BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1

advertisement
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Perkembangan Kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Angka Melek
Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur
Sosial di Propinsi Jawa Barat
Gambaran perkembangan kemiskinan, angka harapan hidup, angka melek
huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi
Jawa Barat dilakukan secara deskriptif secara umum dari semua Kabupaten/Kota
di Propinsi Jawa Barat.
6.1.1. Tingkat Kemiskinan Jawa Barat
Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan masih
menjadi isu strategis yang menjadi perhatian baik bagi pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Penanganan masalah kemiskinan di Jawa Barat menjadi
prioritas pertama dari delapan isu strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat yang
tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Jawa Barat
Tahun 2007. Berbagai kebijakan dilakukan dalam rangka menanggulangi masalah
kemiskinan, dalam hal ini termasuk juga dengan melakukan pendataan jumlah
penduduk miskin. Penghitungan jumlah penduduk miskin pada tahun 2003-2006
dilakukan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Pendekatan ini bersifat makro
dan
melakukan
perhitungan
penduduk
miskin
sampai
pada
tingkat
Kabupaten/Kota.
Garis kemiskinan yang digunakan untuk menghitung jumlah penduduk
miskin Jawa Barat pada tahun 2003 adalah Rp 130503 perkapita/bulan, pada
tahun 2004 adalah Rp 137929 perkapita/bulan dan Rp 185702 perkapita/bulan
pada tahun 2006. Berdasarkan batas kemiskinan tersebut, pada tahun 2003
persentase penduduk miskin mencapai 12.90 persen terus menurun menjadi 12.10
persen pada tahun 2004.
Akan tetapi penurunan angka kemiskinan tersebut tidak berlanjut pada
tahun berikutnya. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin Jawa Barat
meningkat menjadi 13.06 persen. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini
diperkirakan karena adanya peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
sebanyak dua kali pada tahun 2005. Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin di
Jawa Barat kembali meningkat menjadi 14.49 atau meningkat 1.43 point dari
tahun 2005. Angka kemiskinan ini meningkat karena adanya peningkatan harga
bahan makanan terutama untuk sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan
hasilnya. Hal ini terlihat dari peningkatan secara signifikan pada Indeks Harga
Konsumen untuk sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya yang
mencapai 124.06 pada Desember 2005 meningkat menjadi 165.13 pada Desember
2006 untuk Kota Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat. Kenaikan IHK ini
merupakan peningkatan tertinggi dibandingkan dengan peningkatan IHK sub
kelompok lain dan terjadi di sebagian besar Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa
Barat. Perkembangan jumlah penduduk miskin tiap Kabupaten/Kota di Propinsi
Jawa Barat pada Tahun 2003-2006 dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa pada tahun 2003-2004
jumlah penduduk miskin menurun di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Hal
ini diduga karena adanya perbaikan kinerja pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi pada tahun 2004-2006 jumlah penduduk
miskin ini kembali meningkat pada hampir seluruh Kabupaten/Kota di Jawa
Barat.
25
Tingkat Kemiskinan (%)
20
15
10
2003
2004
2005
5
2006
0
Kabupaten/ Kota
Gambar 4. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006
77
78
Tabel. 13. Jumlah Kabupaten/Kota Menurut Persentase Penduduk Miskin
Tahun 2002-2006
Tahun
2003
2004
2005
2006
Rata-Rata Persentase
Penduduk Miskin
Jawa Barat
Jumlah Kabupaten/Kota
dengan Persentase di
Atas Rata-Rata Jawa
Barat
12.56
11.82
12.77
14.24
13
13
13
13
Jumlah
Kabupaten/Kota
dengan Persentase di
Bawah Rata-Rata Jawa
Barat
9
9
9
9
Sumber : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan
Berdasarkan Tabel 13 diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan
penduduk di Jawa Barat dari tahun ke tahun relatif sama karena setiap tahun,
jumlah Kabupaten/Kota dengan persentase jumlah penduduk miskin yang berada
di bawah rata-rata persentase jumlah penduduk miskin Jawa Barat tidak berubah.
Hal ini juga menggambarkan bahwa persentase jumlah penduduk miskin di Jawa
Barat, banyak terdapat diwilayah pedesaan. Gambaran ini terlihat dari kenyataan
bahwa seluruh Kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Bogor, dan Kabupaten Bandung, yang identik dengan wilayah pedesaan, memiliki
persentase jumlah penduduk miskin di atas rata-rata persentase jumlah penduduk
miskin di Jawa Barat. Kabupaten yang memiliki persentase jumlah penduduk
miskin melebihi rata-rata propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi,
Cianjur, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Kabupaten Cirebon,
Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, dan Karawang.
Secara rata-rata persentase jumlah penduduk miskin yang terendah adalah
Kota Bekasi. Hal ini dikarenakan banyaknya Industri yang berkembang di Kota
Bekasi yang didukung oleh letaknya yang dekat dengan Ibu Kota Negara sehingga
memiliki akses dan tingkat pertumbuhan baik serta disokong oleh sumberdaya
manusia yang berkualitas sehingga kesejahteraan rakyat menjadi lebih terjamin.
