saling terkait sebagai hasil dari interaksi antara aktor-aktor politis dan kelompok aktor lainnya di dalam suatu situasi, dimana keputusan yang dihasilkan berada dalam kekuasaan atau kewenangan yang dapat dicapai oleh aktor yang terlibat. Dalam merespon suatu fenomena, dalam konteks ini adalah perubahan iklim, pemerintah pada semua level harus memiliki posisi dan kebijakan yang jelas. Dengan sejumlah pertimbangan yang berbasis pada informasi yang akurat, pemerintah seharusnya memberikan perhatian dan membuat kebijakan-kebijakan baik untuk melakukan mitigasi maupun adaptasi sesuai dengan situasi yang berlangsung. Reduksi bahaya bencana dan rencana pengembangan mitigasi merupakan hal yang krusial dalam beradaptasi terhadap bahaya dari perubahan iklim. Hal ini sangat penting dalam menghadapi kerentanan bencana alam yang disebabkannya, terutama di wilayah pesisir dan Riptek, Vol.3, No.2, Tahun 2009, Hal.: 53 – 62 dataran rendah perkotaan. Kawasan yang paling berpotensi terkena dampak dari perubahan iklim adalah negara kepulauan yang memiliki banyak kawasan pesisir terutama negara-negara berkembang. Negara berkembang yang terkena dampak dari perubahan iklim memiliki karakteristik penduduk yang identik dengan kemiskinan, dan masyarakatnya sangat bergantung pada sumber daya pesisir. Secara umum kebijakan dalam merespon perubahan iklim dapat dilakukan pada tiga area makro, yaitu: a) Kebijakan untuk mencegah dan mengendalikan sumber-sumber perubahan iklim. Kebijakan ini pada dasarnya mengarahkan pada upaya untuk menurunkan emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer dan mempertahankan serta meningkatkan kapasitas penyerap gas-gas karbon di atmosfer. b) Kebijakan untuk mengatasi dampak yang dihasilkan dari perubahan iklim. Kebijakan ini pada dasarnya berhubungan dengan konsekuensi yang lansung diterima oleh semua pihak sebagai akibat perubahan iklim. Kebijakan ini cenderung reaktif untuk misalkan mengatasi perubahan pola dan intensitas banjir, kekeringan, wabah penyakit, kenaikan muka air laut, dan lain sebagainya. c) Kebijakan untuk memonitor pelaksanaan dari butir diatas. Kebijakan ini terkait dengan penguatan sistem informasi untuk memberikan informasi substansial dan aktual mengenai capaian berbagai upaya yang telah dilakukan. Kebijakan ini berguna untuk memberikan input bagi penyempurnaan kebijakan selanjutnya. Migrasi perubahan iklim (climate-forced migration) adalah perpindahan penduduk secara permanen dari suatu daerah asal menuju daerah tujuan, yang dipicu oleh perubahan iklim. Dalam mengatasi migrasi perubahan iklim dapat mencakup 2 (dua) jenis kebijakan yaitu kebijakan pada daerah tujuan (climate-forced migrants destination) dan kebijakan pada daerah asal (climate-influenced origin). (1) Kebijakan Pada Daerah Tujuan ClimateForced Migrants. Pada dasarnya kebijakan ini perlu dikembangkan untuk merespon masyarakat yang melakukan migrasi menuju pada daerah tujuan baru. Kebijakan ini lebih berorientasi pada upaya antisipasi mengingat migrasi ini tidak tampak secara nyata, karena dianggap sebagai fenomena alamiah yang tidak dapat dilepaskan dalam perkembangan kota. (2) Kebijakan Pada Daerah Asal (ClimateInfluenced Origin). Kebijakan ini pada dasarnya untuk merespon masyarakat yang tetap tinggal pada daerah yang dipengaruhi oleh dampak perubahan iklim dan memilih untuk tidak melakukan migrasi. Adapun kebijakan yang ini sering disebut sebagai kebijakan adaptasi perubahan iklim. Pada setiap kebijakan diatas, dari sisi substansial, kebijakan yang dihasilkan dapat dibedakan kedalam 2 (dua) jenis kebijakan, yakni: kebijakan makro dan kebijakan mikro. Kebijakan makro adalah kebijakan yang bersifat umum dan mendasar, sedangkan kebijakan mikro adalah kebijakan yang bersifat sektoral dan operasional. Kebijakan-kebijakan