1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Iklim

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Iklim merupakan keadaan rata-rata cuaca di satu daerah yang cukup luas
dan dalam kurun waktu yang cukup lama, minimal 30 tahun, yang sifatnya tetap
(Tjasyono, 2004). Namun akibat adanya aktivitas manusia seperti urbanisasi,
deforestasi, serta industrialisasi, mempercepat adanya perubahan iklim dalam
kurun waktu yang relatif cepat, sedangkan perubahan iklim tersebut berdampak
dalam berbagai sektor kehidupan, salah satunya pertanian. Kondisi tersebut yang
kemudian menjadikan klasifikasi iklim sebagai dasar dalam melakukan mitigasi
terhadap adanya dampak negatif dari perubahan iklim.
Menurut Thorntwaite (1933) dalam Tjasyono (2004), menyatakan bahwa
tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pemerian ringkas jenis iklim ditinjau
dari segi unsur yang benar-benar aktif, terutama air dan panas. Menurut Tjasyono
(2004), pemahaman lebih baru tentang klasifikasi iklim adalah dengan melihat
hubungan sistematik antara unsur iklim tersebut terhadap pola tanaman. Telah
banyak ditemukan korelasi antara tanaman dan unsur panas atau air. Pemakaian
batas sederhana curah hujan dan suhu akan menunjukkan hubungan antara unsur
panas dan air itu sendiri. Misalnya tanaman tertentu seperti jati dalam kondisi
suhu yang tinggi tanaman memerlukan banyak air untuk memenuhi keperluan
evapotranspirasi.
Pada dasarnya terdapat berbagai macam metode untuk melakukan
klasifikasi iklim. Misalnya seperti klasifikasi iklim menurut Koppen yang dapat
diterapkan di Indonesia (Tjasyono, 2004). Namun, mengingat bahwa variasi curah
hujan untuk stasiun-stasiun di wilayah tersebut cukup besar maka hasil dari
klasifikasi iklim menurut Koppen kurang memberikan gambaran yang cocok
untuk pertanian. Maka dari itu, untuk mengetahui kondisi iklim guna kepentingan
pertanian, lebih baik menggunakan metode klasifikasi iklim menurut Oldeman,
dimana metode tersebut menggunakan unsur iklim berupa curah hujan.
1
Berdasarkan metode klasifikasi iklim menurut Oldeman tersebut, maka dapat
terlihat apakah terjadi perubahan iklim mikro di suatu wilayah berdasarkan dua
periode waktu tertentu. Hal tersebut yang kemudian digunakan sebagai salah satu
acuan untuk memaksimalkan potensi pertanian tanaman pangan seperti padi dan
palawija.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kondisi iklim yang bervariasi dari
periode waktu tertentu ke periode waktu setelahnya. Hal tersebut disebabkan
kondisi iklim di Daerah Istimewa Yogyakarta dipengaruhi oleh berbagai macam
aktivitas alam maupun manusia. Kondisi lingkungan yang berubah akan
menyumbang adanya perubahan iklim secara tak langsung, seperti perubahan
penggunaan lahan tertutup vegetasi menjadi penggunaan lahan terbuka dan lahan
terbangun, yang dapat menyebabkan kenaikan suhu permukaan. Wilayah utara
Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat gunungapi yang aktif yang menghasilkan
material vulkanik yang kemudian mengalami pelapukan, mengendap dan
membentuk tanah vulkanik dalam kurun waktu yang panjang disebut tanah
Andosol yang merupakan tanah yang subur. Tanah yang subur tersebut kemudian
dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Namun, dengan adanya aktivitas
gunungapi tersebut juga mampu mengubah kondisi iklim yang ada di sekitarnya.
Adanya perubahan iklim akan mempengaruhi produksi tanaman pangan
akibat terjadinya perubahan pola curah hujan. Curah hujan merupakan salah satu
unsur iklim yang sangat mempengaruhi kondisi iklim di suatu wilayah. Kajian
mengenai unsur iklim tersebut dapat digunakan untuk melakukan mitigasi
terhadap pertanian tanaman pangan seperti padi dan palawija.
Berdasarkan latar belakang tersebutlah penulis melakukan penelitian
mengenai perubahan iklim dengan judul ”ANALISIS PERUBAHAN ZONAAGROKLIMAT DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DITINJAU
DARI KLASIFIKASI IKLIM MENURUT OLDEMAN”
1.2
Perumusan Masalah
Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Unsur iklim yang mudah
dikaji perubahannya yaitu curah hujan. Hujan atau presipitasi merupakan salah
2
satu unsur iklim yang berperan dalam bidang pertanian. Curah hujan berperan
khususnya dalam pertumbuhan tanaman. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
variasi curah hujan yang besar secara spasial. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
kondisi topografi yang berbeda dimana mempengaruhi kondisi atmosfernya.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu Provinsi di Indonesia
yang potensi dalam bidang pertaniannya tinggi, khususnya tanaman pangan. Hal
tersebut terlihat dari kesuburan tanahnya yang berasal dari material piroklastik
hasil erupsi Gunungapi Merapi. Pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta
mempunyai peranan yang sangat penting dimana hasilnya mampu menyumbang
sekitar 15,35% untuk Produk Regional Domestik Bruto (BPS, 2009). Potensi
pertanian tersebut yang apabila dimaksimalkan kedepannya maka akan
memberikan dampak positif untuk masyarakatnya seperti kenaikan PDRB untuk
pertanian tanaman pangan.
Salah satu kajian yang sederhana untuk memaksimalkan potensi pertanian
yaitu dengan mengetahui pola zona agro-klimatnya secara spasial. Zona agroklimat merupakan zona yang menunjukkan kondisi iklim berdasarkan banyaknya
bulan basah berurutan dan bulan kering berurutan. Klasifikasi agroklimat dengan
metode Oldeman menjelaskan kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan
kebutuhan tanaman untuk mampu tumbuh dengan mengandalkan curah hujan
sebagai faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat
dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil reklasifikasi zona agro-klimat menurut Oldeman tahun
1978-2009 di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Bagaimana perbandingan perubahan hasil reklasifikasi zona agro-klimat
menurut Oldeman tahun 1978-2009 dengan persebaran zona agro-klimat
menurut Oldeman tahun 1975 di Daerah Istimewa Yogyakarta?
3. Apakah ada hubungannya antara besarnya curah hujan dengan
produktivitas padi gogo di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 19782009?
3
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
1.