79
Sedangkan rata-rata persentase jumlah penduduk miskin yang tertinggi adalah
Kabupaten Majalengka. Hal ini dikarenakan pertumbuhan dan kemajuan wilayah
yang sulit berkembang dan kualitas sumberdaya yang rendah.
6.1.2. Angka Harapan Hidup di Jawa Barat
Faktor kesehatan merupakan salah satu indikator penting penunjang
pembangunan manusia karena tingkat produktivitas manusia secara langsung bisa
tergali dengan optimal ketika kondisi tubuhnya sedang maksimal. Dengan kata
lain, orang yang sehat lebih produktif dibandingkan orang yang sakit. Berikut
merupakan kaitan antara kesehatan dengan pembangunan manusia.
Investasi Kesehatan
Pengurangan Kemiskinan
Pertumbuhan Ekonomi
Perbaikan Fisik dan Mental
(Perbaikan Kesehatan)
Peningkatan
Kualitas SDM
Peningkatan Produktivitas
Sumber: Departemen Kesehatan RI dalam BPS Jawa Barat
Gambar 5. Kaitan Investasi Bidang Kesehatan dengan Pembangunan
Manusia
Berdasarkan Gambar 5 di atas terlihat bahwa perbaikan kesehatan yang dihasilkan
oleh adanya investasi kesehatan akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, produktivitas manusia dan akhirnya dapat menyebabkan pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diukur salah satunya dari
tingkat mortalitas. Ukuran mortalitas yang digunakan untuk mengukur kemajuan
pembangunan manusia adalah angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan
80
hidup (AHH). Panjang usia hidup berhubungan negatif dengan rendahnya angka
kematian dan tingginya angka kesehatan. Semakin tinggi kesehatan menyebabkan
semakin rendahnya angka kematian sehingga memperbesar harapan hidup.
Angka harapan hidup Jawa Barat semakin meningkat dari 64.94 pada
tahun 2003 menjadi 66.57 pada tahun 2005 dan 67.40 tahun 2006. Angka harapan
hidup Kabupaten/Kota juga memiliki kecenderungan yang sama seperti wilayah di
atasnya yaitu Propinsi Jawa Barat. Dari tahun 2003 sampai dengan 2006 angka
harapan hidup Kabupaten/Kota di Jawa Barat mengalami peningkatan. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 tersebut dapat dilihat bahwa
dari tahun ke tahun angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Jawa Barat semakin
meningkat, meskipun dengan peningkatan yang berbeda. Secara Keseluruhan,
angka harapan hidup tertinggi adalah Kota Bandung kemudian Kota Depok.
Rata-rata angka harapan hidup masing-masing Kota ini adalah 72.55 dan 72.53.
Hal ini dapat dipahami melihat Kota Bandung merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa
Barat sehingga sarana dan prasarana sosial dan ekonomi memadai, dan Kota
Depok merupakan wilayah yang dekat dengan Ibu Kota Negara dan dijadikan
wilayah yang menyokong ibukota sehingga infrastrukturnya juga baik, sedangkan
rata-rata angka harapan hidup paling rendah adalah Kabupaten Garut yaitu sebesar
62.43. Hal ini terjadi karena Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah
tertinggal yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan infrastruktur sosial
yang relatif lebih terbatas dibandingkan dengan Ibu Kota Propinsi.
81
74
72
Angka Harapan Hidup (Tahun)
70
68
66
64
2003
62
2004
60
2005
58
2006
56
54
Kabupaten/ Kota
Gambar 6. Perkembangan Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006
67
82
6.1.3.
Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah di Propinsi Jawa
Barat
Pendidikan merupakan salah satu elemen penting pembangunan dan
perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting
dalam meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat. Semakin tinggi
tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin baik kualitas sumber dayanya.
Komponen pendidikan atau pengetahuan diukur dari kombinasi angka melek huruf
dan rata-rata lama sekolah dari penduduk 15 tahun keatas.
Pencapaian pendidikan yang dicerminkan oleh angka melek huruf dan
rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun keatas di Jawa Barat relatif terus
membaik. Angka melek huruf penduduk dewasa (15 tahun keatas) di Propinsi
Jawa Barat selama periode 2003-2006 mengalami perkembangan. Hal ini
menggambarkan semakin berkurangnya jumlah penduduk dewasa yang buta
huruf. Pada tahun 2003 angka melek huruf Jawa Barat mencapai 93.62 persen
terus mengalami peningkatan setiap tahun dan mencapai 94.52 persen pada tahun
2005 kemudian 94.90 persen pada tahun 2006.
Rata-rata lama sekolah di Propinsi Jawa Barat juga menunjukan
perkembangan setiap tahunnya, dari 7.2 tahun pada tahun 2003 kemudian
meningkat menjadi 7.37 pada tahun 2004 dan pada 7.46 tahun pada tahun 2006.
Akan tetapi pencapaian komponen pendidikan ini belum begitu besar. Hal ini
terjadi karena laju pertumbuhan angka melek huruf mengalami penurunan pada
tahun 2005-2006 dan diperkuat dengan penurunan laju pertumbuhan rata-rata lama
sekolah yang terjadi sepanjang waktu dalam periode analisis yang terjadi karena
masih banyaknya penduduk yang tidak tamat SD.