makro dan mikro dari hasil analisis kebijakan ini sebaiknya dilihat sebagai suatu alternatif-alternatif yang harus diperhatikan lebih lanjut dalam proses perumusan kebijakan di tingkat praktis. Wilayah Kota Semarang yang Akan Tergenang Akibat Kenaikan Muka Air Laut Proyeksi ketinggian air laut yang mencapai daratan ditentukan oleh elevasi permukaan air laut 90 cm, perubahan ketinggian air laut 1,46 cm/tahun, dan penurunan tanah 5 cm/tahun. Kenaikan air laut Kota Semarang pada tahun 2006 – 2007 adalah 8 cm (BMG Kota Semarang, 2007) dan pada setiap tahunnya mengalami perubahan ketinggian 1,46 cm/tahun. Wilayah Kota Semarang akan terkena dampak dari kenaikan air laut khususnya wilayah pesisir dan dataran rendah. Berdasarkan hasil Revisi RTRW Kota Semarang 2010 – 2030, ketinggian wilayah untuk wilayah pesisir adalah 0 – 0,75 meter dpl dan ketinggian wilayah untuk wilayah dataran rendah adalah 0,75 – 5 meter dpl. Berdasarkan proyeksi ketinggian air laut, wilayah pesisir dan dataran rendah di Kota Semarang akan terkena dampak kenaikan air laut secara signifikan dalam periode pendek (hingga tahun 2012), periode menengah (hingga tahun 2025), dan periode panjang (hingga tahun 2045). Penentuan variasi periode waktu tersebut disesuaikan dengan hasil proyeksi ketinggian air laut Kota Semarang. Pada tahun 2012 ketinggian air laut mecapai 1,1 meter dpl dengan begitu wilayah dengan ketinggian 1,1 m dpl akan tergenang air laut. Ketinggian air laut pada tahun 2025 mencapai 1,3 meter dpl, dengan begitu wilayah dengan ketinggian tersebut akan tergenang air laut. Dalam periode panjang (hingga tahun 2045) ketinggian air laut mencapai 1,6 meter dpl, dengan begitu wilayah dengan ketinggian 1,6 meter dpl juga akan tergenang. Luas keseluruhan wilayah genangan periode jangka pendek adalah 315,598 Ha. Wilayah genangan terluas adalah Kecamatan Tugu, yaitu 98,535 Ha, sedangkan luas genangan terkecil adalah Kecamatan Semarang Tengah, yaitu 0,001 Ha. Apabila dilihat dari penggunaan 55 Alternatif Kebijakan Antisipasi Migrasi Perubahan Iklim Di Kota Semarang lahannya, wilayah genangan terluas adalah guna lahan pemukiman di Kecamatan Semarang Utara, yaitu 42,233 Ha. Guna lahan perdagangan Tahun (Rukuh Setiadi, dkk) dan jasa di Kecamatan Semarang Tengah termasuk wilayah genangan terkecil, yaitu 0,001 Ha. Tabel I Proyeksi Ketinggian Air Laut Kota Semarang Tahun 2006-2045 Elevasi Perubahan Ketinggian Land Subsidence Ketinggian Air Laut yang (cm) Air Laut (cm) (cm/tahun) Mencapai Daratan (cm) 2006-2007 90 8 2007-2008 90 9,46 2008-2009 90 10,92 2009-2010 90 12,38 2010-2011 90 13,84 2011-2012 90 15,3 2024-2025 90 34,28 2044-2045 90 63,48 Keterangan: Kenaikan air laut adalah 1,46 cm/tahun 5 5 5 5 5 5 5 5 103 104,46 105,92 107,38 108,84 110,3 129,28 158,48 Karakteristik Migrasi Perubahan Iklim di Kawasan Pemukiman yang Akan Tergenang Gambar 2 Wilayah Kota Semarang yang Akan Tergenang Tahun 2006 – 2045 Luas keseluruhan wilayah genangan periode menengah adalah 45,033 Ha. Wilayah genangan terluas adalah Kecamatan Semarang Barat, yaitu 17,154 Ha, sedangkan luas genangan terkecil adalah Kecamatan Pedurungan, yaitu 0,096 Ha. Apabila dilihat dari penggunaan lahannya, wilayah genangan terluas adalah guna lahan pemukiman di Kecamatan Semarang Barat, yaitu 12,745 Ha. Guna lahan industri di Kecamatan Gayamsari termasuk wilayah genangan terkecil, yaitu 0,013 Ha. Luas keseluruhan wilayah genangan periode panjang adalah 153,089 Ha. Wilayah genangan terluas adalah Kecamatan genuk, yaitu 61,918 Ha, sedangkan luas genangan terkecil adalah Kecamatan Gayamsari, yaitu 2,192. Apabila dilihat dari penggunaan lahannya, wilayah genangan terluas adalah guna lahan industri di Kecamatan Tugu, yaitu 37,982 Ha. Guna lahan pelabuhan di Kecamatan Semarang Utara