Mengkaji hasil reklasifikasi zona agro-klimat menurut Oldeman
tahun 1978-2009 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.
Menganalisis perubahan hasil reklasifikasi zona agro-klimat
menurut Oldeman tahun 1978-2009 dengan persebaran zona agroklimat menurut Oldeman tahun 1975 di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
3.
Mengetahui hubungan pola curah hujan dengan produktivitas padi
gogo di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1978-2009.
1.3.2
Manfaat Peneltian
Kegunaan dari penelitian ini, yaitu:
1.
Penelitan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
kondisi iklim yang mungkin telah berubah di Daerah Istimewa
Yogyakarta secara spasial, ditinjau dari hasil analisis iklim
menurut Oldeman (1975) dengan klasifikasi iklim menurut
Oldeman menggunakan tahun-tahun terbaru (1978 - 2009).
2.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk upaya mitigasi
kedepannya terhadap kondisi pertanian di Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk memaksimalkan produksi pertanian tanaman
pangan seperti padi dan palawija yang ada, dengan mengetahui
kondisi iklim berdasarkan zona agroklimatnya.
1.4
Tinjauan Pustaka
1.4.1
Pengertian Iklim dan Cuaca
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda
pengertian khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca merupakan bentuk awal yang
dihubungkan dengan penafsiran dan pengertian akan kondisi fisik udara sesaat
pada suatu lokasi dan suatu waktu, sedangkan iklim merupakan kondisi lanjutan
dan merupakan kumpulan dari kondisi cuaca yang kemudian disusun dan dihitung
4
dalam bentuk rata-rata kondisi cuaca dalam kurun waktu tertentu (Winarso, 2003).
Menurut Rafi’I (1995) Ilmu cuaca atau meteorology adalah ilmu pengetahuan
yang mengkaji peristiwa-peristiwa cuaca dalam jangka waktu dan ruang terbatas,
sedangkan ilmu iklim atau klimatologi adalah ilmu pengetahuan yang juga
mengkaji tentang gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat dan gejala-gejala tersebut
mempunyai sifat umum dalam jangka waktu dan daerah yang luas di atmosfer
permukaan bumi.
Trewartha and Horn (1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu
konsep yang abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari
ke hari dan elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam
jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca rata-rata, karena
tidak ada konsep iklim yang cukup musiman serta suksesi episode cuaca yang
ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam
studi
tentang
iklim penekanan
diberikan
pada
nilai
rata-rata,
namun
penyimpangan, variasi dan kedaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai
arti penting.
Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari variablevariabel atmosfer yang sama yang disebut unsure-unsur iklim. Unsur-unsur iklim
ini terdiri dari radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, awan, presipitasi,
evaporasi, tekanan udara dan angin. Pengendali iklim atau faktor yang dominan
menentukan perbedaan iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain
menurut Lakitan (2002) adalah (1) posisis relatif terhadap garis edar matahari
(posisi lintang), (2) keberadaan lautan atau permukaa airnya, (3) pola arah angin,
(4) topografi (rupa permukaan daratan bumi), dan (5) kerapatan dan jenis
vegetasi.
1.4.2 Hujan atau Presipitasi
Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena
keragamannya sangat tinggi baik secara spasial maupun temporal, sehingga kajian
tentang iklim lebih banyak menggunakan hujam sebagai parameternya. Menurut
5
Lakitan (2002), presipitasi adalah proses jatuhnya butiran air atau kristal es ke
permukaan bumi.
1.4.3
Distribusi Hujan
Distibusi curah hujan dapat dibagi menjadi dua, yaitu distribusi geografis
(keruangan) dan distribusi menurut waktu (Subarkah, 1980). Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi distribusi keruangan adalah latitude, posisi dan luas daerah,
jarak dari sumber air, efek geografis, dan ketinggian (altitude). Sementara itu,
distribusi menurut waktu akan terjadi menurut pola dan suatu siklus tertentu.
1.4.3.1 Faktor Topografi
Topografi
dapat
bersifat
mendukung
terjadinya
hujan
ataupun
menghambat terjadinya hujan. Topografi akan mendukung terjadinya hujan
apabila kenaikan massa udara melalui rintangan orografis yang menyebabkan
penurunan suhu masa udara. Akibatnya pada elevasi yang lebih tinggi akan terjadi
hujan yang lebih besar jika dibandingkan dengan elevasi yang lebih rendah, pada
lereng yang membelakangi angin. Sebaliknya topografi dikatakan menghambat
terjadinya hujan apabila angin tidak langsung turun seteleh melewati ritangan
orografis. Tetapi langsung naik tinggi pada jarak setelah angin melewati rintangan
tersebut. (Subarkah, 1980).
1.4.3.2 Faktor Arah Hadap lereng
Faktor lereng yang berpengaruh adalah yang menghadap arah angin
pembawa uap air. Lereng yang menghadap arah datangnya angin pembawa hujan
akan memperoleh hujan lebih banyak daripada lereng yang menghadap ke arah
berlawanan (Sandy, 1987).
1.4.3.3 Faktor Suhu
Suhu berpengaruh terhadap penguapan yang akan mempengaruhi
kelembaban dan menyebabkan perbedaan tekanan udara. Perbedaan tekanan udara
ini akan mengakibatkan uap air bergerak dari daerah dengan tekanan udara tinggi
6
ke daerah bertekanan udara rendah dengan bantuan angin yang bertiup. Akibatnya
terjadi peningkatan kelembapan. Kelembapan udara yang tinggi disertai dengan
perndinginan sampai titik embun menyebabkan timbulnya int kondensasi yang
berkembang menjadi tetes air (Linsley, 1975).
1.4.3.4 Faktor Angin
Angin dapat menghambat atau mendukung terjadinya angin pada suatu
daera\h. Angin dapat menghambat terjadinya hujan apabila awan yang telah
terbentuk mendapat dorongan dari angin dan berpindah ke daerah lain. Sehingga
di daerah awal tidak terjadi hujan, sementara itu kemungkinan terjadi hujan di
tempat lain (Sandy, 1987).
1.4.4 Teori Perubahan Iklim
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah-pemerintah dari seluruh dunia telah
meminta serangkaian penilaian otoritatif pengetahuan ilmiah tentang perubahan
iklim, dampaknya, dan pendekatan yang mungkin untuk menangani perubahan
iklim. Penilaian ini dilakukan oleh organisasi yaitu Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC). Setiap 5-7 tahun, IPCC mengumpulkan komunitas
ilmiah dan pemerintah-pemerintah di dunia untuk laporan akhir melalui beberapa
ulasan dan sintesis ilmu pengetahuan tentang perubahan iklim.