83
0.2
0.6
0.5
0.4
0.3
0.15
0.1
0.05
0
20032004
20042005
20052006
0.2
0.1
0
2003-2004 2004-2005 2005-2006
(a)
(b)
Gambar 7. Laju Pertumbuhan Rata-Rata Lama Sekolah (a) dan Angka
Melek Huruf (b) di Jawa Barat Tahun 2003-2006
Hampir seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat memiliki kecenderungan
yang sama dengan wilayah diatasnya, di mana angka melek huruf penduduk
berusia 15 tahun keatas semakin meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun
2006. Secara rata-rata, angka melek huruf paling tinggi adalah Kota Bandung
yaitu mencapai 99.245 persen sedangkan wilayah dengan rata-rata angka melek
huruf yang paling rendah adalah Kabupaten Indramayu.
Dilihat dari indikator Rata-rata Lama Sekolah, rataan paling tinggi yaitu
Kota Bekasi, 10.73 tahun atau mencapai setara SMU. Kemudian yang paling
rendah adalah Kabupaten Indramayu dengan rata-rata mencapai 5.72 atau setara
SD. Berdasarkan pada kedua kecenderungan angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah perkotaan relatif memiliki angka
yang tinggi, baik untuk melek huruf maupun rata-rata lama sekolah dibandingkan
dengan wilayah perdesaan. Hal ini diduga terkait dengan kesadaran masyarakat
Kota yang lebih tinggi terhadap pendidikan. Perkembangan angka melek huruf
dan rata-rata lama sekolah menurut Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Gambar 8.
dan Gambar 9. berikut.
Gambar 8. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006
84
120
Angka Melek Huruf (%)
100
80
60
2003
2004
40
2005
2006
20
0
Kabupaten/ Kota
Gambar 9. Perkembangan Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006
85
86
6.1.4. Kemampuan Daya Beli di Propinsi Jawa Barat (PPP)
Berdasarkan kesepakatan UNDP, kemampuan daya beli atau purchasing
power parity (PPP) digunakan untuk menggambarkan kondisi ekonomi
masyarakat dalam perhitungan indeks pembangunan manusia. Kemampuan daya
beli tersebut merupakan konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan. Oleh
sebab itu, daya beli masyarakat suatu wilayah dapat dibandingan dengan daya beli
masyarakat di wilayah lain.
Secara umum, kemampuan daya beli penduduk Propinsi Jawa Barat telah
mengalami perbaikan dalam kurun waktu 2003-2006. Pada tahun 2003, daya beli
masyarakat mencapai Rp 553700 meningkat menjadi Rp 561100 pada tahun 2006.
Akan tetapi, dalam kurun waktu empat tahun peningkatan daya beli penduduk
Propinsi Jawa Barat masih relatif kecil, yaitu hanya 7.4 poin. Relatif lambatnya
peningkatan kemampuan daya beli masyarakat Jawa Barat tersebut, kemungkinan
disebabkan oleh kebijakan makro ekonomi nasional seperti adanya pencabutan
subsidi BBM pada tahun 2005 dan adanya larangan impor beras yang
menyebabkan kenaikan harga beras sebesar 33 persen secara nasional antara bulan
Februari 2005 dan Maret 2006 (World Bank, 2006). Fenomena tersebut
menunjukan bahwa setiap perubahan kebijakan makro ekonomi nasional,
berdampak serius terhadap ketatnya daya beli masyarakat. Sebagian besar,
kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat juga
mengalami peningkatan. Rata-rata kemampuan daya beli yang paling tinggi
adalah Kota Depok. Hal ini diduga karena Kota Depok memiliki posisi yang
strategis yaitu dekat dengan ibu kota Negara dan dijadikan sebagai penyokong ibu
Kota,
620000
Purchasing Power Parity (Rp/ Bulan
600000
580000
560000
2003
540000
2004
2005
520000
2006
500000
480000
Kabupaten/ Kota
Gambar 10. Perkembangan Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabuten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003-2006
87
88
sehingga laju perekonomian Kota Depok tidak berbeda jauh dengan ibu kota
Jakarta (BPS Jawa Barat, 2005). Kondisi ini membawa penduduk Kota Depok
memiliki tingkat penghasilan yang cukup tinggi dan daya beli yang tinggi pula.
Pada Gambar 10. dapat dilihat perkembangan kemampuan daya beli menurut
Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
6.1.5. Pengangguran Terbuka di Propinsi Jawa Barat
Pengangguran merupakan suatu fenomena yang diduga menjadi salah satu
penyebab kemiskinan di suatu wilayah. Pengangguran yang dimaksud dalam
kajian ini adalah pengangguran terbuka yaitu angkatan kerja dewasa yang tidak
bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Banyaknya penduduk yang bekerja
akan berdampak pada peningkatan kemampuan penduduk tersebut dalam
pemenuhan kebutuhan secara lengkap karena adanya peningkatan pendapatan.
Berlawanan dengan pernyataan tersebut, pengangguran akan mengurangi
kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya yang akhirnya akan
membawa masyarakat ke dalam kemiskinan.