termasuk wilayah genangan terkecil, yaitu 0,003 Ha. 56 Masyarakat Kota Semarang perlu melakukan upaya adaptasi dan antisipasi untuk merespon bencana kenaikan muka air laut. Isu yang sedang berkembang di dunia adalah adanya masyarakat yang migrasi akibat perubahan iklim dan biasa disebut dengan climate migration. Dalam penelitian ini selain fokus terhadap penggunaan lahan Kota Semarang yang akan tergenang dan hilang, tetapi juga melihat respon masyarakat yang berusaha untuk mengambil keputusan migrasi. Dalam penelitian ini akan dikaji karakteristik migrasi masyarakat yang berada di kawasan permukiman dan kawasan industri yang akan tergenang. Adapun pembahasan untuk karakteristik migrasi masyarakat di kawasan permukiman dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan wilayah yang akan tegenang dalam periode pendek, menengah dan panjang. Sedangkan untuk karakteristik migrasi kawasan industri dibagi berdasarkan wilayah administrasi kawasan industri yang akan tergenang dalam periode panjang. Sebagian besar masyarakat di seluruh kawasan pemukiman yang tergenang akan bermigrasi untuk menghindari kenaikan air laut. Masyarakat yang akan bermigrasi di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode pendek adalah 78%, persentase masyarakat yang bermigrasi di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode menengah 73%, sedangkan masyarakat di kawasan pemukiman yang akan tergenang dalam periode panjang telah berencana sejak dini untuk bermigrasi karena mengantisipasi dampak kenaikan air laut dalam periode panjang. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase jumlah masyarakat yang bermigrasi lebih besar dibandingkan periode pendek dan menengah, yaitu 87%. Riptek, Vol.3, No.2, Tahun 2009, Hal.: 53 – 62 No. 1. 2. 3. Tabel 2 Keputusan Masyarakat Bermigrasi Masyarakat yang Variasi Periode Melakukan Migrasi Waktu Ya Tidak Periode Pendek 78% 22% Periode Menengah 73% 27% Periode Panjang 87% 13% Sumber: Setiadi dan Kunarso, 2009 Gambar 3 Diagram Persentase Keputusan Masyarakat Bermigrasi a) Karakteristik Migrasi Perubahan Iklim Periode Jangka Pendek Luas kumulatif kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode pendek adalah 848.384 Ha. Genangan terluas akibat kenaikan air laut terdapat di Kelurahan Panggung Lor, Kecamatan Semarang Utara dengan luas 149.271 Ha, sedangkan genangan dengan luasan terkecil terdapat di Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, yaitu 0,136 Ha. Pada tahun 2009 genangan sudah terlihat di Kelurahan Tawangsari, Tawangmas, Bulu Lor, Kuningan, Bandarharjo, Tanjung Emas, Panggung Kidul, Panggung Lor, Plombokan, Dadapsari, Purwosari, Terboyo Wetan, Terboyo Kulon. Pada wilayah yang tergenang dalam periode pendek, genangan hanya muncul di pemukiman ketika hujan deras, hal ini terjadi karena kondisi dataran di pemukiman sangat rendah dan drainase yang buruk, sehingga tidak mampu menampung air hujan. Adapun pemukiman yang mengalami genangan akibat kenaikan air laut adalah pemukiman yang berbatasan langsung dengan laut dan yang berbatasan dengan sungai yang bermuara ke laut. Masyarakat memiliki alasan tersendiri untuk bermigrasi atau tidak bermigrasi. Adapun alasan utama yang membuat masyarakat mengambil keputusan migrasi adalah faktor penurunan kualitas lingkungan. Hal tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat karena mengurangi kenyamanan bertempat tinggal; merusak kondisi rumah dan lingkungannya; serta menimbulkan berbagai macam penyakit yang berakibat pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat dan dapat menghambat aktivitas masyarakat. Sementara alasan masyarakat yang tidak bermigrasi diantaranya adalah karena tidak ada biaya, pekerjaan yang bergantung pada laut, lokasi rumah yang dekat dengan tempat kerja, kenyamanan lokasi