Pada tahun 2007 IPCC melaporkan bahwa suhu rata-rata bumi yang tegas
pemanasan (IPCC, 2007b). Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa suhu ratarata global yang permukaan bumi telah meningkat beberapa 0.75oC (1.3oF) sejak
tahun 1850. Tidak semua bagian dari permukaan planet memanas pada tingkat
yang sama. Beberapa bagian pemanasan lebih cepat, terutama atas tanah, dan
beberapa bagian (di Antartika).
7
a.
b.
Gambar 1.1 Trend Suhu Global
(Joint Institute for the Study of the Atmosphere and Ocean, University of Washington.
Dalam Commitee on Ecological Impacts of Climate Change. National Academies Press.
http://site.ebrary.com/id/10267565?ppg=17)
Gambar 1.1.a. menunjukkan rerata perubahan suhu per 10 tahun dari tahun
1870 sampai 2005. Wilayah yang berwarna oranye mengalami kenaikan
temperatur atau suhu 0,1 hingga 0,2oC per 10 tahun, yang dapat diketahui bahwa
suhunya mengalami kenaikan rerata 1,35 sampai 2,7OC lebih panas pada tahun
2005 dari tahun 1870. Gambar 1.1.b. menunjukkan perubahan rerata suhu per 10
tahun dari tahun 1950 hingga 2005. Wilayah yang bewarna merah gelap
menunjukkan suhu meningkat lebih dari 0,4oC per 10 tahun, yang dapat diketahui
bahwa suhunya mengalami kenaikan rerata 2 oC lebih panas pada tahun 2005 dari
tahun 1950.
Pada saat abad ke-20, lautan mengalami peningkatan suhu permukaan.
Peningkatan suhu permukaan laut tersebut menyebabkan berbagai dampak yaitu
8
es di laut yang mencair, memicu terjadinya pemutihan karang, banyaknya spesies
berpindah tempat karena terjadi perubahan lingkungan di habitat asli,
mengkontribusi adanya kenaikan permukaan air laut, dan berkurangnya kadar
oksigen dan kabondioksida dalam laut.
Perubahan iklim juga berarti bahwa permukaan laut yang meningkat. Suhu
yang lebih hangat tidak hanya menyebabkan gletser dan es mencair juga
menyebabkan volume air laut meningkat. Rerata permukaan air laut meningkat
secara global sebesar 1,7 mm/ tahun selama abad ke-20 (IPCC 2007a).
Suhu permukaan laut yang meningkat dapat memicu kondisi atmosfer di
udara. Fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscillation) salah satunya yang terjadi
di sekitar laut pasifik. El Nino merupakan salah satu bentuk penyimpangan iklim
di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan suhu permukaan laut di
daerah katulistiwa bagian tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi
perubahan pola tekanan udara yang mempunyai dampak sangat luas dengan gejala
yang berbeda-beda, baik bentuk dan intensitasnya. Walaupun El Nino dianggap
sebagai faktor pengganggu dari sirkulasi monsun yang berlangsung di Indonesia
namun pengaruhnya sangat terasa yaitu timbulnya bencana kekeringan yang
meluas, sedangkan La Nina sebaliknya dari El Nino, terjadi saat permukaan laut
di pasifik tengah dan timur suhunya lebih rendah dari biasanya pada waktu-waktu
tertentu. Dan tekanan udara kawasan pasifik barat menurun yang memungkinkan
terbentuknya awan. Sehingga tekanan udara di pasifik tengah dan timur tinggi,
yang menghambat terbentuknya awan. Sedangkan di bagian pasifik barat tekanan
udaranya rendah yaitu di Indonesia yang memudahkan terbentuknya awan
cumulus nimbus, awan ini menimbulkan turun hujan lebat yang juga disertai petir.
Karena sifat dari udara yang bergerak dari tekanan udara tinggi ke tekanan udara
rendah menyebabkan udara dari pasifik tengah dan timur bergerak ke pasifik
barat. Hal ini juga yang menyebabkan awan konvektif di atas pasifik ttengah dan
timur bergeser ke pasifik barat.
Menurut Bayong (2004), perubahan iklim baru dapat diketahui setelah
periode waktu yang panjang, beberapa ahli klimatologi menggunakan istilah
kecenderungan iklim (climatic trend) Tidak terdapat penjelasan tentang perubahan
9
iklim yang dapat diterima secara lengkap. Ada beberapa teori yang menjelaskan
perubahan iklim, diantaranya yaitu
a) Teori Geologi
1. Teori hanyutan benua (the continental drift theory) mengemukakan
bahwa kerak bumi terdiri atas lempengan yang dapat saling
bergeser. Karena pergeseran ini, bumi menjadi lempengan yang
terpisah. Karena perubahan luas benua dan lautan maka terjadi
perubahan arus laut yang pada gilirannya terjadi perubahan energi
dan kelembapan udara yang mengakibatkan perubahan iklim.
2. Teori gunung api (vulcanism theory) mengemukakan bahwa
letusan gunung api menginjeksikan partikel debu ke dalam lapisan
atmosfer terutama ke lapisan troposfer atas dan stratosfer yang
menghamburkan radiasi matahari yang datang. Di stratosfer
partikel debu yang sangat kecil melayang-layang sehingga
menghambat masuknya radiasi matahari ke permukaan bumi yang
menyebabkan suhu permukaan bumi turun.
b) Teori Astronomi
1. Perubahan orbit bumi mengelilingi matahari dari bentuk lingkaran
ke bentuk elips memerlukan waktu sekitar 105.000 tahun. Pada
waktu orbit bumi berbentuk lingkaran, radiasi matahari 20-30%
lebih besar dibanding dengan yang diterima bumi pada saat
kedudukan bumi terjauh dari orbit elips (uphelion). Semula bumi
mengelilingi matahari dengan sumbu bumi 22,1o terhadap bidang
ekliptika, dan sekarang menjadi 23,5o. Hal ini menyebabkan bumi
yang menghadap ke matahri berubah. Baik perubahan orbit
maupun kedudukan sumbu buni mengakibatan perubahan radiasi
matahari yang diterima permukaan bumi sehingga iklim juga
berubah.