Secara rata-rata, tingkat pengangguran Kabupaten/kota di Jawa barat,
tahun 2003-2004 mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 rata-rata tingkat
pengangguran Kabupaten/Kota di Jawa Barat mencapai 9.92 persen kemudian
meningkat menjadi 12.10 persen tahun 2004. Akan tetapi pada tahun berikutnya
yaitu
tahun
2005
dan
2006
rata-rata
tingkat
pengangguran
terbuka
Kabupaten/Kota di Jawa Barat kembali mengalami penurunan secara bertahap
yaitu mencapai 11.69 persen pada tahun 2005 dan 10.62 persen pada tahun 2006.
Perkembangan tingkat pengangguran terbuka Kabupaten/Kota di Jawa Barat dapat
dilihat secara lengkap pada Gambar 11.
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
25
20
15
2003
10
2004
2005
2006
5
0
Kabupaten/ Kota
Gambar 11. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2006
89
90
Berdasarkan Gambar 11 tersebut, Kabupaten/Kota yang memiliki rata-rata
tingkat pengangguran tertinggi dari tahun 2003-2006 adalah tingkat pengangguran
wilayah gabungan Kabupaten Bandung dengan Kota Cimahi dan tingkat
pengangguran yang paling rendah adalah Kabupaten Ciamis. Tingginya tingkat
pengangguran tersebut di duga karena tingginya migrasi yang masuk, terutama di
Kota Cimahi, sehingga menimbulkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan.
Kondisi tersebut juga terjadi di kota-kota lain di Propinsi Jawa Barat. Hal tersebut
terbukti dengan besarnya rata-rata tingkat pengangguran seluruh kota di Jawa
Barat yang melebihi rata-rata tingkat pengangguran Jawa Barat.
6.1.6. Angka Beban Ketergantungan di Propinsi Jawa Barat
Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara jumlah
penduduk usia tidak produktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Semakin
tingginya persentase dependency ratio atau angka beban ketergantungan
menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang
produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak
produktif. Sebaliknya semakin rendah angka beban ketergantungan menunjukan
semakin rendahnya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk
membiayai hidup penduduk tidak produktif.
Rata-rata angka beban ketergantungan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa
Barat berfluktuasi dari tahun 2003-2006. Pada tahun 2003 angka beban
ketergantungan mencapai 50.74 persen. Angka ini mengalami peningkatan pada
tahun 2004 sebesar 0.86 poin, menurun kembali pada tahun 2005 menjadi 51.03
persen, dan menjadi 51.02 persen pada tahun 2006. Dengan kata lain, secara
umum rata-rata angka beban ketergantungan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa
91
Barat meningkat dari tahun 2003-2006. Hal ini terjadi karena struktur penduduk
Propinsi Jawa Barat masih tergolong struktur penduduk muda dimana jumlah
penduduk usia muda lebih banyak dari pada penduduk dewasa. Akan tetapi angka
ini mulai mengalami penurunan pada tahun 2004-2005, dengan kata lain mulai
terjadi pergeseran struktur penduduk sehingga jumlah penduduk usia produktif
yakni penduduk usia 15-45 tahun meningkat dan akhirnya mempengaruhi
besarnya rasio beban ketergantungan. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang
mempunyai angka beban ketergantungan tertinggi adalah wilayah Kabupaten
Garut sedangkan wilayah dengan angka beban ketergantungan yang paling rendah
adalah wilayah Kota Bandung. Perkembangan angka beban ketergantungan dapat
dilihat pada Gambar 12.
6.1.7. Infrastruktur Sosial Propinsi Jawa Barat
Infrastruktur
merupakan
salah
satu
komponen
penting
dalam
pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia. Oleh
sebab itu pembangunan infrastruktur sosial menjadi penting untuk menunjang
perbaikan kualitas sumber daya manusia. Infrastruktur sosial yang dikemukakan
dalam pembahasan ini terdiri dari infrastruktur pendidikan dan kesehatan.
Infrastruktur pendidikan tersebut terdiri dari bangunan sekolah baik SD, SMP,
SMA, dan SMK, sedangkan infrastruktur kesehatan terdiri dari rumah sakit,
puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan balai pengobatan.
Perkembangan Infrastruktur sosial menurut kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat
dapat dilihat pada Tabel 14.
Angka Beban Ketergantungan (%)
70
60
50
40
30
2003
2004
20
2005
2006
10
0
Kabupaten/ Kota
Gambar 12. Perkembangan Angka Beban Ketergantungan Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun
2003-2006
92
93
Tabel 14. Infrastruktur Sosial Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat 20022006
Tahun
Infrastruktur Sosial
Pendidikan
2003
2004
2005
2006
SD
SMP
19 772
20 510
20 068
19 949
2 294
2 594
2 694
2 933
SMA
840
1 046
1 046
1 175
Kesehatan
SMK
637
844
816
944
Rumah
sakit
Puskesmas
125
152
177
205
979
993
994
1 004
Puskesmas
Pembantu
1447
1 436
1 465
1 452
Puskesmas
keliling
461
516
526
575
Balai
pengobatan
2 504
2 640
3 149
2 881
Sumber: BPS Jawa Barat, Propinsi Jawa Barat dalam Angka (diolah)
Berdasarkan Tabel 14 menunjukan bahwa secara umum dari tahun 20032006 jumlah infrastruktur sosial di Propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan,
terutama pada infrastruktur kesehatan. Hal ini terlihat dari semakin tingginya
jumlah rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling
pada tahun 2003-2006, meskipun ada penurunan jumlah balai pengobatan secara
nyata pada tahun 2006. Hal itu menunjukan bahwa perbaikan dan peningkatan
dukungan pemerintah terhadap peningkatan sarana kesehatan harus terus di
lakukan dan ditingkatkan untuk menjamin aksesibilitas masyarakat terhadap
sarana kesehatan.
