AUDIT INVESTIGATIF ATAS DUGAAN PENGGELEMBUNGAN HARGA PENGADAAN BARANG Oleh: Nirwan Ristiyanto*) Abstrak Modus operandi korupsi dewasa ini cenderung dilakukan dengan penggelembungan harga pengadaan barang. Modus ini dilakukan dengan melakukan kolusi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan barang. Sekalipun telah melakukan audit, ternyata APIP belum mampu mengungkap kasus penggelembungan harga yamg bermuara di peradilan. Apa sebenarnya permasalahan yang menyebabkan belum berhasilnya APIP dan bagaimana seharusnya APIP melakukan audit agar dapat menguak adanya penggelembungan harga? Melalui tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi kepada manajemen APIP dan para auditornya tentang bagaimana seharusnya melakukan audit atas dugaan penggelembungan harga. Pendahuluan Pada tulisan terdahulu telah penulis kemukakan bahwa modus korupsi yang umum dilaksanakan dalam pengadaan barang dewasa ini adalah penggelembungan harga. Modus tersebut bahkan menjadi semakin nge-trend. Inisiatif penggelembungan harga tidak hanya berasal dari oknum calon penyedia barang, melainkan dengan melakukan kolusi di antara oknum pengusaha dan oknum penguasa proyek. Modus ini sering terungkap bukan karena audit, melainkan karena tertangkap tangan para pelaku pada saat melakukan transaksi suap-menyuap. Setelah didalami, terungkap bahwa suap-menyuap dilatarbelakangi oleh adanya penggelembungan harga pengadaan barang di lingkungan instansi pemerintah. Permasalahan Sekalipun APIP di lingkungan pemerintah telah melakukan audit terhadap sebagian besar instansi, ternyata belum mampu mengungkap kasus penggelembungan harga yamg bermuara di peradilan. Apa penyebab belum berhasilnya APIP dalam hal ini? Bagaimana seharusnya APIP melakukan audit agar dapat menguak adanya penggelembungan harga? Melalui tulisan ini penulis mencoba memberikan saran rekomendasi kepada manajemen APIP dan para auditor intern pemerintah tentang bagaimana seharusnya melakukan audit atas dugaan penggelembungan harga. 1 Tujuan Audit Investigatif Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No: PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit, tujuan audit investigatif adalah untuk mengungkapkan terjadi atau tidaknya suatu perbuatan dan pelakunya guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya. Untuk audit investigasi tentang penggelembungan harga kontrak pengadaan barang, tujuan auditnya adalah untuk membuktikan apakah penggelembungan harga terjadi karena perbuatan yang melawan hukum sehingga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Jika ada indikasi tindak pidana korupsi, auditor harus mengungkap pula siapa pelaku yang diduga bertanggung jawab. Kolusi Dalam Pengadaan Barang Pada dasarnya, penggelembungan harga kontrak hanya dapat dilakukan dengan berkolusi di antara pihak-pihak yang terkait dalam pengadaan barang. Untuk menguak kolusi ini diperlukan strategi audit yang sistematik. Tanpa prosedur yang sistematik, sangat sulit mengungkap adanya kolusi. Hal ini dapat terjadi karena semua pihak terkait memeroleh keuntungan sehingga semua pihak akan menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya. Kolusi yang paling sederhana dilakukan hanya oleh kalangan calon penyedia barang. Dalam hal ini para calon penyedia barang berkolusi dengan membuat kesepakatan tentang harga yang akan ditawarkan ke proyek. Harga terendah yang disepakati oleh para calon penyedia barang adalah yang dapat menyerap sebesar mungkin pagu anggaran. Sekalipun dalam kenyataannya kolusi juga melibatkan berbagai pihak intern instansi pemerintah. Hal ini dapat terjadi pada era berlakuknya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Pemerintah belum memfungsikan harga perkiraan sendiri (HPS) sebagai dasar untuk menggugurkan penawaran harga. Lampiran I Keppres Nomor 80 Tahun 2003 butir C. 3. 