2. Noda matahari (sunspot) merupakan bagian pada matahari yang
gelap dan bersuhu rendah sekitar 4.000 K yang disebabkan oleh
adanya ledakan di permukaan matahari. Banyaknya noda matahari
10
berubahan secara periodik, ada yang 11 tahunan, 22 tahunan (daur
Hale), dan 80 tahunan (daur Gleisberg). Perubahan noda matahri
atau perubahan suhu matahari menimbulkan perubahan medan
magnet bumi dan perubahan sistem peredaran atmosfer.
c) Teori Karbondioksida
Beberapa ahli menyelidiki hubungan perubahan iklim dengan
ragam karbondioksida (CO2) di atmosfer. Karbondioksida adalah salah
satu gas rumah kaca. CO2 menyerap radiasi gelombang panjang (radiasi
bumi) pada panjang gelombang 4 sampai 5 mikron dan di atas 14 mikron
terutama pada spektrum yang terletak antara 12 dan 18 mikron. Karena itu
peningkatan konsentrasi karbondioksida akan meningkatkan suhu atmosfer
permukaan bumi dan mengurangi jumlah radiasi bumi yang hilang ke
angkasa. Beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa kenaikan CO2 masih
terus berlangsung yang dapat menyebabkan kenaikan suhu bumi dan
pemanasan global.
Karbonmonoksida (CO) adalah bentuk karbon sebagai hasil
pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna, sedangkan
karbondioksida merupakan bentuk akhir karbon sebagai hasil bahan bakar
fosil yang sempurna. Sebenarnya CO2 tidak beracun, tidak berbau, dan
tidak berwarna, tetapi mempunyai waktu tinggal di atmosfer sekitar 4
sampai 6 tahun. Alasan bahwa CO2 sebagai pencemar hanya karena efek
rumah kaca (green house effect). Karena itu karbondioksida merupakan
salah satu faktor yang penting penyebab perubahan iklim bumi. Telah
banyak usaha memperkirakan perubahan iklim bumi yang disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi CO2. Akan tetapi karena banyak perubahan yang
harus ditebak, maka tidak ada keseragaman proyeksi yang dapat diterima.
1.4.5
Klasifikasi iklim menurut Oldeman di Indonesia
1.4.5.1 Pendekatan Klasifikasi Iklim
Meskipun semua unsur penting, hubungan yang menyatakan kecukupan
panas dan air banyak mempengaruhi klasifikasi iklim. Tujuan klasifikasi iklim
11
adalah menetapkan pemerian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang
benar-benar aktif, terutama air dan panas. Unsur lain seperti angin, sinar matahari,
atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif tujuan khusus.
Pemahaman yang lebih baru tentang klasifikasi iklim adalah dengan melihat
hubungan sistematik antara unsur iklim dan pola tanaman. Telah banyak
ditemukan korelasi antara tanaman dan unsur panas atau air. Dengan demikian
indeks suhu atau air dipakai sebagai kriteria untuk menentukan jenis iklim.
Pemakaian batas sederhana curah hujan atau suhu dalam klasifikasi iklim
menunjukkan hubungan antara unsur panas dan air. Dalam keadaan suhu tinggi
tanaman memerlukan banyak air untuk memerlukan banyak air untuk memenuhi
keperluan evapotranspirasi. Perbandingan endapan penguapan dan konsep
evapotranspirasi potensial perlu ditinjau untuk menetapkan kriteria jenis iklim.
Keragaman dan penyebaran musiman dari endapan dan suhu merupakan faktor
tambahan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan harus diperhitungkan
dalam setiap klasifikasi iklim berdasarkan hubungan iklim dan tanaman.
1.4.5.2 Dasar Klasifikasi Iklim
Unsur-unsur yang menunjukkan pola keragaman yang jelas merupakan
dasar dari klasifikasi iklim yang dilakukan oleh para pakar atau institusi yang
relevan. Unsur iklim yang sering dipakai tersebut adalah suhu dan curah hujan
(presipitasi). Unsur iklim yang lain, seperti cahaya dan angin, sangat jarang
digunakan sebagai dasar klasifikasi iklim. Cahaya tidak digunakan sebagai dasar
klasifikasi iklim walaupun cahaya yang diterima akan berbeda intensitas dan lama
penyinarannya sesuai dengan posisi lintang bumi, karena pembagian zona iklim
berdasarkan cahaya matahari ini akan sama dengan pembagian bumi berdasarkan
garis-garis lintang yang ada. Angin juga tidak digunakan sebagai dasar klasifikasi
iklim, walaupun angin juga beragam baik arah maupun kecepatannya. Pembagian
zona iklim berdasarkan angin agak sulit untuk dilakukan karena tidak
konsistennya tingkah laku angin tersebut.
Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik, yang didasarkan atas tujuan
penggunaannya, misalnya untuk kegunaan di bidang pertanian, penerbangan, atau
12
kelautan (pelayaran dan penangkapan ikan). Klasifikasi iklim yang spesifik sesuai
dengan kegunaannya ini tetap mmenggunakan data unsur iklim sebagai
landasannya, tetapi dengan hanya memilih data tentang unsur atau unsur-unsur
iklim yang relevan, yang secara langsung akan mempengaruhi aktivtas atau obyek
dalam bidang-bidang tersebut.
Berdasarkan luas wilayah sasaran, iklim dapat dipilah menjadi iklim
makro, iklim meso, dan iklim mikro. Iklim makro meliputi wilayah yang sangat
luas, meliputi luasan satu zona iklm, kontinen, sampai pada bumi secara
keseluruhan (global). Pokok bahasan difokuskan pada fenomena iklim yang
dipengaruhi oleh unit geografi yang besar, seperti lautan atau benua. Keragaman
ditonjolkan adalah keragaman antarzona iklim. Iklim meso mengkaji tentang
variasi dan dinamika iklim dalam satu satuan zona iklim (intra-zona iklim). Iklim
meso meliputi wilayah sampai beberapa kilometer persegi, misalnya variasi iklim
akibat keberadaan danau tau kumpulan bangunan fisik di pusat perkotaan.
Variasi iklim dalam skala terkecil termasuk dalam cakupan iklim mikro,
misalnya keadaan udara di sekitar atau di bawah kanopi pohon, atau keadaan
udara di dalam rumah kaca. Pengukuran unsur-unsur iklim di bawah kanopi
pohon menunjukkan perbedaan yang cukup kentara dibandingkan dengan kondisi
udara di sekitarnya yang tidak ternaungi oleh kanopi pohon tersebut. Secara
umum, suhu akan lebih di bawah kanopi, intensitas cahaya lebih rendah, daan
kelembaban lebih tinggi.