Perkembangan jumlah infrastruktur pendidikan di Propinsi Jawa Barat
bervariasi disetiap tahun. Jumlah Sekolah Dasar tahun 2003-2004 mengalami
peningkatan dari 19772 unit menjadi 20510 unit. Akan tetapi peningkatan ini
tidak bertahan lama, jumlah Sekolah Dasar kembali menurun sampai tahun 2006.
Jumlah Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Kejuruan semakin
meningkat setiap tahun dari tahun 2003-2006.
90
80
Skor Infrastruktur Sosial
70
60
50
40
2003
30
2004
20
2005
2006
10
0
Kabupaten/ Kota
Gambar 13. Perkembangan Skor Infrastruktur Sosial Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat 2003-2006
80
95
Secara umum, jumlah Sekolah Menengah Atas dan kejuruan juga menunjukan
perkembangan yang sama, yakni mengalami peningkatan dalam rentang waktu
analisis, meskipun pada tahun 2004-2005 terjadi penurunan jumlah SMK.
Untuk mengetahui perkembangan infrastruktur sosial secara umum yang
meliputi sarana pendidikan dan kesehatan setiap Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa
Barat digambarkan melalui Gambar 13. Secara umum, rata-rata perkembangan
skor infrastruktur sosial Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat setiap tahun
bervariasi. Skor infrastruktur sosial menurun pada tahun 2003-2004 sebesar 1.23
poin, kemudian meningkat pada tahun 2005 dan kembali menurun pada tahun
2006. Rata-rata skor infrastruktur sosial yang paling tinggi adalah gabungan
Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, sedangkan rata-rata skor infrastruktur yang
paling rendah adalah Kota Sukabumi.
6.2. Analisis Hubungan Antara Komponen Pembangunan Manusia dengan
Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat
6.2.1. Evaluasi Model
Analisis hubungan pembangunan manusia dengan kemiskinan di Propinsi
Jawa Barat dilakukan dengan mengevaluasi dan menginterpretasi hasil regresi
data panel yang terdiri dari 22 Kabupaten/Kota sebagai komponen cross section
dan dengan komponen time series yaitu data tahunan dari tahun 2003 sampai
dengan 2006. Estimasi dilakukan dengan menggunakan metode pooled least
square. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa data dalam unit cross
section yang digunakan tidak menunjukan heterogenitas antar waktu yang nyata.
Hal ini terlihat dari kondisi perubahan sebagian besar unit cross section terjadi
pada arah yang sama untuk setiap unit time series. Disamping itu, dilihat dari
96
signifikansi data dan kesesuaian dengan teori ekonomi, metode tersebut
memberikan hasil estimasi yang terbaik.
Hasil estimasi dengan metode pooled least square disajikan secara lengkap
pada Lampiran 2, dapat dilihat pada Tabel 15, dari hasil estimasi yang diperoleh,
kita dapat melakukan uji asumsi penting ekonometrika yang terdiri atas uji
multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Selain itu, kemampuan
model yang digunakan dalam menjelaskan keragaman yang terjadi juga dapat
diketahui. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat hasil t dan Fstatistik hasil regresi. Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa F-statistik signifikan
pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen) dengan nilai
probabilitas F-statistik sebesar 0.000. Uji signifikansi individu juga dapat
diketahui dengan melihat probabilitas t-statistik dan membandingkannya dengan
taraf nyata yang digunakan.
Tabel 15. Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Pool Least Square
dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross
Section Covariance
Variable
C
LOG(AHH?)
AMH?
LOG(RLS?)
LOG(PPP?)
LOG(INF?)
UNMPLY?
DPNDN?
R-squared
Prob(F-statistic)
R-squared
Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
4.653827
0.510309
9.119630
0.097625
0.051681
1.888980
-0.006932
0.079854
-0.086806
-0.209394
0.014532
-14.40944
-0.342590
0.038138
-8.982884
0.000191
0.001903
0.100529
-0.290001
0.043074
-6.732562
0.110420
0.034284
3.220717
Weighted Statistics
0.954529
Sum squared resid
0.000000
Durbin-Watson stat
Unweighted Statistics
0.707572
Sum squared resid
0.792161
Prob.