6). a) menetapkan bahwa HPS tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran. Dengan berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang Pemerintah, kolusi dilakukan secara lebih luas dengan melibatkan pihak intern instansi penguasa proyek pengadaan barang. Melalui Perpres ini, HPS difungsikan sebagai batas tertinggi harga penawaran. Harga penawaran yang lebih tinggi daripada HPS dinyatakan gugur. Dengan adanya ketentuan tersebut kolusi dilakukan dengan melibatkan penyusun HPS 2 untuk menetapkan HPS setinggi-tingginya untuk dapat menyerap pagu anggaran secara maksimal. Dalam kolusi ini, seluruh calon penyedia barang bersepakat mengatur harga. Calon pemenang menawarkan harga terendah. Calon penyedia yang diposisikan sebagai pihak yang kalah menawarkan harga lebih tinggi tetapi masih berada di bawah HPS. Kolusi seringkali juga melibatkan para pejabat atasan dari penguasa proyek. Semua pihak yang terkait dengan kolusi, dapat diduga mendapatkan bagian atau fee. Semakin banyak yang terlibat, dipastikan semakin besar fee yang harus ditanggung oleh pemenang lelang. Seluruh fee yang ditanggung pemenang lelang dapat dipastikan menjadi beban penyedia barang, yang dengan sendirinya meningkatkan harga barang yang bersangkutan. Dengan kata lain, kolusi yang ada dipastikan menggelembungkan atau me-mark-up harga barang. Strategi Makan Bubur Panas Untuk mengaudit mark-up harga, auditor perlu menerapkan strategi tertentu, yang mirip strategi makan bubur panas. Strategi ini pada dasarnya diarahkan untuk dapat menggiring kasus ke terpenuhinya definisi korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 2 tersebut berbunyi: “ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memerkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara …”. Tindak pidana korupsi menurut pasal 2 tersebut harus memenuhi unsur: (1) ada pelakunya, orang perseorangan atau termasuk korporasi; (2) melawan hukum; (3) perbuatan memerkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan (4) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam audit investigatif, jika kolusi penggelembungan harga memang terjadi, seluruh unsur tersebut di atas harus dapat diungkap dan didukung dengan bukti-bukti yang kuat. Karena seluruh unsur tersebut harus dibuktikan, maka unsur-unsur tersebut merupakan suatu paket layaknya sepiring bubur panas yang akan dimakan. Agar makannya enak dan mudah, orang harus memulainya dari bagian yang paling pinggir, selanjutnya menuju ke bagian tengah. Pertanyaannya, unsur mana dari empat unsur tersebut yang merupakan bagian paling pinggir? Karena bubur yang paling pinngir adalah bagian yang paling tidak panas, maka unsur yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah unsur yang paling mudah untuk dibuktikan. Untuk ini, unsur yang paling mudah adalah unsur adanya kerugian negara. 3 Unsur kerugian negara dapat diindentifikasi dengan adanya kemahalan harga kontrak. Auditor harus meyakinkan bahwa harga kontrak adalah mahal. Hal ini dapat ditempuh dengan membandingkan harga kontrak dengan harga pasar setempat. Harga pasar dapat diketahui dengan melakukan survei harga di pasar setempat. Harga yang disurvei adalah harga barang yang sama dengan yang dibeli oleh proyek, termasuk semua unsur yang melekat pada kewajiban penyedia barang unruk memenuhinya. Unsur-unsur harga tersebut meliputi syarat penyerahan (biaya pengiriman barang sampai ke lokasi penyerahan), biaya pelatihan (jika ada), biaya overhead secara wajar, laba wajar, dan PPN (pajak pertambahan nilai). Jika harga kontrak masih dalam batas kewajaran dibandingkan dengan harga pasar, maka unsur kerugian negara tidak ada, audit tidak perlu dilanjutkan. Sebaliknya, jika diketahui harga kontrak mahal melebihi batas kewajaran, dapat diduga unsur kerugian negara telah terjadi. Langkah berikutnya, memasuki bubur yang lebih ke tengah. Dalam hal harga kontrak diketahui mahal, langkah berikutnya adalah mengarah pada unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum yang paling mudah dibuktikan adalah penyimpangan dalam penyusunan HPS. Peluang penyimpangan hukum dalam penyusunan HPS oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah tidak menyusun HPS sesuai dengan ketentuan. Jika HPS disusun sesuai dengan ketentuan, dapat dipastikan harganya sesuai dengan harga wajar. Karena harga kontrak telah diketahui mahal, pantas diduga bahwa HPS tidak didasarkan pada survei harga. Jika HPS memang tidak didasarkan pada survei harga, dan kenyataannya harga kontrak mahal, berarti HPS lebih tinggi daripada harga kontrak. Dengan demikian unsur melawan hukum dapat lebih dipastikan keberadaannya. Pasal 66 ayat (7) Perpres 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa penyusunan HPS harus didasarkan pada data harga pasar setempat, memertimbangkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), biaya satuan dari asosiasi terkait, daftar biaya/tarif yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal, kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan, unsur inflasi, suku bunga, kurs tengah Bank Indonesia, kontrak sejenis, perkiraan biaya konsultan perencana, norma indeks dan/atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Memerhatikan ketentuan tersebut, auditor dapat meminta kepada PPK selaku penyusun HPS untuk menunjukkan dokumen survei harga. Jika PPK melakukan survei harga sebagaimana diatur dalam pasal 66 ayat (7), dipastikan HPS akan setinggi harga wajar sebagaimana hasil survei auditor. Karena harga kontrak mahal, dan HPS lebih mahal daripada harga kontrak, maka dapat dipastikan pula PPK tidak melakukan survei harga. Dengan demikian unsur melawan hukum sudah dapat dibuktikan. 4 Selanjutnya, lapisan bubur yang lebih ke tengah lagi perlu dilanjutkan. Auditor dapat melanjutkan ke bagian yang lebih ke tengah, untuk membuktikan unsur ke-3, yakni perbuatan memerkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Dengan terbuktinya unsur melawan hukum dari proses penyusunan HPS dan adanya indikasi kerugian negara, pada dasarnya unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah terpenuhi. Pembuktian unsur ke-3 ini relatif mudah. Dengan telah adanya unsur melawan hukum dalam membuat HPS yang tidak didasarkan survei harga, dan harga kontrak ternyata berindikasi ada kerugian negara (mahal), maka PPK sebagai pembuat HPS sudah dapat diduga memenuhi pasal 2 tersebut. Sekalipun ada kemungkinan PPK tidak memerkaya diri sendiri, minimal telah dapat dikatakan telah memerkaya orang lain atau korporasi, yakni penyedia barang yang menerima pembayaran dari proyek. Lapisan paling tengah dari bubur panas adalah pembuktian siapa pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya penggelembungan harga. Untuk ini auditor dapat memulainya dengan mendalami pelaku tingkat dasar dalam pelanggaran hukum, yakni PPK sebagai penyusun HPS. Pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah bagaimana caranya dia dapat menetapkan harga dalam HPS, padahal tidak melakukan survei harga. Secara logika, tidak ada orang berani menetapkan harga tanpa melakukan survei harga. Tanpa survei harga, PPK dapat menetapkan harga, berarti dia memiliki referensi harga. Dalam kolusi harga seperti ini, dapat diduga PPK memiliki referensi dari atasan langsungnya atau dari calon penyedia barang yang sebenarnya harus dikendalikan dengan HPS. Jika dari pendalaman dapat dibuktikan bahwa referensi harga memang berasal dari penyedia barang, maka unsur kolusi dapat dibuktikan keberadaannya. Selanjutnya, auditor dapat menguak adanya jaringan atau kolusi yang sebenarnya terjadi. Yang tidak boleh dilupakan dalam audit ini adalah mengungkap seluruh pihak yang terlibat, antara lain adalah para calon penyedia barang yang kalah, penyedia barang sebagai pemenang lelang, panitia lelang atau para pejabat di unit layanan pengadaan, bahkan juga para pejabat atasan PPK. Pengungkapannya harus didasarkan pada