Demikian pula halnya pengukuran unsur-unsur iklim di dalam rumah kaca
menunjukkan perbedaan dengan kondisi udara di luar rumah kaca. Pada siang
hari, suhu di dalam rumah kaca akan lebih tinggi dibanding dengan suhu udara di
luar rumah kaca. Hal ini disebabkan karena sebagian radiasi gelombang panjang
yang dipancarkan dari berbagai permukaan di dalam rumah kaca tidak dapat
diteruskan ke udara luar, sedangkan radiasi gelombang pendek dari cahaya
matahari dapat masuk ke dalam rumah kaca. Beberapa gas atmosfer juga
mempunyai sifat seperti kaca, sehingga peningkatan konsentrasinya akan
mengakibatkan peningkatan suhu atmosfer (lapisan troposfer), sehingga disebut
sebagai efek rumah kaca.
13
1.4.5.3 Metode Klasifikasi Iklim
Di Asia Tenggara, pemilihan sistem penanaman ditentukan oleh ada
tidaknya ketersediaan air. Tadah hujan atau irigasi yang tergantung curah hujan,
distribusi curah hujan bulanan merupakan elemen penting dalam perencanaan dan
pemahaman sistem penanaman. Klasifikasi pola curah hujan yang telah dilakukan
dalam berbagai cara. Klasifikasi iklim pertama berdasarkan curah hujan bulanan
di Indonesia diusulkan oleh Mohr (1933). Sistemnya didasarkan pada jumlah
bulan kering dan basah, dihitung dari rata-rata jangka panjang. Ketika curah hujan
bulanan melebihi penguapan bulanan (atau lebih dari 100 mm) bulan disebut
basah. Sebulan kering menerima kurang dari 60 mm. Boerema (1941) mengatur
profil curah hujan dan berakhir dengan 69 jenis untuk Jawa dan Bali saja. Smith
dan Fergusson (1951) memperbaiki sistem Mohr, terutama dengan menghitung
jumlah bulan tahun kering dan basah tahun, dan mengambil hasil nilai rata-rata.
Mereka kemudian memperkenalkan faktor Q, yang merupakan rasio dari rata-rata
jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah. Dengan cara ini mereka
ditandai delapan zona, menggunakan kenaikan 1,5 bulan kering untuk
menentukan zona. Zona A memiliki 0 – 1,5 bulan kering (Q 0.14), Zona B
memiliki 1,5 sampai 3 bulan kering, Zona C memiliki 3 sampai 4.5 bulan kering,
dan lainnya.
Meskipun klasifikasi yang disebutkan di atas menunjukkan area yang
dapat dianggap kering, lembab atau basah, tidak memberikan informasi yang
cukup tentang potensi pertanian suatu daerah. Definisi dari bulan basah
didasarkan pada penguapan bulanan. Namun di bidang pertanian satu lebih
mengacu pada evapotranspirasi bulanan. Rasio jumlah bulan kering dan basah
tidak menunjukkan panjang periode basah atau kering berturut-turut.
Sebuah klasifikasi agroklimat yang mempertimbangkan kondisi iklim
disiapkan oleh Van de Eelaart (1973) untuk Thailand. Zona yang ditandai dengan
jumlah bulan lembab berturut-turut selama periode yang tanah memiliki
kelembaban yang cukup untuk pertumbuhan tanaman optimal tanpa irigasi atau
sumber air tambahan lainnya. Bulan lembab didefinisikan sebagai bulan yang
ketika curah hujan ditambah kelembaban tanah yang disimpan lebih besar dari
14
evapotranspirasi potensial. Kelemahannya adalah bahwa dua dari tiga parameter
ini harus diestimasi (penyimpanan kelembaban tanah dan evapotranspirasi).
Selain itu, hanya dapat digunakan untuk tanaman yang tumbuh di dataran tinggi.
Klasifikasi iklim disajikan di bawah ini didasarkan pada konsep periode
bulan basah dan kering berturut-turut sepanjang tahun. Oleh karena itu, klasifikasi
iklim didasarkan pada tipe monsun. Panjang periode basah didasarkan pada pola
tanam yang potensial. Akhirnya ditetapkan bahwa hal tersebut mampu untuk
menghasilkan padi sawah maupun tanaman dataran tinggi.
Metode klasifikasi iklim menurut Oldeman (1975) juga memakai unsur
iklim curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim di Indonesia. Metode Oldeman
lebih menekankan pada bidang pertanian, karenanya sering disebut klasifikasi
iklim pertanian (agro-climatic classification).
Data curah hujan telah dikumpulkan di Indonesia selama lebih dari seratus
tahun. Publikasi resmi pertama dari data curah hujan dikeluarkan pada tahun
1879. Ringkasan data curah hujan bulanan disusun pada interval tertentu. Data
yang digunakan untuk mempersiapkan agroklimat ini Peta Jawa diambil dari
Berlage (1949) yang diringkas periode 1879-1941 dan dari Sukanto (1969) di
mana berarti data curah hujan untuk periode 1930-1960 lebih dari 3000 titik
pengamatan yang dipublikasikan, kemudian data yang ada diseleksi. Hanya lokasi
yang berada di dalam operasi setidaknya 20 tahun di lebih dari 1.500 titik
pengamatan. Dengan bantuan dari peta topografi (skala 1: 250.000), lokasi yang
tepat ditentukan dan kemudian diproyeksikan pada peta dengan skala 1:
1.000.000. Curah hujan rerata kemudian diklasifikasikan sesuai dengan kriteria.
Curah hujan diklasifikasikan pada tingkat tertinggi atas dasar jumlah bulan
basah berturut-turut. Bulan basah didefinisikan sebagai bulan dengan curah hujan
yang cukup untuk tumbuh sebuah tanaman padi sawah. Berdasarkan
pertimbangan diuraikan sebelumnya bulan basah harus memiliki setidaknya 200
mm curah hujan. Meskipun panjang periode tumbuh padi terutama ditentukan
oleh varietas yang digunakan, jangka waktu lima bulan berturut-turut basah
dianggap optimal untuk satu tanaman. Jika ada lebih dari 9 bulan basah petani
dapat tumbuh dua tanaman padi. Jika ada kurang dari 3 bulan berturut-turut tidak
15
ada beras basah dapat dibudidayakan tanpa irigasi tambahan. Pertimbangan ini
kemudian menghasilkan lima zona utama:
A
: lebih dari 9 bulan basah berturut-turut
B
: 7 – 9 bulan basah berturut-turut
C
: 5 – 6 bulan basah berturut-turut
D
: 3 – 4 bulan basah berturut-turut
E
: kurang dari 3 bulan basah berturut-turut
Stratifikasi kedua adalah jumlah bulan kering berturut-turut. Berdasarkan
pertimbangan kondisi lingkungan tanaman untuk tumbuh, setidaknya 100 mm
curah hujan per bulan diperlukan untuk tumbuh sebagian besar tanaman dataran
tinggi. Oleh karena itu bulan kering dianggap memiliki kurang dari 100 mm curah
hujan. Jika ada kurang dari 2 bulan kering, para petani dapat dengan mudah
mengatasi periode seperti itu, karena umumnya akan ada cukup kelembaban
tersedia dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Jika periode bulan
kering adalah antara 2 dan 4, perencanaan yang matang akan diperlukan jika
petani mencoba budidaya sepanjang tahun. Periode 5 sampai 6 bulan kering
berturut-turut dianggap terlalu panjang jika irigasi tambahan tidak tersedia.
Sepanjang tahun budidaya memiliki banyak bahaya. Hal ini bahkan lebih jadi jika
periode kering melebihi enam bulan.
Klasifikasi agroklimat menjelaskan kondisi lingkungan dalam kaitannya
dengan kebutuhan tanaman. Kendala utama dalam pertanian tradisional di daerah
tropis adalah jumlah air yang tersedia untuk evapotranspirasi oleh kanopi
tanaman. Pola tanam sebagian besar diatur oleh distribusi curah hujan musiman,
kecuali untuk lahan sawah yang diirigasi. Keterbatasan data faktor iklim selain
data curah hujan, dan variabilitas lokal dan musiman yang besar curah hujan
dibandingkan dengan data iklim lainnya menyebabkan klasifikasi yang ditetapkan
menggunakan curah hujan bulanan.
Peta agro-klimat untuk tanam-tanaman pertanian utama yang didasarkan
atas data klimatologi dan hubungannya dengan tanaman adalah sangat diperlukan.
Kebutuhan tanaman akan air sangat merupakan salah satu fakor penting untuk
memungkinkan tanaman itu tumbuh baik dan menghasilkan produk yang
16
dikehendaki. Hujan merupakan sumber air utama di daerah-daerah pertanian.
Karena data curah hujan dari banyak lokasi dalam jangka waktu yang lama
tersedia, maka peta agro-klimat dibuat berdasarkan lamanya musim hujan dan
musim kemarau.
Peta agroklimat tidak memberikan informasi mengenai faktor-faktor
lainnya, maka peta ini belum dapat dipakai untuk memberikan rekomendasi untuk
petani. Akan tetapi peta agroklimat sedikitnya memberikan petunjuk mengenai
system pertanian yang sesuai untuk daerah-daerah yang spesifik.
1.5
Penelitian Sebelumnya
Beberapa peneliti yang melakukan penelitian terkait dengan analisis data
curah hujan, dimana dilakukan dengan berbagai metode yang sesuai dengan
tujuan penelitian masing-masing. Penelitian yang memiliki tujuan serupa dengan
penulis yaitu menganalisis bagaimana pola zona agroklimat menurut klasifikasi
iklim Oldeman, pada dasarnya menggunakan metode yang sama dalam
melakukan penelitian. Hanya saja penelitian dilakukan di wilayah kajian yang
berbeda (dapat dilihat pada Tabel 1.1). Penelitian pola spasial – temporal zona
agroklimat menurut Oldeman oleh Daryono (2005) dilakukan di Provinsi
Kalimantan Tengah, As-Syakur (2009) dilakukan di Pulau Lombok, dan Sudrajat
(2009) melakukan penelitian di Sumatera Utara. Ketiga penelitian tersebut lebih
menekankan pada kajian klasifikasi iklim menurut Oldeman kaitannya dengan
penerapan ilmu sistem informasi geografi.
Penelitian-penelitian tersebut dilakukan untuk menghubungkan antara
kondisi iklim yang ada serta potensinya dengan bidang pertanian. Penelitian
mengenai penentuan zona agroklimat menurut klasifikasi Oldeman dilakukan
untuk analisis upaya pemberdayaan tanaman pertanian khususnya tanaman padi
dan palawija kedepannya. Seperti halnya, sistem klasifikasi iklim menurut
Oldeman, terdapat pula penentuan manajemen pertanian menggunakan pola curah
hujan, khusunya untuk arahan pola tanam yang dilakukan oleh Aurora (2009).
Penelitian tersebut lebih ditekankan pada penggunaan metode klasifikasi menurut
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor (2007) untuk sawah tadah
17
hujan. Selain itu, terdapat beberapa penelitian yang juga menganalisis pola tanam
berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman yaitu
Yani Sumiana (2012)
melakukan penelitian di Pulau Bali dan Widoretno (2013) di Provinsi Jawa
Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbedaan penelitian yang
dilakukan oleh Widoretno (2013) menggunakan cakupan yang lebih luas
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu khusus untuk
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
18
Tabel 1.1 Daftar Penelitian-Penelitian Sebelumnya
No
Tahun
Nama
1
2005
Daryono,
Yani Sumiana
2
2009
Abd. Rahman
Syakur
3
2009
Ayi Sudrajat
4
2009
Marisya Aurora
Lokasi
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Metode statistik untuk menghitung
Persebaran 8 zona agroklimat Oldeman hasill
rata-rata curah hujan bulanan dan metode
pemutakhiran data hingga tahun 2001, yaitu B1,
Kalimantan Tengah
klasifikasi iklim menurut kriteria
B2, C1, C2, D2, D3, E1, dan E2
Oldeman (1975)
Telah terjadi peningkatan untuk zona-zona
dengan tipe C3 sebesar 575.2 % dan tipe E4
Menganalisis pola keruangan dari zona
sebesar 4.4% sedangkan penurunan luas terjadi
agroklimat dengan metode interpolasi
pada zona-zona dengan tipe C3 sebesar 59.2%
As- Pulau Lombok, Nusa atau ekstrapolasi menggunakan aplikasi
dan tipe D4 sebesar 24.6%. Selain itu, terdapat
SIG (membandingkan peta iklim
Tenggara Barat
zona agroklimat baru yaitu B1, B2, dan C2.