0.0000
0.0625
0.9310
0.0000
0.0000
0.9202
0.0000
0.0018
0.080798
0.878094
0.089659
97
Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan terdapat empat variabel yang
signifikan dari tujuh variabel penjelas, atau lebih dari 50 persen jumlah variabel
penjelas signifikan pada taraf nyata 5 persen sehingga asumsi adanya
multikolinearitas dapat diabaikan. Uji asumsi penting ekonomika yang kedua
adalah uji autokorelasi. Statistik DW yang diperoleh dari hasil estimasi dalam
penelitian ini menunjukan adanya autokorelasi positif dimana DW-statistik yang
dihasilkan yaitu 0.88 dan jatuh pada wilayah kurang dari dl. Jika gejala
autokorelasi ini diabaikan, maka estimasi yang diperoleh tidak efisien meskipun
masih tidak bias dan konsisten. Estimasi standar error dan varian koefisien
regresi yang diperoleh underestimate sehingga uji-t, uji-F menjadi tidak sahih lagi
untuk digunakan.
Gejala autokorelasi ini dapat diatasi dengan metode pembedaan pertama
(The First Difference Methode). Data ditransformasikan dan hasilnya dapat dilihat
pada Lampiran 3. estimasi selanjutnya dilakukan dengan metode least square
dengan hasil estimasi disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. dan secara
ringkas pada Tabel 16.
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 16 tersebut, terlihat bahwa asumsi
adanya multikolinearitas dapat diabaikan karena empat dari tujuh variabel
penjelas signifikan. Kemudian gejala autokerelasi yang terdeteksi pada estimasi
awal, sudah diatasi hal ini terlihat dari statistik DW yang bernilai 1.5. Meskipun
nilai tersebut masih berada pada wilayah tidak ada kesimpulan akan tetapi residual
tiap individu berfluktuasi tidak sistematis dan tidak menunjukan suatu
kecenderungan tertentu dalam setiap waktu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
sudah tidak terdapat autokorelasi.
98
Tabel 16. Hasil Estimasi data hasil transformasi dengan Pembobotan (Cross
Section Weight) dan White Cross Section Covariance
Variable
C
LOG(AHH_TRAN?)
AMH_TRAN?
LOG(RLS_TRAN?)
LOG(PPP_TRAN?)
LOG(INF_TRAN?)
UNMPLY_TRAN?
DPNDN_TRAN?
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
2.199449
0.456437
4.818741
0.0000
-0.064619
0.026971
-2.395903
0.0198
-0.106275
0.075440
-1.408735
0.1643
-0.098826
0.008532
-11.58312
0.0000
-0.140146
0.037132
-3.774326
0.0004
0.001126
0.001444
0.780006
0.4386
-0.352970
0.037300
-9.463022
0.0000
0.019461
0.026554
0.732870
0.4666
Weighted Statistics
0.933737 Sum squared resid
0.038298
0.000000 Durbin-Watson stat
1.491028
Unweighted Statistics
0.538411 Sum squared resid
0.042072
1.184608
R-squared
Prob(F-statistic)
R-squared
Durbin-Watson stat
.20
.16
.12
.08
.04
.00
-.04
-.08
1
2
RESID_BGR
RESID_SMI
RESID_CNJR
RESID_BDGCMH
RESID_GRT
RESID_TSK
RESID_CMSBNJR
RESID_KNGN
RESID_CRBN
RESID_MJLGK
RESID_SMDG
3
RESID_INDR
RESID_SBG
RESID_PWKT
RESID_KRWG
RESID_BKS
RESID_KBGR
RESID_KSMI
RESID_KBDG
RESID_KCRBN
RESID_KBKS
RESID_KDPK
Gambar 14. Residual Unit Cross Section
Langkah selanjutnya dalam mengevaluasi hasil regresi adalah mendeteksi
adanya heteroskedastisitas. Karena dalam mengestimasi model diatas diberi
perlakuan cross section weights, serta White Heteroskedasticity-consisten Standar
Error and Covariance maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan.
99
Nilai R2 atau koefien determinasi sebesar 0.9337 yang menunjukkan bahwa
tingkat kemiskinan sebesar 93.37 persen dapat dijelaskan oleh variasi angka
harapan hidup (AHH), angka melek huruf (AMH), kemampuan daya beli (PPP),
skor infrastruktur sosial (INF), tingkat pengangguran (UNMPLY), dan angka
beban ketergantungan (DPNDN), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain
diluar model. Hasil ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik yang signifikan
pada taraf nyata lima persen yaitu sebesar 0.000. Berdasarkan hasil estimasi dan
evaluasi model tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut
merupakan model terbaik untuk digunakan dalam penelitian ini.
6.2.2. Interpretasi Model
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa variabel yang signifikan
mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat pada selang kepercayaan 95
persen adalah variabel angka harapan hidup (AHH), rata-rata lama sekolah (RLS),
kemampuan daya beli (PPP), dan tingkat pengangguran terbuka (UNMPLY).
Sedangkan variabel yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat
secara tidak nyata adalah variabel angka melek huruf (AMH), infrastruktur sosial
(INF), dan angka beban ketergantungan (DPNDN).
Variabel angka harapan hidup yang menggambarkan derajat kesehatan suatu
masyarakat, berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di
Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata lima persen. Nilai koefisien regresi dari
variabel angka harapan hidup sebesar -0.06. tanda negatif pada koefisien regresi
tersebut menunjukan bahwa variabel angka harapan hidup memiliki hubungan
negatif atau berhubungan terbalik dengan tingkat kemiskinan di Jawa Barat.