dan sosial kemasyarakatan di pemukimannya, kondisi rumah masih aman dari genangan air laut, dan lain-lain. Berikut ini merupakan kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode pendek dan preferensi masyarakat terhadap daerah tujuan migrasi. Gambar 4 Kawasan Pemukiman yang Tergenang Dalam Periode Jangka Pendek 57 Alternatif Kebijakan Antisipasi Migrasi Perubahan Iklim Di Kota Semarang (Rukuh Setiadi, dkk) Gambar 5 Persentase Daerah Tujuan Migrasi Masyarakat di Kawasan Pemukiman yang Tergenang dalam Periode Jangka Pendek Masyarakat di kawasan pemukiman ini memilih Kecamatan Banyumanik dan Semarang Tengah sebagai daerah tujuan migrasi dengan persentase terbesar, yaitu 13% dan 12%. Adanya kampus UNDIP dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Kecamatan Tembalang berdampak pada kelengkapan fasilitas perkotaan yang ada di kecamatan tersebut, sehingga menjadikan Kecamatan Tembalang sebagai salah satu wilayah tujuan migrasi. Demikian pula dengan Kecamatan Banyumanik yang kini menjadi pusat pemukiman di Semarang Atas, juga dilengkapi dengan fasilitas perkotaan. Namun, lokasi kedua wilayah tersebut sangat jauh dari daerah asal sehingga menjadi kendala untuk migrasi bagi masyarakat miskin yang sumber penghasilannya di wilayah pesisir. Sedangkan Kecamatan Semarang Tengah menjadi daerah tujuan migrasi karena lokasinya masih dekat dengan wilayah pesisir sebagai daerah asal migrasi masyarakat, sehingga jarak yang ditempuh menuju lokasi mata pencaharian relatif dekat. Selain itu, wilayah ini merupakan pusat kota yang sangat strategis dan lengkap akan fasilitasnya. b) Karakteristik Migrasi Perubahan Iklim Periode Jangka Menengah Luas komulatif kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode menengah adalah 1499,194 Ha. Genangan terluas akibat kenaikan air laut terdapat di Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Semarang Barat dengan luas 103,403 Ha, sedangkan genangan dengan luasan terkecil terdapat diKelurahan Pandan Sari, Kecamatan Semarang Tengah, yaitu 0,002 Ha. Masyarakat di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode menengah memilih Kecamatan Banyumanik sebagai daerah tujuan migrasi. Menurut masyarakat meskipun Kecamatan Banyumanik merupakan daerah pinggiran tetapi telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Penyediaan sarana dan prasarana 58 tersebut dapat menunjang aktivitas di kawasan pemukiman. Selain itu, harga lahan di daerah pinggiran tidak setinggi harga lahan di pusat kota. Bagi masyarakat yang bekerja di pusat kota tidak perlu menghawatirkan permasalahan aksesibilitas karena sarana transportasi telah disedikan di kecamatan ini, dengan begitu memudahkan masyarakat untuk melakukan pergerakan. Alasan masyarakat memilih Kecamatan Banyumanik sebagai daerah tujuan migrasi karena faktor ekonomi. Menurut mereka, Kecamatan Banyumanik dapat dijadikan tempat tinggal sekaligus sebagai lokasi mata pencaharian. Masyarakat di kecamatan ini dapat membuka usaha tanpa harus memikirkan genangan akibat kenaikan air laut. Selain itu, masyarakat di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode menengah ternyata juga mempertimbangkan faktor sosial, hal ini berbeda dengan masyarakat yang tinggal di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode pendek dan panjang. Masyarakat memilih Kecamatan Mijen, Kecamatan Semarang Selatan, dan Kabupaten karena adanya sanak saudara di daerah tersebut. Gambar 6 Kawasan Pemukiman yang Tergenang Dalam Periode Jangka Menengah Riptek, Vol.3, No.2, Tahun 2009, Hal.: 53 – 62 Gambar 7 Persentase Daerah Tujuan Migrasi Masyarakat di Kawasan Pemukiman yang Tergenang dalam Periode Jangka Menengah c) Karakteristik Migrasi Perubahan Iklim Periode Jangka Panjang Luas komulatif kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode panjang adalah 496,058 Ha. Genangan terluas akibat kenaikan air laut terdapat di Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu dengan luas 103,403 Ha, sedangkan genangan dengan luasan terkecil terdapat diKelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, yaitu 0,074 Ha. Preferensi masyarakat di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode panjang ternyata sama dengan preferensi masyarakat di kawasan pemukiman yang tergenang dalam periode pendek dan menengah. Kecamatan Banyumanik dipilih sebagai daerah tujuan migrasi untuk menghindari kerentanan akibat dampak kenaikan air laut. Fitur kerentanan yang dipertimbangkan dalam memilih daerah tujuan migrasi adalah fitur kerentanan ekonomi, lingkungan terbangun, dan lingkungan biografi. Berdasarkan RDTR Kota Semarang Kecamatan Banyumanik memang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman. Akan tetapi, dengan adanya keputusan migrasi masyarakat yang terkena dampak kenaikan air laut maka akan terjadi peningkatan kepadatan penduduk di kecamatan ini. Padahal fungsi dari Kecamatan Banyumanik sebagai kawasan konservasi. Oleh karena itu diperlukan analisis pemanfaatan lahan di Kecamatan Banyumanik agar pengembangan kawasan pemukiman tidak mengganggu fungsi dari kecamatan ini sebagai kawasan konservasi. Kecamatan Banyumanik juga memerlukan penambahan sarana dan prasarana yang disesuakan dengan masyarakat yang brmigrasi ke daerah tersebut. Gambar 8 Kawasan Pemukiman yang Tergenang Dalam Periode Panjang 59 Alternatif Kebijakan Antisipasi Migrasi Perubahan Iklim Di Kota Semarang (Rukuh Setiadi, dkk) Gambar 9 Persentase Daerah Tujuan Migrasi Masyarakat di Kawasan Pemukiman yang Tergenang dalam Periode Jangka Panjang Implikasi dan Alternatif Pembangunan Kota Kebijakan Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan guna mengantisipasi migrasi perubahan iklim sebaiknya dilihat sebagai suatu alternatifalternatif yang harus diperhatikan lebih lanjut dalam proses perumusan kebijakan di tingkat praktis. Kebijakan yang akan dihasilkan juga sebaiknya mengutamakan kepentingan masyarakat pesisir yang sebagian besar termasuk dalam golongan ekonomi lemah dan sebagian besar bermatapencaharian di wilayah pesisir, terlebih lagi karena kebijakan yang akan dirumuskan nantinya termasuk dalam rencana pembangunan Kota Semarang periode panjang, sehingga dapat tercipta pola pembangunan yang berkelanjutan. Berikut ini adalah pemaparan mengenai temuan studi dan alternatif kebijakan yang dapat digunakan dalam permasalahan migrasi perubahan iklim di Kota Semarang. Pertama, Sebagian besar masyarakat pesisir (pada kisaran 73%-87%) memutuskan untuk bermigrasi dan sebagian kecil (pada kisaran 13%-27%) memutuskan untuk tetap tinggal di kawasan yang akan tergenang. Implikasinya, kawasan pesisir, pusat kota, maupun hinterland Kota Semarang tetap menjadi tempat hidup masyarakat. Walau demikian kawasan pesisir akan dihuni oleh lebih sedikit penduduk daripada kawasan pusat kota dan hinterland. Secara fisik keruangan terjadi pemencaran pusat-pusat kawasan terbangun di Kota Semarang. Pemerintah Kota Semarang dalam perannya sebagai pihak yang bertanggung jawab melindungi masyarakatnya harus tetap upayakan program dan mengalokasikan dana yang 60 memadahi dalam rangka mengurangi dampak kenaikan air laut bagi masyarakat di wilayahwilayah yang rawan tergenang. Disisi lain, Pemerintah Kota Semarang juga harus mengupayakan program dan alokasi dana untuk memastikan agar kecenderungan migrasi ke daerah-daerah tujuan baru oleh masyarakat dari kawasan pesisir tidak memberikan dampak negatif bagi daerah tujuan. Kedua, terdapat sebagian kecil masyarakat di pesisir Kota Semarang (pada kisaran 13%-27%) yang memutuskan untuk tetap tinggal di kawasan yang akan tergenang. Sebagai