Oldeman 1980 dan pembuatan peta iklim
bertambahnya jumlah pos penakar hujan
menurut Oldeman 1963-2003)
merupakan faktor utama berubahnya zona-zona
iklim klasifikasi Oldeman di Pulau Lombok
Adanya perbedaan yang sangat nyata antara
jumlah bulan basah dan bulan kering pada
Menentukan dan membandingkan iklim
periode 1970-1993 dengan periode 1970-2008.
di Sumatera Utara menggunakan
Hasil pengolahan data curah hujan 1970-2008
Sumatera Utara
klasifikasi iklim menurut Oldeman dan
adalah klasifikasi Oldeman di Sumatera Utara
Schmidt Fergusson serta penggunaannya
terdapat 8 klasifikasi (A1, B1, C1, D1, D2, E1,
dalam bidang kehutanan
E2. dan E3), sedangkan kalsifikasi SchmidtFergusson terdapat 5 klasifikasi (A, B, C, D, E)
Berdasarkan metode BPPT 2007, adapun pola
Melakukan perancangan terhadap pola hujannya bervariasi antara II A (memiliki curah
Kabupaten
Gunung
tanam sawah tadah hujan berdasarkan hujan 1000-2000 mm/tahun dengan pola tunggal)
Kidul, Provinsi Daerah
pola sebaran hujan dengan metode BPPT dan III A (curah hujan 2000-3000 mm/tahun
Istimewa Yogyakarta
dengan pola tunggal). Pola hujan II A dapat
2007
melakukan penanaman Padi Merah bulan Okt-
19
Lanjutan Tabel 1.1 Daftar Penelitian-Penelitian Sebelumnya
No
5
6
Tahun
2012
2013
Nama
Lokasi
Metode Penelitian
Menganalisis
implikasi
perubahan
spasial dan temporal curah hujan
terhadap zona agroklimat Oldeman
dengan melakukan Survey, Moving
Average, wavelet, Kuantitatif dan
kualitatif
Yani Sumiana
Pulau Bali
Widoretno
Menganalisis dampak perubahan zona
Jawa
Tengah
dan agroklimat terhadap pola tanam di lokasi
Daerah
Istimewa penelitian dengan melakukan survey, dan
menggunakan klasifikasi iklim menurut
Yogyakarta
Oldeman dan pola tanam
Hasil Penelitian
Des dan dilanjutkan Padi Gogo bulan Jan-Mar
atau bulan Okt-Mar menanam Ubi kayu. Pola
hujan III A dapat dilakukan yaitu padi sawah
bulan Nov-Feb dan dilanjutkan dengan Jagung/
Kacang Kedelai Mar-Apr.
1. Pola perubahan curah hujan di Pulau Bali
secara
spasial
dan
temporal
yang
menunjukkan secara spasial curah hujan
disebabkan oleh variasi topografi, sedangkan
secara temporal persebaran curah hujan
disebabkan oleh aktivitas monsoon.
2. Selama periode 1970-2009 telah terjadi
perubahan persebaran spasial curah hujan
yang berupa peningkatan curah hujan yang
terjadi di hampir seluruh Pulau Bali.
3. Selama periode 1970-2009 telah terjadi
perubahan temporal curah hujan berupa
pergeseran awal musim hujan dan musim
kemarau.
4. Beberapa daerah telah mengalami perubahan
pola tanam akibat perubahan pola curah
hujan.
1. Berdasarkan
hasil
pencocokan
Peta
Agroklimat tahun 1975 yang dibuat oleh
Oldeman
dengan
Peta
Agroklimat
berdasarkan klasifikasi iklim menurut
Oldeman tahun 2008, daerah yang
mengalami perubahan zona agroklimat yaitu
zona agroklimat B1 ke B2 tersebar di
20
Lanjutan Tabel 1.1 Daftar Penelitian-Penelitian Sebelumnya
No
7
Tahun
Nama
2014
Irwanda Wredaningrum
Lokasi
Daerah
Yogyakarta
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Kabupaten Cilacap, zona agroklimat B1 ke
C2 tersebar di sebagaian Kabupaten Cilacap
dan Kabupaten Wonosobo, zona agroklimat
C2 ke C3 tersebar di Kabupaten Blora,
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Kulon
Progo,
Kabupaten
Purworejo,
zona
agroklimat C2 ke D3 tersebar di Kabupaten
Sleman, Kabupaten Demak, dan sebagian
Kabupaten Blora, zona agroklimat C3 ke D2
tersebar di Kabupaten Bantul, Kabupaten
Gunung Kidul, Kabupaten Klaten, zona
agroklimat D3 ke C3 tersebar di Kabupaten
Jepara dan Kabupaten Tegal, dan zona
agroklimat E ke D3 tersebar di Kabupaten
Rembang dan Kabupaten Pati.
2. Berdasarkan 20 lokasi sampel, 14 lokasi yang
berupa sawah irigasi 10 diantaranya
mengalami perubahan pola tanam sedangkan
untuk sawah tadah hujan dari 6 sampel
terdapat 2 yang mengalami perubahan
1. Persebaran zona agroklimat berdasarkan hasil
reklasifikasi iklim menurut Oldeman di
Menganalisis perubahan zona agroklimat
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1978berdasarkan peta agroklimat Oldeman
2009 menunjukkan bahwa pada Kabupaten
Istimewa tahun 1980 dan hasil reklasifikasi iklim
Sleman tersebar zona iklim B2, C2, dan C3.
menurut Oldeman tahun 1978-2009 dan
Pada Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul
analisis hubungannya dengan produksi
tersebar zona iklim C3 dan D3. Pada
tanaman padi gogo
Kabupaten Kulon Progo tesebar zona iklim
C2, C3, dan D3. Pada Kodya Yogyakarta
21
Lanjutan Tabel 1.1 Daftar Penelitian-Penelitian Sebelumnya
No
Tahun
Nama
Lokasi
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
termasuk zona iklim C2.
2. Perbandingan antara zona agroklimat milik
Oldeman tahun 1980 dan hasil reklasifikasi
iklim tahun 2009 menunjukkan bahwa terjadi
perubahan zona iklim menjadi lebih kering
dibandingkan tahun 1980 yaitu pada Stasiun
Adi Sucipto, Kalijoho, Karang Ploso,
Terong, Ngawen, Gedangan, Kedung Keris,
Panggang, Kemput, Tempel, Kenteng,
Nanggulan, Girimulyo, Hargorejo, Kokap,
Tambak, dan Gembongan. Sedangkan untuk
Stasiun Nyemengan, Dogongan, Pundong,
Sapon, Ngipiksari, ledoknongko, Anginangin, Jetis Medari, Samigaluh, Kalibawang,
dan Kokap tidak mengalami perubahan.