Artinya semakin tinggi angka harapan hidup maka semakin rendah tingkat
100
kemiskinan Propinsi Jawa Barat, ceteris paribus. Hubungan negatif dan
signifikannya variabel angka harapan hidup tersebut telah sesuai dengan hipotesis
yang telah dibuat. Tingginya angka harapan hidup mencerminkan derajat
kesehatan yang semakin baik. Dengan semakin baiknya derajat kesehatan maka
produktivitas masyarakat akan semakin baik dan akhirnya tingkat kesejahteraan
akan meningkat dan secara umum akan menurunkan tingkat kemiskinan.
Variabel rata-rata lama sekolah pun mempunyai pengaruh signifikan dan
negatif terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka
tingkat kemiskinan akan semakin menurun, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan
hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya. Tingginya rata-rata lama sekolah
mencerminkan kondisi pendidikan suatu masyarakat semakin baik. tingkat
pendidikan yang semakin baik akan meningkatkan kemampuan individu yang
terkait dalam meningkatkan asetnya dan meningkatkan posisi tawarnya dalam
memperoleh kesempatan bekerja. Kemampuan ini mendorong pada peningkatan
pendapatan, akhirnya peningkatan kesejahteraan dan pengurangan tingkat
kemiskinan secara umum.
Variabel kemampuan daya beli atau purchasing power parity (PPP) juga
menunjukkan hubungan negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di
Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata lima persen. Semakin tinggi kemampuan
daya beli masyarakat, semakin rendah tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat,
ceteris paribus. Hubungan negatif dan signifikan pada variabel kemampuan daya
beli ini telah sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya.
Semakin tinggi kemampuan daya beli berarti kemampuan masyarakat secara
101
ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya juga semakin baik, dengan
demikian tingkat kemiskinan akan semakin menurun.
Berdasarkan hasil estimasi, variabel tingkat pengangguran juga dinyatakan
sebagai variabel yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi
Jawa Barat. Tanda dari nilai koefisien regresi variabel tingkat pengangguran
adalah negatif, yang menyatakan bahwa semakin rendah tingkat pengangguran
maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi. Hubungan negatif dan signifikan
pada variabel tingkat pengangguran tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang
telah dibuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa kemungkinan. Pertama,
tingginya migrasi masuk di Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil survei sosial
ekonomi 2005 terungkap bahwa tingginya laju pertumbuhan ekonomi di Propinsi
Jawa Barat tidak hanya karena pertumbuhan penduduk alami, tetapi juga
tingginya migrasi masuk dibandingkan dengan migrasi keluar. Dari pertumbuhan
penduduk 2.10 persen per tahun, sekitar 1.53 persen adalah laju pertumbuhan
alami, sisanya diperoleh dari migrasi masuk. Dari data tersebut dapat diartikan
bahwa dari 820057 jiwa, sebanyak 597494 jiwa merupakan pertambahan
penduduk dari selisih angka kelahiran dikurangi kematian dan sisanya 222563
jiwa merupakan selisih dari migrasi masuk dan migrasi keluar serta 49 persen dari
penduduk migran tersebut datang untuk mencari kerja dan kehadirannya
menambah beban Jawa Barat.4
Hal tersebut mengakibatkan tingginya persaingan antara penduduk migran
dengan penduduk asli, bahkan penduduk migran dapat mengambil kesempatan
penduduk setempat untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga upaya perluasan
4
http : //64.203.71.11/ kompas-cetak/ 0603/18/ jabar/590.htm (diakses tanggal 3 mei 2008)
102
kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kedua, kondisi kebijakan ekonomi makro nasional,
seperti kebijakan pencabutan subsidi BBM, menyebabkan inflasi. Akibatnya,
peningkatan pendapatan nominal masyarakat sebagai akibat dari adanya perluasan
kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi kenaikan harga ini atau dengan kata
lain, secara riil, pendapatan yang diperoleh tidak mampu mendongkrak
kemampuan masyarakat untuk memenuhi konsumsinya. Sehingga penurunan
tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan
bahkan kemiskinan di Propinsi Jawa Barat semakin meningkat.
Pada hasil estimasi, dapat dilihat bahwa variabel angka melek huruf (AMH)
berpengaruh tidak signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan dalam taraf
nyata lima persen. Insignifikansi dari variabel angka melek huruf ini
mengindikasikan bahwa pada kenyataannya, kondisi melek huruf yang
menggambarkan kemampuan baca masyarakat Jawa Barat bukanlah faktor yang
menentukan perubahan tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Hal ini dapat terjadi
karena berdasarkan informasi dari berita daerah Propinsi Jawa Barat (2007)
mengenai Isu Strategis Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat diketahui
bahwa Penduduk Jawa Barat yang masih buta aksara sebagian besar yaitu
penduduk usia lanjut dan penduduk yang secara geografis sulit menjangkau sarana
pendidikan. Sehingga upaya pemberantasan buta huruf yang dilakukan tidak
secara maksimal diterjemahkan pada peningkatan produktifitas, peningkatan
pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan pada akhirnya.
Variabel Infrastruktur sosial juga menujukan hal yang sama dengan variabel
angka melek huruf, variabel ini tidak signifikan pada taraf nyata lima persen.