implikasinya implementasi program dan project penanganan dan pemeliharaan di kawasankawasan pesisir terkena dampak kenaikan air laut (termasuk banjir) yang telah disusun (seperti sistem perpompaan, polder/ kolam retensi) perlu ditindaklanjuti. Implementasi program dan project penanganan dan pemeliharaan di kawasan-kawasan pesisir terkena dampak kenaikan air laut (termasuk banjir) yang telah disusun (seperti sistem perpompaan, polder/ kolam retensi) perlu ditindaklanjuti. Pelibatan masyarakat secara aktif dalam pemeliharaan keluaran program dan project di kawasan tersebut perlu untuk diperhatikan dalam rangka pencapaian efisiensi dan keberlanjutan hasil, dan kehidupan masyarakat itu sendiri. Misalnya pemeliharaan polder dan peninggian secara berkala mungkin akan lebih murah daripada setiap keluarga meninggikan rumahnya untuk berkompetisi dengan peninggian muka air laut. Ketiga, secara umum pada tiga variasi periode waktu, sebagian besar masyarakat yang Riptek, Vol.3, No.2, Tahun 2009, Hal.: 53 – 62 bermigrasi memiliki preferensi untuk menuju ke daerah hinterland di kecamatan Tembalang Mijen, Banyumanik, Gunungpati dan di daerah pusat kota, Kecamatan Semarang Tengah dan Pedurungan. Implikasinya, Akan terjadi tekanan yang meningkat di daerah hinterland Kota Semarang dan Pusat Kota Semarang. Tekanan tersebut diantaranya adalah karena adanya permintaan lahan untuk permukiman dan permintaan infrastruktur dasar yang akan meningkat. Daya dukung kawasan hinterland yang telah direncanakan dalam RTRW bisa terlampaui. Oleh karena itu, diperlukannya suatu kebijakan untuk meninjau ulang daya dukung kawasan hinterland Kota Semarang (seperti Tembalang, Mijen, Banyumanik, dan Gunungpati) serta daerah pusat kota (seperti Semarang Tengah dan Pedurungan). Disamping itu, juga diperlukannya suatu kebijakan untuk meninjau ulang pemenuhan dan pelayanan sarana dan prasarana di kawasan hinterland Kota Semarang (seperti Tembalang, Mijen, Banyumanik, dan Gunungpati) serta daerah pusat kota (seperti Semarang Tengah dan Pedurungan). Keempat, secara komparatif, walaupun dalam periode pendek ancaman terhadap kenaikan air laut lebih nyata, namun proporsi masyarakat di wilayah ini yang kecenderungan untuk menetap lebih besar daripada masyarakat yang ada di kawasan yang dalam periode menengah dan panjang akan tergenang. Dari sini terlihat bahwa ancaman kenaikan air laut tidak menjadi pendorong sebagian masyarakat bermigrasi, sehingga faktor penghambat (seperti: keterkaitan ekonomi, tingginya harga lahan di daerah tujuan) diduga lebih kuat dan mempengaruhi masyarakat. Wacana untuk tidak melakukan apapun (donothing/ status quo) pada kawasan-kawasan yang akan tergenang, berharap agar masyarakat keluar dengan sendirinya sepertinya akan sulit dicapai. Oleh karena itu diperlukannya alternatif kebijakan untuk memampukan masyarakat secara ekonomi, menciptakan alternatif mata pencaharian, melakukan regulasi pasar atas lahan, pembangunan rumuh susun terjangkau di daerah yang bebas genangan kenaikan air laut, dsb akan mempermuah masyarakat untuk melakukan migrasi. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Walikota Semarang dan Kepala Bappeda Kota Semarang yang telah memberikan dana kegiatan penelitian melalui Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Kota Semarang tahun 2009. DAFTAR PUSTAKA Awuor, C.B., Orindi, V.A., and Adwera, A.O. 2008. „Climate change and coastal cities: the case of Mombasa, Kenya‟, Environment and Urbanization, 20 (1), pp. 231-242. Bartlett, S. 2008. „Climate change and urban children: impacts and implications for adaptation in low-and middle-income countries‟, Environment and Urbanization, 20 (2), pp. 501-519. Bittner, J and Elaine C. 2008. “The Impact of Climate Change on Migrants: Current Issues and Future Challenges”. Papper presented in Summary of Midday Workshop, Fordham University, 6 September 2007. Benson, C and Twigg, J. 2007. Tools for mainstreaming disaster risk reduction: guidance notes for development organisations. The ProVention Consortium. Brown, Oli and Alec Crawford. 