3. Hubungan antara besarnya curah hujan dan
produktivitas tanaman padi gogo, apabila
dapat ditarik kesimpulan maka hubungannya
negatif. Hal ini disebabkan curah hujan yang
digunakan merupakan curah hujan tahunan
sedangkan produksi padi gogo memiliki
rentang waktu atau periode tertentu dalam
waktu setahun yakni minimal padi gogo
ditanam 1 kali masa tanam.
Sumber: Skripsi Geografi, Jurnal Pijar MIPA, Jurnal Meteorologi Geofisika
22
1.6
Kerangka Pemikiran
Iklim cenderung berubah oleh ulah dan aktivtas manusia seperti
urbanisasi, deforestasi, industrialisasi, dan oleh aktivitas alam seperti pergeseran
kontinen, letusan gunungapi, perubahan orbit bumi terhadap matahari, noda
matahari, dan peristiwa El-Nino (Tjasyono, 2004). Perubahan iklim merupakan
isu lingkungan yang dapat menimbulkan dampak negatif yang bersifat destruktif
atau dapat menimbulkan bencana. Perubahan iklim tersebut bersifat global, dapat
terjadi secara spasial dimana saja.
Perubahan iklim tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan pola
curah hujan. Pola curah hujan sendiri merupakan fluktuasi curah hujan bulanan
yang membentuk suatu pola distribusi curah hujan pada suatu wilayah. Hujan
dianggap sebagai unsur iklim yang paling dominan keragamannya menurut skala
spasial maupun temporal (Boer, 2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
iklim berdasarkan parameter hujan tersebut. Unsur iklim yaitu hujan akan
digunakan sebagai variabel dalam melakukan pengklasifikasian iklim.
Pada dasarnya terdapat berbagai macam metode untuk melakukan
klasifikasi iklim. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk salah satu Provinsi di
Indonesia, dimana cocok untuk menggunakan metode klasifikasi iklim menurur
Koppen. Namun, mengingat bahwa variasi curah hujan untuk stasiun-stasiun di
wilayah tersebut cukup besar maka hasil dari klasifikasi iklim menurut Koppen
kurang memberikan gambaran yang cocok untuk pertanian. Maka dari itu, untuk
mengetahui kondisi iklim guna kepentingan pertanian, lebih baik menggunakan
metode klasifikasi iklim menurut Oldeman, dimana metode tersebut menggunakan
unsur iklim berupa curah hujan.
Perubahan iklim mikro yang mungkin terjadi dapat menyebabkan berbagai
macam bencana, misalnya kekeringan pertanian. Akibat kurangnya intensitas
masukan curah hujan serta adannya kenaikan suhu udara yang mempercepat
proses evaporasi, sehingga air yang ditampung untuk mengaliri sawah tidak
sampa hingga tujuan, dimana sebagian airnya telah terevaporasi terlebih dahulu.
Gagal panen juga kerap terjadi akibat banjir yang merupakan overlandflow dari
23
adanya curah hujan yang tinggi. Tanah tidak mampu menampung intensitas curah
hujan tinggi yang turun dengan cepat.
Isu perubahan iklim yang mungkin terjadi, yang dapat menyebabkan
adanya permasalahan pertanian, dapat dimitigasi dengan melakukan penelitian
mengenai seberapa jauh perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim tersebut
dapat diketahui berdasarkan perubahan unsur iklim dalam jangka waktu tertentu,
umumnya jangka panjang (30 – 100 tahun). Unsur iklim tersebut, salah satunya
yang dapat dikaji, yaitu curah hujan yang merupakan salah satu unsur iklim yang
sangat mempengaruhi kondisi iklim di suatu wilayah. Untuk melakukan mitigasi
terhadap pertanian tanaman pangan seperti padi dan palawija, maka perlu
mengetahui kondisi iklimnya yang mungkin berubah.
24
Aktivitas Manusia
Aktivitas Alam
Polusi, deforestasi,
Pergeseran kontinen, letusan
desertifikasi
gunungapi, perubahan orbit bumi
terhadap matahari, noda matahari,
dan peristiwa ENSO
Adanya perubahan suhu
Teori Perubahan Iklim
permukaan air laut memicu
kondisi atmosfer di laut dan di
darat berubah-ubah
Perubahan pola distribusi
(penyebaran) curah hujan
secara spasial dan temporal
Dampak perubahan pola zona agroklimat
(bulan basah berurutan dan bulan kering
berurutan) menggunakan Klasifikasi Iklim
menurut Oldeman
Dampaknya terhadap
poduktivitas pertanian
khususnya padi gogo
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran
25
1.7
Batasan Istilah
Analisis ialah penelitian suatu peristiwa atau kejadian (karangan,
perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001)
Curah Hujan ialah ketebalan air hujan yang mencapai tanah atau
permukaan bumi selama selang waktu tertentu (Prawirowardoyo,
1996)
Iklim ialah keadaan rata cuaca di satu daerah yang cukup luas dan dalam
kurun waktu yang cukup lama. (Tjasyono, 2004)
Klasifikasi iklim ialah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau
dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan
suhu. Thornthwaite (1933) dalam Tjasyono (2004)
Klasifikasi Iklim menurut Metode Oldeman ialah metode klasifikasi iklim
yang hanya menggunakan unsur curah hujan untuk menentukan
bulan basah dan bulan kering untuk kaitannya dengan pola tanam
pertanian.
Perubahan iklim ialah perbedaan dari nilai rata-rata jangka panjang suatu
parameter iklim, dimana rata-rata tersebut diambil dari suatu
interval waktu tertentu, yang biasanya paling sedikit 30 tahun
(Kirono, 2002).
Pola curah hujan ialah fluktuasi curah hujan bulanan yang membentuk
suatu pola distribusi curah hujan pada suatu wilayah. (BMKG,
2004)
Spasial ialah sesuatu yang brerhubungan dengan ruang atau tempat, dalam
penelitian ini spasial berarti keruangan atau wilayah. (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999)
Temporal ialah sesuatu yang berkenaan dengan waktu, dalam penelitian
ini temporal berarti jam, hatian dan satuan waktu lainnya (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999)
Zona Agroklimat ialah zona yang menunjukkan kondisi iklim berdasarkan
banyaknya bulan basah berurutan dan bulan kering berurutan.
26
Download