bukti-bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan audit atas kasus yang berindikasi korupsi, keterangan dari pihak terduga (calon terdakwa) jangan terlalu diharapkan untuk dapat diperoleh. Alasannya, biasanya mereka mengelak untuk mengakuinya. Demikian pula halnya, auditor investigatif jangan terlalu berharap dengan alat bukti berupa ahli dan petunjuk. Alat bukti berupa keterangan ahli baru akan dimunculkan pada saat 5 penyidikan, artinya setelah audit selesai dilaksanakan, sekalipun tidak tertutup kemungkinan seorang auditor dapat meminta bantuan seorang ahli. Sedangkan alat bukti berupa petunjuk, sebagaimana dikemukakan di pasal 188 KUHAP, adalah: perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Karena penilaian alat bukti petunjuk merupakan kewenangan hakim di persidangan, yang dapat dilakukan auditor hanya menjaga agar seluruh proses kejadian yang bermuara pada terjadinya tindakan korupsi didukung bukti secara kuat dan saling bersesuaian antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya. Kontrak Tidak Sah secara Hukum Dalam hal adanya kolusi dalam proses pelelangan telah dapat dibuktikan, berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), kontrak pengadaan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak sah secara hukum. Pasal tersebut mengatakan bahwa: “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; dan (4) suatu sebab yang tidak terlarang”. Kolusi dalam proses pelelangan, secara tegas dilarang dalam pasal 6 Perpres Nomor 54 tahun 2010. Karena ada unsur kolusi yang terlaranag, maka kontrak pengadaan tidak memenuhi butir ke-empat pasal tersebut yang berarti tidak sah secara hukum. Pasal 6 Perpres Nomor 54 tahun 2010 (butir g) mengharuskan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa untuk mematuhi beberapa etika, salah satunya untuk menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara. Karena kontrak dapat dinyatakan tidak sah secara hukum, maka kontrak dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Laba Penyedia Barang yang Kontraknya Tidak Sah = Kerugian Negara Sehubungan dengan kontrak yang tidak sah secara hukum, maka penyedia barang tidak berhak untuk mendapatkan laba. Dengan demikian maka laba yang diperoleh penyedia barang dapat dinyatakan sebagai kerugian negara. Untuk ini memang muncul persoalan baru, yakni 6 dalam menetapkan besarnya laba penyedia barang yang dikategorikan sebagai kerugian negara. Jika auditor dapat menemukan data tentang harga pokok yang sebenarnya ditanggung oleh penyedia baranag, maka laba yang dinyatakan sebagai kerugian negara adalah harga jual barang yang pembayarannya diterima oleh penyedia barang dikurangi dengan harga pokoknya. Perhitungan demikian dapat dilakukan, misalnya dalam hal pengadaan alat tulis kantor (ATK). Untuk dapat mengirim ATK ke proyek, penyedia barang membelinya dari toko grosir. Untuk pembelian ini toko grosir menyerahkan nota penjualan kepada penyedia barang. Dalam kasus seperti ini maka laba yang bukan hak penyedia barang adalah harga kontrak pengadaan dikurang harga pokoknya. Termasuk dalam harga pokok adalah harga beli ke grosir ditambah biaya pengiriman dan biaya lain yang relevan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pajak pertambahan nilai (PPN) yang telah dipotong oleh bendahara proyek atau KPPN dapat dikurangkan dari nilai kontrak pengadaan barang. Jika data seperti itu tidak diperoleh, harga pokok penyedia barang dapat dihitung dengan menyetarakannya dengan hasil survei harga wajar yang dilakukan oleh auditor dan disaksikan oleh pihak yang independen. Demikian tulisan ini dikemukakan untuk dapat menginspirasi para auditor di lingkungan APIP, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Referensi: Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No: PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Ciawi, 12 Juli 2013 *) Nirwan Ristiyanto, Widyaiswara Utama Pusdiklatwas BPKP 7