2008. Assessing the Security Implications of Climate Change for West Africa Country Case Studies of Ghana and Burkina Faso. Manitoba: IISD. Brown, Oli. 2007. Climate Change and Forced Migration: Observations, Projections and Implications. UNDP: Human Development Report Office Occasional Paper. Cooper, H. 1998. Synthesizing Research. California: Sage Publications. Development Research Centre on Migration, Globalisation & Poverty. 2008. “Migration and Climate Change: How Will Climate Shifts Affect Migration Trends?” Briefing, No. 12, September. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. 2008. Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kota Semarang 2008-2023. Semarang. Douglas, I., et al. 2008. „Unjust waters: climate change, flooding and the urban poor in Africa‟, Environment and Urbanization, 20 (1), pp. 187-205 Howlett, M and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy: policy cycles and policy subsystem, Oxford University Press, Toronto and New York. 61 Alternatif Kebijakan Antisipasi Migrasi Perubahan Iklim Di Kota Semarang (Rukuh Setiadi, dkk) IOM, 2008. Migration and Climate Change. No. 31. Switzerland: International Organization for Migration. Susanta, G dan Hari, S. 2008. Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global. Jakarta : Penebar Plus. IOM, 2009. Climate change, migration, and environmnet, IOM Policy Brief. May. Turner, M.M and Hulme, D. 1997. Governance, Administration and Development: making the state works, Kuriarian Press, West Hartford, Connecticut. ISDR. 2009. Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction. United Nations, Geneva, Switzerland. Jenkins, W.I. 1978. Policy Analysis: a political and organizational perspective, London : Oxford University Press. Kartodiharjo. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta:Equinox. Kovats, S and Akhtar, R. 2008. „Climate, climate changes and human health in Asian cities‟, Environment and Urbanization, 20 (1), pp. 165-175. Macchi, Mirjam et al. 2008. Indigenous and Traditional Peoples and Climate Change. IUCN. Parnwell, M. 1993. Population Movement and the Third World, Routledge, London. Pelangi. 2007. Indonesia and Climate Charge: Current Status and Policies. Revi, A. 2008. „ Climate change risk: an adaptation and mitigation agenda for Indian cities‟, Environment and Urbanization, 20 (1), pp. 207-229. Satterthwaite, D. 2008. „Cities‟ contribution to global warming: notes on the allocation of greenhouse gas emissions‟, Environment and Urbanization, 20 (2), pp. 539-549. Setiadi, R dan Kunarso. 2009. „Pola Migrasi Masyarakat Pesisir Perkotaan sebagai Akibat Perubahan Iklim dalam Tiga Variasi Jangka Waktu: Studi Kasus Kota Semarang‟, Laporan Hibah Kompetitif Riset Strategis Sesuai Prioritas Nasional Batch II 2009, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta. Smith, J.B and Lenhart, S.S. 1996. Climate Change Adaptation Policy Options, Climate Research, Vol 6, pp. 193-201. 62 UNEP, 2009. Climate in peril: a popular guide to the latest IPPC‟s reports. GRID Arendal. Norway. UNFCCC. 2007. Climate changes: impacts, vulnerabilities, and adaptation in developing countries. UNFCCC. UNICEF, 2007. Our climate, our children, our responsibility: the implications of climate change on the world‟s children. The UK committee for UNICEF. Wisner, Ben. 2008. Climate Change and Migration: Scientific Fact or Leap of (Bad) Faith? Available at: http://www.disasterdiplomacy.org/pb/wisn er2008climate.pdf.( 29 Desember 2008).