103
Peningkatan infrastruktur sosial yang terjadi dalam jangka waktu yang diamati
tidak mampu menekan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Hal ini terjadi
terkait dengan tidak meratanya infrastruktur sosial, baik infrastruktur pendidikan
maupun infrastruktur kesehatan. Disamping itu, sarana dan prasarana yang telah
dibangun untuk mengurangi ketidakmerataan infrastruktur sosial, belum
dimanfaatkan secara optimal karena terbatasnya jumlah dan kualitas SDM (Pemda
Jawa Barat, 2007). Sehingga peningkatan infrastruktur sosial yang terjadi tidak
mencerminkan perubahan yang searah dalam hal aksesibilitas masyarakat
terhadap pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, aksesibilitas masyarakat
terhadap pendidikan dan kesehatan tidak dapat dijamin secara langsung oleh
tingginya jumlah infrastruktur tersebut, biaya pendidikan dan kesehatan yang
terjangkau dan kualitas pelayanan yang diberikan melalui sarana pendidikan dan
kesehatan tersebut juga termasuk kedalam cakupan aksesibilitas tersebut.
Demikian juga dengan variabel angka beban ketergantungan (DPNDN),
variabel tersebut tidak signifikan pada taraf nyata lima persen. Perubahan pada
variabel angka beban ketergantungan sangat sedikit bahkan tidak berpengaruh
terhadap perubahan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Naik turunnya
angka beban ketergantungan tidak bisa secara langsung diartikan sebagai naik
turunnya tanggungan ekonomi penduduk usia produktif terhadap usia belum/tidak
produktif. Meskipun penduduk usia kurang 15 tahun dan penduduk usia diatas 65
tahun termasuk penduduk tidak produktif faktanya banyak diantara mereka yang
bekerja membantu ekonomi rumahtangga. Sehingga tingkat pendapatan perkapita
tidak menurun secara drastis sejalan dengan meningkatnya jumlah beban
ketergantungan seperti yang digambarkan dalam penelitian Nurhayati (2007).
104
6.3. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, maka dapat dirumuskan beberapa
implikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa
Barat dalam rangka menekan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, yaitu
sebagai berikut.
1. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan masyarakat. Hal ini dapat
dilakukan dengan pemerataan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan seperti
dokter dan bidan, mendorong penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang
mudah diakses dan murah, terutama untuk daerah terpencil dan di Kabupaten
yang memiliki IPM atau secara khusus memiliki angka harapan hidup di
bawah rata-rata angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat.
Kemudian peningkatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin,
serta peningkatan pelaksanaan dan realisasi program-program kesehatan lain
yang telah dirumuskan Pemerintah Propinsi.
2. Meningkatkan pelaksanaan program-program dengan prioritas peningkatan
aksesibilitas, kualitas, daya saing, dan tata kelola pendidikan yang telah
dirancang
Pemerintahan
penambahan,
serta
Propinsi
pemerataan
Jawa
sarana
Barat,
dan
seperti
rehabilitasi,
prasarana
pendidikan,
meningkatkan angka partisipasi sekolah masyarakat miskin dan mengurangi
angka Drop Out dengan memberikan bantuan beasiswa kepada siswa yang
kurang mampu dan siswa yang berprestasi. Kemudian meningkatkan kualitas
dan kuantitas pendidikan non formal untuk memfasilitasi masyarakat dalam
komunitas
dan
lokasi
yang
sulit
menjangkau
pendidikan,
seperti
105
pengembangan kejar paket A, B, dan C dan pengembangan keaksaraan
fungsional dengan sistem pembelajaran yang disesuaikan dan kualitas
pengajar yang baik.
3. Mempertahankan dan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat miskin
dan tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pelaksanaan
program terkait peningkatan daya beli yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Barat seperti seperti peningkatan ketahanan pangan secara
berkelanjutan untuk membentengi kesejahteraan masyarakat dari peningkatan
harga pangan sebagai akibat dari ketidakstabilan kebijakan makro nasional hal
tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan akses terhadap permodalan
bagi petani yang disertai dengan pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan
pertanian untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya terutama
untuk Kabupaten-Kabupaten dimana sebagian besar penduduknya bekerja
dalam sektor pertanian. Peningkatan daya beli dapat dilakukan dengan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan keterampilan masyarakat
terutama peningkatan pendidikan di luar sekolah. Hal itu dapat dilakukan
dengan pembinaan dan pengembangan lembaga kursus dan memberikan
pelatihan-pelatihan keterampilan kepada mayarakat.
4. Mengoptimalkan
pelaksanaan
program
peningkatan
kompetensi
dan
perlindungan tenaga kerja seperti peningkatan keterampilan ketenagakerjaan
dan peningkatan akses peluang kerja dan pasar kerja bagi masyarakat Propinsi
Jawa Barat seperti pelatihan dan penempatan dengan pola magang dan
perluasan lapangan kerja melalui pengembangan usaha produktif.
106
5. Pengendalian laju pertumbuhan alamiah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memudahkan
akses
masyarakat
terhadap
alat
dan
kontrasepsi
dan
pendewasaan usia kawin. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk ini
penting untuk menekan tingginya angka beban ketergantungan muda yang
mungkin akan semakin tinggi dan akhirnya berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan.
Download